| 
    
    Click for Concordance 
    
    Click for Word Frequency 
    
    Click for English Translation 
    
     Grhhh! 
    
    oleh Seno 
    Gumira Ajidarma 
       
    Reserse Sarman masih asyik 
    menyeruput kopinya di warung Markonah, ketika bunyi HT yang menjengkelkan 
    itu memanggil-manggil. Malam sudah larut. Sisa gerimis bertabur membiaskan 
    cahaya petromaks. 
    “Bintara Sarman?” 
    “Siap Pak!” 
    “Cepat ke Jalan Satu! Ada 
    kerusuhan!” 
    “Siap Pak!” 
    Kopinya masih berkepul, 
    namun Reserse Sarman telah melesat pergi. Kenikmatan sejenak di warung itu 
    mesti dilepasnya kembali. Senyuman Markonah yang telah lama menghunjam 
    hatinya harus dilupakan sementara. Eh, demikian nian hidup, batin Reserse 
    Sarman. Diburu peristiwa dari saat ke saat, setiap kali menarik napas di 
    permukaan segera terbenam dalam persoalan kembali. Di dalam mikrolet yang 
    menuju tempat kejadian perkara, ia meraba pistol di balik jaket. Masih ada.   | 
  
    | 
    
     Dengan lincah, ia melompat 
    ke luar mikrolet tanpa membayar. Orang-orang masih berkerumun di tepi jalan. 
    Di balik punggung orang-orang itu, kepala Reserse Sarman menjulur. Dan 
    segera saja matanya merekam pemandangan yang mengerikan. 
    Dalam cahaya bulan, sosok 
    itu berdiri di perempatan jalan. Sesekali kepalanya mendongak dan mulutnya 
    mengeluarkan suara serak. Grhhhh! Grhhhh! Orang-orang tak berani 
    mendekat. Di tangan sosok seperti orang itu tergenggam kalung emas. 
    Berkilat-kilat ditimpa lampu jalanan. 
    Reserse Sarman menyeruak 
    maju. Kini makin jelas terlihat, betapa sosok itu sangat mengerikan. 
    Tubuhnya tinggi besar. Kakinya menginjak korban yang sudah setengah mati. 
    Grhhh! Ia menggeram 
    lagi. Dan Reserse Sarman melihat betapa dari mulut itu meluncur air liur 
    yang sangat kental. Bibirnya seperti lengket dan hanya bisa  dibuka dengan 
    paksa. Sebelah sisi wajahnya sudah mencair. Mata kirinya bolong dan dari 
    bolongan itu ulat-ulat mengeruyak kruget-kruget. Daging di seluruh 
    tubuhnya setengah mencair dan baunya busuk sekali. Reserse Sarman sudah 
    terbiasa melihat mayat. Mulai dari yang mengalami kecelakaan sampai yang 
    teraniaya. Mayat-mayat itu sering kali mengerikan, tapi tak menggiriskan 
    hati Reserse Sarman sama sekali.   | 
  
    | 
    
     Kini Reserse Sarman 
    menatap sesuatu yang belum pernah dilihatnya seumur hidup. Pada sosok 
    membusuk itu terlihat lubang-lubang yang mengeluarkan ulat-ulat. Setiap kali 
    ulat-ulat berjatuhan dan kruget-kruget di jalanan, muncul lagi 
    ulat-ulat dari dalam tubuh busuk itu dan kruget-kruget lagi 
    kruget-kruget lagi dan kruget-kruget lagi. Grhhh! 
    Gerakan sosok itu 
    seolah-olah mengancam korban yang diinjaknya. Reserse Sarman segera 
    bertindak. Ia mengeluarkan pistol. Dibidiknya kepala orang itu. Ia menembak. 
    Terdengar letusan. Sosok 
    itu tertegun. Tapi ia tidak bergeming. Keningnya berlubang karena peluru 
    Reserse Sarman. Tak ada darah mengucur. Peluru itu seperti menembus gedebok 
    pisang. Malah dari lubang itu muncullah ulat-ulat yang langsung ber-kruget-kruget berjatuhan di aspal.   | 
  
    | 
    
     Reserse Sarman menembak 
    beberapa kali lagi dengan penasaran. Namun pelurunya hanya mencetak 
    lubang-lubang. Dan dari setiap lubang muncul ulat-ulat yang ber-kruget-kruget 
    sehingga sosok itu semakin lama makin menjijikkan. Dan malah bergerak 
    mendekati Reserse Sarman. Langkahnya lambat tapi pasti. Kaku tapi meyakinkan. 
    Kedua tangannya terangkat ke atas, seperti melambai-lambai dengan berat. 
    Orang-orang buyar. Reserse Sarman cepat meraih HT-nya. 
    “Rudal! Rudal! Kirimkan 
    rudal segera!” 
    “Untuk apa?” 
    “Menembak monster! Cepat! 
    Kaliber 22 tidak mempan! Cepat! Monster itu mengejar saya! Cepat!” 
    “Monster? Monster apa?” 
    “Sudah! Dibicarakan nanti 
    saja! Cepat!” 
    “Rudal apa ini yang 
    diminta?” 
    “Dasar goblok! Rudal 
    antitank!” 
      | 
  
    | 
    
     Karena jalanan sudah sepi, 
    kiriman rudal TOW itu cepat datang. Sosok busuk yang melangkah dengan kaki 
    berat itu masih jauh dari Reserse Sarman. Ia segera dihajar. Dalam sekejap 
    mata, rudal seberat 40 pon melesat dahsyat. Tubuh busuk itu hancur lebur 
    tanpa sisa. Hanya ulat-ulat, yang makin banyak saja ber-kruget-kruget 
    dan ber-kruget-kruget di mana-mana. Kruget-kruget. Kruget-kruget. 
    Kruget-kruget. 
    Seorang wartawan yang 
    sejak tadi diam-diam memotret kejadian ini segera melambai taksi. 
    “Palmerah! Cepat!”   | 
  
    | 
    
     Koran pagi muncul seperti 
    mimpi buruk. MAYAT-MAYAT HIDUP GENTAYANGAN DI IBU KOTA. Potongan berita: 
    . . . dan reporter kami 
    di berbagai sudut ibu kota melaporkan, di setiap tempat keramaian muncul 
    mayat hidup. Tubuhnya busuk sekali. Dagingnya sebagian mencair, peluru 
    pistol atau senapan biasa tidak mempan. Bahkan senjata api yang sudah 
    dijampi-jampi dukun pun tak berguna. Mayat hidup itu hanya bisa dimusnahkan 
    dengan rudal. Itu pun tak berarti ia mati. Serpihan dagingnya masih 
    meloncat-loncat. Dan ulat-ulat yang berjatuhan dari tubuhnya berkembang biak 
    dengan dahsyat. 
    Pada umumnya para 
    reporter kami melaporkan kejadian yang hampir mirip satu sama lain. Para 
    mayat hidup alias zombi itu berlaku sebagai penjahat. Mereka mencopet dompet, 
    merampas kalung, meminta uang, atau menodong. Tapi karena tubuh mereka yang 
    busuk, dan gerakannya yang lamban, mereka tak bisa menghilang seperti 
    penjahat. Mereka hanya mengacung-acungkan hasil jarahannya sambil 
    mengeluarkan bunyi serak: Grhhh! Grhhh! Mereka muncul begitu saja, 
    entah dari mana. Mungkin langsung dari kuburan. Tapi belum ada laporan 
    tentang kuburan-kuburan yang jebol.   | 
  
    | 
    
     Kini para dokter sedang 
    memeriksa serpihan daging yang masih menggeliat-geliat itu. Kita berharap 
    pihak yang berwajib bisa segera mengatasi peristiwa yang sungguh-sungguh 
    aneh ini. Memang, dalam kehidupan sehari-hari negeri ini sudah terlalu 
    banyak hal-hal yang tidak masuk akal, dan toh diterima juga. Tapi yang satu 
    ini, kita harap saja segera berlalu. Mayat hidup gentayangan adalah 
    kenyataan yang terlalu mengerikan. 
                
     
    Reserse Sarman membaca 
    berita itu sambil menggeleng-gelengkan kepala. 
    “Terlalu. Masak namaku 
    secuil pun tidak disebut-sebut. Pers sekarang terlalu membesar-besarkan 
    persoalan yang tidak penting, sambil menutup-nutupi masalah sebenarnya. Coba, 
    mana disebut kerja keras petugas? Aku sudah bekerja siang malam tanpa 
    istirahat, eh, potret si mayat hidup yang dimuat. Mending kalau cakep! 
    Masyarakat juga brengsek selalu menghina polisi. Malah memuja-muja polisi di 
    film Barat. Maknyadirodog!”   | 
  
    | 
    
     Di warung Markonah ia 
    terus saja nerocos, sambil mengunyah sekerat tempe. 
    “Sekarang koran 
    ikut-ikutan. Berita mayat hidup dibesar-besarkan. Masyarakat ketakutan. 
    Paling-paling nanti yang disalahkan polisi lagi! Polisi lagi! Atasan 
    mencak-mencak, dan buntutnya kita-kita lagi yang kena. Mana gaji cuma cukup 
    untuk seminggu! Busyet! Coba kalau dulu gua diterima Sipenmaru, mungkin 
    nasib lebih baik sedikit. Wartawan tau apa sih? Sok tau!” 
    Ia masih memaki-maki lagi, 
    ketika HT itu memanggilnya lagi. Dengan sigap ia meloncat. 
    “Siap Pak!” 
    Dan segera Reserse Sarman 
    menghilang. 
    “Lho, mana uangnya?” 
    teriak Markonah, bersungut-sungut. Tapi cuma sebentar. Ia tahu, Reserse 
    Sarman akan selalu kembali kepadanya. Meski sudah beristri dan beranak empat. 
    Akan selalu kembali padanya.   | 
  
    | 
    
     Sekali lagi Reserse Sarman 
    berhadapan dengan mayat hidup. Kepalanya botak, tubuhnya busuk, dan 
    dikerumuni ulat. Ia berdiri di perempatan jalan sambil mengangkat kedua 
    tangan. Mulutnya mencair tapi masih mengeluarkan suara serak. Grhhh! 
    Grhhh! Jalanan macet. Mobil-mobil itu ditinggalkan penumpangnya. Sosok 
    busuk itu melangkah di atas atap mobil. Sesekali ia terpeleset karena 
    telapak kakinya pun mulai mencair. 
    Reserse Sarman 
    memperhatikan dengan lebih tenang. Ia tahu, meski yang satu ini bisa 
    dibereskan, yang lain akan segera muncul. Tentu ada sebab kenapa tubuh-tubuh 
    busuk ini bangkit kembali dari alam kubur. Tentu ada sebab yang sama. Kalau 
    tidak, apa urusannya mereka mengacau? 
    Mungkin semasa hidupnya 
    mereka dulu kriminal, pikir Reserse Sarman. Tampaknya mereka 
    penjahat-penjahat kasar kelas teri. Penjahat-penjahat yang mengandalkan 
    senjata dan tenaga, bukan otak. Reserse Sarman memperhatikan bahwa di tubuh 
    yang mulai mencair itu terlihat sisa-sisa tato. Dan pada sosok-sosok itu 
    selalu terdapat lubang dari mana ulat-ulat selalu meruyak ke luar dan 
    berjatuhan kruget-kruget-kruget. Reserse Sarman merasa ingat sesuatu 
    tapi lupa lagi.   | 
  
    | 
    
     Grhhh! Suara itu 
    menyadarkan lamunannya. Ia mengamati lagi, sosok itu juga bertato. 
    Lamat-lamat masih terlihat sebentuk wanita telanjang di dadanya. Dan 
    lubang-lubang. Ya, lubang-lubang selalu berada di tempat yang sama. Belakang 
    kepala, dada kiri, atau dahi. Ada juga memang yang berderet-deret dari dada 
    sampai perut. Atau sepanjang punggung. Tapi tidak banyak. Lagi-lagi Reserse 
    Sarman seperti ingat sesuatu. Namun suara itu terdengar lagi. Grhhh! 
    Ia sudah memesan rudal 
    TOW. Senjata paling ampuh untuk melumpuhkan zombi. Sambil menunggu ia 
    menyulut rokok, memperhatikan monster itu jatuh bangun terpeleset di atas 
    mobil. Memang menjijikkan. Baunya yang busuk tercium sampai ke tempat 
    Reserse Sarman. Astaga, mayat kok hidup lagi. Setan mana yang merasukinya? 
    Kalau dihitung-hitung, 
    sudah dua puluh lebih mayat hidup bermunculan di berbagai sudut. Rekan-rekan 
    Reserse Sarman setengah mati memantaunya. Setiak kali mesti digunakan rudal 
    TOW untuk memusnahkannya. Celakanya rudal TOW ini bukan hanya 
    menghancurleburkan si mayat hidup. Lingkungannya pun ikut hancur. Menteri 
    Pengawasan Lingkungan Hidup sudah marah-marah.   | 
  
    | 
    
     “Kenapa sih mesti 
    menggunakan rudal? Apa tidak sayang membuang-buang rudal yang mahal itu? Apa 
    tidak bisa menjeratnya dengan jala? Menebasnya dengan golok? Atau 
    menyiramnya dengan bensin?” ujarnya di televisi. 
    Namun sementara terjadi 
    polemik, mayat-mayat hidup terus nongol di mana-mana. Para petugas ingin 
    membereskan dengan cepat. Untuk itu, rudal memang paling tepat. 
    Tapi baru beberapa hari 
    saja sudah begini banyak. Bagaimana kalau rudal kita habis? Pikir Reserse 
    Sarman. Otaknya berputar. Amerika Serikat baru kapok menjual rudal. Beli 
    dari Israel sama dengan berkhianat. Harus ada cara lain. Kita tidak tahu, 
    berapa lagi mayat hidup akan meneror. Dari mana sih datangnya mayat-mayat 
    busuk ini? Reserse Sarman betul-betul penasaran. Ia meraih HT-nya. 
    “Periksa kuburan-kuburan 
    di segenap penjuru tanah air. Laporkan kuburan siapa saja yang jebol!” 
    Reserse Sarman memerintah.   | 
  
    | 
    
     Saat itu juga kiriman 
    rudal tiba. Para petugas membopongnya dengan hati-hati. Zombi itu telah 
    tegak di atap sebuah mobil. Grhhh! Grhhh! Reserse Sarman 
    memperhatikan wajahnya yang setengah mencair. Rasa-rasanya sudah pernah 
    ketemu. Siapa ya? Grhhh! Grhhh! Ulat-ulat berjatuhan dari mulutnya. 
    Dan seperti biasa, ber-kruget-kruget menjijikkan. Berkembang biak 
    dengan cepat. Merambati jendela-jendela mobil, sehingga para wanita cantik 
    yang tidak sempat lari menjerit-jerit seperti orang gila. Zombi itu kini 
    lebih buas. 
    “Tembak cepat!” teriak 
    Reserse Sarman. 
    “Oke Bos!” Dan rudal TOW 
    melesat cepat. Blgggrrr! 
      
    Ibu kota seperti terlanda 
    perang. Reruntuhan puing merata di mana-mana. Inilah akibat rudal yang 
    diobral. Namun Zombi terus bermunculan. Ulat-ulat merayap seperti wabah. 
    Ulat ber-kruget-kruget di atas meja, kursi, jendela, WC, kamar mandi, 
    kantong baju, sepatu, piring, gelas dan botol-botol. Orang-orang setiap hari 
    sibuk menjetikkan ulat-ulat yang merayap di bajunya, rambutnya, lubang 
    hidungnya, maupun yang bergantungan di kacamatanya.   | 
  
    | 
    
     Zombi makin merajalela. 
    Kehidupan sehari-hari kacau. Mereka kini bukan hanya menyambar benda-benda 
    murahan, tetapi mulai melahap segala jenis makanan. Keberadaaannya adalah 
    teror. Persediaan rudal makin menipis. Maklumlah, negeri ini biasanya 
    tenteram dan damai, subur dan gemah ripah loh jinawi. Busyet. Siapa 
    mimpi harus berperang melawan zombi? 
    HT Reserse Sarman menguik. 
    “Bintara Sarman?” 
    “Siap Pak!” 
    “Cepat ke Jalan Lima! Ada 
    zombi lagi!” 
    “Siap Pak!” 
    Tapi Reserse Sarman tidak 
    beranjak. Diangkatnya kedua kaki ke atas meja di kantor. Kepalanya terkulai. 
    HT-nya terus menguik-nguik. Percakapan berseliweran. 
    Dengan malas diraihnya 
    sejumlah laporan yang masuk.   | 
  
    | 
    
     …para informan di 
    segenap penjuru tanah air melaporkan adanya sejumlah kuburan yang jebol. 
    Peti di dalamnya telah terbuka dan isinya tidak ada lagi. Data-data 
    menunjukkan, kuburan itu memang kuburan kaum penjahat kelas teri. Namun 
    tidak semua kuburan bernama dan bertanda tahun. Hasil penyelidikan sementara 
    juga menunjukkan, sebagian mayat itu datang dari Lubang Besar… 
      
    Reserse Sarman lagi-lagi 
    merasa ingat sesuatu. Belum lagi mendapat jawab, terdengar sebuah ketukan di 
    jendela kaca, yang terletak di belakangnya. Ia menoleh, dan terhentak, zombi! 
    Jantungnya berdegup keras. 
    Wajah buruk itu tiba-tiba sudah ada di jendela. Dalam sekilas, meski wajah 
    itu pun telah mencair, Reserse Sarman mengenalinya. 
    “Ngadul!” Ia berteriak. 
    Namun Ngadul yang telah jadi zombi tidak mengenalinya lagi. Zombi itu 
    merayap masuk. Grhhh! Grhhh! 
    Reserse Sarman melompat ke 
    atas meja, meraih HT. Sekarang ia merasakan menemukan sesuatu. 
    “Komandan! Salah satu 
    zombi adalah Ngadul! Salah satu korban pembantaian misterius di Lubang Besar! 
    Saya bisa mengenalinya Pak! Ia muncul di markas!” 
    “Tembak segera dengan 
    rudal!”   | 
  
    | 
    
     “Maaf Komandan! Itu tidak 
    menyelesaikan masalah!” 
    Zombi itu mendekat dan 
    membalikkan meja Reserse Sarman. Sang Reserse keburu meloncat dan lari ke 
    ruang lain. Zombi terus mengejar. Ulat-ulat merayapi dinding. 
    “Bintara Sarman! Kamu 
    membantah perintah komandan?” 
    “Bukan begitu Pak! Rudal 
    kita tidak akan cukup melenyapkan seluruh zombi!” 
    “Apa maksudmu Bintara 
    Sarman? Zombi itu mengganggu kehidupan!” 
    Zombi menendang pintu 
    sampai jebol. Reserse Sarman meloncati jendela dengan HT-nya. 
    “Apakah Bapak tidak ingat? 
    Bersama Ngadul enam ribu penjahat kelas teri terbantai secara misterius! 
    Masih ingat Pak?” 
    “Masih! Masih! Kenapa?” 
    “Kebanyakan mayatnya 
    terkubur di Lubang Besar Pak Komandan!” 
    “Aku tahu! Lantas kenapa?”   | 
  
    | 
    
     “Ada laporan, banyak di 
    antara mereka sudah tidak aktif lagi Pak! Yang terbantai misterius itu 
    banyak yang sudah insaf Pak! Dan mereka semua tidak disembahyangkan Pak! 
    Waktu itu tidak ada yang berani! Takut ikut terbantai Pak! Habis, waktu itu 
    siapa saja bisa terbunuh secara misterius Pak!” 
    Grhhh! Zombi 
    melompat dari jendela. Reserse Sarman memanjat pagar tembok. 
    “Jadi, apa kesimpulannya 
    Bintara Sarman?” 
    “Pembantaian itu kesalahan 
    besar Pak! Generasi kita kena getahnya! Orang-orang itu tidak rela mati Pak! 
    Mereka membalas dendam!” 
    “Apa yang harus kita 
    lakukan?” 
    “Sembahyangkan mereka Pak! 
    Harus dilakukan penyembahyangan massal Pak! Rudal kita cuma seratus! Tidak 
    cukup untuk membasmi mereka! Sembahyangkan mereka Pak! Supaya rohnya santai!”   | 
  
    | 
    
     “Kamu bermimpi ya Bintara 
    Sarman? Kamu ngelindur! Itu semua omong-kosong! Kita sedang mengimpor rudal 
    dari luar negeri! Kamu dengar itu? Enam ribu rudal sedang dikapalkan ke mari! 
    Mereka akan dibantai!” 
    Zombi menangkap kaki 
    Reserse Sarman yang masih separo di halaman markas. 
    “Tolong! Mereka menangkap 
    saya! Tolong!” Reserse Sarman berteriak ngeri. Zombi mulai mencaplok kaki 
    itu. Jeritan Reserse Sarman melejit ke langit. HT-nya jatuh masuk selokan. 
    Di berbagai sudut kota 
    zombi bermunculan, makin banyak dan makin cepat, dan makin ganas. Mereka 
    merayat seperti ulat. Memenuhi jalanan, menyeruduk di supermarket dan 
    memasuki kampus-kampus. Mereka gentayangan di segala pelosok. Memanjati 
    gedung-gedung bertingkat dan berteriak-teriak dengan serak. Grhhh! 
    Grhhh! Dhendham! Dhendham! Mereka bersuara berbarengan seperti kor dari 
    neraka. Grhhh! Grhhh! Dhendham khesumath! Dhendham khesumath! Grhhh! 
    Di sela-sela paduan suara 
    kengerian yang membuat seluruh kota gemetar ketakutan itu, terdengar 
    lengkingan Reserse Sarman yang menyayat, “Tolongngngngng! Pak 
    Komandaaaaaaann! Tolongngngngngngngngng!!!!”   
      
    Jakarta - Yogya, 
    Desember 1986 |