Nenek Moyangku Orang Pelaut
Kisah si Calus
Indramayu, Jawa Barat

 

Aku, suka mendengar lagu itu, mengingatkan pada lautku yang biru.
Aku bangga pada lautku.
Kata Pak Ustad, Tuhan memberi laut yang menyimpan banyak kekayaan.
Ada ikan, udang, ubur-ubur, sampai minyak.

 

Namaku Dedi, kelas lima SD
Kalau libur aku suka membantu nelayan yang akan turun ke laut.
Di Desaku anak yang membantu nelayan kelaut namanya
pecilen

 

Perahu mainan temanku ini diberi nama Sabar ditambah Beres
Kedengarannya lucu tapi aku suka perahu kecil itu karena bentuknya seperti perahu2 di desaku.

 

Dedi:  “Calus cepetan..”

 

Temanku yang bernama Calus inilah pemilik perahu mainan tadi
Calus adalah teman pecilen ku
Sebagai pecilen, dia anak yang berani dan pintar berenang
Umurnya baru sepuluh tahun tapi dia sudah mencari uang dari pecilen
Keberaniannya itulah yang membuat teman-teman menjulukinya “Calus” singkatan dari “Bocah Bulus”
Nama itupun diberikan karena kulit Calus yang juga kasar seperti kulit Bulus.

 

Aku dan Calus tinggal di desa nelayan, desa Dadap namanya di Indramayu dekat Cirebon.
Di desa kami banyak sekali perahu kecil maupun besar karena dari menangkap ikan di lautlah penduduk desa mencari nafkah.

 

Calus mempunyai lima orang adik sehingga ia harus mengalah dan berhenti dari sekolahnya lalu mencari uang dengan bapaknya untuk biaya sekolah adik2nya.

 

Dedi: “Lus.. main yuk”

Calus: “yuuk”

 

Aku kasihan melihat Calus berhenti sekolah karena kata pak Ustad ilmu pengetahuan itu penting.
Orang tanpa ilmu pengetahuan ibarat perahu tanpa pengemudi, perahunya akan hanyut terbawa arus gelombang.

Sebenarnya aku ingin agar Calus bisa menuntut ilmu kembali karena ilmu pengetahuan membuat orang menjadi pintar dan terampil seperti para pembuat perahu di desaku. 
Mereka trampil membuat dan memperbaiki perahu kecil maupun perahu yang besar.

 

(singing traditional song…local language = Sundanese?)

 

Kalau main di tempat ini, aku jadi teringat ayahku yang sudah meninggal ketika sedang membuat perahu di Sumatra.
Karena keahliannya itulah, dia didatangkan dari desaku ke Sumatra untuk membuat perahu.
Aku bangga dengan ayahku yang telah tiada

 

(Reading the Koran)

 

Selain ilmu yang didapat di sekolah, anak-anak di desaku juga banyak yang belajar mengaji dari Pak Ustad di madrasah karena kata bapak tiriku, ilmu juga banyak didapat dari pengajian.

 

Ini bapak tiriku, namanya pak Tarya. 
Ia sayang padaku juga pada adik-adikku.
Jika liburan sekolah aku selalu diajak bapak ke laut untuk jadi pecilen.
Katanya agar aku mendapat ilmu dan pengalaman dari laut.

 

Pagi-pagi sekali kami sudah berangkat ke tengah laut.
Jenis perahu yang kami gunakan biasanya disebut perahu gemplok yaitu perahu kecil yang diberi warna warni dan dihias.
Kata pamanku, pak Rohani, perahu dihiasi dan diberi warna supaya kita kelihatan jaya dan kaya.
Pak Rohani adalah pemilik perahu dan sekaligus sebagai jurumudi perahu ini.
Selain jurumudi di perahu ini ada pula seorang motoris yang bertugas menjalankan mesin, dan para bidak yang tugasnya menjaring ikan. Sedangkan aku dan Calus adalah pecilen yang tugasnya membantu mereka semua.

 

("Tarik tarik…")

 

Sebagai pecilen saat yang paling menegangkan adalah ketika aku atau Calus harus terjun ke laut untuk menjadi umbal atau pelampung.
Umbal atau pelampung adalah orang yang terjun ke laut sambil memegang ujung jaring.
Terkadang aku membayangkan kalau-kalau perahu yang membawaku ini meninggalkanku sendirian di tengah laut atau ada ikan buas yang tiba-tiba menerkamku atau ada gelombang yang besar yang menyeretku ke tengah laut…hiii seram sekali rasanya.

 

Saat yang menegangkan itu usai kalau pecilen sudah diangkat ke atas perahu tetapi pekerjaan lain sudah menunggu yaitu menarik jala bersama para bidak.

 

("Siap..ya satu dua tiga…")

 

Setelah beberapa saat menarik jala adakalanya ikan yang kami dapat bukanlah ikan yang kami harapkan tetapi hanyalah ikan-ikan kecil yang tak berharga.

 

Tugas lain pecilen adalah menyiapkan keperluan bagi para bidak atau para awak kapal seperti memasak nasi untuk makan siang, menguras air yang masuk ke dalam perahu, menyiapkan es sebelum berangkat dan membersihkan perahu dari kotoran-kotoran ikan.

(speaking in local language…)

 

Aku paling takut kalau tiba-tiba mesin perahu rusak atau baling-baling perahu patah atau tiba-tiba gelombang laut menjadi besar karena berpapasan dengan kapal tangker.

 

Untung ada perahu teman bapak yang bisa menarik perahu kami ke pantai.
Saling tolong-menolong di laut kata bapak sudah menjadi tradisi para nelayan.

 

Selesai melaut kadang perahu bertemu dengan kursin yaitu perahu nelayan yang lebih besar
Isi ikannya lebih banyak dibanding perahu gemplok.
Perahu kursin juga ada pecilennya, temanku Samsu jadi pecilen di perahu kursin.

(conversation in local language)

 

(At the fish market)

 

“tarik..”

Setelah mendarat, ikan dijual di tempat pelelangan ikan

Aku suka melihat juru lelang yang menawarkan ikan seperti menyanyi
Dari pelelangan, ikan biasanya dikemas untuk diberi es atau garam dan siap untuk dijual di kota.

 

Selain ikan, para nelayan sekarang juga menangkapi ubur-ubur. 
Kata bapakku dulu ubur-ubur tidak ada harganya tapi sekarang ubur-ubur bisa diekspor ke Jepang atau Korea.

Sedangkan ikan-ikan yang tidak terjual dibuat menjadi ikan asin.

Yang menyenangkan bagi para nelayan adalah bila saat musim ikan tiba karena di saat itulah para nelayan seperti bapak bisa mendapat ikan  teri nasi yang cukup banyak sehingga bisa diekspor ke Jepang dan mendapat penghasilan yang cukup lumayan.

Di saat musim ikan seperti ini seringkali kami baru pulang hingga larut malam.

 

Setiap habis panen ikan, di desaku ada pesta nelayan, namanya Nadran (?).
Aku dan Calus datang juga untuk nonton.

 

Calus paling senang melihat topeng kelana.
Melihat muka topeng aku jadi teringat cerita bapakku tentang asal-usul ikan.
Ceritanya begini, ada seorang pemuda yang cintanya ditolak oleh dewi Sri.
Pemuda itu lalu sakit dan akhirnya mati dan kulitnya membusuk.
Kata utusan dewata, karena badannya yang membusuk maka ia harus dibuang ke laut.  Tapi pemuda itu sempat berjanji bahwa sewaktu-waktu ia akan berjumpa lagi dengan Dewi Sri. 
Tubuh yang membusuk dari pemuda itu akhirnya berubah menjadi ikan.
Teman-teman, janjinya sekarang terpenuhi.  Kalau kita makan sering makan nasi dengan ikan. 
Nasinya Dewi Sri sedangkan ikannya ya pemuda itu, si Jaka Budug.

 

Cerita si Jaka Budug selalu aku ingat kalau melihat Calus yang juga budug
Makanya aku ingin baik karena Calus sebenarnya berguna untuk kita seperti ikan untuk nasi. 

Kalau akhirnya pemuda itu bisa memenuhi janjinya pada Dewi Sri, aku harap Calus juga bisa memenuhi rindunya pada sekolah.

 

C: “Ded..nggambar apa Ded?”

D: “Ini gambar….perahu”

 

D: “…Ini kapal tangker”

(speaking mostly in local language)

 

Mengaji (reading the Koran)

Dedi: “Bismillahirrahmani rahim…”

 

Calus:  “Assalamu alaikum”

Kids and Pak Ustad: “Walaikum salam”

 

Calus: “Pak Ustad, ….melu ngaji”

 

Pak Ustad: “ya..mangga2…duduk sini Calus”

 

Akhirnya Calus pun mulai belajar pada pak Ustad setiap habis magrib

(continue with mengaji)

Pak Ustad: "ayat yang tadi dibaca itu menjelaskan bahwa Allah Subhanahu waTaala memberikan…"

Dia bercita-cita ingin menjadi juragan perahu sedangkan aku bercita-cita menjadi angkatan laut saja biar nanti aku bisa menemani lagi dan menjaga Calus di tengah samudra yang biru

 

The End (Habis)