Term “salafi radikal” kami ambil dari terminologi Azyumardi Azra
ketika melihat fenomena gerakan otentifikasi Islam sedang
mengecambah di Indonesia. “Salafi radikal” adalah kelompok yang
berorientasi pada penegakan dan pengamalan “Islam yang murni”,
“Islam otentik” yang dipraktikkan Nabi Muhammad dan para sahabatnya.
Disebut sebagai “salafi radikal” karena mereka cenderung menempuh
pendekatan dan cara-cara keras untuk mencapai tujuan, daripada cara
damai dan persuasif. Tumbuhnya kelompok ini berawal dari imigrasi
orang-orang Hadhramaut ke Indonesia dalam jumlah besar dan massif,
terjadi terutama sejak abad 19. Mereka membentuk enklave-enklave di
berbagai kota di Indonesia; Petamburan dan Kwitang (Batavia),
Pekalongan, Surakarta, Surabaya, Pontianak, Palembang, dan
lain-lain. (Republika, 25/10/2002).
Term ini terasa aktual akhir-akhir ini setelah mendapatkan
momentumnya. Pasca insiden JW Marriott, aparat menuduh pesantren
sebagai sarang teroris. Term “salafi radikal” tepat sekali untuk
menggambarkan fenomena Abu Bakar Ba’asyir, Amrozi, Ali Imron,
Hambali, dan lain-lain. Nama-nama ini muncul ke permukaan, bahkan
dunia, karena aktivitasnya yang menghebohkan, menggunakan cara
kekerasan untuk mencapai tujuan. Segala cara harus dilakukan untuk
menegakkan kalimah Allah di muka bumi ini. Para penentang
“khilafah”, “hukum Allah”, dan “syariat” adalah kafir yang harus
dilenyapkan dari permukaan bumi ini. Mereka merujuk hadis “Man ra-a
minkum munkaran falyughayyirhu biyadihi wa-in lam yastathi’
fabilisanihi wa-in lam yastathi’ fabiqolbih, wazalika adl’aful
iman”; barang siapa melihat kemungkaran, ubahlah dengan kekuasaan,
jika tidak mampu ubahlah dengan kemampuan diplomasi, dan jika tidak
mampu maka cukup dengan hati, dan itu adalah iman yang lemah.
Berdasarkan tekstualitas hadis ini, mereka melakukan serangkaian
kegiatan dan gerakan pembersihan segala apa yang berbau “maksiat”
(ma’ashi), “dosa” (zunub), “mungkar” (munkar), “keji” (fakhsya’),
“kemunafikan” (nifaq), dan segala macam “muharramat” (yang
diharamkan agama). Term-term ini sangat luas maknanya, mencakup
hampir seluruh aspek kehidupan, terutama publik. Saat ini, secara
faktual kita melihat keanekaragam perzinaan, eksploitasi aurat (para
turis), iklan transparan (semua iklan hampir menonjolkan organ
wanita yang sensitif), judi, minum-minuman keras, dan lain-lain
mengelilingi kehidupan ini secara bebas. Dan kebetulan, yang
menyediakan hal-hal semacam ini secara full dan terbuka umum adalah
restoran, night club, dan tempat-tempat hiburan lainnya yang
notabene banyak dikunjungi oleh warga negara asing. Maka tak ayal
lagi, tempat-tempat semacam itu selalu rentan aksi kelompok ini,
baik berupa ancaman, bom, tembak, sweeping, dsb. yang semuanya masuk
dalam katagori terorisme.
Bagi kelompok ini, demokrasi adalah absurd, hanya akal-akalan
barat untuk mempermudah ekspansi kapitalisme-global yang
ujung-ujungnya semakin memperlemah posisi dan bargaining power umat
Islam, dan semakin mengangkat kekuatan mereka nyaris sempurna.
Sampai saat ini, umat Islam identik dengan kelompok marginal,
tertindas, obyek perdagangan, dan selalu dijadikan bulan-bulanan
kaum zionis-imperalis dengan lokomotifnya AS. Maka, tidak ada jalan
lain kecuali kekerasan dan mengoptimalkan semua kekuatan Islam untuk
menandingi kedigdayaan lawan sesuai dengan bunyi teks hadits.
Di sinilah kelihatan karakter asli kelompok ini yang memandang
turast (doktrin dan tradisi) yang berupa teks-teks kitab
secara literalistik, tekstual, sakral, eternal, magis, dan final.
Pandangan inilah yang menyebabkan perilaku mereka yang ekstrem,
radikal, fanatis, tidak kenal kompromi, eksklusif, dan
fundamentalis. Apa yang tersirat dalam teks adalah mutlak
kebenarannya dan wajib hukumnya memperjuangkannya sampai titik darah
penghabisan.
Persoalannya kemudian, betulkah karakter semacam ini menjadi
mainstream pesantren di Indonesia, sehingga pesantren layak dituduh
sebagai sarang terorisme sebagaimana tuduhan pihak berwajib? Di
sinilah urgensi identifikasi dan kategorisasi pesantren untuk
memperjelas apakah semua pesantren layak dituduh sebagai sarang
terorisme, atau sebagian saja.
Sepanjang berdirinya negara ini, pesantren sebagaimana yang kita
tahu adalah lembaga pendidikan yang didirikan oleh para ulama untuk
mendidik, membimbing dan memberdayakan santri dan masyarakat dalam
hal keagamaan, sosial, budaya dan politik kultural. Peran serta
ulama dalam ikut mengantarkan negara ini ke gerbang kemerdekaan
tidak diragukan lagi, tertulis dalam tinta emas perjuangan
bangsa.
Secara faktual-empiris, mayoritas pesantren bernaung pada
kelompok organisasi besar, yakni NU (Nahdlatul Ulama) dan MD
(Muhammadiyah), karena itu, untuk mengetahui seperti apa corak dan
warna pesantren, bisa dilihat dari karakteristik para eksponen
pesantren tersebut. Untuk membuat contoh, KH. MA. Sahal Mahfudz
(mewakili NU-Ra’is Am Syuriyah NU) dan Prof. Dr. Ahmad Syafi’I
Ma’arif (Ketua PP Muhammadiah). Publik sudah mafhum bagaimana
karakter dan komitmen mereka terhadap persoalan keumatan dan
kebangsaan. Tentunya, aksi-aksi mereka dalam aspek pendidikan,
sosial, budaya, ekonomi, dan politik lahir dari kedalaman pemahaman
terhadap doktrin dan norma yang terdapat dalam kekayaan khazanah
keilmuan masing-masing organisasi tersebut. Kalau di NU berupa kitab
kuning (classical source), kalau Muhammadiyah al-Qur’an dan
Hadits (dan wacana akademik-kontemporer). Namun, akhir-akhir ini
kedua organisasi ada dalam platform yang sama, yaitu sama-sama ingin
menampilkan Islam sebagai rahmatan li-alamin dengan cirinya;
infitah (inklusif), tawasut (moderat), tasamuh (toleran), i’tidal
(lurus), musawah (persamaan), dan maslahah (kesejahteraan). Tujuan
mereka adalah terciptanya keadilan [adalah}, supremasi hukum
(tahqiqul hukmi), dan kesejahteraan rakyat (al-mashalih al-ra’iyah)
dalam frame good governance. Semua ini lahir dari cara
pemahaman mereka terhadap teks yang ada pada al-Qur’an, al-Hadis,
dan kitab-kitab ulama yang bertebaran dalam masalah teologi,
fiqh,dan tasawuf (mistisisme) yang kontekstual, metodologis, dan
menyejarah. Hasil Muktamar NU di Cipasung 1992 dan Mukmar
Muhammadiyah tahun 2001 yang lalu (yang populer dengan ijtihad
budaya) menunjukkan hal ini.
Melihat realitas faktual ini, sangat jauh kemungkinannya jika
pesantren model NU dan Muhammadiyah dan model pesantren yang lain
sampai melakukan tindakan-tindakan yang ekstrem, radikal, dan
fundamentalis, karena tindakan semacam ini dengan sendirinya
menguburkan cita profetik Islam sebagai agama rahmah, berubah
menjadi agama niqmah (siksa), dan nar (neraka). Mereka justru ingin
menampilkan Islam secara humanis, persuasif, dinamis, dan
progresif.
Tiga mainstream keilmuan pesantren (tauhid, fiqh dan tasawuf)
sangat menganjurkan umat untuk berbuat kebajikan, kasih sayang,
mengalah demi orang lain, membahagiakan orang lain, menolong dan
bekerjasama, dan sedini mungkin menghindari konflik, konfrontasi,
intrik, dan hal-hal destruktif lainnya. Dengan inilah Islam akan
bisa diterima dimuka bumi secara simpatik dan penuh dengan kesan.
Bukan dengan pedang, bom, tembak yang menyisakan kesan kejam,
bengis, dan biadab. Bukankah Rasulullah Muhammad tidak pernah
menggunakan pedang selama masih ada jalan lain yang lebih
bijaksana?
Dari sini bisa disimpulkan, kelompok dari rahim pesantren yang
populer dengan “salafi radikal” ini adalah minoritas dari mainstream
pesantren yang ada. Kelompok ini mempunyai aktivitas, gerakan dan
target politik yang jelas, serta jaringan internasional dengan cara
dan karakter yang spesifik. Di sektor dana, pesantren seperti ini
juga mempunyai akses yang luas. Ciri-ciri semacam ini sulit
didapatkan di pesantren Indonesia pada umumnya. Oleh sebab itu,
sangat tidak bijaksana apabila ada pihak-pihak tertentu yang
melakukan generalisasi dengan mengatakan semua pesantren layak
disebut sebagai sarang terorisme. []
Kembali
ke atas ^
Perjelas
yang dikatakan salafi, lyulka. - 20/02/04 02:02
Anda
Jangan Pernah Membuat Islam Jadi Kerdil Karena Anda!, abdullah
Azzam - 13/09/03 18:09
Ah..
Sukanya Cari-cari Semut Hitam (buat Aan), abdul basith -
13/09/03 14:09
All
Judul, Hamba Allah - 12/09/03 18:09
NU
atau Muhammadiyah pun Bisa, aan - 11/09/03 15:09
Komentar
lainnya baca di
sini (6 komentar)
Jamal Ma’mur Asmani
Penulis adalah
alumnus Mathali'ul Falah, Kajen, Pati; Peneliti pada CePDeS, Center
for Pesantren and Democracy Studies; dan Staf Pengajar PP Mahasiswa
Al-Aqobah Kwaron Diwek Jombang.