Kembali ke Pengantar
KOMPAS ON LINE
Senin, 15 Juni 1998
Seandainya Sistem Distrik Berlaku pada
Pemilu 1955
Oleh Dwight Y King
PELAKSANAAN seluruh agenda reformasi sangat tergantung pada penyelenggaraan
pemilu menurut Dr Mochtar Pabottinggi di depan Komisi DPR (Kompas, 4 Juni). Mochtar
bersama Dr Miriam Budiardjo menyarankan untuk tidak tergesa-gesa menyelenggarakan
pemilu, sebelum segalanya dipersiapkan dengan baik. Dua hal penting yang harus
diperhatikan adalah apakah sebaiknya memakai sistem pemilihan proporsional atau distrik
dan kedua, jumlah partai politik.
Menurut Dr William Liddle ("Proporsional atau Distrik?" Kompas2 Juni), demokrasi
memerlukan kepemimpinan politik yang memiliki dua sifat: representatif dan mampu
memerintah. Sistem pemilihan proporsional lebih unggul dari segi perwakilan
(representatif).
Proporsi kursi suatu orpol dalam badan legislatif akan persis sama dengan proporsi suara
yang diperoleh (persentase kursi = persentase suara).
Akan tetapi sistem distrik rupanya lebih menghasilkan pemerintahan yang mampu
memerintah, sebab jumlah orpol cenderung berkurang dan kemungkinan pemerintah koalisi
yang lemah lebih kecil. Rizal Mallarangeng ("Tunda Dulu Sistem Distrik," Kompas,
2 Juni)
meragukan kesimpulan ini. Rizal berpendapat sistem distrik memperlemah basis kepartaian
dan mendorong meluasnya "personalisasi" politik.
Sejauh ini pembahasan mengenai sistem pemilihan sangat teoretis. Walaupun hal ini
berguna, perdebatan tingkat teoretis perlu didasarkan pada analisa empiris dan data
historis. Untuk itu saya akan mencoba menganalisa data empiris dari Pemilu 1955 yang
mungkin dapat membantu menjelaskan perdebatan teoretis tersebut. Kenapa Pemilu 1955?
Jawaban saya adalah bahwa Pemilihan Umum 1955 dianggap oleh banyak pakar
satu-satunya pemilihan umum yang paling dekat dengan kriteria demokrasi. Pertama jumlah
dan pengorganisasian orpol tidak dibatasi. Kedua, pelaksanaan pemilu luber betul. Ketiga,
pluralisme kehidupan politik agak sama dengan era reformasi sekarang.
Seperti kita ketahui, hanya sistem proporsional telah berlaku di Indonesia mulai Pemilu
1955 sampai sekarang. Kebanyakan pakar setuju bahwa Pemilu 1955 telah menghasilkan
DPR yang sangat representatif (28 partai politik terwakili). Tetapi hasil pemilu ini tidak
menyebabkan munculnya pemerintahan yang kuat. Tujuh puluh tujuh persen dari jumlah
suara dibagi oleh empat partai "besar": PNI (22,3 persen), Masjumi (20,9
persen), NU
(18,4 persen) dan PKI (15,4 persen). Hasil pemilu itu tidak meyakinkan sebab partai
"terkuat" hanya didukung oleh kurang dari seperempat pemilih. Hasil ini
menunjukkan
adanya fragmentasi yang sangat besar di DPR. Perbedaan apakah yang akan muncul jika
sistem distrik diterapkan pada Pemilihan Umum 1955? Apakah akan muncul pemerintahan
yang lebih mampu memerintah?
***
MENJAWAB pertanyaan tersebut di atas, saya perlu membuat beberapa asumsi tentang
jumlah distrik dan jumlah wakil dari setiap distrik. Pertama, adanya 189 distrik sama
dengan jumlah daerah administratif (kabupaten, karesidenan) yang sebenarnya digunakan
pada waktu itu.
Asumsi kedua mengenai jumlah wakil. Dari setiap distrik kita asumsikan bahwa ada minimal
satu wakil. Akan tetapi muncul persoalan adanya variasi jumlah penduduk di antara
distrik-distrik itu. Umpamanya, Kabupaten Bandung memiliki jumlah penduduk 1.289.478
pada 1955, sedangkan Kotamadya Cirebon memiliki jumlah penduduk 100.867. Kalau
kedua distrik itu diwakili oleh wakil-wakil dengan jumlah yang sama, akan muncul
persoalan representatifnya sistem. Untuk mengurangi masalah ini, kita sebaiknya perlu
memperhitungkan keberadaan variasi jumlah penduduk.
Kita dapat menggunakan rasio yang dipakai pada Pemilu 1955, yaitu satu wakil untuk
setiap 300.000 penduduk. Rumus itu kita terapkan dengan prosedur berikutnya: apabila
jumlah penduduk 300.000 atau kurang, maka dapat satu wakil. Jika lebih dari 300.000,
maka jumlah penduduk harus dibagi dengan 300.000. Apabila kita kembali ke contoh di
atas, kalau kita bagi 1.289.478 dengan 300.000 hasilnya empat wakil (setelah dibulatkan).
Jadi, dengan menggunakan rumus di atas, sepertiganya dari keseluruhan distrik akan
mendapat tambahan wakil (lebih dari satu). Jumlah wakil keseluruhan akan bertambah
menjadi 265. Asumsi sistem distrik selanjutnya adalah partai yang memperoleh
suara terbanyak berhak atas semua wakil dalam distrik itu. Saya merasa
asumsi-asumsi dan prosedur ini logis dan masuk akal.
Analisa pada hasil Pemilu 1955 dengan menggunakan asumsi dan prosedur di atas
menghasilkan penemuan-penemuan terlihat pada kolom sebelah kanan di Tabel.
***
PERHATIKANLAH jumlah wakil partai-partai dengan sistem distrik (hipotetis) berbeda
secara mencolok dari jumlah dengan sistem proporsional (sebenarnya). Dengan sistem
proporsional Masjumi dan PNI sama kuatnya, kedua-duanya dapat 57 wakil. Tetapi,
sistem distrik akan mengakibatkan keunggulan PNI dengan 96 wakil. Perbedaan penting
lain adalah konsentrasi wakil-wakil rakyat pada jumlah partai yang kian berkurang. Dengan
perkataan lain, sistem distrik akan menghasilkan partai unggul (tetapi bukan partai
mayoritas) yang mempunyai amanat memimpin pemerintah koalisi.
Kekuatan Masjumi akan kira-kira sama, tetapi PKI akan muncul sedikit lebih kuat dari
NU. Akhirnya, jumlah partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya satu wakil akan
turun dari 28 (sebenarnya) ke 12. Dengan sendirinya, pengaruh partai kecil akan berkurang
yang memberikan mereka dorongan untuk bergabung sebelum pemilu masa mendatang.
Seandainya sistem distrik telah berlaku pada Pemilu 1955 kemungkinan besar menghasilkan
pemerintahan yang mampu memerintah secara efektif. Fragmentasi kekuatan politik dalam
DPR akan berkurang. Kursi di DPR akan dibagi di antara lebih sedikit jumlah partai
politik.
Dua belas partai yang memperoleh wakil/kursi akan diperkuat, sedangkan 16 partai yang
gagal memperoleh wakil akan diperlemah. Para pakar yang menganjurkan bahwa sistem
distrik memperlemah basis kepartaian sebaiknya mengubah posisinya. Lebih benar, sistem
distrik akan memperkuat partai-partai agak besar, dan memperlemah partai-partai agak
kecil. Oleh karena sistem distrik ini menyebabkan jumlah partai menjadi berkurang, bisa
jadi DPR seperti ini dinilai relatif kurang representatif.
Namun, seandainya Pemilu 1955 diselenggarakan dengan sistem distrik maka akan
menghasilkan kabinet lebih kuat. PNI akan muncul sebagai partai yang unggul, amanatnya
dari rakyat akan lebih kuat, kepemimpinannya dalam pemerintah koalisi akan diakui dan
pengaruh partai-partai kecil berkurang.
( * Dwight Y King,associate professorilmu politik dari Northern Illinois University,
Amerika Serikat.)
Perbandingan Jumlah Wakil/Kursi Partai di DPR Hasil
Pemilu 1955 Antara Sistem Proporsional dan Sistem Distrik
Partai politik Jumlah wakil dengan
Jumlah Wakil dengan
sistem proporsional (sebenarnya)
dengan sistem distrik (hipotetis)
PNI
57
96
Masjumi
57
59
PKI
39
42
NU
45
36
Parkindo
8
13
Katolik
6
7
lain-lain (digabung) 45
12
Sumber:Alfian, Hasil Pemilihan Umum 1955(Jakarta: Leknas, 1971)