Diskusi Perilaku Waria di Surabaya
Fisip, Kampus B, Unair.
Beberapa permasalahan sosial kerap menyentuh sendi-sendi kehidupan
masyarakat kota. Termasuk diantaranya fenomena waria seperti yang satu ini.
Akhirnya, Himaprodi Antropologi Unair merasa tergelitik untuk mengulas hal
ini. Dalam sebuah obrolan santai yang diadakan di gedung Fisip, Kampus B,
Unair pada Kamis (8/7) kemarin. Acara tersebut dimulai sekitar pukul 19.00
WIB.
"Sebenarnya ide ini didapat dari kegiatan nglencer kami sewaktu ke
Taman Remaja Surabaya (TRS). Di sana setiap hari Kamis kan ada Waria Show,"
tutur Satryo W, salah satu peserta diskusi. Menurutnya, rekan-rekan dari
Himaprodi bersama dukungan dosen, segara berusaha mengulas fenomena tersebut
dalam sebuah bingkai diskusi keilmuan. "Memang kita harus memanfaatkan
laboratorium sosial yang sebenarnya terpampang di sekeliling kita,"
imbuhnya.
Obrolan yang berlangsung gayeng tersebut sengaja digelar pada malam hari,
guna mendekatkan setting diskusi dengan dunia waria itu sendiri. Memang
beberapa waria, masih rajin menghiasi sekat-sekat ruang kota Surabaya di
malam hari. Seperti yang kerap terlihat di Jalan Irian Barat, Rajawali,
Dupak Jaya, Panjang jiwo, Tunjungan, serta beberapa kawasan lain. Para waria
terlihat berinteraksi dan bereksistensi di lokasi-lokasi berkumpul yang
kerap terpenuhi oleh wajah-wajah yang juga 'seragam' dengan mereka. Pada
diskusi malam hari itu, selain para mahasiswa, hadir pula dosen Fisip Unair,
yakni Dr. Toetik Koesbardiati, dra., M.S. Malam itu, Doktor yang pernah
mengikuti course in sexual and reproductive health di Thailand ini
juga berkesempatan membimbing peserta diskusi dalam koridor keilmuan yang
mengalir jernih. Sehingga pembicaraan berlangsung lebih hidup dan terkonsep.
Yang menarik, mahasiswa berhasil pula menghadirkan nara sumber yang juga
mengaku sebagai seorang waria. "Dari sini kita harapkan terbuka wawasan dan
frame berpikir yang baru. Agar kita bisa belajar dan menyikapi lingkungan
dengan kritis," ujar salah seorang panitia penyelenggara.
Dalam diskusi tersebut dibahas beberapa perilaku waria di Surabaya.
Diketahui bahwa mereka memancarkan beberapa hal yang berbeda. Dalam perilaku
sex, beberapa waria didapati memerankan porsi sebagai wanita. Beberapa di
antara mereka bahkan telah memiliki suami yang notabene adalah lelaki tulen.
Dari segi pekerjaan, kebanyakan waria mengeruk pendapatan dari bisnis salon.
Memang, beberapa dari mereka terlihat masih atau minimal pernah dengan
'terpaksa' menjual diri demi sesuap nasi. Bagi kaum waria, status bukanlah
hal yang utama. Mereka sadar bahwa hingga kini masih berada di bilangan
minoritas dalam masyarakat. Para waria sangat giat bekerja guna mencari
bondo urip. Jika sukses, itu bisa mengangkat status keluarga mereka. Di
sinilah mereka akan merasa mendapatkan pengakuan, yakni ketika dianggap
sukses dari kaca mata ekonomi.
Kemudian, jika dilihat dari sudut pandang organisasi sosial, ternyata waria
Surabaya telah memiliki sebuah induk organisasi yang membidani interaksi
sosialnya. Organisasi itu mereka namakan Perwakos, yakni Persatuan Waria
Kota Surabaya. Boleh dibilang, inilah lambang identitas waria Surabaya. Di
sinilah, mereka bisa berekspresi dan tunjukkan jati dirinya. Yang menarik,
secara religi waria berada pada tingkat kepahaman yang mengejutkan. Dalam
arti, bahwa kebanyakan waria tahu benar tata aturan yang ada dalam tiap
agama yang dianutnya. Misalnya dalam sholat, mereka tetap 'sadar' bahwa
dirinya adalah lelaki. Akibatnya, waria tetap sholat menggunakan sarung dan
beribadah dengan mengadopsi cara sebagaimana lelaki sholat pada umumnya. Di
sisi lain, diketahui bahwa dunia waria kerap terlihat keras. Cermin ini
hadir mengingat sifat dasar mereka yang tidak mau dinomorduakan. Hal inilah
yang menurut mereka, lahir sebagai sumber konflik. "Kami ini memang sering
cemburuan kok," ungkap nara sumber. Tak jarang para waria terlibat
perseteruan yang berujung pada kontak fisik. Karena waria memang selalu
ingin jadi nomor satu bagi pasangannya.
~ 09-07-2004 / ho*k ~
|