Desaku Namanya Pilang
Banyak orang, kerjanya (me)mbatik, mulai dari mbah-mbah, ibu-ibu, sampai teman-teman seusiaku. Aku ingin cerita, tentang aku, tempat tinggalku, dan kupu-kupu di atas batikku.
Nonton TV itu kegemaran temanku. Karena itu, Ibu Guru Bahasa Indonesia suka memberi tugas meringkas cerita televisi untuk dibacakan di depan kelas. Temanku itu, namanya Yuda. Dia sedang membacakan ringkasan cerita televisi kemarin malam. Judulnya, Pasukan Turbo.
Namaku Eny Yusofa. Sekarang kelas enam di SD Bilang Dua, Sragen, Jawa Tengah. Aku tidak perlu membuat ringkasan cerita seperti Yuda, karena aku tidak punya televisi. Tapi aku tidak sedih, sebab aku punya kegiatan lain yang lebih menyenangkan.
Ini rumah Ibu Amin, juragan batik paling besar di desa Pilang . Biasanya, ibu-ibu datang ke sini untuk membatik atau menyetorkan batiknya yang telah dikerjakannya di rumah. Untuk aku dan teman-temanku, mbatik seperti menggambar. Menggambar dengan lilin dan canting. Orang menyebut lilin itu malam. Dan, kalau mau dipakai, harus dipanaskan dulu di atas wajan kecil. Canting itu, alat untuk menggambar malam di atas kain, dan seperti pena ada yang tipis dan juga yang tebal.
Untukku dan teman-teman, tempat Bu Amin bukan sekedar tempat pembatikan tetapi tempat main yang menyenangkan. Bisa nonton televisi, atau bermain-main di halaman yang luas. Kalau sedang rajin mbatik, seminggu aku bisa mendapat uang empat ribu rupiah. Semuanya kuberikan ibu, untuk membayar SPP dan keperluan sekolah lain. Atau kadang-kadang untuk beli cat air dan majalah bekas di pasar-pasaran.
|
Kosa kata:
|
Desaku dilintasi sungai Bengawan Solo yang terkenal itu. Aku pernah dengar lagu Bengawan Solo di radio. Ibuku cerita, kalau sungai ini melewati kota Solo yang dikenal dengan kraton, pasar kelewer, kebun binatang, dan pasar malam yang semarak. Kata ibu, aku pernah dibawa ke Solo, melihat pasar malam Sekatenan. Umurku baru dua tahun waktu itu; makanya, aku tidak ingat apa-apa.
Sehabis belajar, kadang aku masih suka mbatik, sampai akhirnya mengantuk. Ibu sering menegurku untuk cepat-cepat tidur. Besok, telat masuk sekolah, katanya.
Aku mbatik sejak umur lima
tahun. Ibu yang pertama kali mengajariku mbatik. Mula-mula, ya, sulit,
tapi, sekarang gampang-gampang saja. Kakakku, namanya Novita, pintar juga mbatik, tapi bapakku tidak bisa mbatik. Dia jualan semangka di pasaran. Aku punya adik yang masih bayi. Aku buatkan kupu-kupu jiplakan dari kertas dan cat air untuk menggodanya. Untukku, mbatik seperti membuat taman bunga untuk kupu-kupu. |