Jaringan Islam Liberal
Edisi Bahasa Indonesia
 Senin, 24 Mei 2004

 
 Halaman Depan | Tentang Kami | Program | Kontak | Peta Situs

Editorial


Wawancara

Danarto, sastrawan senior, menuturkan pengalaman spiritual keagamaannya:
Awalnya, Saya Salat Berbahasa Jawa

Andi A Malarangeng:
Oposisi Bukan Sekadar Berbeda

Teten Masduki:
Korupsi itu Syirik Sosial


Kolom


Diskusi


Kliping


Tokoh

Muhammad Imarah:
Turâts, Tajdîd dan Relasi Agama-Negara

Muhammad Ibn Abd al-Wahab (1703-1791)

Menggugat Teks & Kebenaran Agama
Analisa Pemikiran Ali Harb tentang Relativitas Kebenaran Agama


Buku


Gagasan



Radio Namlapanha

Salafi Radikal, Pesantren, dan Terorisme
Tanggal dimuat: 1/9/2003

Di sinilah kelihatan karakter asli kelompok ini yang memandang turast (doktrin dan tradisi) yang berupa teks-teks kitab secara literalistik, tekstual, sakral, eternal, magis, dan final. Pandangan inilah yang menyebabkan perilaku mereka yang ekstrem, radikal, fanatis, tidak kenal kompromi, eksklusif, dan fundamentalis.

Danarto, sastrawan senior, menuturkan pengalaman spiritual keagamaannya:
Awalnya, Saya Salat Berbahasa Jawa

Agama dan Pencerahan

Tafsir Humanis atas Kepemimpinan

Cetak artikel ini
Kirim artikel ke teman
Informasi hak cipta artikel ini
Tanggapan Anda

Term “salafi radikal” kami ambil dari terminologi Azyumardi Azra ketika melihat fenomena gerakan otentifikasi Islam sedang mengecambah di Indonesia. “Salafi radikal” adalah kelompok yang berorientasi pada penegakan dan pengamalan “Islam yang murni”, “Islam otentik” yang dipraktikkan Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Disebut sebagai “salafi radikal” karena mereka cenderung menempuh pendekatan dan cara-cara keras untuk mencapai tujuan, daripada cara damai dan persuasif. Tumbuhnya kelompok ini berawal dari imigrasi orang-orang Hadhramaut ke Indonesia dalam jumlah besar dan massif, terjadi terutama sejak abad 19. Mereka membentuk enklave-enklave di berbagai kota di Indonesia; Petamburan dan Kwitang (Batavia), Pekalongan, Surakarta, Surabaya, Pontianak, Palembang, dan lain-lain. (Republika, 25/10/2002).

Term ini terasa aktual akhir-akhir ini setelah mendapatkan momentumnya. Pasca insiden JW Marriott, aparat menuduh pesantren sebagai sarang teroris. Term “salafi radikal” tepat sekali untuk menggambarkan fenomena Abu Bakar Ba’asyir, Amrozi, Ali Imron, Hambali, dan lain-lain. Nama-nama ini muncul ke permukaan, bahkan dunia, karena aktivitasnya yang menghebohkan, menggunakan cara kekerasan untuk mencapai tujuan. Segala cara harus dilakukan untuk menegakkan kalimah Allah di muka bumi ini. Para penentang “khilafah”, “hukum Allah”, dan “syariat” adalah kafir yang harus dilenyapkan dari permukaan bumi ini. Mereka merujuk hadis “Man ra-a minkum munkaran falyughayyirhu biyadihi wa-in lam yastathi’ fabilisanihi wa-in lam yastathi’ fabiqolbih, wazalika adl’aful iman”; barang siapa melihat kemungkaran, ubahlah dengan kekuasaan, jika tidak mampu ubahlah dengan kemampuan diplomasi, dan jika tidak mampu maka cukup dengan hati, dan itu adalah iman yang lemah.

Berdasarkan tekstualitas hadis ini, mereka melakukan serangkaian kegiatan dan gerakan pembersihan segala apa yang berbau “maksiat” (ma’ashi), “dosa” (zunub), “mungkar” (munkar), “keji” (fakhsya’), “kemunafikan” (nifaq), dan segala macam “muharramat” (yang diharamkan agama). Term-term ini sangat luas maknanya, mencakup hampir seluruh aspek kehidupan, terutama publik. Saat ini, secara faktual kita melihat keanekaragam perzinaan, eksploitasi aurat (para turis), iklan transparan (semua iklan hampir menonjolkan organ wanita yang sensitif), judi, minum-minuman keras, dan lain-lain mengelilingi kehidupan ini secara bebas. Dan kebetulan, yang menyediakan hal-hal semacam ini secara full dan terbuka umum adalah restoran, night club, dan tempat-tempat hiburan lainnya yang notabene banyak dikunjungi oleh warga negara asing. Maka tak ayal lagi, tempat-tempat semacam itu selalu rentan aksi kelompok ini, baik berupa ancaman, bom, tembak, sweeping, dsb. yang semuanya masuk dalam katagori terorisme.

Bagi kelompok ini, demokrasi adalah absurd, hanya akal-akalan barat untuk mempermudah ekspansi kapitalisme-global yang ujung-ujungnya semakin memperlemah posisi dan bargaining power umat Islam, dan semakin mengangkat kekuatan mereka nyaris sempurna. Sampai saat ini, umat Islam identik dengan kelompok marginal, tertindas, obyek perdagangan, dan selalu dijadikan bulan-bulanan kaum zionis-imperalis dengan lokomotifnya AS. Maka, tidak ada jalan lain kecuali kekerasan dan mengoptimalkan semua kekuatan Islam untuk menandingi kedigdayaan lawan sesuai dengan bunyi teks hadits.

Di sinilah kelihatan karakter asli kelompok ini yang memandang turast (doktrin dan tradisi) yang berupa teks-teks kitab secara literalistik, tekstual, sakral, eternal, magis, dan final. Pandangan inilah yang menyebabkan perilaku mereka yang ekstrem, radikal, fanatis, tidak kenal kompromi, eksklusif, dan fundamentalis. Apa yang tersirat dalam teks adalah mutlak kebenarannya dan wajib hukumnya memperjuangkannya sampai titik darah penghabisan.

Persoalannya kemudian, betulkah karakter semacam ini menjadi mainstream pesantren di Indonesia, sehingga pesantren layak dituduh sebagai sarang terorisme sebagaimana tuduhan pihak berwajib? Di sinilah urgensi identifikasi dan kategorisasi pesantren untuk memperjelas apakah semua pesantren layak dituduh sebagai sarang terorisme, atau sebagian saja.

Sepanjang berdirinya negara ini, pesantren sebagaimana yang kita tahu adalah lembaga pendidikan yang didirikan oleh para ulama untuk mendidik, membimbing dan memberdayakan santri dan masyarakat dalam hal keagamaan, sosial, budaya dan politik kultural. Peran serta ulama dalam ikut mengantarkan negara ini ke gerbang kemerdekaan tidak diragukan lagi, tertulis dalam tinta emas perjuangan bangsa.

Secara faktual-empiris, mayoritas pesantren bernaung pada kelompok organisasi besar, yakni NU (Nahdlatul Ulama) dan MD (Muhammadiyah), karena itu, untuk mengetahui seperti apa corak dan warna pesantren, bisa dilihat dari karakteristik para eksponen pesantren tersebut. Untuk membuat contoh, KH. MA. Sahal Mahfudz (mewakili NU-Ra’is Am Syuriyah NU) dan Prof. Dr. Ahmad Syafi’I Ma’arif (Ketua PP Muhammadiah). Publik sudah mafhum bagaimana karakter dan komitmen mereka terhadap persoalan keumatan dan kebangsaan. Tentunya, aksi-aksi mereka dalam aspek pendidikan, sosial, budaya, ekonomi, dan politik lahir dari kedalaman pemahaman terhadap doktrin dan norma yang terdapat dalam kekayaan khazanah keilmuan masing-masing organisasi tersebut. Kalau di NU berupa kitab kuning (classical source), kalau Muhammadiyah al-Qur’an dan Hadits (dan wacana akademik-kontemporer). Namun, akhir-akhir ini kedua organisasi ada dalam platform yang sama, yaitu sama-sama ingin menampilkan Islam sebagai rahmatan li-alamin dengan cirinya; infitah (inklusif), tawasut (moderat), tasamuh (toleran), i’tidal (lurus), musawah (persamaan), dan maslahah (kesejahteraan). Tujuan mereka adalah terciptanya keadilan [adalah}, supremasi hukum (tahqiqul hukmi), dan kesejahteraan rakyat (al-mashalih al-ra’iyah) dalam frame good governance. Semua ini lahir dari cara pemahaman mereka terhadap teks yang ada pada al-Qur’an, al-Hadis, dan kitab-kitab ulama yang bertebaran dalam masalah teologi, fiqh,dan tasawuf (mistisisme) yang kontekstual, metodologis, dan menyejarah. Hasil Muktamar NU di Cipasung 1992 dan Mukmar Muhammadiyah tahun 2001 yang lalu (yang populer dengan ijtihad budaya) menunjukkan hal ini.

Melihat realitas faktual ini, sangat jauh kemungkinannya jika pesantren model NU dan Muhammadiyah dan model pesantren yang lain sampai melakukan tindakan-tindakan yang ekstrem, radikal, dan fundamentalis, karena tindakan semacam ini dengan sendirinya menguburkan cita profetik Islam sebagai agama rahmah, berubah menjadi agama niqmah (siksa), dan nar (neraka). Mereka justru ingin menampilkan Islam secara humanis, persuasif, dinamis, dan progresif.

Tiga mainstream keilmuan pesantren (tauhid, fiqh dan tasawuf) sangat menganjurkan umat untuk berbuat kebajikan, kasih sayang, mengalah demi orang lain, membahagiakan orang lain, menolong dan bekerjasama, dan sedini mungkin menghindari konflik, konfrontasi, intrik, dan hal-hal destruktif lainnya. Dengan inilah Islam akan bisa diterima dimuka bumi secara simpatik dan penuh dengan kesan. Bukan dengan pedang, bom, tembak yang menyisakan kesan kejam, bengis, dan biadab. Bukankah Rasulullah Muhammad tidak pernah menggunakan pedang selama masih ada jalan lain yang lebih bijaksana?

Dari sini bisa disimpulkan, kelompok dari rahim pesantren yang populer dengan “salafi radikal” ini adalah minoritas dari mainstream pesantren yang ada. Kelompok ini mempunyai aktivitas, gerakan dan target politik yang jelas, serta jaringan internasional dengan cara dan karakter yang spesifik. Di sektor dana, pesantren seperti ini juga mempunyai akses yang luas. Ciri-ciri semacam ini sulit didapatkan di pesantren Indonesia pada umumnya. Oleh sebab itu, sangat tidak bijaksana apabila ada pihak-pihak tertentu yang melakukan generalisasi dengan mengatakan semua pesantren layak disebut sebagai sarang terorisme. []

Kembali ke atas ^

Cetak artikel iniKirim artikel ke teman


  • Perjelas yang dikatakan salafi, lyulka. - 20/02/04 02:02
  • Anda Jangan Pernah Membuat Islam Jadi Kerdil Karena Anda!, abdullah Azzam - 13/09/03 18:09
  • Ah.. Sukanya Cari-cari Semut Hitam (buat Aan), abdul basith - 13/09/03 14:09
  • All Judul, Hamba Allah - 12/09/03 18:09
  • NU atau Muhammadiyah pun Bisa, aan - 11/09/03 15:09
    Komentar lainnya baca di sini (6 komentar)

    Jamal Ma’mur Asmani
    Penulis adalah alumnus Mathali'ul Falah, Kajen, Pati; Peneliti pada CePDeS, Center for Pesantren and Democracy Studies; dan Staf Pengajar PP Mahasiswa Al-Aqobah Kwaron Diwek Jombang.