Sabtu, 4 Juli 1998
SALAH satu agenda reformasi politik Indonesia saat ini adalah meninjau kembali masalah oposisi dalam politik. Ada dua pertanyaan yang dapat diajukan. Pertama, kalau politik dijalankan dengan cara Orde Baru tanpa oposisi yang dilembagakan, dapatkah dijamin bahwa kesalahan-kesalahan Orde Baru berupa KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), tidak terulang lagi? Kedua, apakah kekuasaan di Indonesia demikian khusus sifatnya sehingga tidak diperlukan suatu oposisi yang secara resmi dan terus-menerus melakukan pengawasan terhadap penggunaan kekuasaan?
Pertanyaan kedua di atas berhubungan dengan soal apakah kekuasaan itu mempunyai kecenderungan yang sama di mana-mana atau apakah ada kekhasan budaya yang menyebabkan kekuasaan berbeda wataknya dari suatu negara ke negara lainnya. Pertanyaan ini dapat dijawab secara umum bahwa penguasa dengan kekuasaan besar di tangannya perlu diawasi karena kecenderungan penguasa untuk memperluas kekuasaannya serta menyelewengkan penggunaan kekuasaan adalah berkali-kali lebih besar dari kemampuannya untuk mengawasi dirinya. Perbedaan budaya hanya terlihat dalam caranya suatu penyelewengan dilakukan, sedangkan kecenderungan kepada penyelewengan adalah sama di mana-mana. Ini psikologi kekuasaan yang sudah konstan dalam sejarah sehingga tidak perlu dibuktikan lagi.
Pertanyaan pertama berhubungan dengan cara bagaimana penguasa memandang kekuasaannya. Kekeliruan Orde Baru misalnya adalah menganggap bahwa pembatasan politik dapat dijalankan oleh penguasa sampai saatnya penguasa sendiri merasa pembatasan itu dapat dilonggarkan lagi berdasarkan pertimbangan penguasa sendiri. Pemegang kekuasaan dianggap demikian bijaksana sehingga atas inisiatif dan kehendak sendiri dia akan memberikan kembali kebebasan dan keterbukaan politik bilamana hal itu dianggapnya tepat dan perlu. Bagaimana mantan Presiden Soeharto melansir isu keterbukaan dan kemudian dengan sigap dan dalam waktu singkat memangkasnya kembali, masih segar dalam ingatan kita semua.
Setiap penguasa jelas akan berbicara tentang kepentingan rakyat, kepentingan bangsa dan negara sebagai suatu keharusan retorika dan kampanye politik, tetapi para warga sebaiknya awas bahwa kepentingan pertama penguasa adalah mempertahankan, memperbesar dan memperkuat kekuasaan yang sudah dipunyainya. Orang tidak perlu membaca Machiavelli untuk memahami hal ini, karena pengalaman langsung akan selalu membuktikannya. Karena itu sejauh mana kekuasaan itu dipergunakan untuk sebesar-besar kepentingan rakyat jelas tidak dapat dipercayakan begitu saja kepada penguasa tetapi kepada pihak-pihak yang bertugas dan berwajib mengawasi kekuasaan. Ini realisme politik elementer, yang kalau diabaikan, akan membawa kita langsung kembali ke situasi politik ala Orde Baru.
NAMUN demikian, oposisi rupanya dibutuhkan bukan hanya untuk mengawasi kekuasaan. Oposisi diperlukan juga karena apa yang baik dan benar dalam politik haruslah diperjuangkan melalui kontes politik dan diuji dalam wacana politik yang terbuka dan publik. Adalah naif sekali sekarang ini untuk masih percaya bahwa pemerintah bersama semua pembantu dan penasihatnya dapat merumuskan sendiri apa yang perlu dan tepat untuk segera dilakukan dalam politik, ekonomi, hukum, pendidikan dan kebudayaan pada saat ini.
Di sanalah oposisi dibutuhkan sebagai semacam advocatus diaboli atau devil's advocate yang memainkan peranan setan yang menyelamatkan kita justru dengan mengganggu kita terus-menerus. Dalam peran tersebut oposisi berkewajiban mengemukakan titik-titik lemah dari suatu kebijaksanaan, sehingga apabila kebijaksanaan itu diterapkan, segala hal yang dapat merupakan efek sampingan yang merugikan sudah lebih dahulu ditekan sampai minimal. Tragedi-komedi dalam politik Orde Baru adalah bahwa oposisi hanya dipandang sebagai devil (setan) dan tidak pernah diakui sebagai advocate (pembela).
Manfaat lainnya adalah bahwa dengan kehadiran oposisi masalah accountability atau pertanggungjawaban akan lebih diperhatikan pemerintah. Tidak segala sesuatu akan diterima begitu saja, seakan-akan dengan sendirinya jelas, atau beres dalam pelaksanaannya. Kehadiran oposisi membuat pemerintah harus selalu menerangkan dan mempertanggungjawabkan mengapa suatu kebijaksanaan diambil, apa dasarnya, apa pula tujuan dan urgensinya, dan dengan cara bagaimana kebijaksanaan itu akan diterapkan.
Socrates, filsuf Yunani kuno yang konon suka mengajar filsafat dari pasar ke pasar pernah mengemukakan tiga kriteria untuk menguji perlu-tidaknya sebuah tindakan. Pertanyaan pertama: apakah sebuah tindakan adalah benar dan dapat dibenarkan? Kalau tindakan itu terbukti benar, maka menyusul pertanyaan kedua: apakah tindakan yang benar tersebut perlu dilakukan atau tidak perlu dilakukan? Kalau tindakan itu ternyata benar dan perlu, maka pertanyaan ketiga adalah: apakah hal tersebut baik atau tidak untuk dilaksanakan?
Korupsi misalnya mutlak tak dapat dibenarkan, dan jelas tidak baik, sekalipun mungkin perlu (misalnya karena harus menolong sanak keluarga yang sedang menderita sakit payah dan memerlukan ongkos besar untuk perawatan di rumah sakit). Seterusnya mengangkat saudara sendiri untuk jabatan-jabatan dalam birokrasi mungkin dapat dibenarkan (kalau sanak saudara itu terbukti kompeten untuk kedudukan bersangkutan) tetapi tidak perlu (karena akan mengurangi integritas dari orang yang mengangkat sanak-saudaranya sendiri). Demikian pun bekerja sama dalam birokrasi dan jabatan politik dengan seorang pengusaha untuk menambah dana birokrasi, mungkin dapat dibenarkan dan dibuktikan keperluannya, tetapi jelas tidak baik, karena akan menimbulkan konflik kepentingan pada pejabat bersangkutan dan mengurangi independensinya dalam berhadapan dengan orang luar.
Oposisi tidak saja bertugas memperingatkan pemerintah terhadap kemungkinan salah-kebijaksanaan atau salah-tindakan (sin of commission), tetapi juga menunjukkan apa yang harus dilakukannya tetapi justru tidak dilakukannya (sin of omission). Adalah kewajiban oposisi untuk melakukan kualifikasi apakah sesuatu harus dilakukan, atau tidak harus dilakukan, atau malahan harus tidak dilakukan sama sekali.
PERLU-tidaknya oposisi sangat tergantung kepada pandangan dan persepsi tentang kekuasaan. Kalau kekuasaan dianggap berasal dari sumber supernatural, berupa pulung, wangsit dan semacamnya maka oposisi tidak dibutuhkan, karena penguasa hanya merasa bertanggung jawab terhadap pihak yang telah memberinya pulung dan wangsit tersebut. Demikian pun masalah legitimasi kekuasaan menjadi tidak relevan, karena hubungan kekuasaan dan wangsitnya berlangsung dalam suatu lingkaran logika-tertutup.
Dalam suatu logika-tertutup seperti itu tidak pernah bisa diketahui apa membuktikan apa. Kalau kita bertanya: apa buktinya bahwa seseorang mendapat wangsit, maka jawabannya: karena orang itu terbukti berkuasa (tanpa wangsit dia tidak mungkin berkuasa). Sebaliknya kalau ditanyakan: mengapa si Anu kok bisa menjadi presiden, maka jawabannya: karena dia memang mendapat wangsit. Dengan demikian, adanya kekuasaan dibuktikan oleh adanya wangsit, dan adanya wangsit dibuktikan oleh adanya kekuasaan.
Dengan demikian, langkah pertama untuk memperlakukan kekuasaan secara demokratis, adalah mengadakan desakralisasi kekuasaan. Kekuasaan tidak berasal dari sumber-sumber yang gaib, mistik dan magis, tetapi berasal dari rakyat. Adalah rakyat yang memberikan kekuasaan dan rakyat jugalah yang memungkinkan sebuah kekuasaan dijalankan melalui ketundukannya kepada kekuasaan tersebut.
Kalau kekuasaan berasal dari rakyat, dan kalau rakyat kemudian tunduk kepada penguasa yang telah menerima kekuasaan dari mereka, maka adalah kewajiban penguasa untuk membuktikan bahwa dia layak mendapat kepercayaan rakyatnya, dan bahwa ketundukan rakyat kepada kekuasaannya mempunyai alasan-alasan yang dapat dibenarkan. Legitimasi adalah kelayakan sebuah orde politik untuk mendapatkan pengakuan dari rakyatnya, suatu Anerkennungswuerdigkeit einer politischen Ordnung, begitu kata seorang ahli filsafat politik, Juergen Habermas.
Kedua, kekuasaan mempunyai tendensi bukan saja untuk memperbesar dan memperkuat dirinya tetapi juga memusatkan dirinya. Karena itulah pemikiran demokratis tentang kekuasaan selalu menekankan pembagian kekuasaan dan keseimbangan kekuasaan. Pengalaman dalam Orde Baru menunjukkan bahwa pemusatan kekuasaan ini telah berjalan dengan amat ekstrem, baik dalam bidang politik dengan demikian besarnya kekuasaan Presiden Soeharto pada waktu itu, maupun dalam bidang ekonomi dalam bentuk berbagai praktek monopoli dan oligopoli.
Pemusatan kekuasaan politik ini amat ditunjang oleh gambaran bahwa penguasa adalah seorang bapak keluarga yang baik hati yang akan berbuat segala sesuatu untuk kepentingan anak-anaknya. Anak-anak selayaknya mempercayakan segala urusan kepada bapak mereka, dan etos politik yang berlaku adalah "terserah Bapak". Analogi ini jelas keliru dengan akibat yang amat pahit. Penguasa adalah penguasa dan bapak keluarga adalah bapak keluarga. Keluarga adalah lingkungan personal yang termasuk dalam private sphere, tetapi kekuasaan pemerintah semata-mata bersifat fungsional dan termasuk dalam public sphere.
Dengan demikian langkah kedua untuk memperlakukan kekuasaan secara demokratis adalah depaternalisasi kekuasaan. Penguasa jangan lagi dipandang secara paternalistis seakan-akan mempunyai watak kebapakan, tetapi harus dipandang secara lugas sebagai seorang yang mempunyai potensi menyalahgunakan kekuasaan yang kalau tidak diawasi dapat berkembang sampai tingkat sewenang-wenang.
PERSOALAN tentang bagaimana oposisi dapat dijalankan dengan efektif tanpa terlalu banyak menimbulkan keguncangan politik, haruslah dibahas sebagai suatu uraian tersendiri, dengan memperhatikan kemungkinan-kemungkinan riil yang ada dalam politik Indonesia saat ini. Yang perlu ditekankan dalam tulisan ini ialah bahwa oposisi dibutuhkan pertama-tama sebagai kritik kepada kekuasaan dan pengawasan terhadap kekuasaan agar tidak semena-mena.
Sudah jelas bahwa adanya partai oposisi merupakan sebuah jalan formal untuk menjalankan peran tersebut. Namun demikian, oposisi dan kritik kepada kekuasaan tidaklah perlu diidentikkan seluruhnya dengan kegiatan sebuah atau beberapa buah partai. Oposisi dan kritik kepada kekuasaan pertama-tama adalah sebuah fungsi dan aktivitas politik yang dapat dijalankan di dalam maupun di luar partai politik.
Kalau pers bisa memainkan peranannya dengan lebih leluasa tanpa pengekangan oleh kekuasaan, maka pers dan media elektronik dapat menyumbang banyak kepada kontrol terhadap kekuasaan. Demikian pun kelompok-kelompok kritis seperti kalangan LSM, atau organisasi-organisasi profesional, dan terutama sekali para mahasiswa dan kalangan kampus umumnya, dapat menyumbang kepada kontrol sosial dan kritik terhadap penggunaan kekuasaan, berdasarkan keahlian dan pengalaman mereka dalam bidang yang digelutinya. Penolakan para aktivis Walhi terhadap Menteri Negara Lingkungan Hidup dalam kabinet yang sekarang adalah contohnya.
Demikian pun kontrol terhadap kekuasaan dapat dijalankan melalui pembentukan pendapat umum, sehingga pendapat ini bisa menekan suatu pendirian atau pendapat pemerintah yang tidak disetujui. Contoh yang sempurna tentang ini adalah isu KKN sendiri yang dibentuk di jalanan oleh para mahasiswa dan kemudian disambut dengan antusias oleh seluruh masyarakat politik di Indonesia, dan kemudian berkembang menjadi pendapat umum yang sanggup memaksa berakhirnya rezim Orde Baru, suatu orde politik yang dalam pendapat umum yang sebelumnya (sebelum lahirnya KKN) selalu dibayangkan sebagai tak tergoyahkan.
Namun demikian, membela oposisi tidak dengan sendirinya berarti mengandaikan bahwa oposisi yang dijalankan dengan sendirinya akan selalu tinggi mutunya. Politik di Jerman dari pertengahan tahun 1980-an sampai 1990-an dianggap merosot mutunya, karena tidak adanya oposisi yang bermutu dari Partai Sosial Demokrat (SPD) di sana. Dengan demikian, kekurangan-kekurangan dalam politik Helmut Kohl buat sebahagian besar dipersalahkan bukan saja kepada rezim Helmut Kohl tetapi juga kepada oposisi politik yang lemah dan tidak efektif.
Ini berarti kritik politik berlaku juga terhadap oposisi dan dia sendiri harus dikritik terus-menerus untuk menjalankan peranannya bukan demi kepuasan perlawanan semata-mata, tetapi demi suatu politik di mana kekuasaan digunakan dengan cara yang terawasi. Dalam hal ini berlaku prinsip: musuh yang pintar akan lebih menolong daripada teman yang bodoh, dan lawan yang jujur lebih bermanfaat daripada kawan yang culas.
( * Ignas Kleden, sosiolog; tinggal di Jakarta. )