Selasa, 14 April 1998
Kompas/asa |
BAGONG CERDAS - Sebuah adegan
pagelaran tari terbaru Bagong Kussudiardja, Sanggit, 11 April di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, menunjukkan kecerdasan Bagong sebagai seniman tangguh. |
KARYA tari Bagong Kussudiardja mutakhir, Sanggit, yang dipentaskan 2-3 April di Yogyakarta dan 11 April di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, adalah cara khas seniman mengemas kegelisahan dan keterlibatan pemikirannya terhadap masalah aktual.
Dalam koreografi sepanjang 50 menit itu, Bagong menggunakan metafora yang khas Jawa: kosmologi wayang. Penonton bebas menebak-nebak tokoh-tokoh yang muncul di pentas. Ada Bathara Guru, pimpinan para dewa yang suka melibatkan diri dalam kehidupan manusia. Keterlibatan itu membuatnya tak berjarak dengan keduniawian, akibatnya hidup jadi gonjang-ganjing dan dilanda krisis.
Bathara Ismaya (Semar) terjun untuk mengatasi persoalan. Tapi ia tak sanggup, karena dewa yang sering digambarkan sebagai wakil rakyat jelata itu punya persoalan sendiri. Di waktu lampau ia pernah menelan telur dunia (endhog jagad); simbol keserakahan duniawi. Kini ia berusaha memuntahkannya kembali, tapi usahanya menemui kesulitan.
Kehidupan menjadi normal setelah Sang Hyang Wenang, dewa para dewa, turun tangan menenangkan keadaan. (Pikiran nakal boleh saja mengaitkannya dengan, misalnya IMF). Semar mengatasi krisis, sekalipun menghadapi lontaran kritik dan celaan Bathara Anthaga (Togog). Semar tegar, tapi Togog yang vokal jatuh terkapar.
INI salah satu karya Bagong yang cukup cerdas. Tapi dengan kosmologi wayang itu, persoalan terasa disederhanakan: bila keseimbangan terjaga, maka harmoni akan muncul sendiri.
Melalui intro munculnya dua penari bertopeng hitam dan putih, Bagong memang ingin menunjukkan bahwa hidup selalu berada di antara ketegangan dua sifat tersebut. Kehadiran dua penari bertopeng ini, pada awal dan akhir, sebenarnya sangat sugestif. Tapi pentas lantas mencair ketika dunia wayang hadir di depan kita.
Koreografi ini tak sepenuhnya menggunakan khazanah gerak tari Jawa - sekalipun itulah yang dominan; tapi juga Bali dan yang lain untuk menunjukkan sebagai tari kontemporer. Pada beberapa bagian terasa lamban, dan kurang efektif, karena seperti banyak koreografi tari di Indonesia; masih bertumpu pada konsep "penari harus menari".
Yang patut dicatat adalah iringan musik yang ditangani G Djaduk Ferianto. Berkat iringan musik yang bebas menggabungkan unsur-unsur musik pentatonik dan diatonik, di antaranya menggunakan sejumlah organ dan synthetizer, pentas tari ini terasa segar dan tak membosankan. Namun di beberapa bagian masih terasa pretensi untuk jadi ilustrasi, sehingga terkesan riuh-rendah di banyak bagian.
OKTOBER mendatang, Bagong Kussudiardja, koreografer, penari dan sekaligus pelukis, berusia 70 tahun. Sudah 40 tahun ia berkubang di dunia kesenian. Ukuran usia dan rentang waktu itu saja sudah merupakan prestasi tersendiri dalam percaturan kesenian.
Harus dicatat, staminanya teruji dan kreativitasnya selalu berdegup. Ia menandai kelangkaan dalam sejarah tari di republik ini. Semua itu barangkali tak bisa dilepaskan dari keberadaan Padepokan Seni Bagong Kussudiardja Yogyakarta; komunitas yang bukan hanya memberikan inspirasi tapi juga dukungan energi. Di sana ada sejumlah anak dan menantu seperti Ida Manu Tranggana, Butet Kartaredjasa, Djaduk Ferianto, Edhie Wibowo, dan para cantriknya. (asa)