Septinus George Saa, Mutiara Hitam dari
Papua
Berharap ada orang Indonesia meraih Nobel? Ini rasanya bukan mimpi kosong.
Setidaknya, harapan itu membersit ketika pertengahan April lalu, Septinus George
Saa, seorang putera Papua, memenangi kompetisi "First Step to Nobel Prize in
Physics".
Ini adalah perlombaan bergengsi bagi sekolah tingkat menengah seantero jagad
selain Olimpiade Fisika. Kompetisi yang digagas Waldemar Gorzkowski 10 tahun
silam ini mewajibkan pesertanya melakukan dan menuliskan penelitian apa saja di
bidang fisika. Hasil penelitian tersebut kemudian dikirimkan dalam bahasa
Inggris ke juri internasional di Polandia. Sementara dalam Olimpiade Fisika,
para perserta diwajibkan mengerjakan soal-soal fisika dalam waktu yang sudah
ditentukan. Pada kompetisi "First Step to Nobel Prize in Physics" tersebut hasil
riset Septinus George Saa tidak menuai satu bantahan pun dari para juri.
Oge, demikian panggilan akrabnya, menemukan cara menghitung hambatan antara dua
titik rangkaian resistor tak hingga yang membentuk segitiga dan hexagon. Formula
hitungan yang ia tuangkan dalam papernya "Infinite Triangle and Hexagonal
Lattice Networks of Identical Resistor" itu mengungguli ratusan paper dari 73
negara yang masuk ke meja juri. Para juri yang terdiri dari 30 ahli fisika dari
25 negara itu hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk memutuskan pemuda 17 tahun
asal Jayapura ini menggondol medali emas.
Paper Oge yang masuk lewat surat elektronik di hari terakhir kompetisi itu
dinilai orisinil, kreatif, dan mudah dipahami. Tak berlebihan jika gurunya
Profesor Yohanes Surya mengatakan formula Oge ini selayaknya disebut George Saa
Formula.
Kemenangan Oge mengikuti jejak para jenius Indonesia sebelumnya. Lima tahun lalu
I Made Agus Wirawan dari Bali juga meraih medali emas pada kompetisi serupa.
Oge adalah putera asli Papua. Tanah kelahirannya, di ujung timur Indonesia,
hingga kini tak usai dilanda konflik. Lima orang presiden yang datang dan pergi
selama 59 tahun Indonesia merdeka tak pernah berhenti berjanji meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di bumi cendrawasih sana. Tapi janji hanya janji.
Kemunculan Oge di panggung internasional seperti mengingatkan bahwa ada
mutiara-mutiara bersinar yang perlu mendapat perhatian di kawasan timur
Indonesia.
Oge lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya, Silas Saa, adalah Kepala Dinas
Kehutanan Teminabuhan, Sorong. Oge lebih senang menyebut ayahnya petani
ketimbang pegawai. Sebab, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Silas,
dibantu isterinya, Nelce Wofam, dan kelima anak mereka, harus mengolah ladang,
menanam umbi-umbian.
Sepulang dari Polandia nanti, Oge sudah memutuskan untuk mengambil studi S1-nya
di Indonesia di Jurusan Fisika Universitas Pelita Harapan. Meski sejumlah
tawaran bantuan terus mengalir kepadanya untuk melanjutkan studi di luar negeri,
di antaranya dari Group Bakrie dan Freeport, Oge merasa belum siap untuk
meninggalkan tanah air.