Petuah berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian,
benar-benar dihayati oleh Megawati. Maklum, pada masa Orde Baru, hidupnya
benar-benar kelam. Semenjak ayahnya, Soekarno, dilengserkan, hak-hak keluarganya
dipangkas pemerintah Orde Baru.
Bahkan untuk sekadar berpolitik, Mega tidak luput dari incaran. Tampilnya ia ke pucuk pimpinan PDI, membuat Orba blingsatan. Berbagai cara pun dilakukan untuk mendongkelnya, termasuk penyerbuan kantor PDI, 27 Juli 1996, hingga berujung pada perpecahan PDI menjadi PDI dan PDI Perjuangan (PDIP) yang dipimpin Megawati.
Megawati diuntungkan oleh proses reformasi. Tumbangnya era Soeharto benar-benar membuat Megawati jadi primadona. Dalam Pemilu 1999, partai politik yang dipimpinnya mendapatkan suara yang sangat besar dan keluar sebagai pemenang.
Hasilnya, Megawati kemudian terpilih sebagai wakil presiden dalam Sidang Umum MPR 1999 mendampingi Gus Dur yang telah terpilih sebagai presiden. Karir Mega semakin naik, begitu kinerja Gus Dur sebagai presiden tidak memuaskan.
Tuntutan pro dan kontra terhadap Gus Dur terjadi. MPR pun menggelar Sidang Istimewa pada 2001. Gus Dur dilengserkan dan MPR mengangkat Megawati sebagai presiden RI.
Meski pun demikian, bukan berarti yang muncul adalah puji-pujian. Berdiri di menara gading membuat Mega menjadi sasaran tembak. Ia masih dinilai lambat dalam penegakan hukum, tak mampu bersikap tegas, hingga lunturnya komitmen untuk membela wong cilik.
Apalagi, fakta ia tak lagi mau mengingat peristiwa 27 Juli. Tak urung kecaman pun muncul. Walau begitu, dengan percaya diri, PDIP masih akan mengajukan sosok kelahiran 23 Januari 1947 ini, sebagai capres 2004.
Suara PDIP dalam Pemilu 2004 merosot tajam. PDIP hanya berada di posisi kedua setelah Partai Golkar, dengan perolehan suara sekitar 19 persen. Di tengah merosotnya suara, Mega akhirnya memilih Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi sebagai cawapresnya. Tujuannya, untuk mendongkrak suaranya dari kalangan massa NU. Duet Mega-Hasyim telah didaftarkan PDIP ke KPU pada Rabu (12/5/2004) lalu.