Konsensus atau ijma‘ selama berabad-abad telah menjadi
validasi terpenting berbagai keputusan di dalam Islam, khususnya di
kalangan Sunni. Nabi Muhammad dikabarkan pernah bersabda: Umatku
tidak akan bersepakat dalam kekeliruan. Berpijak pada hadits inilah
otoritas ijma‘ yang mengikat itu disandarkan. Bahkan, di
kalangan Sunni, otoritas final untuk penafsiran keagamaan diletakkan
pada konsensus (ijma‘) atau putusan kolektif masyarakat
muslim. Implikasinya, konsensus memainkan peran penting dalam
perkembangan Islam dan memberi andil yang signifikan terhadap
penafsirannya.
Tetapi, dalam konsep tradisional, hanya
‘ulama’ yang memiliki peran dalam mencapai konsensus.
Masyarakat pada umumnya tidak begitu diperhitungkan. Dengan
demikian, ijma‘ lebih bersifat elitis. Selain itu, masih
dalam konsepsi klasik, ijma‘ berorientasi ke belakang: dalam
kesepakatan ulama di masa-masa silam. Bahkan, di kalangan mazhab
Islam tertentu, ijma‘ dibatasi pada konsensus para sahabat
Nabi. Ijma‘ apapun yang datang setelah itu tidak memiliki
nilai mengikat, terlebih lagi jika ia merativikasi doktrin yang
bertentangan dengan tradisi salaf.
Gagasan ijma‘ yang
agak luas dikemukakan al-Syafi‘i dan belakangan oleh al-Ghazali.
Bagi keduanya, ijma‘ adalah kesepakatan kaum Muslimin secara
menyeluruh. Gagasan ini jelas bersifat utopis, karena tidak ada
kesepakatan umat Islam yang bulat atau menyeluruh sepanjang sejarah
Islam. Yang ada hanyalah kesepakatan mayoritas, bahkan di tingkat
lokal.
Pada periode modern, pemikir-pemikir Muslim
mengembangkan konsep ijma‘ dengan berbagai kemungkinan baru
yang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya,
mengungkapkan gagasannya tentang ijma‘ sebagai transfer
kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab
yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen”
atau majelis perwakilan rakyat.
Dengan mentransfer
ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja
beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja
tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan
ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah
hukum. Tetapi, untuk menghindari kemungkinan terjadinya salah tafsir
terhadap sumber-sumber Islam, Iqbal menyetujui masuknya ulama ke
dalam majelis untuk membantu dan memimpin perbincangan-perbincangan
bebas tentang masalah yang bertalian dengan Islam.
Melanjutkan alur pemikiran Iqbal, sarjana pemikir
neo-modernis asal pakistan, Fazlur Rahman mengungkapkan kemungkinan
baru ijma‘ dalam masyarakat kontemporer. Baginya,
ijtihad yang dihasilkan individu atau kelompok kerja akan
mengkristal ke dalam ijma‘ setelah melalui interaksi ide yang
ketat. Dengan demikian, ijma’ – yang merupakan konsensus
mayoritas masyarakat – lebih bersifat dinamis, berorientasi ke
depan, dan tidak monolitik. Golongan minoritas yang merasa
ijtihad-nya lebih mendekati kebenaran, terbuka sepenuhnya
untuk meyakinkan masyarakat akan kebenaran gagasannya. Apabila
masyarakat telah menerima gagasan minoritas secara mayoritas, opini
itu membentuk ijma‘ baru dan menggantikan ijma‘ lama.
Aktivitas untuk menggalang konsensus masyarakat ini, menurut Rahman,
dirujuk al-Quran dengan terma syura.
Pada level
negara, ijma‘ masyarakat akan ditempa atau dirumuskan ke
dalam bentuk hukum dan perundang-undangan oleh lembaga legislatif,
yang disebut Rahman sebagai lembaga syura-ijma‘. Dalam
pandangan Rahman, majelis ini dipilih oleh rakyat tanpa kualifikasi
teknis apapun. Dalam masalah-masalah pelik, majelis dapat meminta
advis kepada para ahli. Undang-undang atau hukun yang ditetapkan
majelis bisa saja benar atau keliru. Tetapi, sepanjang hukum
tersebut mencerminkan kehendak masyarakat, ia tetap bersifat islami
dan demokratis karena merepresentasikan ijma‘ masyarakat.
Selain itu, ada kemungkinan untuk mengubah konsensus tersebut,
karena secara potensial selalu terdapat kemungkinan bagi pandangan
minoritas untuk menjadi mayoritas melalui proses perdebatan.
Rahman bahkan mengelaborasi konsepnya tentang lembaga
syura-ijma‘ ini ke dalam suatu majelis internasional yang
beranggotakan majelis legislatif negeri-negeri Muslim. Tugasnya
adalah memberi advis yang selanjutnya akan dirumuskan ke dalam
undang-undang oleh majelis nasional negeri-negeri Muslim berdasarkan
sinaran perbedaan regional dan situasi sosial masing-masing
negeri.
Survei singkat di atas memperlihatkan bahwa
ijma‘ bisa memberikan pijakan yang efektif untuk menerima
kekuasaan mayoritas (majority rule). Sejalan dengan ini,
Louay M. Safi juga mengemukakan bahwa legitimasi negara tergantung
pada sampai sejauh mana organisasi dan kekuasaan negara
merefleksikan kehendak masyarakat, karena – seperti ditegaskan para
yuris klasik – legitimasi institusi negara tidak terambil dari
sumber-sumber tekstual, tetapi didasarkan terutama pada prinsip
ijma‘. Dengan kata lain, ijma‘ bisa memberi
kemungkinan legitimasi demokrasi bagi kaum Muslimin dan menawarkan
format institusi dan prosedur untuk menjalankannya.
Mekanisme
ijma‘ yang telah diuraikan juga memberikan kemungkinan
deliberasi dan perdebatan publik, sehingga berbagai sudut pandang
yang berkembang dan dikembangkan secara individual ataupun kolektif
mendapat kesempatan untuk didengar sebelum masyarakat akhirnya
secara konsensus atau mayoritas memilih yang dianggap laik. Ketika
putusan mayoritas tercapai, seluruh anggota masyarakat – baik Muslim
ataupun non Muslim – harus berupaya mengejawantahkannya ke dalam
praktik. Penggagas, pengikut atau yang menyetujui pandangan
minoritas juga harus menerima keputusan mayoritas dan berupaya
mengimplementasikannya sebagai suatu konsensus.
Mekanisme
ijma’ semacam ini menggagaskan keterlibatan seluruh anggota
masyarakat, termasuk bukan muslim, dalam proses pengambilan
keputusan. Tidak ada yang aneh dalam hal ini. Hasan al-Banna, dalam
risalah Nahwa an-Nur (1936), mensinyalir ada orang menganggap
bahwa dengan menjadikan Islam sebagai landasan kehidupan, maka hal
ini berarti minoritas nonmuslim tidak dapat hidup di lingkungan umat
Islam dan persatuan di antara berbagai unsur masyarakat tidak
mungkin tercapai. Menurut al-Banna, anggapan semacam itu
berseberangan dengan prinsip persamaan dan pengakuan Islam terhadap
minoritas nonmuslim. Agama Islam, menurutnya, mengkuduskan kesatuan
kemanusiaan umum (al-wahdah al-insaniyyah al-‘ammah),
kesatuan keagamaan umum (al-wahdah al-diniyyah al-‘ammah),
dan kesatuan keagamaan khusus umat Islam (al-wahdah al-diniyyah
al-khassah). Implementasi prinsip-prinsip ini, menurut
al-Banna, tidak akan menimbulkan perpecahan, malahan menjadikan
persatuan berdimensi sakral dan religius.
Senada dengan itu,
Fazlur Rahman menekankan sikap anti-eksklusivisme Islam sehubungan
dengan komunitas-komunitas keagamaan lainnya, berdasarkan sejumlah
ayat al-Quran (2:62 dan 5:69), yang – menurut tafsiran Rahman –
mengungkapkan siapa pun yang percaya kepada monoteisme dan hari
akhirat, serta melakukan perbuatan baik akan selamat. Dalam negara
modern, seluruh warga negara harus dipandang setara satu sama lain,
tanpa diskriminasi antara sesama warga, baik Muslim atau bukan
Muslim.
Pandangan-pandangan kesarjanaan Muslim yang
dikemukakan di atas dengan jelas menyepakati kesetaraan warga negara
– baik Muslim atau nonmuslim – serta persamaan hak dan kewajibannya,
termasuk dalam proses pencapaian konsensus. Karena itu, ketika suatu
ijma‘ mengkristal atau berhasil dicapai dalam komunitas
tersebut, berdasarkan prinsip mayoritas, ia mengikat seluruh
anggotanya tanpa kecuali.
Sebagaimana disinggung di atas,
konsensus atau ijma‘ masyarakat inilah yang kemudian
diundangkan oleh lembaga perwakilan rakyat di tingkat lokal atau
nasional. Majelis semacam ini –yang dibentuk misalnya lewat
pemilihan umum– tentunya merupakan representasi masyarakat yang
menerjemahkan kepentingan masyarakat ke dalam kebijakan-kebijakan
yang koheren dan konsisten (preference representation).
Tetapi, sebagai himpunan orang terpilih, majelis ini juga bisa
mempengaruhi preferensi publik (preference formation), jika
suatu masalah dinilai laik untuk dirumuskan ke dalam kebijakan.
Untuk pembentukan preferensi ini, deliberasi, advokasi, pengajuan
rancangan undang-undang, serta cara-cara lainnya yang melibatkan
masyarakat, penting dilakukan majelis. Aktivitas semacam inilah yang
dimaknai Rahman dengan istilah syura.
Salah satu cara
yang dapat ditempuh untuk membentuk konsensus masyarakat atau untuk
menakar kesepakatan masyarakat mengenai suatu hal adalah melalui
referendum. Ijma‘, berdasarkan alur logika yang telah
dikemukakan, jelas bisa mengambil bentuk referendum. Partisipasi
masyarakat yang luas dalam penentuan suatu kebijakan sangat bisa
diharapkan dalam implementasi ijma’-referendum
ini
Pada level regional atau internasional, konvensi-konvensi
yang telah dirativikasi suatu negara muslim juga merupakan bentuk
lain dari perluasan konsep ijma’. Dengan merativikasi
konvensi semacam itu, negara muslim tersebut terikat kesepakatan
atau ber-ijma‘ untuk melaksanakannya.
[]
**Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Makassar
Kembali
ke atas ^
Belum ada tanggapan... tulis
tanggapan anda
Taufik Adnan Amal
Penulis buku Islam
dan Tantangan Modernitas (Mizan, 1989). Kini mengajar di Fakultas
Syariah IAIN Alauddin, Makassar