Rubrik
Berita Utama
International
Metropolitan
Naper
Nusantara
Bisnis & Investasi
Finansial
Opini
Olahraga
Jawa Barat
Pemilihan Presiden 2004
Politik & Hukum
Humaniora
Berita Yang lalu
Jendela
Otonomi
Audio Visual
Rumah
Teknologi Informasi
Dana Kemanusiaan
Pustakaloka
Otomotif
Furnitur
Agroindustri
Musik
Muda
Swara
Fokus
Perbankan
Telekomunikasi
Makanan dan Minuman
Ekonomi Internasional
Properti
Interior
Sorotan
Kesehatan
Teropong
Ekonomi Rakyat
Wisata
Bentara
Pengiriman & Transportasi
Investasi & Perbankan
Pendidikan Dalam Negeri
Pendidikan Luar Negeri
Bahari
Esai Foto
Ilmu Pengetahuan
Pixel
Bingkai
Pergelaran
Didaktika
Pendidikan
Info Otonomi
Tentang Kompas
Kontak Redaksi

 

 

Politik & Hukum
Kamis, 13 Mei 2004

Semua Calon Presiden Bermasalah

Yogyakarta, Kompas - Semua calon presiden yang akan terlibat dalam politik eksekutif dalam pemilihan presiden 5 Juli mendatang didominasi tokoh-tokoh bermasalah dari sisi politik, hukum, maupun ekonomi.

Demikian dikemukakan pengamat politik CSIS, Dr J Kristiadi, dalam talkshow dengan topik "Menilik Potensi Politik, Ekonomi, Sosial Budaya dan Media, dalam Mencari Sosok Presiden Ideal Indonesia 2004- 2009" yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Selasa (11/5).

Menurut Kristiadi, semua capres tidak mampu memberi harapan apa pun bagi perubahan rakyat. "Mulai dari Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, Hamzah Haz, Amien Rais, Abdurrahman Wahid, hingga Wiranto, semuanya bermasalah," katanya.

Megawati dan Hamzah Haz, menurut Kristiadi, terbukti gagal membawa nilai-nilai demokrasi. "Mega selalu terlambat mengatasi setiap persoalan. Bisa kita lihat dari kasus demam berdarah kemarin, setelah dikritik baru mau menjenguk korban," katanya.

Wiranto mempunyai sejarah cukup kelam terkait dengan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) selama berkuasa. "Meskipun tersudutkan, Wiranto beruntung karena mampu mengalahkan Akbar Tandjung dalam konvensi Partai Golkar. Setelah itu, ia menggandeng Salahuddin Wahid. Duet ini akan mendongkrak popularitasnya karena Salahuddin adalah Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia," ujarnya.

Yudhoyono di mata Kristiadi adalah tokoh yang tidak mempunyai pendirian tetap. "Popularitasnya spektakuler. Namun, dia adalah tipe peragu dan bingung dalam memutuskan. Kalau bangsa ini dipimpin orang seperti itu, maka keputusan selalu terlambat," katanya.

Meskipun tergolong mempunyai semangat pluralis, Amien Rais, menurut Kristiadi, juga termasuk tokoh yang tidak konsisten. "Publik boleh menilai Amien tidak bermasalah. Namun, tetap saja dia belum teruji," ujarnya.

Saat menanggapi sosok tokoh politik Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Kristiadi berkomentar, "Masalahnya Gus Dur adalah KPU pasti tidak akan meloloskannya."

Tak ada yang layak

Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) kemarin juga menyatakan, dari lima pasangan capres dan cawapres yang mendaftar ke KPU, tak ada satu pun yang layak dan memenuhi kriteria untuk dipilih. Karena itu, KAMMI memilih berperan sebagai gerakan oposisi ekstraparlementer.

"Mahasiswa tidak mengenal istilah mencari yang terbaik di antara yang buruk. Transisi demokrasi butuh ketegasan, konsistensi, radikalisme, dan tanpa kompromi," ujar Ketua Umum KAMMI Hermawan dalam diskusi Institute for Democracy of Indonesia (IDe), Rabu (12/5).

Menurut KAMMI, kriteria yang harus dipenuhi pasangan capres dan cawapres antara lain adalah bebas dari tuduhan pelanggaran HAM, antikorupsi, reformis, anti-Orde Baru dan militer, serta anti-Golkar. Kelima pasangan yang ada tidak ada yang lolos dari masalah. "Wiranto-Salahuddin adalah pasangan pelanggar HAM dan penegak HAM, Megawati-Hasyim pasangan koruptor dan pejuang antikorupsi, Amien- Siswono pasangan reformis dan pengusaha Orde Baru dan Golkar, Hamzah-Agum pasangan Orde Baru dan militer, dan Yudhoyono-Kalla pasangan militer dan Golkar," paparnya.

Otoriter dan militeris

Direktur Riset Lembaga Survei Indonesia (LSI) Muhammad Qodari secara terpisah menyatakan, lewat pemilihan langsung oleh rakyat, siapa pun presiden dan wapres yang terpilih akan berpotensi menjadi otoriter. Presiden dan wapres terpilih dengan mandat langsung yang sangat kuat dari rakyat akan tampil seolah memiliki kekuatan penuh.

Sementara itu, menurut mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo, sikap penolakan terhadap capres dengan latar belakang militer bertentangan dengan prinsip demokrasi. "Seorang purnawirawan adalah warga sipil yang memiliki hak sama dengan warga negara lain," ujarnya.

Sayidiman mengatakan, militerisme tak hanya berpotensi muncul dari purnawirawan, tetapi juga dari politisi sipil saat memegang kekuasaan. "Dalam sejarah, militerisme lebih banyak dikembangkan pemimpin sipil. Dengan segala hormat atas jasa-jasanya, Soekarno masuk pemimpin sipil yang militeristik," ujarnya. (INU/J12)

Search :
 
 

Berita Lainnya :

·

Berpolitik untuk Kepentingan Bangsa atau Sekadar Menjadi Bajing Loncat

·

Semua Calon Presiden Bermasalah

·

Pelaksanaan Seluruh Tahapan Pemilu Dipertanyakan DPR

·

Pencuri Start Kampanye Capres Cerminan Pelakunya Tak Percaya Diri

·

Komisi I DPR Bisa Dinilai Lalai Mengawasi

·

Komnas HAM Bersikaf Pasif soal Salahuddin Wahid

·

Hari Ini Presiden Putuskan Status NAD

·

Soal Kerusuhan Mei, Wiranto Minta Semua Pihak Jangan Terjebak Masa Lalu

·

Jaksa Agung Masih Meneliti

·

Calon DPD Gorontalo Diteror Tidak Hadiri Sidang MK

·

SDM Jaksa Lemah, Alasan Korupsi Susah Diberantas



 

 

Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS