Senin 24 Mei 2004
e-mail.gif (2657 bytes)

Profil Amal Usaha

Perguruan Tinggi

Pendidikan Dasar dan Menengah

Tabligh Dakwah Khuhusl

Pengembangan Ekonomi Kerakyatan

Pengembangan Kesehatan & Kesejahteraan Masyarakat

MuhammadiyahNetwork

Muhammadiyah Singapura

Pemuda Muhamamdiyah Singapura

Suara Muhammadiyah

Pemuda Muhammadiyah Surabaya

Hizbul-wathon Surabaya

Muhammadiyah

Sangsurya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Majalah Tabligh, Tafsir, Vol. 01/No. 12/Juli 2003

PERILAKU Orang berTAkWA

Dr. Isnawati Rais, MA.

“Dan bersegeralah kamu kepada ampu­nan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang ber­­­takwa. (Yaitu) orang-orang yag menaf­kah­kan (harta­nya), baik diwaktu lapang maupun di waktu sempit, dan orang-orang yang menahan amarah­nya dan memaafkan (kesalahan) orang, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. Dan (juga) orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memo­hon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah. Dan mereka tidak meneruskan perbua­tan kejinya itu, sedang mereka menge­tahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah sebaik-baik pahala orang yang beramal” (Qs. Ali Imran 133-136).

Pada ayat pertama dari kelompok ayat diatas, Allah SWT memerintahkan terhadap orang-orang yang beriman untuk bersegera meraih ampunan dan surga yang sangat luas yang disediakan untuk mereka yang bertakwa. Kemudian pada ayat-ayat selanjutnya Allah SWT menjelaskan beberapa perilaku orang bertakwa tersebut.

Setidaknya ada lima perilaku takwa yang digambarkan Allah pada ayat-ayat di atas, berikut penjelasannya:

Berinfak diwaktu lapang dan sempit

Termasuk perilaku orang bertakwa adalah berinfaq dalam keadaan bagaimanapun, baik dalam keadaan lapang (berkecukupan) ataupun dalam keadaan sempit (kekurangan). Mereka berusaha untuk selalu dapat membantu orang lain sesuai dengan kemampuan. Mereka tidak pernah melalaikan infaq meski terkadang mereka sendiri sedang kesulitan.

Dalam suatu hadits Rasulullah SAW menyatakan: “Jauhkanlah dirimu dari api neraka walaupun dengan (bersedekah) sebutir kurma” (HR. Muttafaq ‘alaih).

Menurut Rasyid Ridha (AL-Manar III, hal. 123-133) Allah memulai gambaran orang bertakwa dengan infaq karena dua hal berikut: Pertama; infaq adalah kebalikan dari riba yang dilarang oleh ayat sebelumnya (Qs. Ali Imran 130). Riba adalah pemerasan yang dilakukan oleh orang kaya terhadap orang yang membu­tuh­kan pertolongan dengan memakan harta­nya dari bayaran hutang yang berlipat ganda. Sedang­kan infaq adalah sebuah pertolongan kepada orang yang mem­butuhkan tanpa imbalan. Kedua; Sesungguhnya infaq adalah sesuatu yang tidak mudah dilakukan karena kecintaan manu­sia terhadap harta. Oleh karena itu, barangsiapa yang sanggup meng­infakkan harta diwaktu lapang dan sempit, jelas menun­juk­kan sikap kepa­tuhan, ketun­dukkan hati, yang merupakan sebuah ketakwaan.

Anjuran dan perintah ber­infaq pada waktu lapang adalah untuk menghilangkan perasaan sombong, rakus, aniaya, cinta yang berlebihan terhadap harta, dan lain-lain. Sedangkan anjuran bersedekah di waktu sulit adalah untuk merobah sifat manusia yang lebih suka diberi dari pada memberi. Sebenarnya sesusah apapun, manusia masih bisa memberikan sesuatu di jalan Allah walaupun sedikit. Dorongan ini ada pada diri setiap orang tetapi kadang-kadang tidak muncul. Untuk itu agamalah yang menumbuhkan kesadaran itu.

Menahan marah

Selanjutnya perilaku orang yang bertakwa adalah mampu menahan marah dengan tidak melampiaskan kemarahan walaupun sebenar­nya ia mampu melakukannya. Kata al-kazhimiin berarti penuh dan menutupnya dengan rapat, seperti wadah yang penuh dengan air, lalu ditutup rapat agar tidak tumpah. Ini mengisyarat­kan bahwa perasaan marah, sakit hati, dan keinginan untuk menuntut balas masih ada, tapi perasaan itu tidak dituruti melainkan ditahan dan ditutup rapat agar tidak keluar perkataan dan tindakan yang tidak baik. (Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, II, hal. 207).

Orang yang mampu menahan marah, oleh Nabi SAW disebut sebagai orang yang kuat. Beliau bersabda: “Orang yang kuat bukanlah orang yang jago gulat, tetapi (orang yang kuat itu adalah) orang yang mampu menahan diri­nya ketika marah” (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud). Dalam hadits lain nabi juga ber­sabda: “Barang­siapa menahan marah padahal ia mampu untuk melam­piaskan­nya, maka di hari kiamat Allah akan memenuhi hatinya dengan keridhaan”.

Memaafkan

Memaafkan berarti menghapuskan. Jadi seseorang baru dikatakan memaafkan orang lain apabila ia meng­hapuskan kesalahan orang lain itu, kemudian tidak menghukumnya sekalipun ia mampu melakukannya. Ini adalah perjuangan untuk pengendalian diri yang lebih tinggi dari menahan marah. Karena menahan marah hanya upaya menahan sesuatu yang tersimpan dalam diri, sedangkan mema­­af­kan, menuntut orang untuk menghapus bekas luka hati akibat perbuatan orang. Ini tidak mudah, oleh karena itu pantaslah dianggap perilaku orang bertakwa.

Untuk memberikan dorongan kepada manusia agar mau memaafkan, Allah berulang kali memerintahkannya di dalam Al-Qur‘an, antara lain dalam surat Al-A’raf 199, Al-Hijr 85, dan Asy-Syura 43. Sementara itu Rasulullah SAW juga menjelaskan keuntungan orang-orang yang mau memaafkan kesalahan orang lain, di antaranya:

Barangsiapa memberi maaf ketika dia mampu membalas, maka Allah akan mengam­puninya saat ia kesukaran”. Dan “Orang yang memaafkan terhadap kezhaliman, karena mengharapkan keredhaan Allah, maka Allah akan menambah kemuliaan kepadanya di hari kiamat” (Lengkapnya dapat dilihat dalam Muhammad Ahmad al-Hufy, Edisi Indonesia, hal. 272).

Nabi Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah kita, adalah seseorang yang sangat pemaaf. Aisyiyah r. a. berkata: “Saya belum pernah melihat Rasulullah SAW membalas karena beliau dianiaya selama hukum Allah tidak dilanggar. Beliau akan memaafkan kesalahan orang lain yang mengenai dirinya, karena itu adalah sifat utama. ”

Berbuat ihsan

Ini adalah tingkat yang lebih tinggi dari tiga perilaku takwa sebelumnya. Allah mencintai orang yang berbuat ihsan dengan berbagai cara yang mungkin dilakukannya. Dalam menafsirkan ayat ini Muhammad Rasyid Ridha mengemukakan suatu riwayat yang meng­gambarkan bahwa berbuat ihsan itu adalah sebagai puncak dari tiga sifat utama sebelum­nya: “Seorang budak melakukan sesuatu pelanggaran yang membuat tuannya sangat marah. Budak itu berkata kepada tuannya: Tuan, Allah SWT berfirman “wal kazhimiin alghaizha”, maka tuannya menjawab: Aku telah menahan marahku. Budak itu berkata lagi, Allah telah berfirman “wal’afiina aninnaas”, yang dijawab oleh tuannya: Kamu telah kumaafkan. Budak itupun melanjutkan lagi, bahwa Allah telah berfirman “wallahu yuhibbul muhsiniin”, tuannya menjawab: Pergilah! Engkau merdeka karena Allah. (Muhammad Rasyid Ridha, IV, hal. 135). Riwayat senada juga dikemukakan oleh Al-Maraghi dalam menafsirkan ayat ini.

Cepat menyadari kesalahan lalu beristighfar

Perilaku ini menggambarkan bagaimana orang yang bertakwa menghadapi dirinya sendiri, yaitu bila dia, sengaja atau tidak, melakukan perbuatan dosa seperti, membunuh, memakan riba, korupsi, berzina, atau menganiaya diri sendiri seperti minum khamar, membuka aurat, tidak shalat, tidak berpuasa, dan sebagainya, mereka langsung ingat Allah, sehingga merasa malu dan takut kepadaNya. Lalu ia cepat menyesali semua perbuatannya dan memohon ampun sambil bertekad tidak akan mengulangi lagi kesalahan itu.

Orang mu‘min yang bertakwa setelah bertaubat tidak akan mengulang pelanggaran yang telah dilakukannya, karena ia akan selalu ingat dan takut kepada Allah.

Dalam ayat ini Allah juga menegaskan dua hal, pertama; Hanya Allah lah tempat memohon ampunan, karena hanya Allah juga yang mampu memberi ampunan. Kedua; ayat ini menunjukkan batapa Maha Pemaaf dan Pengampunnya Allah.

Untuk mereka yang memenuhi lima kriteria diatas, Allah menjanjikan balasan berupa ampunan, selamat dari siksaan, mendapat pahala yang besar, dan memperoleh surga yang sangat luas dan menyenangkan. Itu semua adalah sebaik-baik balasan dan imbalan Allah terhadap amal yang telah mereka lakukan.

(Isnawati Rais: Dosen IAIN Imam Bonjol)

 

Submit Web Site       Recently Submitted Web Sites

Search the web   Web Page Search:
Search On : All Words Any Words

Pimipinan Pusat Muhammadiyah

Jl. Menteng Raya No. 62 Jakarta Pusat

e-mail : PPMUH@indosat.net.id

web dev : salamm