Mengkaji sejarah Al-Qur’an dengan melihat 
            proses-proses pembentukannya, baik pada masa Nabi dan masa-masa 
            sesudahnya sangat penting, untuk mengingatkan kita selalu bahwa 
            Al-Qur’an adalah manifestasi manusiawi dari kalamullah. 
            Seperti juga kitab-kitab suci lainnya di dunia ini, Al-Qur’an 
            memiliki keterbatasan-keterbatasan pada lingkup kebahasaan dan 
            kesejarahan di mana ia diturunkan.
            
            
            Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada siapa 
            saja yang telah memberikan komentar dan kritik terhadap artikel saya 
            tentang “Merenungkan Sejarah Al-Qur’an” yang dipublikasikan di 
            website Jaringan Islam Liberal (JIL). Pada mulanya, artikel itu 
            adalah bagian dari refleksi kegiatan spiritual saya selama bulan 
            Ramadhan. Pada bulan itu, saya mencoba membaca Al-Qur’an dengan 
            model bacaan saya sendiri yang menurut saya lebih berkesan dan 
            mempengaruhi intensitas keberagamaan saya. Secara khusus, saya 
            membaca beberapa buku Nasr Hamed Abu Zayd dan juga beberapa artikel 
            yang ditulis oleh sarjana Al-Qur’an dari Barat. Saya selalu 
            terobsesi untuk membaca karya-karya semacam ini, sebagai 
            “balance” (penyeimbang) dari bacaan saya selama ini yang 
            terlalu banyak dengan karya-karya apologetis. Saya pikir, rasanya 
            kurang adil kalau saya hanya mensuplay ke dalam memori pikiran saya 
            pengetahuan apologetis saja.
Inilah latar belakang mengapa 
            artikel itu saya tulis. Semula saya ragu menuliskan apa yang saya 
            baca. Tapi, rasanya masih terus ada yang mengganjal kalau belum 
            ditulis. Ketika menulis artikel itu, saya mendapat panduan dari 
            karya-karya sarjana Al-Qur’an dari Barat untuk membuka kitab-kitab 
            klasik seperti kitab al-masahif, al-fihrist, al-itqan, dan 
            al-burhan. Saya beruntung karena semua kitab itu bisa saya 
            dapatkan, sehingga saya bisa merujuk setiap klaim yang dibuat oleh 
            para sarjana Al-Qur’an dari Barat itu.
Saya pikir, para 
            sarjana Al-Qur’an dari Barat atau yang biasa disebut dengan nada 
            permusuhan sebagai “orientalis” itu telah banyak berjasa bagi 
            tradisi kesejarahan Al-Qur’an. Saya bukan tidak sadar bahwa sebagian 
            dari mereka, seperti dengan baik telah diperlihatkan oleh para 
            kritikus orientalis semacam A.L. Tibawi dan Edward Said, adalah para 
            sarjana yang bekerja untuk kepentingan proyek kolonialisme dan 
            penaklukkan dunia Islam. Tapi, saya meyakini, tidak semua mereka 
            seburuk apa yang dicurigai kaum Muslim. Dunia sekarang ini sudah 
            sangat terbuka dan tanpa batas. Akses kepada informasi bisa 
            diperoleh semua orang dengan mudah. Apa yang dikatakan oleh para 
            orientalis itu bisa kita rujuk dan buktikan ke sumber-sumber 
            aselinya. Dan ini yang saya coba lakukan dalam menulis artikel 
            itu.
Untuk menulis artikel singkat itu, saya merujuk semua 
            buku yang disebut para orientalis, khususnya kitab al-masahif 
            karya Ibn Abi Daud, al-Fihrist karya Ibn Nadiem, dan 
            al-Itqan karya al-Suyuthi. Dalam artikel itu, sengaja saya 
            tidak menyebut nama orientalis satupun, karena saya sadar bahwa kaum 
            Muslim memiliki apriori dan prasangka yang luar biasa pada nama-nama 
            mereka. Saya pikir, kalau saya kutip nama-nama orientalis itu, 
            paling-paling artikel saya akan dicampakkan begitu saja. Agaknya, 
            ini yang pernah terjadi dengan rekan saya, Taufik Adnan Amal, yang 
            lebih piawai, lebih ahli, dan lebih produktif dari saya dalam 
            menuliskan sejarah Al-Qur’an. Namun, hanya karena tulisan-tulisan 
            dia sarat dengan nama-nama seperti Jeffrey, Wansborough, dan 
            semacamnya, tulisan-tulisan itu tampaknya tidak banyak diperhatikan 
            orang. Di website JIL sendiri, ada tiga artikel Taufik, yang menurut 
            saya, memiliki pesan yang sama dengan refleksi yang saya 
            buat.
Para pengkritik dan pengecam artikel saya berusaha 
            dengan tak sabar ingin mendengar pengakuan dari saya bahwa saya 
            merujuk kepada orientalis, agar kemudian mereka bisa berteriak: “tuh 
            kan Luthfi ujung-ujungnya pake orientalis.” Saya sedih jika ada yang 
            berkomentar seperti ini. Seolah-olah, ilmu itu milik umat Islam 
            saja, dan yang boleh meneliti sesuatu hanya orang Islam saja. 
            Sedangkan orang lain, apalagi orang di luar Islam, meskipun mereka 
            punya keahlian untuk itu, dianggap tak layak, dan bahkan kalau perlu 
            dianggap “najis” yang harus dicampakkan. Padahal Sayyidina Ali 
            jauh-jauh hari sudah mengingatkan kita: Undzur ma qaala wa la 
            tandhur man qaala (lihat apa yang dikatakan, dan jangan lihat 
            siapa yang berkata). Para ulama mantiq (ahli logika) 
            jauh-jauh hari juga sudah mengingakan agar kita jangan mudah 
            terjatuh pada apa yang mereka sebut sebagai ughluthat al-askhash 
            (ad hominem), yakni menghukumi sebuah pendapat 
            semata-mata melihat siapa yang berkata, dan bukan apa yang 
            dikatakan.
Bagi saya, kajian para orientalis telah membuka 
            banyak dimensi tak terpikirkan dari sejarah Al-Qur’an selama ini. 
            Pada gilirannya, kerja keras dan temuan-temuan mereka bisa digunakan 
            untuk menjelaskan apa yang selama ini menjadi concern ulama 
            dan intelektual Muslim. Bagaimanapun, kritik teks (khususnya 
            teks-teks suci) adalah disiplin baru yang tak memiliki preseden 
            dalam sejarah intelektualisme umat manusia. Di masa silam, teks-teks 
            suci dianggap sebagai korpus tertutup yang sudah selesai dan tak 
            boleh diganggu-gugat. Siapa saja yang mencoba mengkritisinya, dia 
            akan dianggap “murtad,” “kafir,” “zindiq,” atau istilah-istilah lain 
            yang sejenis. Untuk membentengi kesucian dan kemaksuman kitab suci, 
            mitos-mitos pun diciptakan, misalnya seperti masalah i’jazul 
            Qur’an (e.g. angka 19, dll). Siapa saja yang menolak mitos-mitos 
            ini, juga akan dicap dengan istilah-istilah seram di atas. Itulah 
            yang terjadi dengan banyak ulama dan intelektual Muslim yang mencoba 
            “membaca” Al-Qur’an dengan perspektif lain, seperti yang dialami 
            oleh Arkoun, Syahrour, dan Abu Zayd.
Kajian historis terhadap 
            Al-Qur’an membantu kita, di antaranya, untuk menjelaskan 
            persoalan-persoalan klasik hubungan antara wahyu, kitab suci, dan 
            risalah kenabian, secara umum. Selanjutnya, masalah ini juga dapat 
            membantu kita menjelaskan peran dan fungsi agama-agama di dunia ini 
            bagi umat manusia. Saya menganggap kajian Al-Qur’an dengan 
            melihatnya sebagai sebuah satu-kesatuan kitab suci dan sekaligus 
            melihat detil-detil peristiwa kesejarahannya yang manusiawi, seperti 
            kita memahami sejarah alam semesta. Menurut para astrofisikawan, 
            alam semesta tak bisa dipahami kecuali kita menggabungkan dua teori 
            utama: (i) yang berkaitan dengan hal-hal maha-besar seperti big 
            bang, gravitasi, dan ekspansi; dan (ii) hal-hal maha-kecil seperti 
            quantum, singularity, dan string. Begitu juga Al-Qur’an, ia tak bisa 
            dipahami dengan baik jika kita hanya melihat satu dimensi saja dan 
            mengabaikan dimensi lainnya. Menurut saya, dimensi historis 
            Al-Qur’an adalah modal penting bagi kita memahami fungsi dan peran 
            Al-Qur’an yang sesungguhnya.
Dari kajian sejarah pembentukan 
            Al-Qur’an, kita mengetahui bahwa kitab suci ini berkembang dengan 
            sangat dinamis, berinteraksi dengan kehidupan umat manusia, yang 
            kadang sangat bersifat lokal dan temporal. Ayat-ayat yang dimulai 
            dengan pertanyaan-pertanyaan para sahabat Nabi, misalnya 
            (yas’alunaka anil khamr, anil ahillah, anil mahidh, dan 
            seterusnya), adalah refleksi dari kehidupan yang dijalani Nabi dan 
            para sahabatnya. Kasus-kasus seperti minuman keras dan menstruasi 
            (yang disebutkan dalam ayat yas’alunaka itu), adalah persolan 
            manusia di dunia yang muncul tiba-tiba karena desakan situasi yang 
            dihadapi para sahabat nabi saat itu. Dengan kata lain, jika tidak 
            ada situasi yang mendesak tersebut, maka ayat-ayat tentang khamar 
            dan menstruasi akan absen dari Al-Qur’an.
Fenomena 
            lokal-temporal yang dijumpai dalam ayat-ayat Al-Qur’an telah lama 
            menjadi kajian para ulama dan ilmuwan Muslim. Dalam ‘Ulum al-Qur’an 
            dan juga Ushul al-Fiqh, mereka menciptakan kaedah-kaedah yang 
            tujuannya meuniversalkan pesan-pesan Al-Qur’an, seperti al-‘ibrah 
            bi ‘umum al-lafdh la bi khusus al-sabab (mendahulukan kata-kata 
            yang umum di atas sebab-sebab yang khusus). Kaedah-kaedah seperti 
            ini sangat membantu dalam menafsirkan Al-Qur’an, tapi tidak membantu 
            dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang lebih substansial yang 
            umumnya dihadapi oleh para filsuf Muslim di masa klasik dan 
            intelektual Muslim di masa modern, menyangkut hubungan antara 
            risalah kenabian, kitab suci, posisi Allah, wahyu, dan beragamnya 
            agama-agama di dunia.
Para filsuf Muslim klasik mencoba 
            menjelaskan persoalan-persoalan itu dengan menggunakan 
            analisa-analisa yang rumit yang hanya dipahami oleh kalangan 
            tertentu, khususnya mereka yang mempelajari disiplin filsafat. 
            Al-Farabi misalnya menjelaskan proses turunnya wahyu Allah kepada 
            Nabi Muhammad sebagai proses yang sepenuhnya bersifat psikologis 
            (al-nafsiyyah). Agen penyampai wahyu yang umumnya disebut 
            “Jibril” hanyalah salah satu daya (quwwah) saja yang ada 
            dalam diri manusia. Setiap manusia, secara potensial (bil 
            quwwah), memiliki daya kenabian, hanya saja intensitas kenabian 
            itu berbeda satu dengan lainnya. Daya kenabian yang dimiliki Nabi 
            Muhammad merupakan yang terbesar, sehingga dia mampu 
            mengaktualisasikan wahyu Tuhan dari potensi (bil quwwah) 
            menjadi kenyataan (bil fi’il).
Dalam proses 
            aktualisasi wahyu dari bil quwwah menjadi bil fi’il 
            ada sejumlah proses reduksi. Hal ini lumrah belaka, karena 
            pesan-pesan Allah yang universal disampaikan dalam bentuk bahasa 
            manusia, yakni bahasa Arab, yang tunduk pada aturan-aturan retoris, 
            gramatis, semantik, leksikal, dan sintaks. Bahasa Arab bukanlah 
            bahasa baru yang muncul tiba-tiba karena Al-Qur’an. Bahasa ini telah 
            ada sejak lama dan digunakan oleh masyarakat Arabia sebagai alat 
            komunikasi dalam interaksi sosial, bisnis, puisi, literatur, 
            graffitti, kecaman, dan juga obrolan-obrolan porno. Puisi-puisi 
            jahiliah yang banyak mengumbar syhawat dan pornografi diekspresikan 
            dalam bahasa Arab. Puisi-puisi dan literatur yang dianggap 
            “menyimpang” dari Islam juga ditulis dalam bahasa 
            Arab.
Persoalan utama Al-Qur’an, menurut saya, bukanlah 
            persoalan penafsiran semata, tapi memahaminya sebagai sebuah produk 
            ilahiah (al-intaj al-ilahy) yang berada dalam ruang sejarah 
            manusia yang tidak suci dan terbatas. Teks-teks yang tertulis dalam 
            bahasa Arab yang kemudian disebut “Al-Qur’an” adalah artikulasi 
            manusia terhadap kalamullah yang abadi dan eternal. 
            Kalamullah yang abadi dan eternal inilah yang terus dijaga 
            oleh Allah, seperti dijanjikan dalam salah satu ayatnya (Inna 
            nahnu nazzalna al-dhikra wa inna lahu lahafidhun Q.S. 15:9). 
            Adapun Al-Qur’an, pada dasarnya adalah sesuatu --meminjam istilah 
            para pemikir Muktazilah-- “yang diciptakan” (makhluq) dalam 
            kebaharuan (muhdath), dan karenanya, ia tidak eternal dan 
            tidak abadi.
Upaya koleksi, modifikasi, dan unifikasi, yang 
            dilakukan baik oleh para sahabat maupun orang-orang yang sesudahnya 
            adalah contoh dari proses-proses keterciptaan Al-Qur’an dalam ruang 
            yang tidak permanen dan tidak abadi. Menurut Al-Qur’an, Allah 
            mengutus Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah (message), dan 
            risalah itu bernama “Islam.” Sebagai sebuah risalah, Islam, seperti 
            diberitakan Al-Qur’an, bukanlah agama yang baru, dan Muhammad 
            bukanlah satu-satunya pembawa risalah. Sebelumnya, risalah itu telah 
            disampaikan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa (Q.S. 42:13). Al-Qur’an 
            menggunakan bahasa Arab. Tidak ada yang unik dari bahasa ini, karena 
            seperti kata Al-Qur’an sendiri: “Tidaklah kami utus seorang rasul 
            kecuali dengan bahasa kaumnya, agar ia dapat memberi penjelasan 
            dengan terang kepada mereka” (Q.S. 14:4). Dengan kata lain, alasan 
            mengapa Al-Qur’an berbahasa Arab karena semata-mata ia diturunkan 
            kepada orang-orang Arab. Tidak lebih dan tidak kurang.
Bahasa 
            manusia adalah instrumen komunikasi yang terbatas pada budaya, 
            tempat, dan waktu di mana ia digunakan. Kosakata dari bahasa selalu 
            berkembang, sesuai dengan perkembangan zaman. Keterbatasan kosakata 
            Al-Qur’an bukanlah keterbatasan pesan-pesan Allah 
            (kalamullah) yang universal, tapi keterbatasan bahasa Arab 
            yang tunduk pada situasi dan kondisi saat Al-Qur’an diturunkan. 
            Sejarah pembukuan Al-Qur’an adalah sejarah pereduksian kalamullah 
            yang universal dan eternal. Seperti juga yang terjadi pada 
            kitab-kitab suci lainnya, seperti Taurat, Injil, Zabur, Al-Qur’an 
            adalah manifestasi dari kalamullah yang eternal dan 
            universal. Karena manifestasi dilakukan dalam bahasa manusia yang 
            beragam dan tidak sempurna, maka terjadilah perbedaan-perbedaan di 
            antara kitab-kitab suci itu (dan selanjutnya juga di antara para 
            pemeluk agama).
Al-Qur’an sendiri adalah produk pemanusiaan 
            (humanizing) pesan-pesan Allah (kalamullah) yang 
            universal dan eternal. Dalam sejarahnya, ada dua tahap pemanusiaan 
            kalamullah itu hingga menjadi bentuknya yang kita lihat 
            sekarang. Tahap pertama adalah tahap pengaturan ayat-ayat yang 
            diturunkan secara kronologis (tartib al-nuzul) menjadi urutan 
            bacaan seperti kita kenal sekarang (tartib al-tilawah). Ini 
            dilakukan pada masa Nabi dan dilengkapi pada masa Uthman bin Affan. 
            Tahap selanjutnya adalah pemberian tanda baca (tasykil) yang 
            dilakukan sepanjang sejarah Islam hingga digunakannya mesin cetak 
            pada masa modern.
Seperti kita ketahui, susunan Al-Qur’an 
            yang diturunkan secara kronologis berbeda dengan susunan yang kita 
            lihat sekarang. Perubahan susunan ini memiliki dua dampak yang cukup 
            penting: pertama, ia menghancurkan konteks peristiwa dan kesejarahan 
            setiap wahyu yang diturunkan; dan kedua, ia menjadikan Al-Qur’an 
            sebagai sebuah bacaan “magis” (karena yang ditekankan bukan makna 
            kronologisnya, tapi struktur kebahasaannya). Dampak yang terakhir 
            ini kemudian mendorong sebagian ulama untuk membesar-besarkan apa 
            yang mereka sebut sebagai “i’jaz al-balaghi al-Qur’ani” 
            (mu’jizat sastrawi Al-Qur’an).
* * *
Dalam 
            tulisan saya yang ringkas itu, saya telah berusaha memperlihatkan 
            bahwa hingga abad ke-4 (masa Ibn Nadiem dan Ibn Abi Daud) dan bahkan 
            hingga abad ke-10 (masa Jalaluddin al-Suyuthi), persoalan penulisan 
            dan penertiban ayat-ayat Al-Qur’an tetap menjadi isu hangat yang 
            terus diperdebatkan. Tidak ada yang tabu bagi ulama Islam kala itu 
            untuk mendiskusikan kesejarahan Al-Qur’an. Ibn Nadiem bebas-bebas 
            saja membuat pernyataan bahwa Mushafnya Ibn Abbas tidak memiliki 
            al-Fatihah, dan al-Suyuthi bebas-bebas saja meriwayatkan Hadith 
            ‘Aisyah bahwa Mushaf Uthmani telah menghilangkan surah al-Ahzab dan 
            karenanya Al-Qur’an yang dibuat Uthman menjadi lebih ramping dari 
            Mushaf yang dimilikinya. 
Menurut saya, keyakinan akan 
            imanensi dan permanensi Al-Qur’an, selain bertentangan dengan 
            prinsip tauhid yang paling asasi (yakni hanya Allah yang imanen dan 
            permanen, adapun yang lainnya hanyalah manifestasi dari 
            kalam-Nya), juga bertentangan dengan konteks kesejarahan 
            Al-Qur’an sendiri yang dinamis, progresif, dan 
            manusiawi.
Mengkaji sejarah Al-Qur’an dengan melihat 
            proses-proses pembentukannya, baik pada masa Nabi dan masa-masa 
            sesudahnya sangat penting, untuk mengingatkan kita selalu bahwa 
            Al-Qur’an adalah manifestasi manusiawi dari kalamullah. 
            Seperti juga kitab-kitab suci lainnya di dunia ini, Al-Qur’an 
            memiliki keterbatasan-keterbatasan pada lingkup kebahasaan dan 
            kesejarahan di mana ia diturunkan. Namun demikian, sebagai sebuah 
            manifestasi dari kalamullah, Al-Qur’an memiliki 
            kesamaan-kesamaan dengan kitab-kitab suci lainnya (yang juga 
            merupakan manifestasi kalamullah). Aspek kesamaan inilah 
            (dalam bahasa Al-Qur’an disebut “kalimatun sawaa”) yang harus 
            selalu ditekankan oleh kaum Muslim secara khusus dan seluruh umat 
            beragama secara umum. 
Imani billahi akbar wa huwa khayrul 
            musta’an.
            
Kembali 
            ke atas ^
            

            
            
Puciiink, 
            Andri - 22/03/04 22:03 
            Al 
            Qur'an versi Syi'ah, M. Isa Ansori - 22/01/04 18:01 
            Editing 
            Oksidentalisme dan Orientalisme., Soegianto Sastrodiwiryo - 
            31/12/03 02:12 
            Orientalisme 
            dan Oksidentalisme., Soegianto Sastrodiwiryo - 30/12/03 03:12 
            sekuel 
            baru dengan sutradara lama, ahmad fauzan - 22/12/03 20:12 
            
Komentar lainnya baca di 
            sini (7 komentar) 
            Luthfi Assyaukanie
Pengajar Sejarah 
            Pemikiran Islam di Universitas ParamadinaMulya, Jakarta.