Siew Lian Lim
04/30/12
Ibu Henry
Laporan : belajar dengan Pak Nurul
Kebanyakan waktu dalam semester ini, pembantu guru kita, Pak Nurul dan saya mendiskusikan baik ilmu alam maupun program-program pelajaran yang bagus di Kota Yogyakarta, Indonesia. Pak Nurul berasal dari Kota Salatiga yang dekat dengan Kota Yogyakarta tempat dia dilahirkan dan dibesarkan[PBH1]. Ini karena saya akan menghadiri program Lingkungan Pelajaran Bahasa Asing dan memperlajari Bahasa Indonesia di Wisma Bahasa, Yogyakarta, musim panas yang akan datang. Ini Yang menarik perhatian saya, dan menyebabkan saya mempelajari lebih banyak tentang kebudayaan dan alam Yogyakarta, Indonesia, pada umumnya, dan pada khususnya tentang wayang kulit kontemporer.
Kami mulai dengan sebuah artikel tentang sebuah konferensi di Yogyakarta yang dipimpin oleh Escobar Varela dari Mexico membahas wayang modern. Varela melakukan penelitian pada boneka dari seluruh dunia. Dia terkesan dengan wayang kulit Indonesia. Salah satu dalang yang dibicarakan Varela adalah seniman kontemporer Ki Enthus Susmono. Salah satu seniman telah saya pelajari.
Pak Nurul dan saya melanjutkan pembahasan tentang proyet Susmono, Wayang Bocor, dari artikel yang lain. Ini adalah proyek kelompok yang mengemukakan disiplin ilmu yang berbeda. Seni Visual yang diwakili oleh Eko Nugroho dengan membuat boneka-boneka dari kartunnya sendiri. Ki Catur Kuncoro mempertunjukkan sepatu boneka[PBH2]. Yenny Ariendra mengkomposisikan musik. Ignatius Clink Sugiarto mengurus pencahayaan dan merancangkan panggung. Pertunjukkan Wayang Bocor itu ditulis dan disutradarai oleh Gunuwan Maryanto yang dikenalkan sebagai ‘bayi tikus’. Kami membahas artikel ini secara rinci dan membicarakan bagaimana hal ini menunjukkan betapa pentingnya Yogyakarta ada dalam seni kontemporer Indonesia. Pak Susmono lulus dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta (ISI) dan Pak Nurul menjelaskan makna ISI kepada saya. Pak Nurul juga melukiskan bagaimana lingkungan di sekitar sekolah dan bagaimana sampai ke ISI dari Wisma Bahasa.
Seniman kontemporer lain yang saya pelajari adalah Heri Dono. Seperti Pak Susmono, demikian juga Pak Dono, yang lulus dari ISI juga. Pak Dono juga sangat dipengaruhi oleh wayang kulit. Oleh karena itu, setelah Pak Dono lulus dari ISI, dia dilatihkan oleh seorang dalang modern, Pak Sigit Sukasman.
Fokus kami kemudian beralih ke Pak Sigit. Dengan bantuan Pak Nurul, saya mulai mengadakan penelitian mengenai Pak Sigit yang wafat pada tanggal 29 bulan Oktober tahun 2009. Saya menemukan sebuah artikel di KOMPAS, “Sigit Sukasman, Sang Pencinta Wayang…” yang merupakan penghargaan terhadap Pak Sigit dan menceritakan kecintaanya pada wayang. Ini yang menjadi bahan bacaan di kelas Ibu Henry. Dan saya membicarakan artikel lain tentang Pak Sigit, “Sukasman menemukan rahasia boneka,” dalam The Jakarta Post dengan Pak Nurul. Dari artikel ini , ia menjelaskan kepentingan Pak Sigit dalam Seni Visual. Dan beliau menjadi baik seorang seniman visual dengan gaya sendiri yang bernama Wayang Ukur maupun seorang dalang. Dia bekerjasama dengan muridnya, Heri Dono, di dalam beberapa proyek seni.
Selain membahas Yogyakarta dan seniman, Pak Nurul dan saya juga bekerjasama dalam presentasi untuk pameran tesis MFA saya pada tanggal 21 bulan Maret tahun 2012. Saya menulis script untuk persembahan itu dan kami berlatih bersama-sama beberapa kali dalam Bahasa Indonesia dan Inggeris. Dalam hal ini juga, Ibu Henry meminjamkan buku-buku tentang wayang kulit untuk saya.
Sekian terima kasih.