Mimpi yang Terkubur di Bali
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) gagal menampilkan diri sebagai
partai yang modern dan demokratis. Akankah kita mempertimbangkan untuk
mencoblosnya nanti?
Di Sanur, Bali, mereka yang bermimpi melihat PDI Perjuangan sebagai partai
modern harus mengubur impian itu dalam-dalam. Kongres tak menghasilkan
tanda-tanda partai ini layak dipertimbangkan sebagai kereta penghela demokrasi.
Pendapat ini disampaikan bukan karena Megawati terpilih kembali, tapi karena tak
ada ketentuan jelas yang membatasi kekuasaannya. Bukan karena Megawati terpilih
secara aklamasi, tapi syarat kandidat lain untuk maju menantangnya dibuat
terlalu berat, sehingga kompetisi tak terjadi. Lagi pula, kandidat yang tersedia,
Guruh Soekarnoputra—tanpa bermaksud meragukan kesungguhannya—tidak menjanjikan "pertarungan"
yang seimbang.
Yang terjadi di Bali memang jauh dari semangat demokrasi. Pemilihan ketua umum
dilakukan secara kilat, lebih cepat dari jadwal. Ini tak jadi masalah jika semua
kubu menerima kondisi ini. Tapi kesempatan kubu Pembaruan yang menantang
Megawati untuk menyodorkan calon seakan sangat sempit. Tanpa sempat interupsi,
Megawati sudah dinyatakan terpilih secara aklamasi.
Kelompok Pembaruan yang dimotori oleh
tokoh seperti Sukowaluyo Mintorahardjo dan Imam Mundjiat ini tak berkutik.
Apalagi sokongan utusan-utusan daerah terhadap mereka telah dipreteli lewat tata
tertib baru. Diputuskan, dewan pimpinan cabang yang mengirim beberapa utusan
hanya memiliki satu suara. Padahal anggaran rumah tangga PDIP menggariskan: satu
utusan punya satu suara. Inilah yang kemudian jadi dasar Kelompok Pembaruan
menggugat keabsahan hasil kongres lewat pengadilan.
Semangat demokrasi semakin melayang jauh ketika Megawati berkeras menjadi
formatur tunggal dalam menyusun pengurus pusat. Hasilnya, muka-muka lama muncul
lagi, kekuatan Kelompok Pembaruan tak terakomodasi. Hanya Guruh yang dirangkul,
menjadi salah satu ketua bidang pendidikan dan kebudayaan. Ini pun agaknya lebih
karena urusan "rujuk keluarga".
Terpangkasnya kekuatan Kelompok Pembaruan akan membuat Megawati kian sepi dari
kritik dan koreksi. Posisinya sebagai "penguasa tunggal" partai yang memiliki
hak prerogatif sulit digoyahkan. Inilah hak istimewa yang selalu dinikmati
Megawati dalam menentukan calon legislator dan calon bupati serta gubernur dari
PDIP. Kendati keputusannya kerap bertabrakan dengan kepentingan Partai di daerah,
tiada kekuatan yang sanggup melawannya.
PDIP bisa tertinggal dalam usahanya menjadi partai terbuka yang layak
dipertimbangkan untuk dipilih dalam pemilu 2009 nanti akibat hasil Kongres Bali
ini. Padahal, hanya lewat mekanisme yang terbuka dan demokratis, akan muncul
kader-kader partai yang teruji dan berintegritas tinggi. Partai itu seharusnya
bukan kumpulan figur yang bersikap "asal ibu senang", sambil melupakan pemihakan
terhadap wong cilik—sikap yang menjadi daya tarik partai ini setelah Orde Baru
tumbang.
Setelah Kongres Bali, usaha memperbaiki PDIP agar menjadi partai yang layak
pilih dalam pemilu bukan pekerjaan gampang. Menjagokan lagi Megawati dalam
pemilihan presiden 2009 nanti, seandainya langkah ini dilakukan, bukanlah daya
tarik luar biasa. Saat ia memerintah, tak banyak prestasi mengesankan yang ia
catat.
Tapi pemilu masih lama. Siapa tahu langkahnya sebagai partai oposisi akan
menghasilkan kejutan-kejutan berarti. Kejutan itu diharapkan bisa membuat kita
berpikir ulang untuk memasukkan kembali partai ini sebagai partai yang layak
dicoblos nanti.