Jakarta Punya Cerita
Nama saya Putri Dewina Santi Saroyo, umur sepuluh tahun,
sekolah di SD Al Azhar Kemang kelas lima.
Kalau dilihat sepintas, kayaknya senang tinggal di Jakarta.
Mungkin itu sebabnya banyak orang daerah datang mengadu nasib di Jakarta.
Buktinya teman-teman putri orang tuanya hampir semua bukan berasal dari Jakarta.
Teman-teman mama dan ayah juga, sampai-sampai putri bingung orang-orang asli
Betawi pada kemana ya?
Saking banyaknya orang, jalanan menjadi macet.
Untuk mengatasinya, pada pagi hari ada daerah yang hanya boleh dilalui dengan
penumpang paling sedikit tiga orang.
Kalau kurang penumpangnya, mereka biasanya dibantu oleh para joki yaitu
orang-orang yang mencari uang sebagai (pelengkap).
Hal itu memang dilarang tapi karena rumah eyang berada di sekitar kawasan
“three-in-one” kalau tidak ada orang yang bisa diajak, saya terpaksa menggunakan
jasa joki "three-in-one."
(Conversation)
Putri: “…kelas berapa?”
Danang: “kelas lima”
Putri: “sama dong..aku juga kelas lima”
Danang: “kalo kamu dimana?”
Putri: “Aku di Al-Azhar Kemang”
Danang: “ooh..”
Putri: “eeh..kamu kok kayaknya kok mirip sama komik sih….Doraemon”
Danang: “…..”
Hingga, satu hari saya bertemu dengan seorang joki yang bernama Danang.
Danang: “'Makasih ya Pak”
Pagi hari di Jakarta adalah suasana yang
sangat membosankan.
Bis-bis miring penuh penumpang, lalu lintas kacau, pengasong sibuk menawarkan
dagangannya, orang sibuk berangkat kerja.
Kata mama hidup di Jakarta memang keras. Semua orang harus menciptakan peluang untuk diri masing-masing.
Selain penduduk Jakarta sendiri, setiap hari Jakarta diserbu para pekerja yang berasal dari Botabek sehingga kalau siang hari penduduk Jakarta menjadi sebelas juta orang, padat sekali ya?
Untuk yang bernasib lebih baik, sepertinya semua harus
disyukuri.
Semua keperluan sudah dipenuhi, tak perlu susah-susah seperti Danang dan
teman-temannya.
Karena jalanan bisa macet berjam-jam, waktu sebanyak itu bisa saya manfaatkan untuk istirahat, bikin PR atau menyiapkan diri untuk kegiatan di luar sekolah.
Jakarta terus membangun, gedung-gedung semakin banyak, jumlah mobil terus bertambah, jalan-jalan macet, asap-asap kendaraan semakin tebal.
Pendatang baru semakin memadati kota.
Kata mama yang bisa mengikuti irama kehidupan kota pasti bisa bertahan, jika
tidak pasti tersingkir.
Atau seperti kata pepatah “ikut atau tersikut”
Danang “Merdekaaaaaaaa”
Setiap pagi anggota keluarga kami sibuk dengan keperluan
masing-masing.
Eyang sibuk, mama sibuk, demikian juga dengan ayah.
Ayah saya bertugas sebagai polisi dan kini bertugas di POLRES
Jakarta-Utara.
Karena bertugas di bagian Serse, jarang ayah berpakaian seragam.
Saya juga selalu sibuk setiap pagi.
Sibuk mencari orang yang akan menemani kami melewati daerah three-in-one.
Kadang-kadang saya ditemani oleh Dewi, pembantu di rumah atau kadang-kadang oleh
adik bayi saya yang tentu saja masih dipangku oleh baby sitternya.
Semua anggota keluarga berangkat dengan mobil
masing-masing.
Kadang-kadang terpikir apakah Jakarta macet karena setiap rumah memiliki mobil
lebih dari enam?
Cobalah kita iseng-iseng menghitung, ada berapa ya rumah yang memiliki mobil
lebih dari satu?
Dan semuanya keluar pada waktu yang bersamaan.
Wuih..ngeri juga ya membayangkannya.
Kalau mendengar cerita Danang, kadang-kadang saya sedih,
terharu atau gembira karena dia banyak bercerita hal-hal baru yang belum pernah
saya dengar sebelumnya.
Saya senang berteman dengan Danang karena kami bisa berbagi
cerita.
Pengalaman kami sangat berbeda.
Danang: “…aku kan pernah ketangkep”
Putri: “Loh kok bisa ketangkep?
Danang: “aku kan lagi gitu….polisinya pada nyamar…”
P: “Nyamar gimana?”
D: “Jadi orang biasa, pakaian biasa..bukan pakaian dinas”
P: “dimana?”
D: “di Jalan Sisingamangaraja”
P: “Trus, kamu ditangkapnya berapa hari?”
D: “Tiga hari, langsung sama ibuku ditebus”
P: “ditebusnya berapa?”
D: “lima puluh ribu”
P: “lima puluh ribu? Habis itu kamu bebas?”
D: “…”
P: “Danang, kamu nggak kapok jadi joki?”
D: “kapok juga tapi mau membantu orang tua bagaimana?”
P: “lha…emang kamu nggak mencoba pekerjaan lain?”
D: “pernah tapi untungnya lebih sedikit dari pada di three-in-one…misalnya”
Setiap hari kita masih melihat warga yang tidak disiplin.
Sudah dikasih tempat, tapi nyebrang tetap sembarangan.
Kendaraan umum sudah mengabaikan kewajiban menutup pintu dan berhenti semaunya.
Trotoar dipenuhi oleh para pedagang dan pengendara motor,
sungai-sungai kotor karena banyak yang membuang sampah sembarangan.
Peraturannya sih banyak yang bagus tapi sering dilanggar.
Kasihan juga ya pak Gubernur yang setiap hari memikirkan Jakarta yang semakin
semrawut.
Danang: "Matematika sih aku bisa atasin, kalau bahasa inggeris aku tidak"
Putri: "Matematika itu lebih susah"
Danang: "Siapa bilang?"
Putri: "Pokoknya susah"
Danang: "Enggak….bahasa Inggeris"
Putri: "Enggak…Matematika"
Danang: "Bahasa Inggeris…"
Putri: “eh aku punya tebakan……kalau hantu bahasa inggerisnya apa?”
Danang: “ghost”
Putri: "Kalau hitam?"
Danang: "black"
Putri: "Kalau hantu hitam?"
Danang: "ghost black"
Putri: "salah…"
Danang: "Apa?"
Putri: "Gosong!"
Putri: "Kalo kamu apa?"
Danang: "eeeng aku nggak punya tuh tebakan kayak gitu.."
Putri: "aah yang lain deh…(putri cerita) dulu ya….pintu bahasa inggerisnya apa?"
Danang: "Door"
Putri: "kalau buka?"
Danang: "Open"
Putri: "Kalau buka pintu?"
Danang: "Open the door"
Putri: "Salah…"
Danang: "Apa?"
Putri: "Dorong…"
Rumah eyang memang besar sehingga saya bisa bermain apa
saja.
Kadang-kadang suasana terasa sepi karena tidak ada yang diajak bicara apalagi
sejak kepergian kakak saya untuk bersekolah di Singapur.
Saya juga harus mencari kesibukan sendiri agar tidak
menjadi bosan.
Kadang-kadang saya main di film iklan atau sinetron, kadang-kadang saya
berkunjung ke rumah teman, termasuk juga rumah Danang.
Danang: "Kita main halma yuk.."
Putri: "Aku nggak tahu caranya"
Danang: "Nanti aku ajarin…"
Putri: "Yuk…"
Danang: "Aku yang duluan ya?"
Danang: " eeeh enggak boleh…itu kan bisa ditemenin"
Putri: "Ya boleh…"
Danang: “Ya enggak”
Putri: "…jadi harus gimana?"
Danang: "Kita harus didepannya kosong.. yang nggak ada temannya"
Putri: "Ini deh…"
Danang: "Aku ya…"
Putri: "Aku ya…kalo gini makan?"
Danang selalu menikmati kalau kami pergi ke pusat
perbelanjaan yang memiliki arena bermain.
Seperti biasanya kami selalu ribut untuk menentukan mainan apa yang kami pilih.
Danang : "Kita mainnya gantian dulu…"
Putri: "aaah…"
Putri: "Danang kamu mau main apa nih??"
Danang: "Emang ada apa aja?"
Putri: "Ada Super Mario, ada Zelda, ada Batman, ada Dragon Ball, ada…, ada Double Dragon, ada Bola"
Danang: "Ya Bola…Bola"
Danang: "Aku main yang ini??"
Putri: "iya…"
Kunjungan kali ini Danang cerita tentang Sumi, anak Haji
Bokir tokoh kesenian Topeng Betawi.
Danang mengajak saya berkunjung kesana.
Tentu saja saya setuju karena sejak lama saya ingin bergaul lebih dekat dengan
orang-orang Betawi.
Kids playing: "Serbu…"
Girl dancing: "…lima, enam, tujuh, delapan…"
Haji Bokir: "Terusin yah.."
Girl dancing: "…dua, tiga, empat, lima enam tujuh delapan…
Dua tiga empat"
Putri: "Inilah Sumi penari handal yang selalu ikut serta bersama ayahnya Haji Bokir dalam kelompok Topeng Betawi yang diberi nama Setia Warga
Ia bercita-cita untuk melestarikan tarian Betawi seperti ayahnya."
Putri: "Asyik juga…Cuma susah…..kapan-kapan ajarin aku yah"
Saya belajar banyak dari Sumi dan Danang.
Sebelumnya saya tidak tahu banyak tentang kehidupan masyarakat Betawi.
Saya kagum dengan semangat mereka.
Begitu banyak orang datang ke Jakarta mengejar mimpinya
masing-masing tapi hanya sedikit yang peduli terhadap kelestarian lingkungan dan
keseimbangannya.
Kita bisa mewujudkannya bersama-sama karena kita tidak bisa melakukannya
sendiri.
The End (Habis)