click here for the word frequency
Agama, Akal, dan Kebebasan: Tentang Makna “Liberal” dalam Islam Liberal
Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai.
Oleh: Ulil Abshar-Abdalla
Ada kesan yang tertanam dalam sebagian orang, bahwa istilah
“liberal” dalam Islam liberal mempunyai makna kebebasan tanpa batas,
atau bahkan disetarakan dengan sikap permisif, ibahiyah;
sikap menolerir setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan
cara pandang semacam itu, Islam liberal dipandang sebagai ancaman
terhadap keberagamaan yang sudah terlembaga.
Dalam Islam,
persoalan “batasan” (hadd) antara mana yang boleh
(mubah) dan yang tak boleh (mahdzur), menempati
kedudukan yang begitu sentral. Setiap orang Islam selalu peduli pada
apa yang dia kerjakan, apakah pebuatan itu boleh atau tidak. Inilah
yang kemudian melahirkan suatu bidang kajian yang sangat kaya dan
meninggalkan ribuan literatur yang canggih, yaitu bidang fikih.
Setiap pembicaraan tentang hukum selalu rujukannya adalah fikih.
Ketika muncul diskusi yang ramai soal penerapan hukum Islam, maka
fikih menjadi fokus perhatian, sebab dalam fikih lah sebagian besar
hukum Islam dirumuskan.
Dalam diskusi-diskusi itu, kelihatan
sekali bahwa tekanan diberikan kepada “kewajiban”, yaitu kewajiban
seorang Muslim terhadap Allah, sesama manusia, dan dirinya sendiri.
Bahasa kewajiban lebih menonjol, menutup bahasa hak dan kebebasan
manusia. Islam liberal muncul dalam semangat untuk menyeimbangkan
“neraca” antara bahasa kewajiban dan kebebasan/hak ini. Untuk itu,
marilah kita masuki sebuah tema dasar yang menjadi debat dalam
pemikiran Islam klasik: soal tindakan manusia (af’alul
’ibad).
Otonom atau tidak?
Marilah
kita mulai dengan pertanyaan sederhana: apakah manusia bisa, dengan
akal, intuisi dan fitrahnya, mencapai pemahaman yang mendalam
mengenai kebaikan dan kejahatan? Apakah untuk mengetahui hal-hal
itu, manusia harus menungguh wahyu dari "langit"? Apakah gunanya
agama, jika toh manusia sudah mampu mencapai sendiri pemahaman
mengenai "yang baik" dan "yang jahat"? Apakah manusia secara moral
otonom dalam mengetahui kebaikan dan kejahatan, atau tergantung pada
entitas di luar dirinya?
Dalam masalah ini, ada dua jawaban
yang tersedia dalam khazanah pemikiran Islam klasik. Ada golongan
Sunni yang dominan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan dan
kejahatan itu haruslah ditentukan oleh agama. Manusia baru tahu
bahwa tindakan ini jahat atau baik setelah mendapatkan pengajaran
dari agama. Golongan kedua adalah Mu'tazilah yang memandang bahwa
manusia dengan akalnya sendiri dapat mengetahui batas-batas kebaikan
dan kejahatan, batas-batas kepantasan. Sudah tentu, jika dikatakan
bahwa akal manusia dapat menentukan batas-batas tersebut, tidak
berarti bahwa seluruh batas itu sudah diketahui oleh akal dari hari
pertama. Akal manusia berkembang, mengalami evolusi, dan akan makin
matang.
Saya lebih cenderung pada pandangan kaum Mu'tazilah.
Tetapi, harap lah disadari bahwa dengan menerima pendapat
Mu'tazilah, bukan berarti saya menepiskan peran wahyu dalam
memperkaya wawasan akal manusia untuk memahami batas-batas itu.
Setiap wahyu membawa suatu wawasan tertentu mengenai "yang baik" dan
"yang jahat". Wahyu dapat mengangkat derajat akal manusia ke tingkat
yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat lebih memahami
batas-batas. Tetapi, wahyu bisa memerosotkan akal manusia, manakala
wahyu itu mengalami "vulgarisasi", yaitu wahyu yang telah dibajak
oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang bersifat duniawi. Agar
wahyu itu bisa pulih kembali dan memperoleh inegritasnya lagi
sebagai sumber moralitas, maka diperlukan akal yang bertanggung
jawab dan penuh integritas. Kita semua tahu, bahwa wahyu itu adalah
laksana horison atau cakrawala yang tak berbatas. Hampir mustahil
bagi akal manusia yang terbatas untuk menjangkau seluruh horison
wahyu. Karena cakrawala wahyu yang terbentang luas itu, maka
siapapun dapat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. Garansi bahwa
wahyu dapat dipahami dengan tepat adalah integritas akal manusia itu
sendiri.
Salah satu hadis Nabi mengatakan, "al itsmu ma
haka fi nafsika wa karihta an yath-thali'a 'alaihin naas". Dosa
adalah sesuatu yang menimbulkan kekeruhan dan kekacauan di hatimu,
dan kamu tak suka orang lain melihatmu melakukannya. Hadis ini
memberikan tekanan yang tegas kepada kemampuan manusia, berdasarkan
intuisinya, untuk mencapai pemahaman yang benar mengenai dosa.
Kenapa demikian? Haruslah diketahui, bahwa agama pada menit pertama
adalah merupakan soal keinsafan/kesadaran pribadi; agama bukanlah
aturan obyektif yang bisa begitu saja didesakkan secara paksa dari
luar. Itulah sebabnya, sebuah hadis mengatakan "innamal a'malu
bin niyyaat", sesungguhnya segala tindakan tidaklah akan menjadi
tindakan yang "genuine" tanpa niat dan dorongan emotif yang
sungguh-sungguh bertanggungjawab. Dalam hadis lain dikatakan,
"niyyatul mu'min khairun min 'amalihi", niat dan dorongan
emotif yang sifatnya subyektif lebih mulia dari tindakan. Wilayah
niat ada dalam wilayah subyektivitas manusia; wilayah itu mempunyai
ciri-ciri kebebasan. Jadi, aturan-aturan obyektif yang ditetapkan
oleh agama, tidaklah bermakna dalam kerangka beragama jika
dilepaskan dari motif subyektif manusia.
Saya tidak melihat
suatu ide apapun dalam Islam di mana manusia ditempatkan sebagai
obyek moral yang pasif. Akal manusia merupakan partisipan yang aktif
dalam menafsiran ide-ide ketuhanan yang terkandung dalam wahyu. Saya
tidak pernah membayangkan bahwa wahyu dalam pandangan Islam
memandang "dunia manusia" sebagai dunia hobbesian yang kotor,
brutal, sementara, dan licik, dan karena itu wahyu turun sebagai
suatu "leviathan" yang bengis. Islam meletakkan manusia dalam posisi
yang penuh martabat, sebagai "khalifah" yang memenuhi tugas
ketuhanan untuk memperbaiki kehidupan di bumi. Pandangan-pandangan
keislaman populer kerapkali menggambarkan wahyu sebagai "leviathan"
semacam itu. Manusia, dalam pandangan populer semacam itu, kerapkali
ditempatkan sebagai "barang" yang sama sekali kosong dari suatu
motif yang bebas. Inilah proses vulgarisasi Islam sebagaimana pernah
ditunjuk oleh Prof. Khaled Abou El Fadl.
Dalam situasi yang
sudah "vulgar" semacam itu, yang pertama perlu direstorasi adalah
martabat manusia itu sendiri. Jika manusia sebagai subyek moral yang
bebas sudah tidak lagi ada atau disangkal, apakah gunanya sebuah
agama? Qur'an berkali-kali menyindir orang Yahudi sebagai "keledai
yang mengangkut berjilid-jilid kitab", matsalulladzina hummilut
Taurata kamatsalil khimari yahmilu asfaara. Keledai tak akan
pernah bisa mendapatkan manfaat apapun dari barang-barang yang
diangkutnya. Wahyu tidak akan berguna bagi seekor keledai. Dan tak
ada gunanya mendakwahkan kedalaman dan kesempurnaan wahyu kepad
keledai. Jika manusia telah dikosongkan dari motif, dan otonominya
sebagai subyek moral telah disangkal, apakah yang tersisa dari
manusia semacam itu selain "jasad" yang pasif. Nabi pernah bersaba,
"ad dinu huwal 'aql, la dina liman la 'aqla lahu", agama
adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tak mempunyai akal.
Oleh karena itu, kebebasan manusia adalah perkara prinsip
yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Banyak orang mengira bahwa
kebebasan semacam itu menyebabkan manusia memberontak kepada agama
dan wahyu. Ada yang mengira bahwa dengan membatasi kebebasan itu,
mereka telah melindungi wahyu. Ini jelas pandangan yang salah.
Sebab, begitu kebebasan manusia dibatasi, maka dimensi-dimensi
terdalam yang subtil dari wahyu akan sulit diungkapkan oleh manusia.
Sebab, untuk memahami kompleksitas wahyu, diperlukan akal manusia
yang matang. Sebuah hadis qudsi yang populer di kalangan sufi
menyatakan, "Aku (Allah) adalah 'kanzun makhfiyy’, harta
karun yang tersembunyi. Aku ingin diketahui, maka Aku ciptakan
manusia." Hadis ini memberikan suatu penegasan yang penting bahwa
manusia diciptakan untuk "menggali" dimensi-dimensi yang tersembunyi
dalam wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi jika
tidak mengandaikan adanya manusia sebagai subyek yang bebas dan
otonom.
Orang-orang yang mengatakan bahwa dengan memberikan
kebebasan, anda telah menjerumuska manusia ke jurang kesesatan, dari
menit pertama mereka itu sudah mengingkari nilai kemanusiaan.
Keledai selalu takut pada kebebasan, dan terus-menerus mencari
majikan yang dapat menuntunnya. Sesungguhnya Islam tidak membutuhkan
orang-orang semacam itu. Kecemerlangan Islam justru akan
dimungkinkan karena adanya manusia-manusia yang berpikir bebas dan
kemudian mampu menyingkapkan rahasia-rahasia terdalam dari wahyu.
Ibadah sebagai “I-Thou”
Tujuan
pokok dari agama adalah mengangkat martabat kemanusiaan. Wahyu
adalah sarana saja menuju ke arah itu. Fokus pertama dalam agama
adalah manusia itu sendiri, bukan semata-mata Tuhan. Adalah salah
besar suatu anggapan populer yang mengatakan bahwa tugas pokok
manusia adalah "menyembah" Tuhan. Pandangan ini bersumber dari
pemahaman yang salah atas ayat "wa ma khalaqtul jinna wal insa
illa liya'budun," dan tidak Aku ciptakan manusia kecuali untuk
menyembah-Ku. Ayat ini, jika dipahami dalam kerangka populer yang
cenderung anti-humanistik, dapat berarti bahwa agama itu tidak lain
adalah penundukan manusia. Manusia seolah-olah ancaman bagi Tuhan
sehingga harus ditundukkan kepada kehendak-Nya. Tidak ada pemahaman
yang lebih kotor mengenai hakikat ketuhanan kecuali pemahaman
seperti ini. Pandangan mengenai manusia sebagai Prometheus yang
berseteru dengan Tuhan hanyalah ada dalam mitos Yunani kuno. Saya
melihat, pandangan populer yang berkembang di kalangan umat Islam
mengenai ayat tersebut cenderung kepada suatu citra manusia sebagai
Prometheus. Bedanya, Prometheus versi Islam adalah Prometheus yang
kalah oleh kehendak Tuhan. Ini jelas suatu citraan manusia yang
tidak sesuai dengan semangat Islam. Saya kurang setuju dengan
penerjemahan kata "ibadah" sebagai penyembahan, atau
"worship" dalam bahasa Inggris. Sebab, penyembahan mempunyai
makna yang negatif dalam sejumlah hal.
Penyembahan
mengandaikan bahwa obyek yang "disembah" adalah obyek yang "mati",
di-reifikasi, di-fiksasi. Penyembahan selalu merupakan proses yang
sepihak, bukan proses dialogal yang hidup antara subyek dan subyek.
Jika diletakkan dalam kerangka filsafat Martin Buber mengenai relasi
antar manusia, penyembahan adalah sebentuk hubungan antara Allah dan
manusia sebagai hubungan "I-it", "aku-dan-dia". Allah, dalam
kerangka penyembahan semacam itu, telah "dibendakan". Allah yang
disembah adalah Allah yang diberhalakan, yang di-fiksasi dalam
gambaran yang tetap seperti sebuah "idol". Saya berpandangan bahwa
seharusnya manusia berhubungan dengan Allah bukan dengan cara
seperti itu. Hubungan yang tepat antara manusia dengan Allah adalah
hubungan dalam kerangka "I-Thou", aku-Engkau. Agama yang
didasarkan pada penyembahan dalam kerangka hubungan "I-it"
hanya akan memerosotkan martabat manusia dan Allah itu sendiri. Arti
ayat tersebut lebih tepat dipahami sebagai hubungan Allah-manusia
dalam model “I-Thou”; bukan penyembahan, tetapi proses
dialogal yang kreatif.
Penyembahan pada Tuhan tidak
mempunyai makna apa-apa jika tidak diletakkan dalam kerangka manusia
sebagai subyek yang bebas, dengan akal yang bekerja secara leluasa.
Qur'an mengatakan, "qad tabayyanar rushdu minal ghayy", telah
jelas jalan kebaikan dan kesesatan. "Fa man sya'a fal yu'min wan
man sya'a fal yakfur," jika manusia mau, dia boleh mengimani
jalan itu, dan jika mau, dia boleh mengingkarinya. Fakta-fakta ini
begitu jelasnya tertuang dalam sumber utama ajaran Islam, Qur'an dan
Hadis. Tetapi, proses-proses kesejarahan dalam Islam sendiri telah
mengubah agama itu menjadi agama hukum yang dilandaskan kepada
pemaksaan, dengan lebih banyak menekankan bahasa kewajiban. Tidak
ada yang lebih berbahaya bagi Islam kecuali pandangan yang mencoba
mengubah karakter agama itu sebagai agama fitrah, menjadi agama
hukum yang ditegakkan atas paksaan.
Kesimpulan yang hendak
saya tuju dari ulasan yang agak "ruwet" dan panjang ini adalah bahwa
dengan membubuhkan kata "liberal" pada Islam, sesunggunya saya
hendak menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang
jangkarnya adalah "niat" atau dorongan-dorongan emotif-subyektif
dalam manusia itu sendiri. Dan sebaiknya kata liberal dalam "Islam
liberal" dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata "liberal" di sini
tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan
sikap-sikap permisif yang melawan kecenderungan "intrinsik" dalam
akal manusia itu sendiri. Dengan menekankan kembali dimensi
kebebasan manusia, dan menempatkan manusia pada fokus penghayatan
keagamaan, maka kita telah memulihkan kembali integritas wahyu dan
Islam itu sendiri.
Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi
orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab
agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai.
pre- text |
WORD |
post- text |
% |
kan, “al itsmu ma haka fi nafsika wa karihta an yath-thali’a | ‘alaihin | naas”. Dosa adalah sesuatu yang menimbulkan kekeruhan dan ke | 33 % |
. Nabi pernah bersaba, “ad dinu huwal ‘aql, la dina liman la | ‘aqla | lahu”, agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang t | 55 % |
ang populer di kalangan sufi menyatakan, “Aku (Allah) adalah | ‘kanzun | makhfiyy’, harta karun yang tersembunyi. Aku ingin diketahui | 60 % |
semacam itu selain “jasad” yang pasif. Nabi pernah bersaba, | “ad | dinu huwal ‘aql, la dina liman la ‘aqla lahu”, agama adalah | 54 % |
Sebuah hadis qudsi yang populer di kalangan sufi menyatakan, | “aku | (Allah) adalah ‘kanzun makhfiyy’, harta karun yang tersembun | 60 % |
l manusia itu sendiri. Salah satu hadis Nabi mengatakan, | “al | itsmu ma haka fi nafsika wa karihta an yath-thali’a ‘alaihin | 32 % |
pandangan populer semacam itu, kerapkali ditempatkan sebagai | “barang” | yang sama sekali kosong dari suatu motif yang bebas. Inilah | 47 % |
beragamaan yang sudah terlembaga. Dalam Islam, persoalan | “batasan” | (hadd) antara mana yang boleh (mubah) dan yang tak boleh (ma | 5 % |
sejumlah hal. Penyembahan mengandaikan bahwa obyek yang | “disembah” | adalah obyek yang “mati”, di-reifikasi, di-fiksasi. Penyemba | 78 % |
nah membayangkan bahwa wahyu dalam pandangan Islam memandang | “dunia | manusia” sebagai dunia hobbesian yang kotor, brutal, sementa | 43 % |
shdu minal ghayy”, telah jelas jalan kebaikan dan kesesatan. | “fa | man sya’a fal yu’min wan man sya’a fal yakfur,” jika manusia | 88 % |
ngguhnya segala tindakan tidaklah akan menjadi tindakan yang | “genuine” | tanpa niat dan dorongan emotif yang sungguh-sungguh bertangg | 37 % |
semangat Islam. Saya kurang setuju dengan penerjemahan kata | “ibadah” | sebagai penyembahan, atau “worship” dalam bahasa Inggris. Se | 77 % |
ama yang didasarkan pada penyembahan dalam kerangka hubungan | “i-it” | hanya akan memerosotkan martabat manusia dan Allah itu sendi | 85 % |
ra paksa dari luar. Itulah sebabnya, sebuah hadis mengatakan | “innamal | a’malu bin niyyaat”, sesungguhnya segala tindakan tidaklah a | 37 % |
atas, dengan sikap-sikap permisif yang melawan kecenderungan | “intrinsik” | dalam akal manusia itu sendiri. Dengan menekankan kembali di | 97 % |
dalam manusia itu sendiri. Dan sebaiknya kata liberal dalam | “islam | liberal” dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata “liberal” | 96 % |
an rahasia-rahasia terdalam dari wahyu. Ibadah sebagai | “i-thou” | Tujuan pokok dari agama adalah mengangkat martabat kemanusia | 67 % |
ih tepat dipahami sebagai hubungan Allah-manusia dalam model | “i-thou”; | bukan penyembahan, tetapi proses dialogal yang kreatif. | 86 % |
sangkal, apakah yang tersisa dari manusia semacam itu selain | “jasad” | yang pasif. Nabi pernah bersaba, “ad dinu huwal ‘aql, la din | 54 % |
ah agama? Qur’an berkali-kali menyindir orang Yahudi sebagai | “keledai | yang mengangkut berjilid-jilid kitab”, matsalulladzina hummi | 50 % |
meletakkan manusia dalam posisi yang penuh martabat, sebagai | “khalifah” | yang memenuhi tugas ketuhanan untuk memperbaiki kehidupan di | 45 % |
mentara, dan licik, dan karena itu wahyu turun sebagai suatu | “leviathan” | yang bengis. Islam meletakkan manusia dalam posisi yang penu | 44 % |
ngan keislaman populer kerapkali menggambarkan wahyu sebagai | “leviathan” | semacam itu. Manusia, dalam pandangan populer semacam itu, k | 46 % |
Agama, Akal, dan Kebebasan: Tentang Makna | “liberal” | dalam Islam Liberal Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi o | 0 % |
Ada kesan yang tertanam dalam sebagian orang, bahwa istilah | “liberal” | dalam Islam liberal mempunyai makna kebebasan tanpa batas, a | 2 % |
“ruwet” dan panjang ini adalah bahwa dengan membubuhkan kata | “liberal” | pada Islam, sesunggunya saya hendak menegaskan kembali dimen | 94 % |
am “Islam liberal” dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata | “liberal” | di sini tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa bat | 96 % |
suatu penegasan yang penting bahwa manusia diciptakan untuk | “menggali” | dimensi-dimensi yang tersembunyi dalam wahyu dan kebenaran T | 62 % |
pan populer yang mengatakan bahwa tugas pokok manusia adalah | “menyembah” | Tuhan. Pandangan ini bersumber dari pemahaman yang salah ata | 69 % |
ia. Islam liberal muncul dalam semangat untuk menyeimbangkan | “neraca” | antara bahasa kewajiban dan kebebasan/hak ini. Untuk itu, ma | 12 % |
kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang jangkarnya adalah | “niat” | atau dorongan-dorongan emotif-subyektif dalam manusia itu se | 95 % |
ungguh-sungguh bertanggungjawab. Dalam hadis lain dikatakan, | “niyyatul | mu’min khairun min ‘amalihi”, niat dan dorongan emotif yang | 38 % |
dengan akal yang bekerja secara leluasa. Qur’an mengatakan, | “qad | tabayyanar rushdu minal ghayy”, telah jelas jalan kebaikan d | 88 % |
. Kesimpulan yang hendak saya tuju dari ulasan yang agak | “ruwet” | dan panjang ini adalah bahwa dengan membubuhkan kata “libera | 93 % |
oleh Prof. Khaled Abou El Fadl. Dalam situasi yang sudah | “vulgar” | semacam itu, yang pertama perlu direstorasi adalah martabat | 48 % |
Pandangan ini bersumber dari pemahaman yang salah atas ayat | “wa | ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun,” dan tidak Aku | 70 % |
dengan penerjemahan kata “ibadah” sebagai penyembahan, atau | “worship” | dalam bahasa Inggris. Sebab, penyembahan mempunyai makna yan | 77 % |
toh manusia sudah mampu mencapai sendiri pemahaman mengenai | “yang | baik” dan “yang jahat”? Apakah manusia secara moral otonom d | 16 % |
ah mampu mencapai sendiri pemahaman mengenai “yang baik” dan | “yang | jahat”? Apakah manusia secara moral otonom dalam mengetahui | 16 % |
as itu. Setiap wahyu membawa suatu wawasan tertentu mengenai | “yang | baik” dan “yang jahat”. Wahyu dapat mengangkat derajat akal | 25 % |
ahyu membawa suatu wawasan tertentu mengenai “yang baik” dan | “yang | jahat”. Wahyu dapat mengangkat derajat akal manusia ke tingk | 25 % |
dari luar. Itulah sebabnya, sebuah hadis mengatakan “innamal | a’malu | bin niyyaat”, sesungguhnya segala tindakan tidaklah akan men | 37 % |
garisasi Islam sebagaimana pernah ditunjuk oleh Prof. Khaled | abou | El Fadl. Dalam situasi yang sudah “vulgar” semacam itu, | 48 % |
bab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. Oleh: Ulil | abshar-abdalla | Ada kesan yang tertanam dalam sebagian orang, bahwa istilah | 2 % |
lah diperuntukkan bagi keledai. Oleh: Ulil Abshar-Abdalla | ada | kesan yang tertanam dalam sebagian orang, bahwa istilah “lib | 2 % |
gantung pada entitas di luar dirinya? Dalam masalah ini, | ada | dua jawaban yang tersedia dalam khazanah pemikiran Islam kla | 18 % |
jawaban yang tersedia dalam khazanah pemikiran Islam klasik. | ada | golongan Sunni yang dominan, dengan pandangan pokok bahwa ke | 18 % |
g sifatnya subyektif lebih mulia dari tindakan. Wilayah niat | ada | dalam wilayah subyektivitas manusia; wilayah itu mempunyai c | 39 % |
ika manusia sebagai subyek moral yang bebas sudah tidak lagi | ada | atau disangkal, apakah gunanya sebuah agama? Qur’an berkali- | 50 % |
utnya. Wahyu tidak akan berguna bagi seekor keledai. Dan tak | ada | gunanya mendakwahkan kedalaman dan kesempurnaan wahyu kepad | 52 % |
‘aql, la dina liman la ‘aqla lahu”, agama adalah akal, tidak | ada | agama bagi mereka yang tak mempunyai akal. Oleh karena i | 55 % |
itu menyebabkan manusia memberontak kepada agama dan wahyu. | ada | yang mengira bahwa dengan membatasi kebebasan itu, mereka te | 57 % |
Tuhan sehingga harus ditundukkan kepada kehendak-Nya. Tidak | ada | pemahaman yang lebih kotor mengenai hakikat ketuhanan kecual | 73 % |
usia sebagai Prometheus yang berseteru dengan Tuhan hanyalah | ada | dalam mitos Yunani kuno. Saya melihat, pandangan populer yan | 74 % |
saan, dengan lebih banyak menekankan bahasa kewajiban. Tidak | ada | yang lebih berbahaya bagi Islam kecuali pandangan yang menco | 92 % |
ami dalam kerangka semacam ini. Kata “liberal” di sini tidak | ada | sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan sikap-s | 96 % |
ng fikih. Setiap pembicaraan tentang hukum selalu rujukannya | adalah | fikih. Ketika muncul diskusi yang ramai soal penerapan hukum | 8 % |
ik setelah mendapatkan pengajaran dari agama. Golongan kedua | adalah | Mu’tazilah yang memandang bahwa manusia dengan akalnya sendi | 20 % |
jawab dan penuh integritas. Kita semua tahu, bahwa wahyu itu | adalah | laksana horison atau cakrawala yang tak berbatas. Hampir mus | 29 % |
nama wahyu. Garansi bahwa wahyu dapat dipahami dengan tepat | adalah | integritas akal manusia itu sendiri. Salah satu hadis Na | 31 % |
a fi nafsika wa karihta an yath-thali’a ‘alaihin naas”. Dosa | adalah | sesuatu yang menimbulkan kekeruhan dan kekacauan di hatimu, | 33 % |
demikian? Haruslah diketahui, bahwa agama pada menit pertama | adalah | merupakan soal keinsafan/kesadaran pribadi; agama bukanlah a | 35 % |
g sudah “vulgar” semacam itu, yang pertama perlu direstorasi | adalah | martabat manusia itu sendiri. Jika manusia sebagai subyek mo | 49 % |
ba, “ad dinu huwal ‘aql, la dina liman la ‘aqla lahu”, agama | adalah | akal, tidak ada agama bagi mereka yang tak mempunyai akal. | 55 % |
g tak mempunyai akal. Oleh karena itu, kebebasan manusia | adalah | perkara prinsip yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Banyak ora | 56 % |
qudsi yang populer di kalangan sufi menyatakan, “Aku (Allah) | adalah | ‘kanzun makhfiyy’, harta karun yang tersembunyi. Aku ingin d | 60 % |
yu. Ibadah sebagai “I-Thou” Tujuan pokok dari agama | adalah | mengangkat martabat kemanusiaan. Wahyu adalah sarana saja me | 67 % |
kok dari agama adalah mengangkat martabat kemanusiaan. Wahyu | adalah | sarana saja menuju ke arah itu. Fokus pertama dalam agama ad | 68 % |
ah sarana saja menuju ke arah itu. Fokus pertama dalam agama | adalah | manusia itu sendiri, bukan semata-mata Tuhan. Adalah salah b | 68 % |
m agama adalah manusia itu sendiri, bukan semata-mata Tuhan. | adalah | salah besar suatu anggapan populer yang mengatakan bahwa tug | 69 % |
u anggapan populer yang mengatakan bahwa tugas pokok manusia | adalah | “menyembah” Tuhan. Pandangan ini bersumber dari pemahaman ya | 69 % |
ng anti-humanistik, dapat berarti bahwa agama itu tidak lain | adalah | penundukan manusia. Manusia seolah-olah ancaman bagi Tuhan s | 72 % |
manusia sebagai Prometheus. Bedanya, Prometheus versi Islam | adalah | Prometheus yang kalah oleh kehendak Tuhan. Ini jelas suatu c | 76 % |
al. Penyembahan mengandaikan bahwa obyek yang “disembah” | adalah | obyek yang “mati”, di-reifikasi, di-fiksasi. Penyembahan sel | 78 % |
afat Martin Buber mengenai relasi antar manusia, penyembahan | adalah | sebentuk hubungan antara Allah dan manusia sebagai hubungan | 80 % |
embahan semacam itu, telah “dibendakan”. Allah yang disembah | adalah | Allah yang diberhalakan, yang di-fiksasi dalam gambaran yang | 82 % |
seperti itu. Hubungan yang tepat antara manusia dengan Allah | adalah | hubungan dalam kerangka “I-Thou”, aku-Engkau. Agama yang did | 84 % |
ndak saya tuju dari ulasan yang agak “ruwet” dan panjang ini | adalah | bahwa dengan membubuhkan kata “liberal” pada Islam, sesunggu | 94 % |
gaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang jangkarnya | adalah | “niat” atau dorongan-dorongan emotif-subyektif dalam manusia | 95 % |
n Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi jika tidak mengandaikan | adanya | manusia sebagai subyek yang bebas dan otonom. Orang-oran | 63 % |
cam itu. Kecemerlangan Islam justru akan dimungkinkan karena | adanya | manusia-manusia yang berpikir bebas dan kemudian mampu menyi | 66 % |
ksaan. Kesimpulan yang hendak saya tuju dari ulasan yang | agak | “ruwet” dan panjang ini adalah bahwa dengan membubuhkan kata | 93 % |
agama | , Akal, dan Kebebasan: Tentang Makna “Liberal” dalam Islam L | 0 % | |
g-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab | agama | bukanlah diperuntukkan bagi keledai. Oleh: Ulil Abshar-Ab | 1 % |
ar mengenai dosa. Kenapa demikian? Haruslah diketahui, bahwa | agama | pada menit pertama adalah merupakan soal keinsafan/kesadaran | 35 % |
t pertama adalah merupakan soal keinsafan/kesadaran pribadi; | agama | bukanlah aturan obyektif yang bisa begitu saja didesakkan se | 36 % |
bersaba, “ad dinu huwal ‘aql, la dina liman la ‘aqla lahu”, | agama | adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tak mempunyai | 55 % |
, la dina liman la ‘aqla lahu”, agama adalah akal, tidak ada | agama | bagi mereka yang tak mempunyai akal. Oleh karena itu, ke | 55 % |
kebebasan semacam itu menyebabkan manusia memberontak kepada | agama | dan wahyu. Ada yang mengira bahwa dengan membatasi kebebasan | 57 % |
ri wahyu. Ibadah sebagai “I-Thou” Tujuan pokok dari | agama | adalah mengangkat martabat kemanusiaan. Wahyu adalah sarana | 67 % |
u adalah sarana saja menuju ke arah itu. Fokus pertama dalam | agama | adalah manusia itu sendiri, bukan semata-mata Tuhan. Adalah | 68 % |
populer yang cenderung anti-humanistik, dapat berarti bahwa | agama | itu tidak lain adalah penundukan manusia. Manusia seolah-ola | 72 % |
n Allah adalah hubungan dalam kerangka “I-Thou”, aku-Engkau. | agama | yang didasarkan pada penyembahan dalam kerangka hubungan “I- | 84 % |
proses-proses kesejarahan dalam Islam sendiri telah mengubah | agama | itu menjadi agama hukum yang dilandaskan kepada pemaksaan, d | 91 % |
jarahan dalam Islam sendiri telah mengubah agama itu menjadi | agama | hukum yang dilandaskan kepada pemaksaan, dengan lebih banyak | 91 % |
bagi Islam kecuali pandangan yang mencoba mengubah karakter | agama | itu sebagai agama fitrah, menjadi agama hukum yang ditegakka | 92 % |
i pandangan yang mencoba mengubah karakter agama itu sebagai | agama | fitrah, menjadi agama hukum yang ditegakkan atas paksaan. | 92 % |
ba mengubah karakter agama itu sebagai agama fitrah, menjadi | agama | hukum yang ditegakkan atas paksaan. Kesimpulan yang hend | 93 % |
g-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab | agama | bukanlah diperuntukkan bagi keledai. | 100 % |
agama | , Akal, dan Kebebasan: Tentang Makna “Liberal” dalam Islam L | 0 % | |
g-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab | agama | bukanlah diperuntukkan bagi keledai. Oleh: Ulil Abshar-Ab | 1 % |
ar mengenai dosa. Kenapa demikian? Haruslah diketahui, bahwa | agama | pada menit pertama adalah merupakan soal keinsafan/kesadaran | 35 % |
t pertama adalah merupakan soal keinsafan/kesadaran pribadi; | agama | bukanlah aturan obyektif yang bisa begitu saja didesakkan se | 36 % |
bersaba, “ad dinu huwal ‘aql, la dina liman la ‘aqla lahu”, | agama | adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tak mempunyai | 55 % |
, la dina liman la ‘aqla lahu”, agama adalah akal, tidak ada | agama | bagi mereka yang tak mempunyai akal. Oleh karena itu, ke | 55 % |
kebebasan semacam itu menyebabkan manusia memberontak kepada | agama | dan wahyu. Ada yang mengira bahwa dengan membatasi kebebasan | 57 % |
ri wahyu. Ibadah sebagai “I-Thou” Tujuan pokok dari | agama | adalah mengangkat martabat kemanusiaan. Wahyu adalah sarana | 67 % |
u adalah sarana saja menuju ke arah itu. Fokus pertama dalam | agama | adalah manusia itu sendiri, bukan semata-mata Tuhan. Adalah | 68 % |
populer yang cenderung anti-humanistik, dapat berarti bahwa | agama | itu tidak lain adalah penundukan manusia. Manusia seolah-ola | 72 % |
n Allah adalah hubungan dalam kerangka “I-Thou”, aku-Engkau. | agama | yang didasarkan pada penyembahan dalam kerangka hubungan “I- | 84 % |
proses-proses kesejarahan dalam Islam sendiri telah mengubah | agama | itu menjadi agama hukum yang dilandaskan kepada pemaksaan, d | 91 % |
jarahan dalam Islam sendiri telah mengubah agama itu menjadi | agama | hukum yang dilandaskan kepada pemaksaan, dengan lebih banyak | 91 % |
bagi Islam kecuali pandangan yang mencoba mengubah karakter | agama | itu sebagai agama fitrah, menjadi agama hukum yang ditegakka | 92 % |
i pandangan yang mencoba mengubah karakter agama itu sebagai | agama | fitrah, menjadi agama hukum yang ditegakkan atas paksaan. | 92 % |
ba mengubah karakter agama itu sebagai agama fitrah, menjadi | agama | hukum yang ditegakkan atas paksaan. Kesimpulan yang hend | 93 % |
g-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab | agama | bukanlah diperuntukkan bagi keledai. | 100 % |
k oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang bersifat duniawi. | agar | wahyu itu bisa pulih kembali dan memperoleh inegritasnya lag | 28 % |
Fakta-fakta ini begitu jelasnya tertuang dalam sumber utama | ajaran | Islam, Qur’an dan Hadis. Tetapi, proses-proses kesejarahan d | 90 % |
n, batas-batas kepantasan. Sudah tentu, jika dikatakan bahwa | akal | manusia dapat menentukan batas-batas tersebut, tidak berarti | 21 % |
, tidak berarti bahwa seluruh batas itu sudah diketahui oleh | akal | dari hari pertama. Akal manusia berkembang, mengalami evolus | 22 % |
luruh batas itu sudah diketahui oleh akal dari hari pertama. | akal | manusia berkembang, mengalami evolusi, dan akan makin matang | 22 % |
berarti saya menepiskan peran wahyu dalam memperkaya wawasan | akal | manusia untuk memahami batas-batas itu. Setiap wahyu membawa | 24 % |
“yang baik” dan “yang jahat”. Wahyu dapat mengangkat derajat | akal | manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat | 26 % |
lebih memahami batas-batas. Tetapi, wahyu bisa memerosotkan | akal | manusia, manakala wahyu itu mengalami “vulgarisasi”, yaitu w | 27 % |
inegritasnya lagi sebagai sumber moralitas, maka diperlukan | akal | yang bertanggung jawab dan penuh integritas. Kita semua tahu | 29 % |
rison atau cakrawala yang tak berbatas. Hampir mustahil bagi | akal | manusia yang terbatas untuk menjangkau seluruh horison wahyu | 30 % |
si bahwa wahyu dapat dipahami dengan tepat adalah integritas | akal | manusia itu sendiri. Salah satu hadis Nabi mengatakan, “ | 32 % |
di mana manusia ditempatkan sebagai obyek moral yang pasif. | akal | manusia merupakan partisipan yang aktif dalam menafsiran ide | 42 % |
anusia. Sebab, untuk memahami kompleksitas wahyu, diperlukan | akal | manusia yang matang. Sebuah hadis qudsi yang populer di kala | 59 % |
kan dalam kerangka manusia sebagai subyek yang bebas, dengan | akal | yang bekerja secara leluasa. Qur’an mengatakan, “qad tabayya | 87 % |
-sikap permisif yang melawan kecenderungan “intrinsik” dalam | akal | manusia itu sendiri. Dengan menekankan kembali dimensi kebeb | 97 % |
kedua adalah Mu’tazilah yang memandang bahwa manusia dengan | akalnya | sendiri dapat mengetahui batas-batas kebaikan dan kejahatan, | 20 % |
ari pertama. Akal manusia berkembang, mengalami evolusi, dan | akan | makin matang. Saya lebih cenderung pada pandangan kaum M | 23 % |
l a’malu bin niyyaat”, sesungguhnya segala tindakan tidaklah | akan | menjadi tindakan yang “genuine” tanpa niat dan dorongan emot | 37 % |
ilut Taurata kamatsalil khimari yahmilu asfaara. Keledai tak | akan | pernah bisa mendapatkan manfaat apapun dari barang-barang ya | 51 % |
faat apapun dari barang-barang yang diangkutnya. Wahyu tidak | akan | berguna bagi seekor keledai. Dan tak ada gunanya mendakwahka | 52 % |
batasi, maka dimensi-dimensi terdalam yang subtil dari wahyu | akan | sulit diungkapkan oleh manusia. Sebab, untuk memahami komple | 59 % |
butuhkan orang-orang semacam itu. Kecemerlangan Islam justru | akan | dimungkinkan karena adanya manusia-manusia yang berpikir beb | 66 % |
sarkan pada penyembahan dalam kerangka hubungan “I-it” hanya | akan | memerosotkan martabat manusia dan Allah itu sendiri. Arti ay | 85 % |
yek moral yang pasif. Akal manusia merupakan partisipan yang | aktif | dalam menafsiran ide-ide ketuhanan yang terkandung dalam wah | 42 % |
lah) adalah ‘kanzun makhfiyy’, harta karun yang tersembunyi. | aku | ingin diketahui, maka Aku ciptakan manusia.” Hadis ini membe | 61 % |
yy’, harta karun yang tersembunyi. Aku ingin diketahui, maka | aku | ciptakan manusia.” Hadis ini memberikan suatu penegasan yang | 61 % |
“wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun,” dan tidak | aku | ciptakan manusia kecuali untuk menyembah-Ku. Ayat ini, jika | 70 % |
i antar manusia, penyembahan adalah sebentuk hubungan antara | allah | dan manusia sebagai hubungan “I-it”, “aku-dan-dia”. Allah, d | 81 % |
dalam kerangka penyembahan semacam itu, telah “dibendakan”. | allah | yang disembah adalah Allah yang diberhalakan, yang di-fiksas | 82 % |
semacam itu, telah “dibendakan”. Allah yang disembah adalah | allah | yang diberhalakan, yang di-fiksasi dalam gambaran yang tetap | 82 % |
aya berpandangan bahwa seharusnya manusia berhubungan dengan | allah | bukan dengan cara seperti itu. Hubungan yang tepat antara ma | 83 % |
cara seperti itu. Hubungan yang tepat antara manusia dengan | allah | adalah hubungan dalam kerangka “I-Thou”, aku-Engkau. Agama y | 84 % |
hubungan “I-it” hanya akan memerosotkan martabat manusia dan | allah | itu sendiri. Arti ayat tersebut lebih tepat dipahami sebagai | 85 % |
ri. Arti ayat tersebut lebih tepat dipahami sebagai hubungan | allah-manusia | dalam model “I-Thou”; bukan penyembahan, tetapi proses dialo | 86 % |
dis Nabi mengatakan, “al itsmu ma haka fi nafsika wa karihta | an | yath-thali’a ‘alaihin naas”. Dosa adalah sesuatu yang menimb | 32 % |
an cara pandang semacam itu, Islam liberal dipandang sebagai | ancaman | terhadap keberagamaan yang sudah terlembaga. Dalam Islam | 4 % |
tu tidak lain adalah penundukan manusia. Manusia seolah-olah | ancaman | bagi Tuhan sehingga harus ditundukkan kepada kehendak-Nya. T | 72 % |
ang-orang yang mengatakan bahwa dengan memberikan kebebasan, | anda | telah menjerumuska manusia ke jurang kesesatan, dari menit p | 63 % |
u sendiri, bukan semata-mata Tuhan. Adalah salah besar suatu | anggapan | populer yang mengatakan bahwa tugas pokok manusia adalah “me | 69 % |
etakkan dalam kerangka filsafat Martin Buber mengenai relasi | antar | manusia, penyembahan adalah sebentuk hubungan antara Allah d | 80 % |
udah terlembaga. Dalam Islam, persoalan “batasan” (hadd) | antara | mana yang boleh (mubah) dan yang tak boleh (mahdzur), menemp | 5 % |
liberal muncul dalam semangat untuk menyeimbangkan “neraca” | antara | bahasa kewajiban dan kebebasan/hak ini. Untuk itu, marilah k | 12 % |
upakan proses yang sepihak, bukan proses dialogal yang hidup | antara | subyek dan subyek. Jika diletakkan dalam kerangka filsafat M | 79 % |
i relasi antar manusia, penyembahan adalah sebentuk hubungan | antara | Allah dan manusia sebagai hubungan “I-it”, “aku-dan-dia”. Al | 81 % |
gan Allah bukan dengan cara seperti itu. Hubungan yang tepat | antara | manusia dengan Allah adalah hubungan dalam kerangka “I-Thou” | 83 % |
n yang begitu sentral. Setiap orang Islam selalu peduli pada | apa | yang dia kerjakan, apakah pebuatan itu boleh atau tidak. Ini | 6 % |
ng kreatif. Penyembahan pada Tuhan tidak mempunyai makna | apa-apa | jika tidak diletakkan dalam kerangka manusia sebagai subyek | 87 % |
Setiap orang Islam selalu peduli pada apa yang dia kerjakan, | apakah | pebuatan itu boleh atau tidak. Inilah yang kemudian melahirk | 6 % |
au tidak? Marilah kita mulai dengan pertanyaan sederhana: | apakah | manusia bisa, dengan akal, intuisi dan fitrahnya, mencapai p | 14 % |
pai pemahaman yang mendalam mengenai kebaikan dan kejahatan? | apakah | untuk mengetahui hal-hal itu, manusia harus menungguh wahyu | 15 % |
ui hal-hal itu, manusia harus menungguh wahyu dari “langit”? | apakah | gunanya agama, jika toh manusia sudah mampu mencapai sendiri | 15 % |
pai sendiri pemahaman mengenai “yang baik” dan “yang jahat”? | apakah | manusia secara moral otonom dalam mengetahui kebaikan dan ke | 16 % |
subyek moral yang bebas sudah tidak lagi ada atau disangkal, | apakah | gunanya sebuah agama? Qur’an berkali-kali menyindir orang Ya | 50 % |
motif, dan otonominya sebagai subyek moral telah disangkal, | apakah | yang tersisa dari manusia semacam itu selain “jasad” yang pa | 54 % |
ri motif subyektif manusia. Saya tidak melihat suatu ide | apapun | dalam Islam di mana manusia ditempatkan sebagai obyek moral | 41 % |
lu asfaara. Keledai tak akan pernah bisa mendapatkan manfaat | apapun | dari barang-barang yang diangkutnya. Wahyu tidak akan bergun | 52 % |
kat martabat kemanusiaan. Wahyu adalah sarana saja menuju ke | arah | itu. Fokus pertama dalam agama adalah manusia itu sendiri, b | 68 % |
ya akan memerosotkan martabat manusia dan Allah itu sendiri. | arti | ayat tersebut lebih tepat dipahami sebagai hubungan Allah-ma | 85 % |
terbentang luas itu, maka siapapun dapat mengatakan sesuatu | atas | nama wahyu. Garansi bahwa wahyu dapat dipahami dengan tepat | 31 % |
ah” Tuhan. Pandangan ini bersumber dari pemahaman yang salah | atas | ayat “wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun,” dan t | 70 % |
tu sebagai agama fitrah, menjadi agama hukum yang ditegakkan | atas | paksaan. Kesimpulan yang hendak saya tuju dari ulasan ya | 93 % |
” dalam Islam liberal mempunyai makna kebebasan tanpa batas, | atau | bahkan disetarakan dengan sikap permisif, ibahiyah; sikap me | 3 % |
peduli pada apa yang dia kerjakan, apakah pebuatan itu boleh | atau | tidak. Inilah yang kemudian melahirkan suatu bidang kajian y | 7 % |
lam klasik: soal tindakan manusia (af’alul ‘ibad). Otonom | atau | tidak? Marilah kita mulai dengan pertanyaan sederhana: ap | 13 % |
secara moral otonom dalam mengetahui kebaikan dan kejahatan, | atau | tergantung pada entitas di luar dirinya? Dalam masalah i | 17 % |
tukan oleh agama. Manusia baru tahu bahwa tindakan ini jahat | atau | baik setelah mendapatkan pengajaran dari agama. Golongan ked | 19 % |
tas. Kita semua tahu, bahwa wahyu itu adalah laksana horison | atau | cakrawala yang tak berbatas. Hampir mustahil bagi akal manus | 29 % |
manusia sebagai subyek moral yang bebas sudah tidak lagi ada | atau | disangkal, apakah gunanya sebuah agama? Qur’an berkali-kali | 50 % |
etuju dengan penerjemahan kata “ibadah” sebagai penyembahan, | atau | “worship” dalam bahasa Inggris. Sebab, penyembahan mempunyai | 77 % |
dimensi kebebasan dalam Islam yang jangkarnya adalah “niat” | atau | dorongan-dorongan emotif-subyektif dalam manusia itu sendiri | 95 % |
h merupakan soal keinsafan/kesadaran pribadi; agama bukanlah | aturan | obyektif yang bisa begitu saja didesakkan secara paksa dari | 36 % |
as manusia; wilayah itu mempunyai ciri-ciri kebebasan. Jadi, | aturan-aturan | obyektif yang ditetapkan oleh agama, tidaklah bermakna dalam | 40 % |
uhan. Pandangan ini bersumber dari pemahaman yang salah atas | ayat | “wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun,” dan tidak | 70 % |
” dan tidak Aku ciptakan manusia kecuali untuk menyembah-Ku. | ayat | ini, jika dipahami dalam kerangka populer yang cenderung ant | 71 % |
ngan populer yang berkembang di kalangan umat Islam mengenai | ayat | tersebut cenderung kepada suatu citra manusia sebagai Promet | 75 % |
an memerosotkan martabat manusia dan Allah itu sendiri. Arti | ayat | tersebut lebih tepat dipahami sebagai hubungan Allah-manusia | 85 % |
beral” dalam Islam Liberal Sekali lagi, Islam tidak berguna | bagi | orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. S | 1 % |
kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan | bagi | keledai. Oleh: Ulil Abshar-Abdalla Ada kesan yang tertan | 2 % |
na horison atau cakrawala yang tak berbatas. Hampir mustahil | bagi | akal manusia yang terbatas untuk menjangkau seluruh horison | 30 % |
ari barang-barang yang diangkutnya. Wahyu tidak akan berguna | bagi | seekor keledai. Dan tak ada gunanya mendakwahkan kedalaman d | 52 % |
ina liman la ‘aqla lahu”, agama adalah akal, tidak ada agama | bagi | mereka yang tak mempunyai akal. Oleh karena itu, kebebas | 55 % |
lain adalah penundukan manusia. Manusia seolah-olah ancaman | bagi | Tuhan sehingga harus ditundukkan kepada kehendak-Nya. Tidak | 72 % |
menekankan bahasa kewajiban. Tidak ada yang lebih berbahaya | bagi | Islam kecuali pandangan yang mencoba mengubah karakter agama | 92 % |
dan Islam itu sendiri. Sekali lagi, Islam tidak berguna | bagi | orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. | 99 % |
kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan | bagi | keledai. | 100 % |
Muslim terhadap Allah, sesama manusia, dan dirinya sendiri. | bahasa | kewajiban lebih menonjol, menutup bahasa hak dan kebebasan m | 11 % |
an dirinya sendiri. Bahasa kewajiban lebih menonjol, menutup | bahasa | hak dan kebebasan manusia. Islam liberal muncul dalam semang | 11 % |
l muncul dalam semangat untuk menyeimbangkan “neraca” antara | bahasa | kewajiban dan kebebasan/hak ini. Untuk itu, marilah kita mas | 12 % |
ahan kata “ibadah” sebagai penyembahan, atau “worship” dalam | bahasa | Inggris. Sebab, penyembahan mempunyai makna yang negatif dal | 77 % |
dilandaskan kepada pemaksaan, dengan lebih banyak menekankan | bahasa | kewajiban. Tidak ada yang lebih berbahaya bagi Islam kecuali | 91 % |
am Islam liberal mempunyai makna kebebasan tanpa batas, atau | bahkan | disetarakan dengan sikap permisif, ibahiyah; sikap menolerir | 3 % |
bshar-Abdalla Ada kesan yang tertanam dalam sebagian orang, | bahwa | istilah “liberal” dalam Islam liberal mempunyai makna kebeba | 2 % |
dirumuskan. Dalam diskusi-diskusi itu, kelihatan sekali | bahwa | tekanan diberikan kepada “kewajiban”, yaitu kewajiban seoran | 10 % |
sik. Ada golongan Sunni yang dominan, dengan pandangan pokok | bahwa | kebaikan dan kejahatan itu haruslah ditentukan oleh agama. M | 18 % |
ahatan itu haruslah ditentukan oleh agama. Manusia baru tahu | bahwa | tindakan ini jahat atau baik setelah mendapatkan pengajaran | 19 % |
dari agama. Golongan kedua adalah Mu’tazilah yang memandang | bahwa | manusia dengan akalnya sendiri dapat mengetahui batas-batas | 20 % |
jahatan, batas-batas kepantasan. Sudah tentu, jika dikatakan | bahwa | akal manusia dapat menentukan batas-batas tersebut, tidak be | 21 % |
manusia dapat menentukan batas-batas tersebut, tidak berarti | bahwa | seluruh batas itu sudah diketahui oleh akal dari hari pertam | 22 % |
g pada pandangan kaum Mu’tazilah. Tetapi, harap lah disadari | bahwa | dengan menerima pendapat Mu’tazilah, bukan berarti saya mene | 23 % |
ang bertanggung jawab dan penuh integritas. Kita semua tahu, | bahwa | wahyu itu adalah laksana horison atau cakrawala yang tak ber | 29 % |
a siapapun dapat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. Garansi | bahwa | wahyu dapat dipahami dengan tepat adalah integritas akal man | 31 % |
ng benar mengenai dosa. Kenapa demikian? Haruslah diketahui, | bahwa | agama pada menit pertama adalah merupakan soal keinsafan/kes | 35 % |
yang terkandung dalam wahyu. Saya tidak pernah membayangkan | bahwa | wahyu dalam pandangan Islam memandang “dunia manusia” sebaga | 43 % |
insip yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Banyak orang mengira | bahwa | kebebasan semacam itu menyebabkan manusia memberontak kepada | 56 % |
manusia memberontak kepada agama dan wahyu. Ada yang mengira | bahwa | dengan membatasi kebebasan itu, mereka telah melindungi wahy | 57 % |
manusia.” Hadis ini memberikan suatu penegasan yang penting | bahwa | manusia diciptakan untuk “menggali” dimensi-dimensi yang ter | 61 % |
ubyek yang bebas dan otonom. Orang-orang yang mengatakan | bahwa | dengan memberikan kebebasan, anda telah menjerumuska manusia | 63 % |
n. Adalah salah besar suatu anggapan populer yang mengatakan | bahwa | tugas pokok manusia adalah “menyembah” Tuhan. Pandangan ini | 69 % |
rangka populer yang cenderung anti-humanistik, dapat berarti | bahwa | agama itu tidak lain adalah penundukan manusia. Manusia seol | 71 % |
ang negatif dalam sejumlah hal. Penyembahan mengandaikan | bahwa | obyek yang “disembah” adalah obyek yang “mati”, di-reifikasi | 78 % |
gambaran yang tetap seperti sebuah “idol”. Saya berpandangan | bahwa | seharusnya manusia berhubungan dengan Allah bukan dengan car | 83 % |
ya tuju dari ulasan yang agak “ruwet” dan panjang ini adalah | bahwa | dengan membubuhkan kata “liberal” pada Islam, sesunggunya sa | 94 % |
oleh agama. Manusia baru tahu bahwa tindakan ini jahat atau | baik | setelah mendapatkan pengajaran dari agama. Golongan kedua ad | 19 % |
anusia sudah mampu mencapai sendiri pemahaman mengenai “yang | baik” | dan “yang jahat”? Apakah manusia secara moral otonom dalam m | 16 % |
. Setiap wahyu membawa suatu wawasan tertentu mengenai “yang | baik” | dan “yang jahat”. Wahyu dapat mengangkat derajat akal manusi | 25 % |
sia adalah perkara prinsip yang tak bisa ditawar-tawar lagi. | banyak | orang mengira bahwa kebebasan semacam itu menyebabkan manusi | 56 % |
agama hukum yang dilandaskan kepada pemaksaan, dengan lebih | banyak | menekankan bahasa kewajiban. Tidak ada yang lebih berbahaya | 91 % |
Keledai tak akan pernah bisa mendapatkan manfaat apapun dari | barang-barang | yang diangkutnya. Wahyu tidak akan berguna bagi seekor keled | 52 % |
an dan kejahatan itu haruslah ditentukan oleh agama. Manusia | baru | tahu bahwa tindakan ini jahat atau baik setelah mendapatkan | 19 % |
ermisif, ibahiyah; sikap menolerir setiap hal tanpa mengenal | batas | yang pasti. Dengan cara pandang semacam itu, Islam liberal d | 4 % |
menentukan batas-batas tersebut, tidak berarti bahwa seluruh | batas | itu sudah diketahui oleh akal dari hari pertama. Akal manusi | 22 % |
andang bahwa manusia dengan akalnya sendiri dapat mengetahui | batas-batas | kebaikan dan kejahatan, batas-batas kepantasan. Sudah tentu, | 21 % |
sendiri dapat mengetahui batas-batas kebaikan dan kejahatan, | batas-batas | kepantasan. Sudah tentu, jika dikatakan bahwa akal manusia d | 21 % |
ah tentu, jika dikatakan bahwa akal manusia dapat menentukan | batas-batas | tersebut, tidak berarti bahwa seluruh batas itu sudah diketa | 21 % |
n wahyu dalam memperkaya wawasan akal manusia untuk memahami | batas-batas | itu. Setiap wahyu membawa suatu wawasan tertentu mengenai “y | 25 % |
manusia itu sendiri. Jika manusia sebagai subyek moral yang | bebas | sudah tidak lagi ada atau disangkal, apakah gunanya sebuah a | 49 % |
i jika tidak mengandaikan adanya manusia sebagai subyek yang | bebas | dan otonom. Orang-orang yang mengatakan bahwa dengan mem | 63 % |
kan dimungkinkan karena adanya manusia-manusia yang berpikir | bebas | dan kemudian mampu menyingkapkan rahasia-rahasia terdalam da | 66 % |
ubah) dan yang tak boleh (mahdzur), menempati kedudukan yang | begitu | sentral. Setiap orang Islam selalu peduli pada apa yang dia | 6 % |
/kesadaran pribadi; agama bukanlah aturan obyektif yang bisa | begitu | saja didesakkan secara paksa dari luar. Itulah sebabnya, seb | 36 % |
lah melindungi wahyu. Ini jelas pandangan yang salah. Sebab, | begitu | kebebasan manusia dibatasi, maka dimensi-dimensi terdalam ya | 58 % |
itu, dan jika mau, dia boleh mengingkarinya. Fakta-fakta ini | begitu | jelasnya tertuang dalam sumber utama ajaran Islam, Qur’an da | 90 % |
kerangka manusia sebagai subyek yang bebas, dengan akal yang | bekerja | secara leluasa. Qur’an mengatakan, “qad tabayyanar rushdu mi | 87 % |
nusia, berdasarkan intuisinya, untuk mencapai pemahaman yang | benar | mengenai dosa. Kenapa demikian? Haruslah diketahui, bahwa ag | 35 % |
yang ditetapkan oleh agama, tidaklah bermakna dalam kerangka | beragama | jika dilepaskan dari motif subyektif manusia. Saya tidak | 41 % |
wa akal manusia dapat menentukan batas-batas tersebut, tidak | berarti | bahwa seluruh batas itu sudah diketahui oleh akal dari hari | 22 % |
ah disadari bahwa dengan menerima pendapat Mu’tazilah, bukan | berarti | saya menepiskan peran wahyu dalam memperkaya wawasan akal ma | 24 % |
dalam kerangka populer yang cenderung anti-humanistik, dapat | berarti | bahwa agama itu tidak lain adalah penundukan manusia. Manusi | 71 % |
bih banyak menekankan bahasa kewajiban. Tidak ada yang lebih | berbahaya | bagi Islam kecuali pandangan yang mencoba mengubah karakter | 92 % |
ini memberikan tekanan yang tegas kepada kemampuan manusia, | berdasarkan | intuisinya, untuk mencapai pemahaman yang benar mengenai dos | 34 % |
akna “Liberal” dalam Islam Liberal Sekali lagi, Islam tidak | berguna | bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendi | 1 % |
apapun dari barang-barang yang diangkutnya. Wahyu tidak akan | berguna | bagi seekor keledai. Dan tak ada gunanya mendakwahkan kedala | 52 % |
as wahyu dan Islam itu sendiri. Sekali lagi, Islam tidak | berguna | bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendi | 99 % |
ti sebuah “idol”. Saya berpandangan bahwa seharusnya manusia | berhubungan | dengan Allah bukan dengan cara seperti itu. Hubungan yang te | 83 % |
kali menyindir orang Yahudi sebagai “keledai yang mengangkut | berjilid-jilid | kitab”, matsalulladzina hummilut Taurata kamatsalil khimari | 51 % |
lagi ada atau disangkal, apakah gunanya sebuah agama? Qur’an | berkali-kali | menyindir orang Yahudi sebagai “keledai yang mengangkut berj | 50 % |
alam mitos Yunani kuno. Saya melihat, pandangan populer yang | berkembang | di kalangan umat Islam mengenai ayat tersebut cenderung kepa | 74 % |
aturan-aturan obyektif yang ditetapkan oleh agama, tidaklah | bermakna | dalam kerangka beragama jika dilepaskan dari motif subyektif | 40 % |
angkat derajat akal manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan | bermutu | untuk dapat lebih memahami batas-batas. Tetapi, wahyu bisa m | 26 % |
iksasi dalam gambaran yang tetap seperti sebuah “idol”. Saya | berpandangan | bahwa seharusnya manusia berhubungan dengan Allah bukan deng | 83 % |
justru akan dimungkinkan karena adanya manusia-manusia yang | berpikir | bebas dan kemudian mampu menyingkapkan rahasia-rahasia terda | 66 % |
erti ini. Pandangan mengenai manusia sebagai Prometheus yang | berseteru | dengan Tuhan hanyalah ada dalam mitos Yunani kuno. Saya meli | 74 % |
yang telah dibajak oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang | bersifat | duniawi. Agar wahyu itu bisa pulih kembali dan memperoleh in | 28 % |
tugas pokok manusia adalah “menyembah” Tuhan. Pandangan ini | bersumber | dari pemahaman yang salah atas ayat “wa ma khalaqtul jinna w | 70 % |
nya lagi sebagai sumber moralitas, maka diperlukan akal yang | bertanggung | jawab dan penuh integritas. Kita semua tahu, bahwa wahyu itu | 29 % |
ikih menjadi fokus perhatian, sebab dalam fikih lah sebagian | besar | hukum Islam dirumuskan. Dalam diskusi-diskusi itu, kelih | 9 % |
h manusia itu sendiri, bukan semata-mata Tuhan. Adalah salah | besar | suatu anggapan populer yang mengatakan bahwa tugas pokok man | 69 % |
itu boleh atau tidak. Inilah yang kemudian melahirkan suatu | bidang | kajian yang sangat kaya dan meninggalkan ribuan literatur ya | 7 % |
t kaya dan meninggalkan ribuan literatur yang canggih, yaitu | bidang | fikih. Setiap pembicaraan tentang hukum selalu rujukannya ad | 8 % |
ar. Itulah sebabnya, sebuah hadis mengatakan “innamal a’malu | bin | niyyaat”, sesungguhnya segala tindakan tidaklah akan menjadi | 37 % |
ermutu untuk dapat lebih memahami batas-batas. Tetapi, wahyu | bisa | memerosotkan akal manusia, manakala wahyu itu mengalami “vul | 26 % |
gan-kepentingan sesaat yang bersifat duniawi. Agar wahyu itu | bisa | pulih kembali dan memperoleh inegritasnya lagi sebagai sumbe | 28 % |
safan/kesadaran pribadi; agama bukanlah aturan obyektif yang | bisa | begitu saja didesakkan secara paksa dari luar. Itulah sebabn | 36 % |
kamatsalil khimari yahmilu asfaara. Keledai tak akan pernah | bisa | mendapatkan manfaat apapun dari barang-barang yang diangkutn | 51 % |
arena itu, kebebasan manusia adalah perkara prinsip yang tak | bisa | ditawar-tawar lagi. Banyak orang mengira bahwa kebebasan sem | 56 % |
Dalam Islam, persoalan “batasan” (hadd) antara mana yang | boleh | (mubah) dan yang tak boleh (mahdzur), menempati kedudukan ya | 5 % |
“batasan” (hadd) antara mana yang boleh (mubah) dan yang tak | boleh | (mahdzur), menempati kedudukan yang begitu sentral. Setiap o | 5 % |
elalu peduli pada apa yang dia kerjakan, apakah pebuatan itu | boleh | atau tidak. Inilah yang kemudian melahirkan suatu bidang kaj | 7 % |
fal yu’min wan man sya’a fal yakfur,” jika manusia mau, dia | boleh | mengimani jalan itu, dan jika mau, dia boleh mengingkarinya. | 89 % |
anusia mau, dia boleh mengimani jalan itu, dan jika mau, dia | boleh | mengingkarinya. Fakta-fakta ini begitu jelasnya tertuang dal | 89 % |
k dan subyek. Jika diletakkan dalam kerangka filsafat Martin | buber | mengenai relasi antar manusia, penyembahan adalah sebentuk h | 80 % |
arap lah disadari bahwa dengan menerima pendapat Mu’tazilah, | bukan | berarti saya menepiskan peran wahyu dalam memperkaya wawasan | 24 % |
h itu. Fokus pertama dalam agama adalah manusia itu sendiri, | bukan | semata-mata Tuhan. Adalah salah besar suatu anggapan populer | 68 % |
i-fiksasi. Penyembahan selalu merupakan proses yang sepihak, | bukan | proses dialogal yang hidup antara subyek dan subyek. Jika di | 79 % |
rpandangan bahwa seharusnya manusia berhubungan dengan Allah | bukan | dengan cara seperti itu. Hubungan yang tepat antara manusia | 83 % |
ipahami sebagai hubungan Allah-manusia dalam model “I-Thou”; | bukan | penyembahan, tetapi proses dialogal yang kreatif. Penyem | 86 % |
g yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama | bukanlah | diperuntukkan bagi keledai. Oleh: Ulil Abshar-Abdalla Ad | 1 % |
ama adalah merupakan soal keinsafan/kesadaran pribadi; agama | bukanlah | aturan obyektif yang bisa begitu saja didesakkan secara paks | 36 % |
g yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama | bukanlah | diperuntukkan bagi keledai. | 100 % |
Kita semua tahu, bahwa wahyu itu adalah laksana horison atau | cakrawala | yang tak berbatas. Hampir mustahil bagi akal manusia yang te | 29 % |
yang terbatas untuk menjangkau seluruh horison wahyu. Karena | cakrawala | wahyu yang terbentang luas itu, maka siapapun dapat mengatak | 30 % |
menolerir setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan | cara | pandang semacam itu, Islam liberal dipandang sebagai ancaman | 4 % |
hwa seharusnya manusia berhubungan dengan Allah bukan dengan | cara | seperti itu. Hubungan yang tepat antara manusia dengan Allah | 83 % |
ng, mengalami evolusi, dan akan makin matang. Saya lebih | cenderung | pada pandangan kaum Mu’tazilah. Tetapi, harap lah disadari b | 23 % |
mbah-Ku. Ayat ini, jika dipahami dalam kerangka populer yang | cenderung | anti-humanistik, dapat berarti bahwa agama itu tidak lain ad | 71 % |
ang berkembang di kalangan umat Islam mengenai ayat tersebut | cenderung | kepada suatu citra manusia sebagai Prometheus. Bedanya, Prom | 75 % |
harta karun yang tersembunyi. Aku ingin diketahui, maka Aku | ciptakan | manusia.” Hadis ini memberikan suatu penegasan yang penting | 61 % |
ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun,” dan tidak Aku | ciptakan | manusia kecuali untuk menyembah-Ku. Ayat ini, jika dipahami | 70 % |
a dalam wilayah subyektivitas manusia; wilayah itu mempunyai | ciri-ciri | kebebasan. Jadi, aturan-aturan obyektif yang ditetapkan oleh | 40 % |
gan umat Islam mengenai ayat tersebut cenderung kepada suatu | citra | manusia sebagai Prometheus. Bedanya, Prometheus versi Islam | 75 % |
h Prometheus yang kalah oleh kehendak Tuhan. Ini jelas suatu | citraan | manusia yang tidak sesuai dengan semangat Islam. Saya kurang | 76 % |
Agama, Akal, dan Kebebasan: Tentang Makna “Liberal” | dalam | Islam Liberal Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-o | 0 % |
ledai. Oleh: Ulil Abshar-Abdalla Ada kesan yang tertanam | dalam | sebagian orang, bahwa istilah “liberal” dalam Islam liberal | 2 % |
yang tertanam dalam sebagian orang, bahwa istilah “liberal” | dalam | Islam liberal mempunyai makna kebebasan tanpa batas, atau ba | 2 % |
sebagai ancaman terhadap keberagamaan yang sudah terlembaga. | dalam | Islam, persoalan “batasan” (hadd) antara mana yang boleh (mu | 5 % |
rapan hukum Islam, maka fikih menjadi fokus perhatian, sebab | dalam | fikih lah sebagian besar hukum Islam dirumuskan. Dalam d | 9 % |
sebab dalam fikih lah sebagian besar hukum Islam dirumuskan. | dalam | diskusi-diskusi itu, kelihatan sekali bahwa tekanan diberika | 9 % |
nutup bahasa hak dan kebebasan manusia. Islam liberal muncul | dalam | semangat untuk menyeimbangkan “neraca” antara bahasa kewajib | 12 % |
tu, marilah kita masuki sebuah tema dasar yang menjadi debat | dalam | pemikiran Islam klasik: soal tindakan manusia (af’alul ‘ibad | 13 % |
g baik” dan “yang jahat”? Apakah manusia secara moral otonom | dalam | mengetahui kebaikan dan kejahatan, atau tergantung pada enti | 17 % |
dan kejahatan, atau tergantung pada entitas di luar dirinya? | dalam | masalah ini, ada dua jawaban yang tersedia dalam khazanah pe | 17 % |
irinya? Dalam masalah ini, ada dua jawaban yang tersedia | dalam | khazanah pemikiran Islam klasik. Ada golongan Sunni yang dom | 18 % |
ndapat Mu’tazilah, bukan berarti saya menepiskan peran wahyu | dalam | memperkaya wawasan akal manusia untuk memahami batas-batas i | 24 % |
t dan dorongan emotif yang sungguh-sungguh bertanggungjawab. | dalam | hadis lain dikatakan, “niyyatul mu’min khairun min ‘amalihi” | 38 % |
fatnya subyektif lebih mulia dari tindakan. Wilayah niat ada | dalam | wilayah subyektivitas manusia; wilayah itu mempunyai ciri-ci | 39 % |
turan obyektif yang ditetapkan oleh agama, tidaklah bermakna | dalam | kerangka beragama jika dilepaskan dari motif subyektif manus | 40 % |
f subyektif manusia. Saya tidak melihat suatu ide apapun | dalam | Islam di mana manusia ditempatkan sebagai obyek moral yang p | 41 % |
ral yang pasif. Akal manusia merupakan partisipan yang aktif | dalam | menafsiran ide-ide ketuhanan yang terkandung dalam wahyu. Sa | 42 % |
ang aktif dalam menafsiran ide-ide ketuhanan yang terkandung | dalam | wahyu. Saya tidak pernah membayangkan bahwa wahyu dalam pand | 43 % |
dung dalam wahyu. Saya tidak pernah membayangkan bahwa wahyu | dalam | pandangan Islam memandang “dunia manusia” sebagai dunia hobb | 43 % |
agai suatu “leviathan” yang bengis. Islam meletakkan manusia | dalam | posisi yang penuh martabat, sebagai “khalifah” yang memenuhi | 45 % |
enggambarkan wahyu sebagai “leviathan” semacam itu. Manusia, | dalam | pandangan populer semacam itu, kerapkali ditempatkan sebagai | 46 % |
sebagaimana pernah ditunjuk oleh Prof. Khaled Abou El Fadl. | dalam | situasi yang sudah “vulgar” semacam itu, yang pertama perlu | 48 % |
diciptakan untuk “menggali” dimensi-dimensi yang tersembunyi | dalam | wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi jika | 62 % |
. Wahyu adalah sarana saja menuju ke arah itu. Fokus pertama | dalam | agama adalah manusia itu sendiri, bukan semata-mata Tuhan. A | 68 % |
manusia kecuali untuk menyembah-Ku. Ayat ini, jika dipahami | dalam | kerangka populer yang cenderung anti-humanistik, dapat berar | 71 % |
sebagai Prometheus yang berseteru dengan Tuhan hanyalah ada | dalam | mitos Yunani kuno. Saya melihat, pandangan populer yang berk | 74 % |
nerjemahan kata “ibadah” sebagai penyembahan, atau “worship” | dalam | bahasa Inggris. Sebab, penyembahan mempunyai makna yang nega | 77 % |
asa Inggris. Sebab, penyembahan mempunyai makna yang negatif | dalam | sejumlah hal. Penyembahan mengandaikan bahwa obyek yang | 78 % |
ialogal yang hidup antara subyek dan subyek. Jika diletakkan | dalam | kerangka filsafat Martin Buber mengenai relasi antar manusia | 80 % |
h dan manusia sebagai hubungan “I-it”, “aku-dan-dia”. Allah, | dalam | kerangka penyembahan semacam itu, telah “dibendakan”. Allah | 81 % |
ang disembah adalah Allah yang diberhalakan, yang di-fiksasi | dalam | gambaran yang tetap seperti sebuah “idol”. Saya berpandangan | 82 % |
ungan yang tepat antara manusia dengan Allah adalah hubungan | dalam | kerangka “I-Thou”, aku-Engkau. Agama yang didasarkan pada pe | 84 % |
“I-Thou”, aku-Engkau. Agama yang didasarkan pada penyembahan | dalam | kerangka hubungan “I-it” hanya akan memerosotkan martabat ma | 84 % |
tersebut lebih tepat dipahami sebagai hubungan Allah-manusia | dalam | model “I-Thou”; bukan penyembahan, tetapi proses dialogal ya | 86 % |
da Tuhan tidak mempunyai makna apa-apa jika tidak diletakkan | dalam | kerangka manusia sebagai subyek yang bebas, dengan akal yang | 87 % |
leh mengingkarinya. Fakta-fakta ini begitu jelasnya tertuang | dalam | sumber utama ajaran Islam, Qur’an dan Hadis. Tetapi, proses- | 90 % |
n Islam, Qur’an dan Hadis. Tetapi, proses-proses kesejarahan | dalam | Islam sendiri telah mengubah agama itu menjadi agama hukum y | 90 % |
sesunggunya saya hendak menegaskan kembali dimensi kebebasan | dalam | Islam yang jangkarnya adalah “niat” atau dorongan-dorongan e | 94 % |
karnya adalah “niat” atau dorongan-dorongan emotif-subyektif | dalam | manusia itu sendiri. Dan sebaiknya kata liberal dalam “Islam | 95 % |
yektif dalam manusia itu sendiri. Dan sebaiknya kata liberal | dalam | “Islam liberal” dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata “l | 96 % |
i. Dan sebaiknya kata liberal dalam “Islam liberal” dipahami | dalam | kerangka semacam ini. Kata “liberal” di sini tidak ada sangk | 96 % |
sikap-sikap permisif yang melawan kecenderungan “intrinsik” | dalam | akal manusia itu sendiri. Dengan menekankan kembali dimensi | 97 % |
Agama, Akal, | dan | Kebebasan: Tentang Makna “Liberal” dalam Islam Liberal Seka | 0 % |
m, persoalan “batasan” (hadd) antara mana yang boleh (mubah) | dan | yang tak boleh (mahdzur), menempati kedudukan yang begitu se | 5 % |
ang kemudian melahirkan suatu bidang kajian yang sangat kaya | dan | meninggalkan ribuan literatur yang canggih, yaitu bidang fik | 7 % |
itu kewajiban seorang Muslim terhadap Allah, sesama manusia, | dan | dirinya sendiri. Bahasa kewajiban lebih menonjol, menutup ba | 11 % |
sendiri. Bahasa kewajiban lebih menonjol, menutup bahasa hak | dan | kebebasan manusia. Islam liberal muncul dalam semangat untuk | 11 % |
mangat untuk menyeimbangkan “neraca” antara bahasa kewajiban | dan | kebebasan/hak ini. Untuk itu, marilah kita masuki sebuah tem | 12 % |
tanyaan sederhana: apakah manusia bisa, dengan akal, intuisi | dan | fitrahnya, mencapai pemahaman yang mendalam mengenai kebaika | 14 % |
itrahnya, mencapai pemahaman yang mendalam mengenai kebaikan | dan | kejahatan? Apakah untuk mengetahui hal-hal itu, manusia haru | 15 % |
sudah mampu mencapai sendiri pemahaman mengenai “yang baik” | dan | “yang jahat”? Apakah manusia secara moral otonom dalam menge | 16 % |
Apakah manusia secara moral otonom dalam mengetahui kebaikan | dan | kejahatan, atau tergantung pada entitas di luar dirinya? | 17 % |
an Sunni yang dominan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan | dan | kejahatan itu haruslah ditentukan oleh agama. Manusia baru t | 19 % |
dengan akalnya sendiri dapat mengetahui batas-batas kebaikan | dan | kejahatan, batas-batas kepantasan. Sudah tentu, jika dikatak | 21 % |
ri hari pertama. Akal manusia berkembang, mengalami evolusi, | dan | akan makin matang. Saya lebih cenderung pada pandangan k | 23 % |
ap wahyu membawa suatu wawasan tertentu mengenai “yang baik” | dan | “yang jahat”. Wahyu dapat mengangkat derajat akal manusia ke | 25 % |
mengangkat derajat akal manusia ke tingkat yang lebih tinggi | dan | bermutu untuk dapat lebih memahami batas-batas. Tetapi, wahy | 26 % |
aat yang bersifat duniawi. Agar wahyu itu bisa pulih kembali | dan | memperoleh inegritasnya lagi sebagai sumber moralitas, maka | 28 % |
umber moralitas, maka diperlukan akal yang bertanggung jawab | dan | penuh integritas. Kita semua tahu, bahwa wahyu itu adalah la | 29 % |
laihin naas”. Dosa adalah sesuatu yang menimbulkan kekeruhan | dan | kekacauan di hatimu, dan kamu tak suka orang lain melihatmu | 33 % |
sesuatu yang menimbulkan kekeruhan dan kekacauan di hatimu, | dan | kamu tak suka orang lain melihatmu melakukannya. Hadis ini m | 33 % |
kan tidaklah akan menjadi tindakan yang “genuine” tanpa niat | dan | dorongan emotif yang sungguh-sungguh bertanggungjawab. Dalam | 38 % |
lain dikatakan, “niyyatul mu’min khairun min ‘amalihi”, niat | dan | dorongan emotif yang sifatnya subyektif lebih mulia dari tin | 39 % |
usia” sebagai dunia hobbesian yang kotor, brutal, sementara, | dan | licik, dan karena itu wahyu turun sebagai suatu “leviathan” | 44 % |
ai dunia hobbesian yang kotor, brutal, sementara, dan licik, | dan | karena itu wahyu turun sebagai suatu “leviathan” yang bengis | 44 % |
g diangkutnya. Wahyu tidak akan berguna bagi seekor keledai. | dan | tak ada gunanya mendakwahkan kedalaman dan kesempurnaan wahy | 52 % |
i seekor keledai. Dan tak ada gunanya mendakwahkan kedalaman | dan | kesempurnaan wahyu kepad keledai. Jika manusia telah dikoson | 53 % |
yu kepad keledai. Jika manusia telah dikosongkan dari motif, | dan | otonominya sebagai subyek moral telah disangkal, apakah yang | 53 % |
san semacam itu menyebabkan manusia memberontak kepada agama | dan | wahyu. Ada yang mengira bahwa dengan membatasi kebebasan itu | 57 % |
ntuk “menggali” dimensi-dimensi yang tersembunyi dalam wahyu | dan | kebenaran Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi jika tidak meng | 62 % |
tidak mengandaikan adanya manusia sebagai subyek yang bebas | dan | otonom. Orang-orang yang mengatakan bahwa dengan memberi | 63 % |
kari nilai kemanusiaan. Keledai selalu takut pada kebebasan, | dan | terus-menerus mencari majikan yang dapat menuntunnya. Sesung | 65 % |
mungkinkan karena adanya manusia-manusia yang berpikir bebas | dan | kemudian mampu menyingkapkan rahasia-rahasia terdalam dari w | 66 % |
atas ayat “wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun,” | dan | tidak Aku ciptakan manusia kecuali untuk menyembah-Ku. Ayat | 70 % |
yang sepihak, bukan proses dialogal yang hidup antara subyek | dan | subyek. Jika diletakkan dalam kerangka filsafat Martin Buber | 80 % |
r manusia, penyembahan adalah sebentuk hubungan antara Allah | dan | manusia sebagai hubungan “I-it”, “aku-dan-dia”. Allah, dalam | 81 % |
gka hubungan “I-it” hanya akan memerosotkan martabat manusia | dan | Allah itu sendiri. Arti ayat tersebut lebih tepat dipahami s | 85 % |
d tabayyanar rushdu minal ghayy”, telah jelas jalan kebaikan | dan | kesesatan. “Fa man sya’a fal yu’min wan man sya’a fal yakfur | 88 % |
al yakfur,” jika manusia mau, dia boleh mengimani jalan itu, | dan | jika mau, dia boleh mengingkarinya. Fakta-fakta ini begitu j | 89 % |
tu jelasnya tertuang dalam sumber utama ajaran Islam, Qur’an | dan | Hadis. Tetapi, proses-proses kesejarahan dalam Islam sendiri | 90 % |
simpulan yang hendak saya tuju dari ulasan yang agak “ruwet” | dan | panjang ini adalah bahwa dengan membubuhkan kata “liberal” p | 93 % |
orongan-dorongan emotif-subyektif dalam manusia itu sendiri. | dan | sebaiknya kata liberal dalam “Islam liberal” dipahami dalam | 95 % |
endiri. Dengan menekankan kembali dimensi kebebasan manusia, | dan | menempatkan manusia pada fokus penghayatan keagamaan, maka k | 98 % |
agamaan, maka kita telah memulihkan kembali integritas wahyu | dan | Islam itu sendiri. Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi | 99 % |
’tazilah yang memandang bahwa manusia dengan akalnya sendiri | dapat | mengetahui batas-batas kebaikan dan kejahatan, batas-batas k | 20 % |
s kepantasan. Sudah tentu, jika dikatakan bahwa akal manusia | dapat | menentukan batas-batas tersebut, tidak berarti bahwa seluruh | 21 % |
awasan tertentu mengenai “yang baik” dan “yang jahat”. Wahyu | dapat | mengangkat derajat akal manusia ke tingkat yang lebih tinggi | 25 % |
akal manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan bermutu untuk | dapat | lebih memahami batas-batas. Tetapi, wahyu bisa memerosotkan | 26 % |
rena cakrawala wahyu yang terbentang luas itu, maka siapapun | dapat | mengatakan sesuatu atas nama wahyu. Garansi bahwa wahyu dapa | 31 % |
apat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. Garansi bahwa wahyu | dapat | dipahami dengan tepat adalah integritas akal manusia itu sen | 31 % |
takut pada kebebasan, dan terus-menerus mencari majikan yang | dapat | menuntunnya. Sesungguhnya Islam tidak membutuhkan orang-oran | 65 % |
ahami dalam kerangka populer yang cenderung anti-humanistik, | dapat | berarti bahwa agama itu tidak lain adalah penundukan manusia | 71 % |
untuk mengetahui hal-hal itu, manusia harus menungguh wahyu | dari | “langit”? Apakah gunanya agama, jika toh manusia sudah mampu | 15 % |
tindakan ini jahat atau baik setelah mendapatkan pengajaran | dari | agama. Golongan kedua adalah Mu’tazilah yang memandang bahwa | 20 % |
ak berarti bahwa seluruh batas itu sudah diketahui oleh akal | dari | hari pertama. Akal manusia berkembang, mengalami evolusi, da | 22 % |
turan obyektif yang bisa begitu saja didesakkan secara paksa | dari | luar. Itulah sebabnya, sebuah hadis mengatakan “innamal a’ma | 36 % |
niat dan dorongan emotif yang sifatnya subyektif lebih mulia | dari | tindakan. Wilayah niat ada dalam wilayah subyektivitas manus | 39 % |
a, tidaklah bermakna dalam kerangka beragama jika dilepaskan | dari | motif subyektif manusia. Saya tidak melihat suatu ide ap | 41 % |
rapkali ditempatkan sebagai “barang” yang sama sekali kosong | dari | suatu motif yang bebas. Inilah proses vulgarisasi Islam seba | 47 % |
ara. Keledai tak akan pernah bisa mendapatkan manfaat apapun | dari | barang-barang yang diangkutnya. Wahyu tidak akan berguna bag | 52 % |
mpurnaan wahyu kepad keledai. Jika manusia telah dikosongkan | dari | motif, dan otonominya sebagai subyek moral telah disangkal, | 53 % |
ya sebagai subyek moral telah disangkal, apakah yang tersisa | dari | manusia semacam itu selain “jasad” yang pasif. Nabi pernah b | 54 % |
manusia dibatasi, maka dimensi-dimensi terdalam yang subtil | dari | wahyu akan sulit diungkapkan oleh manusia. Sebab, untuk mema | 59 % |
ebasan, anda telah menjerumuska manusia ke jurang kesesatan, | dari | menit pertama mereka itu sudah mengingkari nilai kemanusiaan | 64 % |
as dan kemudian mampu menyingkapkan rahasia-rahasia terdalam | dari | wahyu. Ibadah sebagai “I-Thou” Tujuan pokok dari ag | 67 % |
am dari wahyu. Ibadah sebagai “I-Thou” Tujuan pokok | dari | agama adalah mengangkat martabat kemanusiaan. Wahyu adalah s | 67 % |
ok manusia adalah “menyembah” Tuhan. Pandangan ini bersumber | dari | pemahaman yang salah atas ayat “wa ma khalaqtul jinna wal in | 70 % |
itegakkan atas paksaan. Kesimpulan yang hendak saya tuju | dari | ulasan yang agak “ruwet” dan panjang ini adalah bahwa dengan | 93 % |
ebebasan/hak ini. Untuk itu, marilah kita masuki sebuah tema | dasar | yang menjadi debat dalam pemikiran Islam klasik: soal tindak | 13 % |
ntuk itu, marilah kita masuki sebuah tema dasar yang menjadi | debat | dalam pemikiran Islam klasik: soal tindakan manusia (af’alul | 13 % |
mpunyai makna kebebasan tanpa batas, atau bahkan disetarakan | dengan | sikap permisif, ibahiyah; sikap menolerir setiap hal tanpa m | 3 % |
sikap menolerir setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti. | dengan | cara pandang semacam itu, Islam liberal dipandang sebagai an | 4 % |
(af’alul ‘ibad). Otonom atau tidak? Marilah kita mulai | dengan | pertanyaan sederhana: apakah manusia bisa, dengan akal, intu | 14 % |
kita mulai dengan pertanyaan sederhana: apakah manusia bisa, | dengan | akal, intuisi dan fitrahnya, mencapai pemahaman yang mendala | 14 % |
nah pemikiran Islam klasik. Ada golongan Sunni yang dominan, | dengan | pandangan pokok bahwa kebaikan dan kejahatan itu haruslah di | 18 % |
olongan kedua adalah Mu’tazilah yang memandang bahwa manusia | dengan | akalnya sendiri dapat mengetahui batas-batas kebaikan dan ke | 20 % |
pandangan kaum Mu’tazilah. Tetapi, harap lah disadari bahwa | dengan | menerima pendapat Mu’tazilah, bukan berarti saya menepiskan | 24 % |
sesuatu atas nama wahyu. Garansi bahwa wahyu dapat dipahami | dengan | tepat adalah integritas akal manusia itu sendiri. Salah | 31 % |
a memberontak kepada agama dan wahyu. Ada yang mengira bahwa | dengan | membatasi kebebasan itu, mereka telah melindungi wahyu. Ini | 57 % |
yang bebas dan otonom. Orang-orang yang mengatakan bahwa | dengan | memberikan kebebasan, anda telah menjerumuska manusia ke jur | 63 % |
Pandangan mengenai manusia sebagai Prometheus yang berseteru | dengan | Tuhan hanyalah ada dalam mitos Yunani kuno. Saya melihat, pa | 74 % |
dak Tuhan. Ini jelas suatu citraan manusia yang tidak sesuai | dengan | semangat Islam. Saya kurang setuju dengan penerjemahan kata | 76 % |
yang tidak sesuai dengan semangat Islam. Saya kurang setuju | dengan | penerjemahan kata “ibadah” sebagai penyembahan, atau “worshi | 77 % |
dol”. Saya berpandangan bahwa seharusnya manusia berhubungan | dengan | Allah bukan dengan cara seperti itu. Hubungan yang tepat ant | 83 % |
ngan bahwa seharusnya manusia berhubungan dengan Allah bukan | dengan | cara seperti itu. Hubungan yang tepat antara manusia dengan | 83 % |
dengan cara seperti itu. Hubungan yang tepat antara manusia | dengan | Allah adalah hubungan dalam kerangka “I-Thou”, aku-Engkau. A | 84 % |
diletakkan dalam kerangka manusia sebagai subyek yang bebas, | dengan | akal yang bekerja secara leluasa. Qur’an mengatakan, “qad ta | 87 % |
a itu menjadi agama hukum yang dilandaskan kepada pemaksaan, | dengan | lebih banyak menekankan bahasa kewajiban. Tidak ada yang leb | 91 % |
u dari ulasan yang agak “ruwet” dan panjang ini adalah bahwa | dengan | membubuhkan kata “liberal” pada Islam, sesunggunya saya hend | 94 % |
emacam ini. Kata “liberal” di sini tidak ada sangkut pautnya | dengan | kebebasan tanpa batas, dengan sikap-sikap permisif yang mela | 96 % |
sini tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, | dengan | sikap-sikap permisif yang melawan kecenderungan “intrinsik” | 97 % |
an kecenderungan “intrinsik” dalam akal manusia itu sendiri. | dengan | menekankan kembali dimensi kebebasan manusia, dan menempatka | 97 % |
engenai “yang baik” dan “yang jahat”. Wahyu dapat mengangkat | derajat | akal manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan bermutu untuk | 26 % |
getahui kebaikan dan kejahatan, atau tergantung pada entitas | di | luar dirinya? Dalam masalah ini, ada dua jawaban yang te | 17 % |
Dosa adalah sesuatu yang menimbulkan kekeruhan dan kekacauan | di | hatimu, dan kamu tak suka orang lain melihatmu melakukannya. | 33 % |
manusia. Saya tidak melihat suatu ide apapun dalam Islam | di | mana manusia ditempatkan sebagai obyek moral yang pasif. Aka | 41 % |
h” yang memenuhi tugas ketuhanan untuk memperbaiki kehidupan | di | bumi. Pandangan-pandangan keislaman populer kerapkali mengga | 46 % |
an akal manusia yang matang. Sebuah hadis qudsi yang populer | di | kalangan sufi menyatakan, “Aku (Allah) adalah ‘kanzun makhfi | 60 % |
Yunani kuno. Saya melihat, pandangan populer yang berkembang | di | kalangan umat Islam mengenai ayat tersebut cenderung kepada | 75 % |
liberal” dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata “liberal” | di | sini tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, | 96 % |
gitu sentral. Setiap orang Islam selalu peduli pada apa yang | dia | kerjakan, apakah pebuatan itu boleh atau tidak. Inilah yang | 6 % |
ya’a fal yu’min wan man sya’a fal yakfur,” jika manusia mau, | dia | boleh mengimani jalan itu, dan jika mau, dia boleh mengingka | 89 % |
ka manusia mau, dia boleh mengimani jalan itu, dan jika mau, | dia | boleh mengingkarinya. Fakta-fakta ini begitu jelasnya tertua | 89 % |
nyembahan selalu merupakan proses yang sepihak, bukan proses | dialogal | yang hidup antara subyek dan subyek. Jika diletakkan dalam k | 79 % |
nusia dalam model “I-Thou”; bukan penyembahan, tetapi proses | dialogal | yang kreatif. Penyembahan pada Tuhan tidak mempunyai mak | 86 % |
la wahyu itu mengalami “vulgarisasi”, yaitu wahyu yang telah | dibajak | oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang bersifat duniawi. A | 27 % |
Dalam diskusi-diskusi itu, kelihatan sekali bahwa tekanan | diberikan | kepada “kewajiban”, yaitu kewajiban seorang Muslim terhadap | 10 % |
is ini memberikan suatu penegasan yang penting bahwa manusia | diciptakan | untuk “menggali” dimensi-dimensi yang tersembunyi dalam wahy | 61 % |
lah hubungan dalam kerangka “I-Thou”, aku-Engkau. Agama yang | didasarkan | pada penyembahan dalam kerangka hubungan “I-it” hanya akan m | 84 % |
ribadi; agama bukanlah aturan obyektif yang bisa begitu saja | didesakkan | secara paksa dari luar. Itulah sebabnya, sebuah hadis mengat | 36 % |
n”. Allah yang disembah adalah Allah yang diberhalakan, yang | di-fiksasi | dalam gambaran yang tetap seperti sebuah “idol”. Saya berpan | 82 % |
kan dan kejahatan, batas-batas kepantasan. Sudah tentu, jika | dikatakan | bahwa akal manusia dapat menentukan batas-batas tersebut, ti | 21 % |
-batas tersebut, tidak berarti bahwa seluruh batas itu sudah | diketahui | oleh akal dari hari pertama. Akal manusia berkembang, mengal | 22 % |
man dan kesempurnaan wahyu kepad keledai. Jika manusia telah | dikosongkan | dari motif, dan otonominya sebagai subyek moral telah disang | 53 % |
am sendiri telah mengubah agama itu menjadi agama hukum yang | dilandaskan | kepada pemaksaan, dengan lebih banyak menekankan bahasa kewa | 91 % |
n oleh agama, tidaklah bermakna dalam kerangka beragama jika | dilepaskan | dari motif subyektif manusia. Saya tidak melihat suatu i | 41 % |
an proses dialogal yang hidup antara subyek dan subyek. Jika | diletakkan | dalam kerangka filsafat Martin Buber mengenai relasi antar m | 80 % |
yembahan pada Tuhan tidak mempunyai makna apa-apa jika tidak | diletakkan | dalam kerangka manusia sebagai subyek yang bebas, dengan aka | 87 % |
eral” pada Islam, sesunggunya saya hendak menegaskan kembali | dimensi | kebebasan dalam Islam yang jangkarnya adalah “niat” atau dor | 94 % |
k” dalam akal manusia itu sendiri. Dengan menekankan kembali | dimensi | kebebasan manusia, dan menempatkan manusia pada fokus pengha | 98 % |
n yang salah. Sebab, begitu kebebasan manusia dibatasi, maka | dimensi-dimensi | terdalam yang subtil dari wahyu akan sulit diungkapkan oleh | 58 % |
gasan yang penting bahwa manusia diciptakan untuk “menggali” | dimensi-dimensi | yang tersembunyi dalam wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu ta | 62 % |
kan orang-orang semacam itu. Kecemerlangan Islam justru akan | dimungkinkan | karena adanya manusia-manusia yang berpikir bebas dan kemudi | 66 % |
ad” yang pasif. Nabi pernah bersaba, “ad dinu huwal ‘aql, la | dina | liman la ‘aqla lahu”, agama adalah akal, tidak ada agama bag | 55 % |
acam itu selain “jasad” yang pasif. Nabi pernah bersaba, “ad | dinu | huwal ‘aql, la dina liman la ‘aqla lahu”, agama adalah akal, | 54 % |
engatakan sesuatu atas nama wahyu. Garansi bahwa wahyu dapat | dipahami | dengan tepat adalah integritas akal manusia itu sendiri. | 31 % |
ciptakan manusia kecuali untuk menyembah-Ku. Ayat ini, jika | dipahami | dalam kerangka populer yang cenderung anti-humanistik, dapat | 71 % |
anusia dan Allah itu sendiri. Arti ayat tersebut lebih tepat | dipahami | sebagai hubungan Allah-manusia dalam model “I-Thou”; bukan p | 85 % |
tu sendiri. Dan sebaiknya kata liberal dalam “Islam liberal” | dipahami | dalam kerangka semacam ini. Kata “liberal” di sini tidak ada | 96 % |
s yang pasti. Dengan cara pandang semacam itu, Islam liberal | dipandang | sebagai ancaman terhadap keberagamaan yang sudah terlembaga. | 4 % |
memperoleh inegritasnya lagi sebagai sumber moralitas, maka | diperlukan | akal yang bertanggung jawab dan penuh integritas. Kita semua | 28 % |
pkan oleh manusia. Sebab, untuk memahami kompleksitas wahyu, | diperlukan | akal manusia yang matang. Sebuah hadis qudsi yang populer di | 59 % |
lah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah | diperuntukkan | bagi keledai. Oleh: Ulil Abshar-Abdalla Ada kesan yang t | 1 % |
lah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah | diperuntukkan | bagi keledai. | 100 % |
situasi yang sudah “vulgar” semacam itu, yang pertama perlu | direstorasi | adalah martabat manusia itu sendiri. Jika manusia sebagai su | 49 % |
kewajiban seorang Muslim terhadap Allah, sesama manusia, dan | dirinya | sendiri. Bahasa kewajiban lebih menonjol, menutup bahasa hak | 11 % |
kewajiban seorang Muslim terhadap Allah, sesama manusia, dan | dirinya | sendiri. Bahasa kewajiban lebih menonjol, menutup bahasa hak | 11 % |
cenderung pada pandangan kaum Mu’tazilah. Tetapi, harap lah | disadari | bahwa dengan menerima pendapat Mu’tazilah, bukan berarti say | 23 % |
ngka penyembahan semacam itu, telah “dibendakan”. Allah yang | disembah | adalah Allah yang diberhalakan, yang di-fiksasi dalam gambar | 82 % |
m liberal mempunyai makna kebebasan tanpa batas, atau bahkan | disetarakan | dengan sikap permisif, ibahiyah; sikap menolerir setiap hal | 3 % |
tentang hukum selalu rujukannya adalah fikih. Ketika muncul | diskusi | yang ramai soal penerapan hukum Islam, maka fikih menjadi fo | 8 % |
m fikih lah sebagian besar hukum Islam dirumuskan. Dalam | diskusi-diskusi | itu, kelihatan sekali bahwa tekanan diberikan kepada “kewaji | 10 % |
itu, kebebasan manusia adalah perkara prinsip yang tak bisa | ditawar-tawar | lagi. Banyak orang mengira bahwa kebebasan semacam itu menye | 56 % |
ter agama itu sebagai agama fitrah, menjadi agama hukum yang | ditegakkan | atas paksaan. Kesimpulan yang hendak saya tuju dari ulas | 93 % |
a tidak melihat suatu ide apapun dalam Islam di mana manusia | ditempatkan | sebagai obyek moral yang pasif. Akal manusia merupakan parti | 42 % |
itu. Manusia, dalam pandangan populer semacam itu, kerapkali | ditempatkan | sebagai “barang” yang sama sekali kosong dari suatu motif ya | 47 % |
an pandangan pokok bahwa kebaikan dan kejahatan itu haruslah | ditentukan | oleh agama. Manusia baru tahu bahwa tindakan ini jahat atau | 19 % |
unyai ciri-ciri kebebasan. Jadi, aturan-aturan obyektif yang | ditetapkan | oleh agama, tidaklah bermakna dalam kerangka beragama jika d | 40 % |
nusia. Manusia seolah-olah ancaman bagi Tuhan sehingga harus | ditundukkan | kepada kehendak-Nya. Tidak ada pemahaman yang lebih kotor me | 72 % |
ng bebas. Inilah proses vulgarisasi Islam sebagaimana pernah | ditunjuk | oleh Prof. Khaled Abou El Fadl. Dalam situasi yang sudah | 48 % |
a dimensi-dimensi terdalam yang subtil dari wahyu akan sulit | diungkapkan | oleh manusia. Sebab, untuk memahami kompleksitas wahyu, dipe | 59 % |
tidaklah akan menjadi tindakan yang “genuine” tanpa niat dan | dorongan | emotif yang sungguh-sungguh bertanggungjawab. Dalam hadis la | 38 % |
dikatakan, “niyyatul mu’min khairun min ‘amalihi”, niat dan | dorongan | emotif yang sifatnya subyektif lebih mulia dari tindakan. Wi | 39 % |
nsi kebebasan dalam Islam yang jangkarnya adalah “niat” atau | dorongan-dorongan | emotif-subyektif dalam manusia itu sendiri. Dan sebaiknya ka | 95 % |
a haka fi nafsika wa karihta an yath-thali’a ‘alaihin naas”. | dosa | adalah sesuatu yang menimbulkan kekeruhan dan kekacauan di h | 33 % |
ung pada entitas di luar dirinya? Dalam masalah ini, ada | dua | jawaban yang tersedia dalam khazanah pemikiran Islam klasik. | 18 % |
ahyu dalam pandangan Islam memandang “dunia manusia” sebagai | dunia | hobbesian yang kotor, brutal, sementara, dan licik, dan kare | 44 % |
asi Islam sebagaimana pernah ditunjuk oleh Prof. Khaled Abou | el | Fadl. Dalam situasi yang sudah “vulgar” semacam itu, yan | 48 % |
akan menjadi tindakan yang “genuine” tanpa niat dan dorongan | emotif | yang sungguh-sungguh bertanggungjawab. Dalam hadis lain dika | 38 % |
n, “niyyatul mu’min khairun min ‘amalihi”, niat dan dorongan | emotif | yang sifatnya subyektif lebih mulia dari tindakan. Wilayah n | 39 % |
m Islam yang jangkarnya adalah “niat” atau dorongan-dorongan | emotif-subyektif | dalam manusia itu sendiri. Dan sebaiknya kata liberal dalam | 95 % |
alam mengetahui kebaikan dan kejahatan, atau tergantung pada | entitas | di luar dirinya? Dalam masalah ini, ada dua jawaban yang | 17 % |
mengimani jalan itu, dan jika mau, dia boleh mengingkarinya. | fakta-fakta | ini begitu jelasnya tertuang dalam sumber utama ajaran Islam | 89 % |
yy”, telah jelas jalan kebaikan dan kesesatan. “Fa man sya’a | fal | yu’min wan man sya’a fal yakfur,” jika manusia mau, dia bole | 88 % |
baikan dan kesesatan. “Fa man sya’a fal yu’min wan man sya’a | fal | yakfur,” jika manusia mau, dia boleh mengimani jalan itu, da | 89 % |
iri. Salah satu hadis Nabi mengatakan, “al itsmu ma haka | fi | nafsika wa karihta an yath-thali’a ‘alaihin naas”. Dosa adal | 32 % |
a muncul diskusi yang ramai soal penerapan hukum Islam, maka | fikih | menjadi fokus perhatian, sebab dalam fikih lah sebagian besa | 9 % |
hukum Islam, maka fikih menjadi fokus perhatian, sebab dalam | fikih | lah sebagian besar hukum Islam dirumuskan. Dalam diskusi | 9 % |
dup antara subyek dan subyek. Jika diletakkan dalam kerangka | filsafat | Martin Buber mengenai relasi antar manusia, penyembahan adal | 80 % |
si yang ramai soal penerapan hukum Islam, maka fikih menjadi | fokus | perhatian, sebab dalam fikih lah sebagian besar hukum Islam | 9 % |
at kemanusiaan. Wahyu adalah sarana saja menuju ke arah itu. | fokus | pertama dalam agama adalah manusia itu sendiri, bukan semata | 68 % |
bali dimensi kebebasan manusia, dan menempatkan manusia pada | fokus | penghayatan keagamaan, maka kita telah memulihkan kembali in | 98 % |
sembah adalah Allah yang diberhalakan, yang di-fiksasi dalam | gambaran | yang tetap seperti sebuah “idol”. Saya berpandangan bahwa se | 82 % |
itu, maka siapapun dapat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. | garansi | bahwa wahyu dapat dipahami dengan tepat adalah integritas ak | 31 % |
ban yang tersedia dalam khazanah pemikiran Islam klasik. Ada | golongan | Sunni yang dominan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan da | 18 % |
i jahat atau baik setelah mendapatkan pengajaran dari agama. | golongan | kedua adalah Mu’tazilah yang memandang bahwa manusia dengan | 20 % |
hal itu, manusia harus menungguh wahyu dari “langit”? Apakah | gunanya | agama, jika toh manusia sudah mampu mencapai sendiri pemaham | 16 % |
moral yang bebas sudah tidak lagi ada atau disangkal, apakah | gunanya | sebuah agama? Qur’an berkali-kali menyindir orang Yahudi seb | 50 % |
a. Wahyu tidak akan berguna bagi seekor keledai. Dan tak ada | gunanya | mendakwahkan kedalaman dan kesempurnaan wahyu kepad keledai. | 52 % |
t adalah integritas akal manusia itu sendiri. Salah satu | hadis | Nabi mengatakan, “al itsmu ma haka fi nafsika wa karihta an | 32 % |
hatimu, dan kamu tak suka orang lain melihatmu melakukannya. | hadis | ini memberikan tekanan yang tegas kepada kemampuan manusia, | 34 % |
a didesakkan secara paksa dari luar. Itulah sebabnya, sebuah | hadis | mengatakan “innamal a’malu bin niyyaat”, sesungguhnya segala | 37 % |
dorongan emotif yang sungguh-sungguh bertanggungjawab. Dalam | hadis | lain dikatakan, “niyyatul mu’min khairun min ‘amalihi”, niat | 38 % |
pleksitas wahyu, diperlukan akal manusia yang matang. Sebuah | hadis | qudsi yang populer di kalangan sufi menyatakan, “Aku (Allah) | 60 % |
ersembunyi. Aku ingin diketahui, maka Aku ciptakan manusia.” | hadis | ini memberikan suatu penegasan yang penting bahwa manusia di | 61 % |
nya sendiri. Bahasa kewajiban lebih menonjol, menutup bahasa | hak | dan kebebasan manusia. Islam liberal muncul dalam semangat u | 11 % |
sendiri. Salah satu hadis Nabi mengatakan, “al itsmu ma | haka | fi nafsika wa karihta an yath-thali’a ‘alaihin naas”. Dosa a | 32 % |
kehendak-Nya. Tidak ada pemahaman yang lebih kotor mengenai | hakikat | ketuhanan kecuali pemahaman seperti ini. Pandangan mengenai | 73 % |
akan dengan sikap permisif, ibahiyah; sikap menolerir setiap | hal | tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan cara pandang semacam | 4 % |
si-dimensi yang tersembunyi dalam wahyu dan kebenaran Tuhan. | hal | itu tak mungkin terjadi jika tidak mengandaikan adanya manus | 62 % |
lam mengenai kebaikan dan kejahatan? Apakah untuk mengetahui | hal-hal | itu, manusia harus menungguh wahyu dari “langit”? Apakah gun | 15 % |
itu adalah laksana horison atau cakrawala yang tak berbatas. | hampir | mustahil bagi akal manusia yang terbatas untuk menjangkau se | 30 % |
g didasarkan pada penyembahan dalam kerangka hubungan “I-it” | hanya | akan memerosotkan martabat manusia dan Allah itu sendiri. Ar | 85 % |
genai manusia sebagai Prometheus yang berseteru dengan Tuhan | hanyalah | ada dalam mitos Yunani kuno. Saya melihat, pandangan populer | 74 % |
Saya lebih cenderung pada pandangan kaum Mu’tazilah. Tetapi, | harap | lah disadari bahwa dengan menerima pendapat Mu’tazilah, buka | 23 % |
rarti bahwa seluruh batas itu sudah diketahui oleh akal dari | hari | pertama. Akal manusia berkembang, mengalami evolusi, dan aka | 22 % |
ngan sufi menyatakan, “Aku (Allah) adalah ‘kanzun makhfiyy’, | harta | karun yang tersembunyi. Aku ingin diketahui, maka Aku ciptak | 60 % |
dan kejahatan? Apakah untuk mengetahui hal-hal itu, manusia | harus | menungguh wahyu dari “langit”? Apakah gunanya agama, jika to | 15 % |
kan manusia. Manusia seolah-olah ancaman bagi Tuhan sehingga | harus | ditundukkan kepada kehendak-Nya. Tidak ada pemahaman yang le | 72 % |
nan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan dan kejahatan itu | haruslah | ditentukan oleh agama. Manusia baru tahu bahwa tindakan ini | 19 % |
encapai pemahaman yang benar mengenai dosa. Kenapa demikian? | haruslah | diketahui, bahwa agama pada menit pertama adalah merupakan s | 35 % |
gama hukum yang ditegakkan atas paksaan. Kesimpulan yang | hendak | saya tuju dari ulasan yang agak “ruwet” dan panjang ini adal | 93 % |
ngan membubuhkan kata “liberal” pada Islam, sesunggunya saya | hendak | menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang jangka | 94 % |
lu merupakan proses yang sepihak, bukan proses dialogal yang | hidup | antara subyek dan subyek. Jika diletakkan dalam kerangka fil | 79 % |
alam pandangan Islam memandang “dunia manusia” sebagai dunia | hobbesian | yang kotor, brutal, sementara, dan licik, dan karena itu wah | 44 % |
integritas. Kita semua tahu, bahwa wahyu itu adalah laksana | horison | atau cakrawala yang tak berbatas. Hampir mustahil bagi akal | 29 % |
hil bagi akal manusia yang terbatas untuk menjangkau seluruh | horison | wahyu. Karena cakrawala wahyu yang terbentang luas itu, maka | 30 % |
r mengenai relasi antar manusia, penyembahan adalah sebentuk | hubungan | antara Allah dan manusia sebagai hubungan “I-it”, “aku-dan-d | 81 % |
an adalah sebentuk hubungan antara Allah dan manusia sebagai | hubungan | “I-it”, “aku-dan-dia”. Allah, dalam kerangka penyembahan sem | 81 % |
usia berhubungan dengan Allah bukan dengan cara seperti itu. | hubungan | yang tepat antara manusia dengan Allah adalah hubungan dalam | 83 % |
itu. Hubungan yang tepat antara manusia dengan Allah adalah | hubungan | dalam kerangka “I-Thou”, aku-Engkau. Agama yang didasarkan p | 84 % |
ngkau. Agama yang didasarkan pada penyembahan dalam kerangka | hubungan | “I-it” hanya akan memerosotkan martabat manusia dan Allah it | 84 % |
itu sendiri. Arti ayat tersebut lebih tepat dipahami sebagai | hubungan | Allah-manusia dalam model “I-Thou”; bukan penyembahan, tetap | 85 % |
yang canggih, yaitu bidang fikih. Setiap pembicaraan tentang | hukum | selalu rujukannya adalah fikih. Ketika muncul diskusi yang r | 8 % |
dalah fikih. Ketika muncul diskusi yang ramai soal penerapan | hukum | Islam, maka fikih menjadi fokus perhatian, sebab dalam fikih | 9 % |
enjadi fokus perhatian, sebab dalam fikih lah sebagian besar | hukum | Islam dirumuskan. Dalam diskusi-diskusi itu, kelihatan s | 9 % |
n dalam Islam sendiri telah mengubah agama itu menjadi agama | hukum | yang dilandaskan kepada pemaksaan, dengan lebih banyak menek | 91 % |
gubah karakter agama itu sebagai agama fitrah, menjadi agama | hukum | yang ditegakkan atas paksaan. Kesimpulan yang hendak say | 93 % |
ledai yang mengangkut berjilid-jilid kitab”, matsalulladzina | hummilut | Taurata kamatsalil khimari yahmilu asfaara. Keledai tak akan | 51 % |
itu selain “jasad” yang pasif. Nabi pernah bersaba, “ad dinu | huwal | ‘aql, la dina liman la ‘aqla lahu”, agama adalah akal, tidak | 55 % |
ian mampu menyingkapkan rahasia-rahasia terdalam dari wahyu. | ibadah | sebagai “I-Thou” Tujuan pokok dari agama adalah mengangka | 67 % |
tanpa batas, atau bahkan disetarakan dengan sikap permisif, | ibahiyah; | sikap menolerir setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti. | 3 % |
n dari motif subyektif manusia. Saya tidak melihat suatu | ide | apapun dalam Islam di mana manusia ditempatkan sebagai obyek | 41 % |
kal manusia merupakan partisipan yang aktif dalam menafsiran | ide-ide | ketuhanan yang terkandung dalam wahyu. Saya tidak pernah mem | 42 % |
mahaman yang salah atas ayat “wa ma khalaqtul jinna wal insa | illa | liya’budun,” dan tidak Aku ciptakan manusia kecuali untuk me | 70 % |
at duniawi. Agar wahyu itu bisa pulih kembali dan memperoleh | inegritasnya | lagi sebagai sumber moralitas, maka diperlukan akal yang ber | 28 % |
adalah ‘kanzun makhfiyy’, harta karun yang tersembunyi. Aku | ingin | diketahui, maka Aku ciptakan manusia.” Hadis ini memberikan | 61 % |
slah ditentukan oleh agama. Manusia baru tahu bahwa tindakan | ini | jahat atau baik setelah mendapatkan pengajaran dari agama. G | 19 % |
, dan kamu tak suka orang lain melihatmu melakukannya. Hadis | ini | memberikan tekanan yang tegas kepada kemampuan manusia, berd | 34 % |
ngan membatasi kebebasan itu, mereka telah melindungi wahyu. | ini | jelas pandangan yang salah. Sebab, begitu kebebasan manusia | 58 % |
unyi. Aku ingin diketahui, maka Aku ciptakan manusia.” Hadis | ini | memberikan suatu penegasan yang penting bahwa manusia dicipt | 61 % |
ahwa tugas pokok manusia adalah “menyembah” Tuhan. Pandangan | ini | bersumber dari pemahaman yang salah atas ayat “wa ma khalaqt | 70 % |
ersi Islam adalah Prometheus yang kalah oleh kehendak Tuhan. | ini | jelas suatu citraan manusia yang tidak sesuai dengan semanga | 76 % |
lan itu, dan jika mau, dia boleh mengingkarinya. Fakta-fakta | ini | begitu jelasnya tertuang dalam sumber utama ajaran Islam, Qu | 90 % |
g hendak saya tuju dari ulasan yang agak “ruwet” dan panjang | ini | adalah bahwa dengan membubuhkan kata “liberal” pada Islam, s | 94 % |
apa yang dia kerjakan, apakah pebuatan itu boleh atau tidak. | inilah | yang kemudian melahirkan suatu bidang kajian yang sangat kay | 7 % |
barang” yang sama sekali kosong dari suatu motif yang bebas. | inilah | proses vulgarisasi Islam sebagaimana pernah ditunjuk oleh Pr | 47 % |
ri pemahaman yang salah atas ayat “wa ma khalaqtul jinna wal | insa | illa liya’budun,” dan tidak Aku ciptakan manusia kecuali unt | 70 % |
ahyu. Garansi bahwa wahyu dapat dipahami dengan tepat adalah | integritas | akal manusia itu sendiri. Salah satu hadis Nabi mengatak | 32 % |
us penghayatan keagamaan, maka kita telah memulihkan kembali | integritas | wahyu dan Islam itu sendiri. Sekali lagi, Islam tidak be | 99 % |
ngan pertanyaan sederhana: apakah manusia bisa, dengan akal, | intuisi | dan fitrahnya, mencapai pemahaman yang mendalam mengenai keb | 14 % |
Agama, Akal, dan Kebebasan: Tentang Makna “Liberal” dalam | islam | Liberal Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang y | 0 % |
n: Tentang Makna “Liberal” dalam Islam Liberal Sekali lagi, | islam | tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanus | 1 % |
tertanam dalam sebagian orang, bahwa istilah “liberal” dalam | islam | liberal mempunyai makna kebebasan tanpa batas, atau bahkan d | 3 % |
mengenal batas yang pasti. Dengan cara pandang semacam itu, | islam | liberal dipandang sebagai ancaman terhadap keberagamaan yang | 4 % |
dzur), menempati kedudukan yang begitu sentral. Setiap orang | islam | selalu peduli pada apa yang dia kerjakan, apakah pebuatan it | 6 % |
fokus perhatian, sebab dalam fikih lah sebagian besar hukum | islam | dirumuskan. Dalam diskusi-diskusi itu, kelihatan sekali | 9 % |
an lebih menonjol, menutup bahasa hak dan kebebasan manusia. | islam | liberal muncul dalam semangat untuk menyeimbangkan “neraca” | 11 % |
masuki sebuah tema dasar yang menjadi debat dalam pemikiran | islam | klasik: soal tindakan manusia (af’alul ‘ibad). Otonom ata | 13 % |
ini, ada dua jawaban yang tersedia dalam khazanah pemikiran | islam | klasik. Ada golongan Sunni yang dominan, dengan pandangan po | 18 % |
ektif manusia. Saya tidak melihat suatu ide apapun dalam | islam | di mana manusia ditempatkan sebagai obyek moral yang pasif. | 41 % |
. Saya tidak pernah membayangkan bahwa wahyu dalam pandangan | islam | memandang “dunia manusia” sebagai dunia hobbesian yang kotor | 43 % |
arena itu wahyu turun sebagai suatu “leviathan” yang bengis. | islam | meletakkan manusia dalam posisi yang penuh martabat, sebagai | 44 % |
osong dari suatu motif yang bebas. Inilah proses vulgarisasi | islam | sebagaimana pernah ditunjuk oleh Prof. Khaled Abou El Fadl. | 48 % |
menerus mencari majikan yang dapat menuntunnya. Sesungguhnya | islam | tidak membutuhkan orang-orang semacam itu. Kecemerlangan Isl | 65 % |
lam tidak membutuhkan orang-orang semacam itu. Kecemerlangan | islam | justru akan dimungkinkan karena adanya manusia-manusia yang | 66 % |
melihat, pandangan populer yang berkembang di kalangan umat | islam | mengenai ayat tersebut cenderung kepada suatu citra manusia | 75 % |
citra manusia sebagai Prometheus. Bedanya, Prometheus versi | islam | adalah Prometheus yang kalah oleh kehendak Tuhan. Ini jelas | 76 % |
m, Qur’an dan Hadis. Tetapi, proses-proses kesejarahan dalam | islam | sendiri telah mengubah agama itu menjadi agama hukum yang di | 90 % |
kankan bahasa kewajiban. Tidak ada yang lebih berbahaya bagi | islam | kecuali pandangan yang mencoba mengubah karakter agama itu s | 92 % |
gunya saya hendak menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam | islam | yang jangkarnya adalah “niat” atau dorongan-dorongan emotif- | 95 % |
aan, maka kita telah memulihkan kembali integritas wahyu dan | islam | itu sendiri. Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang | 99 % |
ali integritas wahyu dan Islam itu sendiri. Sekali lagi, | islam | tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanus | 99 % |
Abdalla Ada kesan yang tertanam dalam sebagian orang, bahwa | istilah | “liberal” dalam Islam liberal mempunyai makna kebebasan tanp | 2 % |
nusia itu sendiri. Salah satu hadis Nabi mengatakan, “al | itsmu | ma haka fi nafsika wa karihta an yath-thali’a ‘alaihin naas” | 32 % |
k berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan | itu | sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. | 1 % |
am selalu peduli pada apa yang dia kerjakan, apakah pebuatan | itu | boleh atau tidak. Inilah yang kemudian melahirkan suatu bida | 6 % |
dominan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan dan kejahatan | itu | haruslah ditentukan oleh agama. Manusia baru tahu bahwa tind | 19 % |
ukan batas-batas tersebut, tidak berarti bahwa seluruh batas | itu | sudah diketahui oleh akal dari hari pertama. Akal manusia be | 22 % |
Tetapi, wahyu bisa memerosotkan akal manusia, manakala wahyu | itu | mengalami “vulgarisasi”, yaitu wahyu yang telah dibajak oleh | 27 % |
ntingan-kepentingan sesaat yang bersifat duniawi. Agar wahyu | itu | bisa pulih kembali dan memperoleh inegritasnya lagi sebagai | 28 % |
ung jawab dan penuh integritas. Kita semua tahu, bahwa wahyu | itu | adalah laksana horison atau cakrawala yang tak berbatas. Ham | 29 % |
u dapat dipahami dengan tepat adalah integritas akal manusia | itu | sendiri. Salah satu hadis Nabi mengatakan, “al itsmu ma | 32 % |
ilayah niat ada dalam wilayah subyektivitas manusia; wilayah | itu | mempunyai ciri-ciri kebebasan. Jadi, aturan-aturan obyektif | 40 % |
bbesian yang kotor, brutal, sementara, dan licik, dan karena | itu | wahyu turun sebagai suatu “leviathan” yang bengis. Islam mel | 44 % |
itu, yang pertama perlu direstorasi adalah martabat manusia | itu | sendiri. Jika manusia sebagai subyek moral yang bebas sudah | 49 % |
al telah disangkal, apakah yang tersisa dari manusia semacam | itu | selain “jasad” yang pasif. Nabi pernah bersaba, “ad dinu huw | 54 % |
war-tawar lagi. Banyak orang mengira bahwa kebebasan semacam | itu | menyebabkan manusia memberontak kepada agama dan wahyu. Ada | 56 % |
imensi yang tersembunyi dalam wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal | itu | tak mungkin terjadi jika tidak mengandaikan adanya manusia s | 62 % |
muska manusia ke jurang kesesatan, dari menit pertama mereka | itu | sudah mengingkari nilai kemanusiaan. Keledai selalu takut pa | 64 % |
menuju ke arah itu. Fokus pertama dalam agama adalah manusia | itu | sendiri, bukan semata-mata Tuhan. Adalah salah besar suatu a | 68 % |
er yang cenderung anti-humanistik, dapat berarti bahwa agama | itu | tidak lain adalah penundukan manusia. Manusia seolah-olah an | 72 % |
an “I-it” hanya akan memerosotkan martabat manusia dan Allah | itu | sendiri. Arti ayat tersebut lebih tepat dipahami sebagai hub | 85 % |
-proses kesejarahan dalam Islam sendiri telah mengubah agama | itu | menjadi agama hukum yang dilandaskan kepada pemaksaan, denga | 91 % |
Islam kecuali pandangan yang mencoba mengubah karakter agama | itu | sebagai agama fitrah, menjadi agama hukum yang ditegakkan at | 92 % |
“niat” atau dorongan-dorongan emotif-subyektif dalam manusia | itu | sendiri. Dan sebaiknya kata liberal dalam “Islam liberal” di | 95 % |
if yang melawan kecenderungan “intrinsik” dalam akal manusia | itu | sendiri. Dengan menekankan kembali dimensi kebebasan manusia | 97 % |
aka kita telah memulihkan kembali integritas wahyu dan Islam | itu | sendiri. Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-ora | 99 % |
k berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan | itu | sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. | 100 % |
tif yang bisa begitu saja didesakkan secara paksa dari luar. | itulah | sebabnya, sebuah hadis mengatakan “innamal a’malu bin niyyaa | 36 % |
ditentukan oleh agama. Manusia baru tahu bahwa tindakan ini | jahat | atau baik setelah mendapatkan pengajaran dari agama. Golonga | 19 % |
ditentukan oleh agama. Manusia baru tahu bahwa tindakan ini | jahat | atau baik setelah mendapatkan pengajaran dari agama. Golonga | 19 % |
mengatakan, “qad tabayyanar rushdu minal ghayy”, telah jelas | jalan | kebaikan dan kesesatan. “Fa man sya’a fal yu’min wan man sya | 88 % |
man sya’a fal yakfur,” jika manusia mau, dia boleh mengimani | jalan | itu, dan jika mau, dia boleh mengingkarinya. Fakta-fakta ini | 89 % |
hendak menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang | jangkarnya | adalah “niat” atau dorongan-dorongan emotif-subyektif dalam | 95 % |
agai sumber moralitas, maka diperlukan akal yang bertanggung | jawab | dan penuh integritas. Kita semua tahu, bahwa wahyu itu adala | 29 % |
pada entitas di luar dirinya? Dalam masalah ini, ada dua | jawaban | yang tersedia dalam khazanah pemikiran Islam klasik. Ada gol | 18 % |
membatasi kebebasan itu, mereka telah melindungi wahyu. Ini | jelas | pandangan yang salah. Sebab, begitu kebebasan manusia dibata | 58 % |
Islam adalah Prometheus yang kalah oleh kehendak Tuhan. Ini | jelas | suatu citraan manusia yang tidak sesuai dengan semangat Isla | 76 % |
ur’an mengatakan, “qad tabayyanar rushdu minal ghayy”, telah | jelas | jalan kebaikan dan kesesatan. “Fa man sya’a fal yu’min wan m | 88 % |
n jika mau, dia boleh mengingkarinya. Fakta-fakta ini begitu | jelasnya | tertuang dalam sumber utama ajaran Islam, Qur’an dan Hadis. | 90 % |
a harus menungguh wahyu dari “langit”? Apakah gunanya agama, | jika | toh manusia sudah mampu mencapai sendiri pemahaman mengenai | 16 % |
kebaikan dan kejahatan, batas-batas kepantasan. Sudah tentu, | jika | dikatakan bahwa akal manusia dapat menentukan batas-batas te | 21 % |
tapkan oleh agama, tidaklah bermakna dalam kerangka beragama | jika | dilepaskan dari motif subyektif manusia. Saya tidak meli | 41 % |
rtama perlu direstorasi adalah martabat manusia itu sendiri. | jika | manusia sebagai subyek moral yang bebas sudah tidak lagi ada | 49 % |
mendakwahkan kedalaman dan kesempurnaan wahyu kepad keledai. | jika | manusia telah dikosongkan dari motif, dan otonominya sebagai | 53 % |
dalam wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi | jika | tidak mengandaikan adanya manusia sebagai subyek yang bebas | 62 % |
k Aku ciptakan manusia kecuali untuk menyembah-Ku. Ayat ini, | jika | dipahami dalam kerangka populer yang cenderung anti-humanist | 71 % |
, bukan proses dialogal yang hidup antara subyek dan subyek. | jika | diletakkan dalam kerangka filsafat Martin Buber mengenai rel | 80 % |
if. Penyembahan pada Tuhan tidak mempunyai makna apa-apa | jika | tidak diletakkan dalam kerangka manusia sebagai subyek yang | 87 % |
sesatan. “Fa man sya’a fal yu’min wan man sya’a fal yakfur,” | jika | manusia mau, dia boleh mengimani jalan itu, dan jika mau, di | 89 % |
akfur,” jika manusia mau, dia boleh mengimani jalan itu, dan | jika | mau, dia boleh mengingkarinya. Fakta-fakta ini begitu jelasn | 89 % |
rsumber dari pemahaman yang salah atas ayat “wa ma khalaqtul | jinna | wal insa illa liya’budun,” dan tidak Aku ciptakan manusia ke | 70 % |
gan memberikan kebebasan, anda telah menjerumuska manusia ke | jurang | kesesatan, dari menit pertama mereka itu sudah mengingkari n | 64 % |
dak membutuhkan orang-orang semacam itu. Kecemerlangan Islam | justru | akan dimungkinkan karena adanya manusia-manusia yang berpiki | 66 % |
leh atau tidak. Inilah yang kemudian melahirkan suatu bidang | kajian | yang sangat kaya dan meninggalkan ribuan literatur yang cang | 7 % |
heus. Bedanya, Prometheus versi Islam adalah Prometheus yang | kalah | oleh kehendak Tuhan. Ini jelas suatu citraan manusia yang ti | 76 % |
akal manusia yang matang. Sebuah hadis qudsi yang populer di | kalangan | sufi menyatakan, “Aku (Allah) adalah ‘kanzun makhfiyy’, hart | 60 % |
ani kuno. Saya melihat, pandangan populer yang berkembang di | kalangan | umat Islam mengenai ayat tersebut cenderung kepada suatu cit | 75 % |
gkut berjilid-jilid kitab”, matsalulladzina hummilut Taurata | kamatsalil | khimari yahmilu asfaara. Keledai tak akan pernah bisa mendap | 51 % |
uatu yang menimbulkan kekeruhan dan kekacauan di hatimu, dan | kamu | tak suka orang lain melihatmu melakukannya. Hadis ini member | 33 % |
berbahaya bagi Islam kecuali pandangan yang mencoba mengubah | karakter | agama itu sebagai agama fitrah, menjadi agama hukum yang dit | 92 % |
anusia yang terbatas untuk menjangkau seluruh horison wahyu. | karena | cakrawala wahyu yang terbentang luas itu, maka siapapun dapa | 30 % |
unia hobbesian yang kotor, brutal, sementara, dan licik, dan | karena | itu wahyu turun sebagai suatu “leviathan” yang bengis. Islam | 44 % |
idak ada agama bagi mereka yang tak mempunyai akal. Oleh | karena | itu, kebebasan manusia adalah perkara prinsip yang tak bisa | 55 % |
ng semacam itu. Kecemerlangan Islam justru akan dimungkinkan | karena | adanya manusia-manusia yang berpikir bebas dan kemudian mamp | 66 % |
satu hadis Nabi mengatakan, “al itsmu ma haka fi nafsika wa | karihta | an yath-thali’a ‘alaihin naas”. Dosa adalah sesuatu yang men | 32 % |
ufi menyatakan, “Aku (Allah) adalah ‘kanzun makhfiyy’, harta | karun | yang tersembunyi. Aku ingin diketahui, maka Aku ciptakan man | 60 % |
engan semangat Islam. Saya kurang setuju dengan penerjemahan | kata | “ibadah” sebagai penyembahan, atau “worship” dalam bahasa In | 77 % |
agak “ruwet” dan panjang ini adalah bahwa dengan membubuhkan | kata | “liberal” pada Islam, sesunggunya saya hendak menegaskan kem | 94 % |
an emotif-subyektif dalam manusia itu sendiri. Dan sebaiknya | kata | liberal dalam “Islam liberal” dipahami dalam kerangka semaca | 95 % |
l dalam “Islam liberal” dipahami dalam kerangka semacam ini. | kata | “liberal” di sini tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan | 96 % |
n akan makin matang. Saya lebih cenderung pada pandangan | kaum | Mu’tazilah. Tetapi, harap lah disadari bahwa dengan menerima | 23 % |
lah yang kemudian melahirkan suatu bidang kajian yang sangat | kaya | dan meninggalkan ribuan literatur yang canggih, yaitu bidang | 7 % |
an “yang jahat”. Wahyu dapat mengangkat derajat akal manusia | ke | tingkat yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat lebih mema | 26 % |
dengan memberikan kebebasan, anda telah menjerumuska manusia | ke | jurang kesesatan, dari menit pertama mereka itu sudah mengin | 64 % |
angkat martabat kemanusiaan. Wahyu adalah sarana saja menuju | ke | arah itu. Fokus pertama dalam agama adalah manusia itu sendi | 68 % |
isi dan fitrahnya, mencapai pemahaman yang mendalam mengenai | kebaikan | dan kejahatan? Apakah untuk mengetahui hal-hal itu, manusia | 15 % |
jahat”? Apakah manusia secara moral otonom dalam mengetahui | kebaikan | dan kejahatan, atau tergantung pada entitas di luar dirinya? | 17 % |
da golongan Sunni yang dominan, dengan pandangan pokok bahwa | kebaikan | dan kejahatan itu haruslah ditentukan oleh agama. Manusia ba | 19 % |
manusia dengan akalnya sendiri dapat mengetahui batas-batas | kebaikan | dan kejahatan, batas-batas kepantasan. Sudah tentu, jika dik | 21 % |
akan, “qad tabayyanar rushdu minal ghayy”, telah jelas jalan | kebaikan | dan kesesatan. “Fa man sya’a fal yu’min wan man sya’a fal ya | 88 % |
bahwa istilah “liberal” dalam Islam liberal mempunyai makna | kebebasan | tanpa batas, atau bahkan disetarakan dengan sikap permisif, | 3 % |
iri. Bahasa kewajiban lebih menonjol, menutup bahasa hak dan | kebebasan | manusia. Islam liberal muncul dalam semangat untuk menyeimba | 11 % |
ma bagi mereka yang tak mempunyai akal. Oleh karena itu, | kebebasan | manusia adalah perkara prinsip yang tak bisa ditawar-tawar l | 56 % |
yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Banyak orang mengira bahwa | kebebasan | semacam itu menyebabkan manusia memberontak kepada agama dan | 56 % |
ada agama dan wahyu. Ada yang mengira bahwa dengan membatasi | kebebasan | itu, mereka telah melindungi wahyu. Ini jelas pandangan yang | 57 % |
indungi wahyu. Ini jelas pandangan yang salah. Sebab, begitu | kebebasan | manusia dibatasi, maka dimensi-dimensi terdalam yang subtil | 58 % |
da Islam, sesunggunya saya hendak menegaskan kembali dimensi | kebebasan | dalam Islam yang jangkarnya adalah “niat” atau dorongan-doro | 94 % |
ini. Kata “liberal” di sini tidak ada sangkut pautnya dengan | kebebasan | tanpa batas, dengan sikap-sikap permisif yang melawan kecend | 96 % |
akal manusia itu sendiri. Dengan menekankan kembali dimensi | kebebasan | manusia, dan menempatkan manusia pada fokus penghayatan keag | 98 % |
at untuk menyeimbangkan “neraca” antara bahasa kewajiban dan | kebebasan/hak | ini. Untuk itu, marilah kita masuki sebuah tema dasar yang m | 12 % |
Agama, Akal, dan | kebebasan: | Tentang Makna “Liberal” dalam Islam Liberal Sekali lagi, Is | 0 % |
“menggali” dimensi-dimensi yang tersembunyi dalam wahyu dan | kebenaran | Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi jika tidak mengandaikan a | 62 % |
emacam itu, Islam liberal dipandang sebagai ancaman terhadap | keberagamaan | yang sudah terlembaga. Dalam Islam, persoalan “batasan” | 4 % |
esungguhnya Islam tidak membutuhkan orang-orang semacam itu. | kecemerlangan | Islam justru akan dimungkinkan karena adanya manusia-manusia | 66 % |
ebasan tanpa batas, dengan sikap-sikap permisif yang melawan | kecenderungan | “intrinsik” dalam akal manusia itu sendiri. Dengan menekanka | 97 % |
na wal insa illa liya’budun,” dan tidak Aku ciptakan manusia | kecuali | untuk menyembah-Ku. Ayat ini, jika dipahami dalam kerangka p | 71 % |
ak ada pemahaman yang lebih kotor mengenai hakikat ketuhanan | kecuali | pemahaman seperti ini. Pandangan mengenai manusia sebagai Pr | 73 % |
bahasa kewajiban. Tidak ada yang lebih berbahaya bagi Islam | kecuali | pandangan yang mencoba mengubah karakter agama itu sebagai a | 92 % |
erguna bagi seekor keledai. Dan tak ada gunanya mendakwahkan | kedalaman | dan kesempurnaan wahyu kepad keledai. Jika manusia telah dik | 53 % |
tau baik setelah mendapatkan pengajaran dari agama. Golongan | kedua | adalah Mu’tazilah yang memandang bahwa manusia dengan akalny | 20 % |
a yang boleh (mubah) dan yang tak boleh (mahdzur), menempati | kedudukan | yang begitu sentral. Setiap orang Islam selalu peduli pada a | 6 % |
ya, Prometheus versi Islam adalah Prometheus yang kalah oleh | kehendak | Tuhan. Ini jelas suatu citraan manusia yang tidak sesuai den | 76 % |
i “khalifah” yang memenuhi tugas ketuhanan untuk memperbaiki | kehidupan | di bumi. Pandangan-pandangan keislaman populer kerapkali men | 45 % |
etahui, bahwa agama pada menit pertama adalah merupakan soal | keinsafan/kesadaran | pribadi; agama bukanlah aturan obyektif yang bisa begitu saj | 35 % |
nan untuk memperbaiki kehidupan di bumi. Pandangan-pandangan | keislaman | populer kerapkali menggambarkan wahyu sebagai “leviathan” se | 46 % |
unni yang dominan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan dan | kejahatan | itu haruslah ditentukan oleh agama. Manusia baru tahu bahwa | 19 % |
unni yang dominan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan dan | kejahatan | itu haruslah ditentukan oleh agama. Manusia baru tahu bahwa | 19 % |
in naas”. Dosa adalah sesuatu yang menimbulkan kekeruhan dan | kekacauan | di hatimu, dan kamu tak suka orang lain melihatmu melakukann | 33 % |
thali’a ‘alaihin naas”. Dosa adalah sesuatu yang menimbulkan | kekeruhan | dan kekacauan di hatimu, dan kamu tak suka orang lain meliha | 33 % |
ladzina hummilut Taurata kamatsalil khimari yahmilu asfaara. | keledai | tak akan pernah bisa mendapatkan manfaat apapun dari barang- | 51 % |
enit pertama mereka itu sudah mengingkari nilai kemanusiaan. | keledai | selalu takut pada kebebasan, dan terus-menerus mencari majik | 64 % |
besar hukum Islam dirumuskan. Dalam diskusi-diskusi itu, | kelihatan | sekali bahwa tekanan diberikan kepada “kewajiban”, yaitu kew | 10 % |
melakukannya. Hadis ini memberikan tekanan yang tegas kepada | kemampuan | manusia, berdasarkan intuisinya, untuk mencapai pemahaman ya | 34 % |
, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal | kemanusiaan | itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai | 1 % |
, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal | kemanusiaan | itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. | 99 % |
ngan sesaat yang bersifat duniawi. Agar wahyu itu bisa pulih | kembali | dan memperoleh inegritasnya lagi sebagai sumber moralitas, m | 28 % |
ata “liberal” pada Islam, sesunggunya saya hendak menegaskan | kembali | dimensi kebebasan dalam Islam yang jangkarnya adalah “niat” | 94 % |
intrinsik” dalam akal manusia itu sendiri. Dengan menekankan | kembali | dimensi kebebasan manusia, dan menempatkan manusia pada foku | 98 % |
pada fokus penghayatan keagamaan, maka kita telah memulihkan | kembali | integritas wahyu dan Islam itu sendiri. Sekali lagi, Isl | 98 % |
kerjakan, apakah pebuatan itu boleh atau tidak. Inilah yang | kemudian | melahirkan suatu bidang kajian yang sangat kaya dan meningga | 7 % |
kinkan karena adanya manusia-manusia yang berpikir bebas dan | kemudian | mampu menyingkapkan rahasia-rahasia terdalam dari wahyu. | 66 % |
tuisinya, untuk mencapai pemahaman yang benar mengenai dosa. | kenapa | demikian? Haruslah diketahui, bahwa agama pada menit pertama | 35 % |
ak ada gunanya mendakwahkan kedalaman dan kesempurnaan wahyu | kepad | keledai. Jika manusia telah dikosongkan dari motif, dan oton | 53 % |
iskusi-diskusi itu, kelihatan sekali bahwa tekanan diberikan | kepada | “kewajiban”, yaitu kewajiban seorang Muslim terhadap Allah, | 10 % |
ihatmu melakukannya. Hadis ini memberikan tekanan yang tegas | kepada | kemampuan manusia, berdasarkan intuisinya, untuk mencapai pe | 34 % |
bahwa kebebasan semacam itu menyebabkan manusia memberontak | kepada | agama dan wahyu. Ada yang mengira bahwa dengan membatasi keb | 57 % |
ia seolah-olah ancaman bagi Tuhan sehingga harus ditundukkan | kepada | kehendak-Nya. Tidak ada pemahaman yang lebih kotor mengenai | 72 % |
bang di kalangan umat Islam mengenai ayat tersebut cenderung | kepada | suatu citra manusia sebagai Prometheus. Bedanya, Prometheus | 75 % |
elah mengubah agama itu menjadi agama hukum yang dilandaskan | kepada | pemaksaan, dengan lebih banyak menekankan bahasa kewajiban. | 91 % |
mengalami “vulgarisasi”, yaitu wahyu yang telah dibajak oleh | kepentingan-kepentingan | sesaat yang bersifat duniawi. Agar wahyu itu bisa pulih kemb | 27 % |
obyektif yang ditetapkan oleh agama, tidaklah bermakna dalam | kerangka | beragama jika dilepaskan dari motif subyektif manusia. S | 41 % |
ia kecuali untuk menyembah-Ku. Ayat ini, jika dipahami dalam | kerangka | populer yang cenderung anti-humanistik, dapat berarti bahwa | 71 % |
l yang hidup antara subyek dan subyek. Jika diletakkan dalam | kerangka | filsafat Martin Buber mengenai relasi antar manusia, penyemb | 80 % |
manusia sebagai hubungan “I-it”, “aku-dan-dia”. Allah, dalam | kerangka | penyembahan semacam itu, telah “dibendakan”. Allah yang dise | 81 % |
yang tepat antara manusia dengan Allah adalah hubungan dalam | kerangka | “I-Thou”, aku-Engkau. Agama yang didasarkan pada penyembahan | 84 % |
u”, aku-Engkau. Agama yang didasarkan pada penyembahan dalam | kerangka | hubungan “I-it” hanya akan memerosotkan martabat manusia dan | 84 % |
an tidak mempunyai makna apa-apa jika tidak diletakkan dalam | kerangka | manusia sebagai subyek yang bebas, dengan akal yang bekerja | 87 % |
sebaiknya kata liberal dalam “Islam liberal” dipahami dalam | kerangka | semacam ini. Kata “liberal” di sini tidak ada sangkut pautny | 96 % |
iki kehidupan di bumi. Pandangan-pandangan keislaman populer | kerapkali | menggambarkan wahyu sebagai “leviathan” semacam itu. Manusia | 46 % |
” semacam itu. Manusia, dalam pandangan populer semacam itu, | kerapkali | ditempatkan sebagai “barang” yang sama sekali kosong dari su | 47 % |
iperuntukkan bagi keledai. Oleh: Ulil Abshar-Abdalla Ada | kesan | yang tertanam dalam sebagian orang, bahwa istilah “liberal” | 2 % |
utama ajaran Islam, Qur’an dan Hadis. Tetapi, proses-proses | kesejarahan | dalam Islam sendiri telah mengubah agama itu menjadi agama h | 90 % |
ekor keledai. Dan tak ada gunanya mendakwahkan kedalaman dan | kesempurnaan | wahyu kepad keledai. Jika manusia telah dikosongkan dari mot | 53 % |
ma fitrah, menjadi agama hukum yang ditegakkan atas paksaan. | kesimpulan | yang hendak saya tuju dari ulasan yang agak “ruwet” dan panj | 93 % |
ap pembicaraan tentang hukum selalu rujukannya adalah fikih. | ketika | muncul diskusi yang ramai soal penerapan hukum Islam, maka f | 8 % |
sia merupakan partisipan yang aktif dalam menafsiran ide-ide | ketuhanan | yang terkandung dalam wahyu. Saya tidak pernah membayangkan | 42 % |
yang penuh martabat, sebagai “khalifah” yang memenuhi tugas | ketuhanan | untuk memperbaiki kehidupan di bumi. Pandangan-pandangan kei | 45 % |
k-Nya. Tidak ada pemahaman yang lebih kotor mengenai hakikat | ketuhanan | kecuali pemahaman seperti ini. Pandangan mengenai manusia se | 73 % |
tan sekali bahwa tekanan diberikan kepada “kewajiban”, yaitu | kewajiban | seorang Muslim terhadap Allah, sesama manusia, dan dirinya s | 10 % |
terhadap Allah, sesama manusia, dan dirinya sendiri. Bahasa | kewajiban | lebih menonjol, menutup bahasa hak dan kebebasan manusia. Is | 11 % |
l dalam semangat untuk menyeimbangkan “neraca” antara bahasa | kewajiban | dan kebebasan/hak ini. Untuk itu, marilah kita masuki sebuah | 12 % |
rtanggungjawab. Dalam hadis lain dikatakan, “niyyatul mu’min | khairun | min ‘amalihi”, niat dan dorongan emotif yang sifatnya subyek | 38 % |
gan ini bersumber dari pemahaman yang salah atas ayat “wa ma | khalaqtul | jinna wal insa illa liya’budun,” dan tidak Aku ciptakan manu | 70 % |
ses vulgarisasi Islam sebagaimana pernah ditunjuk oleh Prof. | khaled | Abou El Fadl. Dalam situasi yang sudah “vulgar” semacam | 48 % |
? Dalam masalah ini, ada dua jawaban yang tersedia dalam | khazanah | pemikiran Islam klasik. Ada golongan Sunni yang dominan, den | 18 % |
id-jilid kitab”, matsalulladzina hummilut Taurata kamatsalil | khimari | yahmilu asfaara. Keledai tak akan pernah bisa mendapatkan ma | 51 % |
a bahasa kewajiban dan kebebasan/hak ini. Untuk itu, marilah | kita | masuki sebuah tema dasar yang menjadi debat dalam pemikiran | 12 % |
an manusia (af’alul ‘ibad). Otonom atau tidak? Marilah | kita | mulai dengan pertanyaan sederhana: apakah manusia bisa, deng | 14 % |
diperlukan akal yang bertanggung jawab dan penuh integritas. | kita | semua tahu, bahwa wahyu itu adalah laksana horison atau cakr | 29 % |
n menempatkan manusia pada fokus penghayatan keagamaan, maka | kita | telah memulihkan kembali integritas wahyu dan Islam itu send | 98 % |
i sebuah tema dasar yang menjadi debat dalam pemikiran Islam | klasik: | soal tindakan manusia (af’alul ‘ibad). Otonom atau tidak? | 13 % |
u akan sulit diungkapkan oleh manusia. Sebab, untuk memahami | kompleksitas | wahyu, diperlukan akal manusia yang matang. Sebuah hadis qud | 59 % |
itu, kerapkali ditempatkan sebagai “barang” yang sama sekali | kosong | dari suatu motif yang bebas. Inilah proses vulgarisasi Islam | 47 % |
undukkan kepada kehendak-Nya. Tidak ada pemahaman yang lebih | kotor | mengenai hakikat ketuhanan kecuali pemahaman seperti ini. Pa | 73 % |
itraan manusia yang tidak sesuai dengan semangat Islam. Saya | kurang | setuju dengan penerjemahan kata “ibadah” sebagai penyembahan | 77 % |
jasad” yang pasif. Nabi pernah bersaba, “ad dinu huwal ‘aql, | la | dina liman la ‘aqla lahu”, agama adalah akal, tidak ada agam | 55 % |
sif. Nabi pernah bersaba, “ad dinu huwal ‘aql, la dina liman | la | ‘aqla lahu”, agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka | 55 % |
gar wahyu itu bisa pulih kembali dan memperoleh inegritasnya | lagi | sebagai sumber moralitas, maka diperlukan akal yang bertangg | 28 % |
ri. Jika manusia sebagai subyek moral yang bebas sudah tidak | lagi | ada atau disangkal, apakah gunanya sebuah agama? Qur’an berk | 50 % |
Islam, maka fikih menjadi fokus perhatian, sebab dalam fikih | lah | sebagian besar hukum Islam dirumuskan. Dalam diskusi-dis | 9 % |
ebih cenderung pada pandangan kaum Mu’tazilah. Tetapi, harap | lah | disadari bahwa dengan menerima pendapat Mu’tazilah, bukan be | 23 % |
n kekeruhan dan kekacauan di hatimu, dan kamu tak suka orang | lain | melihatmu melakukannya. Hadis ini memberikan tekanan yang te | 33 % |
an emotif yang sungguh-sungguh bertanggungjawab. Dalam hadis | lain | dikatakan, “niyyatul mu’min khairun min ‘amalihi”, niat dan | 38 % |
nderung anti-humanistik, dapat berarti bahwa agama itu tidak | lain | adalah penundukan manusia. Manusia seolah-olah ancaman bagi | 72 % |
an penuh integritas. Kita semua tahu, bahwa wahyu itu adalah | laksana | horison atau cakrawala yang tak berbatas. Hampir mustahil ba | 29 % |
Allah, sesama manusia, dan dirinya sendiri. Bahasa kewajiban | lebih | menonjol, menutup bahasa hak dan kebebasan manusia. Islam li | 11 % |
rkembang, mengalami evolusi, dan akan makin matang. Saya | lebih | cenderung pada pandangan kaum Mu’tazilah. Tetapi, harap lah | 23 % |
Wahyu dapat mengangkat derajat akal manusia ke tingkat yang | lebih | tinggi dan bermutu untuk dapat lebih memahami batas-batas. T | 26 % |
manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat | lebih | memahami batas-batas. Tetapi, wahyu bisa memerosotkan akal m | 26 % |
‘amalihi”, niat dan dorongan emotif yang sifatnya subyektif | lebih | mulia dari tindakan. Wilayah niat ada dalam wilayah subyekti | 39 % |
us ditundukkan kepada kehendak-Nya. Tidak ada pemahaman yang | lebih | kotor mengenai hakikat ketuhanan kecuali pemahaman seperti i | 73 % |
n martabat manusia dan Allah itu sendiri. Arti ayat tersebut | lebih | tepat dipahami sebagai hubungan Allah-manusia dalam model “I | 85 % |
enjadi agama hukum yang dilandaskan kepada pemaksaan, dengan | lebih | banyak menekankan bahasa kewajiban. Tidak ada yang lebih ber | 91 % |
gan lebih banyak menekankan bahasa kewajiban. Tidak ada yang | lebih | berbahaya bagi Islam kecuali pandangan yang mencoba mengubah | 92 % |
ma, Akal, dan Kebebasan: Tentang Makna “Liberal” dalam Islam | liberal | Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah | 0 % |
am dalam sebagian orang, bahwa istilah “liberal” dalam Islam | liberal | mempunyai makna kebebasan tanpa batas, atau bahkan disetarak | 3 % |
nal batas yang pasti. Dengan cara pandang semacam itu, Islam | liberal | dipandang sebagai ancaman terhadap keberagamaan yang sudah t | 4 % |
ih menonjol, menutup bahasa hak dan kebebasan manusia. Islam | liberal | muncul dalam semangat untuk menyeimbangkan “neraca” antara b | 11 % |
otif-subyektif dalam manusia itu sendiri. Dan sebaiknya kata | liberal | dalam “Islam liberal” dipahami dalam kerangka semacam ini. K | 95 % |
manusia itu sendiri. Dan sebaiknya kata liberal dalam “Islam | liberal” | dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata “liberal” di sini | 96 % |
ang pasif. Nabi pernah bersaba, “ad dinu huwal ‘aql, la dina | liman | la ‘aqla lahu”, agama adalah akal, tidak ada agama bagi mere | 55 % |
suatu bidang kajian yang sangat kaya dan meninggalkan ribuan | literatur | yang canggih, yaitu bidang fikih. Setiap pembicaraan tentang | 7 % |
ahui kebaikan dan kejahatan, atau tergantung pada entitas di | luar | dirinya? Dalam masalah ini, ada dua jawaban yang tersedi | 17 % |
eluruh horison wahyu. Karena cakrawala wahyu yang terbentang | luas | itu, maka siapapun dapat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. | 31 % |
itu sendiri. Salah satu hadis Nabi mengatakan, “al itsmu | ma | haka fi nafsika wa karihta an yath-thali’a ‘alaihin naas”. D | 32 % |
dangan ini bersumber dari pemahaman yang salah atas ayat “wa | ma | khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun,” dan tidak Aku cip | 70 % |
ledai selalu takut pada kebebasan, dan terus-menerus mencari | majikan | yang dapat menuntunnya. Sesungguhnya Islam tidak membutuhkan | 65 % |
Ketika muncul diskusi yang ramai soal penerapan hukum Islam, | maka | fikih menjadi fokus perhatian, sebab dalam fikih lah sebagia | 9 % |
i dan memperoleh inegritasnya lagi sebagai sumber moralitas, | maka | diperlukan akal yang bertanggung jawab dan penuh integritas. | 28 % |
ison wahyu. Karena cakrawala wahyu yang terbentang luas itu, | maka | siapapun dapat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. Garansi b | 31 % |
dangan yang salah. Sebab, begitu kebebasan manusia dibatasi, | maka | dimensi-dimensi terdalam yang subtil dari wahyu akan sulit d | 58 % |
akhfiyy’, harta karun yang tersembunyi. Aku ingin diketahui, | maka | Aku ciptakan manusia.” Hadis ini memberikan suatu penegasan | 61 % |
a, dan menempatkan manusia pada fokus penghayatan keagamaan, | maka | kita telah memulihkan kembali integritas wahyu dan Islam itu | 98 % |
ertama. Akal manusia berkembang, mengalami evolusi, dan akan | makin | matang. Saya lebih cenderung pada pandangan kaum Mu’tazi | 23 % |
Agama, Akal, dan Kebebasan: Tentang | makna | “Liberal” dalam Islam Liberal Sekali lagi, Islam tidak berg | 0 % |
orang, bahwa istilah “liberal” dalam Islam liberal mempunyai | makna | kebebasan tanpa batas, atau bahkan disetarakan dengan sikap | 3 % |
“worship” dalam bahasa Inggris. Sebab, penyembahan mempunyai | makna | yang negatif dalam sejumlah hal. Penyembahan mengandaika | 78 % |
gal yang kreatif. Penyembahan pada Tuhan tidak mempunyai | makna | apa-apa jika tidak diletakkan dalam kerangka manusia sebagai | 87 % |
dari “langit”? Apakah gunanya agama, jika toh manusia sudah | mampu | mencapai sendiri pemahaman mengenai “yang baik” dan “yang ja | 16 % |
rena adanya manusia-manusia yang berpikir bebas dan kemudian | mampu | menyingkapkan rahasia-rahasia terdalam dari wahyu. Iba | 66 % |
minal ghayy”, telah jelas jalan kebaikan dan kesesatan. “Fa | man | sya’a fal yu’min wan man sya’a fal yakfur,” jika manusia mau | 88 % |
s jalan kebaikan dan kesesatan. “Fa man sya’a fal yu’min wan | man | sya’a fal yakfur,” jika manusia mau, dia boleh mengimani jal | 89 % |
rlembaga. Dalam Islam, persoalan “batasan” (hadd) antara | mana | yang boleh (mubah) dan yang tak boleh (mahdzur), menempati k | 5 % |
usia. Saya tidak melihat suatu ide apapun dalam Islam di | mana | manusia ditempatkan sebagai obyek moral yang pasif. Akal man | 41 % |
i batas-batas. Tetapi, wahyu bisa memerosotkan akal manusia, | manakala | wahyu itu mengalami “vulgarisasi”, yaitu wahyu yang telah di | 27 % |
ri yahmilu asfaara. Keledai tak akan pernah bisa mendapatkan | manfaat | apapun dari barang-barang yang diangkutnya. Wahyu tidak akan | 52 % |
ng menjadi debat dalam pemikiran Islam klasik: soal tindakan | manusia | (af’alul ‘ibad). Otonom atau tidak? Marilah kita mulai | 13 % |
k? Marilah kita mulai dengan pertanyaan sederhana: apakah | manusia | bisa, dengan akal, intuisi dan fitrahnya, mencapai pemahaman | 14 % |
kebaikan dan kejahatan? Apakah untuk mengetahui hal-hal itu, | manusia | harus menungguh wahyu dari “langit”? Apakah gunanya agama, j | 15 % |
enungguh wahyu dari “langit”? Apakah gunanya agama, jika toh | manusia | sudah mampu mencapai sendiri pemahaman mengenai “yang baik” | 16 % |
diri pemahaman mengenai “yang baik” dan “yang jahat”? Apakah | manusia | secara moral otonom dalam mengetahui kebaikan dan kejahatan, | 16 % |
a kebaikan dan kejahatan itu haruslah ditentukan oleh agama. | manusia | baru tahu bahwa tindakan ini jahat atau baik setelah mendapa | 19 % |
agama. Golongan kedua adalah Mu’tazilah yang memandang bahwa | manusia | dengan akalnya sendiri dapat mengetahui batas-batas kebaikan | 20 % |
tas-batas kepantasan. Sudah tentu, jika dikatakan bahwa akal | manusia | dapat menentukan batas-batas tersebut, tidak berarti bahwa s | 21 % |
batas itu sudah diketahui oleh akal dari hari pertama. Akal | manusia | berkembang, mengalami evolusi, dan akan makin matang. Sa | 22 % |
ti saya menepiskan peran wahyu dalam memperkaya wawasan akal | manusia | untuk memahami batas-batas itu. Setiap wahyu membawa suatu w | 24 % |
baik” dan “yang jahat”. Wahyu dapat mengangkat derajat akal | manusia | ke tingkat yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat lebih m | 26 % |
atau cakrawala yang tak berbatas. Hampir mustahil bagi akal | manusia | yang terbatas untuk menjangkau seluruh horison wahyu. Karena | 30 % |
hwa wahyu dapat dipahami dengan tepat adalah integritas akal | manusia | itu sendiri. Salah satu hadis Nabi mengatakan, “al itsmu | 32 % |
Saya tidak melihat suatu ide apapun dalam Islam di mana | manusia | ditempatkan sebagai obyek moral yang pasif. Akal manusia mer | 41 % |
ana manusia ditempatkan sebagai obyek moral yang pasif. Akal | manusia | merupakan partisipan yang aktif dalam menafsiran ide-ide ket | 42 % |
urun sebagai suatu “leviathan” yang bengis. Islam meletakkan | manusia | dalam posisi yang penuh martabat, sebagai “khalifah” yang me | 45 % |
semacam itu, yang pertama perlu direstorasi adalah martabat | manusia | itu sendiri. Jika manusia sebagai subyek moral yang bebas su | 49 % |
perlu direstorasi adalah martabat manusia itu sendiri. Jika | manusia | sebagai subyek moral yang bebas sudah tidak lagi ada atau di | 49 % |
kwahkan kedalaman dan kesempurnaan wahyu kepad keledai. Jika | manusia | telah dikosongkan dari motif, dan otonominya sebagai subyek | 53 % |
bagai subyek moral telah disangkal, apakah yang tersisa dari | manusia | semacam itu selain “jasad” yang pasif. Nabi pernah bersaba, | 54 % |
reka yang tak mempunyai akal. Oleh karena itu, kebebasan | manusia | adalah perkara prinsip yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Ban | 56 % |
Banyak orang mengira bahwa kebebasan semacam itu menyebabkan | manusia | memberontak kepada agama dan wahyu. Ada yang mengira bahwa d | 57 % |
hyu. Ini jelas pandangan yang salah. Sebab, begitu kebebasan | manusia | dibatasi, maka dimensi-dimensi terdalam yang subtil dari wah | 58 % |
a. Sebab, untuk memahami kompleksitas wahyu, diperlukan akal | manusia | yang matang. Sebuah hadis qudsi yang populer di kalangan suf | 59 % |
ia.” Hadis ini memberikan suatu penegasan yang penting bahwa | manusia | diciptakan untuk “menggali” dimensi-dimensi yang tersembunyi | 61 % |
. Hal itu tak mungkin terjadi jika tidak mengandaikan adanya | manusia | sebagai subyek yang bebas dan otonom. Orang-orang yang m | 63 % |
n bahwa dengan memberikan kebebasan, anda telah menjerumuska | manusia | ke jurang kesesatan, dari menit pertama mereka itu sudah men | 64 % |
na saja menuju ke arah itu. Fokus pertama dalam agama adalah | manusia | itu sendiri, bukan semata-mata Tuhan. Adalah salah besar sua | 68 % |
sar suatu anggapan populer yang mengatakan bahwa tugas pokok | manusia | adalah “menyembah” Tuhan. Pandangan ini bersumber dari pemah | 69 % |
qtul jinna wal insa illa liya’budun,” dan tidak Aku ciptakan | manusia | kecuali untuk menyembah-Ku. Ayat ini, jika dipahami dalam ke | 70 % |
erarti bahwa agama itu tidak lain adalah penundukan manusia. | manusia | seolah-olah ancaman bagi Tuhan sehingga harus ditundukkan ke | 72 % |
ketuhanan kecuali pemahaman seperti ini. Pandangan mengenai | manusia | sebagai Prometheus yang berseteru dengan Tuhan hanyalah ada | 73 % |
at Islam mengenai ayat tersebut cenderung kepada suatu citra | manusia | sebagai Prometheus. Bedanya, Prometheus versi Islam adalah P | 75 % |
heus yang kalah oleh kehendak Tuhan. Ini jelas suatu citraan | manusia | yang tidak sesuai dengan semangat Islam. Saya kurang setuju | 76 % |
nusia, penyembahan adalah sebentuk hubungan antara Allah dan | manusia | sebagai hubungan “I-it”, “aku-dan-dia”. Allah, dalam kerangk | 81 % |
ap seperti sebuah “idol”. Saya berpandangan bahwa seharusnya | manusia | berhubungan dengan Allah bukan dengan cara seperti itu. Hubu | 83 % |
ah bukan dengan cara seperti itu. Hubungan yang tepat antara | manusia | dengan Allah adalah hubungan dalam kerangka “I-Thou”, aku-En | 83 % |
am kerangka hubungan “I-it” hanya akan memerosotkan martabat | manusia | dan Allah itu sendiri. Arti ayat tersebut lebih tepat dipaha | 85 % |
mempunyai makna apa-apa jika tidak diletakkan dalam kerangka | manusia | sebagai subyek yang bebas, dengan akal yang bekerja secara l | 87 % |
an. “Fa man sya’a fal yu’min wan man sya’a fal yakfur,” jika | manusia | mau, dia boleh mengimani jalan itu, dan jika mau, dia boleh | 89 % |
adalah “niat” atau dorongan-dorongan emotif-subyektif dalam | manusia | itu sendiri. Dan sebaiknya kata liberal dalam “Islam liberal | 95 % |
p permisif yang melawan kecenderungan “intrinsik” dalam akal | manusia | itu sendiri. Dengan menekankan kembali dimensi kebebasan man | 97 % |
enekankan kembali dimensi kebebasan manusia, dan menempatkan | manusia | pada fokus penghayatan keagamaan, maka kita telah memulihkan | 98 % |
dari tindakan. Wilayah niat ada dalam wilayah subyektivitas | manusia; | wilayah itu mempunyai ciri-ciri kebebasan. Jadi, aturan-atur | 40 % |
bayangkan bahwa wahyu dalam pandangan Islam memandang “dunia | manusia” | sebagai dunia hobbesian yang kotor, brutal, sementara, dan l | 43 % |
. Kecemerlangan Islam justru akan dimungkinkan karena adanya | manusia-manusia | yang berpikir bebas dan kemudian mampu menyingkapkan rahasia | 66 % |
a” antara bahasa kewajiban dan kebebasan/hak ini. Untuk itu, | marilah | kita masuki sebuah tema dasar yang menjadi debat dalam pemik | 12 % |
soal tindakan manusia (af’alul ‘ibad). Otonom atau tidak? | marilah | kita mulai dengan pertanyaan sederhana: apakah manusia bisa, | 14 % |
“vulgar” semacam itu, yang pertama perlu direstorasi adalah | martabat | manusia itu sendiri. Jika manusia sebagai subyek moral yang | 49 % |
ebagai “I-Thou” Tujuan pokok dari agama adalah mengangkat | martabat | kemanusiaan. Wahyu adalah sarana saja menuju ke arah itu. Fo | 67 % |
bahan dalam kerangka hubungan “I-it” hanya akan memerosotkan | martabat | manusia dan Allah itu sendiri. Arti ayat tersebut lebih tepa | 85 % |
a subyek dan subyek. Jika diletakkan dalam kerangka filsafat | martin | Buber mengenai relasi antar manusia, penyembahan adalah sebe | 80 % |
tan, atau tergantung pada entitas di luar dirinya? Dalam | masalah | ini, ada dua jawaban yang tersedia dalam khazanah pemikiran | 17 % |
asa kewajiban dan kebebasan/hak ini. Untuk itu, marilah kita | masuki | sebuah tema dasar yang menjadi debat dalam pemikiran Islam k | 12 % |
hudi sebagai “keledai yang mengangkut berjilid-jilid kitab”, | matsalulladzina | hummilut Taurata kamatsalil khimari yahmilu asfaara. Keledai | 51 % |
, apakah pebuatan itu boleh atau tidak. Inilah yang kemudian | melahirkan | suatu bidang kajian yang sangat kaya dan meninggalkan ribuan | 7 % |
ngan kebebasan tanpa batas, dengan sikap-sikap permisif yang | melawan | kecenderungan “intrinsik” dalam akal manusia itu sendiri. De | 97 % |
itu wahyu turun sebagai suatu “leviathan” yang bengis. Islam | meletakkan | manusia dalam posisi yang penuh martabat, sebagai “khalifah” | 45 % |
jika dilepaskan dari motif subyektif manusia. Saya tidak | melihat | suatu ide apapun dalam Islam di mana manusia ditempatkan seb | 41 % |
eruhan dan kekacauan di hatimu, dan kamu tak suka orang lain | melihatmu | melakukannya. Hadis ini memberikan tekanan yang tegas kepada | 33 % |
g mengira bahwa dengan membatasi kebebasan itu, mereka telah | melindungi | wahyu. Ini jelas pandangan yang salah. Sebab, begitu kebebas | 57 % |
skan peran wahyu dalam memperkaya wawasan akal manusia untuk | memahami | batas-batas itu. Setiap wahyu membawa suatu wawasan tertentu | 24 % |
a ke tingkat yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat lebih | memahami | batas-batas. Tetapi, wahyu bisa memerosotkan akal manusia, m | 26 % |
dari wahyu akan sulit diungkapkan oleh manusia. Sebab, untuk | memahami | kompleksitas wahyu, diperlukan akal manusia yang matang. Seb | 59 % |
pengajaran dari agama. Golongan kedua adalah Mu’tazilah yang | memandang | bahwa manusia dengan akalnya sendiri dapat mengetahui batas- | 20 % |
tidak pernah membayangkan bahwa wahyu dalam pandangan Islam | memandang | “dunia manusia” sebagai dunia hobbesian yang kotor, brutal, | 43 % |
rontak kepada agama dan wahyu. Ada yang mengira bahwa dengan | membatasi | kebebasan itu, mereka telah melindungi wahyu. Ini jelas pand | 57 % |
an akal manusia untuk memahami batas-batas itu. Setiap wahyu | membawa | suatu wawasan tertentu mengenai “yang baik” dan “yang jahat” | 25 % |
ide ketuhanan yang terkandung dalam wahyu. Saya tidak pernah | membayangkan | bahwa wahyu dalam pandangan Islam memandang “dunia manusia” | 43 % |
n kamu tak suka orang lain melihatmu melakukannya. Hadis ini | memberikan | tekanan yang tegas kepada kemampuan manusia, berdasarkan int | 34 % |
. Aku ingin diketahui, maka Aku ciptakan manusia.” Hadis ini | memberikan | suatu penegasan yang penting bahwa manusia diciptakan untuk | 61 % |
bas dan otonom. Orang-orang yang mengatakan bahwa dengan | memberikan | kebebasan, anda telah menjerumuska manusia ke jurang kesesat | 63 % |
rang mengira bahwa kebebasan semacam itu menyebabkan manusia | memberontak | kepada agama dan wahyu. Ada yang mengira bahwa dengan membat | 57 % |
ulasan yang agak “ruwet” dan panjang ini adalah bahwa dengan | membubuhkan | kata “liberal” pada Islam, sesunggunya saya hendak menegaska | 94 % |
ari majikan yang dapat menuntunnya. Sesungguhnya Islam tidak | membutuhkan | orang-orang semacam itu. Kecemerlangan Islam justru akan dim | 65 % |
ia dalam posisi yang penuh martabat, sebagai “khalifah” yang | memenuhi | tugas ketuhanan untuk memperbaiki kehidupan di bumi. Pandang | 45 % |
u untuk dapat lebih memahami batas-batas. Tetapi, wahyu bisa | memerosotkan | akal manusia, manakala wahyu itu mengalami “vulgarisasi”, ya | 26 % |
n pada penyembahan dalam kerangka hubungan “I-it” hanya akan | memerosotkan | martabat manusia dan Allah itu sendiri. Arti ayat tersebut l | 85 % |
abat, sebagai “khalifah” yang memenuhi tugas ketuhanan untuk | memperbaiki | kehidupan di bumi. Pandangan-pandangan keislaman populer ker | 45 % |
Mu’tazilah, bukan berarti saya menepiskan peran wahyu dalam | memperkaya | wawasan akal manusia untuk memahami batas-batas itu. Setiap | 24 % |
yang bersifat duniawi. Agar wahyu itu bisa pulih kembali dan | memperoleh | inegritasnya lagi sebagai sumber moralitas, maka diperlukan | 28 % |
sebagian orang, bahwa istilah “liberal” dalam Islam liberal | mempunyai | makna kebebasan tanpa batas, atau bahkan disetarakan dengan | 3 % |
ah niat ada dalam wilayah subyektivitas manusia; wilayah itu | mempunyai | ciri-ciri kebebasan. Jadi, aturan-aturan obyektif yang ditet | 40 % |
hu”, agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tak | mempunyai | akal. Oleh karena itu, kebebasan manusia adalah perkara | 55 % |
han, atau “worship” dalam bahasa Inggris. Sebab, penyembahan | mempunyai | makna yang negatif dalam sejumlah hal. Penyembahan menga | 78 % |
oses dialogal yang kreatif. Penyembahan pada Tuhan tidak | mempunyai | makna apa-apa jika tidak diletakkan dalam kerangka manusia s | 87 % |
an manusia pada fokus penghayatan keagamaan, maka kita telah | memulihkan | kembali integritas wahyu dan Islam itu sendiri. Sekali l | 98 % |
ng pasif. Akal manusia merupakan partisipan yang aktif dalam | menafsiran | ide-ide ketuhanan yang terkandung dalam wahyu. Saya tidak pe | 42 % |
na: apakah manusia bisa, dengan akal, intuisi dan fitrahnya, | mencapai | pemahaman yang mendalam mengenai kebaikan dan kejahatan? Apa | 14 % |
“langit”? Apakah gunanya agama, jika toh manusia sudah mampu | mencapai | sendiri pemahaman mengenai “yang baik” dan “yang jahat”? Apa | 16 % |
egas kepada kemampuan manusia, berdasarkan intuisinya, untuk | mencapai | pemahaman yang benar mengenai dosa. Kenapa demikian? Harusla | 34 % |
iaan. Keledai selalu takut pada kebebasan, dan terus-menerus | mencari | majikan yang dapat menuntunnya. Sesungguhnya Islam tidak mem | 65 % |
k ada yang lebih berbahaya bagi Islam kecuali pandangan yang | mencoba | mengubah karakter agama itu sebagai agama fitrah, menjadi ag | 92 % |
tidak akan berguna bagi seekor keledai. Dan tak ada gunanya | mendakwahkan | kedalaman dan kesempurnaan wahyu kepad keledai. Jika manusia | 52 % |
dengan akal, intuisi dan fitrahnya, mencapai pemahaman yang | mendalam | mengenai kebaikan dan kejahatan? Apakah untuk mengetahui hal | 15 % |
Manusia baru tahu bahwa tindakan ini jahat atau baik setelah | mendapatkan | pengajaran dari agama. Golongan kedua adalah Mu’tazilah yang | 19 % |
tsalil khimari yahmilu asfaara. Keledai tak akan pernah bisa | mendapatkan | manfaat apapun dari barang-barang yang diangkutnya. Wahyu ti | 51 % |
mbubuhkan kata “liberal” pada Islam, sesunggunya saya hendak | menegaskan | kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang jangkarnya adalah | 94 % |
hukum yang dilandaskan kepada pemaksaan, dengan lebih banyak | menekankan | bahasa kewajiban. Tidak ada yang lebih berbahaya bagi Islam | 91 % |
nderungan “intrinsik” dalam akal manusia itu sendiri. Dengan | menekankan | kembali dimensi kebebasan manusia, dan menempatkan manusia p | 97 % |
antara mana yang boleh (mubah) dan yang tak boleh (mahdzur), | menempati | kedudukan yang begitu sentral. Setiap orang Islam selalu ped | 6 % |
ri. Dengan menekankan kembali dimensi kebebasan manusia, dan | menempatkan | manusia pada fokus penghayatan keagamaan, maka kita telah me | 98 % |
ntasan. Sudah tentu, jika dikatakan bahwa akal manusia dapat | menentukan | batas-batas tersebut, tidak berarti bahwa seluruh batas itu | 21 % |
ahwa dengan menerima pendapat Mu’tazilah, bukan berarti saya | menepiskan | peran wahyu dalam memperkaya wawasan akal manusia untuk mema | 24 % |
gan kaum Mu’tazilah. Tetapi, harap lah disadari bahwa dengan | menerima | pendapat Mu’tazilah, bukan berarti saya menepiskan peran wah | 24 % |
etahui oleh akal dari hari pertama. Akal manusia berkembang, | mengalami | evolusi, dan akan makin matang. Saya lebih cenderung pad | 23 % |
pi, wahyu bisa memerosotkan akal manusia, manakala wahyu itu | mengalami | “vulgarisasi”, yaitu wahyu yang telah dibajak oleh kepenting | 27 % |
dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi jika tidak | mengandaikan | adanya manusia sebagai subyek yang bebas dan otonom. Ora | 62 % |
unyai makna yang negatif dalam sejumlah hal. Penyembahan | mengandaikan | bahwa obyek yang “disembah” adalah obyek yang “mati”, di-rei | 78 % |
tertentu mengenai “yang baik” dan “yang jahat”. Wahyu dapat | mengangkat | derajat akal manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan bermut | 25 % |
Ibadah sebagai “I-Thou” Tujuan pokok dari agama adalah | mengangkat | martabat kemanusiaan. Wahyu adalah sarana saja menuju ke ara | 67 % |
an berkali-kali menyindir orang Yahudi sebagai “keledai yang | mengangkut | berjilid-jilid kitab”, matsalulladzina hummilut Taurata kama | 50 % |
akrawala wahyu yang terbentang luas itu, maka siapapun dapat | mengatakan | sesuatu atas nama wahyu. Garansi bahwa wahyu dapat dipahami | 31 % |
sakkan secara paksa dari luar. Itulah sebabnya, sebuah hadis | mengatakan | “innamal a’malu bin niyyaat”, sesungguhnya segala tindakan t | 37 % |
a sebagai subyek yang bebas dan otonom. Orang-orang yang | mengatakan | bahwa dengan memberikan kebebasan, anda telah menjerumuska m | 63 % |
a-mata Tuhan. Adalah salah besar suatu anggapan populer yang | mengatakan | bahwa tugas pokok manusia adalah “menyembah” Tuhan. Pandanga | 69 % |
kal, intuisi dan fitrahnya, mencapai pemahaman yang mendalam | mengenai | kebaikan dan kejahatan? Apakah untuk mengetahui hal-hal itu, | 15 % |
ama, jika toh manusia sudah mampu mencapai sendiri pemahaman | mengenai | “yang baik” dan “yang jahat”? Apakah manusia secara moral ot | 16 % |
batas-batas itu. Setiap wahyu membawa suatu wawasan tertentu | mengenai | “yang baik” dan “yang jahat”. Wahyu dapat mengangkat derajat | 25 % |
berdasarkan intuisinya, untuk mencapai pemahaman yang benar | mengenai | dosa. Kenapa demikian? Haruslah diketahui, bahwa agama pada | 35 % |
an kepada kehendak-Nya. Tidak ada pemahaman yang lebih kotor | mengenai | hakikat ketuhanan kecuali pemahaman seperti ini. Pandangan m | 73 % |
i hakikat ketuhanan kecuali pemahaman seperti ini. Pandangan | mengenai | manusia sebagai Prometheus yang berseteru dengan Tuhan hanya | 73 % |
at, pandangan populer yang berkembang di kalangan umat Islam | mengenai | ayat tersebut cenderung kepada suatu citra manusia sebagai P | 75 % |
subyek. Jika diletakkan dalam kerangka filsafat Martin Buber | mengenai | relasi antar manusia, penyembahan adalah sebentuk hubungan a | 80 % |
n sikap permisif, ibahiyah; sikap menolerir setiap hal tanpa | mengenal | batas yang pasti. Dengan cara pandang semacam itu, Islam lib | 4 % |
yang mendalam mengenai kebaikan dan kejahatan? Apakah untuk | mengetahui | hal-hal itu, manusia harus menungguh wahyu dari “langit”? Ap | 15 % |
” dan “yang jahat”? Apakah manusia secara moral otonom dalam | mengetahui | kebaikan dan kejahatan, atau tergantung pada entitas di luar | 17 % |
ah yang memandang bahwa manusia dengan akalnya sendiri dapat | mengetahui | batas-batas kebaikan dan kejahatan, batas-batas kepantasan. | 20 % |
pan di bumi. Pandangan-pandangan keislaman populer kerapkali | menggambarkan | wahyu sebagai “leviathan” semacam itu. Manusia, dalam pandan | 46 % |
u’min wan man sya’a fal yakfur,” jika manusia mau, dia boleh | mengimani | jalan itu, dan jika mau, dia boleh mengingkarinya. Fakta-fak | 89 % |
sia ke jurang kesesatan, dari menit pertama mereka itu sudah | mengingkari | nilai kemanusiaan. Keledai selalu takut pada kebebasan, dan | 64 % |
rkara prinsip yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Banyak orang | mengira | bahwa kebebasan semacam itu menyebabkan manusia memberontak | 56 % |
ebabkan manusia memberontak kepada agama dan wahyu. Ada yang | mengira | bahwa dengan membatasi kebebasan itu, mereka telah melindung | 57 % |
Tetapi, proses-proses kesejarahan dalam Islam sendiri telah | mengubah | agama itu menjadi agama hukum yang dilandaskan kepada pemaks | 91 % |
ng lebih berbahaya bagi Islam kecuali pandangan yang mencoba | mengubah | karakter agama itu sebagai agama fitrah, menjadi agama hukum | 92 % |
hta an yath-thali’a ‘alaihin naas”. Dosa adalah sesuatu yang | menimbulkan | kekeruhan dan kekacauan di hatimu, dan kamu tak suka orang l | 33 % |
kemudian melahirkan suatu bidang kajian yang sangat kaya dan | meninggalkan | ribuan literatur yang canggih, yaitu bidang fikih. Setiap pe | 7 % |
dosa. Kenapa demikian? Haruslah diketahui, bahwa agama pada | menit | pertama adalah merupakan soal keinsafan/kesadaran pribadi; a | 35 % |
n, anda telah menjerumuska manusia ke jurang kesesatan, dari | menit | pertama mereka itu sudah mengingkari nilai kemanusiaan. Kele | 64 % |
ul diskusi yang ramai soal penerapan hukum Islam, maka fikih | menjadi | fokus perhatian, sebab dalam fikih lah sebagian besar hukum | 9 % |
k ini. Untuk itu, marilah kita masuki sebuah tema dasar yang | menjadi | debat dalam pemikiran Islam klasik: soal tindakan manusia (a | 13 % |
alu bin niyyaat”, sesungguhnya segala tindakan tidaklah akan | menjadi | tindakan yang “genuine” tanpa niat dan dorongan emotif yang | 37 % |
ses kesejarahan dalam Islam sendiri telah mengubah agama itu | menjadi | agama hukum yang dilandaskan kepada pemaksaan, dengan lebih | 91 % |
ng mencoba mengubah karakter agama itu sebagai agama fitrah, | menjadi | agama hukum yang ditegakkan atas paksaan. Kesimpulan yan | 93 % |
batas. Hampir mustahil bagi akal manusia yang terbatas untuk | menjangkau | seluruh horison wahyu. Karena cakrawala wahyu yang terbentan | 30 % |
ang mengatakan bahwa dengan memberikan kebebasan, anda telah | menjerumuska | manusia ke jurang kesesatan, dari menit pertama mereka itu s | 64 % |
au bahkan disetarakan dengan sikap permisif, ibahiyah; sikap | menolerir | setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan cara pand | 3 % |
ah mengangkat martabat kemanusiaan. Wahyu adalah sarana saja | menuju | ke arah itu. Fokus pertama dalam agama adalah manusia itu se | 68 % |
ejahatan? Apakah untuk mengetahui hal-hal itu, manusia harus | menungguh | wahyu dari “langit”? Apakah gunanya agama, jika toh manusia | 15 % |
nusia, dan dirinya sendiri. Bahasa kewajiban lebih menonjol, | menutup | bahasa hak dan kebebasan manusia. Islam liberal muncul dalam | 11 % |
Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah | menyangkal | kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan | 1 % |
Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah | menyangkal | kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. | 99 % |
tawar lagi. Banyak orang mengira bahwa kebebasan semacam itu | menyebabkan | manusia memberontak kepada agama dan wahyu. Ada yang mengira | 57 % |
kebebasan manusia. Islam liberal muncul dalam semangat untuk | menyeimbangkan | “neraca” antara bahasa kewajiban dan kebebasan/hak ini. Untu | 12 % |
disangkal, apakah gunanya sebuah agama? Qur’an berkali-kali | menyindir | orang Yahudi sebagai “keledai yang mengangkut berjilid-jilid | 50 % |
danya manusia-manusia yang berpikir bebas dan kemudian mampu | menyingkapkan | rahasia-rahasia terdalam dari wahyu. Ibadah sebagai “I | 66 % |
iman la ‘aqla lahu”, agama adalah akal, tidak ada agama bagi | mereka | yang tak mempunyai akal. Oleh karena itu, kebebasan manu | 55 % |
ahyu. Ada yang mengira bahwa dengan membatasi kebebasan itu, | mereka | telah melindungi wahyu. Ini jelas pandangan yang salah. Seba | 57 % |
menjerumuska manusia ke jurang kesesatan, dari menit pertama | mereka | itu sudah mengingkari nilai kemanusiaan. Keledai selalu taku | 64 % |
n? Haruslah diketahui, bahwa agama pada menit pertama adalah | merupakan | soal keinsafan/kesadaran pribadi; agama bukanlah aturan obye | 35 % |
sia ditempatkan sebagai obyek moral yang pasif. Akal manusia | merupakan | partisipan yang aktif dalam menafsiran ide-ide ketuhanan yan | 42 % |
ek yang “mati”, di-reifikasi, di-fiksasi. Penyembahan selalu | merupakan | proses yang sepihak, bukan proses dialogal yang hidup antara | 79 % |
gjawab. Dalam hadis lain dikatakan, “niyyatul mu’min khairun | min | ‘amalihi”, niat dan dorongan emotif yang sifatnya subyektif | 38 % |
ja secara leluasa. Qur’an mengatakan, “qad tabayyanar rushdu | minal | ghayy”, telah jelas jalan kebaikan dan kesesatan. “Fa man sy | 88 % |
ai Prometheus yang berseteru dengan Tuhan hanyalah ada dalam | mitos | Yunani kuno. Saya melihat, pandangan populer yang berkembang | 74 % |
ut lebih tepat dipahami sebagai hubungan Allah-manusia dalam | model | “I-Thou”; bukan penyembahan, tetapi proses dialogal yang kre | 86 % |
mengenai “yang baik” dan “yang jahat”? Apakah manusia secara | moral | otonom dalam mengetahui kebaikan dan kejahatan, atau tergant | 17 % |
apapun dalam Islam di mana manusia ditempatkan sebagai obyek | moral | yang pasif. Akal manusia merupakan partisipan yang aktif dal | 42 % |
ah martabat manusia itu sendiri. Jika manusia sebagai subyek | moral | yang bebas sudah tidak lagi ada atau disangkal, apakah gunan | 49 % |
telah dikosongkan dari motif, dan otonominya sebagai subyek | moral | telah disangkal, apakah yang tersisa dari manusia semacam it | 54 % |
daklah bermakna dalam kerangka beragama jika dilepaskan dari | motif | subyektif manusia. Saya tidak melihat suatu ide apapun d | 41 % |
empatkan sebagai “barang” yang sama sekali kosong dari suatu | motif | yang bebas. Inilah proses vulgarisasi Islam sebagaimana pern | 47 % |
gguh bertanggungjawab. Dalam hadis lain dikatakan, “niyyatul | mu’min | khairun min ‘amalihi”, niat dan dorongan emotif yang sifatny | 38 % |
lah mendapatkan pengajaran dari agama. Golongan kedua adalah | mu’tazilah | yang memandang bahwa manusia dengan akalnya sendiri dapat me | 20 % |
nusia (af’alul ‘ibad). Otonom atau tidak? Marilah kita | mulai | dengan pertanyaan sederhana: apakah manusia bisa, dengan aka | 14 % |
ihi”, niat dan dorongan emotif yang sifatnya subyektif lebih | mulia | dari tindakan. Wilayah niat ada dalam wilayah subyektivitas | 39 % |
icaraan tentang hukum selalu rujukannya adalah fikih. Ketika | muncul | diskusi yang ramai soal penerapan hukum Islam, maka fikih me | 8 % |
jol, menutup bahasa hak dan kebebasan manusia. Islam liberal | muncul | dalam semangat untuk menyeimbangkan “neraca” antara bahasa k | 11 % |
ang tersembunyi dalam wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak | mungkin | terjadi jika tidak mengandaikan adanya manusia sebagai subye | 62 % |
ekanan diberikan kepada “kewajiban”, yaitu kewajiban seorang | muslim | terhadap Allah, sesama manusia, dan dirinya sendiri. Bahasa | 10 % |
lah laksana horison atau cakrawala yang tak berbatas. Hampir | mustahil | bagi akal manusia yang terbatas untuk menjangkau seluruh hor | 30 % |
ah integritas akal manusia itu sendiri. Salah satu hadis | nabi | mengatakan, “al itsmu ma haka fi nafsika wa karihta an yath- | 32 % |
tersisa dari manusia semacam itu selain “jasad” yang pasif. | nabi | pernah bersaba, “ad dinu huwal ‘aql, la dina liman la ‘aqla | 54 % |
. Salah satu hadis Nabi mengatakan, “al itsmu ma haka fi | nafsika | wa karihta an yath-thali’a ‘alaihin naas”. Dosa adalah sesua | 32 % |
entang luas itu, maka siapapun dapat mengatakan sesuatu atas | nama | wahyu. Garansi bahwa wahyu dapat dipahami dengan tepat adala | 31 % |
alam bahasa Inggris. Sebab, penyembahan mempunyai makna yang | negatif | dalam sejumlah hal. Penyembahan mengandaikan bahwa obyek | 78 % |
tindakan tidaklah akan menjadi tindakan yang “genuine” tanpa | niat | dan dorongan emotif yang sungguh-sungguh bertanggungjawab. D | 38 % |
adis lain dikatakan, “niyyatul mu’min khairun min ‘amalihi”, | niat | dan dorongan emotif yang sifatnya subyektif lebih mulia dari | 39 % |
f yang sifatnya subyektif lebih mulia dari tindakan. Wilayah | niat | ada dalam wilayah subyektivitas manusia; wilayah itu mempuny | 39 % |
g kesesatan, dari menit pertama mereka itu sudah mengingkari | nilai | kemanusiaan. Keledai selalu takut pada kebebasan, dan terus- | 64 % |
u ide apapun dalam Islam di mana manusia ditempatkan sebagai | obyek | moral yang pasif. Akal manusia merupakan partisipan yang akt | 42 % |
gatif dalam sejumlah hal. Penyembahan mengandaikan bahwa | obyek | yang “disembah” adalah obyek yang “mati”, di-reifikasi, di-f | 78 % |
Penyembahan mengandaikan bahwa obyek yang “disembah” adalah | obyek | yang “mati”, di-reifikasi, di-fiksasi. Penyembahan selalu me | 78 % |
akan soal keinsafan/kesadaran pribadi; agama bukanlah aturan | obyektif | yang bisa begitu saja didesakkan secara paksa dari luar. Itu | 36 % |
layah itu mempunyai ciri-ciri kebebasan. Jadi, aturan-aturan | obyektif | yang ditetapkan oleh agama, tidaklah bermakna dalam kerangka | 40 % |
n pokok bahwa kebaikan dan kejahatan itu haruslah ditentukan | oleh | agama. Manusia baru tahu bahwa tindakan ini jahat atau baik | 19 % |
sebut, tidak berarti bahwa seluruh batas itu sudah diketahui | oleh | akal dari hari pertama. Akal manusia berkembang, mengalami e | 22 % |
itu mengalami “vulgarisasi”, yaitu wahyu yang telah dibajak | oleh | kepentingan-kepentingan sesaat yang bersifat duniawi. Agar w | 27 % |
ciri kebebasan. Jadi, aturan-aturan obyektif yang ditetapkan | oleh | agama, tidaklah bermakna dalam kerangka beragama jika dilepa | 40 % |
Inilah proses vulgarisasi Islam sebagaimana pernah ditunjuk | oleh | Prof. Khaled Abou El Fadl. Dalam situasi yang sudah “vul | 48 % |
h akal, tidak ada agama bagi mereka yang tak mempunyai akal. | oleh | karena itu, kebebasan manusia adalah perkara prinsip yang ta | 55 % |
mensi terdalam yang subtil dari wahyu akan sulit diungkapkan | oleh | manusia. Sebab, untuk memahami kompleksitas wahyu, diperluka | 59 % |
Bedanya, Prometheus versi Islam adalah Prometheus yang kalah | oleh | kehendak Tuhan. Ini jelas suatu citraan manusia yang tidak s | 76 % |
tu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. | oleh: | Ulil Abshar-Abdalla Ada kesan yang tertanam dalam sebagian | 2 % |
h (mahdzur), menempati kedudukan yang begitu sentral. Setiap | orang | Islam selalu peduli pada apa yang dia kerjakan, apakah pebua | 6 % |
mbulkan kekeruhan dan kekacauan di hatimu, dan kamu tak suka | orang | lain melihatmu melakukannya. Hadis ini memberikan tekanan ya | 33 % |
, apakah gunanya sebuah agama? Qur’an berkali-kali menyindir | orang | Yahudi sebagai “keledai yang mengangkut berjilid-jilid kitab | 50 % |
lah perkara prinsip yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Banyak | orang | mengira bahwa kebebasan semacam itu menyebabkan manusia memb | 56 % |
” dalam Islam Liberal Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi | orang-orang | yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama b | 1 % |
ndaikan adanya manusia sebagai subyek yang bebas dan otonom. | orang-orang | yang mengatakan bahwa dengan memberikan kebebasan, anda tela | 63 % |
yang dapat menuntunnya. Sesungguhnya Islam tidak membutuhkan | orang-orang | semacam itu. Kecemerlangan Islam justru akan dimungkinkan ka | 65 % |
Islam itu sendiri. Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi | orang-orang | yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. | 99 % |
mikiran Islam klasik: soal tindakan manusia (af’alul ‘ibad). | otonom | atau tidak? Marilah kita mulai dengan pertanyaan sederhan | 13 % |
ai “yang baik” dan “yang jahat”? Apakah manusia secara moral | otonom | dalam mengetahui kebaikan dan kejahatan, atau tergantung pad | 17 % |
epad keledai. Jika manusia telah dikosongkan dari motif, dan | otonominya | sebagai subyek moral telah disangkal, apakah yang tersisa da | 53 % |
udukan yang begitu sentral. Setiap orang Islam selalu peduli | pada | apa yang dia kerjakan, apakah pebuatan itu boleh atau tidak. | 6 % |
nom dalam mengetahui kebaikan dan kejahatan, atau tergantung | pada | entitas di luar dirinya? Dalam masalah ini, ada dua jawa | 17 % |
ami evolusi, dan akan makin matang. Saya lebih cenderung | pada | pandangan kaum Mu’tazilah. Tetapi, harap lah disadari bahwa | 23 % |
genai dosa. Kenapa demikian? Haruslah diketahui, bahwa agama | pada | menit pertama adalah merupakan soal keinsafan/kesadaran prib | 35 % |
tu sudah mengingkari nilai kemanusiaan. Keledai selalu takut | pada | kebebasan, dan terus-menerus mencari majikan yang dapat menu | 65 % |
n dalam kerangka “I-Thou”, aku-Engkau. Agama yang didasarkan | pada | penyembahan dalam kerangka hubungan “I-it” hanya akan memero | 84 % |
mbahan, tetapi proses dialogal yang kreatif. Penyembahan | pada | Tuhan tidak mempunyai makna apa-apa jika tidak diletakkan da | 86 % |
n panjang ini adalah bahwa dengan membubuhkan kata “liberal” | pada | Islam, sesunggunya saya hendak menegaskan kembali dimensi ke | 94 % |
n kembali dimensi kebebasan manusia, dan menempatkan manusia | pada | fokus penghayatan keagamaan, maka kita telah memulihkan kemb | 98 % |
nlah aturan obyektif yang bisa begitu saja didesakkan secara | paksa | dari luar. Itulah sebabnya, sebuah hadis mengatakan “innamal | 36 % |
erir setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan cara | pandang | semacam itu, Islam liberal dipandang sebagai ancaman terhada | 4 % |
ikiran Islam klasik. Ada golongan Sunni yang dominan, dengan | pandangan | pokok bahwa kebaikan dan kejahatan itu haruslah ditentukan o | 18 % |
volusi, dan akan makin matang. Saya lebih cenderung pada | pandangan | kaum Mu’tazilah. Tetapi, harap lah disadari bahwa dengan men | 23 % |
alam wahyu. Saya tidak pernah membayangkan bahwa wahyu dalam | pandangan | Islam memandang “dunia manusia” sebagai dunia hobbesian yang | 43 % |
barkan wahyu sebagai “leviathan” semacam itu. Manusia, dalam | pandangan | populer semacam itu, kerapkali ditempatkan sebagai “barang” | 47 % |
tasi kebebasan itu, mereka telah melindungi wahyu. Ini jelas | pandangan | yang salah. Sebab, begitu kebebasan manusia dibatasi, maka d | 58 % |
ngatakan bahwa tugas pokok manusia adalah “menyembah” Tuhan. | pandangan | ini bersumber dari pemahaman yang salah atas ayat “wa ma kha | 69 % |
or mengenai hakikat ketuhanan kecuali pemahaman seperti ini. | pandangan | mengenai manusia sebagai Prometheus yang berseteru dengan Tu | 73 % |
an Tuhan hanyalah ada dalam mitos Yunani kuno. Saya melihat, | pandangan | populer yang berkembang di kalangan umat Islam mengenai ayat | 74 % |
kewajiban. Tidak ada yang lebih berbahaya bagi Islam kecuali | pandangan | yang mencoba mengubah karakter agama itu sebagai agama fitra | 92 % |
emenuhi tugas ketuhanan untuk memperbaiki kehidupan di bumi. | pandangan-pandangan | keislaman populer kerapkali menggambarkan wahyu sebagai “lev | 46 % |
ulan yang hendak saya tuju dari ulasan yang agak “ruwet” dan | panjang | ini adalah bahwa dengan membubuhkan kata “liberal” pada Isla | 93 % |
atkan sebagai obyek moral yang pasif. Akal manusia merupakan | partisipan | yang aktif dalam menafsiran ide-ide ketuhanan yang terkandun | 42 % |
rangka semacam ini. Kata “liberal” di sini tidak ada sangkut | pautnya | dengan kebebasan tanpa batas, dengan sikap-sikap permisif ya | 96 % |
orang Islam selalu peduli pada apa yang dia kerjakan, apakah | pebuatan | itu boleh atau tidak. Inilah yang kemudian melahirkan suatu | 6 % |
ati kedudukan yang begitu sentral. Setiap orang Islam selalu | peduli | pada apa yang dia kerjakan, apakah pebuatan itu boleh atau t | 6 % |
h manusia bisa, dengan akal, intuisi dan fitrahnya, mencapai | pemahaman | yang mendalam mengenai kebaikan dan kejahatan? Apakah untuk | 14 % |
gunanya agama, jika toh manusia sudah mampu mencapai sendiri | pemahaman | mengenai “yang baik” dan “yang jahat”? Apakah manusia secara | 16 % |
da kemampuan manusia, berdasarkan intuisinya, untuk mencapai | pemahaman | yang benar mengenai dosa. Kenapa demikian? Haruslah diketahu | 34 % |
nusia adalah “menyembah” Tuhan. Pandangan ini bersumber dari | pemahaman | yang salah atas ayat “wa ma khalaqtul jinna wal insa illa li | 70 % |
an sehingga harus ditundukkan kepada kehendak-Nya. Tidak ada | pemahaman | yang lebih kotor mengenai hakikat ketuhanan kecuali pemahama | 73 % |
emahaman yang lebih kotor mengenai hakikat ketuhanan kecuali | pemahaman | seperti ini. Pandangan mengenai manusia sebagai Prometheus y | 73 % |
an ribuan literatur yang canggih, yaitu bidang fikih. Setiap | pembicaraan | tentang hukum selalu rujukannya adalah fikih. Ketika muncul | 8 % |
rilah kita masuki sebuah tema dasar yang menjadi debat dalam | pemikiran | Islam klasik: soal tindakan manusia (af’alul ‘ibad). Oton | 13 % |
am masalah ini, ada dua jawaban yang tersedia dalam khazanah | pemikiran | Islam klasik. Ada golongan Sunni yang dominan, dengan pandan | 18 % |
Mu’tazilah. Tetapi, harap lah disadari bahwa dengan menerima | pendapat | Mu’tazilah, bukan berarti saya menepiskan peran wahyu dalam | 24 % |
ahui, maka Aku ciptakan manusia.” Hadis ini memberikan suatu | penegasan | yang penting bahwa manusia diciptakan untuk “menggali” dimen | 61 % |
jukannya adalah fikih. Ketika muncul diskusi yang ramai soal | penerapan | hukum Islam, maka fikih menjadi fokus perhatian, sebab dalam | 9 % |
idak sesuai dengan semangat Islam. Saya kurang setuju dengan | penerjemahan | kata “ibadah” sebagai penyembahan, atau “worship” dalam baha | 77 % |
tahu bahwa tindakan ini jahat atau baik setelah mendapatkan | pengajaran | dari agama. Golongan kedua adalah Mu’tazilah yang memandang | 20 % |
imensi kebebasan manusia, dan menempatkan manusia pada fokus | penghayatan | keagamaan, maka kita telah memulihkan kembali integritas wah | 98 % |
ciptakan manusia.” Hadis ini memberikan suatu penegasan yang | penting | bahwa manusia diciptakan untuk “menggali” dimensi-dimensi ya | 61 % |
r moralitas, maka diperlukan akal yang bertanggung jawab dan | penuh | integritas. Kita semua tahu, bahwa wahyu itu adalah laksana | 29 % |
han” yang bengis. Islam meletakkan manusia dalam posisi yang | penuh | martabat, sebagai “khalifah” yang memenuhi tugas ketuhanan u | 45 % |
-humanistik, dapat berarti bahwa agama itu tidak lain adalah | penundukan | manusia. Manusia seolah-olah ancaman bagi Tuhan sehingga har | 72 % |
gai penyembahan, atau “worship” dalam bahasa Inggris. Sebab, | penyembahan | mempunyai makna yang negatif dalam sejumlah hal. Penyemb | 77 % |
penyembahan mempunyai makna yang negatif dalam sejumlah hal. | penyembahan | mengandaikan bahwa obyek yang “disembah” adalah obyek yang “ | 78 % |
isembah” adalah obyek yang “mati”, di-reifikasi, di-fiksasi. | penyembahan | selalu merupakan proses yang sepihak, bukan proses dialogal | 79 % |
erangka filsafat Martin Buber mengenai relasi antar manusia, | penyembahan | adalah sebentuk hubungan antara Allah dan manusia sebagai hu | 80 % |
ebagai hubungan “I-it”, “aku-dan-dia”. Allah, dalam kerangka | penyembahan | semacam itu, telah “dibendakan”. Allah yang disembah adalah | 81 % |
am kerangka “I-Thou”, aku-Engkau. Agama yang didasarkan pada | penyembahan | dalam kerangka hubungan “I-it” hanya akan memerosotkan marta | 84 % |
ou”; bukan penyembahan, tetapi proses dialogal yang kreatif. | penyembahan | pada Tuhan tidak mempunyai makna apa-apa jika tidak diletakk | 86 % |
menerima pendapat Mu’tazilah, bukan berarti saya menepiskan | peran | wahyu dalam memperkaya wawasan akal manusia untuk memahami b | 24 % |
empunyai akal. Oleh karena itu, kebebasan manusia adalah | perkara | prinsip yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Banyak orang mengi | 56 % |
Dalam situasi yang sudah “vulgar” semacam itu, yang pertama | perlu | direstorasi adalah martabat manusia itu sendiri. Jika manusi | 49 % |
kut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan sikap-sikap | permisif | yang melawan kecenderungan “intrinsik” dalam akal manusia it | 97 % |
an ide-ide ketuhanan yang terkandung dalam wahyu. Saya tidak | pernah | membayangkan bahwa wahyu dalam pandangan Islam memandang “du | 43 % |
otif yang bebas. Inilah proses vulgarisasi Islam sebagaimana | pernah | ditunjuk oleh Prof. Khaled Abou El Fadl. Dalam situasi y | 48 % |
Taurata kamatsalil khimari yahmilu asfaara. Keledai tak akan | pernah | bisa mendapatkan manfaat apapun dari barang-barang yang dian | 51 % |
isa dari manusia semacam itu selain “jasad” yang pasif. Nabi | pernah | bersaba, “ad dinu huwal ‘aql, la dina liman la ‘aqla lahu”, | 54 % |
erhadap keberagamaan yang sudah terlembaga. Dalam Islam, | persoalan | “batasan” (hadd) antara mana yang boleh (mubah) dan yang tak | 5 % |
Kenapa demikian? Haruslah diketahui, bahwa agama pada menit | pertama | adalah merupakan soal keinsafan/kesadaran pribadi; agama buk | 35 % |
adl. Dalam situasi yang sudah “vulgar” semacam itu, yang | pertama | perlu direstorasi adalah martabat manusia itu sendiri. Jika | 49 % |
a telah menjerumuska manusia ke jurang kesesatan, dari menit | pertama | mereka itu sudah mengingkari nilai kemanusiaan. Keledai sela | 64 % |
anusiaan. Wahyu adalah sarana saja menuju ke arah itu. Fokus | pertama | dalam agama adalah manusia itu sendiri, bukan semata-mata Tu | 68 % |
l ‘ibad). Otonom atau tidak? Marilah kita mulai dengan | pertanyaan | sederhana: apakah manusia bisa, dengan akal, intuisi dan fit | 14 % |
am klasik. Ada golongan Sunni yang dominan, dengan pandangan | pokok | bahwa kebaikan dan kejahatan itu haruslah ditentukan oleh ag | 18 % |
terdalam dari wahyu. Ibadah sebagai “I-Thou” Tujuan | pokok | dari agama adalah mengangkat martabat kemanusiaan. Wahyu ada | 67 % |
lah besar suatu anggapan populer yang mengatakan bahwa tugas | pokok | manusia adalah “menyembah” Tuhan. Pandangan ini bersumber da | 69 % |
memperbaiki kehidupan di bumi. Pandangan-pandangan keislaman | populer | kerapkali menggambarkan wahyu sebagai “leviathan” semacam it | 46 % |
yu sebagai “leviathan” semacam itu. Manusia, dalam pandangan | populer | semacam itu, kerapkali ditempatkan sebagai “barang” yang sam | 47 % |
diperlukan akal manusia yang matang. Sebuah hadis qudsi yang | populer | di kalangan sufi menyatakan, “Aku (Allah) adalah ‘kanzun mak | 60 % |
, bukan semata-mata Tuhan. Adalah salah besar suatu anggapan | populer | yang mengatakan bahwa tugas pokok manusia adalah “menyembah” | 69 % |
i untuk menyembah-Ku. Ayat ini, jika dipahami dalam kerangka | populer | yang cenderung anti-humanistik, dapat berarti bahwa agama it | 71 % |
anyalah ada dalam mitos Yunani kuno. Saya melihat, pandangan | populer | yang berkembang di kalangan umat Islam mengenai ayat tersebu | 74 % |
uatu “leviathan” yang bengis. Islam meletakkan manusia dalam | posisi | yang penuh martabat, sebagai “khalifah” yang memenuhi tugas | 45 % |
pada menit pertama adalah merupakan soal keinsafan/kesadaran | pribadi; | agama bukanlah aturan obyektif yang bisa begitu saja didesak | 36 % |
akal. Oleh karena itu, kebebasan manusia adalah perkara | prinsip | yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Banyak orang mengira bahwa | 56 % |
li pemahaman seperti ini. Pandangan mengenai manusia sebagai | prometheus | yang berseteru dengan Tuhan hanyalah ada dalam mitos Yunani | 74 % |
rung kepada suatu citra manusia sebagai Prometheus. Bedanya, | prometheus | versi Islam adalah Prometheus yang kalah oleh kehendak Tuhan | 75 % |
a sebagai Prometheus. Bedanya, Prometheus versi Islam adalah | prometheus | yang kalah oleh kehendak Tuhan. Ini jelas suatu citraan manu | 76 % |
yang sama sekali kosong dari suatu motif yang bebas. Inilah | proses | vulgarisasi Islam sebagaimana pernah ditunjuk oleh Prof. Kha | 48 % |
ati”, di-reifikasi, di-fiksasi. Penyembahan selalu merupakan | proses | yang sepihak, bukan proses dialogal yang hidup antara subyek | 79 % |
asi. Penyembahan selalu merupakan proses yang sepihak, bukan | proses | dialogal yang hidup antara subyek dan subyek. Jika diletakka | 79 % |
llah-manusia dalam model “I-Thou”; bukan penyembahan, tetapi | proses | dialogal yang kreatif. Penyembahan pada Tuhan tidak memp | 86 % |
g dalam sumber utama ajaran Islam, Qur’an dan Hadis. Tetapi, | proses-proses | kesejarahan dalam Islam sendiri telah mengubah agama itu men | 90 % |
epentingan sesaat yang bersifat duniawi. Agar wahyu itu bisa | pulih | kembali dan memperoleh inegritasnya lagi sebagai sumber mora | 28 % |
tas wahyu, diperlukan akal manusia yang matang. Sebuah hadis | qudsi | yang populer di kalangan sufi menyatakan, “Aku (Allah) adala | 60 % |
tidak lagi ada atau disangkal, apakah gunanya sebuah agama? | qur’an | berkali-kali menyindir orang Yahudi sebagai “keledai yang me | 50 % |
subyek yang bebas, dengan akal yang bekerja secara leluasa. | qur’an | mengatakan, “qad tabayyanar rushdu minal ghayy”, telah jelas | 88 % |
ni begitu jelasnya tertuang dalam sumber utama ajaran Islam, | qur’an | dan Hadis. Tetapi, proses-proses kesejarahan dalam Islam sen | 90 % |
manusia yang berpikir bebas dan kemudian mampu menyingkapkan | rahasia-rahasia | terdalam dari wahyu. Ibadah sebagai “I-Thou” Tujuan | 67 % |
m selalu rujukannya adalah fikih. Ketika muncul diskusi yang | ramai | soal penerapan hukum Islam, maka fikih menjadi fokus perhati | 8 % |
ika diletakkan dalam kerangka filsafat Martin Buber mengenai | relasi | antar manusia, penyembahan adalah sebentuk hubungan antara A | 80 % |
hirkan suatu bidang kajian yang sangat kaya dan meninggalkan | ribuan | literatur yang canggih, yaitu bidang fikih. Setiap pembicara | 7 % |
yaitu bidang fikih. Setiap pembicaraan tentang hukum selalu | rujukannya | adalah fikih. Ketika muncul diskusi yang ramai soal penerapa | 8 % |
g bekerja secara leluasa. Qur’an mengatakan, “qad tabayyanar | rushdu | minal ghayy”, telah jelas jalan kebaikan dan kesesatan. “Fa | 88 % |
ran pribadi; agama bukanlah aturan obyektif yang bisa begitu | saja | didesakkan secara paksa dari luar. Itulah sebabnya, sebuah h | 36 % |
adalah mengangkat martabat kemanusiaan. Wahyu adalah sarana | saja | menuju ke arah itu. Fokus pertama dalam agama adalah manusia | 68 % |
ami dengan tepat adalah integritas akal manusia itu sendiri. | salah | satu hadis Nabi mengatakan, “al itsmu ma haka fi nafsika wa | 32 % |
adalah manusia itu sendiri, bukan semata-mata Tuhan. Adalah | salah | besar suatu anggapan populer yang mengatakan bahwa tugas pok | 69 % |
enyembah” Tuhan. Pandangan ini bersumber dari pemahaman yang | salah | atas ayat “wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun,” | 70 % |
ler semacam itu, kerapkali ditempatkan sebagai “barang” yang | sama | sekali kosong dari suatu motif yang bebas. Inilah proses vul | 47 % |
ak. Inilah yang kemudian melahirkan suatu bidang kajian yang | sangat | kaya dan meninggalkan ribuan literatur yang canggih, yaitu b | 7 % |
dalam kerangka semacam ini. Kata “liberal” di sini tidak ada | sangkut | pautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan sikap-sikap per | 96 % |
i agama adalah mengangkat martabat kemanusiaan. Wahyu adalah | sarana | saja menuju ke arah itu. Fokus pertama dalam agama adalah ma | 68 % |
tepat adalah integritas akal manusia itu sendiri. Salah | satu | hadis Nabi mengatakan, “al itsmu ma haka fi nafsika wa karih | 32 % |
anusia berkembang, mengalami evolusi, dan akan makin matang. | saya | lebih cenderung pada pandangan kaum Mu’tazilah. Tetapi, hara | 23 % |
ari bahwa dengan menerima pendapat Mu’tazilah, bukan berarti | saya | menepiskan peran wahyu dalam memperkaya wawasan akal manusia | 24 % |
angka beragama jika dilepaskan dari motif subyektif manusia. | saya | tidak melihat suatu ide apapun dalam Islam di mana manusia d | 41 % |
am menafsiran ide-ide ketuhanan yang terkandung dalam wahyu. | saya | tidak pernah membayangkan bahwa wahyu dalam pandangan Islam | 43 % |
berseteru dengan Tuhan hanyalah ada dalam mitos Yunani kuno. | saya | melihat, pandangan populer yang berkembang di kalangan umat | 74 % |
atu citraan manusia yang tidak sesuai dengan semangat Islam. | saya | kurang setuju dengan penerjemahan kata “ibadah” sebagai peny | 77 % |
di-fiksasi dalam gambaran yang tetap seperti sebuah “idol”. | saya | berpandangan bahwa seharusnya manusia berhubungan dengan All | 83 % |
kum yang ditegakkan atas paksaan. Kesimpulan yang hendak | saya | tuju dari ulasan yang agak “ruwet” dan panjang ini adalah ba | 93 % |
wa dengan membubuhkan kata “liberal” pada Islam, sesunggunya | saya | hendak menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang | 94 % |
i orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. | sebab | agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. Oleh: Ulil Abs | 1 % |
l penerapan hukum Islam, maka fikih menjadi fokus perhatian, | sebab | dalam fikih lah sebagian besar hukum Islam dirumuskan. D | 9 % |
i orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. | sebab | agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. | 100 % |
ti. Dengan cara pandang semacam itu, Islam liberal dipandang | sebagai | ancaman terhadap keberagamaan yang sudah terlembaga. Dal | 4 % |
ahyu itu bisa pulih kembali dan memperoleh inegritasnya lagi | sebagai | sumber moralitas, maka diperlukan akal yang bertanggung jawa | 28 % |
hat suatu ide apapun dalam Islam di mana manusia ditempatkan | sebagai | obyek moral yang pasif. Akal manusia merupakan partisipan ya | 42 % |
bahwa wahyu dalam pandangan Islam memandang “dunia manusia” | sebagai | dunia hobbesian yang kotor, brutal, sementara, dan licik, da | 43 % |
or, brutal, sementara, dan licik, dan karena itu wahyu turun | sebagai | suatu “leviathan” yang bengis. Islam meletakkan manusia dala | 44 % |
. Islam meletakkan manusia dalam posisi yang penuh martabat, | sebagai | “khalifah” yang memenuhi tugas ketuhanan untuk memperbaiki k | 45 % |
an-pandangan keislaman populer kerapkali menggambarkan wahyu | sebagai | “leviathan” semacam itu. Manusia, dalam pandangan populer se | 46 % |
, dalam pandangan populer semacam itu, kerapkali ditempatkan | sebagai | “barang” yang sama sekali kosong dari suatu motif yang bebas | 47 % |
irestorasi adalah martabat manusia itu sendiri. Jika manusia | sebagai | subyek moral yang bebas sudah tidak lagi ada atau disangkal, | 49 % |
nya sebuah agama? Qur’an berkali-kali menyindir orang Yahudi | sebagai | “keledai yang mengangkut berjilid-jilid kitab”, matsalulladz | 50 % |
i. Jika manusia telah dikosongkan dari motif, dan otonominya | sebagai | subyek moral telah disangkal, apakah yang tersisa dari manus | 53 % |
u tak mungkin terjadi jika tidak mengandaikan adanya manusia | sebagai | subyek yang bebas dan otonom. Orang-orang yang mengataka | 63 % |
yingkapkan rahasia-rahasia terdalam dari wahyu. Ibadah | sebagai | “I-Thou” Tujuan pokok dari agama adalah mengangkat martab | 67 % |
an kecuali pemahaman seperti ini. Pandangan mengenai manusia | sebagai | Prometheus yang berseteru dengan Tuhan hanyalah ada dalam mi | 74 % |
mengenai ayat tersebut cenderung kepada suatu citra manusia | sebagai | Prometheus. Bedanya, Prometheus versi Islam adalah Prometheu | 75 % |
Islam. Saya kurang setuju dengan penerjemahan kata “ibadah” | sebagai | penyembahan, atau “worship” dalam bahasa Inggris. Sebab, pen | 77 % |
enyembahan adalah sebentuk hubungan antara Allah dan manusia | sebagai | hubungan “I-it”, “aku-dan-dia”. Allah, dalam kerangka penyem | 81 % |
n Allah itu sendiri. Arti ayat tersebut lebih tepat dipahami | sebagai | hubungan Allah-manusia dalam model “I-Thou”; bukan penyembah | 85 % |
i makna apa-apa jika tidak diletakkan dalam kerangka manusia | sebagai | subyek yang bebas, dengan akal yang bekerja secara leluasa. | 87 % |
m kecuali pandangan yang mencoba mengubah karakter agama itu | sebagai | agama fitrah, menjadi agama hukum yang ditegakkan atas paksa | 92 % |
dari suatu motif yang bebas. Inilah proses vulgarisasi Islam | sebagaimana | pernah ditunjuk oleh Prof. Khaled Abou El Fadl. Dalam si | 48 % |
Oleh: Ulil Abshar-Abdalla Ada kesan yang tertanam dalam | sebagian | orang, bahwa istilah “liberal” dalam Islam liberal mempunyai | 2 % |
m, maka fikih menjadi fokus perhatian, sebab dalam fikih lah | sebagian | besar hukum Islam dirumuskan. Dalam diskusi-diskusi itu, | 9 % |
gan-dorongan emotif-subyektif dalam manusia itu sendiri. Dan | sebaiknya | kata liberal dalam “Islam liberal” dipahami dalam kerangka s | 95 % |
rtin Buber mengenai relasi antar manusia, penyembahan adalah | sebentuk | hubungan antara Allah dan manusia sebagai hubungan “I-it”, “ | 80 % |
ajiban dan kebebasan/hak ini. Untuk itu, marilah kita masuki | sebuah | tema dasar yang menjadi debat dalam pemikiran Islam klasik: | 13 % |
itu saja didesakkan secara paksa dari luar. Itulah sebabnya, | sebuah | hadis mengatakan “innamal a’malu bin niyyaat”, sesungguhnya | 36 % |
ng bebas sudah tidak lagi ada atau disangkal, apakah gunanya | sebuah | agama? Qur’an berkali-kali menyindir orang Yahudi sebagai “k | 50 % |
ami kompleksitas wahyu, diperlukan akal manusia yang matang. | sebuah | hadis qudsi yang populer di kalangan sufi menyatakan, “Aku ( | 60 % |
erhalakan, yang di-fiksasi dalam gambaran yang tetap seperti | sebuah | “idol”. Saya berpandangan bahwa seharusnya manusia berhubung | 82 % |
ahaman mengenai “yang baik” dan “yang jahat”? Apakah manusia | secara | moral otonom dalam mengetahui kebaikan dan kejahatan, atau t | 17 % |
ma bukanlah aturan obyektif yang bisa begitu saja didesakkan | secara | paksa dari luar. Itulah sebabnya, sebuah hadis mengatakan “i | 36 % |
manusia sebagai subyek yang bebas, dengan akal yang bekerja | secara | leluasa. Qur’an mengatakan, “qad tabayyanar rushdu minal gha | 87 % |
Otonom atau tidak? Marilah kita mulai dengan pertanyaan | sederhana: | apakah manusia bisa, dengan akal, intuisi dan fitrahnya, men | 14 % |
arang-barang yang diangkutnya. Wahyu tidak akan berguna bagi | seekor | keledai. Dan tak ada gunanya mendakwahkan kedalaman dan kese | 52 % |
hadis mengatakan “innamal a’malu bin niyyaat”, sesungguhnya | segala | tindakan tidaklah akan menjadi tindakan yang “genuine” tanpa | 37 % |
an yang tetap seperti sebuah “idol”. Saya berpandangan bahwa | seharusnya | manusia berhubungan dengan Allah bukan dengan cara seperti i | 83 % |
h penundukan manusia. Manusia seolah-olah ancaman bagi Tuhan | sehingga | harus ditundukkan kepada kehendak-Nya. Tidak ada pemahaman y | 72 % |
ggris. Sebab, penyembahan mempunyai makna yang negatif dalam | sejumlah | hal. Penyembahan mengandaikan bahwa obyek yang “disembah | 78 % |
, dan Kebebasan: Tentang Makna “Liberal” dalam Islam Liberal | sekali | lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyan | 1 % |
m Islam dirumuskan. Dalam diskusi-diskusi itu, kelihatan | sekali | bahwa tekanan diberikan kepada “kewajiban”, yaitu kewajiban | 10 % |
emacam itu, kerapkali ditempatkan sebagai “barang” yang sama | sekali | kosong dari suatu motif yang bebas. Inilah proses vulgarisas | 47 % |
h memulihkan kembali integritas wahyu dan Islam itu sendiri. | sekali | lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyan | 99 % |
elah disangkal, apakah yang tersisa dari manusia semacam itu | selain | “jasad” yang pasif. Nabi pernah bersaba, “ad dinu huwal ‘aql | 54 % |
menempati kedudukan yang begitu sentral. Setiap orang Islam | selalu | peduli pada apa yang dia kerjakan, apakah pebuatan itu boleh | 6 % |
anggih, yaitu bidang fikih. Setiap pembicaraan tentang hukum | selalu | rujukannya adalah fikih. Ketika muncul diskusi yang ramai so | 8 % |
tama mereka itu sudah mengingkari nilai kemanusiaan. Keledai | selalu | takut pada kebebasan, dan terus-menerus mencari majikan yang | 64 % |
lah obyek yang “mati”, di-reifikasi, di-fiksasi. Penyembahan | selalu | merupakan proses yang sepihak, bukan proses dialogal yang hi | 79 % |
a dapat menentukan batas-batas tersebut, tidak berarti bahwa | seluruh | batas itu sudah diketahui oleh akal dari hari pertama. Akal | 22 % |
ir mustahil bagi akal manusia yang terbatas untuk menjangkau | seluruh | horison wahyu. Karena cakrawala wahyu yang terbentang luas i | 30 % |
iap hal tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan cara pandang | semacam | itu, Islam liberal dipandang sebagai ancaman terhadap kebera | 4 % |
an populer kerapkali menggambarkan wahyu sebagai “leviathan” | semacam | itu. Manusia, dalam pandangan populer semacam itu, kerapkali | 46 % |
ai “leviathan” semacam itu. Manusia, dalam pandangan populer | semacam | itu, kerapkali ditempatkan sebagai “barang” yang sama sekali | 47 % |
. Khaled Abou El Fadl. Dalam situasi yang sudah “vulgar” | semacam | itu, yang pertama perlu direstorasi adalah martabat manusia | 48 % |
byek moral telah disangkal, apakah yang tersisa dari manusia | semacam | itu selain “jasad” yang pasif. Nabi pernah bersaba, “ad dinu | 54 % |
isa ditawar-tawar lagi. Banyak orang mengira bahwa kebebasan | semacam | itu menyebabkan manusia memberontak kepada agama dan wahyu. | 56 % |
enuntunnya. Sesungguhnya Islam tidak membutuhkan orang-orang | semacam | itu. Kecemerlangan Islam justru akan dimungkinkan karena ada | 66 % |
gan “I-it”, “aku-dan-dia”. Allah, dalam kerangka penyembahan | semacam | itu, telah “dibendakan”. Allah yang disembah adalah Allah ya | 81 % |
a kata liberal dalam “Islam liberal” dipahami dalam kerangka | semacam | ini. Kata “liberal” di sini tidak ada sangkut pautnya dengan | 96 % |
bahasa hak dan kebebasan manusia. Islam liberal muncul dalam | semangat | untuk menyeimbangkan “neraca” antara bahasa kewajiban dan ke | 12 % |
an. Ini jelas suatu citraan manusia yang tidak sesuai dengan | semangat | Islam. Saya kurang setuju dengan penerjemahan kata “ibadah” | 76 % |
Fokus pertama dalam agama adalah manusia itu sendiri, bukan | semata-mata | Tuhan. Adalah salah besar suatu anggapan populer yang mengat | 68 % |
lukan akal yang bertanggung jawab dan penuh integritas. Kita | semua | tahu, bahwa wahyu itu adalah laksana horison atau cakrawala | 29 % |
Apakah gunanya agama, jika toh manusia sudah mampu mencapai | sendiri | pemahaman mengenai “yang baik” dan “yang jahat”? Apakah manu | 16 % |
dalah Mu’tazilah yang memandang bahwa manusia dengan akalnya | sendiri | dapat mengetahui batas-batas kebaikan dan kejahatan, batas-b | 20 % |
’an dan Hadis. Tetapi, proses-proses kesejarahan dalam Islam | sendiri | telah mengubah agama itu menjadi agama hukum yang dilandaska | 91 % |
ahwa agama itu tidak lain adalah penundukan manusia. Manusia | seolah-olah | ancaman bagi Tuhan sehingga harus ditundukkan kepada kehenda | 72 % |
bahwa tekanan diberikan kepada “kewajiban”, yaitu kewajiban | seorang | Muslim terhadap Allah, sesama manusia, dan dirinya sendiri. | 10 % |
ang lebih kotor mengenai hakikat ketuhanan kecuali pemahaman | seperti | ini. Pandangan mengenai manusia sebagai Prometheus yang bers | 73 % |
yang diberhalakan, yang di-fiksasi dalam gambaran yang tetap | seperti | sebuah “idol”. Saya berpandangan bahwa seharusnya manusia be | 82 % |
eharusnya manusia berhubungan dengan Allah bukan dengan cara | seperti | itu. Hubungan yang tepat antara manusia dengan Allah adalah | 83 % |
yaitu wahyu yang telah dibajak oleh kepentingan-kepentingan | sesaat | yang bersifat duniawi. Agar wahyu itu bisa pulih kembali dan | 27 % |
“kewajiban”, yaitu kewajiban seorang Muslim terhadap Allah, | sesama | manusia, dan dirinya sendiri. Bahasa kewajiban lebih menonjo | 11 % |
h kehendak Tuhan. Ini jelas suatu citraan manusia yang tidak | sesuai | dengan semangat Islam. Saya kurang setuju dengan penerjemaha | 76 % |
hyu yang terbentang luas itu, maka siapapun dapat mengatakan | sesuatu | atas nama wahyu. Garansi bahwa wahyu dapat dipahami dengan t | 31 % |
fsika wa karihta an yath-thali’a ‘alaihin naas”. Dosa adalah | sesuatu | yang menimbulkan kekeruhan dan kekacauan di hatimu, dan kamu | 33 % |
abnya, sebuah hadis mengatakan “innamal a’malu bin niyyaat”, | sesungguhnya | segala tindakan tidaklah akan menjadi tindakan yang “genuine | 37 % |
n, dan terus-menerus mencari majikan yang dapat menuntunnya. | sesungguhnya | Islam tidak membutuhkan orang-orang semacam itu. Kecemerlang | 65 % |
i adalah bahwa dengan membubuhkan kata “liberal” pada Islam, | sesunggunya | saya hendak menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam | 94 % |
agama. Manusia baru tahu bahwa tindakan ini jahat atau baik | setelah | mendapatkan pengajaran dari agama. Golongan kedua adalah Mu’ | 19 % |
disetarakan dengan sikap permisif, ibahiyah; sikap menolerir | setiap | hal tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan cara pandang sem | 3 % |
ak boleh (mahdzur), menempati kedudukan yang begitu sentral. | setiap | orang Islam selalu peduli pada apa yang dia kerjakan, apakah | 6 % |
inggalkan ribuan literatur yang canggih, yaitu bidang fikih. | setiap | pembicaraan tentang hukum selalu rujukannya adalah fikih. Ke | 8 % |
perkaya wawasan akal manusia untuk memahami batas-batas itu. | setiap | wahyu membawa suatu wawasan tertentu mengenai “yang baik” da | 25 % |
manusia yang tidak sesuai dengan semangat Islam. Saya kurang | setuju | dengan penerjemahan kata “ibadah” sebagai penyembahan, atau | 77 % |
wahyu. Karena cakrawala wahyu yang terbentang luas itu, maka | siapapun | dapat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. Garansi bahwa wahy | 31 % |
mu’min khairun min ‘amalihi”, niat dan dorongan emotif yang | sifatnya | subyektif lebih mulia dari tindakan. Wilayah niat ada dalam | 39 % |
makna kebebasan tanpa batas, atau bahkan disetarakan dengan | sikap | permisif, ibahiyah; sikap menolerir setiap hal tanpa mengena | 3 % |
as, atau bahkan disetarakan dengan sikap permisif, ibahiyah; | sikap | menolerir setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan | 3 % |
dak ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan | sikap-sikap | permisif yang melawan kecenderungan “intrinsik” dalam akal m | 97 % |
eral” dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata “liberal” di | sini | tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, deng | 96 % |
na pernah ditunjuk oleh Prof. Khaled Abou El Fadl. Dalam | situasi | yang sudah “vulgar” semacam itu, yang pertama perlu direstor | 48 % |
lu rujukannya adalah fikih. Ketika muncul diskusi yang ramai | soal | penerapan hukum Islam, maka fikih menjadi fokus perhatian, s | 8 % |
tema dasar yang menjadi debat dalam pemikiran Islam klasik: | soal | tindakan manusia (af’alul ‘ibad). Otonom atau tidak? M | 13 % |
h diketahui, bahwa agama pada menit pertama adalah merupakan | soal | keinsafan/kesadaran pribadi; agama bukanlah aturan obyektif | 35 % |
buatan itu boleh atau tidak. Inilah yang kemudian melahirkan | suatu | bidang kajian yang sangat kaya dan meninggalkan ribuan liter | 7 % |
manusia untuk memahami batas-batas itu. Setiap wahyu membawa | suatu | wawasan tertentu mengenai “yang baik” dan “yang jahat”. Wahy | 25 % |
epaskan dari motif subyektif manusia. Saya tidak melihat | suatu | ide apapun dalam Islam di mana manusia ditempatkan sebagai o | 41 % |
al, sementara, dan licik, dan karena itu wahyu turun sebagai | suatu | “leviathan” yang bengis. Islam meletakkan manusia dalam posi | 44 % |
li ditempatkan sebagai “barang” yang sama sekali kosong dari | suatu | motif yang bebas. Inilah proses vulgarisasi Islam sebagaiman | 47 % |
diketahui, maka Aku ciptakan manusia.” Hadis ini memberikan | suatu | penegasan yang penting bahwa manusia diciptakan untuk “mengg | 61 % |
sia itu sendiri, bukan semata-mata Tuhan. Adalah salah besar | suatu | anggapan populer yang mengatakan bahwa tugas pokok manusia a | 69 % |
kalangan umat Islam mengenai ayat tersebut cenderung kepada | suatu | citra manusia sebagai Prometheus. Bedanya, Prometheus versi | 75 % |
adalah Prometheus yang kalah oleh kehendak Tuhan. Ini jelas | suatu | citraan manusia yang tidak sesuai dengan semangat Islam. Say | 76 % |
bebasan manusia dibatasi, maka dimensi-dimensi terdalam yang | subtil | dari wahyu akan sulit diungkapkan oleh manusia. Sebab, untuk | 58 % |
si adalah martabat manusia itu sendiri. Jika manusia sebagai | subyek | moral yang bebas sudah tidak lagi ada atau disangkal, apakah | 49 % |
manusia telah dikosongkan dari motif, dan otonominya sebagai | subyek | moral telah disangkal, apakah yang tersisa dari manusia sema | 53 % |
ngkin terjadi jika tidak mengandaikan adanya manusia sebagai | subyek | yang bebas dan otonom. Orang-orang yang mengatakan bahwa | 63 % |
proses yang sepihak, bukan proses dialogal yang hidup antara | subyek | dan subyek. Jika diletakkan dalam kerangka filsafat Martin B | 79 % |
apa-apa jika tidak diletakkan dalam kerangka manusia sebagai | subyek | yang bebas, dengan akal yang bekerja secara leluasa. Qur’an | 87 % |
hairun min ‘amalihi”, niat dan dorongan emotif yang sifatnya | subyektif | lebih mulia dari tindakan. Wilayah niat ada dalam wilayah su | 39 % |
bermakna dalam kerangka beragama jika dilepaskan dari motif | subyektif | manusia. Saya tidak melihat suatu ide apapun dalam Islam | 41 % |
if lebih mulia dari tindakan. Wilayah niat ada dalam wilayah | subyektivitas | manusia; wilayah itu mempunyai ciri-ciri kebebasan. Jadi, at | 39 % |
liberal dipandang sebagai ancaman terhadap keberagamaan yang | sudah | terlembaga. Dalam Islam, persoalan “batasan” (hadd) anta | 5 % |
wahyu dari “langit”? Apakah gunanya agama, jika toh manusia | sudah | mampu mencapai sendiri pemahaman mengenai “yang baik” dan “y | 16 % |
batas-batas kebaikan dan kejahatan, batas-batas kepantasan. | sudah | tentu, jika dikatakan bahwa akal manusia dapat menentukan ba | 21 % |
batas-batas tersebut, tidak berarti bahwa seluruh batas itu | sudah | diketahui oleh akal dari hari pertama. Akal manusia berkemba | 22 % |
unjuk oleh Prof. Khaled Abou El Fadl. Dalam situasi yang | sudah | “vulgar” semacam itu, yang pertama perlu direstorasi adalah | 48 % |
ia itu sendiri. Jika manusia sebagai subyek moral yang bebas | sudah | tidak lagi ada atau disangkal, apakah gunanya sebuah agama? | 49 % |
a manusia ke jurang kesesatan, dari menit pertama mereka itu | sudah | mengingkari nilai kemanusiaan. Keledai selalu takut pada keb | 64 % |
sia yang matang. Sebuah hadis qudsi yang populer di kalangan | sufi | menyatakan, “Aku (Allah) adalah ‘kanzun makhfiyy’, harta kar | 60 % |
menimbulkan kekeruhan dan kekacauan di hatimu, dan kamu tak | suka | orang lain melihatmu melakukannya. Hadis ini memberikan teka | 33 % |
i, maka dimensi-dimensi terdalam yang subtil dari wahyu akan | sulit | diungkapkan oleh manusia. Sebab, untuk memahami kompleksitas | 59 % |
bisa pulih kembali dan memperoleh inegritasnya lagi sebagai | sumber | moralitas, maka diperlukan akal yang bertanggung jawab dan p | 28 % |
ngingkarinya. Fakta-fakta ini begitu jelasnya tertuang dalam | sumber | utama ajaran Islam, Qur’an dan Hadis. Tetapi, proses-proses | 90 % |
tindakan yang “genuine” tanpa niat dan dorongan emotif yang | sungguh-sungguh | bertanggungjawab. Dalam hadis lain dikatakan, “niyyatul mu’m | 38 % |
tersedia dalam khazanah pemikiran Islam klasik. Ada golongan | sunni | yang dominan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan dan keja | 18 % |
al ghayy”, telah jelas jalan kebaikan dan kesesatan. “Fa man | sya’a | fal yu’min wan man sya’a fal yakfur,” jika manusia mau, dia | 88 % |
lan kebaikan dan kesesatan. “Fa man sya’a fal yu’min wan man | sya’a | fal yakfur,” jika manusia mau, dia boleh mengimani jalan itu | 89 % |
an akal yang bekerja secara leluasa. Qur’an mengatakan, “qad | tabayyanar | rushdu minal ghayy”, telah jelas jalan kebaikan dan kesesata | 88 % |
n kejahatan itu haruslah ditentukan oleh agama. Manusia baru | tahu | bahwa tindakan ini jahat atau baik setelah mendapatkan penga | 19 % |
lan “batasan” (hadd) antara mana yang boleh (mubah) dan yang | tak | boleh (mahdzur), menempati kedudukan yang begitu sentral. Se | 5 % |
, bahwa wahyu itu adalah laksana horison atau cakrawala yang | tak | berbatas. Hampir mustahil bagi akal manusia yang terbatas un | 30 % |
yang menimbulkan kekeruhan dan kekacauan di hatimu, dan kamu | tak | suka orang lain melihatmu melakukannya. Hadis ini memberikan | 33 % |
hummilut Taurata kamatsalil khimari yahmilu asfaara. Keledai | tak | akan pernah bisa mendapatkan manfaat apapun dari barang-bara | 51 % |
angkutnya. Wahyu tidak akan berguna bagi seekor keledai. Dan | tak | ada gunanya mendakwahkan kedalaman dan kesempurnaan wahyu ke | 52 % |
a lahu”, agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang | tak | mempunyai akal. Oleh karena itu, kebebasan manusia adala | 55 % |
eh karena itu, kebebasan manusia adalah perkara prinsip yang | tak | bisa ditawar-tawar lagi. Banyak orang mengira bahwa kebebasa | 56 % |
si yang tersembunyi dalam wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu | tak | mungkin terjadi jika tidak mengandaikan adanya manusia sebag | 62 % |
reka itu sudah mengingkari nilai kemanusiaan. Keledai selalu | takut | pada kebebasan, dan terus-menerus mencari majikan yang dapat | 64 % |
ilah “liberal” dalam Islam liberal mempunyai makna kebebasan | tanpa | batas, atau bahkan disetarakan dengan sikap permisif, ibahiy | 3 % |
dengan sikap permisif, ibahiyah; sikap menolerir setiap hal | tanpa | mengenal batas yang pasti. Dengan cara pandang semacam itu, | 4 % |
egala tindakan tidaklah akan menjadi tindakan yang “genuine” | tanpa | niat dan dorongan emotif yang sungguh-sungguh bertanggungjaw | 37 % |
“liberal” di sini tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan | tanpa | batas, dengan sikap-sikap permisif yang melawan kecenderunga | 97 % |
g mengangkut berjilid-jilid kitab”, matsalulladzina hummilut | taurata | kamatsalil khimari yahmilu asfaara. Keledai tak akan pernah | 51 % |
in melihatmu melakukannya. Hadis ini memberikan tekanan yang | tegas | kepada kemampuan manusia, berdasarkan intuisinya, untuk menc | 34 % |
uskan. Dalam diskusi-diskusi itu, kelihatan sekali bahwa | tekanan | diberikan kepada “kewajiban”, yaitu kewajiban seorang Muslim | 10 % |
suka orang lain melihatmu melakukannya. Hadis ini memberikan | tekanan | yang tegas kepada kemampuan manusia, berdasarkan intuisinya, | 34 % |
eral Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang | telah | menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah dip | 1 % |
manakala wahyu itu mengalami “vulgarisasi”, yaitu wahyu yang | telah | dibajak oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang bersifat du | 27 % |
kedalaman dan kesempurnaan wahyu kepad keledai. Jika manusia | telah | dikosongkan dari motif, dan otonominya sebagai subyek moral | 53 % |
dikosongkan dari motif, dan otonominya sebagai subyek moral | telah | disangkal, apakah yang tersisa dari manusia semacam itu sela | 54 % |
da yang mengira bahwa dengan membatasi kebebasan itu, mereka | telah | melindungi wahyu. Ini jelas pandangan yang salah. Sebab, beg | 57 % |
rang yang mengatakan bahwa dengan memberikan kebebasan, anda | telah | menjerumuska manusia ke jurang kesesatan, dari menit pertama | 63 % |
aku-dan-dia”. Allah, dalam kerangka penyembahan semacam itu, | telah | “dibendakan”. Allah yang disembah adalah Allah yang diberhal | 81 % |
asa. Qur’an mengatakan, “qad tabayyanar rushdu minal ghayy”, | telah | jelas jalan kebaikan dan kesesatan. “Fa man sya’a fal yu’min | 88 % |
Hadis. Tetapi, proses-proses kesejarahan dalam Islam sendiri | telah | mengubah agama itu menjadi agama hukum yang dilandaskan kepa | 91 % |
empatkan manusia pada fokus penghayatan keagamaan, maka kita | telah | memulihkan kembali integritas wahyu dan Islam itu sendiri. | 98 % |
. Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang | telah | menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. | 99 % |
dan kebebasan/hak ini. Untuk itu, marilah kita masuki sebuah | tema | dasar yang menjadi debat dalam pemikiran Islam klasik: soal | 13 % |
Agama, Akal, dan Kebebasan: | tentang | Makna “Liberal” dalam Islam Liberal Sekali lagi, Islam tida | 0 % |
teratur yang canggih, yaitu bidang fikih. Setiap pembicaraan | tentang | hukum selalu rujukannya adalah fikih. Ketika muncul diskusi | 8 % |
u atas nama wahyu. Garansi bahwa wahyu dapat dipahami dengan | tepat | adalah integritas akal manusia itu sendiri. Salah satu h | 31 % |
an dengan Allah bukan dengan cara seperti itu. Hubungan yang | tepat | antara manusia dengan Allah adalah hubungan dalam kerangka “ | 83 % |
abat manusia dan Allah itu sendiri. Arti ayat tersebut lebih | tepat | dipahami sebagai hubungan Allah-manusia dalam model “I-Thou” | 85 % |
la yang tak berbatas. Hampir mustahil bagi akal manusia yang | terbatas | untuk menjangkau seluruh horison wahyu. Karena cakrawala wah | 30 % |
enjangkau seluruh horison wahyu. Karena cakrawala wahyu yang | terbentang | luas itu, maka siapapun dapat mengatakan sesuatu atas nama w | 31 % |
bab, begitu kebebasan manusia dibatasi, maka dimensi-dimensi | terdalam | yang subtil dari wahyu akan sulit diungkapkan oleh manusia. | 58 % |
pikir bebas dan kemudian mampu menyingkapkan rahasia-rahasia | terdalam | dari wahyu. Ibadah sebagai “I-Thou” Tujuan pokok da | 67 % |
a moral otonom dalam mengetahui kebaikan dan kejahatan, atau | tergantung | pada entitas di luar dirinya? Dalam masalah ini, ada dua | 17 % |
pandang semacam itu, Islam liberal dipandang sebagai ancaman | terhadap | keberagamaan yang sudah terlembaga. Dalam Islam, persoal | 4 % |
diberikan kepada “kewajiban”, yaitu kewajiban seorang Muslim | terhadap | Allah, sesama manusia, dan dirinya sendiri. Bahasa kewajiban | 10 % |
embunyi dalam wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mungkin | terjadi | jika tidak mengandaikan adanya manusia sebagai subyek yang b | 62 % |
artisipan yang aktif dalam menafsiran ide-ide ketuhanan yang | terkandung | dalam wahyu. Saya tidak pernah membayangkan bahwa wahyu dala | 43 % |
populer yang berkembang di kalangan umat Islam mengenai ayat | tersebut | cenderung kepada suatu citra manusia sebagai Prometheus. Bed | 75 % |
merosotkan martabat manusia dan Allah itu sendiri. Arti ayat | tersebut | lebih tepat dipahami sebagai hubungan Allah-manusia dalam mo | 85 % |
di luar dirinya? Dalam masalah ini, ada dua jawaban yang | tersedia | dalam khazanah pemikiran Islam klasik. Ada golongan Sunni ya | 18 % |
hwa manusia diciptakan untuk “menggali” dimensi-dimensi yang | tersembunyi | dalam wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi | 62 % |
otonominya sebagai subyek moral telah disangkal, apakah yang | tersisa | dari manusia semacam itu selain “jasad” yang pasif. Nabi per | 54 % |
n bagi keledai. Oleh: Ulil Abshar-Abdalla Ada kesan yang | tertanam | dalam sebagian orang, bahwa istilah “liberal” dalam Islam li | 2 % |
memahami batas-batas itu. Setiap wahyu membawa suatu wawasan | tertentu | mengenai “yang baik” dan “yang jahat”. Wahyu dapat mengangka | 25 % |
u, dia boleh mengingkarinya. Fakta-fakta ini begitu jelasnya | tertuang | dalam sumber utama ajaran Islam, Qur’an dan Hadis. Tetapi, p | 90 % |
nilai kemanusiaan. Keledai selalu takut pada kebebasan, dan | terus-menerus | mencari majikan yang dapat menuntunnya. Sesungguhnya Islam t | 65 % |
Allah yang diberhalakan, yang di-fiksasi dalam gambaran yang | tetap | seperti sebuah “idol”. Saya berpandangan bahwa seharusnya ma | 82 % |
ungan Allah-manusia dalam model “I-Thou”; bukan penyembahan, | tetapi | proses dialogal yang kreatif. Penyembahan pada Tuhan tid | 86 % |
tang Makna “Liberal” dalam Islam Liberal Sekali lagi, Islam | tidak | berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan i | 1 % |
an bahwa akal manusia dapat menentukan batas-batas tersebut, | tidak | berarti bahwa seluruh batas itu sudah diketahui oleh akal da | 22 % |
agama jika dilepaskan dari motif subyektif manusia. Saya | tidak | melihat suatu ide apapun dalam Islam di mana manusia ditempa | 41 % |
nafsiran ide-ide ketuhanan yang terkandung dalam wahyu. Saya | tidak | pernah membayangkan bahwa wahyu dalam pandangan Islam memand | 43 % |
sendiri. Jika manusia sebagai subyek moral yang bebas sudah | tidak | lagi ada atau disangkal, apakah gunanya sebuah agama? Qur’an | 49 % |
an manfaat apapun dari barang-barang yang diangkutnya. Wahyu | tidak | akan berguna bagi seekor keledai. Dan tak ada gunanya mendak | 52 % |
huwal ‘aql, la dina liman la ‘aqla lahu”, agama adalah akal, | tidak | ada agama bagi mereka yang tak mempunyai akal. Oleh kare | 55 % |
wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi jika | tidak | mengandaikan adanya manusia sebagai subyek yang bebas dan ot | 62 % |
s mencari majikan yang dapat menuntunnya. Sesungguhnya Islam | tidak | membutuhkan orang-orang semacam itu. Kecemerlangan Islam jus | 65 % |
s ayat “wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun,” dan | tidak | Aku ciptakan manusia kecuali untuk menyembah-Ku. Ayat ini, j | 70 % |
ang cenderung anti-humanistik, dapat berarti bahwa agama itu | tidak | lain adalah penundukan manusia. Manusia seolah-olah ancaman | 72 % |
n bagi Tuhan sehingga harus ditundukkan kepada kehendak-Nya. | tidak | ada pemahaman yang lebih kotor mengenai hakikat ketuhanan ke | 73 % |
ah oleh kehendak Tuhan. Ini jelas suatu citraan manusia yang | tidak | sesuai dengan semangat Islam. Saya kurang setuju dengan pene | 76 % |
api proses dialogal yang kreatif. Penyembahan pada Tuhan | tidak | mempunyai makna apa-apa jika tidak diletakkan dalam kerangka | 86 % |
Penyembahan pada Tuhan tidak mempunyai makna apa-apa jika | tidak | diletakkan dalam kerangka manusia sebagai subyek yang bebas, | 87 % |
pemaksaan, dengan lebih banyak menekankan bahasa kewajiban. | tidak | ada yang lebih berbahaya bagi Islam kecuali pandangan yang m | 92 % |
dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata “liberal” di sini | tidak | ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan sik | 96 % |
tegritas wahyu dan Islam itu sendiri. Sekali lagi, Islam | tidak | berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan i | 99 % |
tang Makna “Liberal” dalam Islam Liberal Sekali lagi, Islam | tidak | berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan i | 1 % |
an bahwa akal manusia dapat menentukan batas-batas tersebut, | tidak | berarti bahwa seluruh batas itu sudah diketahui oleh akal da | 22 % |
agama jika dilepaskan dari motif subyektif manusia. Saya | tidak | melihat suatu ide apapun dalam Islam di mana manusia ditempa | 41 % |
nafsiran ide-ide ketuhanan yang terkandung dalam wahyu. Saya | tidak | pernah membayangkan bahwa wahyu dalam pandangan Islam memand | 43 % |
sendiri. Jika manusia sebagai subyek moral yang bebas sudah | tidak | lagi ada atau disangkal, apakah gunanya sebuah agama? Qur’an | 49 % |
an manfaat apapun dari barang-barang yang diangkutnya. Wahyu | tidak | akan berguna bagi seekor keledai. Dan tak ada gunanya mendak | 52 % |
huwal ‘aql, la dina liman la ‘aqla lahu”, agama adalah akal, | tidak | ada agama bagi mereka yang tak mempunyai akal. Oleh kare | 55 % |
wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi jika | tidak | mengandaikan adanya manusia sebagai subyek yang bebas dan ot | 62 % |
s mencari majikan yang dapat menuntunnya. Sesungguhnya Islam | tidak | membutuhkan orang-orang semacam itu. Kecemerlangan Islam jus | 65 % |
s ayat “wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun,” dan | tidak | Aku ciptakan manusia kecuali untuk menyembah-Ku. Ayat ini, j | 70 % |
ang cenderung anti-humanistik, dapat berarti bahwa agama itu | tidak | lain adalah penundukan manusia. Manusia seolah-olah ancaman | 72 % |
n bagi Tuhan sehingga harus ditundukkan kepada kehendak-Nya. | tidak | ada pemahaman yang lebih kotor mengenai hakikat ketuhanan ke | 73 % |
ah oleh kehendak Tuhan. Ini jelas suatu citraan manusia yang | tidak | sesuai dengan semangat Islam. Saya kurang setuju dengan pene | 76 % |
api proses dialogal yang kreatif. Penyembahan pada Tuhan | tidak | mempunyai makna apa-apa jika tidak diletakkan dalam kerangka | 86 % |
Penyembahan pada Tuhan tidak mempunyai makna apa-apa jika | tidak | diletakkan dalam kerangka manusia sebagai subyek yang bebas, | 87 % |
pemaksaan, dengan lebih banyak menekankan bahasa kewajiban. | tidak | ada yang lebih berbahaya bagi Islam kecuali pandangan yang m | 92 % |
dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata “liberal” di sini | tidak | ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan sik | 96 % |
tegritas wahyu dan Islam itu sendiri. Sekali lagi, Islam | tidak | berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan i | 99 % |
n “innamal a’malu bin niyyaat”, sesungguhnya segala tindakan | tidaklah | akan menjadi tindakan yang “genuine” tanpa niat dan dorongan | 37 % |
an. Jadi, aturan-aturan obyektif yang ditetapkan oleh agama, | tidaklah | bermakna dalam kerangka beragama jika dilepaskan dari motif | 40 % |
dasar yang menjadi debat dalam pemikiran Islam klasik: soal | tindakan | manusia (af’alul ‘ibad). Otonom atau tidak? Marilah ki | 13 % |
itu haruslah ditentukan oleh agama. Manusia baru tahu bahwa | tindakan | ini jahat atau baik setelah mendapatkan pengajaran dari agam | 19 % |
mengatakan “innamal a’malu bin niyyaat”, sesungguhnya segala | tindakan | tidaklah akan menjadi tindakan yang “genuine” tanpa niat dan | 37 % |
niyyaat”, sesungguhnya segala tindakan tidaklah akan menjadi | tindakan | yang “genuine” tanpa niat dan dorongan emotif yang sungguh-s | 37 % |
dapat mengangkat derajat akal manusia ke tingkat yang lebih | tinggi | dan bermutu untuk dapat lebih memahami batas-batas. Tetapi, | 26 % |
“yang jahat”. Wahyu dapat mengangkat derajat akal manusia ke | tingkat | yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat lebih memahami bat | 26 % |
us menungguh wahyu dari “langit”? Apakah gunanya agama, jika | toh | manusia sudah mampu mencapai sendiri pemahaman mengenai “yan | 16 % |
posisi yang penuh martabat, sebagai “khalifah” yang memenuhi | tugas | ketuhanan untuk memperbaiki kehidupan di bumi. Pandangan-pan | 45 % |
lah salah besar suatu anggapan populer yang mengatakan bahwa | tugas | pokok manusia adalah “menyembah” Tuhan. Pandangan ini bersum | 69 % |
adalah penundukan manusia. Manusia seolah-olah ancaman bagi | tuhan | sehingga harus ditundukkan kepada kehendak-Nya. Tidak ada pe | 72 % |
an mengenai manusia sebagai Prometheus yang berseteru dengan | tuhan | hanyalah ada dalam mitos Yunani kuno. Saya melihat, pandanga | 74 % |
n, tetapi proses dialogal yang kreatif. Penyembahan pada | tuhan | tidak mempunyai makna apa-apa jika tidak diletakkan dalam ke | 86 % |
ang ditegakkan atas paksaan. Kesimpulan yang hendak saya | tuju | dari ulasan yang agak “ruwet” dan panjang ini adalah bahwa d | 93 % |
a-rahasia terdalam dari wahyu. Ibadah sebagai “I-Thou” | tujuan | pokok dari agama adalah mengangkat martabat kemanusiaan. Wah | 67 % |
ng kotor, brutal, sementara, dan licik, dan karena itu wahyu | turun | sebagai suatu “leviathan” yang bengis. Islam meletakkan manu | 44 % |
kkan atas paksaan. Kesimpulan yang hendak saya tuju dari | ulasan | yang agak “ruwet” dan panjang ini adalah bahwa dengan membub | 93 % |
i. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. Oleh: | ulil | Abshar-Abdalla Ada kesan yang tertanam dalam sebagian orang | 2 % |
Saya melihat, pandangan populer yang berkembang di kalangan | umat | Islam mengenai ayat tersebut cenderung kepada suatu citra ma | 75 % |
k dan kebebasan manusia. Islam liberal muncul dalam semangat | untuk | menyeimbangkan “neraca” antara bahasa kewajiban dan kebebasa | 12 % |
gkan “neraca” antara bahasa kewajiban dan kebebasan/hak ini. | untuk | itu, marilah kita masuki sebuah tema dasar yang menjadi deba | 12 % |
ahaman yang mendalam mengenai kebaikan dan kejahatan? Apakah | untuk | mengetahui hal-hal itu, manusia harus menungguh wahyu dari “ | 15 % |
menepiskan peran wahyu dalam memperkaya wawasan akal manusia | untuk | memahami batas-batas itu. Setiap wahyu membawa suatu wawasan | 24 % |
erajat akal manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan bermutu | untuk | dapat lebih memahami batas-batas. Tetapi, wahyu bisa memeros | 26 % |
ak berbatas. Hampir mustahil bagi akal manusia yang terbatas | untuk | menjangkau seluruh horison wahyu. Karena cakrawala wahyu yan | 30 % |
yang tegas kepada kemampuan manusia, berdasarkan intuisinya, | untuk | mencapai pemahaman yang benar mengenai dosa. Kenapa demikian | 34 % |
h martabat, sebagai “khalifah” yang memenuhi tugas ketuhanan | untuk | memperbaiki kehidupan di bumi. Pandangan-pandangan keislaman | 45 % |
ubtil dari wahyu akan sulit diungkapkan oleh manusia. Sebab, | untuk | memahami kompleksitas wahyu, diperlukan akal manusia yang ma | 59 % |
erikan suatu penegasan yang penting bahwa manusia diciptakan | untuk | “menggali” dimensi-dimensi yang tersembunyi dalam wahyu dan | 61 % |
nsa illa liya’budun,” dan tidak Aku ciptakan manusia kecuali | untuk | menyembah-Ku. Ayat ini, jika dipahami dalam kerangka populer | 71 % |
rinya. Fakta-fakta ini begitu jelasnya tertuang dalam sumber | utama | ajaran Islam, Qur’an dan Hadis. Tetapi, proses-proses keseja | 90 % |
suatu citra manusia sebagai Prometheus. Bedanya, Prometheus | versi | Islam adalah Prometheus yang kalah oleh kehendak Tuhan. Ini | 76 % |
ama sekali kosong dari suatu motif yang bebas. Inilah proses | vulgarisasi | Islam sebagaimana pernah ditunjuk oleh Prof. Khaled Abou El | 48 % |
lah satu hadis Nabi mengatakan, “al itsmu ma haka fi nafsika | wa | karihta an yath-thali’a ‘alaihin naas”. Dosa adalah sesuatu | 32 % |
Apakah untuk mengetahui hal-hal itu, manusia harus menungguh | wahyu | dari “langit”? Apakah gunanya agama, jika toh manusia sudah | 15 % |
ima pendapat Mu’tazilah, bukan berarti saya menepiskan peran | wahyu | dalam memperkaya wawasan akal manusia untuk memahami batas-b | 24 % |
wawasan akal manusia untuk memahami batas-batas itu. Setiap | wahyu | membawa suatu wawasan tertentu mengenai “yang baik” dan “yan | 25 % |
uatu wawasan tertentu mengenai “yang baik” dan “yang jahat”. | wahyu | dapat mengangkat derajat akal manusia ke tingkat yang lebih | 25 % |
dan bermutu untuk dapat lebih memahami batas-batas. Tetapi, | wahyu | bisa memerosotkan akal manusia, manakala wahyu itu mengalami | 26 % |
atas. Tetapi, wahyu bisa memerosotkan akal manusia, manakala | wahyu | itu mengalami “vulgarisasi”, yaitu wahyu yang telah dibajak | 27 % |
l manusia, manakala wahyu itu mengalami “vulgarisasi”, yaitu | wahyu | yang telah dibajak oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang | 27 % |
h kepentingan-kepentingan sesaat yang bersifat duniawi. Agar | wahyu | itu bisa pulih kembali dan memperoleh inegritasnya lagi seba | 28 % |
rtanggung jawab dan penuh integritas. Kita semua tahu, bahwa | wahyu | itu adalah laksana horison atau cakrawala yang tak berbatas. | 29 % |
tas untuk menjangkau seluruh horison wahyu. Karena cakrawala | wahyu | yang terbentang luas itu, maka siapapun dapat mengatakan ses | 30 % |
apun dapat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. Garansi bahwa | wahyu | dapat dipahami dengan tepat adalah integritas akal manusia i | 31 % |
terkandung dalam wahyu. Saya tidak pernah membayangkan bahwa | wahyu | dalam pandangan Islam memandang “dunia manusia” sebagai duni | 43 % |
ian yang kotor, brutal, sementara, dan licik, dan karena itu | wahyu | turun sebagai suatu “leviathan” yang bengis. Islam meletakka | 44 % |
andangan-pandangan keislaman populer kerapkali menggambarkan | wahyu | sebagai “leviathan” semacam itu. Manusia, dalam pandangan po | 46 % |
dapatkan manfaat apapun dari barang-barang yang diangkutnya. | wahyu | tidak akan berguna bagi seekor keledai. Dan tak ada gunanya | 52 % |
Dan tak ada gunanya mendakwahkan kedalaman dan kesempurnaan | wahyu | kepad keledai. Jika manusia telah dikosongkan dari motif, da | 53 % |
sia dibatasi, maka dimensi-dimensi terdalam yang subtil dari | wahyu | akan sulit diungkapkan oleh manusia. Sebab, untuk memahami k | 59 % |
akan untuk “menggali” dimensi-dimensi yang tersembunyi dalam | wahyu | dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi jika tidak | 62 % |
uan pokok dari agama adalah mengangkat martabat kemanusiaan. | wahyu | adalah sarana saja menuju ke arah itu. Fokus pertama dalam a | 68 % |
tan keagamaan, maka kita telah memulihkan kembali integritas | wahyu | dan Islam itu sendiri. Sekali lagi, Islam tidak berguna | 99 % |
r dari pemahaman yang salah atas ayat “wa ma khalaqtul jinna | wal | insa illa liya’budun,” dan tidak Aku ciptakan manusia kecual | 70 % |
jelas jalan kebaikan dan kesesatan. “Fa man sya’a fal yu’min | wan | man sya’a fal yakfur,” jika manusia mau, dia boleh mengimani | 89 % |
, bukan berarti saya menepiskan peran wahyu dalam memperkaya | wawasan | akal manusia untuk memahami batas-batas itu. Setiap wahyu me | 24 % |
a untuk memahami batas-batas itu. Setiap wahyu membawa suatu | wawasan | tertentu mengenai “yang baik” dan “yang jahat”. Wahyu dapat | 25 % |
an emotif yang sifatnya subyektif lebih mulia dari tindakan. | wilayah | niat ada dalam wilayah subyektivitas manusia; wilayah itu me | 39 % |
subyektif lebih mulia dari tindakan. Wilayah niat ada dalam | wilayah | subyektivitas manusia; wilayah itu mempunyai ciri-ciri kebeb | 39 % |
dakan. Wilayah niat ada dalam wilayah subyektivitas manusia; | wilayah | itu mempunyai ciri-ciri kebebasan. Jadi, aturan-aturan obyek | 40 % |
kitab”, matsalulladzina hummilut Taurata kamatsalil khimari | yahmilu | asfaara. Keledai tak akan pernah bisa mendapatkan manfaat ap | 51 % |
ah gunanya sebuah agama? Qur’an berkali-kali menyindir orang | yahudi | sebagai “keledai yang mengangkut berjilid-jilid kitab”, mats | 50 % |
sangat kaya dan meninggalkan ribuan literatur yang canggih, | yaitu | bidang fikih. Setiap pembicaraan tentang hukum selalu rujuka | 8 % |
kelihatan sekali bahwa tekanan diberikan kepada “kewajiban”, | yaitu | kewajiban seorang Muslim terhadap Allah, sesama manusia, dan | 10 % |
an akal manusia, manakala wahyu itu mengalami “vulgarisasi”, | yaitu | wahyu yang telah dibajak oleh kepentingan-kepentingan sesaat | 27 % |
m Liberal Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang | yang | telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanl | 1 % |
tukkan bagi keledai. Oleh: Ulil Abshar-Abdalla Ada kesan | yang | tertanam dalam sebagian orang, bahwa istilah “liberal” dalam | 2 % |
f, ibahiyah; sikap menolerir setiap hal tanpa mengenal batas | yang | pasti. Dengan cara pandang semacam itu, Islam liberal dipand | 4 % |
slam liberal dipandang sebagai ancaman terhadap keberagamaan | yang | sudah terlembaga. Dalam Islam, persoalan “batasan” (hadd | 5 % |
aga. Dalam Islam, persoalan “batasan” (hadd) antara mana | yang | boleh (mubah) dan yang tak boleh (mahdzur), menempati kedudu | 5 % |
ersoalan “batasan” (hadd) antara mana yang boleh (mubah) dan | yang | tak boleh (mahdzur), menempati kedudukan yang begitu sentral | 5 % |
eh (mubah) dan yang tak boleh (mahdzur), menempati kedudukan | yang | begitu sentral. Setiap orang Islam selalu peduli pada apa ya | 6 % |
ng begitu sentral. Setiap orang Islam selalu peduli pada apa | yang | dia kerjakan, apakah pebuatan itu boleh atau tidak. Inilah y | 6 % |
g dia kerjakan, apakah pebuatan itu boleh atau tidak. Inilah | yang | kemudian melahirkan suatu bidang kajian yang sangat kaya dan | 7 % |
u tidak. Inilah yang kemudian melahirkan suatu bidang kajian | yang | sangat kaya dan meninggalkan ribuan literatur yang canggih, | 7 % |
ng kajian yang sangat kaya dan meninggalkan ribuan literatur | yang | canggih, yaitu bidang fikih. Setiap pembicaraan tentang huku | 7 % |
hukum selalu rujukannya adalah fikih. Ketika muncul diskusi | yang | ramai soal penerapan hukum Islam, maka fikih menjadi fokus p | 8 % |
an/hak ini. Untuk itu, marilah kita masuki sebuah tema dasar | yang | menjadi debat dalam pemikiran Islam klasik: soal tindakan ma | 13 % |
bisa, dengan akal, intuisi dan fitrahnya, mencapai pemahaman | yang | mendalam mengenai kebaikan dan kejahatan? Apakah untuk menge | 14 % |
itas di luar dirinya? Dalam masalah ini, ada dua jawaban | yang | tersedia dalam khazanah pemikiran Islam klasik. Ada golongan | 18 % |
ia dalam khazanah pemikiran Islam klasik. Ada golongan Sunni | yang | dominan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan dan kejahatan | 18 % |
tkan pengajaran dari agama. Golongan kedua adalah Mu’tazilah | yang | memandang bahwa manusia dengan akalnya sendiri dapat mengeta | 20 % |
hat”. Wahyu dapat mengangkat derajat akal manusia ke tingkat | yang | lebih tinggi dan bermutu untuk dapat lebih memahami batas-ba | 26 % |
sia, manakala wahyu itu mengalami “vulgarisasi”, yaitu wahyu | yang | telah dibajak oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang bersi | 27 % |
wahyu yang telah dibajak oleh kepentingan-kepentingan sesaat | yang | bersifat duniawi. Agar wahyu itu bisa pulih kembali dan memp | 28 % |
ritasnya lagi sebagai sumber moralitas, maka diperlukan akal | yang | bertanggung jawab dan penuh integritas. Kita semua tahu, bah | 29 % |
tahu, bahwa wahyu itu adalah laksana horison atau cakrawala | yang | tak berbatas. Hampir mustahil bagi akal manusia yang terbata | 29 % |
krawala yang tak berbatas. Hampir mustahil bagi akal manusia | yang | terbatas untuk menjangkau seluruh horison wahyu. Karena cakr | 30 % |
tuk menjangkau seluruh horison wahyu. Karena cakrawala wahyu | yang | terbentang luas itu, maka siapapun dapat mengatakan sesuatu | 30 % |
karihta an yath-thali’a ‘alaihin naas”. Dosa adalah sesuatu | yang | menimbulkan kekeruhan dan kekacauan di hatimu, dan kamu tak | 33 % |
ng lain melihatmu melakukannya. Hadis ini memberikan tekanan | yang | tegas kepada kemampuan manusia, berdasarkan intuisinya, untu | 34 % |
an manusia, berdasarkan intuisinya, untuk mencapai pemahaman | yang | benar mengenai dosa. Kenapa demikian? Haruslah diketahui, ba | 35 % |
keinsafan/kesadaran pribadi; agama bukanlah aturan obyektif | yang | bisa begitu saja didesakkan secara paksa dari luar. Itulah s | 36 % |
sesungguhnya segala tindakan tidaklah akan menjadi tindakan | yang | “genuine” tanpa niat dan dorongan emotif yang sungguh-sunggu | 37 % |
njadi tindakan yang “genuine” tanpa niat dan dorongan emotif | yang | sungguh-sungguh bertanggungjawab. Dalam hadis lain dikatakan | 38 % |
yatul mu’min khairun min ‘amalihi”, niat dan dorongan emotif | yang | sifatnya subyektif lebih mulia dari tindakan. Wilayah niat a | 39 % |
mempunyai ciri-ciri kebebasan. Jadi, aturan-aturan obyektif | yang | ditetapkan oleh agama, tidaklah bermakna dalam kerangka bera | 40 % |
dalam Islam di mana manusia ditempatkan sebagai obyek moral | yang | pasif. Akal manusia merupakan partisipan yang aktif dalam me | 42 % |
ai obyek moral yang pasif. Akal manusia merupakan partisipan | yang | aktif dalam menafsiran ide-ide ketuhanan yang terkandung dal | 42 % |
kan partisipan yang aktif dalam menafsiran ide-ide ketuhanan | yang | terkandung dalam wahyu. Saya tidak pernah membayangkan bahwa | 43 % |
ngan Islam memandang “dunia manusia” sebagai dunia hobbesian | yang | kotor, brutal, sementara, dan licik, dan karena itu wahyu tu | 44 % |
licik, dan karena itu wahyu turun sebagai suatu “leviathan” | yang | bengis. Islam meletakkan manusia dalam posisi yang penuh mar | 44 % |
eviathan” yang bengis. Islam meletakkan manusia dalam posisi | yang | penuh martabat, sebagai “khalifah” yang memenuhi tugas ketuh | 45 % |
manusia dalam posisi yang penuh martabat, sebagai “khalifah” | yang | memenuhi tugas ketuhanan untuk memperbaiki kehidupan di bumi | 45 % |
populer semacam itu, kerapkali ditempatkan sebagai “barang” | yang | sama sekali kosong dari suatu motif yang bebas. Inilah prose | 47 % |
an sebagai “barang” yang sama sekali kosong dari suatu motif | yang | bebas. Inilah proses vulgarisasi Islam sebagaimana pernah di | 47 % |
h ditunjuk oleh Prof. Khaled Abou El Fadl. Dalam situasi | yang | sudah “vulgar” semacam itu, yang pertama perlu direstorasi a | 48 % |
El Fadl. Dalam situasi yang sudah “vulgar” semacam itu, | yang | pertama perlu direstorasi adalah martabat manusia itu sendir | 49 % |
tabat manusia itu sendiri. Jika manusia sebagai subyek moral | yang | bebas sudah tidak lagi ada atau disangkal, apakah gunanya se | 49 % |
Qur’an berkali-kali menyindir orang Yahudi sebagai “keledai | yang | mengangkut berjilid-jilid kitab”, matsalulladzina hummilut T | 50 % |
an pernah bisa mendapatkan manfaat apapun dari barang-barang | yang | diangkutnya. Wahyu tidak akan berguna bagi seekor keledai. D | 52 % |
dan otonominya sebagai subyek moral telah disangkal, apakah | yang | tersisa dari manusia semacam itu selain “jasad” yang pasif. | 54 % |
apakah yang tersisa dari manusia semacam itu selain “jasad” | yang | pasif. Nabi pernah bersaba, “ad dinu huwal ‘aql, la dina lim | 54 % |
‘aqla lahu”, agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka | yang | tak mempunyai akal. Oleh karena itu, kebebasan manusia a | 55 % |
Oleh karena itu, kebebasan manusia adalah perkara prinsip | yang | tak bisa ditawar-tawar lagi. Banyak orang mengira bahwa kebe | 56 % |
menyebabkan manusia memberontak kepada agama dan wahyu. Ada | yang | mengira bahwa dengan membatasi kebebasan itu, mereka telah m | 57 % |
asan itu, mereka telah melindungi wahyu. Ini jelas pandangan | yang | salah. Sebab, begitu kebebasan manusia dibatasi, maka dimens | 58 % |
tu kebebasan manusia dibatasi, maka dimensi-dimensi terdalam | yang | subtil dari wahyu akan sulit diungkapkan oleh manusia. Sebab | 58 % |
, untuk memahami kompleksitas wahyu, diperlukan akal manusia | yang | matang. Sebuah hadis qudsi yang populer di kalangan sufi men | 59 % |
hyu, diperlukan akal manusia yang matang. Sebuah hadis qudsi | yang | populer di kalangan sufi menyatakan, “Aku (Allah) adalah ‘ka | 60 % |
nyatakan, “Aku (Allah) adalah ‘kanzun makhfiyy’, harta karun | yang | tersembunyi. Aku ingin diketahui, maka Aku ciptakan manusia. | 60 % |
Aku ciptakan manusia.” Hadis ini memberikan suatu penegasan | yang | penting bahwa manusia diciptakan untuk “menggali” dimensi-di | 61 % |
ng bahwa manusia diciptakan untuk “menggali” dimensi-dimensi | yang | tersembunyi dalam wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mun | 62 % |
erjadi jika tidak mengandaikan adanya manusia sebagai subyek | yang | bebas dan otonom. Orang-orang yang mengatakan bahwa deng | 63 % |
anusia sebagai subyek yang bebas dan otonom. Orang-orang | yang | mengatakan bahwa dengan memberikan kebebasan, anda telah men | 63 % |
lalu takut pada kebebasan, dan terus-menerus mencari majikan | yang | dapat menuntunnya. Sesungguhnya Islam tidak membutuhkan oran | 65 % |
Islam justru akan dimungkinkan karena adanya manusia-manusia | yang | berpikir bebas dan kemudian mampu menyingkapkan rahasia-raha | 66 % |
semata-mata Tuhan. Adalah salah besar suatu anggapan populer | yang | mengatakan bahwa tugas pokok manusia adalah “menyembah” Tuha | 69 % |
ah “menyembah” Tuhan. Pandangan ini bersumber dari pemahaman | yang | salah atas ayat “wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’bu | 70 % |
menyembah-Ku. Ayat ini, jika dipahami dalam kerangka populer | yang | cenderung anti-humanistik, dapat berarti bahwa agama itu tid | 71 % |
a harus ditundukkan kepada kehendak-Nya. Tidak ada pemahaman | yang | lebih kotor mengenai hakikat ketuhanan kecuali pemahaman sep | 73 % |
n seperti ini. Pandangan mengenai manusia sebagai Prometheus | yang | berseteru dengan Tuhan hanyalah ada dalam mitos Yunani kuno. | 74 % |
ada dalam mitos Yunani kuno. Saya melihat, pandangan populer | yang | berkembang di kalangan umat Islam mengenai ayat tersebut cen | 74 % |
rometheus. Bedanya, Prometheus versi Islam adalah Prometheus | yang | kalah oleh kehendak Tuhan. Ini jelas suatu citraan manusia y | 76 % |
g kalah oleh kehendak Tuhan. Ini jelas suatu citraan manusia | yang | tidak sesuai dengan semangat Islam. Saya kurang setuju denga | 76 % |
ip” dalam bahasa Inggris. Sebab, penyembahan mempunyai makna | yang | negatif dalam sejumlah hal. Penyembahan mengandaikan bah | 78 % |
dalam sejumlah hal. Penyembahan mengandaikan bahwa obyek | yang | “disembah” adalah obyek yang “mati”, di-reifikasi, di-fiksas | 78 % |
mbahan mengandaikan bahwa obyek yang “disembah” adalah obyek | yang | “mati”, di-reifikasi, di-fiksasi. Penyembahan selalu merupak | 78 % |
i-reifikasi, di-fiksasi. Penyembahan selalu merupakan proses | yang | sepihak, bukan proses dialogal yang hidup antara subyek dan | 79 % |
selalu merupakan proses yang sepihak, bukan proses dialogal | yang | hidup antara subyek dan subyek. Jika diletakkan dalam kerang | 79 % |
kerangka penyembahan semacam itu, telah “dibendakan”. Allah | yang | disembah adalah Allah yang diberhalakan, yang di-fiksasi dal | 82 % |
am itu, telah “dibendakan”. Allah yang disembah adalah Allah | yang | diberhalakan, yang di-fiksasi dalam gambaran yang tetap sepe | 82 % |
ndakan”. Allah yang disembah adalah Allah yang diberhalakan, | yang | di-fiksasi dalam gambaran yang tetap seperti sebuah “idol”. | 82 % |
alah Allah yang diberhalakan, yang di-fiksasi dalam gambaran | yang | tetap seperti sebuah “idol”. Saya berpandangan bahwa seharus | 82 % |
ubungan dengan Allah bukan dengan cara seperti itu. Hubungan | yang | tepat antara manusia dengan Allah adalah hubungan dalam kera | 83 % |
h adalah hubungan dalam kerangka “I-Thou”, aku-Engkau. Agama | yang | didasarkan pada penyembahan dalam kerangka hubungan “I-it” h | 84 % |
am model “I-Thou”; bukan penyembahan, tetapi proses dialogal | yang | kreatif. Penyembahan pada Tuhan tidak mempunyai makna ap | 86 % |
jika tidak diletakkan dalam kerangka manusia sebagai subyek | yang | bebas, dengan akal yang bekerja secara leluasa. Qur’an menga | 87 % |
alam kerangka manusia sebagai subyek yang bebas, dengan akal | yang | bekerja secara leluasa. Qur’an mengatakan, “qad tabayyanar r | 87 % |
m Islam sendiri telah mengubah agama itu menjadi agama hukum | yang | dilandaskan kepada pemaksaan, dengan lebih banyak menekankan | 91 % |
, dengan lebih banyak menekankan bahasa kewajiban. Tidak ada | yang | lebih berbahaya bagi Islam kecuali pandangan yang mencoba me | 92 % |
Tidak ada yang lebih berbahaya bagi Islam kecuali pandangan | yang | mencoba mengubah karakter agama itu sebagai agama fitrah, me | 92 % |
karakter agama itu sebagai agama fitrah, menjadi agama hukum | yang | ditegakkan atas paksaan. Kesimpulan yang hendak saya tuj | 93 % |
adi agama hukum yang ditegakkan atas paksaan. Kesimpulan | yang | hendak saya tuju dari ulasan yang agak “ruwet” dan panjang i | 93 % |
as paksaan. Kesimpulan yang hendak saya tuju dari ulasan | yang | agak “ruwet” dan panjang ini adalah bahwa dengan membubuhkan | 93 % |
saya hendak menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam | yang | jangkarnya adalah “niat” atau dorongan-dorongan emotif-subye | 95 % |
ya dengan kebebasan tanpa batas, dengan sikap-sikap permisif | yang | melawan kecenderungan “intrinsik” dalam akal manusia itu sen | 97 % |
ndiri. Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang | yang | telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. | 99 % |
Nabi mengatakan, “al itsmu ma haka fi nafsika wa karihta an | yath-thali’a | ‘alaihin naas”. Dosa adalah sesuatu yang menimbulkan kekeruh | 32 % |
telah jelas jalan kebaikan dan kesesatan. “Fa man sya’a fal | yu’min | wan man sya’a fal yakfur,” jika manusia mau, dia boleh mengi | 88 % |
metheus yang berseteru dengan Tuhan hanyalah ada dalam mitos | yunani | kuno. Saya melihat, pandangan populer yang berkembang di kal | 74 % |
The End
Word Frequency Program
The End