BERITA FOTO: Selamat Jalan Ayah...
 
Rumah Tangga Kepresidenan/Abror Rizky
Suasana haru menyelimuti keluarga Cendana. Siti Hardiyanti Rukmana, putri sulung mantan Presiden Soeharto, melihat wajah ayahnya saat disemayamkan di rumah duka Jalan Cendana, Jakarta Pusat, Minggu (27/1).
 
Artikel Terkait:
Minggu, 27 Januari 2008 | 21:43 WIB

Suasana haru menyelimuti keluarga Cendana. Di tengah sesaknya para pelayat dan hujan gerimis yang turun di Jakarta, anak-anak dan cucu Soeharto menunggui jenazah mantan Presiden RI itu.

Siti Hardiyanti Rukmana, putri sulung mantan Presiden Soeharto, melihat wajah ayahnya saat disemayamkan di rumah duka Jalan Cendana, Jakarta Pusat, Minggu (27/1).

 

 

Pandangan Hidup Soeharto (1)

 
KOMPAS-PERSDA NETWORK
Dokumentasi Harian Kompas dan Persda Network. (dari kiri ke kanan) Potret HM Soeharto dari tanggal 6 Maret 1956 sampai 5 Mei 2006. Mantan Presiden RI dan penguasa orde baru ini dinyatakan wafat pada 27 Januari 2008 pukul 13.10 WIB di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta Selatan. (FILE KOMPAS-PERSDA NETWORK/BIAN HARNANSA)
 
Artikel Terkait:
Minggu, 27 Januari 2008 | 20:22 WIB

SELAMA terbaring di rumah sakit pada usianya yang 86 tahun, banyak spekulasi tentang kondisi kesehatan mantan Presiden Soeharto. Sejumlah paranormal berkomentar dari soal jimat, susuk, dan yang bau-bau seperti itu.

Kini, tokoh fenomenal yang terlahir dari keluarga petani di Desa Kemusuk, Sedayu, Bantul, Yogyakarta, yang mencapi puncak kekuasaan sebagai Presiden Republik Indonesia selama 35 tahun itu wafat. Lalu apa dan bagaimana pandangan hidup Soeharto?

ADALAH Ny Sukirah. Tepat 8 Juni 1921, seorang bocah keluar dari rahimnya. Tangis Soeharto kecil pecah, manakala Mbah Kromodiryo --seorang dukun bayi-- membantu persalinan Ny Sukirah. Mbah Kromo masih terhitung kerabat dekat dengan Soeharto. Pria itu adalah adik kandung kakeknya Soeharto.

Proses kelahiran Soeharto berjalan lancar. Bocah itu lahir di rumah ibunya di Desa  Kemusuk, sebuah dusun terpencil di daerah Argomulyo, Godean --sebelah Barat
Yogjakarta. "Ayah saya adalah ulu-ulu, petugas desa pengatur air yang bertani di atas tanah lungguh, tanah jabatan selama beliau memiliki tugasnya. Beliau yang memberi nama Soeharto kepada saya," kenangnya.

Soeharto adalah anak ketiga Kertosudiro. Dari istri yang pertama, Kertosudiro  mempunyai dua anak. Sebagai duda, Kertosudiro bertemu dengan Sukirah. "Tetapi
hubungan orang tua saya kurang serasi hingga akhirnya setelah saya dilahirkan, mereka bercerai," tutur Soeharto.

Beberapa tahun kemudian Ny Sukirah menikah lagi dengan Atmopawiro. Dari pernikahannya itu ia dikaruniai tujuh orang anak. "Sementara ayah saya menikah lagi dan mendapatkan empat anak," ujarnya.

Soeharto kecil belum genap berusia 40 hari. Sukirah mengendong bayinya ke rumah Mbah Kromodiryo, dengan alasan dirinya sedang sakit dan tak bisa memberikan
air susu ibu. Di rumah itulah Soeharto ditimang-timang Mbah Amat Idris. "Mbah Kromo yang mengajar saya berdiri dan berjalan dan seringkali beliau membawa
saya kemana-mana kalau beliau pergi bertugas keluar rumah. Kalau Mbah Kromo putri menjalankan prakteknya sebagai dukun bayi dan saya tidak dibawanya," kenang
Soeharto.

Wajar saja kalau Desa Kemusuk merupakan desa yang tak bisa dilupakan Soeharto. Di tanah Kemusuk itu pula, Soeharto masih teringat betapa nikmatnya diajak jalan-jalan oleh Mbah Kromo ke sawah. Sesekali Soeharto berada di pungung Mbah Kromo yang sedang menyangkul sawah. Kadang-kadang Soeharto duduk di atas garu dan memberi isyarat kepada kerbau untuk maju, membelok ke kanan dan ke kiri.

"Lalu turun ke sawah bermain air bermandikan lumpur. Maka kalau terasa capek atau kepanasan, saya disuruhnya menunggu di pinggir, di pematang atau di jalan. Pada kesempatan ikut dengan Mbah Kromo, saya suka mencari belut yang jadi kesukaan saya waktu makan," kenangnya.

Saat Soeharto kecil berusia empat tahun, ia diambil kembali oleh ibu kandungnya dan
diajak menetap di rumah Atmoprawiro, ayah tirinya.

***

KEPRIHATINAN hidup yang dialami Soeharto di masa kanak-kanak, termasuk masalah pendidikan keluarganya --menjunjung tinggi warisan nenek moyang, pendidikan kebangsaan sewaktu di sekolah lanjutan rendah, pendidikan agama sewaktu mengaji-- telah mempengaruhi watak Soeharto.

Selain itu, Soeharto mengaku diajari latihan spiritual oleh ayah angkatnya. Misalnya, puasa Senin dan Kamis. "Tidur di tritisan (di bawah ujung atap di luar rumah). Semua anjurannya saya kerjakan dengan tekun dan penuh keyakinan. Ada anjuran yang belum saya kerjakan, yaitu tidur di pawuhan, di tempat bekas bakaran sampah," kenang Soeharto dalam otobiografinya.

Pada masa itu, Soeharto mengaku ditempa untuk mengenal dan menyerap budi pekerti dan filsafat hidup. "Pada masa itulah saya menenal ajaran tiga 'aja'. 'Aja
kagetan, aja gumunan, aja dumeh
(jagan kagetan, jangan heran, jangan mentang-mentang) yang kelak jadi pegangan hidup saya dan jadi penegak diri saya dalam
menghadapi soal-soal yang bisa menguncangkan diri saya. Saya ingat terus ajaran leluhur, hormat kalawan gusti, guru, ratu dan wong tuwo karo (hormat kepada
Tuhan Yang Maha Esa, guru pemerintah dan kedua orang tua)," paparnya.

Suatu hari Soeharto pernah menjelaskan soal mistik. Katanya, pengertian mistik  adalah ilmu kebatinan, bukan klenik. Tujuan ilmu kebatinan ialah mendekatkan
batin dengan pencipta -- Tuhan Yang Maha Kuasa.

"Sesuai dengan peninggalan nenek moyang kita, ilmu kebathinan itu adalah untuk mendekatkan batin kita kepada-NYA. Itu antara lain berdasarkan ilmu kasunyatan, ilmu sangkan paraning dumadi dan ilmu kasampurnaning hurip (kesempurnaan hidup). Itulah kebatinan yang sebenarnya," kata Soeharto, suatu hari seperti dalam otobiografinya.

Bahkan, Soeharto menilai masyarakat kadang salah kaprah karena mengira ilmu kebatinan itu adalah ilmu klenik. "Ajaran agama juga sebetulnya sama saja. Agama
itu mengajarkan supaya kita dekat kepada Tuhan. Percaya kepada Tuhan, takwa berarti tunduk, patuh kepada perintah Tuhan dan menjauhi larangan-larangan-NYA," tambah Soeharto.

Soeharto mengakui bahwa Tuhan itu ada sekalipun tidak berwujud. "Jadi ini soal keyakinan. Tidak hanya orang beragama saja yang percaya, berdasarkan iman bahwa
Tuhan itu ada. Orang yang mengolah kebatinan pun menyadari kehidupan itu demikian halnya, percaya bahwa Tuhan itu ada," jelas Soeharto.

Soeharto mengingatkan, kalau ingin memperdalam kebatinan, ingin mendekatkan diri kepada Tuhan, manusia harus bisa mengendalikan dua sifat yang bertentangan pada manusia. "Ilmu klenik adalah ilmu kanuragan, ilmu untuk mencari kesempurnaan hidup, tetapi batinnya bukan didekatkan kepada Tuhan, melainkan hanya untuk kandel tipising kulit. Fisik saja. Jadi kebal senjata," paparnya, sambil menambahkan untuk mempunyai kekuatan semacam itu bisa diperoleh melalui ilmu klenik. "Ini juga ilmu. Tetapi hanya untuk kekuatan badan, bukan untuk kekuatan
batin." (achmad subechi)