Rubrik
Berita Utama
International
Metropolitan
Naper
Nusantara
Bisnis & Investasi
Finansial
Opini
Olahraga
Jawa Barat
Pemilihan Presiden 2004
Politik & Hukum
Humaniora
Berita Yang lalu
Jendela
Otonomi
Audio Visual
Rumah
Teknologi Informasi
Dana Kemanusiaan
Pustakaloka
Otomotif
Furnitur
Agroindustri
Musik
Muda
Swara
Fokus
Perbankan
Telekomunikasi
Makanan dan Minuman
Ekonomi Internasional
Properti
Interior
Sorotan
Kesehatan
Teropong
Ekonomi Rakyat
Wisata
Bentara
Pengiriman & Transportasi
Investasi & Perbankan
Pendidikan Dalam Negeri
Pendidikan Luar Negeri
Bahari
Esai Foto
Ilmu Pengetahuan
Pixel
Bingkai
Pergelaran
Didaktika
Pendidikan
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Politik & Hukum
Jumat, 14 Mei 2004

Militer Hanya Surut secara Fisik, Subkulturnya Masih Hidup

Kupang, Kompas - Masyarakat harus mencermati kembali dengan arif munculnya Wiranto dan Bambang Susilo Yudhoyono, dua mantan jenderal, dalam pencalonan presiden. Meski keduanya secara fisik telah tampil sebagai orang sipil, tetapi rakyat patut mencermati kepemimpinan mereka.

"Harus diingat, kehadiran militer selama 32 tahun di era Orde Baru telah membawa subkultur militer ke dalam kancah politik, seperti etos kerja, kebiasaan, cara kerja dan nilai-nilai militer yang secara fisik sulit ditarik ke barak," ujar sosiolog Dr Ignas Kleden dalam diskusi kepemimpinan sipil dan militer di Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Rabu (12/5).

Ignas tak sependapat dengan anggapan bahwa kepemimpinan sipil dan militer tidak perlu lagi dipersoalkan. "Bukan karena militer mau mempertahankan subkulturnya dalam politik, tetapi karena hal ini berhubungan dengan dinamika kebudayaan,"katanya.

Garis komando atas bawah, orientasi yang terpusat pada target, penggunaan kekerasan dalam menciptakan ketertiban dan keamanan adalah kebiasaan khas militer. Subkultur ini telah masuk dan diinternalisasi dalam politik. "Untuk menjalankan pemerintahan sipil, seorang mantan jenderal harus berusaha sekuat tenaga untuk tidak memakai cara-cara militer yang mendarah daging dalam dirinya," katanya.

Bukan tanda kebangkitan

Sementara itu, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti menyatakan, majunya tiga kandidat calon presiden dan wakil presiden dari kalangan militer bukan merupakan tanda-tanda kebangkitan militer. Itu lebih disebabkan ada kebebasan untuk itu. "Kalaupun sekarang muncul penolakan, itu merupakan hal wajar. Itu bagian dari demokrasi," ujarnya.

Namun, yang perlu dikhawatirkan adalah ikatan batin antara mereka dan mantan anak buahnya yang masih aktif. Selain itu, semangat korps (l’esprit de corps) yang masih kental patut juga diwaspadai.

Namun, hal itu dibantah Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu. Ditemui secara terpisah, Ryamizard mengatakan, TNI tidak akan mendukung capres atau cawapres. "Kalau terbukti ada militer yang mendukung mereka, saya akan pecat," tegasnya.

Menurut Ikrar, kekhawatiran itu bisa dikurangi bila kekuatan sipil bisa menjadi pengawas di parlemen dan masyarakat. Sayangnya, elemen-elemen sipil tidak bersatu dan tidak memiliki visi yang sama. (J11/CAL)

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Persyaratan Capres Bisa Menjadi Sengketa Pemilu

·

Iklan Kampanye Capres Jangan Cuma Jual Simbol

·

Militer Hanya Surut secara Fisik, Subkulturnya Masih Hidup

·

Belum Sukses, tetapi Sudah Syukuran Dulu...

·

KPU dan Pemohon Tak Siap Bukti, MK Khawatir

·

Kabinet Bayangan Bukan Pilihan Mudah

·

Hindari Kesenjangan, TNI Diusulkan Ada dalam Dephan

·

KSAD: 15 Mei Sandera GAM Dibebaskan



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS