Click here for Concordance
Click here for Word Frequency
Click for English Translation
Keroncong Pembunuhan
Oleh: Seno
Gumira Ajidarma
hampir malam
di Yogya
ketika
keretaku tiba
Lagu keroncong
membuatku ngantuk, padahal malam ini aku harus membunuh seseorang.
Orang-orang tua memang menyukai lagu keroncong, ini membuat mereka
terkenang-kenang akan masa lalunya.
Mereka terserak
di bawah sana, di sekitar kolam renang, tapi tampaknya tak banyak yang
mendengarkan lagu keroncong itu dengan sungguh-sungguh. Mereka bercakap
sendiri, riuh dan tawa sesekali pecah dari tiap kerumunan.
Tak semuanya
tua memang, bahkan banyak wanita muda. Paling tidak itulah yang menarik
perhatianku. Lewat teleskop pada senapan ini, aku memperhatikan mereka satu
per satu, seolah-olah aku berada di antara mereka. Sebuah pesta yang meriah.
Ada kambing-guling. Hmmm…
|
Garis silang
pada teleskop itu terus saja bergerak. Sesekali berhenti pada dahi seseorang,
dan mengikutinya. Kalau kutekankan telunjukku, tak pelak lagi dahi itu akan
berlubang. Dan tubuh orang itu akan roboh. Bisa roboh perlahan-lahan seperti
pohon ditebang, bisa pula tersentak dan mengacaukan kerumunan orang yang
sedang tertawa-tawa itu, menumpahkan gelas pada nampang yang dibawa pelayan.
Tentu lebih menarik lagi kalau tubuh itu terpental ke kolam renang dengan
suara bergedebur sehingga airnya muncrat membasahi pakaian para tamu dan
kolam renang itu segera berwarna merah karena darah dan wanita-wanita
berteriak: “Auuww!” |
Tapi aku belum
menemukan orang yang mesti kubunuh. Memang belum waktunya. Ia akan datang
sebentar lagi. Dan sebetulnya aku pun tak perlu terlalu repot mencarinya
karena pesawat komunikasi yang terpasang pada telingaku siap menunjukkan
orangnya.
“Kamu
sudah siap?” terdengar suara pada headphone itu, sebuah suara yang
merdu.
“Dari tadi aku sudah siap, yang mana orangnya?”
“Sabar dong, sebentar lagi.”
Dari teras lantai 7 hotel ini, aku masih mengintip lewat teleskop. Angin
laut yang basah terasa asin di bibirku. Iseng-iseng sambil menunggu sasaran,
aku mencari orang yang berbicara padaku. Dan aku melihat wajah-wajah pada
teleskop. Para wanita dengan pakaian malam yang anggun. Ada yang punggungnya
terbuka. Cantik sekali. Aku tak mengira seorang wanita akan terlibat dalam
pembunuhan seperti ini.
“Siapa sasaranku?” tanyaku minggu lalu, ketika dia memesan penembakan ini.
Dilakukan lewat telepon seperti itu, tentu wajahnya hanya bisa kukira-kira
saja.
“Kau tidak perlu tahu, ini bagian dari kontrak kita.”
Kontrak
semacam ini memang sering terjadi. Aku dibayar untuk menembak, siapa yang
jadi sasaran bukan urusanku.
|
“Tapi satu hal
kau boleh tahu.”
“Apa?"
“Orang itu
pengkhianat.”
“Pengkhianat?”
“Ya, pengkhianat bangsa dan negara.”
Jadi, sasaranku adalah seorang pengkhianat
bangsa dan negara. Apakah aku termasuk pahlawan jika menembaknya? Kugerakkan
lagi senapanku. Dari balik
teleskop kuteliti orang-orang yang makin banyak saja berdatangan. Ada
sesuatu yang terasa kurang enak setiap kali aku menatap wajah orang-orang di
bawah itu.
Memang wajah
mereka adalah wajah orang baik-baik, tapi entahlah apa yang kurang enak di
sana. Apakah karena banyak yang memakai baju resmi, seragam yang kubenci?
Ataukah karena perasaanku saja. Namun sungguh mati, aku akan sangat
berbahagia kalau korbanku kali ini adalah seseorang yang memuakkan.
Kuedarkan lagi
senapanku. Mengintip kelakuan orang tanpa diketahui rasanya menyenangkan.
sepasang mata
bola
dari balik jendela
Belum habis juga lagu keroncong itu. Rasanya lama sekali. Seperti juga
orang-orang di bawah sana, aku tak perlu mendengarkannya dengan
sungguh-sungguh. Musik keroncong sekarang ini seperti benda museum, para
senimannya kurang jenius untuk membuatnya lebih berkembang. Di manakah
wanita yang bersuara lembut itu?
|
Di mana-mana orang mengunyah makanan, menyeruput minuman, tersenyum dan
tertawa. Ada ibu-ibu berdiri dengan kaku di samping suaminya yang sibuk
bicara dengan tangan bergerak-gerak ke segala penjuru. Bapak-bapak yang dari
wajahnya tampak berjiwa pegawai, menyembunyikan diri dengan sopan, tapi
makan banyak-banyak. Tampak pula petugas berpakaian preman mondar-mandir
membawa walkie-talkie. Agaknya pesta kambing-guling pada tepi kolam
renang dalam sebuah hotel di tepi pantai ini dihadiri orang-orang penting.
Malam cerah dan langit penuh bintang. Bahkan bulan pun sedang purnama.
Kuletakkan senapanku karena pegal. Aku berjalan ke dalam kamar, mengambil
kacang dari meja. Kupasang televisi, tapi segera kumatikan lagi. Acara
televisi selalu buruk. Sunyi sekali rasanya kamar hotel ini. Aku ingin
buru-buru menembak sasaranku, lantas pulang dan minum segelas bir.
“Hei, kamu masih di situ?” tiba-tiba terdengar lagi suara itu.
“Ya, kenapa?”
“Jangan
main-main! Aku tahu kamu tidak di tempat!”
Aku bergegas
kembali ke teras.
“Bagaimana?
Sudah datang orangnya?”
“Dia memakai
baju batik merah, kebetulan satu-satunya yang merah di sini, jadi enak untuk
kamu.”
|
Kulihat ke bawah,
mereka seperti kerumunan makhluk-makhluk kecil, tentu tak terlalu jelas mana
yang berbaju batik merah dari lantai 7 seperti ini. Kuangkat kembali
senapanku. Kucari posisi yang enak. Sambil mengunyah kacang aku mengintip
kembali lewat teleskop. Garis silang itu kembali beredar dari wajah ke wajah.
Mereka masih tertawa-tawa dan tersenyum-senyum. Aku juga tersenyum. Sebentar
lagi wajahmu akan ketakutan tanpa tahu malu. Tapi aku tidak melakukan itu.
Aku hanya bekerja berdasarkan kontrak.
“Di sebelah mana
dia?” tanyaku lewat mike yang tergantung di bawah daguku.
“Dia di sudut
kolam renang sebelah selatan, dekat payung hijau.”
Kugeserkan
senapanku ke kanan. Kulewati lagi wajah-wajah berlemak, klimis, dan
gemerlapan. Wanita-wanita cantik terpaksa kulewati begitu saja.
Dan, nah, itu dia, seorang
lelaki yang mamakai baju batik berwarna merah.
Wajahnya tampan dan berwibawa. Ia sudah
setengah umur tapi tak tampak telah uzur.
Rambutnya
disisr rapi ke belakang. Ia tak banyak tertawa dan tersenyum. Orang-orang
mengerumuninya dengan hormat. Ada juga yang berwajah menjilat. Garis silang
pada teleskopku berhenti tepat di antara kedua matanya.
|
“Apakah harus
kulakukan sekarang?”
“Nanti dulu,
tunggu komando!”
Dan aku
mengamati wajah itu. Adakah ia mempunyai firasat? Dari balik teleskop ini,
wajah-wajah memunculkan pesonanya sendiri, yang berbeda dibanding dengan
bila kita berhadapan langsung dengan orangnya. Ia tak banyak bicara, namun
tampaknya ia harus menjawab banyak pertanyaan. Dan aku merasa bahwa ia
sangat hati-hati menjawab. Wajahnya menunjukkan niat bersopan santun yang
tidak menyebalkan. Apakah yang akan terjadi kalau ia kutembak mati? Aku
teringat kematian Ninoy di Filipina….
Tapi aku
tidak tahu politik. Jadi, sambil menatap wajah yang akan berlubang itu, aku
berpikir tentang yang lain.
Mungkin ia punya istri, punya anak. Bahkan
kupikir ia pun pantas punya cucu. Mereka akan bertangisan setelah mendengar
kematian orang ini, dan tangis itu akan makin menjadi-jadi ketika mengetahui
cara kematiannya. Biar saja. Bukankah ia seorang pengkhianat bangsa dan
negara? Ia pantas mendapatkan hukumannya.
Agak tegang juga aku menunggu perintah menembak. Itulah repotnya selalu
bekerja berdasarkan kontrak. Tidak bisa seenaknya sendiri. Aku dibayar untuk
mengarahkan garis silang teleskop senapanku pada tempat yang paling
mematikan, untuk kemudian menekan pelatuknya. Aku selalu mengatakan pada
diriku sendiri bahwa aku tidak membunuh orang, aku hanya membidik dan
menekan pelatuk.
|
Kutatap lagi wajah itu, rasanya begitu dekat, bahkan pori-porinya terlihat
dengan jelas. Aku bagaikan menatap bayang-bayang takdir. Siapakah sebenarnya
yang menghentikan kehidupan orang itu, akukah atau Kamu? Orang itu tak sadar
sama sekali kalau malaikan maut telah mengelus-elus tengkuknya.
“Bagaimana? Sekarang?”
“Aku bilang tunggu perintah!”
Sialan
cewek itu, berani benar membentak-bentak seorang pembunuh bayaran. Tanganku
tiba-tiba bergerak sendiri menggeser senapan itu. Dengan indra keenam ia
kucari di antara kerumunan orang banyak. Wajah-wajah cantik silih berganti
mengisi teleskopku. Aku harus memancing dia bicara.
“Tunggu perintah
apa lagi?”
“Kau tak perlu
tahu, pokoknya tunggu!”
“Ini tidak ada dalam perjanjian.”
“Ada! Kamu
jangan main gila.”
selendang sutra
tanda mata darimu
|
Busyet! Lagu keroncong itu lagi, jelas sekali di telingaku. Pasti ia berada
di dekat orkes. Kucari-cari sekitar orkes. Teleskopku sempat mampir di dada
penyanyi keroncong yang membusung itu. Ada beberapa kerumunan. Di telingaku
juga berdentang bunyi gelas dan piring. Ia mungkin di belakang orkes, dekat
meja prasmanan. Ada beberapa wanita, dan petugas-petugas berpakaian preman.
Yang mana? Aku meneliti mereka satu per satu. Beberapa di antaranya jelas
cuma pegawai perusahaan catering. Ada satu wanita bertampang juragan.
Mungkin satunya lagi. Rambutnya lurus dan hitam dengan poni menutup dahinya.
Matanya menatap tajam ke arah si baju batik merah!
“Tembaklah dia sekarang,” ujarnya pelan dalam headphone-ku, dan
kulihat dari teleskop dia memang berkata-kata sendiri. Rupanya betul dia. Ia
mendengar lewat giwang dan berbicara padaku lewat mikrofon yang tersembunyi
dalam leontin kalungnya. Leontin yang indah, terpajang di dadanya yang
tipis.
“Apa?” tanyaku lagi, karena ingin meyakinkan, memang dia orangnya.
“Tembak sekarang!”
Jadi seperti inilah semua pembunuhan itu berlangsung. Mata rantai tanpa
ujung dan pangkal. Wanita ini tentu hanya salah satu mata rantai. Kualihkan
senapanku kembali pada sasaran. Lelaki setengah tua itu sedang mendengarkan
cerita seseorang di hadapannya dengan sabar. Orang yang bercerita itu tampak
berapi-api, namun lelaki itu kelihatannya menahan diri untuk tidak ikut
terbakar. Ia mengangguk-angguk sambil mencuri pandang ke sekelilingnya.
Seperti khawatir ada yang mendengar.
|
Aku sudah siap menembak. Satu tekanan telunjuk akan mengakhiri riwayat
lelaki itu. Garis silang pada teleskop kugeser agak ke samping, supaya
lubang peluru pada kepalanya tidak membuat pembagian yang terlalu simetris.
Peluruku akan menembus mata kirinya. Dan aku menatap mata orang itu. Astaga.
Benarkah dia seorang pengkhianat?
“Kau tidak keliru? Benarkah ia seorang pengkhianat?”
“Tidak usah tanya-tanya, tembak sekarang!” Aku menatap lagi matanya,
pengkhianat yang bagaimana?
“Pengkhianat yang bagaimana? Kenapa tidak diadili saja?”
“Apa urusanmu tolol? Tembak dia sekarang, atau kontrak kubatalkan!”
Perasaan aneh tiba-tiba merasuki diriku. Aku malah mengarahkan senapan pada
wanita itu.
“Laras senapanku mengarah padamu manis,” kataku dingin.
“Apa-apaan ini?” Dalam teleskop kulihat wajahnya mendongak ke arahku dengan
kaget.
“Katakan padaku,” kataku lagi, “apa kesalahan orang itu?”
“Tembak dia
sekarang tolol, atau kamu akan mati!”
“Justru kamu yang bisa segera mati.”
“Omong kosong!
Kamu tak tahu di mana aku.”
|
“Kamu memakai
cheongsam dengan belahan di paha, kamu ada di belakang orkes.” Dan
kulihat wajahnya menjadi pucat.
“Kamu sudah
melanggar kontrak.”
“Aku tidak mau
menembak orang yang tidak bersalah."
“Itu bukan
urusanmu, tahun lalu kamu menembak ribuan orang yang tidak bersalah.”
“Itu urusanku
sendiri, katakan cepat apa kesalahan orang itu!”
Wanita itu tampak beranjak akan lari.
“Jangan lari, tak ada gunanya, tak ada seorang pun yang akan tahu siapa
menembakmu. Senapan ini dilengkapi peredam. Kamu tahu tembakanku belum
pernah luput, dan aku bisa segera lenyap.”
Wajahnya
menatap ke atas, ke arahku. Kulihat ia berkeringat dingin. Gelisah.
“Apa maumu?”
“Katakan
kesalahannya.”
“Ia pengkhianat, ia menjelek-jelekkan nama
bangsa dan negara kita di luar negeri.”
|
“Cuma itu?”
“Ia meresahkan masyarakat dengan pernyataan-pernyataan yang tidak benar.”
“Lantas?”
“Kamu mau apa? Aku tidak tahu banyak.”
“Aku ingin tahu, apakah semua itu merupakan alasan yang cukup untuk
membunuhnya.”
“Itu bukan urusanmu. Ini politik.”
“Urusanku adalah leontinmu manis, ia bisa pecah berantakan oleh peluruku,
dan peluru itu tak akan berhenti di situ.”
Wajah itu kembali menatap ke arahku dengan pandang menghiba.
“Jangan tembak aku! Aku tidak tahu apa-apa!”
“Siapa yang menyuruhmu?”
“Aku tidak tahu apa-apa.”
“Leontinmu manis...”
“Ah,
jangan, jangan tembak! Please...”
“Siapa?”
“Aku…aku bisa
celaka.”
“Sekarang pun
kamu bisa celaka. Kuhitung sampai tiga. Satu…”
“Kamu gila, kamu merusak segala-galanya.”
“Dua....” Hmm, alangkah gugupnya dia.
“Ia ada di depan orang yang harus kamu tembak.”
“Berkacamata?”
“Ya.”
|
Kuarahkan
senapanku ke sana. Dan aku melihat orang itu.
Ia sedang bercerita dengan berapi-api.
Tangannya bergerak kian kemari, mengepal dan memukul-mukulkan tinjunya pada
telapak tangan yang lain. Wajahnya licik dan penuh tipu daya. Sangat
memuakkan. Padahal ia pun sudah tua.
Kubidikkan garis silang teleskopku ke
jantungnya, sementara di telingaku mengiang suara penyanyi itu, yang memulai
lagi sebuah lagu keroncong, lagu kesenangan orang-orang tua.
Ini
memang akan membuat mereka terkenang-kenang akan masa lalunya.
Inilah
keroncong fantasiii
|