SEAsiteBar

click here for the word frequency

 

Agama, Akal, dan Kebebasan: Tentang Makna “Liberal” dalam Islam Liberal

Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai.

Oleh: Ulil Abshar-Abdalla

 

Ada kesan yang tertanam dalam sebagian orang, bahwa istilah “liberal” dalam Islam liberal mempunyai makna kebebasan tanpa batas, atau bahkan disetarakan dengan sikap permisif, ibahiyah; sikap menolerir setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan cara pandang semacam itu, Islam liberal dipandang sebagai ancaman terhadap keberagamaan yang sudah terlembaga.

Dalam Islam, persoalan “batasan” (hadd) antara mana yang boleh (mubah) dan yang tak boleh (mahdzur), menempati kedudukan yang begitu sentral. Setiap orang Islam selalu peduli pada apa yang dia kerjakan, apakah pebuatan itu boleh atau tidak. Inilah yang kemudian melahirkan suatu bidang kajian yang sangat kaya dan meninggalkan ribuan literatur yang canggih, yaitu bidang fikih. Setiap pembicaraan tentang hukum selalu rujukannya adalah fikih. Ketika muncul diskusi yang ramai soal penerapan hukum Islam, maka fikih menjadi fokus perhatian, sebab dalam fikih lah sebagian besar hukum Islam dirumuskan.

Dalam diskusi-diskusi itu, kelihatan sekali bahwa tekanan diberikan kepada “kewajiban”, yaitu kewajiban seorang Muslim terhadap Allah, sesama manusia, dan dirinya sendiri. Bahasa kewajiban lebih menonjol, menutup bahasa hak dan kebebasan manusia. Islam liberal muncul dalam semangat untuk menyeimbangkan “neraca” antara bahasa kewajiban dan kebebasan/hak ini. Untuk itu, marilah kita masuki sebuah tema dasar yang menjadi debat dalam pemikiran Islam klasik: soal tindakan manusia (af’alul ’ibad).

Otonom atau tidak?

Marilah kita mulai dengan pertanyaan sederhana: apakah manusia bisa, dengan akal, intuisi dan fitrahnya, mencapai pemahaman yang mendalam mengenai kebaikan dan kejahatan? Apakah untuk mengetahui hal-hal itu, manusia harus menungguh wahyu dari "langit"? Apakah gunanya agama, jika toh manusia sudah mampu mencapai sendiri pemahaman mengenai "yang baik" dan "yang jahat"? Apakah manusia secara moral otonom dalam mengetahui kebaikan dan kejahatan, atau tergantung pada entitas di luar dirinya?

Dalam masalah ini, ada dua jawaban yang tersedia dalam khazanah pemikiran Islam klasik. Ada golongan Sunni yang dominan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan dan kejahatan itu haruslah ditentukan oleh agama. Manusia baru tahu bahwa tindakan ini jahat atau baik setelah mendapatkan pengajaran dari agama. Golongan kedua adalah Mu'tazilah yang memandang bahwa manusia dengan akalnya sendiri dapat mengetahui batas-batas kebaikan dan kejahatan, batas-batas kepantasan. Sudah tentu, jika dikatakan bahwa akal manusia dapat menentukan batas-batas tersebut, tidak berarti bahwa seluruh batas itu sudah diketahui oleh akal dari hari pertama. Akal manusia berkembang, mengalami evolusi, dan akan makin matang.

Saya lebih cenderung pada pandangan kaum Mu'tazilah. Tetapi, harap lah disadari bahwa dengan menerima pendapat Mu'tazilah, bukan berarti saya menepiskan peran wahyu dalam memperkaya wawasan akal manusia untuk memahami batas-batas itu. Setiap wahyu membawa suatu wawasan tertentu mengenai "yang baik" dan "yang jahat". Wahyu dapat mengangkat derajat akal manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat lebih memahami batas-batas. Tetapi, wahyu bisa memerosotkan akal manusia, manakala wahyu itu mengalami "vulgarisasi", yaitu wahyu yang telah dibajak oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang bersifat duniawi. Agar wahyu itu bisa pulih kembali dan memperoleh inegritasnya lagi sebagai sumber moralitas, maka diperlukan akal yang bertanggung jawab dan penuh integritas. Kita semua tahu, bahwa wahyu itu adalah laksana horison atau cakrawala yang tak berbatas. Hampir mustahil bagi akal manusia yang terbatas untuk menjangkau seluruh horison wahyu. Karena cakrawala wahyu yang terbentang luas itu, maka siapapun dapat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. Garansi bahwa wahyu dapat dipahami dengan tepat adalah integritas akal manusia itu sendiri.

Salah satu hadis Nabi mengatakan, "al itsmu ma haka fi nafsika wa karihta an yath-thali'a 'alaihin naas". Dosa adalah sesuatu yang menimbulkan kekeruhan dan kekacauan di hatimu, dan kamu tak suka orang lain melihatmu melakukannya. Hadis ini memberikan tekanan yang tegas kepada kemampuan manusia, berdasarkan intuisinya, untuk mencapai pemahaman yang benar mengenai dosa. Kenapa demikian? Haruslah diketahui, bahwa agama pada menit pertama adalah merupakan soal keinsafan/kesadaran pribadi; agama bukanlah aturan obyektif yang bisa begitu saja didesakkan secara paksa dari luar. Itulah sebabnya, sebuah hadis mengatakan "innamal a'malu bin niyyaat", sesungguhnya segala tindakan tidaklah akan menjadi tindakan yang "genuine" tanpa niat dan dorongan emotif yang sungguh-sungguh bertanggungjawab. Dalam hadis lain dikatakan, "niyyatul mu'min khairun min 'amalihi", niat dan dorongan emotif yang sifatnya subyektif lebih mulia dari tindakan. Wilayah niat ada dalam wilayah subyektivitas manusia; wilayah itu mempunyai ciri-ciri kebebasan. Jadi, aturan-aturan obyektif yang ditetapkan oleh agama, tidaklah bermakna dalam kerangka beragama jika dilepaskan dari motif subyektif manusia.

Saya tidak melihat suatu ide apapun dalam Islam di mana manusia ditempatkan sebagai obyek moral yang pasif. Akal manusia merupakan partisipan yang aktif dalam menafsiran ide-ide ketuhanan yang terkandung dalam wahyu. Saya tidak pernah membayangkan bahwa wahyu dalam pandangan Islam memandang "dunia manusia" sebagai dunia hobbesian yang kotor, brutal, sementara, dan licik, dan karena itu wahyu turun sebagai suatu "leviathan" yang bengis. Islam meletakkan manusia dalam posisi yang penuh martabat, sebagai "khalifah" yang memenuhi tugas ketuhanan untuk memperbaiki kehidupan di bumi. Pandangan-pandangan keislaman populer kerapkali menggambarkan wahyu sebagai "leviathan" semacam itu. Manusia, dalam pandangan populer semacam itu, kerapkali ditempatkan sebagai "barang" yang sama sekali kosong dari suatu motif yang bebas. Inilah proses vulgarisasi Islam sebagaimana pernah ditunjuk oleh Prof. Khaled Abou El Fadl.

Dalam situasi yang sudah "vulgar" semacam itu, yang pertama perlu direstorasi adalah martabat manusia itu sendiri. Jika manusia sebagai subyek moral yang bebas sudah tidak lagi ada atau disangkal, apakah gunanya sebuah agama? Qur'an berkali-kali menyindir orang Yahudi sebagai "keledai yang mengangkut berjilid-jilid kitab", matsalulladzina hummilut Taurata kamatsalil khimari yahmilu asfaara. Keledai tak akan pernah bisa mendapatkan manfaat apapun dari barang-barang yang diangkutnya. Wahyu tidak akan berguna bagi seekor keledai. Dan tak ada gunanya mendakwahkan kedalaman dan kesempurnaan wahyu kepad keledai. Jika manusia telah dikosongkan dari motif, dan otonominya sebagai subyek moral telah disangkal, apakah yang tersisa dari manusia semacam itu selain "jasad" yang pasif. Nabi pernah bersaba, "ad dinu huwal 'aql, la dina liman la 'aqla lahu", agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tak mempunyai akal.

Oleh karena itu, kebebasan manusia adalah perkara prinsip yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Banyak orang mengira bahwa kebebasan semacam itu menyebabkan manusia memberontak kepada agama dan wahyu. Ada yang mengira bahwa dengan membatasi kebebasan itu, mereka telah melindungi wahyu. Ini jelas pandangan yang salah. Sebab, begitu kebebasan manusia dibatasi, maka dimensi-dimensi terdalam yang subtil dari wahyu akan sulit diungkapkan oleh manusia. Sebab, untuk memahami kompleksitas wahyu, diperlukan akal manusia yang matang. Sebuah hadis qudsi yang populer di kalangan sufi menyatakan, "Aku (Allah) adalah 'kanzun makhfiyy’, harta karun yang tersembunyi. Aku ingin diketahui, maka Aku ciptakan manusia." Hadis ini memberikan suatu penegasan yang penting bahwa manusia diciptakan untuk "menggali" dimensi-dimensi yang tersembunyi dalam wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi jika tidak mengandaikan adanya manusia sebagai subyek yang bebas dan otonom.

Orang-orang yang mengatakan bahwa dengan memberikan kebebasan, anda telah menjerumuska manusia ke jurang kesesatan, dari menit pertama mereka itu sudah mengingkari nilai kemanusiaan. Keledai selalu takut pada kebebasan, dan terus-menerus mencari majikan yang dapat menuntunnya. Sesungguhnya Islam tidak membutuhkan orang-orang semacam itu. Kecemerlangan Islam justru akan dimungkinkan karena adanya manusia-manusia yang berpikir bebas dan kemudian mampu menyingkapkan rahasia-rahasia terdalam dari wahyu.


Ibadah sebagai “I-Thou”

Tujuan pokok dari agama adalah mengangkat martabat kemanusiaan. Wahyu adalah sarana saja menuju ke arah itu. Fokus pertama dalam agama adalah manusia itu sendiri, bukan semata-mata Tuhan. Adalah salah besar suatu anggapan populer yang mengatakan bahwa tugas pokok manusia adalah "menyembah" Tuhan. Pandangan ini bersumber dari pemahaman yang salah atas ayat "wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya'budun," dan tidak Aku ciptakan manusia kecuali untuk menyembah-Ku. Ayat ini, jika dipahami dalam kerangka populer yang cenderung anti-humanistik, dapat berarti bahwa agama itu tidak lain adalah penundukan manusia. Manusia seolah-olah ancaman bagi Tuhan sehingga harus ditundukkan kepada kehendak-Nya. Tidak ada pemahaman yang lebih kotor mengenai hakikat ketuhanan kecuali pemahaman seperti ini. Pandangan mengenai manusia sebagai Prometheus yang berseteru dengan Tuhan hanyalah ada dalam mitos Yunani kuno. Saya melihat, pandangan populer yang berkembang di kalangan umat Islam mengenai ayat tersebut cenderung kepada suatu citra manusia sebagai Prometheus. Bedanya, Prometheus versi Islam adalah Prometheus yang kalah oleh kehendak Tuhan. Ini jelas suatu citraan manusia yang tidak sesuai dengan semangat Islam. Saya kurang setuju dengan penerjemahan kata "ibadah" sebagai penyembahan, atau "worship" dalam bahasa Inggris. Sebab, penyembahan mempunyai makna yang negatif dalam sejumlah hal.

Penyembahan mengandaikan bahwa obyek yang "disembah" adalah obyek yang "mati", di-reifikasi, di-fiksasi. Penyembahan selalu merupakan proses yang sepihak, bukan proses dialogal yang hidup antara subyek dan subyek. Jika diletakkan dalam kerangka filsafat Martin Buber mengenai relasi antar manusia, penyembahan adalah sebentuk hubungan antara Allah dan manusia sebagai hubungan "I-it", "aku-dan-dia". Allah, dalam kerangka penyembahan semacam itu, telah "dibendakan". Allah yang disembah adalah Allah yang diberhalakan, yang di-fiksasi dalam gambaran yang tetap seperti sebuah "idol". Saya berpandangan bahwa seharusnya manusia berhubungan dengan Allah bukan dengan cara seperti itu. Hubungan yang tepat antara manusia dengan Allah adalah hubungan dalam kerangka "I-Thou", aku-Engkau. Agama yang didasarkan pada penyembahan dalam kerangka hubungan "I-it" hanya akan memerosotkan martabat manusia dan Allah itu sendiri. Arti ayat tersebut lebih tepat dipahami sebagai hubungan Allah-manusia dalam model “I-Thou”; bukan penyembahan, tetapi proses dialogal yang kreatif.

Penyembahan pada Tuhan tidak mempunyai makna apa-apa jika tidak diletakkan dalam kerangka manusia sebagai subyek yang bebas, dengan akal yang bekerja secara leluasa. Qur'an mengatakan, "qad tabayyanar rushdu minal ghayy", telah jelas jalan kebaikan dan kesesatan. "Fa man sya'a fal yu'min wan man sya'a fal yakfur," jika manusia mau, dia boleh mengimani jalan itu, dan jika mau, dia boleh mengingkarinya. Fakta-fakta ini begitu jelasnya tertuang dalam sumber utama ajaran Islam, Qur'an dan Hadis. Tetapi, proses-proses kesejarahan dalam Islam sendiri telah mengubah agama itu menjadi agama hukum yang dilandaskan kepada pemaksaan, dengan lebih banyak menekankan bahasa kewajiban. Tidak ada yang lebih berbahaya bagi Islam kecuali pandangan yang mencoba mengubah karakter agama itu sebagai agama fitrah, menjadi agama hukum yang ditegakkan atas paksaan.

Kesimpulan yang hendak saya tuju dari ulasan yang agak "ruwet" dan panjang ini adalah bahwa dengan membubuhkan kata "liberal" pada Islam, sesunggunya saya hendak menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang jangkarnya adalah "niat" atau dorongan-dorongan emotif-subyektif dalam manusia itu sendiri. Dan sebaiknya kata liberal dalam "Islam liberal" dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata "liberal" di sini tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan sikap-sikap permisif yang melawan kecenderungan "intrinsik" dalam akal manusia itu sendiri. Dengan menekankan kembali dimensi kebebasan manusia, dan menempatkan manusia pada fokus penghayatan keagamaan, maka kita telah memulihkan kembali integritas wahyu dan Islam itu sendiri.

Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai.

 

 

pre- text

WORD

post- text

%
kan, “al itsmu ma haka fi nafsika wa karihta an yath-thali’a ‘alaihin naas”. Dosa adalah sesuatu yang menimbulkan kekeruhan dan ke 33 %
. Nabi pernah bersaba, “ad dinu huwal ‘aql, la dina liman la ‘aqla lahu”, agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang t 55 %
ang populer di kalangan sufi menyatakan, “Aku (Allah) adalah ‘kanzun makhfiyy’, harta karun yang tersembunyi. Aku ingin diketahui 60 %
semacam itu selain “jasad” yang pasif. Nabi pernah bersaba, “ad dinu huwal ‘aql, la dina liman la ‘aqla lahu”, agama adalah 54 %
Sebuah hadis qudsi yang populer di kalangan sufi menyatakan, “aku (Allah) adalah ‘kanzun makhfiyy’, harta karun yang tersembun 60 %
l manusia itu sendiri. Salah satu hadis Nabi mengatakan, “al itsmu ma haka fi nafsika wa karihta an yath-thali’a ‘alaihin 32 %
pandangan populer semacam itu, kerapkali ditempatkan sebagai “barang” yang sama sekali kosong dari suatu motif yang bebas. Inilah 47 %
beragamaan yang sudah terlembaga. Dalam Islam, persoalan “batasan” (hadd) antara mana yang boleh (mubah) dan yang tak boleh (ma 5 %
sejumlah hal. Penyembahan mengandaikan bahwa obyek yang “disembah” adalah obyek yang “mati”, di-reifikasi, di-fiksasi. Penyemba 78 %
nah membayangkan bahwa wahyu dalam pandangan Islam memandang “dunia manusia” sebagai dunia hobbesian yang kotor, brutal, sementa 43 %
shdu minal ghayy”, telah jelas jalan kebaikan dan kesesatan. “fa man sya’a fal yu’min wan man sya’a fal yakfur,” jika manusia 88 %
ngguhnya segala tindakan tidaklah akan menjadi tindakan yang “genuine” tanpa niat dan dorongan emotif yang sungguh-sungguh bertangg 37 %
semangat Islam. Saya kurang setuju dengan penerjemahan kata “ibadah” sebagai penyembahan, atau “worship” dalam bahasa Inggris. Se 77 %
ama yang didasarkan pada penyembahan dalam kerangka hubungan “i-it” hanya akan memerosotkan martabat manusia dan Allah itu sendi 85 %
ra paksa dari luar. Itulah sebabnya, sebuah hadis mengatakan “innamal a’malu bin niyyaat”, sesungguhnya segala tindakan tidaklah a 37 %
atas, dengan sikap-sikap permisif yang melawan kecenderungan “intrinsik” dalam akal manusia itu sendiri. Dengan menekankan kembali di 97 %
dalam manusia itu sendiri. Dan sebaiknya kata liberal dalam “islam liberal” dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata “liberal” 96 %
an rahasia-rahasia terdalam dari wahyu. Ibadah sebagai “i-thou” Tujuan pokok dari agama adalah mengangkat martabat kemanusia 67 %
ih tepat dipahami sebagai hubungan Allah-manusia dalam model “i-thou”; bukan penyembahan, tetapi proses dialogal yang kreatif. 86 %
sangkal, apakah yang tersisa dari manusia semacam itu selain “jasad” yang pasif. Nabi pernah bersaba, “ad dinu huwal ‘aql, la din 54 %
ah agama? Qur’an berkali-kali menyindir orang Yahudi sebagai “keledai yang mengangkut berjilid-jilid kitab”, matsalulladzina hummi 50 %
meletakkan manusia dalam posisi yang penuh martabat, sebagai “khalifah” yang memenuhi tugas ketuhanan untuk memperbaiki kehidupan di 45 %
mentara, dan licik, dan karena itu wahyu turun sebagai suatu “leviathan” yang bengis. Islam meletakkan manusia dalam posisi yang penu 44 %
ngan keislaman populer kerapkali menggambarkan wahyu sebagai “leviathan” semacam itu. Manusia, dalam pandangan populer semacam itu, k 46 %
Agama, Akal, dan Kebebasan: Tentang Makna “liberal” dalam Islam Liberal Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi o 0 %
Ada kesan yang tertanam dalam sebagian orang, bahwa istilah “liberal” dalam Islam liberal mempunyai makna kebebasan tanpa batas, a 2 %
“ruwet” dan panjang ini adalah bahwa dengan membubuhkan kata “liberal” pada Islam, sesunggunya saya hendak menegaskan kembali dimen 94 %
am “Islam liberal” dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata “liberal” di sini tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa bat 96 %
suatu penegasan yang penting bahwa manusia diciptakan untuk “menggali” dimensi-dimensi yang tersembunyi dalam wahyu dan kebenaran T 62 %
pan populer yang mengatakan bahwa tugas pokok manusia adalah “menyembah” Tuhan. Pandangan ini bersumber dari pemahaman yang salah ata 69 %
ia. Islam liberal muncul dalam semangat untuk menyeimbangkan “neraca” antara bahasa kewajiban dan kebebasan/hak ini. Untuk itu, ma 12 %
kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang jangkarnya adalah “niat” atau dorongan-dorongan emotif-subyektif dalam manusia itu se 95 %
ungguh-sungguh bertanggungjawab. Dalam hadis lain dikatakan, “niyyatul mu’min khairun min ‘amalihi”, niat dan dorongan emotif yang 38 %
dengan akal yang bekerja secara leluasa. Qur’an mengatakan, “qad tabayyanar rushdu minal ghayy”, telah jelas jalan kebaikan d 88 %
. Kesimpulan yang hendak saya tuju dari ulasan yang agak “ruwet” dan panjang ini adalah bahwa dengan membubuhkan kata “libera 93 %
oleh Prof. Khaled Abou El Fadl. Dalam situasi yang sudah “vulgar” semacam itu, yang pertama perlu direstorasi adalah martabat 48 %
Pandangan ini bersumber dari pemahaman yang salah atas ayat “wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun,” dan tidak Aku 70 %
dengan penerjemahan kata “ibadah” sebagai penyembahan, atau “worship” dalam bahasa Inggris. Sebab, penyembahan mempunyai makna yan 77 %
toh manusia sudah mampu mencapai sendiri pemahaman mengenai “yang baik” dan “yang jahat”? Apakah manusia secara moral otonom d 16 %
ah mampu mencapai sendiri pemahaman mengenai “yang baik” dan “yang jahat”? Apakah manusia secara moral otonom dalam mengetahui 16 %
as itu. Setiap wahyu membawa suatu wawasan tertentu mengenai “yang baik” dan “yang jahat”. Wahyu dapat mengangkat derajat akal 25 %
ahyu membawa suatu wawasan tertentu mengenai “yang baik” dan “yang jahat”. Wahyu dapat mengangkat derajat akal manusia ke tingk 25 %
dari luar. Itulah sebabnya, sebuah hadis mengatakan “innamal a’malu bin niyyaat”, sesungguhnya segala tindakan tidaklah akan men 37 %
garisasi Islam sebagaimana pernah ditunjuk oleh Prof. Khaled abou El Fadl. Dalam situasi yang sudah “vulgar” semacam itu, 48 %
bab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. Oleh: Ulil abshar-abdalla Ada kesan yang tertanam dalam sebagian orang, bahwa istilah 2 %
lah diperuntukkan bagi keledai. Oleh: Ulil Abshar-Abdalla ada kesan yang tertanam dalam sebagian orang, bahwa istilah “lib 2 %
gantung pada entitas di luar dirinya? Dalam masalah ini, ada dua jawaban yang tersedia dalam khazanah pemikiran Islam kla 18 %
jawaban yang tersedia dalam khazanah pemikiran Islam klasik. ada golongan Sunni yang dominan, dengan pandangan pokok bahwa ke 18 %
g sifatnya subyektif lebih mulia dari tindakan. Wilayah niat ada dalam wilayah subyektivitas manusia; wilayah itu mempunyai c 39 %
ika manusia sebagai subyek moral yang bebas sudah tidak lagi ada atau disangkal, apakah gunanya sebuah agama? Qur’an berkali- 50 %
utnya. Wahyu tidak akan berguna bagi seekor keledai. Dan tak ada gunanya mendakwahkan kedalaman dan kesempurnaan wahyu kepad 52 %
‘aql, la dina liman la ‘aqla lahu”, agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tak mempunyai akal. Oleh karena i 55 %
itu menyebabkan manusia memberontak kepada agama dan wahyu. ada yang mengira bahwa dengan membatasi kebebasan itu, mereka te 57 %
Tuhan sehingga harus ditundukkan kepada kehendak-Nya. Tidak ada pemahaman yang lebih kotor mengenai hakikat ketuhanan kecual 73 %
usia sebagai Prometheus yang berseteru dengan Tuhan hanyalah ada dalam mitos Yunani kuno. Saya melihat, pandangan populer yan 74 %
saan, dengan lebih banyak menekankan bahasa kewajiban. Tidak ada yang lebih berbahaya bagi Islam kecuali pandangan yang menco 92 %
ami dalam kerangka semacam ini. Kata “liberal” di sini tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan sikap-s 96 %
ng fikih. Setiap pembicaraan tentang hukum selalu rujukannya adalah fikih. Ketika muncul diskusi yang ramai soal penerapan hukum 8 %
ik setelah mendapatkan pengajaran dari agama. Golongan kedua adalah Mu’tazilah yang memandang bahwa manusia dengan akalnya sendi 20 %
jawab dan penuh integritas. Kita semua tahu, bahwa wahyu itu adalah laksana horison atau cakrawala yang tak berbatas. Hampir mus 29 %
nama wahyu. Garansi bahwa wahyu dapat dipahami dengan tepat adalah integritas akal manusia itu sendiri. Salah satu hadis Na 31 %
a fi nafsika wa karihta an yath-thali’a ‘alaihin naas”. Dosa adalah sesuatu yang menimbulkan kekeruhan dan kekacauan di hatimu, 33 %
demikian? Haruslah diketahui, bahwa agama pada menit pertama adalah merupakan soal keinsafan/kesadaran pribadi; agama bukanlah a 35 %
g sudah “vulgar” semacam itu, yang pertama perlu direstorasi adalah martabat manusia itu sendiri. Jika manusia sebagai subyek mo 49 %
ba, “ad dinu huwal ‘aql, la dina liman la ‘aqla lahu”, agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tak mempunyai akal. 55 %
g tak mempunyai akal. Oleh karena itu, kebebasan manusia adalah perkara prinsip yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Banyak ora 56 %
qudsi yang populer di kalangan sufi menyatakan, “Aku (Allah) adalah ‘kanzun makhfiyy’, harta karun yang tersembunyi. Aku ingin d 60 %
yu. Ibadah sebagai “I-Thou” Tujuan pokok dari agama adalah mengangkat martabat kemanusiaan. Wahyu adalah sarana saja me 67 %
kok dari agama adalah mengangkat martabat kemanusiaan. Wahyu adalah sarana saja menuju ke arah itu. Fokus pertama dalam agama ad 68 %
ah sarana saja menuju ke arah itu. Fokus pertama dalam agama adalah manusia itu sendiri, bukan semata-mata Tuhan. Adalah salah b 68 %
m agama adalah manusia itu sendiri, bukan semata-mata Tuhan. adalah salah besar suatu anggapan populer yang mengatakan bahwa tug 69 %
u anggapan populer yang mengatakan bahwa tugas pokok manusia adalah “menyembah” Tuhan. Pandangan ini bersumber dari pemahaman ya 69 %
ng anti-humanistik, dapat berarti bahwa agama itu tidak lain adalah penundukan manusia. Manusia seolah-olah ancaman bagi Tuhan s 72 %
manusia sebagai Prometheus. Bedanya, Prometheus versi Islam adalah Prometheus yang kalah oleh kehendak Tuhan. Ini jelas suatu c 76 %
al. Penyembahan mengandaikan bahwa obyek yang “disembah” adalah obyek yang “mati”, di-reifikasi, di-fiksasi. Penyembahan sel 78 %
afat Martin Buber mengenai relasi antar manusia, penyembahan adalah sebentuk hubungan antara Allah dan manusia sebagai hubungan 80 %
embahan semacam itu, telah “dibendakan”. Allah yang disembah adalah Allah yang diberhalakan, yang di-fiksasi dalam gambaran yang 82 %
seperti itu. Hubungan yang tepat antara manusia dengan Allah adalah hubungan dalam kerangka “I-Thou”, aku-Engkau. Agama yang did 84 %
ndak saya tuju dari ulasan yang agak “ruwet” dan panjang ini adalah bahwa dengan membubuhkan kata “liberal” pada Islam, sesunggu 94 %
gaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang jangkarnya adalah “niat” atau dorongan-dorongan emotif-subyektif dalam manusia 95 %
n Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi jika tidak mengandaikan adanya manusia sebagai subyek yang bebas dan otonom. Orang-oran 63 %
cam itu. Kecemerlangan Islam justru akan dimungkinkan karena adanya manusia-manusia yang berpikir bebas dan kemudian mampu menyi 66 %
ksaan. Kesimpulan yang hendak saya tuju dari ulasan yang agak “ruwet” dan panjang ini adalah bahwa dengan membubuhkan kata 93 %
  agama , Akal, dan Kebebasan: Tentang Makna “Liberal” dalam Islam L 0 %
g-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. Oleh: Ulil Abshar-Ab 1 %
ar mengenai dosa. Kenapa demikian? Haruslah diketahui, bahwa agama pada menit pertama adalah merupakan soal keinsafan/kesadaran 35 %
t pertama adalah merupakan soal keinsafan/kesadaran pribadi; agama bukanlah aturan obyektif yang bisa begitu saja didesakkan se 36 %
bersaba, “ad dinu huwal ‘aql, la dina liman la ‘aqla lahu”, agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tak mempunyai 55 %
, la dina liman la ‘aqla lahu”, agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tak mempunyai akal. Oleh karena itu, ke 55 %
kebebasan semacam itu menyebabkan manusia memberontak kepada agama dan wahyu. Ada yang mengira bahwa dengan membatasi kebebasan 57 %
ri wahyu. Ibadah sebagai “I-Thou” Tujuan pokok dari agama adalah mengangkat martabat kemanusiaan. Wahyu adalah sarana 67 %
u adalah sarana saja menuju ke arah itu. Fokus pertama dalam agama adalah manusia itu sendiri, bukan semata-mata Tuhan. Adalah 68 %
populer yang cenderung anti-humanistik, dapat berarti bahwa agama itu tidak lain adalah penundukan manusia. Manusia seolah-ola 72 %
n Allah adalah hubungan dalam kerangka “I-Thou”, aku-Engkau. agama yang didasarkan pada penyembahan dalam kerangka hubungan “I- 84 %
proses-proses kesejarahan dalam Islam sendiri telah mengubah agama itu menjadi agama hukum yang dilandaskan kepada pemaksaan, d 91 %
jarahan dalam Islam sendiri telah mengubah agama itu menjadi agama hukum yang dilandaskan kepada pemaksaan, dengan lebih banyak 91 %
bagi Islam kecuali pandangan yang mencoba mengubah karakter agama itu sebagai agama fitrah, menjadi agama hukum yang ditegakka 92 %
i pandangan yang mencoba mengubah karakter agama itu sebagai agama fitrah, menjadi agama hukum yang ditegakkan atas paksaan. 92 %
ba mengubah karakter agama itu sebagai agama fitrah, menjadi agama hukum yang ditegakkan atas paksaan. Kesimpulan yang hend 93 %
g-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. 100 %
  agama , Akal, dan Kebebasan: Tentang Makna “Liberal” dalam Islam L 0 %
g-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. Oleh: Ulil Abshar-Ab 1 %
ar mengenai dosa. Kenapa demikian? Haruslah diketahui, bahwa agama pada menit pertama adalah merupakan soal keinsafan/kesadaran 35 %
t pertama adalah merupakan soal keinsafan/kesadaran pribadi; agama bukanlah aturan obyektif yang bisa begitu saja didesakkan se 36 %
bersaba, “ad dinu huwal ‘aql, la dina liman la ‘aqla lahu”, agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tak mempunyai 55 %
, la dina liman la ‘aqla lahu”, agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tak mempunyai akal. Oleh karena itu, ke 55 %
kebebasan semacam itu menyebabkan manusia memberontak kepada agama dan wahyu. Ada yang mengira bahwa dengan membatasi kebebasan 57 %
ri wahyu. Ibadah sebagai “I-Thou” Tujuan pokok dari agama adalah mengangkat martabat kemanusiaan. Wahyu adalah sarana 67 %
u adalah sarana saja menuju ke arah itu. Fokus pertama dalam agama adalah manusia itu sendiri, bukan semata-mata Tuhan. Adalah 68 %
populer yang cenderung anti-humanistik, dapat berarti bahwa agama itu tidak lain adalah penundukan manusia. Manusia seolah-ola 72 %
n Allah adalah hubungan dalam kerangka “I-Thou”, aku-Engkau. agama yang didasarkan pada penyembahan dalam kerangka hubungan “I- 84 %
proses-proses kesejarahan dalam Islam sendiri telah mengubah agama itu menjadi agama hukum yang dilandaskan kepada pemaksaan, d 91 %
jarahan dalam Islam sendiri telah mengubah agama itu menjadi agama hukum yang dilandaskan kepada pemaksaan, dengan lebih banyak 91 %
bagi Islam kecuali pandangan yang mencoba mengubah karakter agama itu sebagai agama fitrah, menjadi agama hukum yang ditegakka 92 %
i pandangan yang mencoba mengubah karakter agama itu sebagai agama fitrah, menjadi agama hukum yang ditegakkan atas paksaan. 92 %
ba mengubah karakter agama itu sebagai agama fitrah, menjadi agama hukum yang ditegakkan atas paksaan. Kesimpulan yang hend 93 %
g-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. 100 %
k oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang bersifat duniawi. agar wahyu itu bisa pulih kembali dan memperoleh inegritasnya lag 28 %
Fakta-fakta ini begitu jelasnya tertuang dalam sumber utama ajaran Islam, Qur’an dan Hadis. Tetapi, proses-proses kesejarahan d 90 %
n, batas-batas kepantasan. Sudah tentu, jika dikatakan bahwa akal manusia dapat menentukan batas-batas tersebut, tidak berarti 21 %
, tidak berarti bahwa seluruh batas itu sudah diketahui oleh akal dari hari pertama. Akal manusia berkembang, mengalami evolus 22 %
luruh batas itu sudah diketahui oleh akal dari hari pertama. akal manusia berkembang, mengalami evolusi, dan akan makin matang 22 %
berarti saya menepiskan peran wahyu dalam memperkaya wawasan akal manusia untuk memahami batas-batas itu. Setiap wahyu membawa 24 %
“yang baik” dan “yang jahat”. Wahyu dapat mengangkat derajat akal manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat 26 %
lebih memahami batas-batas. Tetapi, wahyu bisa memerosotkan akal manusia, manakala wahyu itu mengalami “vulgarisasi”, yaitu w 27 %
inegritasnya lagi sebagai sumber moralitas, maka diperlukan akal yang bertanggung jawab dan penuh integritas. Kita semua tahu 29 %
rison atau cakrawala yang tak berbatas. Hampir mustahil bagi akal manusia yang terbatas untuk menjangkau seluruh horison wahyu 30 %
si bahwa wahyu dapat dipahami dengan tepat adalah integritas akal manusia itu sendiri. Salah satu hadis Nabi mengatakan, “ 32 %
di mana manusia ditempatkan sebagai obyek moral yang pasif. akal manusia merupakan partisipan yang aktif dalam menafsiran ide 42 %
anusia. Sebab, untuk memahami kompleksitas wahyu, diperlukan akal manusia yang matang. Sebuah hadis qudsi yang populer di kala 59 %
kan dalam kerangka manusia sebagai subyek yang bebas, dengan akal yang bekerja secara leluasa. Qur’an mengatakan, “qad tabayya 87 %
-sikap permisif yang melawan kecenderungan “intrinsik” dalam akal manusia itu sendiri. Dengan menekankan kembali dimensi kebeb 97 %
kedua adalah Mu’tazilah yang memandang bahwa manusia dengan akalnya sendiri dapat mengetahui batas-batas kebaikan dan kejahatan, 20 %
ari pertama. Akal manusia berkembang, mengalami evolusi, dan akan makin matang. Saya lebih cenderung pada pandangan kaum M 23 %
l a’malu bin niyyaat”, sesungguhnya segala tindakan tidaklah akan menjadi tindakan yang “genuine” tanpa niat dan dorongan emot 37 %
ilut Taurata kamatsalil khimari yahmilu asfaara. Keledai tak akan pernah bisa mendapatkan manfaat apapun dari barang-barang ya 51 %
faat apapun dari barang-barang yang diangkutnya. Wahyu tidak akan berguna bagi seekor keledai. Dan tak ada gunanya mendakwahka 52 %
batasi, maka dimensi-dimensi terdalam yang subtil dari wahyu akan sulit diungkapkan oleh manusia. Sebab, untuk memahami komple 59 %
butuhkan orang-orang semacam itu. Kecemerlangan Islam justru akan dimungkinkan karena adanya manusia-manusia yang berpikir beb 66 %
sarkan pada penyembahan dalam kerangka hubungan “I-it” hanya akan memerosotkan martabat manusia dan Allah itu sendiri. Arti ay 85 %
yek moral yang pasif. Akal manusia merupakan partisipan yang aktif dalam menafsiran ide-ide ketuhanan yang terkandung dalam wah 42 %
lah) adalah ‘kanzun makhfiyy’, harta karun yang tersembunyi. aku ingin diketahui, maka Aku ciptakan manusia.” Hadis ini membe 61 %
yy’, harta karun yang tersembunyi. Aku ingin diketahui, maka aku ciptakan manusia.” Hadis ini memberikan suatu penegasan yang 61 %
“wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun,” dan tidak aku ciptakan manusia kecuali untuk menyembah-Ku. Ayat ini, jika 70 %
i antar manusia, penyembahan adalah sebentuk hubungan antara allah dan manusia sebagai hubungan “I-it”, “aku-dan-dia”. Allah, d 81 %
dalam kerangka penyembahan semacam itu, telah “dibendakan”. allah yang disembah adalah Allah yang diberhalakan, yang di-fiksas 82 %
semacam itu, telah “dibendakan”. Allah yang disembah adalah allah yang diberhalakan, yang di-fiksasi dalam gambaran yang tetap 82 %
aya berpandangan bahwa seharusnya manusia berhubungan dengan allah bukan dengan cara seperti itu. Hubungan yang tepat antara ma 83 %
cara seperti itu. Hubungan yang tepat antara manusia dengan allah adalah hubungan dalam kerangka “I-Thou”, aku-Engkau. Agama y 84 %
hubungan “I-it” hanya akan memerosotkan martabat manusia dan allah itu sendiri. Arti ayat tersebut lebih tepat dipahami sebagai 85 %
ri. Arti ayat tersebut lebih tepat dipahami sebagai hubungan allah-manusia dalam model “I-Thou”; bukan penyembahan, tetapi proses dialo 86 %
dis Nabi mengatakan, “al itsmu ma haka fi nafsika wa karihta an yath-thali’a ‘alaihin naas”. Dosa adalah sesuatu yang menimb 32 %
an cara pandang semacam itu, Islam liberal dipandang sebagai ancaman terhadap keberagamaan yang sudah terlembaga. Dalam Islam 4 %
tu tidak lain adalah penundukan manusia. Manusia seolah-olah ancaman bagi Tuhan sehingga harus ditundukkan kepada kehendak-Nya. T 72 %
ang-orang yang mengatakan bahwa dengan memberikan kebebasan, anda telah menjerumuska manusia ke jurang kesesatan, dari menit p 63 %
u sendiri, bukan semata-mata Tuhan. Adalah salah besar suatu anggapan populer yang mengatakan bahwa tugas pokok manusia adalah “me 69 %
etakkan dalam kerangka filsafat Martin Buber mengenai relasi antar manusia, penyembahan adalah sebentuk hubungan antara Allah d 80 %
udah terlembaga. Dalam Islam, persoalan “batasan” (hadd) antara mana yang boleh (mubah) dan yang tak boleh (mahdzur), menemp 5 %
liberal muncul dalam semangat untuk menyeimbangkan “neraca” antara bahasa kewajiban dan kebebasan/hak ini. Untuk itu, marilah k 12 %
upakan proses yang sepihak, bukan proses dialogal yang hidup antara subyek dan subyek. Jika diletakkan dalam kerangka filsafat M 79 %
i relasi antar manusia, penyembahan adalah sebentuk hubungan antara Allah dan manusia sebagai hubungan “I-it”, “aku-dan-dia”. Al 81 %
gan Allah bukan dengan cara seperti itu. Hubungan yang tepat antara manusia dengan Allah adalah hubungan dalam kerangka “I-Thou” 83 %
n yang begitu sentral. Setiap orang Islam selalu peduli pada apa yang dia kerjakan, apakah pebuatan itu boleh atau tidak. Ini 6 %
ng kreatif. Penyembahan pada Tuhan tidak mempunyai makna apa-apa jika tidak diletakkan dalam kerangka manusia sebagai subyek 87 %
Setiap orang Islam selalu peduli pada apa yang dia kerjakan, apakah pebuatan itu boleh atau tidak. Inilah yang kemudian melahirk 6 %
au tidak? Marilah kita mulai dengan pertanyaan sederhana: apakah manusia bisa, dengan akal, intuisi dan fitrahnya, mencapai p 14 %
pai pemahaman yang mendalam mengenai kebaikan dan kejahatan? apakah untuk mengetahui hal-hal itu, manusia harus menungguh wahyu 15 %
ui hal-hal itu, manusia harus menungguh wahyu dari “langit”? apakah gunanya agama, jika toh manusia sudah mampu mencapai sendiri 15 %
pai sendiri pemahaman mengenai “yang baik” dan “yang jahat”? apakah manusia secara moral otonom dalam mengetahui kebaikan dan ke 16 %
subyek moral yang bebas sudah tidak lagi ada atau disangkal, apakah gunanya sebuah agama? Qur’an berkali-kali menyindir orang Ya 50 %
motif, dan otonominya sebagai subyek moral telah disangkal, apakah yang tersisa dari manusia semacam itu selain “jasad” yang pa 54 %
ri motif subyektif manusia. Saya tidak melihat suatu ide apapun dalam Islam di mana manusia ditempatkan sebagai obyek moral 41 %
lu asfaara. Keledai tak akan pernah bisa mendapatkan manfaat apapun dari barang-barang yang diangkutnya. Wahyu tidak akan bergun 52 %
kat martabat kemanusiaan. Wahyu adalah sarana saja menuju ke arah itu. Fokus pertama dalam agama adalah manusia itu sendiri, b 68 %
ya akan memerosotkan martabat manusia dan Allah itu sendiri. arti ayat tersebut lebih tepat dipahami sebagai hubungan Allah-ma 85 %
terbentang luas itu, maka siapapun dapat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. Garansi bahwa wahyu dapat dipahami dengan tepat 31 %
ah” Tuhan. Pandangan ini bersumber dari pemahaman yang salah atas ayat “wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun,” dan t 70 %
tu sebagai agama fitrah, menjadi agama hukum yang ditegakkan atas paksaan. Kesimpulan yang hendak saya tuju dari ulasan ya 93 %
” dalam Islam liberal mempunyai makna kebebasan tanpa batas, atau bahkan disetarakan dengan sikap permisif, ibahiyah; sikap me 3 %
peduli pada apa yang dia kerjakan, apakah pebuatan itu boleh atau tidak. Inilah yang kemudian melahirkan suatu bidang kajian y 7 %
lam klasik: soal tindakan manusia (af’alul ‘ibad). Otonom atau tidak? Marilah kita mulai dengan pertanyaan sederhana: ap 13 %
secara moral otonom dalam mengetahui kebaikan dan kejahatan, atau tergantung pada entitas di luar dirinya? Dalam masalah i 17 %
tukan oleh agama. Manusia baru tahu bahwa tindakan ini jahat atau baik setelah mendapatkan pengajaran dari agama. Golongan ked 19 %
tas. Kita semua tahu, bahwa wahyu itu adalah laksana horison atau cakrawala yang tak berbatas. Hampir mustahil bagi akal manus 29 %
manusia sebagai subyek moral yang bebas sudah tidak lagi ada atau disangkal, apakah gunanya sebuah agama? Qur’an berkali-kali 50 %
etuju dengan penerjemahan kata “ibadah” sebagai penyembahan, atau “worship” dalam bahasa Inggris. Sebab, penyembahan mempunyai 77 %
dimensi kebebasan dalam Islam yang jangkarnya adalah “niat” atau dorongan-dorongan emotif-subyektif dalam manusia itu sendiri 95 %
h merupakan soal keinsafan/kesadaran pribadi; agama bukanlah aturan obyektif yang bisa begitu saja didesakkan secara paksa dari 36 %
as manusia; wilayah itu mempunyai ciri-ciri kebebasan. Jadi, aturan-aturan obyektif yang ditetapkan oleh agama, tidaklah bermakna dalam 40 %
uhan. Pandangan ini bersumber dari pemahaman yang salah atas ayat “wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun,” dan tidak 70 %
” dan tidak Aku ciptakan manusia kecuali untuk menyembah-Ku. ayat ini, jika dipahami dalam kerangka populer yang cenderung ant 71 %
ngan populer yang berkembang di kalangan umat Islam mengenai ayat tersebut cenderung kepada suatu citra manusia sebagai Promet 75 %
an memerosotkan martabat manusia dan Allah itu sendiri. Arti ayat tersebut lebih tepat dipahami sebagai hubungan Allah-manusia 85 %
beral” dalam Islam Liberal Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. S 1 %
kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. Oleh: Ulil Abshar-Abdalla Ada kesan yang tertan 2 %
na horison atau cakrawala yang tak berbatas. Hampir mustahil bagi akal manusia yang terbatas untuk menjangkau seluruh horison 30 %
ari barang-barang yang diangkutnya. Wahyu tidak akan berguna bagi seekor keledai. Dan tak ada gunanya mendakwahkan kedalaman d 52 %
ina liman la ‘aqla lahu”, agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tak mempunyai akal. Oleh karena itu, kebebas 55 %
lain adalah penundukan manusia. Manusia seolah-olah ancaman bagi Tuhan sehingga harus ditundukkan kepada kehendak-Nya. Tidak 72 %
menekankan bahasa kewajiban. Tidak ada yang lebih berbahaya bagi Islam kecuali pandangan yang mencoba mengubah karakter agama 92 %
dan Islam itu sendiri. Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. 99 %
kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. 100 %
Muslim terhadap Allah, sesama manusia, dan dirinya sendiri. bahasa kewajiban lebih menonjol, menutup bahasa hak dan kebebasan m 11 %
an dirinya sendiri. Bahasa kewajiban lebih menonjol, menutup bahasa hak dan kebebasan manusia. Islam liberal muncul dalam semang 11 %
l muncul dalam semangat untuk menyeimbangkan “neraca” antara bahasa kewajiban dan kebebasan/hak ini. Untuk itu, marilah kita mas 12 %
ahan kata “ibadah” sebagai penyembahan, atau “worship” dalam bahasa Inggris. Sebab, penyembahan mempunyai makna yang negatif dal 77 %
dilandaskan kepada pemaksaan, dengan lebih banyak menekankan bahasa kewajiban. Tidak ada yang lebih berbahaya bagi Islam kecuali 91 %
am Islam liberal mempunyai makna kebebasan tanpa batas, atau bahkan disetarakan dengan sikap permisif, ibahiyah; sikap menolerir 3 %
bshar-Abdalla Ada kesan yang tertanam dalam sebagian orang, bahwa istilah “liberal” dalam Islam liberal mempunyai makna kebeba 2 %
dirumuskan. Dalam diskusi-diskusi itu, kelihatan sekali bahwa tekanan diberikan kepada “kewajiban”, yaitu kewajiban seoran 10 %
sik. Ada golongan Sunni yang dominan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan dan kejahatan itu haruslah ditentukan oleh agama. M 18 %
ahatan itu haruslah ditentukan oleh agama. Manusia baru tahu bahwa tindakan ini jahat atau baik setelah mendapatkan pengajaran 19 %
dari agama. Golongan kedua adalah Mu’tazilah yang memandang bahwa manusia dengan akalnya sendiri dapat mengetahui batas-batas 20 %
jahatan, batas-batas kepantasan. Sudah tentu, jika dikatakan bahwa akal manusia dapat menentukan batas-batas tersebut, tidak be 21 %
manusia dapat menentukan batas-batas tersebut, tidak berarti bahwa seluruh batas itu sudah diketahui oleh akal dari hari pertam 22 %
g pada pandangan kaum Mu’tazilah. Tetapi, harap lah disadari bahwa dengan menerima pendapat Mu’tazilah, bukan berarti saya mene 23 %
ang bertanggung jawab dan penuh integritas. Kita semua tahu, bahwa wahyu itu adalah laksana horison atau cakrawala yang tak ber 29 %
a siapapun dapat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. Garansi bahwa wahyu dapat dipahami dengan tepat adalah integritas akal man 31 %
ng benar mengenai dosa. Kenapa demikian? Haruslah diketahui, bahwa agama pada menit pertama adalah merupakan soal keinsafan/kes 35 %
yang terkandung dalam wahyu. Saya tidak pernah membayangkan bahwa wahyu dalam pandangan Islam memandang “dunia manusia” sebaga 43 %
insip yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Banyak orang mengira bahwa kebebasan semacam itu menyebabkan manusia memberontak kepada 56 %
manusia memberontak kepada agama dan wahyu. Ada yang mengira bahwa dengan membatasi kebebasan itu, mereka telah melindungi wahy 57 %
manusia.” Hadis ini memberikan suatu penegasan yang penting bahwa manusia diciptakan untuk “menggali” dimensi-dimensi yang ter 61 %
ubyek yang bebas dan otonom. Orang-orang yang mengatakan bahwa dengan memberikan kebebasan, anda telah menjerumuska manusia 63 %
n. Adalah salah besar suatu anggapan populer yang mengatakan bahwa tugas pokok manusia adalah “menyembah” Tuhan. Pandangan ini 69 %
rangka populer yang cenderung anti-humanistik, dapat berarti bahwa agama itu tidak lain adalah penundukan manusia. Manusia seol 71 %
ang negatif dalam sejumlah hal. Penyembahan mengandaikan bahwa obyek yang “disembah” adalah obyek yang “mati”, di-reifikasi 78 %
gambaran yang tetap seperti sebuah “idol”. Saya berpandangan bahwa seharusnya manusia berhubungan dengan Allah bukan dengan car 83 %
ya tuju dari ulasan yang agak “ruwet” dan panjang ini adalah bahwa dengan membubuhkan kata “liberal” pada Islam, sesunggunya sa 94 %
oleh agama. Manusia baru tahu bahwa tindakan ini jahat atau baik setelah mendapatkan pengajaran dari agama. Golongan kedua ad 19 %
anusia sudah mampu mencapai sendiri pemahaman mengenai “yang baik” dan “yang jahat”? Apakah manusia secara moral otonom dalam m 16 %
. Setiap wahyu membawa suatu wawasan tertentu mengenai “yang baik” dan “yang jahat”. Wahyu dapat mengangkat derajat akal manusi 25 %
sia adalah perkara prinsip yang tak bisa ditawar-tawar lagi. banyak orang mengira bahwa kebebasan semacam itu menyebabkan manusi 56 %
agama hukum yang dilandaskan kepada pemaksaan, dengan lebih banyak menekankan bahasa kewajiban. Tidak ada yang lebih berbahaya 91 %
Keledai tak akan pernah bisa mendapatkan manfaat apapun dari barang-barang yang diangkutnya. Wahyu tidak akan berguna bagi seekor keled 52 %
an dan kejahatan itu haruslah ditentukan oleh agama. Manusia baru tahu bahwa tindakan ini jahat atau baik setelah mendapatkan 19 %
ermisif, ibahiyah; sikap menolerir setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan cara pandang semacam itu, Islam liberal d 4 %
menentukan batas-batas tersebut, tidak berarti bahwa seluruh batas itu sudah diketahui oleh akal dari hari pertama. Akal manusi 22 %
andang bahwa manusia dengan akalnya sendiri dapat mengetahui batas-batas kebaikan dan kejahatan, batas-batas kepantasan. Sudah tentu, 21 %
sendiri dapat mengetahui batas-batas kebaikan dan kejahatan, batas-batas kepantasan. Sudah tentu, jika dikatakan bahwa akal manusia d 21 %
ah tentu, jika dikatakan bahwa akal manusia dapat menentukan batas-batas tersebut, tidak berarti bahwa seluruh batas itu sudah diketa 21 %
n wahyu dalam memperkaya wawasan akal manusia untuk memahami batas-batas itu. Setiap wahyu membawa suatu wawasan tertentu mengenai “y 25 %
manusia itu sendiri. Jika manusia sebagai subyek moral yang bebas sudah tidak lagi ada atau disangkal, apakah gunanya sebuah a 49 %
i jika tidak mengandaikan adanya manusia sebagai subyek yang bebas dan otonom. Orang-orang yang mengatakan bahwa dengan mem 63 %
kan dimungkinkan karena adanya manusia-manusia yang berpikir bebas dan kemudian mampu menyingkapkan rahasia-rahasia terdalam da 66 %
ubah) dan yang tak boleh (mahdzur), menempati kedudukan yang begitu sentral. Setiap orang Islam selalu peduli pada apa yang dia 6 %
/kesadaran pribadi; agama bukanlah aturan obyektif yang bisa begitu saja didesakkan secara paksa dari luar. Itulah sebabnya, seb 36 %
lah melindungi wahyu. Ini jelas pandangan yang salah. Sebab, begitu kebebasan manusia dibatasi, maka dimensi-dimensi terdalam ya 58 %
itu, dan jika mau, dia boleh mengingkarinya. Fakta-fakta ini begitu jelasnya tertuang dalam sumber utama ajaran Islam, Qur’an da 90 %
kerangka manusia sebagai subyek yang bebas, dengan akal yang bekerja secara leluasa. Qur’an mengatakan, “qad tabayyanar rushdu mi 87 %
nusia, berdasarkan intuisinya, untuk mencapai pemahaman yang benar mengenai dosa. Kenapa demikian? Haruslah diketahui, bahwa ag 35 %
yang ditetapkan oleh agama, tidaklah bermakna dalam kerangka beragama jika dilepaskan dari motif subyektif manusia. Saya tidak 41 %
wa akal manusia dapat menentukan batas-batas tersebut, tidak berarti bahwa seluruh batas itu sudah diketahui oleh akal dari hari 22 %
ah disadari bahwa dengan menerima pendapat Mu’tazilah, bukan berarti saya menepiskan peran wahyu dalam memperkaya wawasan akal ma 24 %
dalam kerangka populer yang cenderung anti-humanistik, dapat berarti bahwa agama itu tidak lain adalah penundukan manusia. Manusi 71 %
bih banyak menekankan bahasa kewajiban. Tidak ada yang lebih berbahaya bagi Islam kecuali pandangan yang mencoba mengubah karakter 92 %
ini memberikan tekanan yang tegas kepada kemampuan manusia, berdasarkan intuisinya, untuk mencapai pemahaman yang benar mengenai dos 34 %
akna “Liberal” dalam Islam Liberal Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendi 1 %
apapun dari barang-barang yang diangkutnya. Wahyu tidak akan berguna bagi seekor keledai. Dan tak ada gunanya mendakwahkan kedala 52 %
as wahyu dan Islam itu sendiri. Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendi 99 %
ti sebuah “idol”. Saya berpandangan bahwa seharusnya manusia berhubungan dengan Allah bukan dengan cara seperti itu. Hubungan yang te 83 %
kali menyindir orang Yahudi sebagai “keledai yang mengangkut berjilid-jilid kitab”, matsalulladzina hummilut Taurata kamatsalil khimari 51 %
lagi ada atau disangkal, apakah gunanya sebuah agama? Qur’an berkali-kali menyindir orang Yahudi sebagai “keledai yang mengangkut berj 50 %
alam mitos Yunani kuno. Saya melihat, pandangan populer yang berkembang di kalangan umat Islam mengenai ayat tersebut cenderung kepa 74 %
aturan-aturan obyektif yang ditetapkan oleh agama, tidaklah bermakna dalam kerangka beragama jika dilepaskan dari motif subyektif 40 %
angkat derajat akal manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat lebih memahami batas-batas. Tetapi, wahyu bisa m 26 %
iksasi dalam gambaran yang tetap seperti sebuah “idol”. Saya berpandangan bahwa seharusnya manusia berhubungan dengan Allah bukan deng 83 %
justru akan dimungkinkan karena adanya manusia-manusia yang berpikir bebas dan kemudian mampu menyingkapkan rahasia-rahasia terda 66 %
erti ini. Pandangan mengenai manusia sebagai Prometheus yang berseteru dengan Tuhan hanyalah ada dalam mitos Yunani kuno. Saya meli 74 %
yang telah dibajak oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang bersifat duniawi. Agar wahyu itu bisa pulih kembali dan memperoleh in 28 %
tugas pokok manusia adalah “menyembah” Tuhan. Pandangan ini bersumber dari pemahaman yang salah atas ayat “wa ma khalaqtul jinna w 70 %
nya lagi sebagai sumber moralitas, maka diperlukan akal yang bertanggung jawab dan penuh integritas. Kita semua tahu, bahwa wahyu itu 29 %
ikih menjadi fokus perhatian, sebab dalam fikih lah sebagian besar hukum Islam dirumuskan. Dalam diskusi-diskusi itu, kelih 9 %
h manusia itu sendiri, bukan semata-mata Tuhan. Adalah salah besar suatu anggapan populer yang mengatakan bahwa tugas pokok man 69 %
itu boleh atau tidak. Inilah yang kemudian melahirkan suatu bidang kajian yang sangat kaya dan meninggalkan ribuan literatur ya 7 %
t kaya dan meninggalkan ribuan literatur yang canggih, yaitu bidang fikih. Setiap pembicaraan tentang hukum selalu rujukannya ad 8 %
ar. Itulah sebabnya, sebuah hadis mengatakan “innamal a’malu bin niyyaat”, sesungguhnya segala tindakan tidaklah akan menjadi 37 %
ermutu untuk dapat lebih memahami batas-batas. Tetapi, wahyu bisa memerosotkan akal manusia, manakala wahyu itu mengalami “vul 26 %
gan-kepentingan sesaat yang bersifat duniawi. Agar wahyu itu bisa pulih kembali dan memperoleh inegritasnya lagi sebagai sumbe 28 %
safan/kesadaran pribadi; agama bukanlah aturan obyektif yang bisa begitu saja didesakkan secara paksa dari luar. Itulah sebabn 36 %
kamatsalil khimari yahmilu asfaara. Keledai tak akan pernah bisa mendapatkan manfaat apapun dari barang-barang yang diangkutn 51 %
arena itu, kebebasan manusia adalah perkara prinsip yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Banyak orang mengira bahwa kebebasan sem 56 %
Dalam Islam, persoalan “batasan” (hadd) antara mana yang boleh (mubah) dan yang tak boleh (mahdzur), menempati kedudukan ya 5 %
“batasan” (hadd) antara mana yang boleh (mubah) dan yang tak boleh (mahdzur), menempati kedudukan yang begitu sentral. Setiap o 5 %
elalu peduli pada apa yang dia kerjakan, apakah pebuatan itu boleh atau tidak. Inilah yang kemudian melahirkan suatu bidang kaj 7 %
fal yu’min wan man sya’a fal yakfur,” jika manusia mau, dia boleh mengimani jalan itu, dan jika mau, dia boleh mengingkarinya. 89 %
anusia mau, dia boleh mengimani jalan itu, dan jika mau, dia boleh mengingkarinya. Fakta-fakta ini begitu jelasnya tertuang dal 89 %
k dan subyek. Jika diletakkan dalam kerangka filsafat Martin buber mengenai relasi antar manusia, penyembahan adalah sebentuk h 80 %
arap lah disadari bahwa dengan menerima pendapat Mu’tazilah, bukan berarti saya menepiskan peran wahyu dalam memperkaya wawasan 24 %
h itu. Fokus pertama dalam agama adalah manusia itu sendiri, bukan semata-mata Tuhan. Adalah salah besar suatu anggapan populer 68 %
i-fiksasi. Penyembahan selalu merupakan proses yang sepihak, bukan proses dialogal yang hidup antara subyek dan subyek. Jika di 79 %
rpandangan bahwa seharusnya manusia berhubungan dengan Allah bukan dengan cara seperti itu. Hubungan yang tepat antara manusia 83 %
ipahami sebagai hubungan Allah-manusia dalam model “I-Thou”; bukan penyembahan, tetapi proses dialogal yang kreatif. Penyem 86 %
g yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. Oleh: Ulil Abshar-Abdalla Ad 1 %
ama adalah merupakan soal keinsafan/kesadaran pribadi; agama bukanlah aturan obyektif yang bisa begitu saja didesakkan secara paks 36 %
g yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. 100 %
Kita semua tahu, bahwa wahyu itu adalah laksana horison atau cakrawala yang tak berbatas. Hampir mustahil bagi akal manusia yang te 29 %
yang terbatas untuk menjangkau seluruh horison wahyu. Karena cakrawala wahyu yang terbentang luas itu, maka siapapun dapat mengatak 30 %
menolerir setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan cara pandang semacam itu, Islam liberal dipandang sebagai ancaman 4 %
hwa seharusnya manusia berhubungan dengan Allah bukan dengan cara seperti itu. Hubungan yang tepat antara manusia dengan Allah 83 %
ng, mengalami evolusi, dan akan makin matang. Saya lebih cenderung pada pandangan kaum Mu’tazilah. Tetapi, harap lah disadari b 23 %
mbah-Ku. Ayat ini, jika dipahami dalam kerangka populer yang cenderung anti-humanistik, dapat berarti bahwa agama itu tidak lain ad 71 %
ang berkembang di kalangan umat Islam mengenai ayat tersebut cenderung kepada suatu citra manusia sebagai Prometheus. Bedanya, Prom 75 %
harta karun yang tersembunyi. Aku ingin diketahui, maka Aku ciptakan manusia.” Hadis ini memberikan suatu penegasan yang penting 61 %
ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun,” dan tidak Aku ciptakan manusia kecuali untuk menyembah-Ku. Ayat ini, jika dipahami 70 %
a dalam wilayah subyektivitas manusia; wilayah itu mempunyai ciri-ciri kebebasan. Jadi, aturan-aturan obyektif yang ditetapkan oleh 40 %
gan umat Islam mengenai ayat tersebut cenderung kepada suatu citra manusia sebagai Prometheus. Bedanya, Prometheus versi Islam 75 %
h Prometheus yang kalah oleh kehendak Tuhan. Ini jelas suatu citraan manusia yang tidak sesuai dengan semangat Islam. Saya kurang 76 %
Agama, Akal, dan Kebebasan: Tentang Makna “Liberal” dalam Islam Liberal Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-o 0 %
ledai. Oleh: Ulil Abshar-Abdalla Ada kesan yang tertanam dalam sebagian orang, bahwa istilah “liberal” dalam Islam liberal 2 %
yang tertanam dalam sebagian orang, bahwa istilah “liberal” dalam Islam liberal mempunyai makna kebebasan tanpa batas, atau ba 2 %
sebagai ancaman terhadap keberagamaan yang sudah terlembaga. dalam Islam, persoalan “batasan” (hadd) antara mana yang boleh (mu 5 %
rapan hukum Islam, maka fikih menjadi fokus perhatian, sebab dalam fikih lah sebagian besar hukum Islam dirumuskan. Dalam d 9 %
sebab dalam fikih lah sebagian besar hukum Islam dirumuskan. dalam diskusi-diskusi itu, kelihatan sekali bahwa tekanan diberika 9 %
nutup bahasa hak dan kebebasan manusia. Islam liberal muncul dalam semangat untuk menyeimbangkan “neraca” antara bahasa kewajib 12 %
tu, marilah kita masuki sebuah tema dasar yang menjadi debat dalam pemikiran Islam klasik: soal tindakan manusia (af’alul ‘ibad 13 %
g baik” dan “yang jahat”? Apakah manusia secara moral otonom dalam mengetahui kebaikan dan kejahatan, atau tergantung pada enti 17 %
dan kejahatan, atau tergantung pada entitas di luar dirinya? dalam masalah ini, ada dua jawaban yang tersedia dalam khazanah pe 17 %
irinya? Dalam masalah ini, ada dua jawaban yang tersedia dalam khazanah pemikiran Islam klasik. Ada golongan Sunni yang dom 18 %
ndapat Mu’tazilah, bukan berarti saya menepiskan peran wahyu dalam memperkaya wawasan akal manusia untuk memahami batas-batas i 24 %
t dan dorongan emotif yang sungguh-sungguh bertanggungjawab. dalam hadis lain dikatakan, “niyyatul mu’min khairun min ‘amalihi” 38 %
fatnya subyektif lebih mulia dari tindakan. Wilayah niat ada dalam wilayah subyektivitas manusia; wilayah itu mempunyai ciri-ci 39 %
turan obyektif yang ditetapkan oleh agama, tidaklah bermakna dalam kerangka beragama jika dilepaskan dari motif subyektif manus 40 %
f subyektif manusia. Saya tidak melihat suatu ide apapun dalam Islam di mana manusia ditempatkan sebagai obyek moral yang p 41 %
ral yang pasif. Akal manusia merupakan partisipan yang aktif dalam menafsiran ide-ide ketuhanan yang terkandung dalam wahyu. Sa 42 %
ang aktif dalam menafsiran ide-ide ketuhanan yang terkandung dalam wahyu. Saya tidak pernah membayangkan bahwa wahyu dalam pand 43 %
dung dalam wahyu. Saya tidak pernah membayangkan bahwa wahyu dalam pandangan Islam memandang “dunia manusia” sebagai dunia hobb 43 %
agai suatu “leviathan” yang bengis. Islam meletakkan manusia dalam posisi yang penuh martabat, sebagai “khalifah” yang memenuhi 45 %
enggambarkan wahyu sebagai “leviathan” semacam itu. Manusia, dalam pandangan populer semacam itu, kerapkali ditempatkan sebagai 46 %
sebagaimana pernah ditunjuk oleh Prof. Khaled Abou El Fadl. dalam situasi yang sudah “vulgar” semacam itu, yang pertama perlu 48 %
diciptakan untuk “menggali” dimensi-dimensi yang tersembunyi dalam wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi jika 62 %
. Wahyu adalah sarana saja menuju ke arah itu. Fokus pertama dalam agama adalah manusia itu sendiri, bukan semata-mata Tuhan. A 68 %
manusia kecuali untuk menyembah-Ku. Ayat ini, jika dipahami dalam kerangka populer yang cenderung anti-humanistik, dapat berar 71 %
sebagai Prometheus yang berseteru dengan Tuhan hanyalah ada dalam mitos Yunani kuno. Saya melihat, pandangan populer yang berk 74 %
nerjemahan kata “ibadah” sebagai penyembahan, atau “worship” dalam bahasa Inggris. Sebab, penyembahan mempunyai makna yang nega 77 %
asa Inggris. Sebab, penyembahan mempunyai makna yang negatif dalam sejumlah hal. Penyembahan mengandaikan bahwa obyek yang 78 %
ialogal yang hidup antara subyek dan subyek. Jika diletakkan dalam kerangka filsafat Martin Buber mengenai relasi antar manusia 80 %
h dan manusia sebagai hubungan “I-it”, “aku-dan-dia”. Allah, dalam kerangka penyembahan semacam itu, telah “dibendakan”. Allah 81 %
ang disembah adalah Allah yang diberhalakan, yang di-fiksasi dalam gambaran yang tetap seperti sebuah “idol”. Saya berpandangan 82 %
ungan yang tepat antara manusia dengan Allah adalah hubungan dalam kerangka “I-Thou”, aku-Engkau. Agama yang didasarkan pada pe 84 %
“I-Thou”, aku-Engkau. Agama yang didasarkan pada penyembahan dalam kerangka hubungan “I-it” hanya akan memerosotkan martabat ma 84 %
tersebut lebih tepat dipahami sebagai hubungan Allah-manusia dalam model “I-Thou”; bukan penyembahan, tetapi proses dialogal ya 86 %
da Tuhan tidak mempunyai makna apa-apa jika tidak diletakkan dalam kerangka manusia sebagai subyek yang bebas, dengan akal yang 87 %
leh mengingkarinya. Fakta-fakta ini begitu jelasnya tertuang dalam sumber utama ajaran Islam, Qur’an dan Hadis. Tetapi, proses- 90 %
n Islam, Qur’an dan Hadis. Tetapi, proses-proses kesejarahan dalam Islam sendiri telah mengubah agama itu menjadi agama hukum y 90 %
sesunggunya saya hendak menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang jangkarnya adalah “niat” atau dorongan-dorongan e 94 %
karnya adalah “niat” atau dorongan-dorongan emotif-subyektif dalam manusia itu sendiri. Dan sebaiknya kata liberal dalam “Islam 95 %
yektif dalam manusia itu sendiri. Dan sebaiknya kata liberal dalam “Islam liberal” dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata “l 96 %
i. Dan sebaiknya kata liberal dalam “Islam liberal” dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata “liberal” di sini tidak ada sangk 96 %
sikap-sikap permisif yang melawan kecenderungan “intrinsik” dalam akal manusia itu sendiri. Dengan menekankan kembali dimensi 97 %
Agama, Akal, dan Kebebasan: Tentang Makna “Liberal” dalam Islam Liberal Seka 0 %
m, persoalan “batasan” (hadd) antara mana yang boleh (mubah) dan yang tak boleh (mahdzur), menempati kedudukan yang begitu se 5 %
ang kemudian melahirkan suatu bidang kajian yang sangat kaya dan meninggalkan ribuan literatur yang canggih, yaitu bidang fik 7 %
itu kewajiban seorang Muslim terhadap Allah, sesama manusia, dan dirinya sendiri. Bahasa kewajiban lebih menonjol, menutup ba 11 %
sendiri. Bahasa kewajiban lebih menonjol, menutup bahasa hak dan kebebasan manusia. Islam liberal muncul dalam semangat untuk 11 %
mangat untuk menyeimbangkan “neraca” antara bahasa kewajiban dan kebebasan/hak ini. Untuk itu, marilah kita masuki sebuah tem 12 %
tanyaan sederhana: apakah manusia bisa, dengan akal, intuisi dan fitrahnya, mencapai pemahaman yang mendalam mengenai kebaika 14 %
itrahnya, mencapai pemahaman yang mendalam mengenai kebaikan dan kejahatan? Apakah untuk mengetahui hal-hal itu, manusia haru 15 %
sudah mampu mencapai sendiri pemahaman mengenai “yang baik” dan “yang jahat”? Apakah manusia secara moral otonom dalam menge 16 %
Apakah manusia secara moral otonom dalam mengetahui kebaikan dan kejahatan, atau tergantung pada entitas di luar dirinya? 17 %
an Sunni yang dominan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan dan kejahatan itu haruslah ditentukan oleh agama. Manusia baru t 19 %
dengan akalnya sendiri dapat mengetahui batas-batas kebaikan dan kejahatan, batas-batas kepantasan. Sudah tentu, jika dikatak 21 %
ri hari pertama. Akal manusia berkembang, mengalami evolusi, dan akan makin matang. Saya lebih cenderung pada pandangan k 23 %
ap wahyu membawa suatu wawasan tertentu mengenai “yang baik” dan “yang jahat”. Wahyu dapat mengangkat derajat akal manusia ke 25 %
mengangkat derajat akal manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat lebih memahami batas-batas. Tetapi, wahy 26 %
aat yang bersifat duniawi. Agar wahyu itu bisa pulih kembali dan memperoleh inegritasnya lagi sebagai sumber moralitas, maka 28 %
umber moralitas, maka diperlukan akal yang bertanggung jawab dan penuh integritas. Kita semua tahu, bahwa wahyu itu adalah la 29 %
laihin naas”. Dosa adalah sesuatu yang menimbulkan kekeruhan dan kekacauan di hatimu, dan kamu tak suka orang lain melihatmu 33 %
sesuatu yang menimbulkan kekeruhan dan kekacauan di hatimu, dan kamu tak suka orang lain melihatmu melakukannya. Hadis ini m 33 %
kan tidaklah akan menjadi tindakan yang “genuine” tanpa niat dan dorongan emotif yang sungguh-sungguh bertanggungjawab. Dalam 38 %
lain dikatakan, “niyyatul mu’min khairun min ‘amalihi”, niat dan dorongan emotif yang sifatnya subyektif lebih mulia dari tin 39 %
usia” sebagai dunia hobbesian yang kotor, brutal, sementara, dan licik, dan karena itu wahyu turun sebagai suatu “leviathan” 44 %
ai dunia hobbesian yang kotor, brutal, sementara, dan licik, dan karena itu wahyu turun sebagai suatu “leviathan” yang bengis 44 %
g diangkutnya. Wahyu tidak akan berguna bagi seekor keledai. dan tak ada gunanya mendakwahkan kedalaman dan kesempurnaan wahy 52 %
i seekor keledai. Dan tak ada gunanya mendakwahkan kedalaman dan kesempurnaan wahyu kepad keledai. Jika manusia telah dikoson 53 %
yu kepad keledai. Jika manusia telah dikosongkan dari motif, dan otonominya sebagai subyek moral telah disangkal, apakah yang 53 %
san semacam itu menyebabkan manusia memberontak kepada agama dan wahyu. Ada yang mengira bahwa dengan membatasi kebebasan itu 57 %
ntuk “menggali” dimensi-dimensi yang tersembunyi dalam wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi jika tidak meng 62 %
tidak mengandaikan adanya manusia sebagai subyek yang bebas dan otonom. Orang-orang yang mengatakan bahwa dengan memberi 63 %
kari nilai kemanusiaan. Keledai selalu takut pada kebebasan, dan terus-menerus mencari majikan yang dapat menuntunnya. Sesung 65 %
mungkinkan karena adanya manusia-manusia yang berpikir bebas dan kemudian mampu menyingkapkan rahasia-rahasia terdalam dari w 66 %
atas ayat “wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun,” dan tidak Aku ciptakan manusia kecuali untuk menyembah-Ku. Ayat 70 %
yang sepihak, bukan proses dialogal yang hidup antara subyek dan subyek. Jika diletakkan dalam kerangka filsafat Martin Buber 80 %
r manusia, penyembahan adalah sebentuk hubungan antara Allah dan manusia sebagai hubungan “I-it”, “aku-dan-dia”. Allah, dalam 81 %
gka hubungan “I-it” hanya akan memerosotkan martabat manusia dan Allah itu sendiri. Arti ayat tersebut lebih tepat dipahami s 85 %
d tabayyanar rushdu minal ghayy”, telah jelas jalan kebaikan dan kesesatan. “Fa man sya’a fal yu’min wan man sya’a fal yakfur 88 %
al yakfur,” jika manusia mau, dia boleh mengimani jalan itu, dan jika mau, dia boleh mengingkarinya. Fakta-fakta ini begitu j 89 %
tu jelasnya tertuang dalam sumber utama ajaran Islam, Qur’an dan Hadis. Tetapi, proses-proses kesejarahan dalam Islam sendiri 90 %
simpulan yang hendak saya tuju dari ulasan yang agak “ruwet” dan panjang ini adalah bahwa dengan membubuhkan kata “liberal” p 93 %
orongan-dorongan emotif-subyektif dalam manusia itu sendiri. dan sebaiknya kata liberal dalam “Islam liberal” dipahami dalam 95 %
endiri. Dengan menekankan kembali dimensi kebebasan manusia, dan menempatkan manusia pada fokus penghayatan keagamaan, maka k 98 %
agamaan, maka kita telah memulihkan kembali integritas wahyu dan Islam itu sendiri. Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi 99 %
’tazilah yang memandang bahwa manusia dengan akalnya sendiri dapat mengetahui batas-batas kebaikan dan kejahatan, batas-batas k 20 %
s kepantasan. Sudah tentu, jika dikatakan bahwa akal manusia dapat menentukan batas-batas tersebut, tidak berarti bahwa seluruh 21 %
awasan tertentu mengenai “yang baik” dan “yang jahat”. Wahyu dapat mengangkat derajat akal manusia ke tingkat yang lebih tinggi 25 %
akal manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat lebih memahami batas-batas. Tetapi, wahyu bisa memerosotkan 26 %
rena cakrawala wahyu yang terbentang luas itu, maka siapapun dapat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. Garansi bahwa wahyu dapa 31 %
apat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. Garansi bahwa wahyu dapat dipahami dengan tepat adalah integritas akal manusia itu sen 31 %
takut pada kebebasan, dan terus-menerus mencari majikan yang dapat menuntunnya. Sesungguhnya Islam tidak membutuhkan orang-oran 65 %
ahami dalam kerangka populer yang cenderung anti-humanistik, dapat berarti bahwa agama itu tidak lain adalah penundukan manusia 71 %
untuk mengetahui hal-hal itu, manusia harus menungguh wahyu dari “langit”? Apakah gunanya agama, jika toh manusia sudah mampu 15 %
tindakan ini jahat atau baik setelah mendapatkan pengajaran dari agama. Golongan kedua adalah Mu’tazilah yang memandang bahwa 20 %
ak berarti bahwa seluruh batas itu sudah diketahui oleh akal dari hari pertama. Akal manusia berkembang, mengalami evolusi, da 22 %
turan obyektif yang bisa begitu saja didesakkan secara paksa dari luar. Itulah sebabnya, sebuah hadis mengatakan “innamal a’ma 36 %
niat dan dorongan emotif yang sifatnya subyektif lebih mulia dari tindakan. Wilayah niat ada dalam wilayah subyektivitas manus 39 %
a, tidaklah bermakna dalam kerangka beragama jika dilepaskan dari motif subyektif manusia. Saya tidak melihat suatu ide ap 41 %
rapkali ditempatkan sebagai “barang” yang sama sekali kosong dari suatu motif yang bebas. Inilah proses vulgarisasi Islam seba 47 %
ara. Keledai tak akan pernah bisa mendapatkan manfaat apapun dari barang-barang yang diangkutnya. Wahyu tidak akan berguna bag 52 %
mpurnaan wahyu kepad keledai. Jika manusia telah dikosongkan dari motif, dan otonominya sebagai subyek moral telah disangkal, 53 %
ya sebagai subyek moral telah disangkal, apakah yang tersisa dari manusia semacam itu selain “jasad” yang pasif. Nabi pernah b 54 %
manusia dibatasi, maka dimensi-dimensi terdalam yang subtil dari wahyu akan sulit diungkapkan oleh manusia. Sebab, untuk mema 59 %
ebasan, anda telah menjerumuska manusia ke jurang kesesatan, dari menit pertama mereka itu sudah mengingkari nilai kemanusiaan 64 %
as dan kemudian mampu menyingkapkan rahasia-rahasia terdalam dari wahyu. Ibadah sebagai “I-Thou” Tujuan pokok dari ag 67 %
am dari wahyu. Ibadah sebagai “I-Thou” Tujuan pokok dari agama adalah mengangkat martabat kemanusiaan. Wahyu adalah s 67 %
ok manusia adalah “menyembah” Tuhan. Pandangan ini bersumber dari pemahaman yang salah atas ayat “wa ma khalaqtul jinna wal in 70 %
itegakkan atas paksaan. Kesimpulan yang hendak saya tuju dari ulasan yang agak “ruwet” dan panjang ini adalah bahwa dengan 93 %
ebebasan/hak ini. Untuk itu, marilah kita masuki sebuah tema dasar yang menjadi debat dalam pemikiran Islam klasik: soal tindak 13 %
ntuk itu, marilah kita masuki sebuah tema dasar yang menjadi debat dalam pemikiran Islam klasik: soal tindakan manusia (af’alul 13 %
mpunyai makna kebebasan tanpa batas, atau bahkan disetarakan dengan sikap permisif, ibahiyah; sikap menolerir setiap hal tanpa m 3 %
sikap menolerir setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti. dengan cara pandang semacam itu, Islam liberal dipandang sebagai an 4 %
(af’alul ‘ibad). Otonom atau tidak? Marilah kita mulai dengan pertanyaan sederhana: apakah manusia bisa, dengan akal, intu 14 %
kita mulai dengan pertanyaan sederhana: apakah manusia bisa, dengan akal, intuisi dan fitrahnya, mencapai pemahaman yang mendala 14 %
nah pemikiran Islam klasik. Ada golongan Sunni yang dominan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan dan kejahatan itu haruslah di 18 %
olongan kedua adalah Mu’tazilah yang memandang bahwa manusia dengan akalnya sendiri dapat mengetahui batas-batas kebaikan dan ke 20 %
pandangan kaum Mu’tazilah. Tetapi, harap lah disadari bahwa dengan menerima pendapat Mu’tazilah, bukan berarti saya menepiskan 24 %
sesuatu atas nama wahyu. Garansi bahwa wahyu dapat dipahami dengan tepat adalah integritas akal manusia itu sendiri. Salah 31 %
a memberontak kepada agama dan wahyu. Ada yang mengira bahwa dengan membatasi kebebasan itu, mereka telah melindungi wahyu. Ini 57 %
yang bebas dan otonom. Orang-orang yang mengatakan bahwa dengan memberikan kebebasan, anda telah menjerumuska manusia ke jur 63 %
Pandangan mengenai manusia sebagai Prometheus yang berseteru dengan Tuhan hanyalah ada dalam mitos Yunani kuno. Saya melihat, pa 74 %
dak Tuhan. Ini jelas suatu citraan manusia yang tidak sesuai dengan semangat Islam. Saya kurang setuju dengan penerjemahan kata 76 %
yang tidak sesuai dengan semangat Islam. Saya kurang setuju dengan penerjemahan kata “ibadah” sebagai penyembahan, atau “worshi 77 %
dol”. Saya berpandangan bahwa seharusnya manusia berhubungan dengan Allah bukan dengan cara seperti itu. Hubungan yang tepat ant 83 %
ngan bahwa seharusnya manusia berhubungan dengan Allah bukan dengan cara seperti itu. Hubungan yang tepat antara manusia dengan 83 %
dengan cara seperti itu. Hubungan yang tepat antara manusia dengan Allah adalah hubungan dalam kerangka “I-Thou”, aku-Engkau. A 84 %
diletakkan dalam kerangka manusia sebagai subyek yang bebas, dengan akal yang bekerja secara leluasa. Qur’an mengatakan, “qad ta 87 %
a itu menjadi agama hukum yang dilandaskan kepada pemaksaan, dengan lebih banyak menekankan bahasa kewajiban. Tidak ada yang leb 91 %
u dari ulasan yang agak “ruwet” dan panjang ini adalah bahwa dengan membubuhkan kata “liberal” pada Islam, sesunggunya saya hend 94 %
emacam ini. Kata “liberal” di sini tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan sikap-sikap permisif yang mela 96 %
sini tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan sikap-sikap permisif yang melawan kecenderungan “intrinsik” 97 %
an kecenderungan “intrinsik” dalam akal manusia itu sendiri. dengan menekankan kembali dimensi kebebasan manusia, dan menempatka 97 %
engenai “yang baik” dan “yang jahat”. Wahyu dapat mengangkat derajat akal manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan bermutu untuk 26 %
getahui kebaikan dan kejahatan, atau tergantung pada entitas di luar dirinya? Dalam masalah ini, ada dua jawaban yang te 17 %
Dosa adalah sesuatu yang menimbulkan kekeruhan dan kekacauan di hatimu, dan kamu tak suka orang lain melihatmu melakukannya. 33 %
manusia. Saya tidak melihat suatu ide apapun dalam Islam di mana manusia ditempatkan sebagai obyek moral yang pasif. Aka 41 %
h” yang memenuhi tugas ketuhanan untuk memperbaiki kehidupan di bumi. Pandangan-pandangan keislaman populer kerapkali mengga 46 %
an akal manusia yang matang. Sebuah hadis qudsi yang populer di kalangan sufi menyatakan, “Aku (Allah) adalah ‘kanzun makhfi 60 %
Yunani kuno. Saya melihat, pandangan populer yang berkembang di kalangan umat Islam mengenai ayat tersebut cenderung kepada 75 %
liberal” dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata “liberal” di sini tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, 96 %
gitu sentral. Setiap orang Islam selalu peduli pada apa yang dia kerjakan, apakah pebuatan itu boleh atau tidak. Inilah yang 6 %
ya’a fal yu’min wan man sya’a fal yakfur,” jika manusia mau, dia boleh mengimani jalan itu, dan jika mau, dia boleh mengingka 89 %
ka manusia mau, dia boleh mengimani jalan itu, dan jika mau, dia boleh mengingkarinya. Fakta-fakta ini begitu jelasnya tertua 89 %
nyembahan selalu merupakan proses yang sepihak, bukan proses dialogal yang hidup antara subyek dan subyek. Jika diletakkan dalam k 79 %
nusia dalam model “I-Thou”; bukan penyembahan, tetapi proses dialogal yang kreatif. Penyembahan pada Tuhan tidak mempunyai mak 86 %
la wahyu itu mengalami “vulgarisasi”, yaitu wahyu yang telah dibajak oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang bersifat duniawi. A 27 %
Dalam diskusi-diskusi itu, kelihatan sekali bahwa tekanan diberikan kepada “kewajiban”, yaitu kewajiban seorang Muslim terhadap 10 %
is ini memberikan suatu penegasan yang penting bahwa manusia diciptakan untuk “menggali” dimensi-dimensi yang tersembunyi dalam wahy 61 %
lah hubungan dalam kerangka “I-Thou”, aku-Engkau. Agama yang didasarkan pada penyembahan dalam kerangka hubungan “I-it” hanya akan m 84 %
ribadi; agama bukanlah aturan obyektif yang bisa begitu saja didesakkan secara paksa dari luar. Itulah sebabnya, sebuah hadis mengat 36 %
n”. Allah yang disembah adalah Allah yang diberhalakan, yang di-fiksasi dalam gambaran yang tetap seperti sebuah “idol”. Saya berpan 82 %
kan dan kejahatan, batas-batas kepantasan. Sudah tentu, jika dikatakan bahwa akal manusia dapat menentukan batas-batas tersebut, ti 21 %
-batas tersebut, tidak berarti bahwa seluruh batas itu sudah diketahui oleh akal dari hari pertama. Akal manusia berkembang, mengal 22 %
man dan kesempurnaan wahyu kepad keledai. Jika manusia telah dikosongkan dari motif, dan otonominya sebagai subyek moral telah disang 53 %
am sendiri telah mengubah agama itu menjadi agama hukum yang dilandaskan kepada pemaksaan, dengan lebih banyak menekankan bahasa kewa 91 %
n oleh agama, tidaklah bermakna dalam kerangka beragama jika dilepaskan dari motif subyektif manusia. Saya tidak melihat suatu i 41 %
an proses dialogal yang hidup antara subyek dan subyek. Jika diletakkan dalam kerangka filsafat Martin Buber mengenai relasi antar m 80 %
yembahan pada Tuhan tidak mempunyai makna apa-apa jika tidak diletakkan dalam kerangka manusia sebagai subyek yang bebas, dengan aka 87 %
eral” pada Islam, sesunggunya saya hendak menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang jangkarnya adalah “niat” atau dor 94 %
k” dalam akal manusia itu sendiri. Dengan menekankan kembali dimensi kebebasan manusia, dan menempatkan manusia pada fokus pengha 98 %
n yang salah. Sebab, begitu kebebasan manusia dibatasi, maka dimensi-dimensi terdalam yang subtil dari wahyu akan sulit diungkapkan oleh 58 %
gasan yang penting bahwa manusia diciptakan untuk “menggali” dimensi-dimensi yang tersembunyi dalam wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu ta 62 %
kan orang-orang semacam itu. Kecemerlangan Islam justru akan dimungkinkan karena adanya manusia-manusia yang berpikir bebas dan kemudi 66 %
ad” yang pasif. Nabi pernah bersaba, “ad dinu huwal ‘aql, la dina liman la ‘aqla lahu”, agama adalah akal, tidak ada agama bag 55 %
acam itu selain “jasad” yang pasif. Nabi pernah bersaba, “ad dinu huwal ‘aql, la dina liman la ‘aqla lahu”, agama adalah akal, 54 %
engatakan sesuatu atas nama wahyu. Garansi bahwa wahyu dapat dipahami dengan tepat adalah integritas akal manusia itu sendiri. 31 %
ciptakan manusia kecuali untuk menyembah-Ku. Ayat ini, jika dipahami dalam kerangka populer yang cenderung anti-humanistik, dapat 71 %
anusia dan Allah itu sendiri. Arti ayat tersebut lebih tepat dipahami sebagai hubungan Allah-manusia dalam model “I-Thou”; bukan p 85 %
tu sendiri. Dan sebaiknya kata liberal dalam “Islam liberal” dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata “liberal” di sini tidak ada 96 %
s yang pasti. Dengan cara pandang semacam itu, Islam liberal dipandang sebagai ancaman terhadap keberagamaan yang sudah terlembaga. 4 %
memperoleh inegritasnya lagi sebagai sumber moralitas, maka diperlukan akal yang bertanggung jawab dan penuh integritas. Kita semua 28 %
pkan oleh manusia. Sebab, untuk memahami kompleksitas wahyu, diperlukan akal manusia yang matang. Sebuah hadis qudsi yang populer di 59 %
lah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. Oleh: Ulil Abshar-Abdalla Ada kesan yang t 1 %
lah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. 100 %
situasi yang sudah “vulgar” semacam itu, yang pertama perlu direstorasi adalah martabat manusia itu sendiri. Jika manusia sebagai su 49 %
kewajiban seorang Muslim terhadap Allah, sesama manusia, dan dirinya sendiri. Bahasa kewajiban lebih menonjol, menutup bahasa hak 11 %
kewajiban seorang Muslim terhadap Allah, sesama manusia, dan dirinya sendiri. Bahasa kewajiban lebih menonjol, menutup bahasa hak 11 %
cenderung pada pandangan kaum Mu’tazilah. Tetapi, harap lah disadari bahwa dengan menerima pendapat Mu’tazilah, bukan berarti say 23 %
ngka penyembahan semacam itu, telah “dibendakan”. Allah yang disembah adalah Allah yang diberhalakan, yang di-fiksasi dalam gambar 82 %
m liberal mempunyai makna kebebasan tanpa batas, atau bahkan disetarakan dengan sikap permisif, ibahiyah; sikap menolerir setiap hal 3 %
tentang hukum selalu rujukannya adalah fikih. Ketika muncul diskusi yang ramai soal penerapan hukum Islam, maka fikih menjadi fo 8 %
m fikih lah sebagian besar hukum Islam dirumuskan. Dalam diskusi-diskusi itu, kelihatan sekali bahwa tekanan diberikan kepada “kewaji 10 %
itu, kebebasan manusia adalah perkara prinsip yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Banyak orang mengira bahwa kebebasan semacam itu menye 56 %
ter agama itu sebagai agama fitrah, menjadi agama hukum yang ditegakkan atas paksaan. Kesimpulan yang hendak saya tuju dari ulas 93 %
a tidak melihat suatu ide apapun dalam Islam di mana manusia ditempatkan sebagai obyek moral yang pasif. Akal manusia merupakan parti 42 %
itu. Manusia, dalam pandangan populer semacam itu, kerapkali ditempatkan sebagai “barang” yang sama sekali kosong dari suatu motif ya 47 %
an pandangan pokok bahwa kebaikan dan kejahatan itu haruslah ditentukan oleh agama. Manusia baru tahu bahwa tindakan ini jahat atau 19 %
unyai ciri-ciri kebebasan. Jadi, aturan-aturan obyektif yang ditetapkan oleh agama, tidaklah bermakna dalam kerangka beragama jika d 40 %
nusia. Manusia seolah-olah ancaman bagi Tuhan sehingga harus ditundukkan kepada kehendak-Nya. Tidak ada pemahaman yang lebih kotor me 72 %
ng bebas. Inilah proses vulgarisasi Islam sebagaimana pernah ditunjuk oleh Prof. Khaled Abou El Fadl. Dalam situasi yang sudah 48 %
a dimensi-dimensi terdalam yang subtil dari wahyu akan sulit diungkapkan oleh manusia. Sebab, untuk memahami kompleksitas wahyu, dipe 59 %
tidaklah akan menjadi tindakan yang “genuine” tanpa niat dan dorongan emotif yang sungguh-sungguh bertanggungjawab. Dalam hadis la 38 %
dikatakan, “niyyatul mu’min khairun min ‘amalihi”, niat dan dorongan emotif yang sifatnya subyektif lebih mulia dari tindakan. Wi 39 %
nsi kebebasan dalam Islam yang jangkarnya adalah “niat” atau dorongan-dorongan emotif-subyektif dalam manusia itu sendiri. Dan sebaiknya ka 95 %
a haka fi nafsika wa karihta an yath-thali’a ‘alaihin naas”. dosa adalah sesuatu yang menimbulkan kekeruhan dan kekacauan di h 33 %
ung pada entitas di luar dirinya? Dalam masalah ini, ada dua jawaban yang tersedia dalam khazanah pemikiran Islam klasik. 18 %
ahyu dalam pandangan Islam memandang “dunia manusia” sebagai dunia hobbesian yang kotor, brutal, sementara, dan licik, dan kare 44 %
asi Islam sebagaimana pernah ditunjuk oleh Prof. Khaled Abou el Fadl. Dalam situasi yang sudah “vulgar” semacam itu, yan 48 %
akan menjadi tindakan yang “genuine” tanpa niat dan dorongan emotif yang sungguh-sungguh bertanggungjawab. Dalam hadis lain dika 38 %
n, “niyyatul mu’min khairun min ‘amalihi”, niat dan dorongan emotif yang sifatnya subyektif lebih mulia dari tindakan. Wilayah n 39 %
m Islam yang jangkarnya adalah “niat” atau dorongan-dorongan emotif-subyektif dalam manusia itu sendiri. Dan sebaiknya kata liberal dalam 95 %
alam mengetahui kebaikan dan kejahatan, atau tergantung pada entitas di luar dirinya? Dalam masalah ini, ada dua jawaban yang 17 %
mengimani jalan itu, dan jika mau, dia boleh mengingkarinya. fakta-fakta ini begitu jelasnya tertuang dalam sumber utama ajaran Islam 89 %
yy”, telah jelas jalan kebaikan dan kesesatan. “Fa man sya’a fal yu’min wan man sya’a fal yakfur,” jika manusia mau, dia bole 88 %
baikan dan kesesatan. “Fa man sya’a fal yu’min wan man sya’a fal yakfur,” jika manusia mau, dia boleh mengimani jalan itu, da 89 %
iri. Salah satu hadis Nabi mengatakan, “al itsmu ma haka fi nafsika wa karihta an yath-thali’a ‘alaihin naas”. Dosa adal 32 %
a muncul diskusi yang ramai soal penerapan hukum Islam, maka fikih menjadi fokus perhatian, sebab dalam fikih lah sebagian besa 9 %
hukum Islam, maka fikih menjadi fokus perhatian, sebab dalam fikih lah sebagian besar hukum Islam dirumuskan. Dalam diskusi 9 %
dup antara subyek dan subyek. Jika diletakkan dalam kerangka filsafat Martin Buber mengenai relasi antar manusia, penyembahan adal 80 %
si yang ramai soal penerapan hukum Islam, maka fikih menjadi fokus perhatian, sebab dalam fikih lah sebagian besar hukum Islam 9 %
at kemanusiaan. Wahyu adalah sarana saja menuju ke arah itu. fokus pertama dalam agama adalah manusia itu sendiri, bukan semata 68 %
bali dimensi kebebasan manusia, dan menempatkan manusia pada fokus penghayatan keagamaan, maka kita telah memulihkan kembali in 98 %
sembah adalah Allah yang diberhalakan, yang di-fiksasi dalam gambaran yang tetap seperti sebuah “idol”. Saya berpandangan bahwa se 82 %
itu, maka siapapun dapat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. garansi bahwa wahyu dapat dipahami dengan tepat adalah integritas ak 31 %
ban yang tersedia dalam khazanah pemikiran Islam klasik. Ada golongan Sunni yang dominan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan da 18 %
i jahat atau baik setelah mendapatkan pengajaran dari agama. golongan kedua adalah Mu’tazilah yang memandang bahwa manusia dengan 20 %
hal itu, manusia harus menungguh wahyu dari “langit”? Apakah gunanya agama, jika toh manusia sudah mampu mencapai sendiri pemaham 16 %
moral yang bebas sudah tidak lagi ada atau disangkal, apakah gunanya sebuah agama? Qur’an berkali-kali menyindir orang Yahudi seb 50 %
a. Wahyu tidak akan berguna bagi seekor keledai. Dan tak ada gunanya mendakwahkan kedalaman dan kesempurnaan wahyu kepad keledai. 52 %
t adalah integritas akal manusia itu sendiri. Salah satu hadis Nabi mengatakan, “al itsmu ma haka fi nafsika wa karihta an 32 %
hatimu, dan kamu tak suka orang lain melihatmu melakukannya. hadis ini memberikan tekanan yang tegas kepada kemampuan manusia, 34 %
a didesakkan secara paksa dari luar. Itulah sebabnya, sebuah hadis mengatakan “innamal a’malu bin niyyaat”, sesungguhnya segala 37 %
dorongan emotif yang sungguh-sungguh bertanggungjawab. Dalam hadis lain dikatakan, “niyyatul mu’min khairun min ‘amalihi”, niat 38 %
pleksitas wahyu, diperlukan akal manusia yang matang. Sebuah hadis qudsi yang populer di kalangan sufi menyatakan, “Aku (Allah) 60 %
ersembunyi. Aku ingin diketahui, maka Aku ciptakan manusia.” hadis ini memberikan suatu penegasan yang penting bahwa manusia di 61 %
nya sendiri. Bahasa kewajiban lebih menonjol, menutup bahasa hak dan kebebasan manusia. Islam liberal muncul dalam semangat u 11 %
sendiri. Salah satu hadis Nabi mengatakan, “al itsmu ma haka fi nafsika wa karihta an yath-thali’a ‘alaihin naas”. Dosa a 32 %
kehendak-Nya. Tidak ada pemahaman yang lebih kotor mengenai hakikat ketuhanan kecuali pemahaman seperti ini. Pandangan mengenai 73 %
akan dengan sikap permisif, ibahiyah; sikap menolerir setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan cara pandang semacam 4 %
si-dimensi yang tersembunyi dalam wahyu dan kebenaran Tuhan. hal itu tak mungkin terjadi jika tidak mengandaikan adanya manus 62 %
lam mengenai kebaikan dan kejahatan? Apakah untuk mengetahui hal-hal itu, manusia harus menungguh wahyu dari “langit”? Apakah gun 15 %
itu adalah laksana horison atau cakrawala yang tak berbatas. hampir mustahil bagi akal manusia yang terbatas untuk menjangkau se 30 %
g didasarkan pada penyembahan dalam kerangka hubungan “I-it” hanya akan memerosotkan martabat manusia dan Allah itu sendiri. Ar 85 %
genai manusia sebagai Prometheus yang berseteru dengan Tuhan hanyalah ada dalam mitos Yunani kuno. Saya melihat, pandangan populer 74 %
Saya lebih cenderung pada pandangan kaum Mu’tazilah. Tetapi, harap lah disadari bahwa dengan menerima pendapat Mu’tazilah, buka 23 %
rarti bahwa seluruh batas itu sudah diketahui oleh akal dari hari pertama. Akal manusia berkembang, mengalami evolusi, dan aka 22 %
ngan sufi menyatakan, “Aku (Allah) adalah ‘kanzun makhfiyy’, harta karun yang tersembunyi. Aku ingin diketahui, maka Aku ciptak 60 %
dan kejahatan? Apakah untuk mengetahui hal-hal itu, manusia harus menungguh wahyu dari “langit”? Apakah gunanya agama, jika to 15 %
kan manusia. Manusia seolah-olah ancaman bagi Tuhan sehingga harus ditundukkan kepada kehendak-Nya. Tidak ada pemahaman yang le 72 %
nan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan dan kejahatan itu haruslah ditentukan oleh agama. Manusia baru tahu bahwa tindakan ini 19 %
encapai pemahaman yang benar mengenai dosa. Kenapa demikian? haruslah diketahui, bahwa agama pada menit pertama adalah merupakan s 35 %
gama hukum yang ditegakkan atas paksaan. Kesimpulan yang hendak saya tuju dari ulasan yang agak “ruwet” dan panjang ini adal 93 %
ngan membubuhkan kata “liberal” pada Islam, sesunggunya saya hendak menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang jangka 94 %
lu merupakan proses yang sepihak, bukan proses dialogal yang hidup antara subyek dan subyek. Jika diletakkan dalam kerangka fil 79 %
alam pandangan Islam memandang “dunia manusia” sebagai dunia hobbesian yang kotor, brutal, sementara, dan licik, dan karena itu wah 44 %
integritas. Kita semua tahu, bahwa wahyu itu adalah laksana horison atau cakrawala yang tak berbatas. Hampir mustahil bagi akal 29 %
hil bagi akal manusia yang terbatas untuk menjangkau seluruh horison wahyu. Karena cakrawala wahyu yang terbentang luas itu, maka 30 %
r mengenai relasi antar manusia, penyembahan adalah sebentuk hubungan antara Allah dan manusia sebagai hubungan “I-it”, “aku-dan-d 81 %
an adalah sebentuk hubungan antara Allah dan manusia sebagai hubungan “I-it”, “aku-dan-dia”. Allah, dalam kerangka penyembahan sem 81 %
usia berhubungan dengan Allah bukan dengan cara seperti itu. hubungan yang tepat antara manusia dengan Allah adalah hubungan dalam 83 %
itu. Hubungan yang tepat antara manusia dengan Allah adalah hubungan dalam kerangka “I-Thou”, aku-Engkau. Agama yang didasarkan p 84 %
ngkau. Agama yang didasarkan pada penyembahan dalam kerangka hubungan “I-it” hanya akan memerosotkan martabat manusia dan Allah it 84 %
itu sendiri. Arti ayat tersebut lebih tepat dipahami sebagai hubungan Allah-manusia dalam model “I-Thou”; bukan penyembahan, tetap 85 %
yang canggih, yaitu bidang fikih. Setiap pembicaraan tentang hukum selalu rujukannya adalah fikih. Ketika muncul diskusi yang r 8 %
dalah fikih. Ketika muncul diskusi yang ramai soal penerapan hukum Islam, maka fikih menjadi fokus perhatian, sebab dalam fikih 9 %
enjadi fokus perhatian, sebab dalam fikih lah sebagian besar hukum Islam dirumuskan. Dalam diskusi-diskusi itu, kelihatan s 9 %
n dalam Islam sendiri telah mengubah agama itu menjadi agama hukum yang dilandaskan kepada pemaksaan, dengan lebih banyak menek 91 %
gubah karakter agama itu sebagai agama fitrah, menjadi agama hukum yang ditegakkan atas paksaan. Kesimpulan yang hendak say 93 %
ledai yang mengangkut berjilid-jilid kitab”, matsalulladzina hummilut Taurata kamatsalil khimari yahmilu asfaara. Keledai tak akan 51 %
itu selain “jasad” yang pasif. Nabi pernah bersaba, “ad dinu huwal ‘aql, la dina liman la ‘aqla lahu”, agama adalah akal, tidak 55 %
ian mampu menyingkapkan rahasia-rahasia terdalam dari wahyu. ibadah sebagai “I-Thou” Tujuan pokok dari agama adalah mengangka 67 %
tanpa batas, atau bahkan disetarakan dengan sikap permisif, ibahiyah; sikap menolerir setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti. 3 %
n dari motif subyektif manusia. Saya tidak melihat suatu ide apapun dalam Islam di mana manusia ditempatkan sebagai obyek 41 %
kal manusia merupakan partisipan yang aktif dalam menafsiran ide-ide ketuhanan yang terkandung dalam wahyu. Saya tidak pernah mem 42 %
mahaman yang salah atas ayat “wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun,” dan tidak Aku ciptakan manusia kecuali untuk me 70 %
at duniawi. Agar wahyu itu bisa pulih kembali dan memperoleh inegritasnya lagi sebagai sumber moralitas, maka diperlukan akal yang ber 28 %
adalah ‘kanzun makhfiyy’, harta karun yang tersembunyi. Aku ingin diketahui, maka Aku ciptakan manusia.” Hadis ini memberikan 61 %
slah ditentukan oleh agama. Manusia baru tahu bahwa tindakan ini jahat atau baik setelah mendapatkan pengajaran dari agama. G 19 %
, dan kamu tak suka orang lain melihatmu melakukannya. Hadis ini memberikan tekanan yang tegas kepada kemampuan manusia, berd 34 %
ngan membatasi kebebasan itu, mereka telah melindungi wahyu. ini jelas pandangan yang salah. Sebab, begitu kebebasan manusia 58 %
unyi. Aku ingin diketahui, maka Aku ciptakan manusia.” Hadis ini memberikan suatu penegasan yang penting bahwa manusia dicipt 61 %
ahwa tugas pokok manusia adalah “menyembah” Tuhan. Pandangan ini bersumber dari pemahaman yang salah atas ayat “wa ma khalaqt 70 %
ersi Islam adalah Prometheus yang kalah oleh kehendak Tuhan. ini jelas suatu citraan manusia yang tidak sesuai dengan semanga 76 %
lan itu, dan jika mau, dia boleh mengingkarinya. Fakta-fakta ini begitu jelasnya tertuang dalam sumber utama ajaran Islam, Qu 90 %
g hendak saya tuju dari ulasan yang agak “ruwet” dan panjang ini adalah bahwa dengan membubuhkan kata “liberal” pada Islam, s 94 %
apa yang dia kerjakan, apakah pebuatan itu boleh atau tidak. inilah yang kemudian melahirkan suatu bidang kajian yang sangat kay 7 %
barang” yang sama sekali kosong dari suatu motif yang bebas. inilah proses vulgarisasi Islam sebagaimana pernah ditunjuk oleh Pr 47 %
ri pemahaman yang salah atas ayat “wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun,” dan tidak Aku ciptakan manusia kecuali unt 70 %
ahyu. Garansi bahwa wahyu dapat dipahami dengan tepat adalah integritas akal manusia itu sendiri. Salah satu hadis Nabi mengatak 32 %
us penghayatan keagamaan, maka kita telah memulihkan kembali integritas wahyu dan Islam itu sendiri. Sekali lagi, Islam tidak be 99 %
ngan pertanyaan sederhana: apakah manusia bisa, dengan akal, intuisi dan fitrahnya, mencapai pemahaman yang mendalam mengenai keb 14 %
Agama, Akal, dan Kebebasan: Tentang Makna “Liberal” dalam islam Liberal Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang y 0 %
n: Tentang Makna “Liberal” dalam Islam Liberal Sekali lagi, islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanus 1 %
tertanam dalam sebagian orang, bahwa istilah “liberal” dalam islam liberal mempunyai makna kebebasan tanpa batas, atau bahkan d 3 %
mengenal batas yang pasti. Dengan cara pandang semacam itu, islam liberal dipandang sebagai ancaman terhadap keberagamaan yang 4 %
dzur), menempati kedudukan yang begitu sentral. Setiap orang islam selalu peduli pada apa yang dia kerjakan, apakah pebuatan it 6 %
fokus perhatian, sebab dalam fikih lah sebagian besar hukum islam dirumuskan. Dalam diskusi-diskusi itu, kelihatan sekali 9 %
an lebih menonjol, menutup bahasa hak dan kebebasan manusia. islam liberal muncul dalam semangat untuk menyeimbangkan “neraca” 11 %
masuki sebuah tema dasar yang menjadi debat dalam pemikiran islam klasik: soal tindakan manusia (af’alul ‘ibad). Otonom ata 13 %
ini, ada dua jawaban yang tersedia dalam khazanah pemikiran islam klasik. Ada golongan Sunni yang dominan, dengan pandangan po 18 %
ektif manusia. Saya tidak melihat suatu ide apapun dalam islam di mana manusia ditempatkan sebagai obyek moral yang pasif. 41 %
. Saya tidak pernah membayangkan bahwa wahyu dalam pandangan islam memandang “dunia manusia” sebagai dunia hobbesian yang kotor 43 %
arena itu wahyu turun sebagai suatu “leviathan” yang bengis. islam meletakkan manusia dalam posisi yang penuh martabat, sebagai 44 %
osong dari suatu motif yang bebas. Inilah proses vulgarisasi islam sebagaimana pernah ditunjuk oleh Prof. Khaled Abou El Fadl. 48 %
menerus mencari majikan yang dapat menuntunnya. Sesungguhnya islam tidak membutuhkan orang-orang semacam itu. Kecemerlangan Isl 65 %
lam tidak membutuhkan orang-orang semacam itu. Kecemerlangan islam justru akan dimungkinkan karena adanya manusia-manusia yang 66 %
melihat, pandangan populer yang berkembang di kalangan umat islam mengenai ayat tersebut cenderung kepada suatu citra manusia 75 %
citra manusia sebagai Prometheus. Bedanya, Prometheus versi islam adalah Prometheus yang kalah oleh kehendak Tuhan. Ini jelas 76 %
m, Qur’an dan Hadis. Tetapi, proses-proses kesejarahan dalam islam sendiri telah mengubah agama itu menjadi agama hukum yang di 90 %
kankan bahasa kewajiban. Tidak ada yang lebih berbahaya bagi islam kecuali pandangan yang mencoba mengubah karakter agama itu s 92 %
gunya saya hendak menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam islam yang jangkarnya adalah “niat” atau dorongan-dorongan emotif- 95 %
aan, maka kita telah memulihkan kembali integritas wahyu dan islam itu sendiri. Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang 99 %
ali integritas wahyu dan Islam itu sendiri. Sekali lagi, islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanus 99 %
Abdalla Ada kesan yang tertanam dalam sebagian orang, bahwa istilah “liberal” dalam Islam liberal mempunyai makna kebebasan tanp 2 %
nusia itu sendiri. Salah satu hadis Nabi mengatakan, “al itsmu ma haka fi nafsika wa karihta an yath-thali’a ‘alaihin naas” 32 %
k berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. 1 %
am selalu peduli pada apa yang dia kerjakan, apakah pebuatan itu boleh atau tidak. Inilah yang kemudian melahirkan suatu bida 6 %
dominan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan dan kejahatan itu haruslah ditentukan oleh agama. Manusia baru tahu bahwa tind 19 %
ukan batas-batas tersebut, tidak berarti bahwa seluruh batas itu sudah diketahui oleh akal dari hari pertama. Akal manusia be 22 %
Tetapi, wahyu bisa memerosotkan akal manusia, manakala wahyu itu mengalami “vulgarisasi”, yaitu wahyu yang telah dibajak oleh 27 %
ntingan-kepentingan sesaat yang bersifat duniawi. Agar wahyu itu bisa pulih kembali dan memperoleh inegritasnya lagi sebagai 28 %
ung jawab dan penuh integritas. Kita semua tahu, bahwa wahyu itu adalah laksana horison atau cakrawala yang tak berbatas. Ham 29 %
u dapat dipahami dengan tepat adalah integritas akal manusia itu sendiri. Salah satu hadis Nabi mengatakan, “al itsmu ma 32 %
ilayah niat ada dalam wilayah subyektivitas manusia; wilayah itu mempunyai ciri-ciri kebebasan. Jadi, aturan-aturan obyektif 40 %
bbesian yang kotor, brutal, sementara, dan licik, dan karena itu wahyu turun sebagai suatu “leviathan” yang bengis. Islam mel 44 %
itu, yang pertama perlu direstorasi adalah martabat manusia itu sendiri. Jika manusia sebagai subyek moral yang bebas sudah 49 %
al telah disangkal, apakah yang tersisa dari manusia semacam itu selain “jasad” yang pasif. Nabi pernah bersaba, “ad dinu huw 54 %
war-tawar lagi. Banyak orang mengira bahwa kebebasan semacam itu menyebabkan manusia memberontak kepada agama dan wahyu. Ada 56 %
imensi yang tersembunyi dalam wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi jika tidak mengandaikan adanya manusia s 62 %
muska manusia ke jurang kesesatan, dari menit pertama mereka itu sudah mengingkari nilai kemanusiaan. Keledai selalu takut pa 64 %
menuju ke arah itu. Fokus pertama dalam agama adalah manusia itu sendiri, bukan semata-mata Tuhan. Adalah salah besar suatu a 68 %
er yang cenderung anti-humanistik, dapat berarti bahwa agama itu tidak lain adalah penundukan manusia. Manusia seolah-olah an 72 %
an “I-it” hanya akan memerosotkan martabat manusia dan Allah itu sendiri. Arti ayat tersebut lebih tepat dipahami sebagai hub 85 %
-proses kesejarahan dalam Islam sendiri telah mengubah agama itu menjadi agama hukum yang dilandaskan kepada pemaksaan, denga 91 %
Islam kecuali pandangan yang mencoba mengubah karakter agama itu sebagai agama fitrah, menjadi agama hukum yang ditegakkan at 92 %
“niat” atau dorongan-dorongan emotif-subyektif dalam manusia itu sendiri. Dan sebaiknya kata liberal dalam “Islam liberal” di 95 %
if yang melawan kecenderungan “intrinsik” dalam akal manusia itu sendiri. Dengan menekankan kembali dimensi kebebasan manusia 97 %
aka kita telah memulihkan kembali integritas wahyu dan Islam itu sendiri. Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-ora 99 %
k berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. 100 %
tif yang bisa begitu saja didesakkan secara paksa dari luar. itulah sebabnya, sebuah hadis mengatakan “innamal a’malu bin niyyaa 36 %
ditentukan oleh agama. Manusia baru tahu bahwa tindakan ini jahat atau baik setelah mendapatkan pengajaran dari agama. Golonga 19 %
ditentukan oleh agama. Manusia baru tahu bahwa tindakan ini jahat atau baik setelah mendapatkan pengajaran dari agama. Golonga 19 %
mengatakan, “qad tabayyanar rushdu minal ghayy”, telah jelas jalan kebaikan dan kesesatan. “Fa man sya’a fal yu’min wan man sya 88 %
man sya’a fal yakfur,” jika manusia mau, dia boleh mengimani jalan itu, dan jika mau, dia boleh mengingkarinya. Fakta-fakta ini 89 %
hendak menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang jangkarnya adalah “niat” atau dorongan-dorongan emotif-subyektif dalam 95 %
agai sumber moralitas, maka diperlukan akal yang bertanggung jawab dan penuh integritas. Kita semua tahu, bahwa wahyu itu adala 29 %
pada entitas di luar dirinya? Dalam masalah ini, ada dua jawaban yang tersedia dalam khazanah pemikiran Islam klasik. Ada gol 18 %
membatasi kebebasan itu, mereka telah melindungi wahyu. Ini jelas pandangan yang salah. Sebab, begitu kebebasan manusia dibata 58 %
Islam adalah Prometheus yang kalah oleh kehendak Tuhan. Ini jelas suatu citraan manusia yang tidak sesuai dengan semangat Isla 76 %
ur’an mengatakan, “qad tabayyanar rushdu minal ghayy”, telah jelas jalan kebaikan dan kesesatan. “Fa man sya’a fal yu’min wan m 88 %
n jika mau, dia boleh mengingkarinya. Fakta-fakta ini begitu jelasnya tertuang dalam sumber utama ajaran Islam, Qur’an dan Hadis. 90 %
a harus menungguh wahyu dari “langit”? Apakah gunanya agama, jika toh manusia sudah mampu mencapai sendiri pemahaman mengenai 16 %
kebaikan dan kejahatan, batas-batas kepantasan. Sudah tentu, jika dikatakan bahwa akal manusia dapat menentukan batas-batas te 21 %
tapkan oleh agama, tidaklah bermakna dalam kerangka beragama jika dilepaskan dari motif subyektif manusia. Saya tidak meli 41 %
rtama perlu direstorasi adalah martabat manusia itu sendiri. jika manusia sebagai subyek moral yang bebas sudah tidak lagi ada 49 %
mendakwahkan kedalaman dan kesempurnaan wahyu kepad keledai. jika manusia telah dikosongkan dari motif, dan otonominya sebagai 53 %
dalam wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi jika tidak mengandaikan adanya manusia sebagai subyek yang bebas 62 %
k Aku ciptakan manusia kecuali untuk menyembah-Ku. Ayat ini, jika dipahami dalam kerangka populer yang cenderung anti-humanist 71 %
, bukan proses dialogal yang hidup antara subyek dan subyek. jika diletakkan dalam kerangka filsafat Martin Buber mengenai rel 80 %
if. Penyembahan pada Tuhan tidak mempunyai makna apa-apa jika tidak diletakkan dalam kerangka manusia sebagai subyek yang 87 %
sesatan. “Fa man sya’a fal yu’min wan man sya’a fal yakfur,” jika manusia mau, dia boleh mengimani jalan itu, dan jika mau, di 89 %
akfur,” jika manusia mau, dia boleh mengimani jalan itu, dan jika mau, dia boleh mengingkarinya. Fakta-fakta ini begitu jelasn 89 %
rsumber dari pemahaman yang salah atas ayat “wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun,” dan tidak Aku ciptakan manusia ke 70 %
gan memberikan kebebasan, anda telah menjerumuska manusia ke jurang kesesatan, dari menit pertama mereka itu sudah mengingkari n 64 %
dak membutuhkan orang-orang semacam itu. Kecemerlangan Islam justru akan dimungkinkan karena adanya manusia-manusia yang berpiki 66 %
leh atau tidak. Inilah yang kemudian melahirkan suatu bidang kajian yang sangat kaya dan meninggalkan ribuan literatur yang cang 7 %
heus. Bedanya, Prometheus versi Islam adalah Prometheus yang kalah oleh kehendak Tuhan. Ini jelas suatu citraan manusia yang ti 76 %
akal manusia yang matang. Sebuah hadis qudsi yang populer di kalangan sufi menyatakan, “Aku (Allah) adalah ‘kanzun makhfiyy’, hart 60 %
ani kuno. Saya melihat, pandangan populer yang berkembang di kalangan umat Islam mengenai ayat tersebut cenderung kepada suatu cit 75 %
gkut berjilid-jilid kitab”, matsalulladzina hummilut Taurata kamatsalil khimari yahmilu asfaara. Keledai tak akan pernah bisa mendap 51 %
uatu yang menimbulkan kekeruhan dan kekacauan di hatimu, dan kamu tak suka orang lain melihatmu melakukannya. Hadis ini member 33 %
berbahaya bagi Islam kecuali pandangan yang mencoba mengubah karakter agama itu sebagai agama fitrah, menjadi agama hukum yang dit 92 %
anusia yang terbatas untuk menjangkau seluruh horison wahyu. karena cakrawala wahyu yang terbentang luas itu, maka siapapun dapa 30 %
unia hobbesian yang kotor, brutal, sementara, dan licik, dan karena itu wahyu turun sebagai suatu “leviathan” yang bengis. Islam 44 %
idak ada agama bagi mereka yang tak mempunyai akal. Oleh karena itu, kebebasan manusia adalah perkara prinsip yang tak bisa 55 %
ng semacam itu. Kecemerlangan Islam justru akan dimungkinkan karena adanya manusia-manusia yang berpikir bebas dan kemudian mamp 66 %
satu hadis Nabi mengatakan, “al itsmu ma haka fi nafsika wa karihta an yath-thali’a ‘alaihin naas”. Dosa adalah sesuatu yang men 32 %
ufi menyatakan, “Aku (Allah) adalah ‘kanzun makhfiyy’, harta karun yang tersembunyi. Aku ingin diketahui, maka Aku ciptakan man 60 %
engan semangat Islam. Saya kurang setuju dengan penerjemahan kata “ibadah” sebagai penyembahan, atau “worship” dalam bahasa In 77 %
agak “ruwet” dan panjang ini adalah bahwa dengan membubuhkan kata “liberal” pada Islam, sesunggunya saya hendak menegaskan kem 94 %
an emotif-subyektif dalam manusia itu sendiri. Dan sebaiknya kata liberal dalam “Islam liberal” dipahami dalam kerangka semaca 95 %
l dalam “Islam liberal” dipahami dalam kerangka semacam ini. kata “liberal” di sini tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan 96 %
n akan makin matang. Saya lebih cenderung pada pandangan kaum Mu’tazilah. Tetapi, harap lah disadari bahwa dengan menerima 23 %
lah yang kemudian melahirkan suatu bidang kajian yang sangat kaya dan meninggalkan ribuan literatur yang canggih, yaitu bidang 7 %
an “yang jahat”. Wahyu dapat mengangkat derajat akal manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat lebih mema 26 %
dengan memberikan kebebasan, anda telah menjerumuska manusia ke jurang kesesatan, dari menit pertama mereka itu sudah mengin 64 %
angkat martabat kemanusiaan. Wahyu adalah sarana saja menuju ke arah itu. Fokus pertama dalam agama adalah manusia itu sendi 68 %
isi dan fitrahnya, mencapai pemahaman yang mendalam mengenai kebaikan dan kejahatan? Apakah untuk mengetahui hal-hal itu, manusia 15 %
jahat”? Apakah manusia secara moral otonom dalam mengetahui kebaikan dan kejahatan, atau tergantung pada entitas di luar dirinya? 17 %
da golongan Sunni yang dominan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan dan kejahatan itu haruslah ditentukan oleh agama. Manusia ba 19 %
manusia dengan akalnya sendiri dapat mengetahui batas-batas kebaikan dan kejahatan, batas-batas kepantasan. Sudah tentu, jika dik 21 %
akan, “qad tabayyanar rushdu minal ghayy”, telah jelas jalan kebaikan dan kesesatan. “Fa man sya’a fal yu’min wan man sya’a fal ya 88 %
bahwa istilah “liberal” dalam Islam liberal mempunyai makna kebebasan tanpa batas, atau bahkan disetarakan dengan sikap permisif, 3 %
iri. Bahasa kewajiban lebih menonjol, menutup bahasa hak dan kebebasan manusia. Islam liberal muncul dalam semangat untuk menyeimba 11 %
ma bagi mereka yang tak mempunyai akal. Oleh karena itu, kebebasan manusia adalah perkara prinsip yang tak bisa ditawar-tawar l 56 %
yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Banyak orang mengira bahwa kebebasan semacam itu menyebabkan manusia memberontak kepada agama dan 56 %
ada agama dan wahyu. Ada yang mengira bahwa dengan membatasi kebebasan itu, mereka telah melindungi wahyu. Ini jelas pandangan yang 57 %
indungi wahyu. Ini jelas pandangan yang salah. Sebab, begitu kebebasan manusia dibatasi, maka dimensi-dimensi terdalam yang subtil 58 %
da Islam, sesunggunya saya hendak menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang jangkarnya adalah “niat” atau dorongan-doro 94 %
ini. Kata “liberal” di sini tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan sikap-sikap permisif yang melawan kecend 96 %
akal manusia itu sendiri. Dengan menekankan kembali dimensi kebebasan manusia, dan menempatkan manusia pada fokus penghayatan keag 98 %
at untuk menyeimbangkan “neraca” antara bahasa kewajiban dan kebebasan/hak ini. Untuk itu, marilah kita masuki sebuah tema dasar yang m 12 %
Agama, Akal, dan kebebasan: Tentang Makna “Liberal” dalam Islam Liberal Sekali lagi, Is 0 %
“menggali” dimensi-dimensi yang tersembunyi dalam wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi jika tidak mengandaikan a 62 %
emacam itu, Islam liberal dipandang sebagai ancaman terhadap keberagamaan yang sudah terlembaga. Dalam Islam, persoalan “batasan” 4 %
esungguhnya Islam tidak membutuhkan orang-orang semacam itu. kecemerlangan Islam justru akan dimungkinkan karena adanya manusia-manusia 66 %
ebasan tanpa batas, dengan sikap-sikap permisif yang melawan kecenderungan “intrinsik” dalam akal manusia itu sendiri. Dengan menekanka 97 %
na wal insa illa liya’budun,” dan tidak Aku ciptakan manusia kecuali untuk menyembah-Ku. Ayat ini, jika dipahami dalam kerangka p 71 %
ak ada pemahaman yang lebih kotor mengenai hakikat ketuhanan kecuali pemahaman seperti ini. Pandangan mengenai manusia sebagai Pr 73 %
bahasa kewajiban. Tidak ada yang lebih berbahaya bagi Islam kecuali pandangan yang mencoba mengubah karakter agama itu sebagai a 92 %
erguna bagi seekor keledai. Dan tak ada gunanya mendakwahkan kedalaman dan kesempurnaan wahyu kepad keledai. Jika manusia telah dik 53 %
tau baik setelah mendapatkan pengajaran dari agama. Golongan kedua adalah Mu’tazilah yang memandang bahwa manusia dengan akalny 20 %
a yang boleh (mubah) dan yang tak boleh (mahdzur), menempati kedudukan yang begitu sentral. Setiap orang Islam selalu peduli pada a 6 %
ya, Prometheus versi Islam adalah Prometheus yang kalah oleh kehendak Tuhan. Ini jelas suatu citraan manusia yang tidak sesuai den 76 %
i “khalifah” yang memenuhi tugas ketuhanan untuk memperbaiki kehidupan di bumi. Pandangan-pandangan keislaman populer kerapkali men 45 %
etahui, bahwa agama pada menit pertama adalah merupakan soal keinsafan/kesadaran pribadi; agama bukanlah aturan obyektif yang bisa begitu saj 35 %
nan untuk memperbaiki kehidupan di bumi. Pandangan-pandangan keislaman populer kerapkali menggambarkan wahyu sebagai “leviathan” se 46 %
unni yang dominan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan dan kejahatan itu haruslah ditentukan oleh agama. Manusia baru tahu bahwa 19 %
unni yang dominan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan dan kejahatan itu haruslah ditentukan oleh agama. Manusia baru tahu bahwa 19 %
in naas”. Dosa adalah sesuatu yang menimbulkan kekeruhan dan kekacauan di hatimu, dan kamu tak suka orang lain melihatmu melakukann 33 %
thali’a ‘alaihin naas”. Dosa adalah sesuatu yang menimbulkan kekeruhan dan kekacauan di hatimu, dan kamu tak suka orang lain meliha 33 %
ladzina hummilut Taurata kamatsalil khimari yahmilu asfaara. keledai tak akan pernah bisa mendapatkan manfaat apapun dari barang- 51 %
enit pertama mereka itu sudah mengingkari nilai kemanusiaan. keledai selalu takut pada kebebasan, dan terus-menerus mencari majik 64 %
besar hukum Islam dirumuskan. Dalam diskusi-diskusi itu, kelihatan sekali bahwa tekanan diberikan kepada “kewajiban”, yaitu kew 10 %
melakukannya. Hadis ini memberikan tekanan yang tegas kepada kemampuan manusia, berdasarkan intuisinya, untuk mencapai pemahaman ya 34 %
, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai 1 %
, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. 99 %
ngan sesaat yang bersifat duniawi. Agar wahyu itu bisa pulih kembali dan memperoleh inegritasnya lagi sebagai sumber moralitas, m 28 %
ata “liberal” pada Islam, sesunggunya saya hendak menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang jangkarnya adalah “niat” 94 %
intrinsik” dalam akal manusia itu sendiri. Dengan menekankan kembali dimensi kebebasan manusia, dan menempatkan manusia pada foku 98 %
pada fokus penghayatan keagamaan, maka kita telah memulihkan kembali integritas wahyu dan Islam itu sendiri. Sekali lagi, Isl 98 %
kerjakan, apakah pebuatan itu boleh atau tidak. Inilah yang kemudian melahirkan suatu bidang kajian yang sangat kaya dan meningga 7 %
kinkan karena adanya manusia-manusia yang berpikir bebas dan kemudian mampu menyingkapkan rahasia-rahasia terdalam dari wahyu. 66 %
tuisinya, untuk mencapai pemahaman yang benar mengenai dosa. kenapa demikian? Haruslah diketahui, bahwa agama pada menit pertama 35 %
ak ada gunanya mendakwahkan kedalaman dan kesempurnaan wahyu kepad keledai. Jika manusia telah dikosongkan dari motif, dan oton 53 %
iskusi-diskusi itu, kelihatan sekali bahwa tekanan diberikan kepada “kewajiban”, yaitu kewajiban seorang Muslim terhadap Allah, 10 %
ihatmu melakukannya. Hadis ini memberikan tekanan yang tegas kepada kemampuan manusia, berdasarkan intuisinya, untuk mencapai pe 34 %
bahwa kebebasan semacam itu menyebabkan manusia memberontak kepada agama dan wahyu. Ada yang mengira bahwa dengan membatasi keb 57 %
ia seolah-olah ancaman bagi Tuhan sehingga harus ditundukkan kepada kehendak-Nya. Tidak ada pemahaman yang lebih kotor mengenai 72 %
bang di kalangan umat Islam mengenai ayat tersebut cenderung kepada suatu citra manusia sebagai Prometheus. Bedanya, Prometheus 75 %
elah mengubah agama itu menjadi agama hukum yang dilandaskan kepada pemaksaan, dengan lebih banyak menekankan bahasa kewajiban. 91 %
mengalami “vulgarisasi”, yaitu wahyu yang telah dibajak oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang bersifat duniawi. Agar wahyu itu bisa pulih kemb 27 %
obyektif yang ditetapkan oleh agama, tidaklah bermakna dalam kerangka beragama jika dilepaskan dari motif subyektif manusia. S 41 %
ia kecuali untuk menyembah-Ku. Ayat ini, jika dipahami dalam kerangka populer yang cenderung anti-humanistik, dapat berarti bahwa 71 %
l yang hidup antara subyek dan subyek. Jika diletakkan dalam kerangka filsafat Martin Buber mengenai relasi antar manusia, penyemb 80 %
manusia sebagai hubungan “I-it”, “aku-dan-dia”. Allah, dalam kerangka penyembahan semacam itu, telah “dibendakan”. Allah yang dise 81 %
yang tepat antara manusia dengan Allah adalah hubungan dalam kerangka “I-Thou”, aku-Engkau. Agama yang didasarkan pada penyembahan 84 %
u”, aku-Engkau. Agama yang didasarkan pada penyembahan dalam kerangka hubungan “I-it” hanya akan memerosotkan martabat manusia dan 84 %
an tidak mempunyai makna apa-apa jika tidak diletakkan dalam kerangka manusia sebagai subyek yang bebas, dengan akal yang bekerja 87 %
sebaiknya kata liberal dalam “Islam liberal” dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata “liberal” di sini tidak ada sangkut pautny 96 %
iki kehidupan di bumi. Pandangan-pandangan keislaman populer kerapkali menggambarkan wahyu sebagai “leviathan” semacam itu. Manusia 46 %
” semacam itu. Manusia, dalam pandangan populer semacam itu, kerapkali ditempatkan sebagai “barang” yang sama sekali kosong dari su 47 %
iperuntukkan bagi keledai. Oleh: Ulil Abshar-Abdalla Ada kesan yang tertanam dalam sebagian orang, bahwa istilah “liberal” 2 %
utama ajaran Islam, Qur’an dan Hadis. Tetapi, proses-proses kesejarahan dalam Islam sendiri telah mengubah agama itu menjadi agama h 90 %
ekor keledai. Dan tak ada gunanya mendakwahkan kedalaman dan kesempurnaan wahyu kepad keledai. Jika manusia telah dikosongkan dari mot 53 %
ma fitrah, menjadi agama hukum yang ditegakkan atas paksaan. kesimpulan yang hendak saya tuju dari ulasan yang agak “ruwet” dan panj 93 %
ap pembicaraan tentang hukum selalu rujukannya adalah fikih. ketika muncul diskusi yang ramai soal penerapan hukum Islam, maka f 8 %
sia merupakan partisipan yang aktif dalam menafsiran ide-ide ketuhanan yang terkandung dalam wahyu. Saya tidak pernah membayangkan 42 %
yang penuh martabat, sebagai “khalifah” yang memenuhi tugas ketuhanan untuk memperbaiki kehidupan di bumi. Pandangan-pandangan kei 45 %
k-Nya. Tidak ada pemahaman yang lebih kotor mengenai hakikat ketuhanan kecuali pemahaman seperti ini. Pandangan mengenai manusia se 73 %
tan sekali bahwa tekanan diberikan kepada “kewajiban”, yaitu kewajiban seorang Muslim terhadap Allah, sesama manusia, dan dirinya s 10 %
terhadap Allah, sesama manusia, dan dirinya sendiri. Bahasa kewajiban lebih menonjol, menutup bahasa hak dan kebebasan manusia. Is 11 %
l dalam semangat untuk menyeimbangkan “neraca” antara bahasa kewajiban dan kebebasan/hak ini. Untuk itu, marilah kita masuki sebuah 12 %
rtanggungjawab. Dalam hadis lain dikatakan, “niyyatul mu’min khairun min ‘amalihi”, niat dan dorongan emotif yang sifatnya subyek 38 %
gan ini bersumber dari pemahaman yang salah atas ayat “wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun,” dan tidak Aku ciptakan manu 70 %
ses vulgarisasi Islam sebagaimana pernah ditunjuk oleh Prof. khaled Abou El Fadl. Dalam situasi yang sudah “vulgar” semacam 48 %
? Dalam masalah ini, ada dua jawaban yang tersedia dalam khazanah pemikiran Islam klasik. Ada golongan Sunni yang dominan, den 18 %
id-jilid kitab”, matsalulladzina hummilut Taurata kamatsalil khimari yahmilu asfaara. Keledai tak akan pernah bisa mendapatkan ma 51 %
a bahasa kewajiban dan kebebasan/hak ini. Untuk itu, marilah kita masuki sebuah tema dasar yang menjadi debat dalam pemikiran 12 %
an manusia (af’alul ‘ibad). Otonom atau tidak? Marilah kita mulai dengan pertanyaan sederhana: apakah manusia bisa, deng 14 %
diperlukan akal yang bertanggung jawab dan penuh integritas. kita semua tahu, bahwa wahyu itu adalah laksana horison atau cakr 29 %
n menempatkan manusia pada fokus penghayatan keagamaan, maka kita telah memulihkan kembali integritas wahyu dan Islam itu send 98 %
i sebuah tema dasar yang menjadi debat dalam pemikiran Islam klasik: soal tindakan manusia (af’alul ‘ibad). Otonom atau tidak? 13 %
u akan sulit diungkapkan oleh manusia. Sebab, untuk memahami kompleksitas wahyu, diperlukan akal manusia yang matang. Sebuah hadis qud 59 %
itu, kerapkali ditempatkan sebagai “barang” yang sama sekali kosong dari suatu motif yang bebas. Inilah proses vulgarisasi Islam 47 %
undukkan kepada kehendak-Nya. Tidak ada pemahaman yang lebih kotor mengenai hakikat ketuhanan kecuali pemahaman seperti ini. Pa 73 %
itraan manusia yang tidak sesuai dengan semangat Islam. Saya kurang setuju dengan penerjemahan kata “ibadah” sebagai penyembahan 77 %
jasad” yang pasif. Nabi pernah bersaba, “ad dinu huwal ‘aql, la dina liman la ‘aqla lahu”, agama adalah akal, tidak ada agam 55 %
sif. Nabi pernah bersaba, “ad dinu huwal ‘aql, la dina liman la ‘aqla lahu”, agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka 55 %
gar wahyu itu bisa pulih kembali dan memperoleh inegritasnya lagi sebagai sumber moralitas, maka diperlukan akal yang bertangg 28 %
ri. Jika manusia sebagai subyek moral yang bebas sudah tidak lagi ada atau disangkal, apakah gunanya sebuah agama? Qur’an berk 50 %
Islam, maka fikih menjadi fokus perhatian, sebab dalam fikih lah sebagian besar hukum Islam dirumuskan. Dalam diskusi-dis 9 %
ebih cenderung pada pandangan kaum Mu’tazilah. Tetapi, harap lah disadari bahwa dengan menerima pendapat Mu’tazilah, bukan be 23 %
n kekeruhan dan kekacauan di hatimu, dan kamu tak suka orang lain melihatmu melakukannya. Hadis ini memberikan tekanan yang te 33 %
an emotif yang sungguh-sungguh bertanggungjawab. Dalam hadis lain dikatakan, “niyyatul mu’min khairun min ‘amalihi”, niat dan 38 %
nderung anti-humanistik, dapat berarti bahwa agama itu tidak lain adalah penundukan manusia. Manusia seolah-olah ancaman bagi 72 %
an penuh integritas. Kita semua tahu, bahwa wahyu itu adalah laksana horison atau cakrawala yang tak berbatas. Hampir mustahil ba 29 %
Allah, sesama manusia, dan dirinya sendiri. Bahasa kewajiban lebih menonjol, menutup bahasa hak dan kebebasan manusia. Islam li 11 %
rkembang, mengalami evolusi, dan akan makin matang. Saya lebih cenderung pada pandangan kaum Mu’tazilah. Tetapi, harap lah 23 %
Wahyu dapat mengangkat derajat akal manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat lebih memahami batas-batas. T 26 %
manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat lebih memahami batas-batas. Tetapi, wahyu bisa memerosotkan akal m 26 %
‘amalihi”, niat dan dorongan emotif yang sifatnya subyektif lebih mulia dari tindakan. Wilayah niat ada dalam wilayah subyekti 39 %
us ditundukkan kepada kehendak-Nya. Tidak ada pemahaman yang lebih kotor mengenai hakikat ketuhanan kecuali pemahaman seperti i 73 %
n martabat manusia dan Allah itu sendiri. Arti ayat tersebut lebih tepat dipahami sebagai hubungan Allah-manusia dalam model “I 85 %
enjadi agama hukum yang dilandaskan kepada pemaksaan, dengan lebih banyak menekankan bahasa kewajiban. Tidak ada yang lebih ber 91 %
gan lebih banyak menekankan bahasa kewajiban. Tidak ada yang lebih berbahaya bagi Islam kecuali pandangan yang mencoba mengubah 92 %
ma, Akal, dan Kebebasan: Tentang Makna “Liberal” dalam Islam liberal Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah 0 %
am dalam sebagian orang, bahwa istilah “liberal” dalam Islam liberal mempunyai makna kebebasan tanpa batas, atau bahkan disetarak 3 %
nal batas yang pasti. Dengan cara pandang semacam itu, Islam liberal dipandang sebagai ancaman terhadap keberagamaan yang sudah t 4 %
ih menonjol, menutup bahasa hak dan kebebasan manusia. Islam liberal muncul dalam semangat untuk menyeimbangkan “neraca” antara b 11 %
otif-subyektif dalam manusia itu sendiri. Dan sebaiknya kata liberal dalam “Islam liberal” dipahami dalam kerangka semacam ini. K 95 %
manusia itu sendiri. Dan sebaiknya kata liberal dalam “Islam liberal” dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata “liberal” di sini 96 %
ang pasif. Nabi pernah bersaba, “ad dinu huwal ‘aql, la dina liman la ‘aqla lahu”, agama adalah akal, tidak ada agama bagi mere 55 %
suatu bidang kajian yang sangat kaya dan meninggalkan ribuan literatur yang canggih, yaitu bidang fikih. Setiap pembicaraan tentang 7 %
ahui kebaikan dan kejahatan, atau tergantung pada entitas di luar dirinya? Dalam masalah ini, ada dua jawaban yang tersedi 17 %
eluruh horison wahyu. Karena cakrawala wahyu yang terbentang luas itu, maka siapapun dapat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. 31 %
itu sendiri. Salah satu hadis Nabi mengatakan, “al itsmu ma haka fi nafsika wa karihta an yath-thali’a ‘alaihin naas”. D 32 %
dangan ini bersumber dari pemahaman yang salah atas ayat “wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun,” dan tidak Aku cip 70 %
ledai selalu takut pada kebebasan, dan terus-menerus mencari majikan yang dapat menuntunnya. Sesungguhnya Islam tidak membutuhkan 65 %
Ketika muncul diskusi yang ramai soal penerapan hukum Islam, maka fikih menjadi fokus perhatian, sebab dalam fikih lah sebagia 9 %
i dan memperoleh inegritasnya lagi sebagai sumber moralitas, maka diperlukan akal yang bertanggung jawab dan penuh integritas. 28 %
ison wahyu. Karena cakrawala wahyu yang terbentang luas itu, maka siapapun dapat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. Garansi b 31 %
dangan yang salah. Sebab, begitu kebebasan manusia dibatasi, maka dimensi-dimensi terdalam yang subtil dari wahyu akan sulit d 58 %
akhfiyy’, harta karun yang tersembunyi. Aku ingin diketahui, maka Aku ciptakan manusia.” Hadis ini memberikan suatu penegasan 61 %
a, dan menempatkan manusia pada fokus penghayatan keagamaan, maka kita telah memulihkan kembali integritas wahyu dan Islam itu 98 %
ertama. Akal manusia berkembang, mengalami evolusi, dan akan makin matang. Saya lebih cenderung pada pandangan kaum Mu’tazi 23 %
Agama, Akal, dan Kebebasan: Tentang makna “Liberal” dalam Islam Liberal Sekali lagi, Islam tidak berg 0 %
orang, bahwa istilah “liberal” dalam Islam liberal mempunyai makna kebebasan tanpa batas, atau bahkan disetarakan dengan sikap 3 %
“worship” dalam bahasa Inggris. Sebab, penyembahan mempunyai makna yang negatif dalam sejumlah hal. Penyembahan mengandaika 78 %
gal yang kreatif. Penyembahan pada Tuhan tidak mempunyai makna apa-apa jika tidak diletakkan dalam kerangka manusia sebagai 87 %
dari “langit”? Apakah gunanya agama, jika toh manusia sudah mampu mencapai sendiri pemahaman mengenai “yang baik” dan “yang ja 16 %
rena adanya manusia-manusia yang berpikir bebas dan kemudian mampu menyingkapkan rahasia-rahasia terdalam dari wahyu. Iba 66 %
minal ghayy”, telah jelas jalan kebaikan dan kesesatan. “Fa man sya’a fal yu’min wan man sya’a fal yakfur,” jika manusia mau 88 %
s jalan kebaikan dan kesesatan. “Fa man sya’a fal yu’min wan man sya’a fal yakfur,” jika manusia mau, dia boleh mengimani jal 89 %
rlembaga. Dalam Islam, persoalan “batasan” (hadd) antara mana yang boleh (mubah) dan yang tak boleh (mahdzur), menempati k 5 %
usia. Saya tidak melihat suatu ide apapun dalam Islam di mana manusia ditempatkan sebagai obyek moral yang pasif. Akal man 41 %
i batas-batas. Tetapi, wahyu bisa memerosotkan akal manusia, manakala wahyu itu mengalami “vulgarisasi”, yaitu wahyu yang telah di 27 %
ri yahmilu asfaara. Keledai tak akan pernah bisa mendapatkan manfaat apapun dari barang-barang yang diangkutnya. Wahyu tidak akan 52 %
ng menjadi debat dalam pemikiran Islam klasik: soal tindakan manusia (af’alul ‘ibad). Otonom atau tidak? Marilah kita mulai 13 %
k? Marilah kita mulai dengan pertanyaan sederhana: apakah manusia bisa, dengan akal, intuisi dan fitrahnya, mencapai pemahaman 14 %
kebaikan dan kejahatan? Apakah untuk mengetahui hal-hal itu, manusia harus menungguh wahyu dari “langit”? Apakah gunanya agama, j 15 %
enungguh wahyu dari “langit”? Apakah gunanya agama, jika toh manusia sudah mampu mencapai sendiri pemahaman mengenai “yang baik” 16 %
diri pemahaman mengenai “yang baik” dan “yang jahat”? Apakah manusia secara moral otonom dalam mengetahui kebaikan dan kejahatan, 16 %
a kebaikan dan kejahatan itu haruslah ditentukan oleh agama. manusia baru tahu bahwa tindakan ini jahat atau baik setelah mendapa 19 %
agama. Golongan kedua adalah Mu’tazilah yang memandang bahwa manusia dengan akalnya sendiri dapat mengetahui batas-batas kebaikan 20 %
tas-batas kepantasan. Sudah tentu, jika dikatakan bahwa akal manusia dapat menentukan batas-batas tersebut, tidak berarti bahwa s 21 %
batas itu sudah diketahui oleh akal dari hari pertama. Akal manusia berkembang, mengalami evolusi, dan akan makin matang. Sa 22 %
ti saya menepiskan peran wahyu dalam memperkaya wawasan akal manusia untuk memahami batas-batas itu. Setiap wahyu membawa suatu w 24 %
baik” dan “yang jahat”. Wahyu dapat mengangkat derajat akal manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat lebih m 26 %
atau cakrawala yang tak berbatas. Hampir mustahil bagi akal manusia yang terbatas untuk menjangkau seluruh horison wahyu. Karena 30 %
hwa wahyu dapat dipahami dengan tepat adalah integritas akal manusia itu sendiri. Salah satu hadis Nabi mengatakan, “al itsmu 32 %
Saya tidak melihat suatu ide apapun dalam Islam di mana manusia ditempatkan sebagai obyek moral yang pasif. Akal manusia mer 41 %
ana manusia ditempatkan sebagai obyek moral yang pasif. Akal manusia merupakan partisipan yang aktif dalam menafsiran ide-ide ket 42 %
urun sebagai suatu “leviathan” yang bengis. Islam meletakkan manusia dalam posisi yang penuh martabat, sebagai “khalifah” yang me 45 %
semacam itu, yang pertama perlu direstorasi adalah martabat manusia itu sendiri. Jika manusia sebagai subyek moral yang bebas su 49 %
perlu direstorasi adalah martabat manusia itu sendiri. Jika manusia sebagai subyek moral yang bebas sudah tidak lagi ada atau di 49 %
kwahkan kedalaman dan kesempurnaan wahyu kepad keledai. Jika manusia telah dikosongkan dari motif, dan otonominya sebagai subyek 53 %
bagai subyek moral telah disangkal, apakah yang tersisa dari manusia semacam itu selain “jasad” yang pasif. Nabi pernah bersaba, 54 %
reka yang tak mempunyai akal. Oleh karena itu, kebebasan manusia adalah perkara prinsip yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Ban 56 %
Banyak orang mengira bahwa kebebasan semacam itu menyebabkan manusia memberontak kepada agama dan wahyu. Ada yang mengira bahwa d 57 %
hyu. Ini jelas pandangan yang salah. Sebab, begitu kebebasan manusia dibatasi, maka dimensi-dimensi terdalam yang subtil dari wah 58 %
a. Sebab, untuk memahami kompleksitas wahyu, diperlukan akal manusia yang matang. Sebuah hadis qudsi yang populer di kalangan suf 59 %
ia.” Hadis ini memberikan suatu penegasan yang penting bahwa manusia diciptakan untuk “menggali” dimensi-dimensi yang tersembunyi 61 %
. Hal itu tak mungkin terjadi jika tidak mengandaikan adanya manusia sebagai subyek yang bebas dan otonom. Orang-orang yang m 63 %
n bahwa dengan memberikan kebebasan, anda telah menjerumuska manusia ke jurang kesesatan, dari menit pertama mereka itu sudah men 64 %
na saja menuju ke arah itu. Fokus pertama dalam agama adalah manusia itu sendiri, bukan semata-mata Tuhan. Adalah salah besar sua 68 %
sar suatu anggapan populer yang mengatakan bahwa tugas pokok manusia adalah “menyembah” Tuhan. Pandangan ini bersumber dari pemah 69 %
qtul jinna wal insa illa liya’budun,” dan tidak Aku ciptakan manusia kecuali untuk menyembah-Ku. Ayat ini, jika dipahami dalam ke 70 %
erarti bahwa agama itu tidak lain adalah penundukan manusia. manusia seolah-olah ancaman bagi Tuhan sehingga harus ditundukkan ke 72 %
ketuhanan kecuali pemahaman seperti ini. Pandangan mengenai manusia sebagai Prometheus yang berseteru dengan Tuhan hanyalah ada 73 %
at Islam mengenai ayat tersebut cenderung kepada suatu citra manusia sebagai Prometheus. Bedanya, Prometheus versi Islam adalah P 75 %
heus yang kalah oleh kehendak Tuhan. Ini jelas suatu citraan manusia yang tidak sesuai dengan semangat Islam. Saya kurang setuju 76 %
nusia, penyembahan adalah sebentuk hubungan antara Allah dan manusia sebagai hubungan “I-it”, “aku-dan-dia”. Allah, dalam kerangk 81 %
ap seperti sebuah “idol”. Saya berpandangan bahwa seharusnya manusia berhubungan dengan Allah bukan dengan cara seperti itu. Hubu 83 %
ah bukan dengan cara seperti itu. Hubungan yang tepat antara manusia dengan Allah adalah hubungan dalam kerangka “I-Thou”, aku-En 83 %
am kerangka hubungan “I-it” hanya akan memerosotkan martabat manusia dan Allah itu sendiri. Arti ayat tersebut lebih tepat dipaha 85 %
mempunyai makna apa-apa jika tidak diletakkan dalam kerangka manusia sebagai subyek yang bebas, dengan akal yang bekerja secara l 87 %
an. “Fa man sya’a fal yu’min wan man sya’a fal yakfur,” jika manusia mau, dia boleh mengimani jalan itu, dan jika mau, dia boleh 89 %
adalah “niat” atau dorongan-dorongan emotif-subyektif dalam manusia itu sendiri. Dan sebaiknya kata liberal dalam “Islam liberal 95 %
p permisif yang melawan kecenderungan “intrinsik” dalam akal manusia itu sendiri. Dengan menekankan kembali dimensi kebebasan man 97 %
enekankan kembali dimensi kebebasan manusia, dan menempatkan manusia pada fokus penghayatan keagamaan, maka kita telah memulihkan 98 %
dari tindakan. Wilayah niat ada dalam wilayah subyektivitas manusia; wilayah itu mempunyai ciri-ciri kebebasan. Jadi, aturan-atur 40 %
bayangkan bahwa wahyu dalam pandangan Islam memandang “dunia manusia” sebagai dunia hobbesian yang kotor, brutal, sementara, dan l 43 %
. Kecemerlangan Islam justru akan dimungkinkan karena adanya manusia-manusia yang berpikir bebas dan kemudian mampu menyingkapkan rahasia 66 %
a” antara bahasa kewajiban dan kebebasan/hak ini. Untuk itu, marilah kita masuki sebuah tema dasar yang menjadi debat dalam pemik 12 %
soal tindakan manusia (af’alul ‘ibad). Otonom atau tidak? marilah kita mulai dengan pertanyaan sederhana: apakah manusia bisa, 14 %
“vulgar” semacam itu, yang pertama perlu direstorasi adalah martabat manusia itu sendiri. Jika manusia sebagai subyek moral yang 49 %
ebagai “I-Thou” Tujuan pokok dari agama adalah mengangkat martabat kemanusiaan. Wahyu adalah sarana saja menuju ke arah itu. Fo 67 %
bahan dalam kerangka hubungan “I-it” hanya akan memerosotkan martabat manusia dan Allah itu sendiri. Arti ayat tersebut lebih tepa 85 %
a subyek dan subyek. Jika diletakkan dalam kerangka filsafat martin Buber mengenai relasi antar manusia, penyembahan adalah sebe 80 %
tan, atau tergantung pada entitas di luar dirinya? Dalam masalah ini, ada dua jawaban yang tersedia dalam khazanah pemikiran 17 %
asa kewajiban dan kebebasan/hak ini. Untuk itu, marilah kita masuki sebuah tema dasar yang menjadi debat dalam pemikiran Islam k 12 %
hudi sebagai “keledai yang mengangkut berjilid-jilid kitab”, matsalulladzina hummilut Taurata kamatsalil khimari yahmilu asfaara. Keledai 51 %
, apakah pebuatan itu boleh atau tidak. Inilah yang kemudian melahirkan suatu bidang kajian yang sangat kaya dan meninggalkan ribuan 7 %
ngan kebebasan tanpa batas, dengan sikap-sikap permisif yang melawan kecenderungan “intrinsik” dalam akal manusia itu sendiri. De 97 %
itu wahyu turun sebagai suatu “leviathan” yang bengis. Islam meletakkan manusia dalam posisi yang penuh martabat, sebagai “khalifah” 45 %
jika dilepaskan dari motif subyektif manusia. Saya tidak melihat suatu ide apapun dalam Islam di mana manusia ditempatkan seb 41 %
eruhan dan kekacauan di hatimu, dan kamu tak suka orang lain melihatmu melakukannya. Hadis ini memberikan tekanan yang tegas kepada 33 %
g mengira bahwa dengan membatasi kebebasan itu, mereka telah melindungi wahyu. Ini jelas pandangan yang salah. Sebab, begitu kebebas 57 %
skan peran wahyu dalam memperkaya wawasan akal manusia untuk memahami batas-batas itu. Setiap wahyu membawa suatu wawasan tertentu 24 %
a ke tingkat yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat lebih memahami batas-batas. Tetapi, wahyu bisa memerosotkan akal manusia, m 26 %
dari wahyu akan sulit diungkapkan oleh manusia. Sebab, untuk memahami kompleksitas wahyu, diperlukan akal manusia yang matang. Seb 59 %
pengajaran dari agama. Golongan kedua adalah Mu’tazilah yang memandang bahwa manusia dengan akalnya sendiri dapat mengetahui batas- 20 %
tidak pernah membayangkan bahwa wahyu dalam pandangan Islam memandang “dunia manusia” sebagai dunia hobbesian yang kotor, brutal, 43 %
rontak kepada agama dan wahyu. Ada yang mengira bahwa dengan membatasi kebebasan itu, mereka telah melindungi wahyu. Ini jelas pand 57 %
an akal manusia untuk memahami batas-batas itu. Setiap wahyu membawa suatu wawasan tertentu mengenai “yang baik” dan “yang jahat” 25 %
ide ketuhanan yang terkandung dalam wahyu. Saya tidak pernah membayangkan bahwa wahyu dalam pandangan Islam memandang “dunia manusia” 43 %
n kamu tak suka orang lain melihatmu melakukannya. Hadis ini memberikan tekanan yang tegas kepada kemampuan manusia, berdasarkan int 34 %
. Aku ingin diketahui, maka Aku ciptakan manusia.” Hadis ini memberikan suatu penegasan yang penting bahwa manusia diciptakan untuk 61 %
bas dan otonom. Orang-orang yang mengatakan bahwa dengan memberikan kebebasan, anda telah menjerumuska manusia ke jurang kesesat 63 %
rang mengira bahwa kebebasan semacam itu menyebabkan manusia memberontak kepada agama dan wahyu. Ada yang mengira bahwa dengan membat 57 %
ulasan yang agak “ruwet” dan panjang ini adalah bahwa dengan membubuhkan kata “liberal” pada Islam, sesunggunya saya hendak menegaska 94 %
ari majikan yang dapat menuntunnya. Sesungguhnya Islam tidak membutuhkan orang-orang semacam itu. Kecemerlangan Islam justru akan dim 65 %
ia dalam posisi yang penuh martabat, sebagai “khalifah” yang memenuhi tugas ketuhanan untuk memperbaiki kehidupan di bumi. Pandang 45 %
u untuk dapat lebih memahami batas-batas. Tetapi, wahyu bisa memerosotkan akal manusia, manakala wahyu itu mengalami “vulgarisasi”, ya 26 %
n pada penyembahan dalam kerangka hubungan “I-it” hanya akan memerosotkan martabat manusia dan Allah itu sendiri. Arti ayat tersebut l 85 %
abat, sebagai “khalifah” yang memenuhi tugas ketuhanan untuk memperbaiki kehidupan di bumi. Pandangan-pandangan keislaman populer ker 45 %
Mu’tazilah, bukan berarti saya menepiskan peran wahyu dalam memperkaya wawasan akal manusia untuk memahami batas-batas itu. Setiap 24 %
yang bersifat duniawi. Agar wahyu itu bisa pulih kembali dan memperoleh inegritasnya lagi sebagai sumber moralitas, maka diperlukan 28 %
sebagian orang, bahwa istilah “liberal” dalam Islam liberal mempunyai makna kebebasan tanpa batas, atau bahkan disetarakan dengan 3 %
ah niat ada dalam wilayah subyektivitas manusia; wilayah itu mempunyai ciri-ciri kebebasan. Jadi, aturan-aturan obyektif yang ditet 40 %
hu”, agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tak mempunyai akal. Oleh karena itu, kebebasan manusia adalah perkara 55 %
han, atau “worship” dalam bahasa Inggris. Sebab, penyembahan mempunyai makna yang negatif dalam sejumlah hal. Penyembahan menga 78 %
oses dialogal yang kreatif. Penyembahan pada Tuhan tidak mempunyai makna apa-apa jika tidak diletakkan dalam kerangka manusia s 87 %
an manusia pada fokus penghayatan keagamaan, maka kita telah memulihkan kembali integritas wahyu dan Islam itu sendiri. Sekali l 98 %
ng pasif. Akal manusia merupakan partisipan yang aktif dalam menafsiran ide-ide ketuhanan yang terkandung dalam wahyu. Saya tidak pe 42 %
na: apakah manusia bisa, dengan akal, intuisi dan fitrahnya, mencapai pemahaman yang mendalam mengenai kebaikan dan kejahatan? Apa 14 %
“langit”? Apakah gunanya agama, jika toh manusia sudah mampu mencapai sendiri pemahaman mengenai “yang baik” dan “yang jahat”? Apa 16 %
egas kepada kemampuan manusia, berdasarkan intuisinya, untuk mencapai pemahaman yang benar mengenai dosa. Kenapa demikian? Harusla 34 %
iaan. Keledai selalu takut pada kebebasan, dan terus-menerus mencari majikan yang dapat menuntunnya. Sesungguhnya Islam tidak mem 65 %
k ada yang lebih berbahaya bagi Islam kecuali pandangan yang mencoba mengubah karakter agama itu sebagai agama fitrah, menjadi ag 92 %
tidak akan berguna bagi seekor keledai. Dan tak ada gunanya mendakwahkan kedalaman dan kesempurnaan wahyu kepad keledai. Jika manusia 52 %
dengan akal, intuisi dan fitrahnya, mencapai pemahaman yang mendalam mengenai kebaikan dan kejahatan? Apakah untuk mengetahui hal 15 %
Manusia baru tahu bahwa tindakan ini jahat atau baik setelah mendapatkan pengajaran dari agama. Golongan kedua adalah Mu’tazilah yang 19 %
tsalil khimari yahmilu asfaara. Keledai tak akan pernah bisa mendapatkan manfaat apapun dari barang-barang yang diangkutnya. Wahyu ti 51 %
mbubuhkan kata “liberal” pada Islam, sesunggunya saya hendak menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang jangkarnya adalah 94 %
hukum yang dilandaskan kepada pemaksaan, dengan lebih banyak menekankan bahasa kewajiban. Tidak ada yang lebih berbahaya bagi Islam 91 %
nderungan “intrinsik” dalam akal manusia itu sendiri. Dengan menekankan kembali dimensi kebebasan manusia, dan menempatkan manusia p 97 %
antara mana yang boleh (mubah) dan yang tak boleh (mahdzur), menempati kedudukan yang begitu sentral. Setiap orang Islam selalu ped 6 %
ri. Dengan menekankan kembali dimensi kebebasan manusia, dan menempatkan manusia pada fokus penghayatan keagamaan, maka kita telah me 98 %
ntasan. Sudah tentu, jika dikatakan bahwa akal manusia dapat menentukan batas-batas tersebut, tidak berarti bahwa seluruh batas itu 21 %
ahwa dengan menerima pendapat Mu’tazilah, bukan berarti saya menepiskan peran wahyu dalam memperkaya wawasan akal manusia untuk mema 24 %
gan kaum Mu’tazilah. Tetapi, harap lah disadari bahwa dengan menerima pendapat Mu’tazilah, bukan berarti saya menepiskan peran wah 24 %
etahui oleh akal dari hari pertama. Akal manusia berkembang, mengalami evolusi, dan akan makin matang. Saya lebih cenderung pad 23 %
pi, wahyu bisa memerosotkan akal manusia, manakala wahyu itu mengalami “vulgarisasi”, yaitu wahyu yang telah dibajak oleh kepenting 27 %
dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi jika tidak mengandaikan adanya manusia sebagai subyek yang bebas dan otonom. Ora 62 %
unyai makna yang negatif dalam sejumlah hal. Penyembahan mengandaikan bahwa obyek yang “disembah” adalah obyek yang “mati”, di-rei 78 %
tertentu mengenai “yang baik” dan “yang jahat”. Wahyu dapat mengangkat derajat akal manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan bermut 25 %
Ibadah sebagai “I-Thou” Tujuan pokok dari agama adalah mengangkat martabat kemanusiaan. Wahyu adalah sarana saja menuju ke ara 67 %
an berkali-kali menyindir orang Yahudi sebagai “keledai yang mengangkut berjilid-jilid kitab”, matsalulladzina hummilut Taurata kama 50 %
akrawala wahyu yang terbentang luas itu, maka siapapun dapat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. Garansi bahwa wahyu dapat dipahami 31 %
sakkan secara paksa dari luar. Itulah sebabnya, sebuah hadis mengatakan “innamal a’malu bin niyyaat”, sesungguhnya segala tindakan t 37 %
a sebagai subyek yang bebas dan otonom. Orang-orang yang mengatakan bahwa dengan memberikan kebebasan, anda telah menjerumuska m 63 %
a-mata Tuhan. Adalah salah besar suatu anggapan populer yang mengatakan bahwa tugas pokok manusia adalah “menyembah” Tuhan. Pandanga 69 %
kal, intuisi dan fitrahnya, mencapai pemahaman yang mendalam mengenai kebaikan dan kejahatan? Apakah untuk mengetahui hal-hal itu, 15 %
ama, jika toh manusia sudah mampu mencapai sendiri pemahaman mengenai “yang baik” dan “yang jahat”? Apakah manusia secara moral ot 16 %
batas-batas itu. Setiap wahyu membawa suatu wawasan tertentu mengenai “yang baik” dan “yang jahat”. Wahyu dapat mengangkat derajat 25 %
berdasarkan intuisinya, untuk mencapai pemahaman yang benar mengenai dosa. Kenapa demikian? Haruslah diketahui, bahwa agama pada 35 %
an kepada kehendak-Nya. Tidak ada pemahaman yang lebih kotor mengenai hakikat ketuhanan kecuali pemahaman seperti ini. Pandangan m 73 %
i hakikat ketuhanan kecuali pemahaman seperti ini. Pandangan mengenai manusia sebagai Prometheus yang berseteru dengan Tuhan hanya 73 %
at, pandangan populer yang berkembang di kalangan umat Islam mengenai ayat tersebut cenderung kepada suatu citra manusia sebagai P 75 %
subyek. Jika diletakkan dalam kerangka filsafat Martin Buber mengenai relasi antar manusia, penyembahan adalah sebentuk hubungan a 80 %
n sikap permisif, ibahiyah; sikap menolerir setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan cara pandang semacam itu, Islam lib 4 %
yang mendalam mengenai kebaikan dan kejahatan? Apakah untuk mengetahui hal-hal itu, manusia harus menungguh wahyu dari “langit”? Ap 15 %
” dan “yang jahat”? Apakah manusia secara moral otonom dalam mengetahui kebaikan dan kejahatan, atau tergantung pada entitas di luar 17 %
ah yang memandang bahwa manusia dengan akalnya sendiri dapat mengetahui batas-batas kebaikan dan kejahatan, batas-batas kepantasan. 20 %
pan di bumi. Pandangan-pandangan keislaman populer kerapkali menggambarkan wahyu sebagai “leviathan” semacam itu. Manusia, dalam pandan 46 %
u’min wan man sya’a fal yakfur,” jika manusia mau, dia boleh mengimani jalan itu, dan jika mau, dia boleh mengingkarinya. Fakta-fak 89 %
sia ke jurang kesesatan, dari menit pertama mereka itu sudah mengingkari nilai kemanusiaan. Keledai selalu takut pada kebebasan, dan 64 %
rkara prinsip yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Banyak orang mengira bahwa kebebasan semacam itu menyebabkan manusia memberontak 56 %
ebabkan manusia memberontak kepada agama dan wahyu. Ada yang mengira bahwa dengan membatasi kebebasan itu, mereka telah melindung 57 %
Tetapi, proses-proses kesejarahan dalam Islam sendiri telah mengubah agama itu menjadi agama hukum yang dilandaskan kepada pemaks 91 %
ng lebih berbahaya bagi Islam kecuali pandangan yang mencoba mengubah karakter agama itu sebagai agama fitrah, menjadi agama hukum 92 %
hta an yath-thali’a ‘alaihin naas”. Dosa adalah sesuatu yang menimbulkan kekeruhan dan kekacauan di hatimu, dan kamu tak suka orang l 33 %
kemudian melahirkan suatu bidang kajian yang sangat kaya dan meninggalkan ribuan literatur yang canggih, yaitu bidang fikih. Setiap pe 7 %
dosa. Kenapa demikian? Haruslah diketahui, bahwa agama pada menit pertama adalah merupakan soal keinsafan/kesadaran pribadi; a 35 %
n, anda telah menjerumuska manusia ke jurang kesesatan, dari menit pertama mereka itu sudah mengingkari nilai kemanusiaan. Kele 64 %
ul diskusi yang ramai soal penerapan hukum Islam, maka fikih menjadi fokus perhatian, sebab dalam fikih lah sebagian besar hukum 9 %
k ini. Untuk itu, marilah kita masuki sebuah tema dasar yang menjadi debat dalam pemikiran Islam klasik: soal tindakan manusia (a 13 %
alu bin niyyaat”, sesungguhnya segala tindakan tidaklah akan menjadi tindakan yang “genuine” tanpa niat dan dorongan emotif yang 37 %
ses kesejarahan dalam Islam sendiri telah mengubah agama itu menjadi agama hukum yang dilandaskan kepada pemaksaan, dengan lebih 91 %
ng mencoba mengubah karakter agama itu sebagai agama fitrah, menjadi agama hukum yang ditegakkan atas paksaan. Kesimpulan yan 93 %
batas. Hampir mustahil bagi akal manusia yang terbatas untuk menjangkau seluruh horison wahyu. Karena cakrawala wahyu yang terbentan 30 %
ang mengatakan bahwa dengan memberikan kebebasan, anda telah menjerumuska manusia ke jurang kesesatan, dari menit pertama mereka itu s 64 %
au bahkan disetarakan dengan sikap permisif, ibahiyah; sikap menolerir setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan cara pand 3 %
ah mengangkat martabat kemanusiaan. Wahyu adalah sarana saja menuju ke arah itu. Fokus pertama dalam agama adalah manusia itu se 68 %
ejahatan? Apakah untuk mengetahui hal-hal itu, manusia harus menungguh wahyu dari “langit”? Apakah gunanya agama, jika toh manusia 15 %
nusia, dan dirinya sendiri. Bahasa kewajiban lebih menonjol, menutup bahasa hak dan kebebasan manusia. Islam liberal muncul dalam 11 %
Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan 1 %
Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. 99 %
tawar lagi. Banyak orang mengira bahwa kebebasan semacam itu menyebabkan manusia memberontak kepada agama dan wahyu. Ada yang mengira 57 %
kebebasan manusia. Islam liberal muncul dalam semangat untuk menyeimbangkan “neraca” antara bahasa kewajiban dan kebebasan/hak ini. Untu 12 %
disangkal, apakah gunanya sebuah agama? Qur’an berkali-kali menyindir orang Yahudi sebagai “keledai yang mengangkut berjilid-jilid 50 %
danya manusia-manusia yang berpikir bebas dan kemudian mampu menyingkapkan rahasia-rahasia terdalam dari wahyu. Ibadah sebagai “I 66 %
iman la ‘aqla lahu”, agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tak mempunyai akal. Oleh karena itu, kebebasan manu 55 %
ahyu. Ada yang mengira bahwa dengan membatasi kebebasan itu, mereka telah melindungi wahyu. Ini jelas pandangan yang salah. Seba 57 %
menjerumuska manusia ke jurang kesesatan, dari menit pertama mereka itu sudah mengingkari nilai kemanusiaan. Keledai selalu taku 64 %
n? Haruslah diketahui, bahwa agama pada menit pertama adalah merupakan soal keinsafan/kesadaran pribadi; agama bukanlah aturan obye 35 %
sia ditempatkan sebagai obyek moral yang pasif. Akal manusia merupakan partisipan yang aktif dalam menafsiran ide-ide ketuhanan yan 42 %
ek yang “mati”, di-reifikasi, di-fiksasi. Penyembahan selalu merupakan proses yang sepihak, bukan proses dialogal yang hidup antara 79 %
gjawab. Dalam hadis lain dikatakan, “niyyatul mu’min khairun min ‘amalihi”, niat dan dorongan emotif yang sifatnya subyektif 38 %
ja secara leluasa. Qur’an mengatakan, “qad tabayyanar rushdu minal ghayy”, telah jelas jalan kebaikan dan kesesatan. “Fa man sy 88 %
ai Prometheus yang berseteru dengan Tuhan hanyalah ada dalam mitos Yunani kuno. Saya melihat, pandangan populer yang berkembang 74 %
ut lebih tepat dipahami sebagai hubungan Allah-manusia dalam model “I-Thou”; bukan penyembahan, tetapi proses dialogal yang kre 86 %
mengenai “yang baik” dan “yang jahat”? Apakah manusia secara moral otonom dalam mengetahui kebaikan dan kejahatan, atau tergant 17 %
apapun dalam Islam di mana manusia ditempatkan sebagai obyek moral yang pasif. Akal manusia merupakan partisipan yang aktif dal 42 %
ah martabat manusia itu sendiri. Jika manusia sebagai subyek moral yang bebas sudah tidak lagi ada atau disangkal, apakah gunan 49 %
telah dikosongkan dari motif, dan otonominya sebagai subyek moral telah disangkal, apakah yang tersisa dari manusia semacam it 54 %
daklah bermakna dalam kerangka beragama jika dilepaskan dari motif subyektif manusia. Saya tidak melihat suatu ide apapun d 41 %
empatkan sebagai “barang” yang sama sekali kosong dari suatu motif yang bebas. Inilah proses vulgarisasi Islam sebagaimana pern 47 %
gguh bertanggungjawab. Dalam hadis lain dikatakan, “niyyatul mu’min khairun min ‘amalihi”, niat dan dorongan emotif yang sifatny 38 %
lah mendapatkan pengajaran dari agama. Golongan kedua adalah mu’tazilah yang memandang bahwa manusia dengan akalnya sendiri dapat me 20 %
nusia (af’alul ‘ibad). Otonom atau tidak? Marilah kita mulai dengan pertanyaan sederhana: apakah manusia bisa, dengan aka 14 %
ihi”, niat dan dorongan emotif yang sifatnya subyektif lebih mulia dari tindakan. Wilayah niat ada dalam wilayah subyektivitas 39 %
icaraan tentang hukum selalu rujukannya adalah fikih. Ketika muncul diskusi yang ramai soal penerapan hukum Islam, maka fikih me 8 %
jol, menutup bahasa hak dan kebebasan manusia. Islam liberal muncul dalam semangat untuk menyeimbangkan “neraca” antara bahasa k 11 %
ang tersembunyi dalam wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi jika tidak mengandaikan adanya manusia sebagai subye 62 %
ekanan diberikan kepada “kewajiban”, yaitu kewajiban seorang muslim terhadap Allah, sesama manusia, dan dirinya sendiri. Bahasa 10 %
lah laksana horison atau cakrawala yang tak berbatas. Hampir mustahil bagi akal manusia yang terbatas untuk menjangkau seluruh hor 30 %
ah integritas akal manusia itu sendiri. Salah satu hadis nabi mengatakan, “al itsmu ma haka fi nafsika wa karihta an yath- 32 %
tersisa dari manusia semacam itu selain “jasad” yang pasif. nabi pernah bersaba, “ad dinu huwal ‘aql, la dina liman la ‘aqla 54 %
. Salah satu hadis Nabi mengatakan, “al itsmu ma haka fi nafsika wa karihta an yath-thali’a ‘alaihin naas”. Dosa adalah sesua 32 %
entang luas itu, maka siapapun dapat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. Garansi bahwa wahyu dapat dipahami dengan tepat adala 31 %
alam bahasa Inggris. Sebab, penyembahan mempunyai makna yang negatif dalam sejumlah hal. Penyembahan mengandaikan bahwa obyek 78 %
tindakan tidaklah akan menjadi tindakan yang “genuine” tanpa niat dan dorongan emotif yang sungguh-sungguh bertanggungjawab. D 38 %
adis lain dikatakan, “niyyatul mu’min khairun min ‘amalihi”, niat dan dorongan emotif yang sifatnya subyektif lebih mulia dari 39 %
f yang sifatnya subyektif lebih mulia dari tindakan. Wilayah niat ada dalam wilayah subyektivitas manusia; wilayah itu mempuny 39 %
g kesesatan, dari menit pertama mereka itu sudah mengingkari nilai kemanusiaan. Keledai selalu takut pada kebebasan, dan terus- 64 %
u ide apapun dalam Islam di mana manusia ditempatkan sebagai obyek moral yang pasif. Akal manusia merupakan partisipan yang akt 42 %
gatif dalam sejumlah hal. Penyembahan mengandaikan bahwa obyek yang “disembah” adalah obyek yang “mati”, di-reifikasi, di-f 78 %
Penyembahan mengandaikan bahwa obyek yang “disembah” adalah obyek yang “mati”, di-reifikasi, di-fiksasi. Penyembahan selalu me 78 %
akan soal keinsafan/kesadaran pribadi; agama bukanlah aturan obyektif yang bisa begitu saja didesakkan secara paksa dari luar. Itu 36 %
layah itu mempunyai ciri-ciri kebebasan. Jadi, aturan-aturan obyektif yang ditetapkan oleh agama, tidaklah bermakna dalam kerangka 40 %
n pokok bahwa kebaikan dan kejahatan itu haruslah ditentukan oleh agama. Manusia baru tahu bahwa tindakan ini jahat atau baik 19 %
sebut, tidak berarti bahwa seluruh batas itu sudah diketahui oleh akal dari hari pertama. Akal manusia berkembang, mengalami e 22 %
itu mengalami “vulgarisasi”, yaitu wahyu yang telah dibajak oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang bersifat duniawi. Agar w 27 %
ciri kebebasan. Jadi, aturan-aturan obyektif yang ditetapkan oleh agama, tidaklah bermakna dalam kerangka beragama jika dilepa 40 %
Inilah proses vulgarisasi Islam sebagaimana pernah ditunjuk oleh Prof. Khaled Abou El Fadl. Dalam situasi yang sudah “vul 48 %
h akal, tidak ada agama bagi mereka yang tak mempunyai akal. oleh karena itu, kebebasan manusia adalah perkara prinsip yang ta 55 %
mensi terdalam yang subtil dari wahyu akan sulit diungkapkan oleh manusia. Sebab, untuk memahami kompleksitas wahyu, diperluka 59 %
Bedanya, Prometheus versi Islam adalah Prometheus yang kalah oleh kehendak Tuhan. Ini jelas suatu citraan manusia yang tidak s 76 %
tu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. oleh: Ulil Abshar-Abdalla Ada kesan yang tertanam dalam sebagian 2 %
h (mahdzur), menempati kedudukan yang begitu sentral. Setiap orang Islam selalu peduli pada apa yang dia kerjakan, apakah pebua 6 %
mbulkan kekeruhan dan kekacauan di hatimu, dan kamu tak suka orang lain melihatmu melakukannya. Hadis ini memberikan tekanan ya 33 %
, apakah gunanya sebuah agama? Qur’an berkali-kali menyindir orang Yahudi sebagai “keledai yang mengangkut berjilid-jilid kitab 50 %
lah perkara prinsip yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Banyak orang mengira bahwa kebebasan semacam itu menyebabkan manusia memb 56 %
” dalam Islam Liberal Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama b 1 %
ndaikan adanya manusia sebagai subyek yang bebas dan otonom. orang-orang yang mengatakan bahwa dengan memberikan kebebasan, anda tela 63 %
yang dapat menuntunnya. Sesungguhnya Islam tidak membutuhkan orang-orang semacam itu. Kecemerlangan Islam justru akan dimungkinkan ka 65 %
Islam itu sendiri. Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. 99 %
mikiran Islam klasik: soal tindakan manusia (af’alul ‘ibad). otonom atau tidak? Marilah kita mulai dengan pertanyaan sederhan 13 %
ai “yang baik” dan “yang jahat”? Apakah manusia secara moral otonom dalam mengetahui kebaikan dan kejahatan, atau tergantung pad 17 %
epad keledai. Jika manusia telah dikosongkan dari motif, dan otonominya sebagai subyek moral telah disangkal, apakah yang tersisa da 53 %
udukan yang begitu sentral. Setiap orang Islam selalu peduli pada apa yang dia kerjakan, apakah pebuatan itu boleh atau tidak. 6 %
nom dalam mengetahui kebaikan dan kejahatan, atau tergantung pada entitas di luar dirinya? Dalam masalah ini, ada dua jawa 17 %
ami evolusi, dan akan makin matang. Saya lebih cenderung pada pandangan kaum Mu’tazilah. Tetapi, harap lah disadari bahwa 23 %
genai dosa. Kenapa demikian? Haruslah diketahui, bahwa agama pada menit pertama adalah merupakan soal keinsafan/kesadaran prib 35 %
tu sudah mengingkari nilai kemanusiaan. Keledai selalu takut pada kebebasan, dan terus-menerus mencari majikan yang dapat menu 65 %
n dalam kerangka “I-Thou”, aku-Engkau. Agama yang didasarkan pada penyembahan dalam kerangka hubungan “I-it” hanya akan memero 84 %
mbahan, tetapi proses dialogal yang kreatif. Penyembahan pada Tuhan tidak mempunyai makna apa-apa jika tidak diletakkan da 86 %
n panjang ini adalah bahwa dengan membubuhkan kata “liberal” pada Islam, sesunggunya saya hendak menegaskan kembali dimensi ke 94 %
n kembali dimensi kebebasan manusia, dan menempatkan manusia pada fokus penghayatan keagamaan, maka kita telah memulihkan kemb 98 %
nlah aturan obyektif yang bisa begitu saja didesakkan secara paksa dari luar. Itulah sebabnya, sebuah hadis mengatakan “innamal 36 %
erir setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan cara pandang semacam itu, Islam liberal dipandang sebagai ancaman terhada 4 %
ikiran Islam klasik. Ada golongan Sunni yang dominan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan dan kejahatan itu haruslah ditentukan o 18 %
volusi, dan akan makin matang. Saya lebih cenderung pada pandangan kaum Mu’tazilah. Tetapi, harap lah disadari bahwa dengan men 23 %
alam wahyu. Saya tidak pernah membayangkan bahwa wahyu dalam pandangan Islam memandang “dunia manusia” sebagai dunia hobbesian yang 43 %
barkan wahyu sebagai “leviathan” semacam itu. Manusia, dalam pandangan populer semacam itu, kerapkali ditempatkan sebagai “barang” 47 %
tasi kebebasan itu, mereka telah melindungi wahyu. Ini jelas pandangan yang salah. Sebab, begitu kebebasan manusia dibatasi, maka d 58 %
ngatakan bahwa tugas pokok manusia adalah “menyembah” Tuhan. pandangan ini bersumber dari pemahaman yang salah atas ayat “wa ma kha 69 %
or mengenai hakikat ketuhanan kecuali pemahaman seperti ini. pandangan mengenai manusia sebagai Prometheus yang berseteru dengan Tu 73 %
an Tuhan hanyalah ada dalam mitos Yunani kuno. Saya melihat, pandangan populer yang berkembang di kalangan umat Islam mengenai ayat 74 %
kewajiban. Tidak ada yang lebih berbahaya bagi Islam kecuali pandangan yang mencoba mengubah karakter agama itu sebagai agama fitra 92 %
emenuhi tugas ketuhanan untuk memperbaiki kehidupan di bumi. pandangan-pandangan keislaman populer kerapkali menggambarkan wahyu sebagai “lev 46 %
ulan yang hendak saya tuju dari ulasan yang agak “ruwet” dan panjang ini adalah bahwa dengan membubuhkan kata “liberal” pada Isla 93 %
atkan sebagai obyek moral yang pasif. Akal manusia merupakan partisipan yang aktif dalam menafsiran ide-ide ketuhanan yang terkandun 42 %
rangka semacam ini. Kata “liberal” di sini tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan sikap-sikap permisif ya 96 %
orang Islam selalu peduli pada apa yang dia kerjakan, apakah pebuatan itu boleh atau tidak. Inilah yang kemudian melahirkan suatu 6 %
ati kedudukan yang begitu sentral. Setiap orang Islam selalu peduli pada apa yang dia kerjakan, apakah pebuatan itu boleh atau t 6 %
h manusia bisa, dengan akal, intuisi dan fitrahnya, mencapai pemahaman yang mendalam mengenai kebaikan dan kejahatan? Apakah untuk 14 %
gunanya agama, jika toh manusia sudah mampu mencapai sendiri pemahaman mengenai “yang baik” dan “yang jahat”? Apakah manusia secara 16 %
da kemampuan manusia, berdasarkan intuisinya, untuk mencapai pemahaman yang benar mengenai dosa. Kenapa demikian? Haruslah diketahu 34 %
nusia adalah “menyembah” Tuhan. Pandangan ini bersumber dari pemahaman yang salah atas ayat “wa ma khalaqtul jinna wal insa illa li 70 %
an sehingga harus ditundukkan kepada kehendak-Nya. Tidak ada pemahaman yang lebih kotor mengenai hakikat ketuhanan kecuali pemahama 73 %
emahaman yang lebih kotor mengenai hakikat ketuhanan kecuali pemahaman seperti ini. Pandangan mengenai manusia sebagai Prometheus y 73 %
an ribuan literatur yang canggih, yaitu bidang fikih. Setiap pembicaraan tentang hukum selalu rujukannya adalah fikih. Ketika muncul 8 %
rilah kita masuki sebuah tema dasar yang menjadi debat dalam pemikiran Islam klasik: soal tindakan manusia (af’alul ‘ibad). Oton 13 %
am masalah ini, ada dua jawaban yang tersedia dalam khazanah pemikiran Islam klasik. Ada golongan Sunni yang dominan, dengan pandan 18 %
Mu’tazilah. Tetapi, harap lah disadari bahwa dengan menerima pendapat Mu’tazilah, bukan berarti saya menepiskan peran wahyu dalam 24 %
ahui, maka Aku ciptakan manusia.” Hadis ini memberikan suatu penegasan yang penting bahwa manusia diciptakan untuk “menggali” dimen 61 %
jukannya adalah fikih. Ketika muncul diskusi yang ramai soal penerapan hukum Islam, maka fikih menjadi fokus perhatian, sebab dalam 9 %
idak sesuai dengan semangat Islam. Saya kurang setuju dengan penerjemahan kata “ibadah” sebagai penyembahan, atau “worship” dalam baha 77 %
tahu bahwa tindakan ini jahat atau baik setelah mendapatkan pengajaran dari agama. Golongan kedua adalah Mu’tazilah yang memandang 20 %
imensi kebebasan manusia, dan menempatkan manusia pada fokus penghayatan keagamaan, maka kita telah memulihkan kembali integritas wah 98 %
ciptakan manusia.” Hadis ini memberikan suatu penegasan yang penting bahwa manusia diciptakan untuk “menggali” dimensi-dimensi ya 61 %
r moralitas, maka diperlukan akal yang bertanggung jawab dan penuh integritas. Kita semua tahu, bahwa wahyu itu adalah laksana 29 %
han” yang bengis. Islam meletakkan manusia dalam posisi yang penuh martabat, sebagai “khalifah” yang memenuhi tugas ketuhanan u 45 %
-humanistik, dapat berarti bahwa agama itu tidak lain adalah penundukan manusia. Manusia seolah-olah ancaman bagi Tuhan sehingga har 72 %
gai penyembahan, atau “worship” dalam bahasa Inggris. Sebab, penyembahan mempunyai makna yang negatif dalam sejumlah hal. Penyemb 77 %
penyembahan mempunyai makna yang negatif dalam sejumlah hal. penyembahan mengandaikan bahwa obyek yang “disembah” adalah obyek yang “ 78 %
isembah” adalah obyek yang “mati”, di-reifikasi, di-fiksasi. penyembahan selalu merupakan proses yang sepihak, bukan proses dialogal 79 %
erangka filsafat Martin Buber mengenai relasi antar manusia, penyembahan adalah sebentuk hubungan antara Allah dan manusia sebagai hu 80 %
ebagai hubungan “I-it”, “aku-dan-dia”. Allah, dalam kerangka penyembahan semacam itu, telah “dibendakan”. Allah yang disembah adalah 81 %
am kerangka “I-Thou”, aku-Engkau. Agama yang didasarkan pada penyembahan dalam kerangka hubungan “I-it” hanya akan memerosotkan marta 84 %
ou”; bukan penyembahan, tetapi proses dialogal yang kreatif. penyembahan pada Tuhan tidak mempunyai makna apa-apa jika tidak diletakk 86 %
menerima pendapat Mu’tazilah, bukan berarti saya menepiskan peran wahyu dalam memperkaya wawasan akal manusia untuk memahami b 24 %
empunyai akal. Oleh karena itu, kebebasan manusia adalah perkara prinsip yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Banyak orang mengi 56 %
Dalam situasi yang sudah “vulgar” semacam itu, yang pertama perlu direstorasi adalah martabat manusia itu sendiri. Jika manusi 49 %
kut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan sikap-sikap permisif yang melawan kecenderungan “intrinsik” dalam akal manusia it 97 %
an ide-ide ketuhanan yang terkandung dalam wahyu. Saya tidak pernah membayangkan bahwa wahyu dalam pandangan Islam memandang “du 43 %
otif yang bebas. Inilah proses vulgarisasi Islam sebagaimana pernah ditunjuk oleh Prof. Khaled Abou El Fadl. Dalam situasi y 48 %
Taurata kamatsalil khimari yahmilu asfaara. Keledai tak akan pernah bisa mendapatkan manfaat apapun dari barang-barang yang dian 51 %
isa dari manusia semacam itu selain “jasad” yang pasif. Nabi pernah bersaba, “ad dinu huwal ‘aql, la dina liman la ‘aqla lahu”, 54 %
erhadap keberagamaan yang sudah terlembaga. Dalam Islam, persoalan “batasan” (hadd) antara mana yang boleh (mubah) dan yang tak 5 %
Kenapa demikian? Haruslah diketahui, bahwa agama pada menit pertama adalah merupakan soal keinsafan/kesadaran pribadi; agama buk 35 %
adl. Dalam situasi yang sudah “vulgar” semacam itu, yang pertama perlu direstorasi adalah martabat manusia itu sendiri. Jika 49 %
a telah menjerumuska manusia ke jurang kesesatan, dari menit pertama mereka itu sudah mengingkari nilai kemanusiaan. Keledai sela 64 %
anusiaan. Wahyu adalah sarana saja menuju ke arah itu. Fokus pertama dalam agama adalah manusia itu sendiri, bukan semata-mata Tu 68 %
l ‘ibad). Otonom atau tidak? Marilah kita mulai dengan pertanyaan sederhana: apakah manusia bisa, dengan akal, intuisi dan fit 14 %
am klasik. Ada golongan Sunni yang dominan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan dan kejahatan itu haruslah ditentukan oleh ag 18 %
terdalam dari wahyu. Ibadah sebagai “I-Thou” Tujuan pokok dari agama adalah mengangkat martabat kemanusiaan. Wahyu ada 67 %
lah besar suatu anggapan populer yang mengatakan bahwa tugas pokok manusia adalah “menyembah” Tuhan. Pandangan ini bersumber da 69 %
memperbaiki kehidupan di bumi. Pandangan-pandangan keislaman populer kerapkali menggambarkan wahyu sebagai “leviathan” semacam it 46 %
yu sebagai “leviathan” semacam itu. Manusia, dalam pandangan populer semacam itu, kerapkali ditempatkan sebagai “barang” yang sam 47 %
diperlukan akal manusia yang matang. Sebuah hadis qudsi yang populer di kalangan sufi menyatakan, “Aku (Allah) adalah ‘kanzun mak 60 %
, bukan semata-mata Tuhan. Adalah salah besar suatu anggapan populer yang mengatakan bahwa tugas pokok manusia adalah “menyembah” 69 %
i untuk menyembah-Ku. Ayat ini, jika dipahami dalam kerangka populer yang cenderung anti-humanistik, dapat berarti bahwa agama it 71 %
anyalah ada dalam mitos Yunani kuno. Saya melihat, pandangan populer yang berkembang di kalangan umat Islam mengenai ayat tersebu 74 %
uatu “leviathan” yang bengis. Islam meletakkan manusia dalam posisi yang penuh martabat, sebagai “khalifah” yang memenuhi tugas 45 %
pada menit pertama adalah merupakan soal keinsafan/kesadaran pribadi; agama bukanlah aturan obyektif yang bisa begitu saja didesak 36 %
akal. Oleh karena itu, kebebasan manusia adalah perkara prinsip yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Banyak orang mengira bahwa 56 %
li pemahaman seperti ini. Pandangan mengenai manusia sebagai prometheus yang berseteru dengan Tuhan hanyalah ada dalam mitos Yunani 74 %
rung kepada suatu citra manusia sebagai Prometheus. Bedanya, prometheus versi Islam adalah Prometheus yang kalah oleh kehendak Tuhan 75 %
a sebagai Prometheus. Bedanya, Prometheus versi Islam adalah prometheus yang kalah oleh kehendak Tuhan. Ini jelas suatu citraan manu 76 %
yang sama sekali kosong dari suatu motif yang bebas. Inilah proses vulgarisasi Islam sebagaimana pernah ditunjuk oleh Prof. Kha 48 %
ati”, di-reifikasi, di-fiksasi. Penyembahan selalu merupakan proses yang sepihak, bukan proses dialogal yang hidup antara subyek 79 %
asi. Penyembahan selalu merupakan proses yang sepihak, bukan proses dialogal yang hidup antara subyek dan subyek. Jika diletakka 79 %
llah-manusia dalam model “I-Thou”; bukan penyembahan, tetapi proses dialogal yang kreatif. Penyembahan pada Tuhan tidak memp 86 %
g dalam sumber utama ajaran Islam, Qur’an dan Hadis. Tetapi, proses-proses kesejarahan dalam Islam sendiri telah mengubah agama itu men 90 %
epentingan sesaat yang bersifat duniawi. Agar wahyu itu bisa pulih kembali dan memperoleh inegritasnya lagi sebagai sumber mora 28 %
tas wahyu, diperlukan akal manusia yang matang. Sebuah hadis qudsi yang populer di kalangan sufi menyatakan, “Aku (Allah) adala 60 %
tidak lagi ada atau disangkal, apakah gunanya sebuah agama? qur’an berkali-kali menyindir orang Yahudi sebagai “keledai yang me 50 %
subyek yang bebas, dengan akal yang bekerja secara leluasa. qur’an mengatakan, “qad tabayyanar rushdu minal ghayy”, telah jelas 88 %
ni begitu jelasnya tertuang dalam sumber utama ajaran Islam, qur’an dan Hadis. Tetapi, proses-proses kesejarahan dalam Islam sen 90 %
manusia yang berpikir bebas dan kemudian mampu menyingkapkan rahasia-rahasia terdalam dari wahyu. Ibadah sebagai “I-Thou” Tujuan 67 %
m selalu rujukannya adalah fikih. Ketika muncul diskusi yang ramai soal penerapan hukum Islam, maka fikih menjadi fokus perhati 8 %
ika diletakkan dalam kerangka filsafat Martin Buber mengenai relasi antar manusia, penyembahan adalah sebentuk hubungan antara A 80 %
hirkan suatu bidang kajian yang sangat kaya dan meninggalkan ribuan literatur yang canggih, yaitu bidang fikih. Setiap pembicara 7 %
yaitu bidang fikih. Setiap pembicaraan tentang hukum selalu rujukannya adalah fikih. Ketika muncul diskusi yang ramai soal penerapa 8 %
g bekerja secara leluasa. Qur’an mengatakan, “qad tabayyanar rushdu minal ghayy”, telah jelas jalan kebaikan dan kesesatan. “Fa 88 %
ran pribadi; agama bukanlah aturan obyektif yang bisa begitu saja didesakkan secara paksa dari luar. Itulah sebabnya, sebuah h 36 %
adalah mengangkat martabat kemanusiaan. Wahyu adalah sarana saja menuju ke arah itu. Fokus pertama dalam agama adalah manusia 68 %
ami dengan tepat adalah integritas akal manusia itu sendiri. salah satu hadis Nabi mengatakan, “al itsmu ma haka fi nafsika wa 32 %
adalah manusia itu sendiri, bukan semata-mata Tuhan. Adalah salah besar suatu anggapan populer yang mengatakan bahwa tugas pok 69 %
enyembah” Tuhan. Pandangan ini bersumber dari pemahaman yang salah atas ayat “wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun,” 70 %
ler semacam itu, kerapkali ditempatkan sebagai “barang” yang sama sekali kosong dari suatu motif yang bebas. Inilah proses vul 47 %
ak. Inilah yang kemudian melahirkan suatu bidang kajian yang sangat kaya dan meninggalkan ribuan literatur yang canggih, yaitu b 7 %
dalam kerangka semacam ini. Kata “liberal” di sini tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan sikap-sikap per 96 %
i agama adalah mengangkat martabat kemanusiaan. Wahyu adalah sarana saja menuju ke arah itu. Fokus pertama dalam agama adalah ma 68 %
tepat adalah integritas akal manusia itu sendiri. Salah satu hadis Nabi mengatakan, “al itsmu ma haka fi nafsika wa karih 32 %
anusia berkembang, mengalami evolusi, dan akan makin matang. saya lebih cenderung pada pandangan kaum Mu’tazilah. Tetapi, hara 23 %
ari bahwa dengan menerima pendapat Mu’tazilah, bukan berarti saya menepiskan peran wahyu dalam memperkaya wawasan akal manusia 24 %
angka beragama jika dilepaskan dari motif subyektif manusia. saya tidak melihat suatu ide apapun dalam Islam di mana manusia d 41 %
am menafsiran ide-ide ketuhanan yang terkandung dalam wahyu. saya tidak pernah membayangkan bahwa wahyu dalam pandangan Islam 43 %
berseteru dengan Tuhan hanyalah ada dalam mitos Yunani kuno. saya melihat, pandangan populer yang berkembang di kalangan umat 74 %
atu citraan manusia yang tidak sesuai dengan semangat Islam. saya kurang setuju dengan penerjemahan kata “ibadah” sebagai peny 77 %
di-fiksasi dalam gambaran yang tetap seperti sebuah “idol”. saya berpandangan bahwa seharusnya manusia berhubungan dengan All 83 %
kum yang ditegakkan atas paksaan. Kesimpulan yang hendak saya tuju dari ulasan yang agak “ruwet” dan panjang ini adalah ba 93 %
wa dengan membubuhkan kata “liberal” pada Islam, sesunggunya saya hendak menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang 94 %
i orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. Oleh: Ulil Abs 1 %
l penerapan hukum Islam, maka fikih menjadi fokus perhatian, sebab dalam fikih lah sebagian besar hukum Islam dirumuskan. D 9 %
i orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. 100 %
ti. Dengan cara pandang semacam itu, Islam liberal dipandang sebagai ancaman terhadap keberagamaan yang sudah terlembaga. Dal 4 %
ahyu itu bisa pulih kembali dan memperoleh inegritasnya lagi sebagai sumber moralitas, maka diperlukan akal yang bertanggung jawa 28 %
hat suatu ide apapun dalam Islam di mana manusia ditempatkan sebagai obyek moral yang pasif. Akal manusia merupakan partisipan ya 42 %
bahwa wahyu dalam pandangan Islam memandang “dunia manusia” sebagai dunia hobbesian yang kotor, brutal, sementara, dan licik, da 43 %
or, brutal, sementara, dan licik, dan karena itu wahyu turun sebagai suatu “leviathan” yang bengis. Islam meletakkan manusia dala 44 %
. Islam meletakkan manusia dalam posisi yang penuh martabat, sebagai “khalifah” yang memenuhi tugas ketuhanan untuk memperbaiki k 45 %
an-pandangan keislaman populer kerapkali menggambarkan wahyu sebagai “leviathan” semacam itu. Manusia, dalam pandangan populer se 46 %
, dalam pandangan populer semacam itu, kerapkali ditempatkan sebagai “barang” yang sama sekali kosong dari suatu motif yang bebas 47 %
irestorasi adalah martabat manusia itu sendiri. Jika manusia sebagai subyek moral yang bebas sudah tidak lagi ada atau disangkal, 49 %
nya sebuah agama? Qur’an berkali-kali menyindir orang Yahudi sebagai “keledai yang mengangkut berjilid-jilid kitab”, matsalulladz 50 %
i. Jika manusia telah dikosongkan dari motif, dan otonominya sebagai subyek moral telah disangkal, apakah yang tersisa dari manus 53 %
u tak mungkin terjadi jika tidak mengandaikan adanya manusia sebagai subyek yang bebas dan otonom. Orang-orang yang mengataka 63 %
yingkapkan rahasia-rahasia terdalam dari wahyu. Ibadah sebagai “I-Thou” Tujuan pokok dari agama adalah mengangkat martab 67 %
an kecuali pemahaman seperti ini. Pandangan mengenai manusia sebagai Prometheus yang berseteru dengan Tuhan hanyalah ada dalam mi 74 %
mengenai ayat tersebut cenderung kepada suatu citra manusia sebagai Prometheus. Bedanya, Prometheus versi Islam adalah Prometheu 75 %
Islam. Saya kurang setuju dengan penerjemahan kata “ibadah” sebagai penyembahan, atau “worship” dalam bahasa Inggris. Sebab, pen 77 %
enyembahan adalah sebentuk hubungan antara Allah dan manusia sebagai hubungan “I-it”, “aku-dan-dia”. Allah, dalam kerangka penyem 81 %
n Allah itu sendiri. Arti ayat tersebut lebih tepat dipahami sebagai hubungan Allah-manusia dalam model “I-Thou”; bukan penyembah 85 %
i makna apa-apa jika tidak diletakkan dalam kerangka manusia sebagai subyek yang bebas, dengan akal yang bekerja secara leluasa. 87 %
m kecuali pandangan yang mencoba mengubah karakter agama itu sebagai agama fitrah, menjadi agama hukum yang ditegakkan atas paksa 92 %
dari suatu motif yang bebas. Inilah proses vulgarisasi Islam sebagaimana pernah ditunjuk oleh Prof. Khaled Abou El Fadl. Dalam si 48 %
Oleh: Ulil Abshar-Abdalla Ada kesan yang tertanam dalam sebagian orang, bahwa istilah “liberal” dalam Islam liberal mempunyai 2 %
m, maka fikih menjadi fokus perhatian, sebab dalam fikih lah sebagian besar hukum Islam dirumuskan. Dalam diskusi-diskusi itu, 9 %
gan-dorongan emotif-subyektif dalam manusia itu sendiri. Dan sebaiknya kata liberal dalam “Islam liberal” dipahami dalam kerangka s 95 %
rtin Buber mengenai relasi antar manusia, penyembahan adalah sebentuk hubungan antara Allah dan manusia sebagai hubungan “I-it”, “ 80 %
ajiban dan kebebasan/hak ini. Untuk itu, marilah kita masuki sebuah tema dasar yang menjadi debat dalam pemikiran Islam klasik: 13 %
itu saja didesakkan secara paksa dari luar. Itulah sebabnya, sebuah hadis mengatakan “innamal a’malu bin niyyaat”, sesungguhnya 36 %
ng bebas sudah tidak lagi ada atau disangkal, apakah gunanya sebuah agama? Qur’an berkali-kali menyindir orang Yahudi sebagai “k 50 %
ami kompleksitas wahyu, diperlukan akal manusia yang matang. sebuah hadis qudsi yang populer di kalangan sufi menyatakan, “Aku ( 60 %
erhalakan, yang di-fiksasi dalam gambaran yang tetap seperti sebuah “idol”. Saya berpandangan bahwa seharusnya manusia berhubung 82 %
ahaman mengenai “yang baik” dan “yang jahat”? Apakah manusia secara moral otonom dalam mengetahui kebaikan dan kejahatan, atau t 17 %
ma bukanlah aturan obyektif yang bisa begitu saja didesakkan secara paksa dari luar. Itulah sebabnya, sebuah hadis mengatakan “i 36 %
manusia sebagai subyek yang bebas, dengan akal yang bekerja secara leluasa. Qur’an mengatakan, “qad tabayyanar rushdu minal gha 87 %
Otonom atau tidak? Marilah kita mulai dengan pertanyaan sederhana: apakah manusia bisa, dengan akal, intuisi dan fitrahnya, men 14 %
arang-barang yang diangkutnya. Wahyu tidak akan berguna bagi seekor keledai. Dan tak ada gunanya mendakwahkan kedalaman dan kese 52 %
hadis mengatakan “innamal a’malu bin niyyaat”, sesungguhnya segala tindakan tidaklah akan menjadi tindakan yang “genuine” tanpa 37 %
an yang tetap seperti sebuah “idol”. Saya berpandangan bahwa seharusnya manusia berhubungan dengan Allah bukan dengan cara seperti i 83 %
h penundukan manusia. Manusia seolah-olah ancaman bagi Tuhan sehingga harus ditundukkan kepada kehendak-Nya. Tidak ada pemahaman y 72 %
ggris. Sebab, penyembahan mempunyai makna yang negatif dalam sejumlah hal. Penyembahan mengandaikan bahwa obyek yang “disembah 78 %
, dan Kebebasan: Tentang Makna “Liberal” dalam Islam Liberal sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyan 1 %
m Islam dirumuskan. Dalam diskusi-diskusi itu, kelihatan sekali bahwa tekanan diberikan kepada “kewajiban”, yaitu kewajiban 10 %
emacam itu, kerapkali ditempatkan sebagai “barang” yang sama sekali kosong dari suatu motif yang bebas. Inilah proses vulgarisas 47 %
h memulihkan kembali integritas wahyu dan Islam itu sendiri. sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyan 99 %
elah disangkal, apakah yang tersisa dari manusia semacam itu selain “jasad” yang pasif. Nabi pernah bersaba, “ad dinu huwal ‘aql 54 %
menempati kedudukan yang begitu sentral. Setiap orang Islam selalu peduli pada apa yang dia kerjakan, apakah pebuatan itu boleh 6 %
anggih, yaitu bidang fikih. Setiap pembicaraan tentang hukum selalu rujukannya adalah fikih. Ketika muncul diskusi yang ramai so 8 %
tama mereka itu sudah mengingkari nilai kemanusiaan. Keledai selalu takut pada kebebasan, dan terus-menerus mencari majikan yang 64 %
lah obyek yang “mati”, di-reifikasi, di-fiksasi. Penyembahan selalu merupakan proses yang sepihak, bukan proses dialogal yang hi 79 %
a dapat menentukan batas-batas tersebut, tidak berarti bahwa seluruh batas itu sudah diketahui oleh akal dari hari pertama. Akal 22 %
ir mustahil bagi akal manusia yang terbatas untuk menjangkau seluruh horison wahyu. Karena cakrawala wahyu yang terbentang luas i 30 %
iap hal tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan cara pandang semacam itu, Islam liberal dipandang sebagai ancaman terhadap kebera 4 %
an populer kerapkali menggambarkan wahyu sebagai “leviathan” semacam itu. Manusia, dalam pandangan populer semacam itu, kerapkali 46 %
ai “leviathan” semacam itu. Manusia, dalam pandangan populer semacam itu, kerapkali ditempatkan sebagai “barang” yang sama sekali 47 %
. Khaled Abou El Fadl. Dalam situasi yang sudah “vulgar” semacam itu, yang pertama perlu direstorasi adalah martabat manusia 48 %
byek moral telah disangkal, apakah yang tersisa dari manusia semacam itu selain “jasad” yang pasif. Nabi pernah bersaba, “ad dinu 54 %
isa ditawar-tawar lagi. Banyak orang mengira bahwa kebebasan semacam itu menyebabkan manusia memberontak kepada agama dan wahyu. 56 %
enuntunnya. Sesungguhnya Islam tidak membutuhkan orang-orang semacam itu. Kecemerlangan Islam justru akan dimungkinkan karena ada 66 %
gan “I-it”, “aku-dan-dia”. Allah, dalam kerangka penyembahan semacam itu, telah “dibendakan”. Allah yang disembah adalah Allah ya 81 %
a kata liberal dalam “Islam liberal” dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata “liberal” di sini tidak ada sangkut pautnya dengan 96 %
bahasa hak dan kebebasan manusia. Islam liberal muncul dalam semangat untuk menyeimbangkan “neraca” antara bahasa kewajiban dan ke 12 %
an. Ini jelas suatu citraan manusia yang tidak sesuai dengan semangat Islam. Saya kurang setuju dengan penerjemahan kata “ibadah” 76 %
Fokus pertama dalam agama adalah manusia itu sendiri, bukan semata-mata Tuhan. Adalah salah besar suatu anggapan populer yang mengat 68 %
lukan akal yang bertanggung jawab dan penuh integritas. Kita semua tahu, bahwa wahyu itu adalah laksana horison atau cakrawala 29 %
Apakah gunanya agama, jika toh manusia sudah mampu mencapai sendiri pemahaman mengenai “yang baik” dan “yang jahat”? Apakah manu 16 %
dalah Mu’tazilah yang memandang bahwa manusia dengan akalnya sendiri dapat mengetahui batas-batas kebaikan dan kejahatan, batas-b 20 %
’an dan Hadis. Tetapi, proses-proses kesejarahan dalam Islam sendiri telah mengubah agama itu menjadi agama hukum yang dilandaska 91 %
ahwa agama itu tidak lain adalah penundukan manusia. Manusia seolah-olah ancaman bagi Tuhan sehingga harus ditundukkan kepada kehenda 72 %
bahwa tekanan diberikan kepada “kewajiban”, yaitu kewajiban seorang Muslim terhadap Allah, sesama manusia, dan dirinya sendiri. 10 %
ang lebih kotor mengenai hakikat ketuhanan kecuali pemahaman seperti ini. Pandangan mengenai manusia sebagai Prometheus yang bers 73 %
yang diberhalakan, yang di-fiksasi dalam gambaran yang tetap seperti sebuah “idol”. Saya berpandangan bahwa seharusnya manusia be 82 %
eharusnya manusia berhubungan dengan Allah bukan dengan cara seperti itu. Hubungan yang tepat antara manusia dengan Allah adalah 83 %
yaitu wahyu yang telah dibajak oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang bersifat duniawi. Agar wahyu itu bisa pulih kembali dan 27 %
“kewajiban”, yaitu kewajiban seorang Muslim terhadap Allah, sesama manusia, dan dirinya sendiri. Bahasa kewajiban lebih menonjo 11 %
h kehendak Tuhan. Ini jelas suatu citraan manusia yang tidak sesuai dengan semangat Islam. Saya kurang setuju dengan penerjemaha 76 %
hyu yang terbentang luas itu, maka siapapun dapat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. Garansi bahwa wahyu dapat dipahami dengan t 31 %
fsika wa karihta an yath-thali’a ‘alaihin naas”. Dosa adalah sesuatu yang menimbulkan kekeruhan dan kekacauan di hatimu, dan kamu 33 %
abnya, sebuah hadis mengatakan “innamal a’malu bin niyyaat”, sesungguhnya segala tindakan tidaklah akan menjadi tindakan yang “genuine 37 %
n, dan terus-menerus mencari majikan yang dapat menuntunnya. sesungguhnya Islam tidak membutuhkan orang-orang semacam itu. Kecemerlang 65 %
i adalah bahwa dengan membubuhkan kata “liberal” pada Islam, sesunggunya saya hendak menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam 94 %
agama. Manusia baru tahu bahwa tindakan ini jahat atau baik setelah mendapatkan pengajaran dari agama. Golongan kedua adalah Mu’ 19 %
disetarakan dengan sikap permisif, ibahiyah; sikap menolerir setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan cara pandang sem 3 %
ak boleh (mahdzur), menempati kedudukan yang begitu sentral. setiap orang Islam selalu peduli pada apa yang dia kerjakan, apakah 6 %
inggalkan ribuan literatur yang canggih, yaitu bidang fikih. setiap pembicaraan tentang hukum selalu rujukannya adalah fikih. Ke 8 %
perkaya wawasan akal manusia untuk memahami batas-batas itu. setiap wahyu membawa suatu wawasan tertentu mengenai “yang baik” da 25 %
manusia yang tidak sesuai dengan semangat Islam. Saya kurang setuju dengan penerjemahan kata “ibadah” sebagai penyembahan, atau 77 %
wahyu. Karena cakrawala wahyu yang terbentang luas itu, maka siapapun dapat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. Garansi bahwa wahy 31 %
mu’min khairun min ‘amalihi”, niat dan dorongan emotif yang sifatnya subyektif lebih mulia dari tindakan. Wilayah niat ada dalam 39 %
makna kebebasan tanpa batas, atau bahkan disetarakan dengan sikap permisif, ibahiyah; sikap menolerir setiap hal tanpa mengena 3 %
as, atau bahkan disetarakan dengan sikap permisif, ibahiyah; sikap menolerir setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan 3 %
dak ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan sikap-sikap permisif yang melawan kecenderungan “intrinsik” dalam akal m 97 %
eral” dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata “liberal” di sini tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, deng 96 %
na pernah ditunjuk oleh Prof. Khaled Abou El Fadl. Dalam situasi yang sudah “vulgar” semacam itu, yang pertama perlu direstor 48 %
lu rujukannya adalah fikih. Ketika muncul diskusi yang ramai soal penerapan hukum Islam, maka fikih menjadi fokus perhatian, s 8 %
tema dasar yang menjadi debat dalam pemikiran Islam klasik: soal tindakan manusia (af’alul ‘ibad). Otonom atau tidak? M 13 %
h diketahui, bahwa agama pada menit pertama adalah merupakan soal keinsafan/kesadaran pribadi; agama bukanlah aturan obyektif 35 %
buatan itu boleh atau tidak. Inilah yang kemudian melahirkan suatu bidang kajian yang sangat kaya dan meninggalkan ribuan liter 7 %
manusia untuk memahami batas-batas itu. Setiap wahyu membawa suatu wawasan tertentu mengenai “yang baik” dan “yang jahat”. Wahy 25 %
epaskan dari motif subyektif manusia. Saya tidak melihat suatu ide apapun dalam Islam di mana manusia ditempatkan sebagai o 41 %
al, sementara, dan licik, dan karena itu wahyu turun sebagai suatu “leviathan” yang bengis. Islam meletakkan manusia dalam posi 44 %
li ditempatkan sebagai “barang” yang sama sekali kosong dari suatu motif yang bebas. Inilah proses vulgarisasi Islam sebagaiman 47 %
diketahui, maka Aku ciptakan manusia.” Hadis ini memberikan suatu penegasan yang penting bahwa manusia diciptakan untuk “mengg 61 %
sia itu sendiri, bukan semata-mata Tuhan. Adalah salah besar suatu anggapan populer yang mengatakan bahwa tugas pokok manusia a 69 %
kalangan umat Islam mengenai ayat tersebut cenderung kepada suatu citra manusia sebagai Prometheus. Bedanya, Prometheus versi 75 %
adalah Prometheus yang kalah oleh kehendak Tuhan. Ini jelas suatu citraan manusia yang tidak sesuai dengan semangat Islam. Say 76 %
bebasan manusia dibatasi, maka dimensi-dimensi terdalam yang subtil dari wahyu akan sulit diungkapkan oleh manusia. Sebab, untuk 58 %
si adalah martabat manusia itu sendiri. Jika manusia sebagai subyek moral yang bebas sudah tidak lagi ada atau disangkal, apakah 49 %
manusia telah dikosongkan dari motif, dan otonominya sebagai subyek moral telah disangkal, apakah yang tersisa dari manusia sema 53 %
ngkin terjadi jika tidak mengandaikan adanya manusia sebagai subyek yang bebas dan otonom. Orang-orang yang mengatakan bahwa 63 %
proses yang sepihak, bukan proses dialogal yang hidup antara subyek dan subyek. Jika diletakkan dalam kerangka filsafat Martin B 79 %
apa-apa jika tidak diletakkan dalam kerangka manusia sebagai subyek yang bebas, dengan akal yang bekerja secara leluasa. Qur’an 87 %
hairun min ‘amalihi”, niat dan dorongan emotif yang sifatnya subyektif lebih mulia dari tindakan. Wilayah niat ada dalam wilayah su 39 %
bermakna dalam kerangka beragama jika dilepaskan dari motif subyektif manusia. Saya tidak melihat suatu ide apapun dalam Islam 41 %
if lebih mulia dari tindakan. Wilayah niat ada dalam wilayah subyektivitas manusia; wilayah itu mempunyai ciri-ciri kebebasan. Jadi, at 39 %
liberal dipandang sebagai ancaman terhadap keberagamaan yang sudah terlembaga. Dalam Islam, persoalan “batasan” (hadd) anta 5 %
wahyu dari “langit”? Apakah gunanya agama, jika toh manusia sudah mampu mencapai sendiri pemahaman mengenai “yang baik” dan “y 16 %
batas-batas kebaikan dan kejahatan, batas-batas kepantasan. sudah tentu, jika dikatakan bahwa akal manusia dapat menentukan ba 21 %
batas-batas tersebut, tidak berarti bahwa seluruh batas itu sudah diketahui oleh akal dari hari pertama. Akal manusia berkemba 22 %
unjuk oleh Prof. Khaled Abou El Fadl. Dalam situasi yang sudah “vulgar” semacam itu, yang pertama perlu direstorasi adalah 48 %
ia itu sendiri. Jika manusia sebagai subyek moral yang bebas sudah tidak lagi ada atau disangkal, apakah gunanya sebuah agama? 49 %
a manusia ke jurang kesesatan, dari menit pertama mereka itu sudah mengingkari nilai kemanusiaan. Keledai selalu takut pada keb 64 %
sia yang matang. Sebuah hadis qudsi yang populer di kalangan sufi menyatakan, “Aku (Allah) adalah ‘kanzun makhfiyy’, harta kar 60 %
menimbulkan kekeruhan dan kekacauan di hatimu, dan kamu tak suka orang lain melihatmu melakukannya. Hadis ini memberikan teka 33 %
i, maka dimensi-dimensi terdalam yang subtil dari wahyu akan sulit diungkapkan oleh manusia. Sebab, untuk memahami kompleksitas 59 %
bisa pulih kembali dan memperoleh inegritasnya lagi sebagai sumber moralitas, maka diperlukan akal yang bertanggung jawab dan p 28 %
ngingkarinya. Fakta-fakta ini begitu jelasnya tertuang dalam sumber utama ajaran Islam, Qur’an dan Hadis. Tetapi, proses-proses 90 %
tindakan yang “genuine” tanpa niat dan dorongan emotif yang sungguh-sungguh bertanggungjawab. Dalam hadis lain dikatakan, “niyyatul mu’m 38 %
tersedia dalam khazanah pemikiran Islam klasik. Ada golongan sunni yang dominan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan dan keja 18 %
al ghayy”, telah jelas jalan kebaikan dan kesesatan. “Fa man sya’a fal yu’min wan man sya’a fal yakfur,” jika manusia mau, dia 88 %
lan kebaikan dan kesesatan. “Fa man sya’a fal yu’min wan man sya’a fal yakfur,” jika manusia mau, dia boleh mengimani jalan itu 89 %
an akal yang bekerja secara leluasa. Qur’an mengatakan, “qad tabayyanar rushdu minal ghayy”, telah jelas jalan kebaikan dan kesesata 88 %
n kejahatan itu haruslah ditentukan oleh agama. Manusia baru tahu bahwa tindakan ini jahat atau baik setelah mendapatkan penga 19 %
lan “batasan” (hadd) antara mana yang boleh (mubah) dan yang tak boleh (mahdzur), menempati kedudukan yang begitu sentral. Se 5 %
, bahwa wahyu itu adalah laksana horison atau cakrawala yang tak berbatas. Hampir mustahil bagi akal manusia yang terbatas un 30 %
yang menimbulkan kekeruhan dan kekacauan di hatimu, dan kamu tak suka orang lain melihatmu melakukannya. Hadis ini memberikan 33 %
hummilut Taurata kamatsalil khimari yahmilu asfaara. Keledai tak akan pernah bisa mendapatkan manfaat apapun dari barang-bara 51 %
angkutnya. Wahyu tidak akan berguna bagi seekor keledai. Dan tak ada gunanya mendakwahkan kedalaman dan kesempurnaan wahyu ke 52 %
a lahu”, agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tak mempunyai akal. Oleh karena itu, kebebasan manusia adala 55 %
eh karena itu, kebebasan manusia adalah perkara prinsip yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Banyak orang mengira bahwa kebebasa 56 %
si yang tersembunyi dalam wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi jika tidak mengandaikan adanya manusia sebag 62 %
reka itu sudah mengingkari nilai kemanusiaan. Keledai selalu takut pada kebebasan, dan terus-menerus mencari majikan yang dapat 64 %
ilah “liberal” dalam Islam liberal mempunyai makna kebebasan tanpa batas, atau bahkan disetarakan dengan sikap permisif, ibahiy 3 %
dengan sikap permisif, ibahiyah; sikap menolerir setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan cara pandang semacam itu, 4 %
egala tindakan tidaklah akan menjadi tindakan yang “genuine” tanpa niat dan dorongan emotif yang sungguh-sungguh bertanggungjaw 37 %
“liberal” di sini tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan sikap-sikap permisif yang melawan kecenderunga 97 %
g mengangkut berjilid-jilid kitab”, matsalulladzina hummilut taurata kamatsalil khimari yahmilu asfaara. Keledai tak akan pernah 51 %
in melihatmu melakukannya. Hadis ini memberikan tekanan yang tegas kepada kemampuan manusia, berdasarkan intuisinya, untuk menc 34 %
uskan. Dalam diskusi-diskusi itu, kelihatan sekali bahwa tekanan diberikan kepada “kewajiban”, yaitu kewajiban seorang Muslim 10 %
suka orang lain melihatmu melakukannya. Hadis ini memberikan tekanan yang tegas kepada kemampuan manusia, berdasarkan intuisinya, 34 %
eral Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah dip 1 %
manakala wahyu itu mengalami “vulgarisasi”, yaitu wahyu yang telah dibajak oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang bersifat du 27 %
kedalaman dan kesempurnaan wahyu kepad keledai. Jika manusia telah dikosongkan dari motif, dan otonominya sebagai subyek moral 53 %
dikosongkan dari motif, dan otonominya sebagai subyek moral telah disangkal, apakah yang tersisa dari manusia semacam itu sela 54 %
da yang mengira bahwa dengan membatasi kebebasan itu, mereka telah melindungi wahyu. Ini jelas pandangan yang salah. Sebab, beg 57 %
rang yang mengatakan bahwa dengan memberikan kebebasan, anda telah menjerumuska manusia ke jurang kesesatan, dari menit pertama 63 %
aku-dan-dia”. Allah, dalam kerangka penyembahan semacam itu, telah “dibendakan”. Allah yang disembah adalah Allah yang diberhal 81 %
asa. Qur’an mengatakan, “qad tabayyanar rushdu minal ghayy”, telah jelas jalan kebaikan dan kesesatan. “Fa man sya’a fal yu’min 88 %
Hadis. Tetapi, proses-proses kesejarahan dalam Islam sendiri telah mengubah agama itu menjadi agama hukum yang dilandaskan kepa 91 %
empatkan manusia pada fokus penghayatan keagamaan, maka kita telah memulihkan kembali integritas wahyu dan Islam itu sendiri. 98 %
. Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. 99 %
dan kebebasan/hak ini. Untuk itu, marilah kita masuki sebuah tema dasar yang menjadi debat dalam pemikiran Islam klasik: soal 13 %
Agama, Akal, dan Kebebasan: tentang Makna “Liberal” dalam Islam Liberal Sekali lagi, Islam tida 0 %
teratur yang canggih, yaitu bidang fikih. Setiap pembicaraan tentang hukum selalu rujukannya adalah fikih. Ketika muncul diskusi 8 %
u atas nama wahyu. Garansi bahwa wahyu dapat dipahami dengan tepat adalah integritas akal manusia itu sendiri. Salah satu h 31 %
an dengan Allah bukan dengan cara seperti itu. Hubungan yang tepat antara manusia dengan Allah adalah hubungan dalam kerangka “ 83 %
abat manusia dan Allah itu sendiri. Arti ayat tersebut lebih tepat dipahami sebagai hubungan Allah-manusia dalam model “I-Thou” 85 %
la yang tak berbatas. Hampir mustahil bagi akal manusia yang terbatas untuk menjangkau seluruh horison wahyu. Karena cakrawala wah 30 %
enjangkau seluruh horison wahyu. Karena cakrawala wahyu yang terbentang luas itu, maka siapapun dapat mengatakan sesuatu atas nama w 31 %
bab, begitu kebebasan manusia dibatasi, maka dimensi-dimensi terdalam yang subtil dari wahyu akan sulit diungkapkan oleh manusia. 58 %
pikir bebas dan kemudian mampu menyingkapkan rahasia-rahasia terdalam dari wahyu. Ibadah sebagai “I-Thou” Tujuan pokok da 67 %
a moral otonom dalam mengetahui kebaikan dan kejahatan, atau tergantung pada entitas di luar dirinya? Dalam masalah ini, ada dua 17 %
pandang semacam itu, Islam liberal dipandang sebagai ancaman terhadap keberagamaan yang sudah terlembaga. Dalam Islam, persoal 4 %
diberikan kepada “kewajiban”, yaitu kewajiban seorang Muslim terhadap Allah, sesama manusia, dan dirinya sendiri. Bahasa kewajiban 10 %
embunyi dalam wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi jika tidak mengandaikan adanya manusia sebagai subyek yang b 62 %
artisipan yang aktif dalam menafsiran ide-ide ketuhanan yang terkandung dalam wahyu. Saya tidak pernah membayangkan bahwa wahyu dala 43 %
populer yang berkembang di kalangan umat Islam mengenai ayat tersebut cenderung kepada suatu citra manusia sebagai Prometheus. Bed 75 %
merosotkan martabat manusia dan Allah itu sendiri. Arti ayat tersebut lebih tepat dipahami sebagai hubungan Allah-manusia dalam mo 85 %
di luar dirinya? Dalam masalah ini, ada dua jawaban yang tersedia dalam khazanah pemikiran Islam klasik. Ada golongan Sunni ya 18 %
hwa manusia diciptakan untuk “menggali” dimensi-dimensi yang tersembunyi dalam wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi 62 %
otonominya sebagai subyek moral telah disangkal, apakah yang tersisa dari manusia semacam itu selain “jasad” yang pasif. Nabi per 54 %
n bagi keledai. Oleh: Ulil Abshar-Abdalla Ada kesan yang tertanam dalam sebagian orang, bahwa istilah “liberal” dalam Islam li 2 %
memahami batas-batas itu. Setiap wahyu membawa suatu wawasan tertentu mengenai “yang baik” dan “yang jahat”. Wahyu dapat mengangka 25 %
u, dia boleh mengingkarinya. Fakta-fakta ini begitu jelasnya tertuang dalam sumber utama ajaran Islam, Qur’an dan Hadis. Tetapi, p 90 %
nilai kemanusiaan. Keledai selalu takut pada kebebasan, dan terus-menerus mencari majikan yang dapat menuntunnya. Sesungguhnya Islam t 65 %
Allah yang diberhalakan, yang di-fiksasi dalam gambaran yang tetap seperti sebuah “idol”. Saya berpandangan bahwa seharusnya ma 82 %
ungan Allah-manusia dalam model “I-Thou”; bukan penyembahan, tetapi proses dialogal yang kreatif. Penyembahan pada Tuhan tid 86 %
tang Makna “Liberal” dalam Islam Liberal Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan i 1 %
an bahwa akal manusia dapat menentukan batas-batas tersebut, tidak berarti bahwa seluruh batas itu sudah diketahui oleh akal da 22 %
agama jika dilepaskan dari motif subyektif manusia. Saya tidak melihat suatu ide apapun dalam Islam di mana manusia ditempa 41 %
nafsiran ide-ide ketuhanan yang terkandung dalam wahyu. Saya tidak pernah membayangkan bahwa wahyu dalam pandangan Islam memand 43 %
sendiri. Jika manusia sebagai subyek moral yang bebas sudah tidak lagi ada atau disangkal, apakah gunanya sebuah agama? Qur’an 49 %
an manfaat apapun dari barang-barang yang diangkutnya. Wahyu tidak akan berguna bagi seekor keledai. Dan tak ada gunanya mendak 52 %
huwal ‘aql, la dina liman la ‘aqla lahu”, agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tak mempunyai akal. Oleh kare 55 %
wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi jika tidak mengandaikan adanya manusia sebagai subyek yang bebas dan ot 62 %
s mencari majikan yang dapat menuntunnya. Sesungguhnya Islam tidak membutuhkan orang-orang semacam itu. Kecemerlangan Islam jus 65 %
s ayat “wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun,” dan tidak Aku ciptakan manusia kecuali untuk menyembah-Ku. Ayat ini, j 70 %
ang cenderung anti-humanistik, dapat berarti bahwa agama itu tidak lain adalah penundukan manusia. Manusia seolah-olah ancaman 72 %
n bagi Tuhan sehingga harus ditundukkan kepada kehendak-Nya. tidak ada pemahaman yang lebih kotor mengenai hakikat ketuhanan ke 73 %
ah oleh kehendak Tuhan. Ini jelas suatu citraan manusia yang tidak sesuai dengan semangat Islam. Saya kurang setuju dengan pene 76 %
api proses dialogal yang kreatif. Penyembahan pada Tuhan tidak mempunyai makna apa-apa jika tidak diletakkan dalam kerangka 86 %
Penyembahan pada Tuhan tidak mempunyai makna apa-apa jika tidak diletakkan dalam kerangka manusia sebagai subyek yang bebas, 87 %
pemaksaan, dengan lebih banyak menekankan bahasa kewajiban. tidak ada yang lebih berbahaya bagi Islam kecuali pandangan yang m 92 %
dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata “liberal” di sini tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan sik 96 %
tegritas wahyu dan Islam itu sendiri. Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan i 99 %
tang Makna “Liberal” dalam Islam Liberal Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan i 1 %
an bahwa akal manusia dapat menentukan batas-batas tersebut, tidak berarti bahwa seluruh batas itu sudah diketahui oleh akal da 22 %
agama jika dilepaskan dari motif subyektif manusia. Saya tidak melihat suatu ide apapun dalam Islam di mana manusia ditempa 41 %
nafsiran ide-ide ketuhanan yang terkandung dalam wahyu. Saya tidak pernah membayangkan bahwa wahyu dalam pandangan Islam memand 43 %
sendiri. Jika manusia sebagai subyek moral yang bebas sudah tidak lagi ada atau disangkal, apakah gunanya sebuah agama? Qur’an 49 %
an manfaat apapun dari barang-barang yang diangkutnya. Wahyu tidak akan berguna bagi seekor keledai. Dan tak ada gunanya mendak 52 %
huwal ‘aql, la dina liman la ‘aqla lahu”, agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tak mempunyai akal. Oleh kare 55 %
wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi jika tidak mengandaikan adanya manusia sebagai subyek yang bebas dan ot 62 %
s mencari majikan yang dapat menuntunnya. Sesungguhnya Islam tidak membutuhkan orang-orang semacam itu. Kecemerlangan Islam jus 65 %
s ayat “wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun,” dan tidak Aku ciptakan manusia kecuali untuk menyembah-Ku. Ayat ini, j 70 %
ang cenderung anti-humanistik, dapat berarti bahwa agama itu tidak lain adalah penundukan manusia. Manusia seolah-olah ancaman 72 %
n bagi Tuhan sehingga harus ditundukkan kepada kehendak-Nya. tidak ada pemahaman yang lebih kotor mengenai hakikat ketuhanan ke 73 %
ah oleh kehendak Tuhan. Ini jelas suatu citraan manusia yang tidak sesuai dengan semangat Islam. Saya kurang setuju dengan pene 76 %
api proses dialogal yang kreatif. Penyembahan pada Tuhan tidak mempunyai makna apa-apa jika tidak diletakkan dalam kerangka 86 %
Penyembahan pada Tuhan tidak mempunyai makna apa-apa jika tidak diletakkan dalam kerangka manusia sebagai subyek yang bebas, 87 %
pemaksaan, dengan lebih banyak menekankan bahasa kewajiban. tidak ada yang lebih berbahaya bagi Islam kecuali pandangan yang m 92 %
dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata “liberal” di sini tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan sik 96 %
tegritas wahyu dan Islam itu sendiri. Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan i 99 %
n “innamal a’malu bin niyyaat”, sesungguhnya segala tindakan tidaklah akan menjadi tindakan yang “genuine” tanpa niat dan dorongan 37 %
an. Jadi, aturan-aturan obyektif yang ditetapkan oleh agama, tidaklah bermakna dalam kerangka beragama jika dilepaskan dari motif 40 %
dasar yang menjadi debat dalam pemikiran Islam klasik: soal tindakan manusia (af’alul ‘ibad). Otonom atau tidak? Marilah ki 13 %
itu haruslah ditentukan oleh agama. Manusia baru tahu bahwa tindakan ini jahat atau baik setelah mendapatkan pengajaran dari agam 19 %
mengatakan “innamal a’malu bin niyyaat”, sesungguhnya segala tindakan tidaklah akan menjadi tindakan yang “genuine” tanpa niat dan 37 %
niyyaat”, sesungguhnya segala tindakan tidaklah akan menjadi tindakan yang “genuine” tanpa niat dan dorongan emotif yang sungguh-s 37 %
dapat mengangkat derajat akal manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat lebih memahami batas-batas. Tetapi, 26 %
“yang jahat”. Wahyu dapat mengangkat derajat akal manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat lebih memahami bat 26 %
us menungguh wahyu dari “langit”? Apakah gunanya agama, jika toh manusia sudah mampu mencapai sendiri pemahaman mengenai “yan 16 %
posisi yang penuh martabat, sebagai “khalifah” yang memenuhi tugas ketuhanan untuk memperbaiki kehidupan di bumi. Pandangan-pan 45 %
lah salah besar suatu anggapan populer yang mengatakan bahwa tugas pokok manusia adalah “menyembah” Tuhan. Pandangan ini bersum 69 %
adalah penundukan manusia. Manusia seolah-olah ancaman bagi tuhan sehingga harus ditundukkan kepada kehendak-Nya. Tidak ada pe 72 %
an mengenai manusia sebagai Prometheus yang berseteru dengan tuhan hanyalah ada dalam mitos Yunani kuno. Saya melihat, pandanga 74 %
n, tetapi proses dialogal yang kreatif. Penyembahan pada tuhan tidak mempunyai makna apa-apa jika tidak diletakkan dalam ke 86 %
ang ditegakkan atas paksaan. Kesimpulan yang hendak saya tuju dari ulasan yang agak “ruwet” dan panjang ini adalah bahwa d 93 %
a-rahasia terdalam dari wahyu. Ibadah sebagai “I-Thou” tujuan pokok dari agama adalah mengangkat martabat kemanusiaan. Wah 67 %
ng kotor, brutal, sementara, dan licik, dan karena itu wahyu turun sebagai suatu “leviathan” yang bengis. Islam meletakkan manu 44 %
kkan atas paksaan. Kesimpulan yang hendak saya tuju dari ulasan yang agak “ruwet” dan panjang ini adalah bahwa dengan membub 93 %
i. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. Oleh: ulil Abshar-Abdalla Ada kesan yang tertanam dalam sebagian orang 2 %
Saya melihat, pandangan populer yang berkembang di kalangan umat Islam mengenai ayat tersebut cenderung kepada suatu citra ma 75 %
k dan kebebasan manusia. Islam liberal muncul dalam semangat untuk menyeimbangkan “neraca” antara bahasa kewajiban dan kebebasa 12 %
gkan “neraca” antara bahasa kewajiban dan kebebasan/hak ini. untuk itu, marilah kita masuki sebuah tema dasar yang menjadi deba 12 %
ahaman yang mendalam mengenai kebaikan dan kejahatan? Apakah untuk mengetahui hal-hal itu, manusia harus menungguh wahyu dari “ 15 %
menepiskan peran wahyu dalam memperkaya wawasan akal manusia untuk memahami batas-batas itu. Setiap wahyu membawa suatu wawasan 24 %
erajat akal manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat lebih memahami batas-batas. Tetapi, wahyu bisa memeros 26 %
ak berbatas. Hampir mustahil bagi akal manusia yang terbatas untuk menjangkau seluruh horison wahyu. Karena cakrawala wahyu yan 30 %
yang tegas kepada kemampuan manusia, berdasarkan intuisinya, untuk mencapai pemahaman yang benar mengenai dosa. Kenapa demikian 34 %
h martabat, sebagai “khalifah” yang memenuhi tugas ketuhanan untuk memperbaiki kehidupan di bumi. Pandangan-pandangan keislaman 45 %
ubtil dari wahyu akan sulit diungkapkan oleh manusia. Sebab, untuk memahami kompleksitas wahyu, diperlukan akal manusia yang ma 59 %
erikan suatu penegasan yang penting bahwa manusia diciptakan untuk “menggali” dimensi-dimensi yang tersembunyi dalam wahyu dan 61 %
nsa illa liya’budun,” dan tidak Aku ciptakan manusia kecuali untuk menyembah-Ku. Ayat ini, jika dipahami dalam kerangka populer 71 %
rinya. Fakta-fakta ini begitu jelasnya tertuang dalam sumber utama ajaran Islam, Qur’an dan Hadis. Tetapi, proses-proses keseja 90 %
suatu citra manusia sebagai Prometheus. Bedanya, Prometheus versi Islam adalah Prometheus yang kalah oleh kehendak Tuhan. Ini 76 %
ama sekali kosong dari suatu motif yang bebas. Inilah proses vulgarisasi Islam sebagaimana pernah ditunjuk oleh Prof. Khaled Abou El 48 %
lah satu hadis Nabi mengatakan, “al itsmu ma haka fi nafsika wa karihta an yath-thali’a ‘alaihin naas”. Dosa adalah sesuatu 32 %
Apakah untuk mengetahui hal-hal itu, manusia harus menungguh wahyu dari “langit”? Apakah gunanya agama, jika toh manusia sudah 15 %
ima pendapat Mu’tazilah, bukan berarti saya menepiskan peran wahyu dalam memperkaya wawasan akal manusia untuk memahami batas-b 24 %
wawasan akal manusia untuk memahami batas-batas itu. Setiap wahyu membawa suatu wawasan tertentu mengenai “yang baik” dan “yan 25 %
uatu wawasan tertentu mengenai “yang baik” dan “yang jahat”. wahyu dapat mengangkat derajat akal manusia ke tingkat yang lebih 25 %
dan bermutu untuk dapat lebih memahami batas-batas. Tetapi, wahyu bisa memerosotkan akal manusia, manakala wahyu itu mengalami 26 %
atas. Tetapi, wahyu bisa memerosotkan akal manusia, manakala wahyu itu mengalami “vulgarisasi”, yaitu wahyu yang telah dibajak 27 %
l manusia, manakala wahyu itu mengalami “vulgarisasi”, yaitu wahyu yang telah dibajak oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang 27 %
h kepentingan-kepentingan sesaat yang bersifat duniawi. Agar wahyu itu bisa pulih kembali dan memperoleh inegritasnya lagi seba 28 %
rtanggung jawab dan penuh integritas. Kita semua tahu, bahwa wahyu itu adalah laksana horison atau cakrawala yang tak berbatas. 29 %
tas untuk menjangkau seluruh horison wahyu. Karena cakrawala wahyu yang terbentang luas itu, maka siapapun dapat mengatakan ses 30 %
apun dapat mengatakan sesuatu atas nama wahyu. Garansi bahwa wahyu dapat dipahami dengan tepat adalah integritas akal manusia i 31 %
terkandung dalam wahyu. Saya tidak pernah membayangkan bahwa wahyu dalam pandangan Islam memandang “dunia manusia” sebagai duni 43 %
ian yang kotor, brutal, sementara, dan licik, dan karena itu wahyu turun sebagai suatu “leviathan” yang bengis. Islam meletakka 44 %
andangan-pandangan keislaman populer kerapkali menggambarkan wahyu sebagai “leviathan” semacam itu. Manusia, dalam pandangan po 46 %
dapatkan manfaat apapun dari barang-barang yang diangkutnya. wahyu tidak akan berguna bagi seekor keledai. Dan tak ada gunanya 52 %
Dan tak ada gunanya mendakwahkan kedalaman dan kesempurnaan wahyu kepad keledai. Jika manusia telah dikosongkan dari motif, da 53 %
sia dibatasi, maka dimensi-dimensi terdalam yang subtil dari wahyu akan sulit diungkapkan oleh manusia. Sebab, untuk memahami k 59 %
akan untuk “menggali” dimensi-dimensi yang tersembunyi dalam wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi jika tidak 62 %
uan pokok dari agama adalah mengangkat martabat kemanusiaan. wahyu adalah sarana saja menuju ke arah itu. Fokus pertama dalam a 68 %
tan keagamaan, maka kita telah memulihkan kembali integritas wahyu dan Islam itu sendiri. Sekali lagi, Islam tidak berguna 99 %
r dari pemahaman yang salah atas ayat “wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun,” dan tidak Aku ciptakan manusia kecual 70 %
jelas jalan kebaikan dan kesesatan. “Fa man sya’a fal yu’min wan man sya’a fal yakfur,” jika manusia mau, dia boleh mengimani 89 %
, bukan berarti saya menepiskan peran wahyu dalam memperkaya wawasan akal manusia untuk memahami batas-batas itu. Setiap wahyu me 24 %
a untuk memahami batas-batas itu. Setiap wahyu membawa suatu wawasan tertentu mengenai “yang baik” dan “yang jahat”. Wahyu dapat 25 %
an emotif yang sifatnya subyektif lebih mulia dari tindakan. wilayah niat ada dalam wilayah subyektivitas manusia; wilayah itu me 39 %
subyektif lebih mulia dari tindakan. Wilayah niat ada dalam wilayah subyektivitas manusia; wilayah itu mempunyai ciri-ciri kebeb 39 %
dakan. Wilayah niat ada dalam wilayah subyektivitas manusia; wilayah itu mempunyai ciri-ciri kebebasan. Jadi, aturan-aturan obyek 40 %
kitab”, matsalulladzina hummilut Taurata kamatsalil khimari yahmilu asfaara. Keledai tak akan pernah bisa mendapatkan manfaat ap 51 %
ah gunanya sebuah agama? Qur’an berkali-kali menyindir orang yahudi sebagai “keledai yang mengangkut berjilid-jilid kitab”, mats 50 %
sangat kaya dan meninggalkan ribuan literatur yang canggih, yaitu bidang fikih. Setiap pembicaraan tentang hukum selalu rujuka 8 %
kelihatan sekali bahwa tekanan diberikan kepada “kewajiban”, yaitu kewajiban seorang Muslim terhadap Allah, sesama manusia, dan 10 %
an akal manusia, manakala wahyu itu mengalami “vulgarisasi”, yaitu wahyu yang telah dibajak oleh kepentingan-kepentingan sesaat 27 %
m Liberal Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanl 1 %
tukkan bagi keledai. Oleh: Ulil Abshar-Abdalla Ada kesan yang tertanam dalam sebagian orang, bahwa istilah “liberal” dalam 2 %
f, ibahiyah; sikap menolerir setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan cara pandang semacam itu, Islam liberal dipand 4 %
slam liberal dipandang sebagai ancaman terhadap keberagamaan yang sudah terlembaga. Dalam Islam, persoalan “batasan” (hadd 5 %
aga. Dalam Islam, persoalan “batasan” (hadd) antara mana yang boleh (mubah) dan yang tak boleh (mahdzur), menempati kedudu 5 %
ersoalan “batasan” (hadd) antara mana yang boleh (mubah) dan yang tak boleh (mahdzur), menempati kedudukan yang begitu sentral 5 %
eh (mubah) dan yang tak boleh (mahdzur), menempati kedudukan yang begitu sentral. Setiap orang Islam selalu peduli pada apa ya 6 %
ng begitu sentral. Setiap orang Islam selalu peduli pada apa yang dia kerjakan, apakah pebuatan itu boleh atau tidak. Inilah y 6 %
g dia kerjakan, apakah pebuatan itu boleh atau tidak. Inilah yang kemudian melahirkan suatu bidang kajian yang sangat kaya dan 7 %
u tidak. Inilah yang kemudian melahirkan suatu bidang kajian yang sangat kaya dan meninggalkan ribuan literatur yang canggih, 7 %
ng kajian yang sangat kaya dan meninggalkan ribuan literatur yang canggih, yaitu bidang fikih. Setiap pembicaraan tentang huku 7 %
hukum selalu rujukannya adalah fikih. Ketika muncul diskusi yang ramai soal penerapan hukum Islam, maka fikih menjadi fokus p 8 %
an/hak ini. Untuk itu, marilah kita masuki sebuah tema dasar yang menjadi debat dalam pemikiran Islam klasik: soal tindakan ma 13 %
bisa, dengan akal, intuisi dan fitrahnya, mencapai pemahaman yang mendalam mengenai kebaikan dan kejahatan? Apakah untuk menge 14 %
itas di luar dirinya? Dalam masalah ini, ada dua jawaban yang tersedia dalam khazanah pemikiran Islam klasik. Ada golongan 18 %
ia dalam khazanah pemikiran Islam klasik. Ada golongan Sunni yang dominan, dengan pandangan pokok bahwa kebaikan dan kejahatan 18 %
tkan pengajaran dari agama. Golongan kedua adalah Mu’tazilah yang memandang bahwa manusia dengan akalnya sendiri dapat mengeta 20 %
hat”. Wahyu dapat mengangkat derajat akal manusia ke tingkat yang lebih tinggi dan bermutu untuk dapat lebih memahami batas-ba 26 %
sia, manakala wahyu itu mengalami “vulgarisasi”, yaitu wahyu yang telah dibajak oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang bersi 27 %
wahyu yang telah dibajak oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang bersifat duniawi. Agar wahyu itu bisa pulih kembali dan memp 28 %
ritasnya lagi sebagai sumber moralitas, maka diperlukan akal yang bertanggung jawab dan penuh integritas. Kita semua tahu, bah 29 %
tahu, bahwa wahyu itu adalah laksana horison atau cakrawala yang tak berbatas. Hampir mustahil bagi akal manusia yang terbata 29 %
krawala yang tak berbatas. Hampir mustahil bagi akal manusia yang terbatas untuk menjangkau seluruh horison wahyu. Karena cakr 30 %
tuk menjangkau seluruh horison wahyu. Karena cakrawala wahyu yang terbentang luas itu, maka siapapun dapat mengatakan sesuatu 30 %
karihta an yath-thali’a ‘alaihin naas”. Dosa adalah sesuatu yang menimbulkan kekeruhan dan kekacauan di hatimu, dan kamu tak 33 %
ng lain melihatmu melakukannya. Hadis ini memberikan tekanan yang tegas kepada kemampuan manusia, berdasarkan intuisinya, untu 34 %
an manusia, berdasarkan intuisinya, untuk mencapai pemahaman yang benar mengenai dosa. Kenapa demikian? Haruslah diketahui, ba 35 %
keinsafan/kesadaran pribadi; agama bukanlah aturan obyektif yang bisa begitu saja didesakkan secara paksa dari luar. Itulah s 36 %
sesungguhnya segala tindakan tidaklah akan menjadi tindakan yang “genuine” tanpa niat dan dorongan emotif yang sungguh-sunggu 37 %
njadi tindakan yang “genuine” tanpa niat dan dorongan emotif yang sungguh-sungguh bertanggungjawab. Dalam hadis lain dikatakan 38 %
yatul mu’min khairun min ‘amalihi”, niat dan dorongan emotif yang sifatnya subyektif lebih mulia dari tindakan. Wilayah niat a 39 %
mempunyai ciri-ciri kebebasan. Jadi, aturan-aturan obyektif yang ditetapkan oleh agama, tidaklah bermakna dalam kerangka bera 40 %
dalam Islam di mana manusia ditempatkan sebagai obyek moral yang pasif. Akal manusia merupakan partisipan yang aktif dalam me 42 %
ai obyek moral yang pasif. Akal manusia merupakan partisipan yang aktif dalam menafsiran ide-ide ketuhanan yang terkandung dal 42 %
kan partisipan yang aktif dalam menafsiran ide-ide ketuhanan yang terkandung dalam wahyu. Saya tidak pernah membayangkan bahwa 43 %
ngan Islam memandang “dunia manusia” sebagai dunia hobbesian yang kotor, brutal, sementara, dan licik, dan karena itu wahyu tu 44 %
licik, dan karena itu wahyu turun sebagai suatu “leviathan” yang bengis. Islam meletakkan manusia dalam posisi yang penuh mar 44 %
eviathan” yang bengis. Islam meletakkan manusia dalam posisi yang penuh martabat, sebagai “khalifah” yang memenuhi tugas ketuh 45 %
manusia dalam posisi yang penuh martabat, sebagai “khalifah” yang memenuhi tugas ketuhanan untuk memperbaiki kehidupan di bumi 45 %
populer semacam itu, kerapkali ditempatkan sebagai “barang” yang sama sekali kosong dari suatu motif yang bebas. Inilah prose 47 %
an sebagai “barang” yang sama sekali kosong dari suatu motif yang bebas. Inilah proses vulgarisasi Islam sebagaimana pernah di 47 %
h ditunjuk oleh Prof. Khaled Abou El Fadl. Dalam situasi yang sudah “vulgar” semacam itu, yang pertama perlu direstorasi a 48 %
El Fadl. Dalam situasi yang sudah “vulgar” semacam itu, yang pertama perlu direstorasi adalah martabat manusia itu sendir 49 %
tabat manusia itu sendiri. Jika manusia sebagai subyek moral yang bebas sudah tidak lagi ada atau disangkal, apakah gunanya se 49 %
Qur’an berkali-kali menyindir orang Yahudi sebagai “keledai yang mengangkut berjilid-jilid kitab”, matsalulladzina hummilut T 50 %
an pernah bisa mendapatkan manfaat apapun dari barang-barang yang diangkutnya. Wahyu tidak akan berguna bagi seekor keledai. D 52 %
dan otonominya sebagai subyek moral telah disangkal, apakah yang tersisa dari manusia semacam itu selain “jasad” yang pasif. 54 %
apakah yang tersisa dari manusia semacam itu selain “jasad” yang pasif. Nabi pernah bersaba, “ad dinu huwal ‘aql, la dina lim 54 %
‘aqla lahu”, agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tak mempunyai akal. Oleh karena itu, kebebasan manusia a 55 %
Oleh karena itu, kebebasan manusia adalah perkara prinsip yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Banyak orang mengira bahwa kebe 56 %
menyebabkan manusia memberontak kepada agama dan wahyu. Ada yang mengira bahwa dengan membatasi kebebasan itu, mereka telah m 57 %
asan itu, mereka telah melindungi wahyu. Ini jelas pandangan yang salah. Sebab, begitu kebebasan manusia dibatasi, maka dimens 58 %
tu kebebasan manusia dibatasi, maka dimensi-dimensi terdalam yang subtil dari wahyu akan sulit diungkapkan oleh manusia. Sebab 58 %
, untuk memahami kompleksitas wahyu, diperlukan akal manusia yang matang. Sebuah hadis qudsi yang populer di kalangan sufi men 59 %
hyu, diperlukan akal manusia yang matang. Sebuah hadis qudsi yang populer di kalangan sufi menyatakan, “Aku (Allah) adalah ‘ka 60 %
nyatakan, “Aku (Allah) adalah ‘kanzun makhfiyy’, harta karun yang tersembunyi. Aku ingin diketahui, maka Aku ciptakan manusia. 60 %
Aku ciptakan manusia.” Hadis ini memberikan suatu penegasan yang penting bahwa manusia diciptakan untuk “menggali” dimensi-di 61 %
ng bahwa manusia diciptakan untuk “menggali” dimensi-dimensi yang tersembunyi dalam wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mun 62 %
erjadi jika tidak mengandaikan adanya manusia sebagai subyek yang bebas dan otonom. Orang-orang yang mengatakan bahwa deng 63 %
anusia sebagai subyek yang bebas dan otonom. Orang-orang yang mengatakan bahwa dengan memberikan kebebasan, anda telah men 63 %
lalu takut pada kebebasan, dan terus-menerus mencari majikan yang dapat menuntunnya. Sesungguhnya Islam tidak membutuhkan oran 65 %
Islam justru akan dimungkinkan karena adanya manusia-manusia yang berpikir bebas dan kemudian mampu menyingkapkan rahasia-raha 66 %
semata-mata Tuhan. Adalah salah besar suatu anggapan populer yang mengatakan bahwa tugas pokok manusia adalah “menyembah” Tuha 69 %
ah “menyembah” Tuhan. Pandangan ini bersumber dari pemahaman yang salah atas ayat “wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’bu 70 %
menyembah-Ku. Ayat ini, jika dipahami dalam kerangka populer yang cenderung anti-humanistik, dapat berarti bahwa agama itu tid 71 %
a harus ditundukkan kepada kehendak-Nya. Tidak ada pemahaman yang lebih kotor mengenai hakikat ketuhanan kecuali pemahaman sep 73 %
n seperti ini. Pandangan mengenai manusia sebagai Prometheus yang berseteru dengan Tuhan hanyalah ada dalam mitos Yunani kuno. 74 %
ada dalam mitos Yunani kuno. Saya melihat, pandangan populer yang berkembang di kalangan umat Islam mengenai ayat tersebut cen 74 %
rometheus. Bedanya, Prometheus versi Islam adalah Prometheus yang kalah oleh kehendak Tuhan. Ini jelas suatu citraan manusia y 76 %
g kalah oleh kehendak Tuhan. Ini jelas suatu citraan manusia yang tidak sesuai dengan semangat Islam. Saya kurang setuju denga 76 %
ip” dalam bahasa Inggris. Sebab, penyembahan mempunyai makna yang negatif dalam sejumlah hal. Penyembahan mengandaikan bah 78 %
dalam sejumlah hal. Penyembahan mengandaikan bahwa obyek yang “disembah” adalah obyek yang “mati”, di-reifikasi, di-fiksas 78 %
mbahan mengandaikan bahwa obyek yang “disembah” adalah obyek yang “mati”, di-reifikasi, di-fiksasi. Penyembahan selalu merupak 78 %
i-reifikasi, di-fiksasi. Penyembahan selalu merupakan proses yang sepihak, bukan proses dialogal yang hidup antara subyek dan 79 %
selalu merupakan proses yang sepihak, bukan proses dialogal yang hidup antara subyek dan subyek. Jika diletakkan dalam kerang 79 %
kerangka penyembahan semacam itu, telah “dibendakan”. Allah yang disembah adalah Allah yang diberhalakan, yang di-fiksasi dal 82 %
am itu, telah “dibendakan”. Allah yang disembah adalah Allah yang diberhalakan, yang di-fiksasi dalam gambaran yang tetap sepe 82 %
ndakan”. Allah yang disembah adalah Allah yang diberhalakan, yang di-fiksasi dalam gambaran yang tetap seperti sebuah “idol”. 82 %
alah Allah yang diberhalakan, yang di-fiksasi dalam gambaran yang tetap seperti sebuah “idol”. Saya berpandangan bahwa seharus 82 %
ubungan dengan Allah bukan dengan cara seperti itu. Hubungan yang tepat antara manusia dengan Allah adalah hubungan dalam kera 83 %
h adalah hubungan dalam kerangka “I-Thou”, aku-Engkau. Agama yang didasarkan pada penyembahan dalam kerangka hubungan “I-it” h 84 %
am model “I-Thou”; bukan penyembahan, tetapi proses dialogal yang kreatif. Penyembahan pada Tuhan tidak mempunyai makna ap 86 %
jika tidak diletakkan dalam kerangka manusia sebagai subyek yang bebas, dengan akal yang bekerja secara leluasa. Qur’an menga 87 %
alam kerangka manusia sebagai subyek yang bebas, dengan akal yang bekerja secara leluasa. Qur’an mengatakan, “qad tabayyanar r 87 %
m Islam sendiri telah mengubah agama itu menjadi agama hukum yang dilandaskan kepada pemaksaan, dengan lebih banyak menekankan 91 %
, dengan lebih banyak menekankan bahasa kewajiban. Tidak ada yang lebih berbahaya bagi Islam kecuali pandangan yang mencoba me 92 %
Tidak ada yang lebih berbahaya bagi Islam kecuali pandangan yang mencoba mengubah karakter agama itu sebagai agama fitrah, me 92 %
karakter agama itu sebagai agama fitrah, menjadi agama hukum yang ditegakkan atas paksaan. Kesimpulan yang hendak saya tuj 93 %
adi agama hukum yang ditegakkan atas paksaan. Kesimpulan yang hendak saya tuju dari ulasan yang agak “ruwet” dan panjang i 93 %
as paksaan. Kesimpulan yang hendak saya tuju dari ulasan yang agak “ruwet” dan panjang ini adalah bahwa dengan membubuhkan 93 %
saya hendak menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang jangkarnya adalah “niat” atau dorongan-dorongan emotif-subye 95 %
ya dengan kebebasan tanpa batas, dengan sikap-sikap permisif yang melawan kecenderungan “intrinsik” dalam akal manusia itu sen 97 %
ndiri. Sekali lagi, Islam tidak berguna bagi orang-orang yang telah menyangkal kemanusiaan itu sendiri. Sebab agama bukanlah diperuntukkan bagi keledai. 99 %
Nabi mengatakan, “al itsmu ma haka fi nafsika wa karihta an yath-thali’a ‘alaihin naas”. Dosa adalah sesuatu yang menimbulkan kekeruh 32 %
telah jelas jalan kebaikan dan kesesatan. “Fa man sya’a fal yu’min wan man sya’a fal yakfur,” jika manusia mau, dia boleh mengi 88 %
metheus yang berseteru dengan Tuhan hanyalah ada dalam mitos yunani kuno. Saya melihat, pandangan populer yang berkembang di kal 74 %

 

 

The End

back to top

Word Frequency Program

 yang  93
 manusia  54
 dan  42
 dalam  42
 itu  40
 wahyu  27
 islam  27
 adalah  23
 dengan  22
 bahwa  21
 agama  21
 sebagai  20
 tidak  19
 akal  17
 dari  16
 ini  13
 sendiri  13
 ada  12
 kebebasan  12
 untuk  11
 telah  11
 jika  11
 suatu  9
 saya  9
 pandangan  9
 atau  9
 allah  9
 lebih  9
 penyembahan  9
 bagi  9
 semacam  9
 pada  9
 mengenai  8
 tak  8
 oleh  8
 dapat  8
 kerangka  8
 hadis  7
 apakah  7
 sudah  7
 di  7
 akan  7
 tuhan  7
 populer  6
 keledai  6
 sebab  6
 bisa  6
 pemahaman  6
 maka  6
 subyek  6
 mengatakan  6
 kepada  6
 hubungan  6
 antara  5
 kebaikan  5
 menjadi  5
 bukan  5
 pertama  5
 hukum  5
 sebuah  5
 bebas  5
 batas-batas  5
 bahasa  5
 boleh  5
 lagi  5
 liberal  5
 tindakan  5
 mempunyai  5
 orang  5
 kemanusiaan  4
 kata  4
 tetapi  4
 kembali  4
 proses  4
 batas  4
 fikih  4
 begitu  4
 prometheus  4
 “yang  4
 dipahami  4
 orang-orang  4
 selalu  4
 kewajiban  4
 sekali  4
 salah  4
 setiap  4
 “liberal”  4
 kita  4
 martabat  4
 ayat  4
 karena  4
 makna  4
 moral  4
 tanpa  4
 pernah  4
 kecuali  3
 aku  3
 wilayah  3
 tepat  3
 ke  3
 atas  3
 motif  3
 memberikan  3
 mengetahui  3
 integritas  3
 niat  3
 cenderung  3
 mencapai  3
 otonom  3
 hal  3
 jelas  3
 dia  3
 bukanlah  3
 seperti  3
 memahami  3
 obyek  3
 mereka  3
 kejahatan  3
 berarti  3
 ”  3
 tersebut  3
 merupakan  3
 mu’tazilah  3
 ketuhanan  3
 yaitu  3
 lain  3
 fokus  3
 qur’an  3
 secara  3
 gunanya  3
 pokok  3
 diketahui  3
 soal  3
 berguna  3
 dimensi  2
 penuh  2
 dimensi-dimensi  2
 “i-it”  2
 kesesatan  2
 sebagian  2
 diperuntukkan  2
 diperlukan  2
 permisif  2
 kalangan  2
 dosa  2
 memandang  2
 kemudian  2
 dorongan  2
 golongan  2
 fal  2
 hendak  2
 horison  2
 emotif  2
 obyektif  2
 memerosotkan  2
 muncul  2
 kerapkali  2
 pemikiran  2
 melihat  2
 disangkal  2
 haruslah  2
 saja  2
 wawasan  2
 harus  2
 menyangkal  2
 ditempatkan  2
 diletakkan  2
 mengangkat  2
 man  2
 mana  2
 sumber  2
 mengandaikan  2
 baik”  2
 banyak  2
 tersembunyi  2
 sikap  2
 lah  2
 la  2
 berkembang  2
 subyektif  2
 mendapatkan  2
 jalan  2
 terdalam  2
 apapun  2
 luar  2
 ma  2
 tentang  2
 ancaman  2
 tekanan  2
 menekankan  2
 mampu  2
 mengalami  2
 adanya  2
 sya’a  2
 tahu  2
 terhadap  2
 nabi  2
 “leviathan”  2
 tugas  2
 menit  2
 mengubah  2
 cara  2
 ciptakan  2
 mengira  2
 “i-thou”  2
 di-fiksasi  2
 dikatakan  2
 mau  2
 seluruh  2
 dialogal  2
 semangat  2
 matang  2
 cakrawala  2
 bidang  2
 marilah  2
 besar  2
 sesungguhnya  2
 sesuatu  2
 tidaklah  2
 kotor  2
 pasif  2
 inilah  2
 mustahil  1
 muslim  1
 nafsika  1
 naas”  1
 mungkin  1
 negatif  1
 mubah  1
 mulai  1
 mulia  1
 nama  1
 mu’min  1
 menempatkan  1
 menentukan  1
 menempati  1
 mendalam  1
 menegaskan  1
 menepiskan  1
 menggambarkan  1
 mengimani  1
 mengenal  1
 menerima  1
 mengangkut  1
 mendakwahkan  1
 memenuhi  1
 memperbaiki  1
 membutuhkan  1
 memberontak  1
 membubuhkan  1
 memperkaya  1
 mencari  1
 mencoba  1
 menafsiran  1
 memperoleh  1
 memulihkan  1
 menyembah-ku  1
 menyindir  1
 menyeimbangkan  1
 menyatakan  1
 menyebabkan  1
 menyingkapkan  1
 model  1
 moralitas  1
 mitos  1
 min  1
 minal  1
 menutup  1
 meninggalkan  1
 menjangkau  1
 menimbulkan  1
 mengingkari  1
 mengingkarinya  1
 menjerumuska  1
 menungguh  1
 menuntunnya  1
 menuju  1
 menolerir  1
 menonjol  1
 nilai  1
 sungguh-sungguh  1
 sunni  1
 tabayyanar  1
 sulit  1
 subyektivitas  1
 sufi  1
 suka  1
 takut  1
 terbatas  1
 terbentang  1
 tergantung  1
 tentu  1
 taurata  1
 tegas  1
 tema  1
 sesama  1
 sesuai  1
 sesunggunya  1
 sesaat  1
 seolah-olah  1
 seorang  1
 sepihak  1
 setelah  1
 sini  1
 situasi  1
 subtil  1
 sikap-sikap  1
 setuju  1
 siapapun  1
 sifatnya  1
 terjadi  1
 utama  1
 versi  1
 vulgarisasi  1
 umat  1
 turun  1
 ulasan  1
 ulil  1
 wa  1
 yakfur  1
 yath-thali’a  1
 yu’min  1
 yahudi  1
 wal  1
 wan  1
 yahmilu  1
 tertanam  1
 tertentu  1
 tertuang  1
 tersisa  1
 terkandung  1
 terlembaga  1
 tersedia  1
 terus-menerus  1
 toh  1
 tuju  1
 tujuan  1
 tingkat  1
 tetap  1
 tidak?  1
 tinggi  1
 sentral  1
 pengajaran  1
 penghayatan  1
 penting  1
 penerjemahan  1
 pendapat  1
 penegasan  1
 penerapan  1
 penundukan  1
 persoalan  1
 pertanyaan  1
 posisi  1
 perlu  1
 peran  1
 perhatian  1
 perkara  1
 paksaan  1
 pandang  1
 pandangan-pandangan  1
 paksa  1
 niyyaat”  1
 oleh:  1
 otonominya  1
 panjang  1
 peduli  1
 pemaksaan  1
 pembicaraan  1
 pebuatan  1
 partisipan  1
 pasti  1
 pautnya  1
 pribadi;  1
 sebentuk  1
 sederhana:  1
 seekor  1
 sebaiknya  1
 satu  1
 sebabnya  1
 sebagaimana  1
 segala  1
 semata-mata  1
 sementara  1
 semua  1
 selain  1
 seharusnya  1
 sehingga  1
 sejumlah  1
 qudsi  1
 rahasia-rahasia  1
 ramai  1
 pulih  1
 prinsip  1
 prof  1
 proses-proses  1
 relasi  1
 sangat  1
 sangkut  1
 sarana  1
 sama  1
 ribuan  1
 rujukannya  1
 rushdu  1
 buber  1
 brutal  1
 canggih  1
 bumi  1
 bertanggung  1
 bersumber  1
 bin  1
 bertanggungjawab  1
 ciri-ciri  1
 derajat  1
 demikian?  1
 dibajak  1
 diangkutnya  1
 citraan  1
 citra  1
 debat  1
 dasar  1
 berbatas  1
 berbahaya  1
 berhubungan  1
 berdasarkan  1
 benar  1
 bekerja  1
 beragama  1
 bengis  1
 berjilid-jilid  1
 bersaba  1
 berpikir  1
 bersifat  1
 berseteru  1
 bermakna  1
 berkali-kali  1
 berpandangan  1
 bermutu  1
 diskusi-diskusi  1
 diskusi  1
 ditegakkan  1
 ditawar-tawar  1
 disadari  1
 dirumuskan  1
 disetarakan  1
 disembah  1
 ditentukan  1
 dorongan-dorongan  1
 dominan  1
 dunia  1
 dua  1
 ditundukkan  1
 ditetapkan  1
 diungkapkan  1
 ditunjuk  1
 didesakkan  1
 didasarkan  1
 dilandaskan  1
 dikosongkan  1
 diberhalakan  1
 dibatasi  1
 diciptakan  1
 diberikan  1
 dilepaskan  1
 direstorasi  1
 di-reifikasi  1
 dirinya?  1
 dirinya  1
 dina  1
 dimungkinkan  1
 dipandang  1
 dinu  1
 bedanya  1
 “i-thou”;  1
 “islam  1
 “keledai  1
 “jasad”  1
 “idol”  1
 “ibadah”  1
 “intrinsik”  1
 “innamal  1
 “kewajiban”  1
 “neraca”  1
 “menyembah”  1
 “niyyatul  1
 “niat”  1
 “langit”?  1
 “khalifah”  1
 “menggali”  1
 “mati”  1
 ‘kanzun  1
 ‘ibad  1
 “aku  1
 “ad  1
 ‘amalihi”  1
 ‘alaihin  1
 ‘aqla  1
 ‘aql  1
 “aku-dan-dia”  1
 “dunia  1
 “disembah”  1
 “genuine”  1
 “fa  1
 “barang”  1
 “al  1
 “dibendakan”  1
 “batasan”  1
 anti-humanistik  1
 antar  1
 apa-apa  1
 apa  1
 an  1
 allah-manusia  1
 anggapan  1
 anda  1
 arah  1
 baik  1
 bahkan  1
 baru  1
 barang-barang  1
 asfaara  1
 arti  1
 aturan-aturan  1
 aturan  1
 “worship”  1
 “wa  1
 abou  1
 a’malu  1
 “ruwet”  1
 “qad  1
 “vulgarisasi”  1
 “vulgar”  1
 abshar-abdalla  1
 akalnya  1
 ajaran  1
 aku-engkau  1
 aktif  1
 agak  1
 af’alul  1
 agar  1
 agama?  1
 duniawi  1
 kesimpulan  1
 kesempurnaan  1
 khairun  1
 ketika  1
 kerjakan  1
 kepentingan-kepentingan  1
 kesejarahan  1
 kesan  1
 khalaqtul  1
 klasik:  1
 klasik  1
 kosong  1
 kompleksitas  1
 khazanah  1
 khaled  1
 kitab”  1
 khimari  1
 kehendak-nya  1
 kehendak  1
 keinsafan/kesadaran  1
 kehidupan  1
 kedalaman  1
 kecenderungan  1
 kedudukan  1
 kedua  1
 keislaman  1
 kenapa  1
 kemampuan  1
 kepantasan  1
 kepad  1
 kekacauan  1
 kejahatan?  1
 kelihatan  1
 kekeruhan  1
 masalah  1
 martin  1
 matsalulladzina  1
 masuki  1
 manusia;  1
 manfaat  1
 manusia-manusia  1
 manusia”  1
 melahirkan  1
 membatasi  1
 melindungi  1
 membayangkan  1
 membawa  1
 melawan  1
 melakukannya  1
 melihatmu  1
 meletakkan  1
 leluasa  1
 laksana  1
 licik  1
 liberal”  1
 kuno  1
 kreatif  1
 lahu”  1
 kurang  1
 liman  1
 makhfiyy’  1
 majikan  1
 manakala  1
 makin  1
 liya’budun  1
 literatur  1
 mahdzur  1
 luas  1
 kecemerlangan  1
 hari  1
 harap  1
 hatimu  1
 harta  1
 hampir  1
 hal-hal  1
 hanyalah  1
 hanya  1
 hidup  1
 ide  1
 ibahiyah;  1
 illa  1
 ide-ide  1
 hummilut  1
 hobbesian  1
 ibadah  1
 huwal  1
 fakta-fakta  1
 fadl  1
 filsafat  1
 fi  1
 emotif-subyektif  1
 el  1
 evolusi  1
 entitas  1
 fitrah  1
 hak  1
 hadd  1
 hakikat  1
 haka  1
 gambaran  1
 fitrahnya  1
 ghayy”  1
 garansi  1
 kamatsalil  1
 kalah  1
 karakter  1
 kamu  1
 jurang  1
 jinna  1
 kajian  1
 justru  1
 karihta  1
 kebebasan:  1
 kebebasan/hak  1
 keberagamaan  1
 kebenaran  1
 kaum  1
 karun  1
 keagamaan  1
 kaya  1
 intuisinya  1
 intuisi  1
 itsmu  1
 istilah  1
 inggris  1
 inegritasnya  1
 insa  1
 ingin  1
 itulah  1
 jawab  1
 jangkarnya  1
 jelasnya  1
 jawaban  1
 jahat  1
 jadi  1
 jahat”?  1
 jahat”  1
 yunani  1

The End

back to top