Selasa, 28 Maret 2000 | Berita Utama |
Ketika ''Semar Super'' Menggugat Supersemar
SEMARANG- Hujan deras mengguyur Simpanglima, Minggu malam (26/3). Meski begitu Semar tetap mencak-mencak, mengacak-acak kebrengsekan pemerintahan Kurawa. Tentu aneh, membicarakan kemarahan Semar di Simpanglima. Tetapi, jika menyaksikan pertunjukan wayang kulit Semar Super yang dipentaskan oleh Ki Enthus Susmono, Anda tak akan kesulitan mencari hubungan antara Semar, hujan, dan kebrengsekan Kurawa. Apa yang menarik dari pertunjukan itu? Dalam kondisi biasa, mungkin pertunjukan ini tak terlalu istimewa jika dibandingkan dengan lakon-lakon yang lain. Semar Super menjadi menarik karena digunakan Enthus untuk menggugat Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Semar misalnya, dengan enteng mempertanyakan ke mana hilangnya surat itu. ''Kalau benar Pandu telah memberikan surat itu kepada Destraratra, saya ingin melihat buktinya,'' kata Semar dalam bahasa Jawa. Duryudana, tokoh yang lebih tampak sebagai metafora dari mantan presiden Soeharto ini, tentu saja tak bisa menjawab pertanyaan itu. Karenanya, Semar mencak-mencak dan menggugat sikap Duryudana yang berkesan ingin menutup-nutupi itu. ''Ijazah saja disimpan di lemari bagus, masak dukumen negara hilang begitu saja,'' kata ki dalang melakonkan kemarahan Semar. Menunda Limbukan Begitulah, ditonton oleh ribuan peminat yang berjubel di bawah tratag dan yang rela berhujan-hujanan, pertunjukan dalang Tegal yang mbeling ini ternyata justru bisa membebaskan diri dari permintaan aeng-aeng publik. Ketika publik minta dalang untuk segera memainkan Limbuk-Cangikan, dengan tegas dia menolak. ''Sik...sik...! Limbuk-Cangikane keri. Sing penting isine sik,'' papar dalang yang lebih berhasrat menjadi seniman komplet itu. Untuk sesaat massa tak bisa menerima keinginan Enthus. Namun, karena dalang yang satu ini piawai memainkan emosi simpatisan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), sanggit Semar Super yang memplesetkan peristiwa ''kudeta'' Soeharto atas Soekarno itu bisa diterima. Yang menarik, dia juga menyebut para pahlawan Amarta sebagai Partai Demokrasi Amarta Perjuangan. Itu menjadikan pertunjukannya ditepuktangani massa berulang-ulang. Sesungguhnya, menonton pertunjukan Ki Enthus kali ini tak berbeda dari menonton misteri hilangnya Supersemar, kudeta Soeharto, dan penderitaan anggota PDI-P. Kudeta Soeharto misalnya, disimbolkan dengan direbuthalusnya pemerintahan Pandawa oleh Kurawa. Sementara penderitaan anggota PDI-P pada masa pemerintahan Soeharto diaktualisasikan dengan penggambaran penderitaan Pandawa pada masa kanak-kanak sampai mereka dewasa. ''Kini anak-anak itu sudah dewasa. Segeralah berikan tahta itu kepada mereka,'' kata ki dalang menirukan Semar yang super itu. ''Berikan negara yang dititipkan Pandu kepada anak-anaknya yang telah dewasa. Aja kok apusi bae,'' tambah dalang yang ingin mengingatkan kembali kata-kata Soekarno itu dalam nada cengengesan. Di luar dugaan, massa tersihir dengan kata-kata itu. Sehingga tepuk tangan panjang dan teriakan histeris berlangsung tanpa dapat dicegah oleh hujan yang terus mengguyur. Ya, Semar memang super. Tetapi malam itu, Supersemar tetap menjadi misteri yang tak bisa diungkap oleh Semar sekalipun. (Triyanto Triwikromo-28t) |
Copyright(C) 1996 SUARA MERDEKA