Selasa, 16 Juni 1998


Mencari Keseimbangan Baru

Oleh T Mulya Lubis

TUNTUTAN reformasi total memang marak di mana-mana. Semua orang gencar bicara reformasi di hampir semua tempat, dan kelompok-kelompok kecil bahkan partai politik bermunculan. Zaman regularisasi politik yang ketat telah kehilangan kesaktiannya, dan banyak tembok peraturan dan kebijaksanaan yang bobol. Ada keinginan yang besar untuk memiliki deregularisasi politik sehingga suasana kebebasan politik yang dirampas sejak tahun 1970-an awal kembali menjadi keseharian kita.

Dalam bidang hukum, misalnya, sangat banyak agenda reformasi yang dilontarkan baik itu menyangkut politik, ekonomi maupun administrasi penegakan hukum itu sendiri. Berbagai kajian tentang sistem politik baru yang memungkinkan sistem kepartaian, pemilu dan pers yang bebas mewarnai diskursus politik, dan konon beberapa pihak tengah mempersiapkan rancangan baru UU Pemilu, Kepartaian, Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, Pemerintahan Daerah, Pers dan sebagainya. Definisi Demokrasi Pancasila yang "seolah-olah demokrasi" tampaknya ingin diganti dengan membuatnya menjadi benar-benar demokrasi. Malah jadwal pemilu baru pun tengah hangat diperbincangkan. Di sana-sini muncul pertanyaan bahwa semua upaya reformasi yang tengah berjalan ini hanya akan credible jika disertai dengan political legitimacy, dan pemilu yang jurdil yang melahirkan pemerintahan baru yang definitif adalah satu-satunya jalan untuk memperoleh credibility dan political legitimacy tersebut.

Dalam kondisi inilah kita bisa dengan efektif memulihkan perekonomian kita yang sudah porak-poranda ini. Diharapkan modal asing akan mulai masuk, proyek-proyek yang tertahan bisa dijadwal ulang, dan tabungan masyarakat mulai parkir lagi dari tempatnya hengkang di luar negeri. Pertumbuhan ekonomi yang negatif tentu bisa dihilangkan secara bertahap.

Bersamaan dengan ini kita mulai menciptakan infrastruktur hukum yang menjadi landasan dari sistem perekonomian masa depan yang lebih terbuka, fair dan competitive. Sistem 'korupsi, kolusi dan nepotisme' dienyahkan dari praktek, dan kita memulai zaman transparancy dan accountability. Jadi pengusaha akan besar karena kemampuan dan keunggulan teknologi, manajerial dan kreativitasnya, bukan karena ditopang oleh dukungan kekuasaan. Pengusaha akan merangkak dari bawah dan tidak bisa menjadi konglomerat instant yang tiba-tiba menguasai berbagai lahan bisnis yang saling berkait (diversified). Dalam konteks inilah persiapan UU Antimonopoli, UU Perlindungan Konsumen, UU Pengusaha Kecil, UU Informasi Publik dan sebagainya menjadi amat penting untuk menjamin bahwa Indonesia bukanlah surga bagi penguasa dan pengusaha untuk terlibat 'korupsi, kolusi dan nepotisme'.

***

PERSOALAN kita sekarang adalah dapatkah kita melakukan semua itu sekaligus? Harap disadari bahwa keadaan ekonomi kita sudah sangat parah, malah ada yang mengatakan bahwa sesungguhnya ekonomi kita ini sudah collapse. Persediaan sembako saja hanya untuk 2-3 bulan, dan zaman reformasi ini membuka mata kita bahwa praktek 'asal bapak senang' selama ini telah melahirkan penipuan statistik yang jahat untuk tidak disebut sebagai kejahatan (crime).

Roda distribusi ekonomi juga mengalami kelumpuhan akibat iklim takut akibat penjarahan dan pembakaran yang terjadi selama aksi-aksi mahasiswa dan massa marak di hampir seluruh pelosok Tanah Air. Tak bisa dibantah bahwa para pedagang kecil, pengecer dan perkulakan mengalami teror dan trauma sehingga banyak di antara mereka yang mengurangi hari dan jam operasi mereka. Yang amat menyedihkan adalah bahwa di antara banyak pedagang kecil, pengecer dan perkulakan ini berasal dari golongan Cina yang selama ini dianggap sebagai 'penguasa ekonomi' yang memperoleh berbagai payung perlindungan dan kemudahan dari sistem kekuasaan yang terbelenggu oleh 'korupsi, kolusi dan nepotisme'. Dengan kata lain payung perlindungan dan kemudahan itu telah dibeli, jadi ada hubungan saling tergantung dan saling menguntungkan yang membuat perekonomian ini banyak dikuasai oleh mata rantai ekonomi orang-orang Cina.

Tulisan ini tidak bermaksud mengatakan hanya pedagang dan pengecer dari orang-orang Cina yang melakukan 'korupsi, kolusi, dan nepotisme'. Banyak pengusaha pribumi melakukan hal yang sama dan mempunyai ketakutan yang sama. Tetapi tidaklah salah untuk menyimpulkan bahwa dalam gelombang aksi kemarahan yang disulut oleh berbagai pemicu, sikap anti-Cina terasa kental sekali. Suka atau tidak suka inilah realitas arus bawah meskipun sebagian merupakan realitas yang direkayasa. Jelas sikap ini salah secara fundamental baik itu ditinjau dari sisi konstitusi maupun hak asasi manusia karena sebagai bangsa apalagi yang sudah berusia lebih dari 50 tahun kita jelas tak boleh lagi melakukan diskriminasi sosial.

Para pendiri negara ini hanya memberikan hak istimewa kepada "Presiden" yang disebutkan harus dijabat oleh orang Indonesia asli, sementara untuk yang lain semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama tanpa membeda-bedakan suku, agama, jenis kelamin, golongan dan latar belakang ekonomi serta budaya. Diskursus mengenai orang Indonesia asli dan tidak asli ini agaknya perlu ditempatkan dalam perspektif sejarah yang benar karena tujuan akhir kita seharusnya adalah sampai pada keadaan di mana kita betul-betul melihat manusia sebagai manusia atau human being. Malah di banyak negara Eropa kita sudah melihat bahwa 'penduduk' atau resident sudah dapat menikmati banyak hak yang dulu hanya dimiliki oleh warga negara.

Masa depan Indonesia baru haruslah mengarah ke terciptanya suatu komunitas bangsa yang terlepas dari belenggu kecurigaan etnis, agama, suku, kelamin dan latar belakang budaya dan ekonomi. Pada akhirnya manusia adalah manusia apakah dia warga negara atau bukan warga negara. Pengertian citizenship tampaknya menuntut suatu pendefinisian ulang.

***

INDONESIA masa depan membutuhkan reformasi total agar kita bisa mempunyai kehidupan yang transparent, fair dan accountable. Perlu ada clean and healthy government. Dalam konteks ini semua pihak pasti setuju dengan semua aksi anti 'korupsi, kolusi, dan nepotisme'. Semua pihak setuju agar cronyism tidak lagi ada. Semua pihak setuju agar ada demokrasi, Rule of Law dan hak asasi manusia. Akan tetapi dalam melakukan reformasi tersebut kita tidak boleh menghalalkan segala cara yang pada gilirannya kalau kita tidak hati-hati bisa membunuh roda ekonomi karena terbunuhnya roda ekonomi akan menghancurkan gerakan reformasi tersebut. Kita semua tidak sudi terjadi ketegangan sosial yang terus-menerus karena hal tersebut akan pada akhirnya merugikan masyarakat miskin. Lebih jauh lagi hal itu akan membuka pintu bagi terjadinya disintegrasi bangsa seperti di Yugoslavia dan Uni Soviet dulu.

Hukum bisa memainkan peran instrumental dalam membawa reformasi ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk dalam kehidupan bisnis. Di sini kita tidak semata-mata bicara tentang perlunya produk hukum baru seperti UU Anti Monopoli, UU Pengusaha Kecil, UU Perlindungan Konsumen dan yang lainnya diundangkan, tetapi mutlaknya pranata-pranata hukum yang ada diberdayakan. Pranata-pranata hukum yang penting, di sini adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan profesi hukum lainnya (konsultan hukum, advokat dan notaris). Pemberdayaan di sini haruslah berarti penghapusan segala bentuk kolusi, red tape, mafia peradilan dan sebagainya karena bukan rahasia umum lagi bahwa pranata-pranata hukum di negeri ini terkenal sangat terpolusi oleh kekuasaan dan keuangan. Salah satu faktor country risk Indonesia menjadi tinggi adalah karena tidak adanya kepastian hukum. Dunia usaha apalagi penanam modal asing merasa tidak nyaman berbisnis di sini karena sesewaktu haknya bisa digugat.

Pranata hukum yang amat penting untuk diperkuat adalah Mahkamah Agung karena salah satu parameter berdirinya negara hukum adalah berwibawa dan mandirinya Mahkamah Agung. Di pundak Mahkamah Agung terletak beban tanggung jawab untuk menjamin kepastian hukum, keadilan dan tertibnya penyelenggaraan negara. Akan tetapi Mahkamah Agung kita dikenal amat lemah dan rentan terhadap campur tangan dari luar dirinya. Buat dunia usaha lemah dan rentannya Mahkamah Agung membuat mereka merasa tidak aman dalam melaksanakan bisnis mereka. Dalam konteks kesenjangan sosial di mana pengusaha besar menguasai sumber-sumber daya ekonomi dan politik, maka Mahkamah Agung juga amat sering menjadi bagian dari kepentingan penguasa dan pengusaha. Proses pemerataan dan integrasi bangsa menjadi terganggu karena Mahkamah Agung yang kurang menangkap aspirasi keadilan yang tumbuh pada masyarakat bawah.

Selain itu, kita pun perlu mendorong dikembalikannya kepolisian ke jajaran administration of justice system sehingga kepolisian akan merupakan mitra penegak hukum lainnya seperti kejaksaan, pengadilan dan advokat. Masuknya kepolisian ke jajaran Angkatan Bersenjata telah menimbulkan ketegangan antara sesama penegak hukum padahal di hampir semua negara di dunia ini kepolisian itu selalu merupakan bagian dari aparat penegak hukum, bukan bagian dari Angkatan Bersenjata. Iklim penegakan hukum akan lebih kukuh jika pihak kepolisian menempatkan dirinya bahu-membahu bersama aparat penegak hukum lainnya, setidaknya tidak ada lagi psychological gap antara kepolisian dengan aparat penegak hukum lainnya. Jadi kepolisian pada dasarnya bukanlah aparat keamanan.

Indonesia masa depan akan lebih memberi harapan jika kepastian hukum dan keadilan bisa dibuat. Inilah essensi tuntutan reformasi hukum. Pelajaran berharga kita dari krisis ekonomi dan politik sekarang ini adalah karena hukum telah gagal memainkan perannya sebagai instrumen yang menjaga keadilan dan kepastian hukum. Dengan kata lain hukum telah gagal dalam menciptakan clean and healthy government. Dalam konteks sosial sekarang, hukum pun telah gagal mempersatukan semua komponen bangsa dalam mengatasi krisis ekonomi dan politik ini, malah yang terjadi adalah kemarahan dan kecemburuan sosial yang luas. Barangkali kita bisa mulai berpikir tentang perlunya suatu kebijakan hukum ekonomi baru semacam affirmative action yang secara bertahap mengurangi kesenjangan ekonomi antara pengusaha-pengusaha Cina dengan pengusaha-pengusaha pribumi sehingga tercipta suatu keseimbangan baru (new equilibrium) karena keseimbangan baru ini lebih menjanjikan kebersamaan yang lestari. Sementara itu pada dataran politik, kita juga mungkin perlu menggarisbawahi imbauan bahwa kalau kita ingin menciptakan kebersamaan sosial maka politik pun tidak boleh menjadi domain yang tak boleh dimasuki oleh orang-orang Cina. Dalam konteks ini sekali lagi kita mungkin perlu melancarkan diskursus tentang hak dan kewajiban dari warga negara (citizens) dalam sebuah negara.

( * T Mulya Lubis, anggota Kelompok Kerja Forum Demokrasi. )