Megawati: Pemilihan Presiden Jangan
Ganggu Stabilitas
Jakarta, Kompas - Presiden Megawati Soekarnoputri
mengimbau semua pihak untuk menjaga stabilitas politik
selama berlangsungnya rangkaian kampanye pemilihan
presiden, yang berlangsung selama bulan Juni sampai hari
pemungutan suara 5 Juli mendatang.
Imbauan Megawati disampaikan dalam wawancara
eksklusif dengan wartawan Kompas Budiarto Shambazy di
Istana Merdeka, Jakarta, hari Senin (17/5) siang.
Dalam wawancara selama hampir satu jam itu, Megawati
tampil santai. Ia banyak melemparkan senyum, bahkan
tidak jarang tertawa lepas sembari melucu.
Bergaun batik sutra warna ungu muda, Megawati
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan
kedudukannya sebagai kepala negara maupun sebagai calon
presiden. Wawancara lengkap tentang pokok-pokok pikiran
Megawati sebagai calon presiden dalam menghadapi
pemilihan 5 Juli mendatang akan dimuat dalam seri
wawancara calon-calon presiden dan wakil presiden di
harian ini awal bulan Juni.
Megawati mengimbau rakyat agar menggunakan hak pilih
masing-masing pada 5 Juli nanti. "Bagi kita, yang paling
penting dalam jangka pendek ini adalah menyukseskan
pemilu tahapan terakhir ini," ujarnya.
"Dan saya tentunya ingin mengucapkan terima kasih
setinggi-tingginya kepada rakyat Indonesia, yang dengan
baik telah menggunakan hak pilih. Saya juga sangat
berharap bahwa dalam pemilu presiden yang akan datang,
stabilitas politik dan keamanan tetap dijaga dengan
baik," lanjut Presiden.
Menurut dia, kalau terjadi gangguan terhadap
stabilitas politik dan keamanan, yang menderita juga
rakyat sendiri. "Makanya, saya selalu mengimbau bahwa
masalah-masalah ke depan ini juga sebenarnya masalah
bangsa kita, masalah kita bersama sebagai bangsa, bukan
masalah pemerintah saja," katanya tegas.
Ia mengingatkan pula bahwa pemilihan presiden secara
langsung merupakan rangkaian dari reformasi yang
diputuskan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
melalui amandemen konstitusi. "Pemilu harus disukseskan
bukan karena presidennya Megawati Soekarnoputri, tetapi
karena merupakan amanat konstitusi, yaitu untuk
melaksanakan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang
telah diamandemen," katanya.
Presiden sempat mengeluhkan bahwa amandemen
konstitusi oleh MPR dilakukan secara "borongan" atau
diadakan empat kali perubahan sekaligus. "Kita ini
arogan karena amandemen konstitusi di MPR diadakan empat
kali. Di Amerika, misalnya, amandemen konstitusi
dilakukan secara bertahap," keluh Presiden.
Sebagai konsekuensinya, Megawati mengungkapkan bahwa
pelaksanaan pemilu secara langsung telah mengundang
begitu banyak masalah. Oleh sebab itu, ia berharap
rakyat bersikap proaktif agar hak suara masing-masing
tidak lagi diniscayakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)
pada pemilu 5 April lalu.
"Pelaksanaan pemilu yang baru ini pasti ada
kelemahan- kelemahan. Mungkin kita berharap
pelaksanaannya segera perfect karena anggota-anggota KPU
terdiri dari para akademisi, bukan orang-orang dari
partai politik seperti dulu," kata Megawati lagi.
Menurut Presiden, semestinya keanggotaan KPU diduduki
oleh orang-orang partai politik. "Sebetulnya kerja
seperti itu pekerjaan partai-partai politik yang memang
sudah terbiasa, sementara undang-undang tidak mengatakan
seperti itu," papar Megawati.
"Jadi, kalau banyak yang saling menyalahkan, saya
bilang tidak bisa seperti itu. Ini adalah sebuah
pembelajaran bagi bangsa kita. Jangan lupa, ini
keputusan yang dibuat oleh MPR," katanya
menambahkan.
Menjawab pertanyaan tentang perlunya penyelenggaraan
pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden pada
tahun berbeda, Megawati mengatakan tidak ada masalah.
Apalagi, penyelenggaraan pemilu 5 April berdekatan
dengan pemilihan presiden 5 Juli sehingga menimbulkan
ketegangan politik yang berimpitan.
Presiden mengeluhkan juga begitu banyaknya warga yang
tidak bisa menggunakan hak pilih pada pemilu 5 April
lalu. Ia menduga, berdasarkan data yang tersaji di media
massa, jumlah yang gagal memilih itu minimal 30 juta
orang.
"Pada pemilu lalu sekian besar jumlah pemilih yang
tidak memilih. Ada yang mengatakan jumlahnya sekitar 30
juta. Ada juga yang mengatakan, kalau dihitung dari
jumlah 147 juta yang mestinya ikut, lalu yang memilih
hanya sekitar 90 juta, maka mungkin ada sekitar 50 juta
yang tidak bisa memilih. Itu kan bukan jumlah yang
sedikit?" kata Megawati.
Ia bercerita, banyak warga yang sudah mendaftar,
tetapi tidak mendapatkan kartu pemilih. Waktu konsultasi
antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pemerintah, dan
KPU, Megawati mengaku tadinya ia tidak mau
mengintervensi KPU.
Tragedi Mei dan 27 Juli
Sehubungan dengan maraknya perdebatan mengenai
calon-calon presiden dari kalangan sipil dan militer,
Megawati menganggapnya sebagai wacana yang sehat untuk
didiskusikan dan sudah lama berkembang sejak Presiden
Soeharto mengambil alih kepemimpinan nasional dari
Presiden Soekarno pada medio 1960-an.
"Mereka yang dimintai pertanggungjawaban waktu
terjadinya tragedi Mei dan 27 Juli adalah orang per
orang, bukan TNI. Saya selalu mengatakan, sepanjang
huruf ’I’ (maksudnya Indonesia-Red) masih ada, TNI
adalah milik kita semua," kata Presiden tegas.
Menurut dia, TNI berbeda dengan militer di
negara-negara lain. "Tentara kita itu terbentuk juga
dari rakyat, yaitu sipil yang dipersenjatai pada waktu
memperjuangkan kemerdekaan," ujar Kepala Negara.
Lebih lanjut Megawati mengingatkan, rakyat hendaknya
jangan melupakan perjalanan sejarah TNI itu.
"Persoalannya, salah satu di antara kandidat presiden
menurut saya masih belum selesai pertanggungjawabannya
dalam kaitan dengan kekerasan yang terjadi saat itu,"
kata Megawati tanpa menyebut nama.
Ia bercerita bagaimana dirinya merasa tidak senang
ketika terjadi kerusuhan pada 27 Juli 1996 itu. "Kalau
dipikir, saya sebenarnya tidak senang menghadapi
peristiwa 27 Juli itu. Ketika itu saya dikejar-kejar
waktu harus ke polisi atau harus ke Kejaksaan Agung,"
tutur Megawati.
Melalui pengalaman itu, Megawati dalam wawancara
membantah jika ada anggapan bahwa kepemimpinan sipil
tidak kuat dan tidak tegas seperti militer, yang selalu
dikonotasikan sebagai kepemimpinan yang kuat atau tegas.
"Apakah sikap tegas ada korelasinya dengan kekerasan?
Kalau hanya mengatakan kita perlu strong leader, artinya
perempuan selalu dikonotasikan lembek, lemah lembut,
ngomongnya pelan, begitu kan?" kata Megawati lagi.
*