Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang
yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah
diperuntukkan bagi keledai.
Ada kesan yang tertanam dalam sebagian orang, bahwa istilah
“liberal” dalam Islam liberal mempunyai makna kebebasan tanpa batas,
atau bahkan disetarakan dengan sikap permisif, ibahiyah;
sikap menolerir setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan
cara pandang semacam itu, Islam liberal dipandang sebagai ancaman
terhadap keberagamaan yang sudah terlembaga.
Dalam Islam,
persoalan “batasan” (hadd) antara mana yang boleh
(mubah) dan yang tak boleh (mahdzur), menempati
kedudukan yang begitu sentral. Setiap orang Islam selalu peduli pada
apa yang dia kerjakan, apakah pebuatan itu boleh atau tidak. Inilah
yang kemudian melahirkan suatu bidang kajian yang sangat kaya dan
meninggalkan ribuan literatur yang canggih, yaitu bidang fikih.
Setiap pembicaraan tentang hukum selalu rujukannya adalah fikih.
Ketika muncul diskusi yang ramai soal penerapan hukum Islam, maka
fikih menjadi fokus perhatian, sebab dalam fikih lah sebagian besar
hukum Islam dirumuskan.
Dalam diskusi-diskusi itu, kelihatan
sekali bahwa tekanan diberikan kepada “kewajiban”, yaitu kewajiban
seorang Muslim terhadap Allah, sesama manusia, dan dirinya sendiri.
Bahasa kewajiban lebih menonjol, menutup bahasa hak dan kebebasan
manusia. Islam liberal muncul dalam semangat untuk menyeimbangkan
“neraca” antara bahasa kewajiban dan kebebasan/hak ini. Untuk itu,
marilah kita masuki sebuah tema dasar yang menjadi debat dalam
pemikiran Islam klasik: soal tindakan manusia (af’alul
’ibad).
Otonom atau tidak?
Marilah
kita mulai dengan pertanyaan sederhana: apakah manusia bisa, dengan
akal, intuisi dan fitrahnya, mencapai pemahaman yang mendalam
mengenai kebaikan dan kejahatan? Apakah untuk mengetahui hal-hal
itu, manusia harus menungguh wahyu dari "langit"? Apakah gunanya
agama, jika toh manusia sudah mampu mencapai sendiri pemahaman
mengenai "yang baik" dan "yang jahat"? Apakah manusia secara moral
otonom dalam mengetahui kebaikan dan kejahatan, atau tergantung pada
entitas di luar dirinya?
Dalam masalah ini, ada dua jawaban
yang tersedia dalam khazanah pemikiran Islam klasik. Ada golongan
Sunni yang dominan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan dan
kejahatan itu haruslah ditentukan oleh agama. Manusia baru tahu
bahwa tindakan ini jahat atau baik setelah mendapatkan pengajaran
dari agama. Golongan kedua adalah Mu'tazilah yang memandang bahwa
manusia dengan akalnya sendiri dapat mengetahui batas-batas kebaikan
dan kejahatan, batas-batas kepantasan. Sudah tentu, jika dikatakan
bahwa akal manusia dapat menentukan batas-batas tersebut, tidak
berarti bahwa seluruh batas itu sudah diketahui oleh akal dari hari
pertama. Akal manusia berkembang, mengalami evolusi, dan akan makin
matang.
Saya lebih cenderung pada pandangan kaum Mu'tazilah.
Tetapi, harap lah disadari bahwa dengan menerima pendapat
Mu'tazilah, bukan berarti saya menepiskan peran wahyu dalam
memperkaya wawasan akal manusia untuk memahami batas-batas itu.
Setiap wahyu membawa suatu wawasan tertentu mengenai "yang baik" dan
"yang jahat". Wahyu dapat mengangkat derajat akal manusia ke tingkat
yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat lebih memahami
batas-batas. Tetapi, wahyu bisa memerosotkan akal manusia, manakala
wahyu itu mengalami "vulgarisasi", yaitu wahyu yang telah dibajak
oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang bersifat duniawi. Agar
wahyu itu bisa pulih kembali dan memperoleh inegritasnya lagi
sebagai sumber moralitas, maka diperlukan akal yang bertanggung
jawab dan penuh integritas. Kita semua tahu, bahwa wahyu itu adalah
laksana horison atau cakrawala yang tak berbatas. Hampir mustahil
bagi akal manusia yang terbatas untuk menjangkau seluruh horison
wahyu. Karena cakrawala wahyu yang terbentang luas itu, maka
siapapun dapat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. Garansi bahwa
wahyu dapat dipahami dengan tepat adalah integritas akal manusia itu
sendiri.
Salah satu hadis Nabi mengatakan, "al itsmu ma
haka fi nafsika wa karihta an yath-thali'a 'alaihin naas". Dosa
adalah sesuatu yang menimbulkan kekeruhan dan kekacauan di hatimu,
dan kamu tak suka orang lain melihatmu melakukannya. Hadis ini
memberikan tekanan yang tegas kepada kemampuan manusia, berdasarkan
intuisinya, untuk mencapai pemahaman yang benar mengenai dosa.
Kenapa demikian? Haruslah diketahui, bahwa agama pada menit pertama
adalah merupakan soal keinsafan/kesadaran pribadi; agama bukanlah
aturan obyektif yang bisa begitu saja didesakkan secara paksa dari
luar. Itulah sebabnya, sebuah hadis mengatakan "innamal a'malu
bin niyyaat", sesungguhnya segala tindakan tidaklah akan menjadi
tindakan yang "genuine" tanpa niat dan dorongan emotif yang
sungguh-sungguh bertanggungjawab. Dalam hadis lain dikatakan,
"niyyatul mu'min khairun min 'amalihi", niat dan dorongan
emotif yang sifatnya subyektif lebih mulia dari tindakan. Wilayah
niat ada dalam wilayah subyektivitas manusia; wilayah itu mempunyai
ciri-ciri kebebasan. Jadi, aturan-aturan obyektif yang ditetapkan
oleh agama, tidaklah bermakna dalam kerangka beragama jika
dilepaskan dari motif subyektif manusia.
Saya tidak melihat
suatu ide apapun dalam Islam di mana manusia ditempatkan sebagai
obyek moral yang pasif. Akal manusia merupakan partisipan yang aktif
dalam menafsiran ide-ide ketuhanan yang terkandung dalam wahyu. Saya
tidak pernah membayangkan bahwa wahyu dalam pandangan Islam
memandang "dunia manusia" sebagai dunia hobbesian yang kotor,
brutal, sementara, dan licik, dan karena itu wahyu turun sebagai
suatu "leviathan" yang bengis. Islam meletakkan manusia dalam posisi
yang penuh martabat, sebagai "khalifah" yang memenuhi tugas
ketuhanan untuk memperbaiki kehidupan di bumi. Pandangan-pandangan
keislaman populer kerapkali menggambarkan wahyu sebagai "leviathan"
semacam itu. Manusia, dalam pandangan populer semacam itu, kerapkali
ditempatkan sebagai "barang" yang sama sekali kosong dari suatu
motif yang bebas. Inilah proses vulgarisasi Islam sebagaimana pernah
ditunjuk oleh Prof. Khaled Abou El Fadl.
Dalam situasi yang
sudah "vulgar" semacam itu, yang pertama perlu direstorasi adalah
martabat manusia itu sendiri. Jika manusia sebagai subyek moral yang
bebas sudah tidak lagi ada atau disangkal, apakah gunanya sebuah
agama? Qur'an berkali-kali menyindir orang Yahudi sebagai "keledai
yang mengangkut berjilid-jilid kitab", matsalulladzina hummilut
Taurata kamatsalil khimari yahmilu asfaara. Keledai tak akan
pernah bisa mendapatkan manfaat apapun dari barang-barang yang
diangkutnya. Wahyu tidak akan berguna bagi seekor keledai. Dan tak
ada gunanya mendakwahkan kedalaman dan kesempurnaan wahyu kepad
keledai. Jika manusia telah dikosongkan dari motif, dan otonominya
sebagai subyek moral telah disangkal, apakah yang tersisa dari
manusia semacam itu selain "jasad" yang pasif. Nabi pernah bersaba,
"ad dinu huwal 'aql, la dina liman la 'aqla lahu", agama
adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tak mempunyai akal.
Oleh karena itu, kebebasan manusia adalah perkara prinsip
yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Banyak orang mengira bahwa
kebebasan semacam itu menyebabkan manusia memberontak kepada agama
dan wahyu. Ada yang mengira bahwa dengan membatasi kebebasan itu,
mereka telah melindungi wahyu. Ini jelas pandangan yang salah.
Sebab, begitu kebebasan manusia dibatasi, maka dimensi-dimensi
terdalam yang subtil dari wahyu akan sulit diungkapkan oleh manusia.
Sebab, untuk memahami kompleksitas wahyu, diperlukan akal manusia
yang matang. Sebuah hadis qudsi yang populer di kalangan sufi
menyatakan, "Aku (Allah) adalah 'kanzun makhfiyy’, harta
karun yang tersembunyi. Aku ingin diketahui, maka Aku ciptakan
manusia." Hadis ini memberikan suatu penegasan yang penting bahwa
manusia diciptakan untuk "menggali" dimensi-dimensi yang tersembunyi
dalam wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi jika
tidak mengandaikan adanya manusia sebagai subyek yang bebas dan
otonom.
Orang-orang yang mengatakan bahwa dengan memberikan
kebebasan, anda telah menjerumuska manusia ke jurang kesesatan, dari
menit pertama mereka itu sudah mengingkari nilai kemanusiaan.
Keledai selalu takut pada kebebasan, dan terus-menerus mencari
majikan yang dapat menuntunnya. Sesungguhnya Islam tidak membutuhkan
orang-orang semacam itu. Kecemerlangan Islam justru akan
dimungkinkan karena adanya manusia-manusia yang berpikir bebas dan
kemudian mampu menyingkapkan rahasia-rahasia terdalam dari wahyu.
Ibadah sebagai “I-Thou”
Tujuan
pokok dari agama adalah mengangkat martabat kemanusiaan. Wahyu
adalah sarana saja menuju ke arah itu. Fokus pertama dalam agama
adalah manusia itu sendiri, bukan semata-mata Tuhan. Adalah salah
besar suatu anggapan populer yang mengatakan bahwa tugas pokok
manusia adalah "menyembah" Tuhan. Pandangan ini bersumber dari
pemahaman yang salah atas ayat "wa ma khalaqtul jinna wal insa
illa liya'budun," dan tidak Aku ciptakan manusia kecuali untuk
menyembah-Ku. Ayat ini, jika dipahami dalam kerangka populer yang
cenderung anti-humanistik, dapat berarti bahwa agama itu tidak lain
adalah penundukan manusia. Manusia seolah-olah ancaman bagi Tuhan
sehingga harus ditundukkan kepada kehendak-Nya. Tidak ada pemahaman
yang lebih kotor mengenai hakikat ketuhanan kecuali pemahaman
seperti ini. Pandangan mengenai manusia sebagai Prometheus yang
berseteru dengan Tuhan hanyalah ada dalam mitos Yunani kuno. Saya
melihat, pandangan populer yang berkembang di kalangan umat Islam
mengenai ayat tersebut cenderung kepada suatu citra manusia sebagai
Prometheus. Bedanya, Prometheus versi Islam adalah Prometheus yang
kalah oleh kehendak Tuhan. Ini jelas suatu citraan manusia yang
tidak sesuai dengan semangat Islam. Saya kurang setuju dengan
penerjemahan kata "ibadah" sebagai penyembahan, atau
"worship" dalam bahasa Inggris. Sebab, penyembahan mempunyai
makna yang negatif dalam sejumlah hal.
Penyembahan
mengandaikan bahwa obyek yang "disembah" adalah obyek yang "mati",
di-reifikasi, di-fiksasi. Penyembahan selalu merupakan proses yang
sepihak, bukan proses dialogal yang hidup antara subyek dan subyek.
Jika diletakkan dalam kerangka filsafat Martin Buber mengenai relasi
antar manusia, penyembahan adalah sebentuk hubungan antara Allah dan
manusia sebagai hubungan "I-it", "aku-dan-dia". Allah, dalam
kerangka penyembahan semacam itu, telah "dibendakan". Allah yang
disembah adalah Allah yang diberhalakan, yang di-fiksasi dalam
gambaran yang tetap seperti sebuah "idol". Saya berpandangan bahwa
seharusnya manusia berhubungan dengan Allah bukan dengan cara
seperti itu. Hubungan yang tepat antara manusia dengan Allah adalah
hubungan dalam kerangka "I-Thou", aku-Engkau. Agama yang
didasarkan pada penyembahan dalam kerangka hubungan "I-it"
hanya akan memerosotkan martabat manusia dan Allah itu sendiri. Arti
ayat tersebut lebih tepat dipahami sebagai hubungan Allah-manusia
dalam model “I-Thou”; bukan penyembahan, tetapi proses
dialogal yang kreatif.
Penyembahan pada Tuhan tidak
mempunyai makna apa-apa jika tidak diletakkan dalam kerangka manusia
sebagai subyek yang bebas, dengan akal yang bekerja secara leluasa.
Qur'an mengatakan, "qad tabayyanar rushdu minal ghayy", telah
jelas jalan kebaikan dan kesesatan. "Fa man sya'a fal yu'min wan
man sya'a fal yakfur," jika manusia mau, dia boleh mengimani
jalan itu, dan jika mau, dia boleh mengingkarinya. Fakta-fakta ini
begitu jelasnya tertuang dalam sumber utama ajaran Islam, Qur'an dan
Hadis. Tetapi, proses-proses kesejarahan dalam Islam sendiri telah
mengubah agama itu menjadi agama hukum yang dilandaskan kepada
pemaksaan, dengan lebih banyak menekankan bahasa kewajiban. Tidak
ada yang lebih berbahaya bagi Islam kecuali pandangan yang mencoba
mengubah karakter agama itu sebagai agama fitrah, menjadi agama
hukum yang ditegakkan atas paksaan.
Kesimpulan yang hendak
saya tuju dari ulasan yang agak "ruwet" dan panjang ini adalah bahwa
dengan membubuhkan kata "liberal" pada Islam, sesunggunya saya
hendak menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang
jangkarnya adalah "niat" atau dorongan-dorongan emotif-subyektif
dalam manusia itu sendiri. Dan sebaiknya kata liberal dalam "Islam
liberal" dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata "liberal" di sini
tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan
sikap-sikap permisif yang melawan kecenderungan "intrinsik" dalam
akal manusia itu sendiri. Dengan menekankan kembali dimensi
kebebasan manusia, dan menempatkan manusia pada fokus penghayatan
keagamaan, maka kita telah memulihkan kembali integritas wahyu dan
Islam itu sendiri.
Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi
orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab
agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai.[]
Kembali
ke atas ^
tanggapan
untuk bung ADI, jaka angkasa - 30/10/03 11:10
Pahami
Akal dan Wahyu, battarbakrie - 06/09/03 13:09
Berfilsafat
sebagai Alat, Eko - 19/07/03 19:07
Yang
Saya Tahu Islib adalah..., Ibnu Basyar - 27/05/03 07:05
Islam
adalah Islam, herman - 27/05/03 00:05
Komentar lainnya baca
di
sini (9 komentar)
Ulil Abshar-Abdalla
Koordinator
Jaringan Islam Liberal (JIL). Associate researcher di Freedom
Institute, Jakarta.