| Dr. Isnawati 
            Rais, MA. “Dan 
            bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga 
            yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk 
            orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yag 
            menafkahkan (hartanya), baik diwaktu lapang maupun di 
            waktu sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan 
            memaafkan (kesalahan) orang, Allah menyukai orang-orang yang berbuat 
            baik. Dan (juga) orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau 
            menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon 
            ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat 
            mengampuni dosa selain Allah. Dan mereka tidak meneruskan 
            perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka 
            itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang 
            mengalir di bawahnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, 
            dan itulah sebaik-baik pahala orang yang beramal” (Qs. Ali Imran 
            133-136). Pada ayat pertama dari kelompok ayat 
            diatas, Allah SWT memerintahkan terhadap orang-orang yang beriman 
            untuk bersegera meraih ampunan dan surga yang sangat luas yang 
            disediakan untuk mereka yang bertakwa. Kemudian pada ayat-ayat 
            selanjutnya Allah SWT menjelaskan beberapa perilaku orang bertakwa 
            tersebut.  Setidaknya ada lima perilaku takwa yang 
            digambarkan Allah pada ayat-ayat di atas, berikut penjelasannya: 
             Berinfak 
            diwaktu lapang dan sempit Termasuk perilaku 
            orang bertakwa adalah berinfaq dalam keadaan bagaimanapun, baik 
            dalam keadaan lapang (berkecukupan) ataupun dalam keadaan sempit 
            (kekurangan). Mereka berusaha untuk selalu dapat membantu orang lain 
            sesuai dengan kemampuan. Mereka tidak pernah melalaikan infaq meski 
            terkadang mereka sendiri sedang kesulitan.  Dalam suatu hadits 
            Rasulullah SAW menyatakan: “Jauhkanlah dirimu dari api neraka 
            walaupun dengan (bersedekah) sebutir kurma” (HR. Muttafaq 
            ‘alaih).  Menurut Rasyid 
            Ridha (AL-Manar III, hal. 123-133) Allah memulai gambaran 
            orang bertakwa dengan infaq karena dua hal berikut: Pertama; 
            infaq adalah kebalikan dari riba yang dilarang oleh ayat sebelumnya 
            (Qs. Ali Imran 130). Riba adalah pemerasan yang dilakukan oleh orang 
            kaya terhadap orang yang membutuhkan pertolongan dengan 
            memakan hartanya dari bayaran hutang yang berlipat ganda. 
            Sedangkan infaq adalah sebuah pertolongan kepada orang yang 
            membutuhkan tanpa imbalan. Kedua; Sesungguhnya infaq 
            adalah sesuatu yang tidak mudah dilakukan karena kecintaan 
            manusia terhadap harta. Oleh karena itu, barangsiapa yang 
            sanggup menginfakkan harta diwaktu lapang dan sempit, jelas 
            menunjukkan sikap kepatuhan, ketundukkan hati, 
            yang merupakan sebuah ketakwaan.  Anjuran dan 
            perintah berinfaq pada waktu lapang adalah untuk menghilangkan 
            perasaan sombong, rakus, aniaya, cinta yang berlebihan terhadap 
            harta, dan lain-lain. Sedangkan anjuran bersedekah di waktu sulit 
            adalah untuk merobah sifat manusia yang lebih suka diberi dari pada 
            memberi. Sebenarnya sesusah apapun, manusia masih bisa memberikan 
            sesuatu di jalan Allah walaupun sedikit. Dorongan ini ada pada diri 
            setiap orang tetapi kadang-kadang tidak muncul. Untuk itu agamalah 
            yang menumbuhkan kesadaran itu.  Menahan 
            marah Selanjutnya 
            perilaku orang yang bertakwa adalah mampu menahan marah dengan tidak 
            melampiaskan kemarahan walaupun sebenarnya ia mampu 
            melakukannya. Kata al-kazhimiin berarti penuh dan 
            menutupnya dengan rapat, seperti wadah yang penuh dengan air, 
            lalu ditutup rapat agar tidak tumpah. Ini mengisyaratkan bahwa 
            perasaan marah, sakit hati, dan keinginan untuk menuntut balas masih 
            ada, tapi perasaan itu tidak dituruti melainkan ditahan dan ditutup 
            rapat agar tidak keluar perkataan dan tindakan yang tidak baik. 
            (Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, II, hal. 207).  Orang yang mampu 
            menahan marah, oleh Nabi SAW disebut sebagai orang yang kuat. Beliau 
            bersabda: “Orang yang kuat bukanlah orang yang jago gulat, tetapi 
            (orang yang kuat itu adalah) orang yang mampu menahan dirinya 
            ketika marah” (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud). Dalam hadits 
            lain nabi juga bersabda: “Barangsiapa menahan marah 
            padahal ia mampu untuk melampiaskannya, maka di hari 
            kiamat Allah akan memenuhi hatinya dengan keridhaan”. 
             Memaafkan Memaafkan berarti 
            menghapuskan. Jadi seseorang baru dikatakan memaafkan orang lain 
            apabila ia menghapuskan kesalahan orang lain itu, kemudian 
            tidak menghukumnya sekalipun ia mampu melakukannya. Ini adalah 
            perjuangan untuk pengendalian diri yang lebih tinggi dari menahan 
            marah. Karena menahan marah hanya upaya menahan sesuatu yang 
            tersimpan dalam diri, sedangkan memaafkan, menuntut 
            orang untuk menghapus bekas luka hati akibat perbuatan orang. Ini 
            tidak mudah, oleh karena itu pantaslah dianggap perilaku orang 
            bertakwa.  Untuk memberikan 
            dorongan kepada manusia agar mau memaafkan, Allah berulang kali 
            memerintahkannya di dalam Al-Qur‘an, antara lain dalam surat 
            Al-A’raf 199, Al-Hijr 85, dan Asy-Syura 43. Sementara itu Rasulullah 
            SAW juga menjelaskan keuntungan orang-orang yang mau memaafkan 
            kesalahan orang lain, di antaranya:  “Barangsiapa 
            memberi maaf ketika dia mampu membalas, maka Allah akan 
            mengampuninya saat ia kesukaran”. Dan “Orang yang 
            memaafkan terhadap kezhaliman, karena mengharapkan keredhaan Allah, 
            maka Allah akan menambah kemuliaan kepadanya di hari kiamat” 
            (Lengkapnya dapat dilihat dalam Muhammad Ahmad al-Hufy, Edisi 
            Indonesia, hal. 272).  Nabi Muhammad SAW 
            sebagai uswatun hasanah kita, adalah seseorang yang sangat 
            pemaaf. Aisyiyah r. a. berkata: “Saya belum pernah melihat 
            Rasulullah SAW membalas karena beliau dianiaya selama hukum Allah 
            tidak dilanggar. Beliau akan memaafkan kesalahan orang lain yang 
            mengenai dirinya, karena itu adalah sifat utama. ” Berbuat 
            ihsan Ini adalah tingkat 
            yang lebih tinggi dari tiga perilaku takwa sebelumnya. Allah 
            mencintai orang yang berbuat ihsan dengan berbagai cara yang mungkin 
            dilakukannya. Dalam menafsirkan ayat ini Muhammad Rasyid Ridha 
            mengemukakan suatu riwayat yang menggambarkan bahwa berbuat 
            ihsan itu adalah sebagai puncak dari tiga sifat utama 
            sebelumnya: “Seorang budak melakukan sesuatu pelanggaran yang 
            membuat tuannya sangat marah. Budak itu berkata kepada tuannya: 
            Tuan, Allah SWT berfirman “wal kazhimiin alghaizha”, maka 
            tuannya menjawab: Aku telah menahan marahku. Budak itu berkata lagi, 
            Allah telah berfirman “wal’afiina aninnaas”, yang dijawab 
            oleh tuannya: Kamu telah kumaafkan. Budak itupun melanjutkan lagi, 
            bahwa Allah telah berfirman “wallahu yuhibbul muhsiniin”, 
            tuannya menjawab: Pergilah! Engkau merdeka karena Allah. (Muhammad 
            Rasyid Ridha, IV, hal. 135). Riwayat senada juga dikemukakan oleh 
            Al-Maraghi dalam menafsirkan ayat ini.  Cepat 
            menyadari kesalahan lalu beristighfar Perilaku ini 
            menggambarkan bagaimana orang yang bertakwa menghadapi dirinya 
            sendiri, yaitu bila dia, sengaja atau tidak, melakukan perbuatan 
            dosa seperti, membunuh, memakan riba, korupsi, berzina, atau 
            menganiaya diri sendiri seperti minum khamar, membuka aurat, tidak 
            shalat, tidak berpuasa, dan sebagainya, mereka langsung ingat Allah, 
            sehingga merasa malu dan takut kepadaNya. Lalu ia cepat menyesali 
            semua perbuatannya dan memohon ampun sambil bertekad tidak akan 
            mengulangi lagi kesalahan itu.  Orang mu‘min yang bertakwa setelah 
            bertaubat tidak akan mengulang pelanggaran yang telah dilakukannya, 
            karena ia akan selalu ingat dan takut kepada Allah. 
             Dalam ayat ini Allah juga menegaskan dua 
            hal, pertama; Hanya Allah lah tempat memohon ampunan, karena 
            hanya Allah juga yang mampu memberi ampunan. Kedua; ayat ini 
            menunjukkan batapa Maha Pemaaf dan Pengampunnya Allah. 
             Untuk mereka yang memenuhi 
            lima kriteria diatas, Allah menjanjikan balasan berupa ampunan, 
            selamat dari siksaan, mendapat pahala yang besar, dan memperoleh 
            surga yang sangat luas dan menyenangkan. Itu semua adalah 
            sebaik-baik balasan dan imbalan Allah terhadap amal yang telah 
            mereka lakukan.  (Isnawati Rais: Dosen IAIN Imam 
            Bonjol)   |