Sejarah
PNI pertama kali dibentuk oleh Soekarno dkk pada bulan Juli 1927 di Bandung. Tahun 1998 PNI dihidupkan kembali dan mengikuti Pemilu tahun 1999 dengan nama PNI Soepeni. Memperoleh 0,36 persen suara nasional.
Sesuai dengan UU No. 31 Tahun 2002, maka PNI Soepeni tidak diperbolehkan mengikuti Pemilu 2004. Oleh karena itu partai ini memakai nama baru yaitu Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNI Marhaenisme) dan mendaftarkan diri untuk mengikuti Pemilu 2004 dan berhasil lolos dari verifikasi serta memenuhi persyaratan yang ditentukan.
Partai berlandaskan perjuangan marhaenisme ini memberikan prioritas kepada perbaikan nasib buruh, petani dan nelayan dalam programnya. Selain itu partai juga menekankan memperjuangkan terselenggaranya pemerintahan yang bebas dari KKN serta mengembangkan nasionalisme Indonesia yang tidak chauvinistik.
Tinjauan Parpol
Partai Nasional Indonesia (PNI) Marhaenisme adalah salah satu dari enam partai yang hidup dari bayang-bayang kebesaran salah satu pendiri republik ini, Soekarno atau Bung Karno.
PNI didirikan Bung Karno tahun 1927. Para pendiri PNI Marhaenisme menambah kata Marhaenisme pada partai yang didirikan Bung Karno tersebut. Marhaenisme adalah salah satu ajaran Bung Karno berkaitan dengan rakyat jelata. Kata ini konon kabarnya adalah nama seorang rakyat kecil di Jawa Barat yang bertemu dengan Bung Karno. Pertemuan itu memberi inspirasi Bung Karno menciptakan sebuah ajaran filosofis praktis mengenai rakyat jelata Indonesia ini.
Nama Marhaenisme itu yang kini banyak disebarkan oleh Sukmawati Soekarnoputri untuk memenangkan partai ini. Sukmawati mengaku tidak mudah pada masa sekarang menyebarkan ajaran Marhaenisme.
Orang muda sudah tidak mengenal lagi kata Marhaen. Ini membuat Sukmawati merasa lelah untuk menyosialisasikan kembali ajaran dari ayahnya itu. ”Siapa sih Marhaen? Begitu tanya para mahasiswa kepada saya,” kata Sukma dalam wawancara dengan Kompas.
Dalam wawancara pekan lalu, Sukmawati sangat fasih bicara soal kemandirian (berdikari atau berdiri di atas kaki sendiri) Indonesia di bidang seni tari dan gamelan serta busana. Mungkin partai ini bisa memfokuskan perjuangannya di bidang seni budaya.
Lima partai lain yang boleh disebut sejenis (di bawah bayang-bayang Bung Karno) dengan partai ini adalah Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBKI), Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Pelopor, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Dalam Pemilu 2009, untuk kedua kalinya PNI Marhaenisme ikut sebagai peserta pemilu. Dalam Pemilu 2004 partai ini dipilih 923.159 orang. Satu kursi DPR didapat dari suara yang diperoleh di luar Jawa dan Bali, yakni sebanyak 453.023 suara.
Sebagian besar suara yang masuk ke partai ini diperkirakan karena bayang-bayang Bung Karno yang melekat pada Sukmawati.
Namun, mungkin tidak semakin mudah dan ringan bagi PNI Marhaenisme ikut dalam pemilu mendatang ini. Apa yang dijual partai ini, yakni Marhaenisme, ternyata tidak mudah dipopulerkan di kalangan kaum muda. Itu diakui sendiri oleh Sukmawati.
Kendala lain yang dihadapi partai ini adalah persaingannya dengan PDI-P, partai yang dipimpin kakak kandungnya, Megawati Soekarnoputri. Untuk merebut pendukung fanatisme ajaran Bung Karno, PNI Marhaenisme harus bersaing dengan Partai Pelopor yang juga dipimpin Rachmawati Soekarnoputri, kakak kandung Sukmawati pula. Rachmawati juga mengumandangkan partainya sebagai pengikut ideologis Bung Karno.
Kendala lain yang diakui Sukmawati dengan jujur adalah kurangnya dana untuk partai ini.
Lalu apa yang yang diharapkan untuk memenangkan atau meraih posisi kelas menengah dari partai ini. Mungkin ada keajaiban bagi Sukma dan partai ini. Atau siapa tahu ada faktor tak terduga. Ya, siapa tahu? (OSD)