(click title to go directly to the article. Note:
this function may NOT work on Netscape browser)
1. Memisahkan Pemilu Daerah dari Pemilu
Nasional oleh Anies Rasyid Baswedan
2. Memperbaiki Kualitas Demokrasi Lokal
oleh Anas Urbaningrum
3. Belum Saatnya Memisahkan Pemilu oleh A.M.
Saefuddin
4. Politisi Daerah Masih Bergantung
Pusat oleh Jeffrie Geovanie
5. Butuh Sistem Yang Mendukung
oleh Muhammad Asfar
6. Pemisahan Pemilu, Seberapa Signifikan?
oleh A. Eby Hara
7. Tanggapan Balik oleh Anies
Rasyid Baswedan
|
Kata Pengantar dari Redaksi Jawa Pos (Putaran Pertama: 14 - 22
Januari 2003)
Otonomi daerah tak hanya menuntut desentralisasi kekuasaan politik.
Seharusnya hal itu diikuti oleh pemisahan pemilu daerah dari pemilu nasional. Bagaimana
nalar dan argumentasinya? Jawa Pos menurunkan polemik tentang masalah tersebut. Anies
Rasyid Baswedan, kandidat doktor ilmu politik dari Northern Illinois University, AS, akan
melontarkan gagasannya. Putaran pertama akan ditanggapi Anas Urbaningrum (KPU), Dr A.M.
Saefuddin (PPP), Jeffrie Giovanie (PAN), Dr A. Eby Hara (FISIP Unej), dan Muhammad Asfar
(FISIP Unair).
|
|
|
Selasa, 14 Jan 2003, Memisahkan Pemilu Daerah dari Pemilu Nasional
(Bagian 1)
Menghindari Otonomi yang Semu
Oleh Anies Rasyid Baswedan
DESENTRALISASI yang diatur melalui UU No 22
dan 25/1999 mengatur devolusi, dekonsentrasi, dan desentralisasi fiskal. Ketiga aspek ini
saling melengkapi. Devolusi (aspek politik) harus ditopang desentralisasi kapasitas
administrasi (aspek administrasi) dan kapasitas fiskal (aspek keuangan) agar bisa berjalan
baik.
Tulisan ini memfokuskan lebih jauh pada aspek politik desentralisasi dan mengajukan
argumentasi bahwa aspek politik atas program otonomi daerah yang sedang digalakkan
memiliki ketimpangan institusional. Desentralisasi yang sedang digalakkan sekarang ini
merupakan respons logis terhadap pemerintahan Orde Baru yang sarat dengan unsur
sentralistik.
Masalahnya, sentralistiknya aspek politik Orde Baru itu bukan hanya dalam sistem
pemerintahan. Tetapi, menyangkut sistem pemilu, sistem kepartaian, dan agenda-agenda lokal
juga hampir selalu tertutupi oleh masalah dan agenda politik nasional.
Karena itu, bila desentralisasi aspek politik tidak menyentuh masalah sistem pemilu dan
sistem kepartaian, akan terjadi ketimpangan yang fatal: kekuasaan politik didevolusikan.
Artinya, politisi daerah sekarang berwenang membuat kebijakan di daerahnya, sementara
agenda dan masalah nasional masih mendominasi perpolitikan di daerah karena partai politik
dan sistem pemilu masih sentralistik.
Ketimpangan itu bisa menghasilkan otonomi daerah yang semu. Disebut semu karena politisi
daerah secara resmi memiliki kekuasaan. Tetapi, dalam praktiknya, tetap pusatlah yang
sebetulnya menentukan kebijakan melalui mekanisme internal partainya serta agenda dan
aspirasi lokal masih tetap terkesampingkan.
Contoh paling sederhana adalah pemilihan gubernur dan bupati/wali kota di berbagai daerah.
Pimpinan pusat partai tetap jadi penentu calon, sedangkan politisi di daerah hanya bisa
mengusulkan dan jadi juru setuju.
Tantangannya sekarang adalah bagaimana membuat politisi di daerah dapat (1) eksis dengan
berbasiskan politik daerah dan mandiri di hadapan pimpinan nasional partai dalam urusan
politik di daerahnya? Dan, (2) yang lebih penting adalah bagaimana membuat politisi daerah
responsif terhadap aspirasi di daerahnya?
Sistem Pemilu Plurality
Jawaban standar yang selama ini diberikan terhadap tantangan di atas adalah memodifikasi
electoral system. Sistem pemilu memang berperan menstrukturkan hubungan antara pemilih dan
politisi. Struktur hubungan inilah yang akan menentukan tingkat responsivitas politisi
terhadap aspirasi rakyat.
Selama ini, diskusi tentang modifikasi itu terfokus pada masalah pemilihan sistem pemilu.
Akibatnya, perdebatan electoral reform itu terfokus pada pencarian salah satu sistem
-plurality systems atau proportional systems atau kombinasinya- yang cocok dengan realitas
sosial-politik di Indonesia.
Perdebatan sistem pemilu itu sangat relevan. Tetapi, apa pun politik sistemnya belum tentu
bisa membuat politisi lokal independen dan responsif terhadap aspirasi lokal.
Mengapa? Salah satu faktor penghambatnya adalah mengakarkuatnya loyalitas partai dan sifat
partai yang sentralistik di Indonesia. Di satu sisi, loyalitas yang tinggi memang membuat
basis partai menjadi kuat. Di sisi lain, tingginya loyalitas rakyat pendukung ini membuat
politisi daerah bisa menjadi ignorance terhadap aspirasi rakyat di daerahnya.
Sementara itu, partai yang sentralistik membuat politisi daerah bergantung pada pimpinan
partai di ibu kota. Dengan adanya kenyataan tersebut, meskipun sistemnya plurality dengan
open-list, tanpa adanya arena politik daerah yang mandiri, output politik di daerah belum
tentu mencerminkan agenda dan aspirasi di daerah tersebut.
Pemisahan Jadwal Pemilu
Melihat problematika itu, tulisan ini mengusulkan terobosan baru untuk menjawab pertanyaan
di atas. Tulisan ini berargumen bahwa fenomena itu -dependensi politisi daerah pada
politisi nasional dan marjinalisasi agenda-agenda daerah- bersumber pada tercampuraduknya
politik daerah dengan politik nasional.
Karena itu, terlepas dari electoral system yang nanti dipilih, politisi daerah akan
menjadi mandiri dan aspirasi daerah akan teradopsi bila politik daerah dipisahkan dari
politik nasional. Dan, pemisahan tersebut dicapai melalui pembedaan jadwal pelaksanaan
pemilu nasional dan pemilu daerah (non-concurrence elections).
Pemisahan pemilu itu, misalnya, pemilu nasional dan provinsi untuk memilih anggota DPR,
DPD, presiden, dan DPRD provinsi (serta gubernur bila dipilih langsung) dilaksanakan pada
2004. Sementara itu, pemilu daerah untuk memilih anggota DPRD kabupaten/kota madya (dan
bupati/wali kota bila dipilih langsung) dilaksanakan pada 2006.
Pemilu provinsi sebaiknya tetap dilaksanakan bersamaan dengan pemilu nasional. Sebab,
berdasarkan UU Otonomi Daerah, sifat provinsi dekonsentrasi pemerintah pusat. Dengan
pemisahan ini, meskipun belum berubah, durasi kerjanya memiliki awal siklus yang berbeda.
Sebagai ilustrasi atas efek pemisahan jadwal pemilu daerah dan nasional adalah kasus di
Filipina. Semula pelaksanaan pemilu daerah dan pemilu nasional di Filipina dipisahkan.
Lalu, terjadi perubahan konstitusi, yakni pelaksanaan pemilu daerah dijadikan satu dengan
pemilu nasional.
Efeknya, (1) aspirasi daerah yang semula tertampung dalam institusi politik daerah menjadi
tererosi dan (2) politisi daerah yang sebelumnya independen berubah menjadi bergantung
pada politisi nasional (Rocamora, 1998).
Pemisahan tersebut memang memiliki berbagai konsekuensi. Pada satu sisi, pemisahan itu
bisa meningkatkan instabilitas politik karena pemilu yang biasanya dilakukan cuma sekali
berubah menjadi dua kali setiap lima tahun. Artinya, masa-masa ketidakpastian menjadi
bertambah. Apalagi, aroma politik kekerasan -terutama kampanye- masih kuat dan subur.
(Bersambung)
|
|
Rabu, 15 Jan 2003, Memisahkan Pemilu Daerah dari Pemilu Nasional
(Bagian 2 - Habis)
Memaksa Responsif terhadap Isu Lokal
Oleh Anies Rasyid Baswedan *
Pada sisi lain, pemisahan tersebut
memberikan sekurang-kurangnya tujuh potensi manfaat. Pertama, melalui pemisahan pemilu
itu, rakyat pemilih bisa membedakan dengan jelas antara politik daerah dan politik
nasional. Dan, pemisahan jadwal pemilu tersebut membuat pemilu di daerah lebih independen
dari pengaruh politik Jakarta.
Kemandirian itu akan membuat isu Jakarta sentris tidak layak jual di tingkat daerah. Efek
terpenting dari fenomena tersebut adalah agenda daerah menjadi primadona dalam politik
daerah. Hal itu merupakan langkah yang maju dan berpotensi menyukseskan program otonomi
daerah.
Kedua, politisi daerah akan kesulitan untuk sekadar membonceng nama politisi nasional.
Dan, politisi "dipaksa" responsif terhadap isu daerah bila ingin survive dalam
politik daerah. Dalam pemilu yang diselenggarakan bersamaan dengan pemilu nasional,
politisi daerah cenderung mengangkat isu nasional dan membonceng nama besar politisi
nasional.
Ketiga, implikasi institusional dari perubahan itu adalah partai politik dipaksa serius
membangun organisasi dan agenda politiknya di tingkat daerah. Agar bisa memperjuangkan
agenda lokal, partai politik terpaksa terus-menerus memantau persoalan di daerahnya dan
tidak bisa lagi sekadar menonjol ketika menjelang kampanye serta pelaksanaan pemilu.
Keempat, terangkatnya isu daerah dalam arena politik tersebut merangsang rakyat agar
menyadari hubungan antara masalah keseharian dan proses politik. Misalnya, hubungan antara
masalah perizinan dan peraturan daerah. Kesadaran rakyat pemilih tentang hubungan antara
proses politik dan isu keseharian tersebut bisa menjadi terobosan yang mencerdaskan
politik Indonesia. Mengapa?
Sebuah studi tentang perilaku pemilih yang dilakukan Dwight King menunjukkan, hasil Pemilu
1955 dan 1999 memiliki kesamaan polarisasi pemilih (King, 2000). Artinya, waktu telah
berjalan 40 tahun lebih. Tapi, afiliasi partai dari rakyat pemilih tidak berubah. Sebab,
kuatnya politik aliran di Indonesia telah membuat rakyat pemilih cenderung tak peduli
terhadap kinerja politisinya.
Kelima, kesadaran korelasi antara proses politik dan isu keseharian tersebut akan membuat
perseteruan ideologis yang abstrak dan harus diterjemahkan menjadi kompetisi idelogis yang
praktis. Apalagi, bila masalah-masalah yang dihadapinya bersifat lokal, praktis, dan
jelas-jelas menyangkut hajat hidup masyarakat lokal. Sehingga, meski ideologi/aliran tetap
bisa eksis, penerjemahan praktis ideologi itu -agar relevan dengan isu keseharian rakyat-
menjadi lebih penting.
Keenam, kompetisi ideologis yang praktis tersebut pada gilirannya akan membuat proses
politik menjadi transaksional. Artinya, rakyat pemilih tidak hanya memberikan suara
dukungan pada politisi, tapi juga menuntut imbalan dalam bentuk kepedulian politisi
terhadap kepentingan dan aspirasi rakyat pemilihnya.
Ketujuh, dengan proses politik yang transaksional tersebut, kepentingan dan hajat hidup
rakyat di tingkat daerah akan diperhatikan. Sebab, politisi sadar bahwa dalam proses yang
transaksional, rakyat tidak sekadar menjadi juru dukung yang akan selalu memberikan
dukungan. Tapi, rakyat bisa "menghukum" politisi/partai politik dengan memilih
politisi/partai politik lain.
Penutup
Sekarang, dengan dilaksanakannya program otonomi daerah, tantangan demokratisasi di
tingkat daerah menjadi makin besar. Pemisahan jadwal pemilu itu terlihat makin penting
untuk dimasukkan dalam RUU Pemilu yang sekarang sedang dibahas di DPR. Sebab, pemisahan
jadwal tersebut bisa membebaskan politisi dan agenda daerah dari dominasi politisi serta
agenda nasional.
Pemisahan itu merupakan sebuah bentuk rekayasa institusional yang memaksa politisi lokal
agar memfoskuskan agenda lokal dan responsif terhadap aspirasi lokal.
Dengan cara tersebut, aspek politik dari program otonomi daerah itu menjadi seimbang.
Keseimbangan tercipta karena di satu sisi terjadi desentralisasi otoritas dari pusat ke
daerah. Di sisi lain, politisi daerah mandiri dalam menjalankan kebijakannya dan tidak
lagi bergantung pada politisi nasional.
Dengan demikian, program otonomi daerah benar-benar berpeluang membangun demokrasi lokal
yang berorientasi pada penguatan dan pengembangan masyarakat lokal. Dan, melalui jalan
ini, demokrasi yang dihasilkan merupakan demokrasi yang bisa senyatanya responsif terhadap
kepentingan serta aspirasi rakyat, terutama rakyat di daerah-daerah. |
|
|
|
|
Jawa
Pos: Kamis, 16 Jan 2003 dan Jumat, 17 Jan 2003 (Tanggapan)
Memperbaiki Kualitas Demokratisasi Lokal (bagian I)
Oleh Anas Urbaningrum *
Usul pemisahan penyelenggaraan pemilu
menjadi pemilu nasional dan pemilu lokal (daerah) adalah ide yang menarik. Di atas kertas,
pemisahan jadwal seperti ini mengandung harapan serius untuk memperbaiki kualitas
demokrasi di tingkat lokal.
Karena itu, tujuh manfaat yang diintroduksi oleh Anies Rasyid Baswedan -meskipun terkesan
terlalu optimistis- mencerminkan harapan tersebut. Yakni memberikan substansiasi terhadap
proyek besar demokratisasi teritorial alias otonomi daerah.
Berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu, memang sejatinya jadwal pemilu yang selalu
bersamaan dalam memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kota/kabupaten adalah hal
yang kurang memberikan kontribusi bagi proses penyehatan politik lokal. Pemilihan anggota
DPRD ditelan oleh gemuruhnya gelombang politik nasional atau pemilihan anggota DPR.
Memang parpol peserta pemilu mengajukan daftar calon anggota legislatif untuk DPRD. Para
tokoh partai lokal dan caleg lokal juga aktif berkampanye. Tetapi, mereka tidak mampu
memberikan warna lokal terhadap penyelenggaraan pemilu.
Hasil evaluasi Pemilu 1999 di Lampung, kerja sama KPU dengan FISIP Unila, misalnya, secara
kuantitatif menunjukkan bahwa perbedaan pilihan antara DPR dan DPRD I hanya 0,038 persen,
perbedaan pilihan antara DPRD I dan DPRD II hanya 0,036 persen, dan perbedaan pilihan
antara DPR dan DPRD II hanya 0,05 persen. Jadi, perbedaan pilihan antara DPR, DPRD I, dan
DPRD II kurang dari satu perseribu suara. Perbedaan yang sangat tidak signifikan. Hal yang
sama ditunjukkan oleh riset Kevin Evans, yang tingkat perbedaan secara nasional juga di
bawah satu perseribu.
Dimensi lain, misalnya, terlihat pada banyaknya suara yang diberikan pada "kotak
kosong". Karena secara nasional partai peserta pemilu berjumlah 48, di DPRD I dan
DPRD II suara juga terdistribusi pada 48 partai politik peserta pemilu tersebut meskipun
partai yang bersangkutan tidak mempunyai calon di daerah pemilihan yang bersangkutan.
Hasil riset yang sama menunjukkan, ada banyak partai politik peserta pemilu di Lampung
yang mendapatkan suara untuk DPRD II meskipun partai yang bersangkutan tidak mengajukan
calon anggota legislatif. Beberapa yang perolehan kotak kosongnya besar, yakni di atas 40
persen, adalah PPI, Partai Masyumi Baru, Murba, PBN, PID, IPKI, PADI, Partai KAMI, dan
PUMI.
Maknanya, pemilih menentukan pilihan terhadap parpol peserta pemilu dengan persepsi
politik yang hampir mendekati tunggal. Daftar calon anggota legislatif, terutama di
tingkat lokal, tidak menjadi bahan pertimbangan. Yang ditimbang hanyalah identitas partai
dan (mungkin) identitas tokoh-tokoh nasional dari partai yang bersangkutan.
Arti teknisnya adalah penyediaan tiga kartu suara untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kota/kabupaten menjadi mubazir karena tidak ada perbedaan yang berarti. Sama saja dengan
disediakan satu kartu suara untuk semua tingkatan pemilihan. Tetapi, karena secara formal
pemilihan diselenggarakan untuk tiga tingkatan parlemen, kartu suara juga disediakan dalam
tiga jenis.
Karena itu, agar pemilihan anggota DPRD tidak tertelan arus pemilihan anggota DPR sehingga
warna lokal mendapatkan tempat di dalam proses pelaksanaan pemilu, sebaiknya
dipertimbangkan pemisahan jadwal pemilu nasional dan pemilu lokal. Idealnya, pemisahan
jadwal dilakukan untuk ketiga tingkatan parlemen tersebut. Pemilu untuk anggota DPR
dilaksanakan terpisah waktu dengan DPRD. Sebab, jika DPR dan DPRD dilaksanakan bersamaan,
dipastikan warna provinsi dan kota/kabupaten tak akan mendapatkan tempat.
Pemisahan jadwal pemilu juga sebaiknya dilakukan antara pemilu untuk memilih anggota
legislatif dan pemilu untuk memilih pimpinan eksekutif, seperti presiden dan wakil
presiden atau jika kelak gubernur dan bupati/wali kota juga dipilih secara langsung.
Pemisahan antara pemilu legislatif dan eksekutif semakin relevan dipisahkan waktunya jika
sistem pemilu untuk memilih anggota legislatif masih konsisten dengan konservatisme
politik. Yakni semata-mata memilih tanda gambar partai. Sebab, logika memilih partai
semata-mata jelas berbeda dengan memilih orang atau pasangan orang secara langsung
meskipun yang mencalonkannya partai politik atau gabungan partai politik.
Menyamakan waktu pemilu antara legislatif dan eksekutif dengan model seperti itu hanya
akan memunculkan kekaburan orientasi pilihan politik rakyat, antara kepada partai dan
kepada calon atau pasangan calon. Pemisahan jadwal justru akan bermanfaat besar bagi
rakyat untuk menentukan pilihan secara jernih dan pasti dengan nalar politik dan
kalkulasinya sendiri-sendiri. Kesempatan rakyat untuk memilih secara benar akan lebih
terjamin dengan pemisahan jadwal waktu penyelenggaraan pemilu tersebut.
Namun, faktor lain yang juga penting untuk mendorong makna lokal dalam proses pelaksanaan
pemilu adalah sistem pemilu. Dimensi inilah yang seharusnya mendapatkan perhatian jika
ingin otonomi daerah mendapatkan jiwa politik lokalnya dengan benar. Sistem pemilu
berpengaruh besar terhadap kecenderungan partai yang sentralistik atau desentralistik.
Sistem pemilu proporsional (multi-member constituencies) secara genetik memberikan
fasilitas kepada parpol untuk melakukan manajemen secara sentralistik. Di dalam sistem
seperti ini, pimpinan pusat partai menjadi pihak yang mendominasi pengambilan keputusan
politik internal partai. Semakin ke bawah, kewenangan tingkatan kepengurusan cenderung
semakin kecil. Apalagi jika sistem pemilu demikian diterapkan pada masyarakat yang secara
kultural cenderung paternalistik.
Tentu kecenderungan sentralistiknya semakin disempurnakan oleh sikap dan perilaku elite
politik yang bersumber pada tradisi kulturalnya tersebut. Akibatnya adalah tersedotnya
kader-kader potensial dari daerah-daerah ke pusat untuk mengejar posisi sentral di dalam
kepemimpinan partai. Sebab, semakin tinggi jenjang di dalam kepengurusan partai berarti
semakin terbuka kesempatan untuk meniti karir politik. Sudah bukan rahasia, posisi
seseorang di dalam kepengurusan pusat partai akan lebih menjamin masa depan ketimbang
hanya menjadi pengurus partai di tingkat regional atau lokal, kecuali kasus yang bersifat
khusus. (bersambung)
*. Anas Urbaningrum, anggota Komisi Pemilihan Umum
(KPU). Tulisan ini tidak mencerminkan pandangan KPU. |
|
Bergantung Persepsi Partai Politik (bagian 2-habis)
Oleh Anas Urbaningrum *
Lain
halnya jika sistem pemilu lebih memberikan bobot kepada orang (tokoh), seperti yang
terjadi di dalam sistem distrik atau sistem proporsional dengan daftar calon terbuka yang
juga memberikan ruang pembobotan kepada dimensi ketokohan pribadi. Dalam sistem pemilu
seperti ini, kecenderungan desentralistik akan lebih terjamin. Sebab, partai lebih
memainkan peran-peran administratif meskipun otoritas politik juga tidak hilang sama
sekali.
Karena itu, tingkatan kepengurusan partai tidak menjamin apa pun terhadap masa depan
politik seseorang. Yang menjamin masa depan politik seseorang ialah daya jualnya pada
rakyat di distrik (daerah pemilihan). Dengan demikian, pemberian makna dan pembobotan yang
lebih otentik kepada proyek otonomi daerah sesungguhnya akan lebih berjalan lancar jika
pilihan sistem pemilu lebih pada sistem yang cenderung akomodatif terhadap manajemen
desentralistik, yakni sistem distrik atau setidaknya sistem proporsional dengan daftar
calon terbuka.
Dengan sistem pemilu demikian, partai politik juga akan terpaksa mengembangkan warna lokal
sebagai salah satu jalan untuk mendekatkan diri kepada rakyat. Contohnya adalah penentuan
calon. Dalam sistem distrik, penentuan calon ditentukan lewat pemilihan pendahuluan, yakni
calon dari partai tertentu untuk bertarung pada distrik pemilihan tertentu ditentukan
anggota partai di distrik yang bersangkutan.
Jadi, sejak pencalonan, anggota partai pada masing-masing distrik pemilihan sudah
diposisikan sebagai penentu. Calon bukan dikirim dari atas secara top down. Dengan
demikian, sejak pencalonan, prosesnya sudah desentralistik dan bahkan kata putus berada
pada para anggota partai. Hal ini juga sejalan dengan prinsip demokrasi internal partai,
yakni kedaulatan partai ada di tangan anggota, bukan di tangan pengurus yang cenderung
oligarkis.
Bagaimana Pemilu 2004?
Pemisahan jadwal pemilu sudah pernah dipraktikkan pada 1955 meskipun bukan pada konteks
tingkatan pemilihan. Saat itu, terjadi pemisahan jadwal pemilu untuk anggota DPR dan
anggota Konstituante. Pemilu untuk anggota DPR yang memilih 260 kursi dilaksanakan pada 29
September 1955, sedangkan pemilu untuk anggota Konstituante yang memperebutkan 520 kursi
pada 15 Desember 1955.
Kedua pemilu yang dilaksanakan hanya dengan perbedaan waktu 2,5 bulan itu ternyata
menghasilkan pergeseran suara meskipun tidak terlalu signifikan. Sebagai gambaran adalah
empat besar pemilu DPR: PNI (22,32 persen dengan 57 kursi), Masyumi (20,92 persen dengan
57 kursi), NU (18,41 persen dengan 45 kursi), dan PKI (16,36 persen dengan 39 kursi).
Perolehan suara berubah untuk pemilu anggota Konstituante, yakni PNI (23,97 persen dengan
119 kursi), Masyumi (20,59 persen dengan 112 kursi), NU (18,47 persen dengan 91 kursi),
dan PKI (16,47 persen dengan 80 kursi).
Atas dasar pengalaman tersebut, sejatinya menyelenggarakan pemilu dengan jadwal yang
dipisah antara pemilu nasional dan pemilu lokal, pemilu DPR dengan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), dan legislatif dengan eksekutif adalah hal yang patut mendapatkan pertimbangan
serius lantaran manfaatnya yang lebih menjanjikan. Tetapi, bagaimana Pemilu 2004? Apakah,
misalnya, dilaksanakan dengan pola sebagaimana diusulkan oleh Anies Baswedan?
Dalam hal ini, Pemilu 2004 dilakukan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD I, presiden, dan
wakil presiden, serta gubernur jika sudah dipilih langsung. Sementara itu, DPRD II dan
bupati/wali kota dipilih pada 2006.
Hemat saya, pola tersebut mengandung risiko. Pertama, mengaburkan pola pilihan politik
rakyat karena eksekutif dan legislatif dipilih secara bersamaan. Bukankah juga harus
diberikan ruang koreksi antara pilihan kepada anggota legislatif dan kepada pejabat
eksekutif?
Kedua, jika pemilu untuk DPRD II dilaksanakan 2006, konsekuensinya, akan terjadi
perpanjangan jabatan selama dua tahun. Pertanyaan yang sukar dijawab ialah apa dasar
legitimasi perpanjangan itu? Bagaimana kasus anomali lokal yang justru banyak disebabkan
perilaku (sebagian) anggota DPRD II? Memperpanjang jabatan berarti kian banyak memproduksi
anomali yang jelas-jelas tidak produktif.
Meskipun kurang sempurna, agaknya pola pemisahan jadwal yang lebih realistis dan risikonya
tidak terlalu besar adalah sebagai berikut. Pemilu tetap dilaksanakan 2004, tetapi dengan
pemisahan waktu sebagaimana terjadi pada Pemilu 1955 sehingga tidak ada pejabat publik
yang diperpanjang masa jabatannya.
Pemilu untuk anggota DPRD I dan DPRD II dilaksanakan pada awal Maret 2004 untuk masa
jabatan masing-masing 2,5 tahun dan tiga tahun. Dengan demikian, pemilu untuk DPRD I yang
akan datang berlangsung pada September 2006, sedangkan pemilu untuk anggota DPRD II pada
Maret 2007. Inilah pemilu "tidak normal" dalam hal masa jabatan untuk kali
pertama dan terakhir karena pada putaran berikutnya dilaksanakan untuk masa jabatan yang
normal. Jika dilaksanakan awal Maret, pada akhir April 2004 sudah akan tuntas hasilnya.
Khusus pemilu untuk DPRD I dan DPRD II yang disamakan waktunya itu memang kurang ideal.
Sebab, kecenderungan dominasi warna provinsi masih tetap terbuka meskipun tidak terlalu
pekat sebagaimana pengaruh warna nasional. Meski demikian, mengingat jadwal 2004 yang
hanya 12 bulan, sementara persiapan yang dibutuhkan sejak pengesahan UU Pemilu (sekarang
sedang dibahas) cukup panjang, terpaksa jadwalnya disatukan. Tetapi, pemilu lokal
berikutnya sudah dipisahkan dengan jarak enam bulan.
Pemilu untuk anggota DPR dan DPD dilaksanakan pada awal Mei 2004. Inilah pemilu nasional
untuk memilih anggota parlemen (mewakili penduduk dan mewakili daerah) yang akan mengisi
institusi MPR baru hasil amandemen konstitusi. Hasilnya diharapkan tuntas pada akhir Juni
2004.
Pemilu untuk presiden dan wakil presiden putaran pertama dilaksanakan pada akhir Juli
2004. Inilah pemilu untuk memilih pejabat eksekutif tertinggi, yang meskipun calonnya
harus didukung partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu, calon nonpartai
masih berkesempatan asalkan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik
peserta pemilu. Hasilnya diharapkan tuntas pada pertengahan Agustus 2004.
Sementara itu, pemilu untuk presiden dan wakil presiden putaran kedua (jika ternyata
dibutuhkan) dilaksanakan pada pertengahan September 2004 dan diharapkan selesai
pertengahan Oktober 2004. Dengan demikian, jadwal konstitusional bahwa 20 Oktober 2004
Indonesia harus mempunyai presiden dan wakil presiden baru -baik juara bertahan atau juara
baru- akan terpenuhi.
Namun, karena tekanan waktu, yakni jadwal yang amat ketat, syarat utama yang dibutuhkan
adalah fasilitasi pemerintah dengan dukungan finansial yang memadai serta kondisi keamanan
dan ketertiban publik yang kondusif. Demikian pula komitmen partai-partai politik untuk
berpartisipasi secara konstruktif terhadap seluruh proses penyelenggaraan pemilihan umum.
Di atas segalanya, berbagai usul dan pertimbangan hanyalah bahan masukan bagi DPR dan
pemerintah dalam membahas RUU Pemilu dan RUU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Lantaran hal legislasi berada di tangan DPR dan pemerintah yang secara de facto adalah
partai-partai politik (besar), sejatinya masa depan usul pemisahan jadwal pemilu sangat
bergantung pada persepsi partai-partai politik terhadap ihwal tersebut.
* Anas
Urbaningrum, anggota KPU. Tulisan ini bukan pandangan KPU. |
|
|
|
|
Jawa
Pos: Sabtu, 18 Jan 2003, Tanggapan
Belum Saatnya Memisahkan Pemilu
Oleh A.M. Saefuddin *
Ada beberapa catatan yang perlu digarisbawahi setelah membaca artikel Anies Rasyid
Baswedan yang dimuat Jawa Pos pada 14 Januari 2003 yang berjudul Memisahkan Pemilu Daerah
dari Pemilu Nasional.
Dalam paparannya yang singkat-padat itu, kandidat doktor Universitas Nothern Illinois
tersebut menggambarkan tujuh, bahkan delapan, manfaat jika pemilu daerah dan pemilu
nasional dipisahkan. Dari nilai kemanfaatan itu, tidak berlebihan jika DPR yang kini
sedang merumuskan UU Pemilu perlu mencerna pemikiran Anies.
Namun, saya pribadi mempunyai catatan. Selain mengingatkan agar Anies tak kecewa jika DPR
tak mengadopsi pemikirannya, teman-teman saya di parlemen mau memandang jernih pemikiran
Anies tersebut.
Secara simplistis, dia melakukan lompatan logika penyederhanaan, yakni konsekuensi logis
pemisahan dalam bentuk sejumlah konflik vertikal-horizontal dinilai tak akan menelan waktu
panjang karena mudah diselesaikan. Kualitas konfliknya dinilai tidak serius dan terkesan
temporal.
Dari cara pandang itu, emosi intelektual Anies terbangkit untuk memaparkan sejumlah
manfaat panjang-lebar dibandingkan memaparkan tingkat risiko politik dan keamanan jika
dalam waktu dekat ini -misalnya, 2006 seperti yang diusulkan Anies- pemilu daerah yang
dipisahkan dari pemilu nasional dipaksakan.
Kita bisa memahami cara berpikir akademis Anies. Selain berlandasan teoretis, pemikiran
itu juga diperkuat catatan empiris. Di antaranya, Filipina yang dijadikan sampel Anies. Di
mata dia, melalui perbaikan sistem pemilu, diharapkan akan terwujud kemanfaatan riil dalam
perwujudan agenda dan komitmen kuat yang bernama otonomi daerah. Dalam hal ini, Anies
terpukau oleh garis teoretis dan empiris pemilu daerah yang harus dipisahkan dari pemilu
nasional. Sementara itu, ada problem lebih mendasar daripada sosok sistem pemilu tersebut.
Jika kita mengamati sejumlah variabel konflik yang masih resistan hingga sekarang,
barangkali banyak pihak yang sependapat bahwa krisis sekarang merupakan konsekuensi dari
krisis kepemimpinan, terutama moralitas dan integritasnya. Jika kita mengurai pribadi
pemimpin kita seperti Soeharto, Gus Dur, dan Megawati, faktor-faktor determinan yang
berpengaruh terhadap tingkat konflik adalah amoralitas dan integritasnya. Mereka rakus
kekuasaan dan duit yang dicapai tidak pada rel hukum. Sebab, sang penguasa merasa bisa dan
halal melakukan apa saja, termasuk merampas uang negara/rakyat.
Fakta mencatat bahwa perangai kekuasaan mereka menderivasi ke para pemimpin di level-level
bawahnya, baik di struktur pemerintahan, di parlemen, bahkan di institusi lainnya.
Derivasi perilaku itu jelas sulit diberantas. Sebab, penindakannya bakal menjadi bumerang.
Setidaknya, para pemimpin puncak itu menganggap hal biasa saat mereka melihat aroma
penyimpangan kekuasaan di sektor politik, ekonomi, sosial, atau lainnya.
Andai terjadi upaya penindakan atas penyimpangan yang ada, misalnya melalui forum politik
di parlemen, hal tersebut dinilai sebagai upaya penggoyangan kekuasaan. Dengan cara
pandang itu, pihak tertentu yang merasa terancam kepentingan kekuasaannya -biasanya-
langsung melakukan perhitungan balik. Terjadilah manuver politik yang bernuansa rekayasa
tanpa mempedulikan akibatnya bagi kepentingan publik.
Yang bisa kita garis bawahi, pertarungan politik antarelite dan kubunya, sekaligus
mempertahankan kepentingannya, akhirnya membangun kondisi persekongkolan politik, yakni
sama-sama selamat kepentingannya, meski sangat merugikan kepentingan publik.
Sekali lagi, persekongkolan politik antarelite - terutama partai besar itu - membuahkan
perilaku inggih mawon bagi pemimpin di level bawahnya. Mencermati perilaku
duplikatif-eksploitatif tersebut, masyarakat -secara langsung atau tidak- dihadapkan pada
kesulitan mencari patron yang bersih yang bisa dijadikan suri teladan.
Yang dominan adalah warna atau corak pemimpin di berbagai lini yang buruk. Dengan tak
disadari bahwa corak budaya kita merupakan paternalistis -padahal yang di atas terdominasi
perilaku buruk-, corak masyarakat kita juga ikut terderivasi perilaku buruk, meski tidak
semuanya.
Sulit dipungkiri, krisis moral yang melanda para pemimpin kita merupakan pokok persoalan
bagi kultur masyarakat kita yang bersifat paternalistis tersebut. Karena itu, sebuah
urgensi kuat yang harus kita lakukan adalah mencari pemimpin yang sidik (jujur) dan
amanah. Potret karakter itu -insya Allah- diharapkan bisa mengontrol indikasi atau gejala
penyimpangan dalam segala bentuk.
Kontrol yang lahir dari dalam atau diri sendiri tersebut -sekali lagi dalam lingkungan
budaya paternalistis- akan dijadikan suri teladan bagi pemimpin di bawahnya. Jika yang di
atas mempercontohkan perilaku kekuasaan yang antieksploitatif dan senantiasa menunjukkan
responsibilitasnya terhadap hak masing-masing, selain membangun elemen penting yang
bernama sungkan untuk berbeda dengan atasannya, hal itu -secara teoretis- bisa menghargai
hak-hak, baik pusat maupun daerah.
Akhir kata, tanpa bermaksud mengecilkan pemikiran Anies, saya pribadi melihat bahwa
persoalan krisis pemimpin jauh lebih utama. Karena itu, yang jauh lebih urgen adalah
menciptakan karakter UU Pemilu yang relatif mengadopsi sejumlah karakter, minimal empat
sifat Rasulullah.
Pemisahan pemilu daerah dari pemilu nasional memang penting. Tapi, jika mengingat situasi
nasional yang masih diimpit kesulitan ekonomi, hal tersebut justru bakal mendatangkan
petaka (konflik) yang memperparah krisis negeri ini. Karena itu, saya menilai bahwa belum
saatnya pemikiran Anies diwujudkan, sekalipun cukup penting untuk dimasukkan dalam UU
Pemilu. Bisa jadi, hal tersebut dilaksanakan pasca Pemilu 2009. Hal itu diasumsikan bahwa
periode 2004-2009 masih dalam situasi konflik. Mudah-mudahan, catatan ini bermanfaat.
Wallahualam.
*. Dr A.M. Saefuddin, cendekiawan
muslim dan anggota DPR, kader PPP |
|
|
|
|
Jawa Pos: Senin, 20 Jan 2003, Tanggapan
Politisi Daerah Masih Bergantung Pusat
Oleh Jeffrie Geovanie *
Cukup menarik membaca pemikiran Anies
Rasyid Baswedan di Jawa Pos 14 Januari 2003 yang berjudul Memisahkan Pemilu Daerah dari
Pemilu Nasional. Paparan dia relatif menggambarkan kegeramannya atas gelagat kemandekan
otonomi daerah. Hal tersebut tentu mengakibatkan sejumlah dampak negatif. Di antaranya,
hak-hak daerah -sebagai penduduk atau pemerintahan- relatif terabaikan, setidaknya, jauh
dari proporsional.
Dalam analisisnya, Anies menggarisbawahi bahwa kelambatan realisasi otonomi daerah tak
lepas dari kurang atau minimnya responsibilitas politisi lokal. Sementara itu, politisi
nasional yang diusung oleh masing-masing daerah pun tak mampu memberikan atensi maksimal
kepada daerahnya. Sebab, di hadapan mereka tergelar banyak pekerjaan yang berlingkup
nasional. Realitas tersebut -Anies berusaha menggali lagi- merupakan konsekuensi logis
dari tiadanya pemisahan antara pemilu lokal dan nasional.
Karena itu, pemilu lokal -dalam kerangka mengartikulasikan lebih konkret keinginan kuat
otonomi daerah- menjadi hal yang cukup urgen. Sekarang -sejalan dengan RUU Pemilu yang
sedang dibahas di DPR- merupakan saat yang tepat untuk menggariskan pemilu daerah.
Namun, jika keinginan Anies bahwa pemilu daerah perlu diselenggarakan tak jauh dari pemilu
nasional, misalnya pada 2006, pemikiran itu kurang mencerminkan kondisi objektif
sosiologisnya. Seperti kita ketahui, untuk beberapa partai tertentu, politisi daerah atau
yang berhasil "dipusatkan" (DPR) sangat bergantung pada pengurus parpol pusat.
Meski sebetulnya kedua pihak -politisi pusat dan daerah- sama-sama mempunyai
kebergantungan, kecenderungan objektif menggambarkan bahwa politisi daerah senantiasa
menatap dan "sendika dawuh" pada politisi di pusat yang berbingkai kepentingan
nasional.
Politisi daerah cenderung menjadikan politisi nasional sebagai patron. Sikap patronistis
itu mengiringi sikap tak peduli -minimal menomorsekiankan- manakala politisi nasional
sangat jarang menyentuh kepentingan daerah. Atau, atensinya ke daerah hanya sebatas verbal
politik, tanpa aksi konkret.
Jika kita telusuri lebih jauh mengapa politisi daerah sangat patronistis, kondisi mereka
tak lepas dari keterbatasan kualitas sumber daya (politisi daerah), baik tingkat
pendidikan maupun kekuatan ekonominya. Secara objektif (di lapangan), tingkat pendidikan
politisi daerah di berbagai daerah jauh dari kualitas yang diharapkan. Kualitas yang
relatif minim tersebut menimbulkan tanda tanya besar, bagaimana mungkin mereka
memperlihatkan kecemerlangannya dalam bentuk konstruksi pemikrian dan aksi yang solutif?
Sekalipun mereka bisa mendatangkan konsultan dari sejumlah perguruan tinggi di daerahnya
masing-masing, keterbatasan kualitas pendidikan politisi daerah menjadi faktor kurang
menyambungnya komunikasi yang berdimensi solutif. Dalam kaitan ini, Anies terperangkap
pada penilaian bahwa kualitas politisi daerah -secara umum- sudah berstandar intelektual
yang mencukupi. Padahal, kenyataannya tidak selalu seperti itu.
Dari keterbatasan intelektualitas tersebut, kita bisa memahami adanya fenomena kurang
kontrol atau inisiatif politisi daerah terhadap dinamika pemerintahan daerah yang masih
"disuapin" pemerintah pusat. Dan, saat potensi ekonomi daerah masih terlihat
dieksplorasi pemerintah pusat, politisi daerah sulit menyikapi dengan kritis dan
argumentatif. Jika muncul reaksi, landasannya lebih bersifat emosional. Semua ini akibat
kondisi sosiologis atas keterbatasan kualitas tingkat pendidikan politisi daerah.
Fenomena ketidakberdayaan politisi daerah akan semakin menonjol jika dikaitkan dengan alur
historis kenaikannya ke panggung politik praktis. Banyak fakta menunjukkan, -terutama-
partai-partai tertentu merekrut sejumlah politisi daerah yang hanya mengandalkan massanya.
Dengan pertimbangan tersebut, partai itu tidak mempedulikan biodatanya yang -menurut
kacamata masyarakat- sebenarnya berkategori "jeger."
Kehidupan seorang "jeger" yang tak jelas dan -pada saat-saat tertentu- harus
dikejar-kejar aparat keamanan karena tindak kriminalnya tiba-tiba sangat diuntungkan
setelah masuk dalam gerbong politik besar itu. Sekalipun perubahan kondisi hidupnya
sebenarnya merupakan konsekuensi logis ikut dalam gerbong partai potensial, mereka tetap
memandang bahwa perubahan itu akibat mereka direkrut politisi nasional yang dijadikan
patron.
Ilustrasi faktual itulah yang mendorong perilaku politisi daerah enggan memperjuangkan
kepentingan daerahnya saat dinilai berlawanan dengan sikap politisi nasional yang
dipatronkan tersebut. Mereka loyal total tanpa reserve (sendika dawuh).
Memang, belakangan sering terlihat perlawanan dari politisi daerah terhadap hegemoni
pusat. Namun, aksi tersebut terjadi jika kualitas sumber daya politisi daerah berkategori
mumpuni, terutama intelektualitasnya, apalagi mempunyai kelebihan di sektor ekonomi.
Kualitas tersebut menjadikan dirinya mempunyai banyak pilihan untuk hidup, tidak hanya di
partai.
Dengan demikian, dia sadar bahwa dirinya direkrut ke partai besar karena keunggulan
komparatifnya. Yakni, mempunyai kecerdasan bahkan kelebihan finansial. Keunggulan itu
-dalam beberapa hal- menjadi faktor mengapa dia berani berbeda dengan politisi patron.
Kini, kita tinggal menatap, berapa banyak politisi daerah yang mempunyai kelebihan,
sehingga dia mempunyai kemandirian? Sulit disangkal, jumlah mereka masih sangat terbatas.
Realitas tersebut harus kita baca sebagai faktor determinan mengapa geliat politisi daerah
tidak begitu berani berbeda dengan politisi nasional. Kondisi tersebut mengakibatkan sisi
lain, yakni kepentingan daerah terpaksa harus sering dikalahkan kepentingan nasional
karena memang didukung politisinya di level nasional.
Akhirnya, kita perlu mencatat bahwa pemikiran Anies tersebut cukup konstruktif. Karena
itu, UU Pemilu yang sedang dirumuskan perlu meresponsnya secara konstruktif dalam kerangka
merancang-bangun otonomi daerah yang berdaya.
Namun, pemilu daerah yang diusulkan perlu ada toleransi waktu sepanjang kualitas sumber
daya politisi daerah masih jauh di bawah standar ideal. Dalam kerangka memenuhi harapan
otonomi daerah yang mampu memberikan banyak pencerahan, tampaknya, UU Pemilu -lokal atau
nasional- perlu memberikan persyaratan baku tentang minimalitas standar pendidikan bagi
calon anggota legislatif di pusat maupun daerah, misalnya sarjana.
Selain tingkat pendidikan, UU Pemilu juga perlu merancang cara menekan partai peserta
pemilu agar seluruh politisi yang diusulkan sebagai calon legislatif di daerah maupun
pusat harus mepunyai integritas. Urgensinya, agar kepentingan nasional atau daerah yang
mereka usung tidak dikebiri hanya akibat mempertimbangkan kepentingan sempit pribadi.
Tidak mudah memang, tapi -setidaknya- UU Pemilu perlu memandang penting atas moralitas
calon anggota dewan.
Penulis sangat yakin, pasal yang terkait dengan moralitas calon anggota dewan bakal
dikesampingkan. Hal tersebut didasarkan pada realitas citra para anggota dewan saat ini
yang penuh nuansa amoralitas. Namun, Komite Pemilihan Umum (KPU) perlu terpanggil untuk
menerapkan scanning terhadap seluruh calon legislatif. Urgensinya, untuk
"menjegal" masuknya calon-calon anggota legislatif atau para politisi yang
berintegritas sangat kecil, bahkan sama sekali tak terlihat.
*. Jeffrie Geovanie, ketua DPW PAN (Partai Amanat
Nasional) Bali |
|
|
|
|
Jawa Pos: Selasa, 21 Jan 2003, Tanggapan
Butuh Sistem yang Mendukung
Oleh Muhammad Asfar *
Anies Baswedan mengajukan gagasan yang
cukup baik tentang pemisahan pemilu lokal dan nasional. Menurut dia, pemisahan pemilu
lokal akan mampu menciptakan politisi yang berbasis daerah dan mandiri dari pimpinan
partai nasional serta responsif terhadap aspirasi daerah.
Bagi pemerhati pemilu Indonesia, gagasan Anies bukanlah hal baru. Sejak 1998 -ketika
penyusunan UU Pemilu, ide tersebut sempat dibicarakan, namun tidak menjadi wacana luas.
Sebab, waktu itu, jadwal pembahasan RUU Politik sangat terbatas.
Dalam satu tahun terakhir, beberapa lembaga juga melakukan kajian tentang pemilu lokal.
Terakhir, Pusat Studi Pengembangan Kawasan bekerja sama dengan Partnership-UNDP melakukan
penelitian tentang prospek pemilu lokal di Indonesia.
Bahkan, atas desakan KPU dan berbagai lembaga yang selama ini aktif memberikan masukan ke
DPR terkait dengan penyusunan RUU Pemilu, Pansus RUU Pemilu memasukkan materi pemisahan
pemilu lokal menjadi DIM (daftar isian masalah) yang harus dibicarakan pada masa sidang
berikutnya.
Tetapi, harus diakui, tulisan Anies merupakan awal yang baik untuk mewacanakan secara luas
gagasan pemisahan pemilu lokal. Hanya, ada beberapa persoalan yang mungkin tidak sempat
dibahas secara detail.
Pertama, kalau pemilu nasional dan pemilihan gubernur dilakukan pada 2004 serta pemilu
lokal dan pemilihan bupati/wali kota 2006, persoalannya bagaimana menyeragamkan waktu
pemilihan kepala daerah, sementara masa bakti mereka tidak sama.
Ada gubernur yang pada 2004 baru menjabat dua tahun atau malah satu tahun. Begitu juga
untuk bupati dan wali kota. Apakah pemilu lokal -setidaknya untuk pemilihan kepala daerah
jika dimungkinkan- tidak sebaiknya dilakukan pada waktu yang tidak seragam?
Kedua, kalau harus dilakukan pemisahan pemilu lokal, persoalan kedua yang penting
didiskusikan adalah bagaimana posisi partai lokal. Sebab, kalau ada pemilu lokal, mestinya
juga dimungkinkan munculnya partai lokal. Penelitian saya bersama Pusat Studi Demokrasi
dan HAM Surabaya bekerja sama dengan Partnership-UNDP di delapan provinsi menunjukkan,
sebagian besar responden menerima kehadiran partai lokal, khususnya jika dimungkinkan
pemilu lokal.
Partai lokal tersebut berada di tingkat lokal dan hanya memperebutkan kursi di DPRD
provinsi atau DPRD kabupaten/kota. Partai lokal ini diharapkan lebih memfokuskan isu-isu
di tingkat lokal sehingga dinamika politik lokal berbasis pada persoalan kedaerahan.
Ketiga, menggagas pemisahan pemilu lokal, tampaknya, juga perlu menempatkan dalam konteks
otonomi khusus di Provinsi Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sebab, berdasarkan UU
No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, misalnya, proses pemilihan di
tingkat lokal tidak hanya memilih DPRD/P, tetapi juga Majelis Rakyat Papua yang
keanggotaannya terdiri atas wakil adat, wakil perempuan, dan wakil agama. Karena itu,
pemisahan pemilu lokal sebenarnya bukan semata-mata persoalan waktu, tetapi juga sistem
penyelenggaraannya.
Namun, terlepas dari persoalan-persoalan yang tidak sempat dibahas di atas, ada beberapa
keingintahuan, mungkin lebih tepatnya pertanyaan terhadap tulisan Anies. Pertama,
berkaitan dengan kerangka metode yang digunakan untuk memisahkan pemilu lokal dan
nasional. Apakah lokal itu dipahami sebagai kewenangan penyelenggaraan pemerintahan
berkaitan dengan otonomi daerah atau letak geografis (provinsi/kabupaten)? Kalau
berdasarkan kriteria geografis, pemilu lokal mestinya dimaksudkan untuk memilih angota
DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Tetapi, Anies lebih condong yang pertama sehingga proses pemilihan DPRD provinsi
dimasukkan dalam pemilu nasional. Sebab, provinsi dianggap mewakili pemerintah pusat.
Dalam pandangan ini, ada benarnya. Namun, hal itu menunjukkan bahwa provinsi semata-mata
hanya dipahami sebagai "ruang dekonsentrasi".
Padahal, dalam konteks pemilihan anggota DPRD, provinsi seharusnya lebih -bahkan menurut
hemat penulis harus- diletakkan dalam konteks ruang desentralisasi. Artinya, DPRD provinsi
haruslah dipahami -sebagaimana yang tertuang dalam UU No 22/1999- sebagai lembaga
legislatif yang mempunyai kewenangan untuk membuat kebijakan di tingkat daerah.
Sebagai lembaga tempat artikulasi, agregasi, dan pembuat kebijakan di daerah provinsi,
proses pemilihan anggotanya seharusnya berlangsung melalui pemilu lokal yang memungkinkan
pembahasan agenda-agenda dan isu-isu lokal. Karena itu, pemilihan DPRD provinsi mungkin
lebih tepat jika proses pemilihannya melalui pemilu lokal.
Kedua, berkaitan dengan asumsi yang mendasari pentingnya pemisahan pemilu lokal, baik
dalam mengatasi tantangan maupun output yang dihasilkan. Menurut Anies, pemisahan pemilu
lokal akan mengatasi problematika sentralisasi partai dan rendahnya akuntabilitas publik
di satu sisi dan menciptakan tujuh potensi manfaat -seperti terciptanya akuntabilitas
publik, terangkatnya isu lokal, mengalihkan konflik ideologis ke pragmatis, dan
sebagainya- di sisi lain. Pertanyaannya, tidakkah asumsi-asumsi itu justru bisa diatasi
-atau dicapai-dengan perubahan electoral system ketimbang hanya mengubah prosedur
pemilihannya (pemisahan pemilu lokal dan nasional)?
Berbagai studi menunjukkan bahwa pilihan atas sistem pemilu yang dipakai akan sangat
menentukan pola hubungan antara pemilih dan wakilnya serta akuntabilitas kinerja lembaga
legislatif. Dalam konteks ini, sistem plurality-majority (FPTP, AV, TRS, SNTV, dan
semacamnya) atau proporsional terbuka lebih menjamin akuntabilitas publik, termasuk
independensi politisi lokal ketimbang sistem proporsional tertutup. Pendek kata, menurut
hemat saya, berbagai asumsi pentingnya pemisahan pemilu lokal sebagaimana yang diutarakan
Anies sebenarnya jauh lebih mudah terwujud jika ada perubahan sistem pemilu ketimbang
perubahan prosedur pemilihannya.
Memang, pemisahan waktu pemilihan mungkin akan berdampak cukup positif untuk mengangkat
isu-isu lokal menjadi agenda publik pada saat pemilihan lokal. Persoalannya, dengan tanpa
perubahan sistem pemilihan, yakni sistem proporsional tertutup seperti pada pemilu-pemilu
sebelumnya, betapapun dilakukan pemilihan lokal, agaknya, tidak berpengaruh besar terhadap
terciptanya akuntabilitas publik anggota dewan, kemandirian politisi lokal, bergesernya
isu ideologis ke isu pragmatis, dan semacamnya. Sebab, dengan sistem proporsional
tertutup, pengaruh dan kendali partai cukup kuat, baik dalam menentukan daftar calon
maupun evaluasi kinerja anggota parlemen. Akibatnya, anggota DPRD lebih memperhatikan
kepentingan partai ketimbang aspirasi konstituennya.
Selain itu, dengan sistem proporsional tertutup, tidak ada jaminan politisi lokal lebih
mandiri karena begitu kuatnya sistem sentralisasi partai di Indonesia, apalagi jika tidak
ada partai lokal. Kalau sedikit ada kemandirian politisi lokal dari pimpinan partai di
tingkat nasional, tidak ada jaminan akan tercipta kemandirian politisi lokal dari pimpinan
partai di tingkat nasional.
* Muhammad Asfar, peneliti dan staf pengajar FISIP Unair |
|
|
|
|
Jawa Pos: Rabu, 22 Jan 2003, Tanggapan
Pemisahan Pemilu Seberapa Signifikan?
Oleh A. Eby Hara *
Tulisan Anies Rasyid Baswedan, yakni Memisahkan Pemilu Daerah dari Pemilu Nasional (Jawa
Pos, 14 Januari 2004) berangkat dari kekecewaan terhadap proses desentralisasi politik
melalui otonomi daerah yang tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Agenda politik di
daerah, menurut Anies, masih tertutupi agenda politik nasional, sehingga tujuan dan makna
otonomi itu menjadi semu. Politisi di daerah telah mendapatkan kewenangan. Tapi,
kenyataannya, banyak hal yang masih ditentukan pusat.
Anies melihat, otonomi semu tersebut disebabkan oleh kebergantungan politisi daerah kepada
pusat dan bercampurnya agenda politik nasional serta lokal. Kebergantungan itu menyebabkan
politisi lokal lebih bertanggung jawab kepada pimpinan pusat partai dan kurang responsif
terhadap tuntutan daerah.
Untuk mengatasi hal itu, Anies mengusulkan agar dilakukan pemisahan pemilu daerah dari
pemilu nasional. Pemisahan tersebut, menurut dia, memiliki potensi positif. Misalnya, akan
berkembangnya agenda daerah sebagai primadona, politisi akan lebih responsif, parpol akan
merancang agenda yang jelas, isu keseharian diperhatikan, ideologi diterjemahkan dalam
kasus praktis, dan proses politik bersifat transaksional.
Tulisan tersebut melihat bahwa pemisahan pemilu daerah bisa memberikan waktu dan
kesempatan bagi politisi lokal untuk merenungkan agenda politik di daerahnya. Namun,
perubahan yang diharapkan mengiringi sistem pemilu itu, tampaknya, tidak semudah yang
diteorikan.
Tulisan tersebut berpendapat, pertama, pemisahan pemilu tidak otomatis mempengaruhi
kualitas dan substansi perpolitikan di daerah. Kedua, pemisahan pemilu juga tidak
serta-merta mempengaruhi pemisahan agenda politik daerah dari agenda nasional. Karena itu,
sebetulnya sulit untuk mencari justifikasi yang kuat bagi perlunya pemisahan pemilu daerah
dari pemilu nasional.
Argumen Anies bahwa sistem pemilu bisa menstruktur hubungan pemilih dan politisi yang
ditandai dengan tingkat responsivitasnya terhadap aspirasi rakyat perlu dikualifikasi.
Pendapat itu sangat kental dengan nuansa pendekatan kelembagaan atau institusi. Sehingga,
aspek penting lain dari sistem politik berupa aktor dan proses politik diabaikan.
Perubahan struktur politik berupa pemisahan pemilu lokal dari pemilu nasional tidak secara
serta-merta mempengaruhi perilaku dan substansi perpolitikan di daerah.
Aktor dan struktur politik merupakan dua hal yang secara bersama-sama atau simultan saling
mempengaruhi. Keduanya tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain dan mestinya dianalisis
secara bersama-sama. Selain stuktur politik, hal yang mempengaruhi perilaku politik dan
menguatnya agenda politik adalah kualitas politisi, proses politik, dan kesiapan elemen di
masyarakat sipil yang lebih luas dalam menyuarakan aspirasi yang dekat dengan kehidupan
mereka.
Walaupun struktur tersedia, tanpa dukungan aktor politik di parpol, perubahan yang
diharapkan tidak akan terjadi. Untuk mengungkapkan agenda politik yang konkret, diperlukan
kemampuan merumuskan dan mengomunikasikannya dengan baik ke masyarakat. Untuk hal ini,
dalam level nasional pun belum ada parpol yang berhasil dengan baik.
Terlepas dari kualitas aktor politik, dalam politik daerah, tanpa pemisahan sistem pemilu
pun, mekanisme politik yang berkonsentrasi pada agenda daerah sudah berjalan dan umumnya
berpusat pada berbagai kelompok kepentingan di masyarakat. Dalam praktik politik di
daerah, lembaga-lembaga nonpemerintah tersebut lebih efektif dan berpengalaman dalam
mengangkat isu-isu lokal yang berkaitan dengan hidup masyarakat sehari-hari.
Dihadapkan dengan isu lokal seperti perizinan dan pelayanan publik, tidak jarang parpol
justru tidak efektif menyalurkan aspirasi rakyat tersebut. Dalam parpol daerah, sering
berkembang kecenderungan oligarkis. Sebab, para politisi lokal itu lebih menjaga
kepentingan partainya daripada kepentingan rakyat banyak.
Berbeda dengan rekayasa politik lewat pendekatan kelembagaan. Dalam praktik politik di
daerah, masyarakat kadang berhasil melembagakan sendiri mekanisme agar kepentingan dan
aspirasi mereka didengar. Dalam iklim keterbukaan, masyarakat daerah menggunakan berbagai
sarana, baik yang konvensional lewat jalur-jalur kelembagaan resmi maupun yang
inkonvensional seperti demonstrasi dan protes-protes. Media massa, radio, televisi, dan
koran juga sering menjadi tempat keluhan masyarakat. Bahkan, tidak jarang, isu yang
bersifat pelayanan masyarakat direspons langsung oleh lembaga terkait.
Argumen Anies berikutnya bahwa pemisahan sistem pemilu bisa mengatasi tercampur-baurnya
politik daerah dan politik nasional merupakan argumen yang dalam realitasnya sulit terjadi
serta barangkali tidak pernah terjadi. Dalam era globalisasi ini, agenda politik dan
ekonomi nasional, bahkan global, tidak bisa dipisahkan dari agenda politik lokal.
Agenda-agenda itu tidak hanya saling terkait, tapi agenda nasional dan global justru
sering menentukan kesempatan serta pilihan yang dimiliki di tingkat lokal. Hal tersebut
mengakibatkan keperluan bagi pemisahan pemilu daerah dari pemilu nasional itu menjadi
lemah. Yang mungkin lebih logis di sini adalah bukan pemisahan, tetapi politisi
-sebagaimana istilah yang populer sekarang- harus berpikir global atau nasional, namun
bertindak lokal.
Pada era globalisasi ini, kurang jelas apa yang dimaksud isu lokal dan isu nasional.
Lagipula, isu lokal justru sering menjadi lebih efektif kalau berskala nasional atau
global. Misalnya, masalah seperti fasilitas umum, soal buruh, lingkungan hidup,
perindustrian, pertambangan, perdagangan, dan usaha kecil menengah sangat bergantung serta
ditentukan oleh kebijakan pusat atau pusat-pusat ekonomi global, bukan dari daerah.
Sementara itu, kalau agenda politik lokal yang dimaksud adalah kemudahan perizinan,
pelayanan publik, kebersihan, dan peraturan daerah, kelompok-kelompok kepentingan bukan
parpol biasanya lebih efektif memberikan tekanan kepada pemerintah.
Berkembangnya dinamika politik daerah walaupun masih terbatas dan tiadanya keperluan yang
mendesak bagi pemisahan isu politik lokal dan nasional merupakan masalah serius bagi
urgensi proposal pemisahan pemilu lokal dari pemilu nasional. Salah satu alasan yang
tersisa untuk tidak menggugurkan proposal itu adalah menyangkut keuntungan dalam hal waktu
dan konsentrasi bagi politisi lokal. Dengan waktu yang lebih leluasa, diharapkan politisi
lokal bisa berpikir lebih tajam dan strategis memperjuangkan aspirasi rakyat.
Namun, bila proposal tersebut ingin ditempatkan sejajar dengan usul tentang pemilu sistem
distrik dan pemilihan wali kota serta bupati secara langsung, diperlukan argumen lebih
lanjut untuk meyakinkan publik. Hal itu terutama berkaitan dengan urgensinya dalam
menawarkan terobosan untuk mencari bentuk ideal penyaluran dan agregasi kepentingan
masyarakat di daerah.
* A. Eby Hara PhD, staf pengajar FISIP
Unej Jember |
|
|
|
|
JawaPos,
Selasa,
28 Januari 2003 dan Rabu,
29 Januari 2003
Tanggapan Balik: Relevansi
Pemisahan Pemilu Daerah dan Nasional
Oleh Anies Rasyid Baswedan
Menarik sekali membaca tulisan A. Eby Hara,
A.M. Saefuddin, Anas Urbaningrun, Jeffrie Geovanie, Kacung Marijan, dan Muhammad Asfar
yang menanggapi gagasan pemisahan pemilu daerah dan pemilu nasional. Gagasan pemisahan
pemilu itu sendiri mendapatkan respon yang bervariasi dan terdapat beberapa pemikiran yang
perlu didiskusikan lebih jauh lagi.
Sebelum berdiskusi lebih jauh, saya merasa
perlu menegaskan ulang premis dasar yang digunakan dalam menyusun argumen pemisahan pemilu
yaitu terintegrasinya politik daerah dan nasional. Dalam tulisan sebelumnya, saya
menenggarai tercampur-aduknya politik nasional dengan politik daerah. Sinyalemen ini
dipertanyakan oleh Eby Hara dengan menulis, "tercampur baurnya politik daerah dan
politik nasional merupakan argument tetapi realitasnya sulit terjadi dan tidak pernah
terjadi."
Dalam menanggapi bantahan Eby Hara, tulisan
Anas perlu dilihat ulang. Indikator paling mudah untuk menjelaskan integrasi itu adalah
hasil pemilu daerah dan nasional. Integrasi itu tercermin dari identiknya distribusi hasil
pemilu nasional dan daerah. Anas secara gamblang dan empiris menjelaskan ketercampuran
itu. Dengan menggunakan hasil penelitian KPU dan FISIP UNILA, Anas menunjukkan bahwa
perbedaan suara pemilihan DPR, DPRD I dan DPRD II hanya kurang dari 0,05 persen. Lebih
jauh lagi, Anas menunjukkan adanya partai-partai yang tidak mengajukan caleg di daerah
tetapi tetap saja mendapatkan suara.
Jadi, terintegrasinya politik nasional dan
politik daerah adalah sebuah fenomena empiris dan pemilih terbukti mengalami kesulitan
membedakan politik nasional dan politik daerah ketika mereka mencoblos. Premis dasar ini
perlu ditegaskan karena hampir semua argumen selanjutnya mendasarkan pada fakta
terintegrasinya politik daerah dan politik nasional.
Pendekatan Neo-Institusionalisme
A Eby Hara, AM Saefuddin, dan Jeffrey
Geovanie mengangkat tema-tema aktor politik. Dengan bahasa yang berbeda, Saefuddin dan
Jeffrey menilai problem yang sedang terjadi sekarang di Indonesia berakar pada aktor
politik. Jeffrey secara jernih memaparkan rendahnya kualitas politisi di daerah dan
melihat pemisahan pemilu akan mengalami hambatan karena faktor kualitas politisi. Dan,
Saefuddin menilai kepemimpinan nasional yang miskin integritas dan miskin moral sebagai
sumber masalah. Sayang sekali Saefuddin tidak banyak menganalisis ide pemisahan pemilu itu
sendiri. Sementara Eby secara lugas dan tajam mempertanyakan pendekatan institusional yang
digunakan dalam menganalisis dan mengembangkan gagasan pemisahan pemilu daerah dengan
pemilu nasional.
Tanggapan Jeffrey, Saefuddin, dan Eby
memiliki kesamaan yaitu menekankan pentingnya komponen non-institusional, terutama pada
aktor politik. Eby secara eksplisit mempertanyakan pendekatan institusional, sementara
Jeffrey dan Saefuddin lebih implisit. Disini terlihat bahwa perdebatannya bukan pada
dataran teknis desain institusionalnya tetapi pada dataran metodologinya atau
pendekatannya.
Eby menilai pemisahan pemilu tidak otomatis
mempengaruhi kualitas dan substansi perpolitikan di daerah dan berpendapat bahwa
permisahan pemilu juga tidak mempengaruhi pemisahan agenda politik dari agenda nasional.
Eby menulis, "selain struktur politik yang mempengaruhi perilaku politik dan
menguatnya agenda politik adalah kualitas politisi, proses politik dan kesiapan
elemen-elemen masyarakat sipil". Lebih jauh Eby menulis, "walaupun
struktur tersedia, tanda dukungan aktor politik di parpol, perubahan yang diharapkan tidak
akan terjadi."
Kalau Eby mengatakan bahwa kualitas
politisi, proses politik dan kesiapan elemen sipil itu penting maka sayapun setuju. Tidak
sedikitpun dari tulisan saya yang bertendensi mengecilkan komponen-komponen tersebut.
Tetapi kalau Eby mempertanyakan validitas variabel institusi dalam pengembangan politik
daerah, maka saya tidak sepaham.
Dalam pandangan saya, institusi harus
dibangun secara strategis dan sedini mungkin. Institusi adalah pondasi dan kerangka
bangunan politik. Kelemahan institusional memang bisa ditopang dengan kualitas jempolan
politisi tapi hanya untuk jangka pendek. Dalam jangka panjang, ketika politisi jempolan
itu tidak lagi eksis, kelemahan institusional akan jadi problem besar dalam politik.
Begitu pula ketika Eby menulis bahwa tanpa
rekayasa institusional-pun dalam prakteknya "masyarakat kadangkala berhasil
melembagakan sendiri mekanisme agar kepentingan dan aspirasi mereka didengar."
Saya rasa menyerahkan begitu saja proses politik pada masyarakat tanpa desain
institusional politik yang solid itu sama dengan menjerumuskan masyarakat. Masyarakat
merasa aktif dan partisipatif tapi aspirasi mereka bisa tetap saja buntu.
Untuk memperjelas argumen pentingnya desain
institusional yang baik, ilustrasi berikut ini bisa membantu. Desain institusional DPRD
adalah desain yang jelek. Politisi dipilih menjadi wakil rakyat selama 5 tahun dan selama
itu mereka melakukan voting secara tertutup. Disini terlihat bahwa para politisi diberi
peluang untuk mengacuhkan aspirasi rakyat. Sehingga sedahsyat apapun tuntutan rakyat pada
wakilnya, para politisi bisa dengan tenang tutup mata dan telinga. Contoh kongkrit adalah
pemilihan gubernur di DKI. Nah, bila desain institusional dirubah, yaitu para politisi
harus voting secara terbuka maka perilaku voting politisi akan berubah. Mengapa? Karena
mereka sadar bahwa publik tahu, menilai, dan minta pertanggung-jawaban atas voting-nya
sebagai wakil rakyat.
Dari ilustrasi ini terlihat bahwa politisi
itu memperjuangkan aspirasi bukan hanya tergantung pada tingkat terorganisirnya rakyat
atau kuat-lemahnya tuntutan dari rakyat tapi justru tergantung pada desain
institusionalnya. Karena itu, desain institusional ini penting dan bisa menentukan apakah
artikulasi kepentingan rakyat jadi realita kebijakan atau jadi sekedar hiruk-pikuk politik
tanpa hasil. Selain itu, dari segi waktupun fokus pada perubahan desain institusional ini
efeknya akan lebih cepat bisa dirasakan.
Saya mengamini argumen bahwa peningkatan
kualitas politisi adalah sebuah keharusan, dengan begitu mutu produk politik yang
dihasilkan jadi lebih baik. Saya setuju dengan Jeffrey dan Saefuddin soal peningkatan
kualitas politisi, tapi berbeda tentang cara meningkatkannya. Menurut saya membereskan
masalah integritas, kualitas politisi di Indonesia -terutama di daerah- itu bukan hanya
dengan membuat standar moral atau mencari pemimpin baru. Tetapi dengan mengatur ruang
gerak politisi sedemikian rupa agar politisi bermanuver -sekalipun untuk mencari manfaat
dan ambisi pribadi- dengan cara memikirkan dan menguntungkan rakyat. Dengan desain
institusional macam itu siapapun politisinya, dia dipaksa memberikan keuntungan bagi
rakyat.
Saya sepaham dengan Jeffrey, Saefuddin, dan
Eby bahwa variabel aktor politik dan non struktural, seperti budaya politik, itu penting
dan perlu selalu dikembangkan, akan tetapi perlu ditegaskan bahwa selama desain
institusionalnya masih lemah maka perbaikan yang terjadi hanyalah perbaikan temporer.
Sehingga logislah bila respon pertama ketika melihat realita politik yang semrawut
adalah dengan mempertanyakan apakah desain institusionalnya sudah benar.
Ketika kita melihat fenomena terdominasinya
politik daerah oleh politik nasional maka pertanyaan utama yang muncul adalah, apakah
desain institusionalnya sudah memungkinkan politisi daerah dan politik daerah tumbuh
dengan basis di daerahnya bukan karena dukungan dari Jakarta? Dan, pertanyaan inilah yang
mendasari munculnya jawaban perlunya memperbaiki desain institusional melalui pemisahan
pemilu daerah dari pemilu nasional.
Aspek Desain Institusional Pemilu
Dalam konteks desain institusional dari
pemilu, Anas Urbaningrun, Kacung Marijan, dan Muhammad Asfar secara khusus mensoroti soal
ini dan ada beberapa catatan yang perlu didiskusikan lebih jauh. Anas mendukung pemisahan
pemilu daerah dan nasional dengan menambah tiga komponen yaitu: (1) Pemisahan dilakukan
untuk tiga tingkat yaitu nasional, propinsi, dan kabupaten/kotamadya; (2) Pemisahan
dilakukan untuk pemilihan anggota legislatif dan pimpinan eksekutif; (3) Diadopsikan
sistem distrik.
Asfar mendukung gagasan pemisahan pemilu
daerah dan nasional dengan menambah 2 komponen utama: (1) Pemisahan pemilu dilakukan pada
dua tingkat yatu tingkat nasional, dengan tingkat propinsi-kabupaten/kotamandya. Menurut
Asfar, pemilu propinsi tidak disatukan dengan pemilu nasional tapi dengan pemilu
kabupaten/kotamadya. (2) Asfar mensyaratkan diadopsinya sistem distrik. Menurutnya,
pemisahan pemilu tanpa perubahan sistem pemilu tidak akan menghasilkan perubahan perilaku
pemilih dan politisi.
Sejalan dengan Anas dan Asfar, Marijan juga
menyoroti soal sistem pemilu dan mensinyalir sistem proporsional sebagai akar sentralisme
partai politik di Indonesia. Karena itu, menurut Marijan, gagasan pemisahan pemilu itu
cukup bagus tapi perlu diikuti dengan "desentralisasi" partai politik dan
pengadopsian sistem distrik.
Saya setuju dan sepaham dengan Anas, Asfar,
dan Marijan tentang perlunya sistem distrik. Tanpa perlu mengulang argumentasi yang sudah
dijelaskan secara gamblang oleh mereka bertiga, sistem distrik memang lebih bisa memaksa
politisi responsif pada aspirasi rakyat. Yang menjadi masalah adalah saat ini feasibilitas
politiknya sangat rendah. DPR dan partai-partai besar menunjukkan keengganannya untuk
mengadopsi sistem distrik. Paling tidak, dalam jangka pendek ini proposal sistem distrik
bisa disebut dead on arrival.
Karena itu saya melihat, usaha membuat
politisi responsif pada issue daerah dan usaha agar agenda daerah mendominasi politik
daerah jangan sampai terhenti hanya semata-mata karena sistem distrik ditolak
mentah-mentah oleh DPR. Karena itulah, pemisahan pemilu menjadi alternatif yang patut
difikirkan.
Dan, perlu digarisbawahi bahwa adanya
sistem distrik itu saja belum tentu bisa membuat agenda politik lokal terbebas dari
dominasi politik nasional. Di negara demokrasi mapan sekalipun, ketika pemilu nasional
bersamaan dengan pemilu lokal, agenda yang dibawa politisi lokal cenderung tersingkir.
Lebih jauh lagi, dominasi media televisi dalam menentukan opini publik membuat ruang
artikulasi politisi lokal jadi makin sempit. Meski begitu, saya sependapat dengan Anas,
Asfar, dan Marijan soal perlunya mengadopsi sistem distrik. Apalagi sistem ini jelas
berpotensi membuat faedah pemisahan pemilu jadi lebih besar karena mekanisme akuntabilitas
antara politisi dengan rakyat jadi lebih sederhana dan jelas.
Dalam konteks agenda ini pandangan Eby
perlu dikomentari. Eby melihat efek globalisasi mengaburkan batas isu lokal dan isu
nasional. Saya rasa itu benar, tapi tidak ada relevansinya dengan perdebatan ini. Isu
lokal bisa sekali menjadi isu nasional dan global, misalnya soal Kedungombo. Tapi bukan
berarti lalu politisi daerah tidak perlu lagi memikirkan dan memperjuangkan hanya karena
isunya sudah jadi isu global.
Menyangkut soal pemisahan waktu. Pemilu ini
sebaiknya dipisah menjadi 3 waktu atau 2 waktu? Dan, bila 2 waktu maka pemilu propinsi
disatukan dengan pemilu nasional atau disatukan dengan pemilu kabupaten? Berbeda dengan
Anas, saya lebih sepaham dengan Asfar yang melihat perlunya pemilu dilakukan hanya dalam 2
waktu saja. Meski begitu, saya cenderung menggabungkan pemilu propinsi dengan pemilu
nasional karena unit otonomi daerah adalah kabupaten. Devolusi yang terjadi sejak program
otonomi daerah dilaksanakan membuat kabupaten memiliki otoritas yang besar sementara
propinsi hanya sebatas dekonsentrasi. Dalam konteks itulah, pemilu tersendiri di tingkat
kabupaten membuat rakyat memiliki peran yang besar dalam menentukan penggunaan otoritas
politik baru di tingkat kabupaten/kotamadya. Saya melihat pada saat ini, lebih penting
untuk "memerdekakan" politisi tingkat kabupaten/kotamadya mengingat otoritas
besar yang sekarang dimilikinya.
Aspek lain yang sempat diungkapkan oleh
Anas dan Marijan adalah soal pemisahan pemilihan legislatif dan eksekutif. Pada dasarnya
saya setuju dengan Anas soal gagasan pemisahan itu. Tetapi saya berbeda pandangan mengenai
cara memisahkannya. Menurut saya pemisahan eksekutif dengan legislatif bukan melalui
perubahan jadwal pemilu tetapi melalui perubahan masa kerja anggota lembaga legislatif.
Lembaga legislatif kita memiliki berbagai
persoalan, dan merupakan topik menarik untuk dibahas lebih jauh, tetapi barangkali bukan
pada diskusi kali ini. Karena itu saya membatasi diri untuk mengomentarinya secara singkat
pula. Saya melihat masa kerja anggota lembaga legislatif yang 5 tahun itu adalah terlalu
lama. Berbeda dengan 5 tahun masa kerja eksekutif, karena eksekutif memang perlu waktu
cukup untuk menjalankan program pemerintahan secara tuntas, anggota legislatif tidak
membutuhkan waktu sebanyak itu. Masa kerja 2 atau 3 tahun sudahlah cukup. Apabila memang
anggota legislatif itu dipandang representatif dan artikulatif maka rakyat bisa
memperpanjang, tapi bila terbukti anggota itu hanya sebatas datang, duduk, diam, dan ambil
gaji maka dengan mudah dan cepat rakyat bisa menggantinya. Jadi, pemisahan antara
legislatif dan eksekutif akan tercapai dengan sendirinya ketika masa kerja anggota
legislatif diperpendek.
Masalah timing pelaksanaan gagasan
pemisahan pemilu itu dibahas oleh hampir semua penulis. Anas, Jeffrey, dan Saefuddin
menganggap pelaksanaan gagasan ini di tahun 2006 adalah premature. Sementara Asfar
mempertanyakan cara menyeragamkan masa jabatan bupati/walikota. Saya melihat memang perlu
dipikirkan tentang aspek administratif dan teknisnya, terutama menyangkut masa jabatan di
masa transisi, tetapi hal ini bukanlah kendala.
Adapun soal tahun 2006, saya rasa kita
memiliki waktu yang cukup untuk mempersiapkannya. Sebagai ilustrasi, pemilu 1999
dipersiapkan hanya (atau kurang dari?) satu tahun, lalu implementasi desentralisasi yang
drastis itu dimulai hanya 18 bulan sejak diundang-undangkan. Hal ini menunjukkan bahwa
kita memiliki kemampuan untuk menyiapkan infrastruktur politik dan sosial. Apalagi bila
pemisahan itu akan dilaksanakan mulai 2004 dan 2006, maka partai politik dan pemerintah
masih punya cukup waktu untuk menyusun kebijakan baik organisasional maupun personalia.
Termasuk langkah-langkah penyesuaian dengan wilayah-wilayah yang memiliki otonomi khusus
seperti Nangroe Aceh Darusslam dan Papua.
Selain desentralisasi partai politik
seperti diungkapkan Marijan, gagasan Asfar soal partai lokal adalah ide yang menarik dan
perlu dikembangkan. Eksistensi partai lokal akan memperkuat peran partai dalam artikulasi
kepentingan masyarakat. Seperti diungkapkan oleh Eby, saat ini lembaga non-partai lebih
berperan dalam mengartikulasikan kepentingan masyarakat di tingkat lokal. Hal ini
baik-baik saja karena mereka mengisi kekosongan peran partai politik. Tetapi dalam jangka
panjang lembaga non-partai bisa menjadi kekuatan tak terkontrol, sebagaimana
interest-groups di berbagai negara demokrasi mapan. Karena itu, berkembangnya partai di
tingkat daerah -baik partai lokal maupun partai nasional- akan membuat saluran aspirasi
lebih jelas dan partai lebih mudah dikontrol oleh rakyat karena adanya pemilu di tingkat
daerah.
Penutup
Diskusi ini telah memperkaya wacana
pengembangan politik daerah. Dalam diskusi ini, setidaknya terdapat 4 gagasan utama yang
muncul untuk mengembangkan politik daerah. Pertama, gagasan pemisahan pemilu daerah
dan nasional itu sendiri. Kedua, pengadopsian sistem distrik dalam pemilu yang
argumentasinya dikembangkan oleh Anas, Asfar, dan Marijan. Ketiga, partai lokal dan
desentralisasi partai politik sebagaimana diungkapkan Asfar dan Marijan. Keempat,
pentingnya peran LSM di tingkat daerah dalam mengartikulasikan aspirasi masyarakat. Eby
menjelaskan peran LSM dalam proses artikulasi aspirasi rakyat lokal itu. Keempat,
Peningkatan kualitas politisi lokal sebagai prasyarat peningkatan mutu politik daerah.
Paparan Jeffrey menunjukkan bahwa peningkatan kualitas politisi merupakan tantangan besar
di era otonomi daerah. Masing-masing gagasan memiliki landasan, baik konseptual maupun
empiris. Karena itu, pertanyaannya kemudian adalah gagasan mana yang perlu segera dimulai.
Dalam jangka pendek, saya melihat
urgensinya untuk membentuk desain institusional yang baik. Dalam konteks inilah, gagasan
pemisahan pemilu dan pengadopsian sistem distrik merupakan pilihan jangka pendek yang bisa
ditempuh dan dinilai feasibilitas politiknya. Disini nampaknya para politisi di DPR dan di
partai besar -dengan berbagai alasan- masih alergi terhadap gagasan sistem distrik.
Sementara respon mereka terhadap gagasan pemisahan pemilu daerah dan pusat masih belum
jelas. Karena itu, pengadopsian gagasan pemisahan pemilu ini perlu dipikirkan secara
serius. |
|
|
|
|