Memburu Spesies Manusia Purba di Liang Bua
BEGITU hasil temuan fosil manusia kerdil--seperti tokoh hobbit dalam buku
legendaris JRR Tolkien, The Lord of The Rings-- di Liang Bua, Flores, Nusa
Tenggara Timur, diumumkan hari Kamis (28/10) dalam konferensi pers di Sydney,
Australia, dunia keilmuan sontak heboh. Awam pun ikut bergunjing. Apalagi ketika
jaringan televisi dan kantor berita dunia menempatkannya sebagai salah satu
berita "besar", kemudian dirilis oleh media massa di berbagai belahan bumi,
temuan spesies manusia purba yang kemudian dinamai homo floresiensis itu pun
menjadi pembicaraan.
Pengetahuan tentang adanya kehidupan dari masa ribuan tahun lampau di Liang Bua
bukanlah hal baru. Para arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit
Arkenas) sejak tahun 1976 sudah melakukan penelitian secara intensif di Liang
Bua. Menjelang akhir tahun 1970-an, tim yang diketuai Prof. Dr. Raden Panji
Soejono itu bahkan telah mendapatkan temuan "spektakuler" berupa tengkorak
manusia dan kerangka tubuh manusia dewasa. Bersamaan dengan itu ditemukan pula
kuburan manusia purba, lengkap dengan bekal kuburnya yang masih relatif utuh.
Juga ditemukan lapisan budaya berupa berbagai artefak yang diyakini sebagai sisa
pendukung keberadaan mereka.
Hanya saja, ketika itu para arkeolog Indonesia belum memiliki alat dan kemampuan
yang memadai untuk membuat suatu kesimpulan yang agak menyeluruh. Hanya
dikatakan bahwa ras manusia yang tinggal di sana paling tidak berasal dari
sekitar 10.000 tahun lalu.
Karena ketiadaan biaya, penelitian pun sempat terhenti. Tahun-tahun berikutnya,
hingga tahun 1989, penelitian cenderung bersifat sporadis. "Untuk melakukan
penelitian di Liang Bua butuh biaya cukup besar. Dengan anggota tim sebanyak 18
orang, ketika itu kami harus naik Dakota ke Flores, setelah singgah di Denpasar
dan Kupang. Belum lagi biaya untuk kebutuhan lain," ujar Soejono.
Di tengah ketiadaan dana, tahun 2001, datang tawaran kerja sama dari Australia.
Mike Morwood dari University of New England memimpin tim dari Australia,
sedangkan RP Soejono bertindak sebagai ketua tim dari Puslit Arkenas. Setelah
melakukan serangkaian ekskavasi, September 2003, tim gabungan ini berhasil
mendapatkan temuan menghebohkan itu: si hobbit dari Liang Bua!
"Sebetulnya penelitian ini belum sepenuhnya usai. Kok, tiba-tiba saja hasilnya
sudah diumumkan oleh pihak Australia. Apalagi ketika itu diumumkan tanpa
didampingi oleh satu pun peneliti dari Indonesia. Saya tak tahu di mana etika
penelitian dan etika kerja sama yang selama ini diagung-agungkan di dunia
keilmuan," ujar Soejono.
Namun, apa mau dikata. "Ini tak lepas karena kita tidak memiliki dana penelitian
serta alat dan pakar yang memadai," ujarnya menambahkan.
Ia mengakui, kondisi serba kekurangan itu menjadi dilema bagi dunia penelitian
arkeologi di Indonesia. Akibatnya, begitu ada tawaran kerja sama dengan luar
negeri langsung diterima. Padahal, tidak sepenuhnya kerja sama itu menguntungkan,
termasuk dalam konteks penelitian di Liang Bua. Ada kalanya hasil penelitian
dibawa ke luar negeri sehingga sebagian besar hasil penelitian berada di pihak
Australia dan Indonesia tidak mendapatkan apa-apa.
"PENCARIAN terhadap sisa-sisa manusia kerdil dari Liang Bua sesungguhnya dimulai
oleh Pastor Verhoeven pada tahun 1958," kata Rokus Due Awe, tenaga teknisi
dokumentasi di Puslit Arkenas. Dia ikut serta dalam penggalian yang dilakukan
pastor tersebut sejak awal.