Mestinya, metodologi Islam klasik diletakkan
dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya.
Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali menayangkan
ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut.
Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan
akal publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan
legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan.
Banyak pemikir Muslim memandang metodologi (ushul fikih) klasik
tanpa cacat epistemologis apapun. Ajakan sejumlah ulama Indonesia
untuk mengubah pola bermadzhab dari yang qawliy ke
manhaji mengandung pengertian bahwa metodologi klasik yang
telah dikerangkakan oleh para ulama dahulu memang sudah tuntas dan
sempurna. Sehingga, kewajiban umat yang datang kemudian bukan untuk
mengubahnya, tetapi mengikuti dan melaksanakannya. Di sini, sebuah
metodologi yang sejatinya lahir dari pabrik intelektualitas manusia
yang nisbi telah diposisikan sebagai sesuatu yang mutlak. Tak
terbantah. Mereka telah melakukan idealisasi dan universalisasi
terhadap metodologi lama yang provisionaris.
Mestinya,
metodologi Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks
umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis
kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan
metodolgi klasik tersebut. [1] Metodologi lama terlalu memandang
sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan
menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang
tidak lagi relevan. Ditegaskan bahwa ketika terjadi pertentangan
antara akal publik dan bunyi harfiah teks ajaran, metodologi lampau
selalu mengambil cara penundukan terhadap akal publik. [2]
Metodologi klasik kurang hirau terhadap kemampuan manusia di dalam
merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk umat manusia sendiri.
Manusia tidak memiliki reputasi dan kedudukan apapun dalam ruang
ushul fikih klasik, kecuali sebagai sasaran hukum yang tak berdaya
(mukallaf) [3] Pemberhalaan teks dan pengabaian realitas
merupakan ciri umum dari metodologi lama. Aktivitas ijtihad selalu
digerakkan di dalam areal teks. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada
teks adalah illegal, sebab teks merupakan aksis dari seluruh cara
pemecahan problem.
Tentu saja ini merupakan kelemahan
metodologis tersendiri yang mesti mendapatkan penanganan. Dengan
segala keterbatasan, tulisan ini kiranya bermaksud untuk mereformasi
kaidah-kaidah ushul fikih yang problematis dari sudut
ontologis-epistemologis tersebut. Dengan merekonstruksi
kaidah-kaidah ushul ini niscaya produk pemikiran Islam akan lebih
solutif bagi problem-problem kemanusiaan yang terus melilit. Karena,
betapa pun canggihnya sebuah metodologi jika kandas pada tingkat
pemecahan problem tersebut, maka ia tidaklah banyak guna dan
manfaatnya. Kecanggihan sebuah metodologi terutama dalam imu-ilmu
terapan Islam semacam ushul fikih ini akan berkoresponden secara
persis dengan kepiawaiannya di dalam menciptakan kemaslahatan bagi
sebesar-besarnya umat manusia.
1. al-‘Ibrah bi
al-maqashid la bi al-alfadz.
Kaidah ini berarti bahwa
yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid di dalam
mengistinbatkan hukum dari al-Qur`an dan al-Sunnah bukan huruf dan
aksaranya melainkan dari maqashid yang dikandungnya. Yang
menjadi aksis adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat dan bukan
legislasi spesifik atau formulasi literalnya. Nah, untuk mengetahui
maqashid ini maka seseorang dituntut untuk memahami konteks.
Yang dimaksudkan bukan hanya konteks personal yang juz`iy-partikular
melainkan juga konteks impersonal yang kulli-universal. Pemahaman
tentang konteks yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul
dalam pengertian klasik itu merupakan prasyarat utama untuk
menemukan maqashid al-syari’ah.
Syathibi di dalam
al-Muwafaqat mendengungkan sebuah pernyataan genial bahwa
seorang mujtahid diharuskan untuk melengkapi diri dengan pengetahuan
yang memadai menyangkut tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab
sebagai masyarakat awal yang menjadi sasaran wahyu. Pengetahuan
tentang konteks tentu bukan untuk konteks itu sendiri, melainkan
untuk menimba dan memperoleh prinsip-prinsip dasar Islam atau yang
dikenal dengan istilah maqashid al-syari’ah. Begitu
maqashid al-syari’ah sudah dicapai, maka teks harus segera
dilepaskan dari konteks kearabannya (dekontekstualisasi) untuk
kemudian dilakukan rekontekstualisasi. Yaitu, melabuhkan
prinsip-prinsip dasar Islam itu di tempat dan di belahan bumi
non-Arab. Maka, kontekstualisasi, dekontekstualisasi, dan
rekontekstualisasi merupakan mekanisme kerja penafsiran sepanjang
masa.
Dalam khazanah ushul fikih, maqashid al-syari’ah
itu adalah keadilan, kemaslahatan, kesetaraan, hikmah-kebijaksanaan,
dan cinta kasih. Maqashid inilah yang sejatinya menjadi
sumber inspirasi tatkala al-Qur`an hendak melabuhkan
ketentuan-ketentuan legal-spesifik di lapangan. Dengan perkataan
lain, maqashid al-syari’ah adalah sumber dari segala sumber
hukum dalam Islam, termasuk sumber dari al-Qur`an sendiri. Oleh
karena itu, sekiranya ditemukan sebuah teks agama baik di dalam
al-Qur`an maupun al-hadits (apalagi di dalam tafsir dan fikih) yang
tidak lagi menyuarakan maqashid al-syari’ah, maka ia batal
atau dapat dibatalkan demi logika maqashid al-syari’ah
itu.
Kaidah yang diajukan di atas merupakan antipoda dari
kaidah lama yang berbunyi al-‘ibrah bi khushûsh al-sabab lâ bi
‘umûm al-lafadz. Bahwa yang harus menjadi pertimbangan adalah
keumuman lafadz, bukan khususnya sebab. Maka, jika suatu nash
menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain
selain menerapkan nash tersebut, sekalipun nash itu
hadir untuk merespons suatu peristiwa yang khusus. “Pasrah pada
keumuman lafdz ( al-taslim bi ‘umum al-lafdz) hanya
akan menyebabkan kita senantiasa berada dalam kerangka makna
linguistik (fiy ithar al-dalalah al-lughawiyah)”,
tandas Nahr Hamid Abu Zaid dalam bukunya yang berjudul al-Nash,
al-Sulthah, al-Haqiqah.
Terdapat sekian banyak kritik
terhadap kaidah konvensional ini. Misalnya, pertama, kaidah
ini dipandang terlalu banyak berkonsentrasi dan bergerak pada medan
semantik dengan menepikan peranan sabab al-nuzul.
Implikasinya, para pengguna kaidah ini kerap terjebak pada suatu
kenaifan. Bahwa semakin harafiah seseorang membaca al-Qur`an, maka
semakin dekat ia pada kebenaran. Sebaliknya, semakin jauh yang
bersangkutan dari makna literal al-Qur`an, maka ia semakin terlempar
dari kebenaran. Maka, semakin literal seseorang di dalam
memperlakukan al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada ketakwaan. Dan
semakin substantif seseorang di dalam memandang al-Qur`an, maka jauh
ia dari ketakwaan.
Kedua, dalam kaidah yang terakhir
itu, realitas hendak disubordinasikan ke dalam bunyi harafiah teks.
Yang dituju adalah kebenaran teks dengan konsekuensi mengabaikan
konteks (al-siyaq al-tarikhi) yang mengitari. Konteks
didudukkan dalam posisi yang rendah dan sekunder. Ini menjadi
maklum, oleh karena para pemakai kaidah ini menganut ideologi
universalisme dan ketidak-berhinggan kebenaran huruf (shalahiyyah
al-nansh dalaliyan li kulli zaman wa makan). Sehingga kita tidak
perlu kaget ketika ushul fikih lama berbicara tentang lafdz dalam
porsi yang demikian besar. Segala jenis perbincangan kebahasaan
(abhats lughawiyah min mabahits al-alfadz) seperti mengenai
‘amm-khashsh, muthlaq-muqayyad,
mujmal-mubayyan, muhkam-mutasyabih, qath’iy-dhanniy
merupakan upaya untuk menegakkan otoritas teks semata. Para
pemakai kaidah kedua ini mungkin tepat sekiranya disebut sebagai
penyembah kata (‘ubbad al-alafdz), semantara kata (lafdz)
adalah shanam yu’bad (patung yang disembah).
Segera
tampak bahwa analisis yang berhenti hanya pada konteks linguistik
saja tidak akan cukup memadai untuk mengejar kebenaran hakiki
(maqashid asasiyah) yang diusung oleh teks. Analisis mestinya
dilanjutkan pada penyingkapan makna yang terdiamkan (al-maskut
‘anhu), yaitu makna yang tak tercakup secara verbatim di dalam
aksara sebuah teks. Pencapaian terhadap makna-makna itu akan
meniscayakan adanya sebuah analisa yang bukan hanya terhadap
struktur kalimat per se melainkan yang justeru fondasional
adalah analisa kelas dan struktur sosial dan budaya yang melingkupi
sejarah kehadiran teks. Maka, kejarlah maqashid al-syari’ah
dengan pelbagai cara, tanpa terlalu banyak terpesona terhadap
keindahan sebuah teks. Sebab, keterpesonaan merupakan tindakan
ideologis yang hanya akan menumpulkan kreativitas dalam pencarian
makna obyektif.
[2] Jawaz Naskh al-Nushush
bi al-Mashlahah
Terdapat sebait pertanyaan ontologis
dalam ranah ushul fikih, jika terjadi pertentangan antara teks
(nash) dan maslahat mana yang mesti dimenangkan? Dalam
menjawab pertanyaan ini, umumnya ulama ushul fikih klasik mengatakan
bahwa yang dimenangkan adalah nash. Bahkan, al-Thufi
menyatakan bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan antara
nash dan mashlahah, karena apa yang diujarkan oleh
nash adalah kemaslahatan itu sendiri. Sering disinyalir bahwa
kemaslahatan yang diandaikan oleh manusia adalah kemaslahatan semu
dan relatif, sementara kemaslahatan yang ditetapkan Tuhan melalui
bunyi harafiah nash adalah kemaslahatan hakiki dan obyektif.
Manusia tidak memiliki kewenangan untuk mempertanyakan dan menggugat
kemaslahatan literal teks. Kewajiban manusia adalah mengamalkan dan
mengimaninya secara sepenuh hati.Secara pribadi, saya tidak dalam
posisi bersetuju dengan jawaban di atas. Pada hemat saya, maslahat
memiliki otoritas untuk menganulir kententuan-ketentuan teks suci.
Inilah yang dimaksud dengan ungkapan “naskh al-nushush bi
al-mashlahah”. Sebagai spirit dari teks (nushush) al-Qur`an,
kemaslahatan merupakan amunisi untuk mengontrol balik dari
keberadaan teks dengan menganulir beberapa teks suci yang sudah aus.
Dengan cara ini, maka cita kemaslahatan akan senantiasa berkreasi
untuk memproduksi formulasi bahkan teks keagamaan baru di tengah
kegamangan dan kegagapan formulasi dan teks keagamaan lama.Praktek
dari kaidah ini dapat diketahui dari pembatalan demi pembatalan
terhadap sejumlah syari’at Islam, yang dikenal dengan istilah
nasikh-mansukh. Semua pelajar Islam mesti tahu cerita tentang
penganuliran beberapa syari’at yang dipandang tidak lagi bersendikan
kemaslahatan. Dijelaskan bahwa nasakh itu bukan hanya berlaku
terhadap syari’at nabi-nabi terdahulu (syar’u man qablana)
saja, tetapi melainkan juga berlangsung dalam batang tubuh syari’at
Nabi Muhammad sendiri. Betapa syari’at Islam yang baru diundangkan,
kerap dalam 3 sampai 5 tahun dianulir kembali oleh Nabi Muhammad
karena tidak bermaslahat lagi.
Tidaklah mustahil bahwa
sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu tempat dan waktu
tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan
waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karena perubahan
konteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatu karena
diketahui mengandung maslahat, kemudian Allah melarangnya pada waktu
kemudian karena diketahui di lapangan aturan tersebut tidak lagi
menyuarakan kemaslahatan. Ibnu Rusyd dalam bukunya yang bertitelkan
Fashl al-Maqal fiy Taqrir Ma Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah min
al-Ittishal menyatakan bahwa hikmah (kemaslahatan) itu merupakan
saudara kandung dari syari’at-syari’at yang telah ditetapkan Allah
Swt.
Teks suci tanpa kemaslahatan memang tak berfungsi
apa-apa buat manusia, kecuali untuk teks itu sendiri. Teks baru
bermakna sekiranya menyertakan cita kemaslahatan bagi umat manusia.
Kemaslahatan adalah fondasi paling pokok dari setiap
perundang-undangan syari’at Islam. Ini bukan karena ajaran Islam
memang perlu dicocok-cocokkan secara opurtunistik dengan
perkembangan kemaslahatan, melainkan karena tuntutan kemaslahatan
itu secara obyektif niscaya mengharuskan demikian. Menarik mendengar
pernyataan Izzuddin Ibnu Abdissalam, “innama al-takalif kulluha
raji’atun ila mashalih al-‘ibad” [seluruh ketentuan agama
diarahkan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat manusia]. Dengan
ini, maka kemaslahatan itu merupakan ajaran agama yang
tsawabit (tidak berubah, pokok, dan universal), sementara
wujud pelaksanaan cita kemaslahatan itu merupakan perkara agama yang
mutaghayyir (berubah-berubah mengikuti perubahan alur sejarah
dan peradaban).Maka, yang perlu mendapatkan proviso penegasan di
sini adalah bahwa nasakh tidak dapat dilakukan terhadap teks
al-Qur`an yang mengandung prinsip-prinsip ajaran yang universal,
ajaran mana telah melintasi ruang dan waktu, mengatasi pelbagai
etnis dan keyakinan. Ayat-ayat ini ingin saya katakan sebagai ayat
dengan kedudukan paling tinggi (al-ayat al-‘ala qiymatan),
atau al-ayat al-ushuliyat atau ushul al-Qur`an.
Ayat-ayat seperti ini memang tidak banyak jumlahnya, bahkan bisa
dihitung dengan jari tangan. Masuk dalam kategori ayat yang tidak
bisa dinasakh ini, seperti ayat “wa idza hakamtum bayna al-nas an
tahkumu bi al’adl”, “I’dilu huwa aqrabu li al-taqwa”, dan
sebagainya. Nasakh terhadap ayat yang demikian bukan saja
berpunggungan dengan semangat kehadiran Islam awal, melainkan juga
bertentangan dengan logika nasakh sendiri. Sementara ayat-ayat
mu’amalah dalam al-Qur`an yang bersifat tehnis-operasional--saya
suka menyebutnya dengan al-ayat al-adna qiymatan atau
al-ayat al-furu’iyyat atau fikih al-Qur`an, seperti ayat yang
berbicara tentang bentuk-bentuk hukuman (‘uqubat), sanksi
bagi para pelaku pidana (hudud), bilangan waris dan
sebagainya, maka tetap terbuka kemungkinan untuk dinasakh dan
difalsifikasi, sekiranya ayat tadi tidak efektif lagi sebagai sarana
untuk mewujudkan cita kemalahatan. Dalam sejarahnya, nasakh selalu
hadir untuk terus-menerus memperbaharui teks-teks agama yang tidak
lagi merepresentasikan prinsip-prinsip dasar
Islam.
[3] Tanqih al-Nushush bi al-‘Aql al-Mujtama’
Kaidah ini hendak menyatakan bahwa akal publik memiliki
kewenangan untuk menyulih dan mengamandemen sejumlah ketentuan
“dogmatik” agama yang menyangkut perkara-perkara publik, baik dalam
al-Qur`an maupun dalam al-Sunnah. Sehingga ketika terjadi
pertentangan antara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran,
maka akal publik berotoritas untuk mengedit, menyempurnakan, dan
memodifikasikannya. Modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan ketika
berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat hudud
(seperti potong tangan, rajam, dan sebagainya), waris, dan
sebagainya. Ayat-ayat tersebut dalam konteks sekarang, alih-alih
bisa menyelesaikan masalah-masalah kemanusian, yang terjadi justeru
merupakan bagian dari masalah yang harus dipecahkan melalui prosedur
tanqih yang berupa taqyid bi al-‘aql, takhshish bi
al-‘aql, dan tabyin bi al-‘aql.
Ayat-ayat semacam
itu, sebagaimana dikatakan sebelumnya disebut sebagai fikih
al-Qur`an. Sebagai sebuah fikih, ayat-ayat tersebut sepenuhnya
merupakan respons al-Qur`an terhadap kasus-kasus tertentu yang
berlangsung dalam lokus tertentu pula, masyarakat Arab. Dengan
demikian, kebenaran ayat-ayat tadi bersifat relatif dan tentatif,
sehingga memerlukan penyempurnaan, pembaharuan, dan penyulingan.
Dalam tataran itu, universalisasi fikih al-Qur`an tanpa melalui
proses tanqih harus dihindari. Sebab, membiarkan fikih
al-Qur`an persis seperti dalam bunyi harfiahnya hanya akan
mengantarkan al-Qur`an pada perangkap yang mematikan spirit dan elan
vital al-Qur`an.
Kerja tanqih ini hakekatnya inheren
di dalam diri setiap manusia yang berakal budi. Dalam jiwa manusia
terdapat impuls abadi yang tak pernah padam untuk
bertanqih. Terdapat dorongan adekuat untuk senantiasa
berpihak pada kebenaran dan keadilan. Selalu ada kecenderungan untuk
mengoreksi pelbagai kekeliruan dan menyempurnakan segala kekurangan.
Akal publik dan bukan akal privat ini dibutuhkan tentu untuk
menghindari oligarki pendapat atau otoritarianisme dalam merumuskan
dan memecahkan urusan-urusan publik. Bagaimanapun di dalam ruang
publik tidak boleh ada satu pihak atau golongan dalam masyarakat
yang berhak memaksa pandangannya pada orang lain, karena
pandangannya dinilai lebih benar. Mereka memiliki kedudukan dan
derajat yang sama.
Pandangan di atas sangat berbeda dengan
pandangan mainstream, baik yang klasik maupun yang kontemporer yang
terus menerus mendevaluasi akal di bawah kedigdayaan teks. Baik
kalangan Asy’ariyah maupun Mu’tazilah hakekatnya sama-sama
memposisikan akal sebagai pengelola data-teks, sementara data-teks
merupakan pangkal atau asal. Sebagai pengelola, maka akal tidak bisa
bertindak terlampau jauh, kecuali hanya untuk melakukan
rasionalisasi terhadap barang-barang irrasional yang ada dalam
al-Qur`an dan al-Sunnah. Akal hanya berguna untuk membuka tabir
kegelapan teks-teks dhanniyat al-Qur`an saja. Di tangan
Mu’tazilah, akal hanya berfungsi untuk menakwil ayat-ayat yang
mutasyabih. Akal tidak cukup percaya diri untuk melakukan peninjauan
ulang apalagi mempertanyakan ayat-ayat partikular yang tergolong
qath’iyat dari sudut struktur gramatika bahasanya.
Akal manusia dalam buku-buku teologi klasik telah diletakkan
sebagai sub-ordinat dari teks. Akal mengalami penyusutan peran.
Seolah-olah akal manusia itu begitu rendah, sehingga kalau dibiarkan
maka manusia secara massal akan bertelanjang bulat di jalan-jalan
sebagaimana binatang, berzina beramai-ramai, mencuri secara
berjemaah, saling bunuh-membunuh, dan sebagainya. Ini, tentu saja
sebuah sikap yang tidak apresiatif bahkan merendahkan akal sebagai
karya agung Allah Swt. Allah menciptakan akal sesungguhnya agar
manusia sanggup memilah dan memilih mana-mana tindakan yang baik dan
mana-mana pula perbuatan yang buruk.
Menurut saya, sekali
lagi, akal publik harus diberi posisi yang penting. Akal publik
tidak cukup hanya tampil sebagai pengelola data-teks. Menyangkut
perkara-perkara mu’amalah yang mundan, akal publik perlu mendapatkan
wewenang untuk mengevaluasi efektivitas dan kinerja beberapa
ketentuan al-Qur`an dan al-Hadits di dalam mengimpelementasikan
maqashid al-syari’ah di bumi realitas. Sekiranya dari data
lapangan diketahui ketidak-berdayaan sebuah teks di dalam mengatasi
perkara-perkara publik, maka akal publik mesti mempertimbangkan
ulang ketentuan tersebut. Akal publik bertugas untuk mengeluarkan
spirit dasar Islam dari lipatan huruf-huruf agama. Akal publik
mempunyai tanggungjawab moral untuk mentanqih ayat-ayat yang
problematik.
Akhirnya, jangan lupa bahwa itu hanya sebagian
kaidah ushul fikih alternatif yang bisa disodorkan untuk membenahi
kelemahan-kelemahan metodologi istinbath yang telah lama
dirisaukan. Tentu saja ada sekian banyak lagi kaidah ushul fikih
yang perlu direformasi dengan menyertakan banyak orang yang
berkompeten. Dengan cara ini, niscaya kita bisa menghindari kebekuan
dan kemandulan metodologi-ushul fikih.[]
Kembali
ke atas ^
Tak
ada salahnya bermanhaj, aan - 05/01/04 00:01
Abd Moqsith Ghazali
Mahasiswa
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kepala Puslitbang
Ma’had Aliy Sukorejo Situbondo