SEAsiteBar

click here for the word frequency

Membangun Ushul Fikih Alternatif

Mestinya, metodologi Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan.

Oleh: Abd Moqsith Ghazali

 

Banyak pemikir Muslim memandang metodologi (ushul fikih) klasik tanpa cacat epistemologis apapun. Ajakan sejumlah ulama Indonesia untuk mengubah pola bermadzhab dari yang qawliy ke manhaji mengandung pengertian bahwa metodologi klasik yang telah dikerangkakan oleh para ulama dahulu memang sudah tuntas dan sempurna. Sehingga, kewajiban umat yang datang kemudian bukan untuk mengubahnya, tetapi mengikuti dan melaksanakannya. Di sini, sebuah metodologi yang sejatinya lahir dari pabrik intelektualitas manusia yang nisbi telah diposisikan sebagai sesuatu yang mutlak. Tak terbantah. Mereka telah melakukan idealisasi dan universalisasi terhadap metodologi lama yang provisionaris.

Mestinya, metodologi Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. [1] Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Ditegaskan bahwa ketika terjadi pertentangan antara akal publik dan bunyi harfiah teks ajaran, metodologi lampau selalu mengambil cara penundukan terhadap akal publik. [2] Metodologi klasik kurang hirau terhadap kemampuan manusia di dalam merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk umat manusia sendiri. Manusia tidak memiliki reputasi dan kedudukan apapun dalam ruang ushul fikih klasik, kecuali sebagai sasaran hukum yang tak berdaya (mukallaf) [3] Pemberhalaan teks dan pengabaian realitas merupakan ciri umum dari metodologi lama. Aktivitas ijtihad selalu digerakkan di dalam areal teks. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada teks adalah illegal, sebab teks merupakan aksis dari seluruh cara pemecahan problem.

Tentu saja ini merupakan kelemahan metodologis tersendiri yang mesti mendapatkan penanganan. Dengan segala keterbatasan, tulisan ini kiranya bermaksud untuk mereformasi kaidah-kaidah ushul fikih yang problematis dari sudut ontologis-epistemologis tersebut. Dengan merekonstruksi kaidah-kaidah ushul ini niscaya produk pemikiran Islam akan lebih solutif bagi problem-problem kemanusiaan yang terus melilit. Karena, betapa pun canggihnya sebuah metodologi jika kandas pada tingkat pemecahan problem tersebut, maka ia tidaklah banyak guna dan manfaatnya. Kecanggihan sebuah metodologi terutama dalam imu-ilmu terapan Islam semacam ushul fikih ini akan berkoresponden secara persis dengan kepiawaiannya di dalam menciptakan kemaslahatan bagi sebesar-besarnya umat manusia.

1. al-’Ibrah bi al-maqashid la bi al-alfadz.

Kaidah ini berarti bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid di dalam mengistinbatkan hukum dari al-Qur`an dan al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya melainkan dari maqashid yang dikandungnya. Yang menjadi aksis adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat dan bukan legislasi spesifik atau formulasi literalnya. Nah, untuk mengetahui maqashid ini maka seseorang dituntut untuk memahami konteks. Yang dimaksudkan bukan hanya konteks personal yang juz`iy-partikular melainkan juga konteks impersonal yang kulli-universal. Pemahaman tentang konteks yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian klasik itu merupakan prasyarat utama untuk menemukan maqashid al-syari’ah.

Syathibi di dalam al-Muwafaqat mendengungkan sebuah pernyataan genial bahwa seorang mujtahid diharuskan untuk melengkapi diri dengan pengetahuan yang memadai menyangkut tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab sebagai masyarakat awal yang menjadi sasaran wahyu. Pengetahuan tentang konteks tentu bukan untuk konteks itu sendiri, melainkan untuk menimba dan memperoleh prinsip-prinsip dasar Islam atau yang dikenal dengan istilah maqashid al-syari’ah. Begitu maqashid al-syari’ah sudah dicapai, maka teks harus segera dilepaskan dari konteks kearabannya (dekontekstualisasi) untuk kemudian dilakukan rekontekstualisasi. Yaitu, melabuhkan prinsip-prinsip dasar Islam itu di tempat dan di belahan bumi non-Arab. Maka, kontekstualisasi, dekontekstualisasi, dan rekontekstualisasi merupakan mekanisme kerja penafsiran sepanjang masa.

Dalam khazanah ushul fikih, maqashid al-syari’ah itu adalah keadilan, kemaslahatan, kesetaraan, hikmah-kebijaksanaan, dan cinta kasih. Maqashid inilah yang sejatinya menjadi sumber inspirasi tatkala al-Qur`an hendak melabuhkan ketentuan-ketentuan legal-spesifik di lapangan. Dengan perkataan lain, maqashid al-syari’ah adalah sumber dari segala sumber hukum dalam Islam, termasuk sumber dari al-Qur`an sendiri. Oleh karena itu, sekiranya ditemukan sebuah teks agama baik di dalam al-Qur`an maupun al-hadits (apalagi di dalam tafsir dan fikih) yang tidak lagi menyuarakan maqashid al-syari’ah, maka ia batal atau dapat dibatalkan demi logika maqashid al-syari’ah itu.

Kaidah yang diajukan di atas merupakan antipoda dari kaidah lama yang berbunyi al-’ibrah bi khushûsh al-sabab lâ bi ‘umûm al-lafadz. Bahwa yang harus menjadi pertimbangan adalah keumuman lafadz, bukan khususnya sebab. Maka, jika suatu nash menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan nash tersebut, sekalipun nash itu hadir untuk merespons suatu peristiwa yang khusus. “Pasrah pada keumuman lafdz ( al-taslim bi ‘umum al-lafdz) hanya akan menyebabkan kita senantiasa berada dalam kerangka makna linguistik (fiy ithar al-dalalah al-lughawiyah)”, tandas Nahr Hamid Abu Zaid dalam bukunya yang berjudul al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah.

Terdapat sekian banyak kritik terhadap kaidah konvensional ini. Misalnya, pertama, kaidah ini dipandang terlalu banyak berkonsentrasi dan bergerak pada medan semantik dengan menepikan peranan sabab al-nuzul. Implikasinya, para pengguna kaidah ini kerap terjebak pada suatu kenaifan. Bahwa semakin harafiah seseorang membaca al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada kebenaran. Sebaliknya, semakin jauh yang bersangkutan dari makna literal al-Qur`an, maka ia semakin terlempar dari kebenaran. Maka, semakin literal seseorang di dalam memperlakukan al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada ketakwaan. Dan semakin substantif seseorang di dalam memandang al-Qur`an, maka jauh ia dari ketakwaan.

Kedua, dalam kaidah yang terakhir itu, realitas hendak disubordinasikan ke dalam bunyi harafiah teks. Yang dituju adalah kebenaran teks dengan konsekuensi mengabaikan konteks (al-siyaq al-tarikhi) yang mengitari. Konteks didudukkan dalam posisi yang rendah dan sekunder. Ini menjadi maklum, oleh karena para pemakai kaidah ini menganut ideologi universalisme dan ketidak-berhinggan kebenaran huruf (shalahiyyah al-nansh dalaliyan li kulli zaman wa makan). Sehingga kita tidak perlu kaget ketika ushul fikih lama berbicara tentang lafdz dalam porsi yang demikian besar. Segala jenis perbincangan kebahasaan (abhats lughawiyah min mabahits al-alfadz) seperti mengenai ‘amm-khashsh, muthlaq-muqayyad, mujmal-mubayyan, muhkam-mutasyabih, qath’iy-dhanniy merupakan upaya untuk menegakkan otoritas teks semata. Para pemakai kaidah kedua ini mungkin tepat sekiranya disebut sebagai penyembah kata (‘ubbad al-alafdz), semantara kata (lafdz) adalah shanam yu’bad (patung yang disembah).

Segera tampak bahwa analisis yang berhenti hanya pada konteks linguistik saja tidak akan cukup memadai untuk mengejar kebenaran hakiki (maqashid asasiyah) yang diusung oleh teks. Analisis mestinya dilanjutkan pada penyingkapan makna yang terdiamkan (al-maskut ‘anhu), yaitu makna yang tak tercakup secara verbatim di dalam aksara sebuah teks. Pencapaian terhadap makna-makna itu akan meniscayakan adanya sebuah analisa yang bukan hanya terhadap struktur kalimat per se melainkan yang justeru fondasional adalah analisa kelas dan struktur sosial dan budaya yang melingkupi sejarah kehadiran teks. Maka, kejarlah maqashid al-syari’ah dengan pelbagai cara, tanpa terlalu banyak terpesona terhadap keindahan sebuah teks. Sebab, keterpesonaan merupakan tindakan ideologis yang hanya akan menumpulkan kreativitas dalam pencarian makna obyektif.

[2] Jawaz Naskh al-Nushush bi al-Mashlahah

Terdapat sebait pertanyaan ontologis dalam ranah ushul fikih, jika terjadi pertentangan antara teks (nash) dan maslahat mana yang mesti dimenangkan? Dalam menjawab pertanyaan ini, umumnya ulama ushul fikih klasik mengatakan bahwa yang dimenangkan adalah nash. Bahkan, al-Thufi menyatakan bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan antara nash dan mashlahah, karena apa yang diujarkan oleh nash adalah kemaslahatan itu sendiri. Sering disinyalir bahwa kemaslahatan yang diandaikan oleh manusia adalah kemaslahatan semu dan relatif, sementara kemaslahatan yang ditetapkan Tuhan melalui bunyi harafiah nash adalah kemaslahatan hakiki dan obyektif. Manusia tidak memiliki kewenangan untuk mempertanyakan dan menggugat kemaslahatan literal teks. Kewajiban manusia adalah mengamalkan dan mengimaninya secara sepenuh hati.Secara pribadi, saya tidak dalam posisi bersetuju dengan jawaban di atas. Pada hemat saya, maslahat memiliki otoritas untuk menganulir kententuan-ketentuan teks suci. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan “naskh al-nushush bi al-mashlahah”. Sebagai spirit dari teks (nushush) al-Qur`an, kemaslahatan merupakan amunisi untuk mengontrol balik dari keberadaan teks dengan menganulir beberapa teks suci yang sudah aus. Dengan cara ini, maka cita kemaslahatan akan senantiasa berkreasi untuk memproduksi formulasi bahkan teks keagamaan baru di tengah kegamangan dan kegagapan formulasi dan teks keagamaan lama.Praktek dari kaidah ini dapat diketahui dari pembatalan demi pembatalan terhadap sejumlah syari’at Islam, yang dikenal dengan istilah nasikh-mansukh. Semua pelajar Islam mesti tahu cerita tentang penganuliran beberapa syari’at yang dipandang tidak lagi bersendikan kemaslahatan. Dijelaskan bahwa nasakh itu bukan hanya berlaku terhadap syari’at nabi-nabi terdahulu (syar’u man qablana) saja, tetapi melainkan juga berlangsung dalam batang tubuh syari’at Nabi Muhammad sendiri. Betapa syari’at Islam yang baru diundangkan, kerap dalam 3 sampai 5 tahun dianulir kembali oleh Nabi Muhammad karena tidak bermaslahat lagi.

Tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu tempat dan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karena perubahan konteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatu karena diketahui mengandung maslahat, kemudian Allah melarangnya pada waktu kemudian karena diketahui di lapangan aturan tersebut tidak lagi menyuarakan kemaslahatan. Ibnu Rusyd dalam bukunya yang bertitelkan Fashl al-Maqal fiy Taqrir Ma Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah min al-Ittishal menyatakan bahwa hikmah (kemaslahatan) itu merupakan saudara kandung dari syari’at-syari’at yang telah ditetapkan Allah Swt.

Teks suci tanpa kemaslahatan memang tak berfungsi apa-apa buat manusia, kecuali untuk teks itu sendiri. Teks baru bermakna sekiranya menyertakan cita kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan adalah fondasi paling pokok dari setiap perundang-undangan syari’at Islam. Ini bukan karena ajaran Islam memang perlu dicocok-cocokkan secara opurtunistik dengan perkembangan kemaslahatan, melainkan karena tuntutan kemaslahatan itu secara obyektif niscaya mengharuskan demikian. Menarik mendengar pernyataan Izzuddin Ibnu Abdissalam, “innama al-takalif kulluha raji’atun ila mashalih al-’ibad” [ seluruh ketentuan agama diarahkan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat manusia ]. Dengan ini, maka kemaslahatan itu merupakan ajaran agama yang tsawabit (tidak berubah, pokok, dan universal), sementara wujud pelaksanaan cita kemaslahatan itu merupakan perkara agama yang mutaghayyir (berubah-berubah mengikuti perubahan alur sejarah dan peradaban).Maka, yang perlu mendapatkan proviso penegasan di sini adalah bahwa nasakh tidak dapat dilakukan terhadap teks al-Qur`an yang mengandung prinsip-prinsip ajaran yang universal, ajaran mana telah melintasi ruang dan waktu, mengatasi pelbagai etnis dan keyakinan. Ayat-ayat ini ingin saya katakan sebagai ayat dengan kedudukan paling tinggi (al-ayat al-’ala qiymatan), atau al-ayat al-ushuliyat atau ushul al-Qur`an. Ayat-ayat seperti ini memang tidak banyak jumlahnya, bahkan bisa dihitung dengan jari tangan. Masuk dalam kategori ayat yang tidak bisa dinasakh ini, seperti ayat “wa idza hakamtum bayna al-nas an tahkumu bi al’adl”, “I’dilu huwa aqrabu li al-taqwa”, dan sebagainya. Nasakh terhadap ayat yang demikian bukan saja berpunggungan dengan semangat kehadiran Islam awal, melainkan juga bertentangan dengan logika nasakh sendiri. Sementara ayat-ayat mu’amalah dalam al-Qur`an yang bersifat tehnis-operasional--saya suka menyebutnya dengan al-ayat al-adna qiymatan atau al-ayat al-furu’iyyat atau fikih al-Qur`an, seperti ayat yang berbicara tentang bentuk-bentuk hukuman (‘uqubat), sanksi bagi para pelaku pidana (hudud), bilangan waris dan sebagainya, maka tetap terbuka kemungkinan untuk dinasakh dan difalsifikasi, sekiranya ayat tadi tidak efektif lagi sebagai sarana untuk mewujudkan cita kemalahatan. Dalam sejarahnya, nasakh selalu hadir untuk terus-menerus memperbaharui teks-teks agama yang tidak lagi merepresentasikan prinsip-prinsip dasar Islam.

[3] Tanqih al-Nushush bi al-’Aql al-Mujtama’

Kaidah ini hendak menyatakan bahwa akal publik memiliki kewenangan untuk menyulih dan mengamandemen sejumlah ketentuan “dogmatik” agama yang menyangkut perkara-perkara publik, baik dalam al-Qur`an maupun dalam al-Sunnah. Sehingga ketika terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka akal publik berotoritas untuk mengedit, menyempurnakan, dan memodifikasikannya. Modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat hudud (seperti potong tangan, rajam, dan sebagainya), waris, dan sebagainya. Ayat-ayat tersebut dalam konteks sekarang, alih-alih bisa menyelesaikan masalah-masalah kemanusian, yang terjadi justeru merupakan bagian dari masalah yang harus dipecahkan melalui prosedur tanqih yang berupa taqyid bi al-’aql, takhshish bi al-’aql, dan tabyin bi al-’aql.

Ayat-ayat semacam itu, sebagaimana dikatakan sebelumnya disebut sebagai fikih al-Qur`an. Sebagai sebuah fikih, ayat-ayat tersebut sepenuhnya merupakan respons al-Qur`an terhadap kasus-kasus tertentu yang berlangsung dalam lokus tertentu pula, masyarakat Arab. Dengan demikian, kebenaran ayat-ayat tadi bersifat relatif dan tentatif, sehingga memerlukan penyempurnaan, pembaharuan, dan penyulingan. Dalam tataran itu, universalisasi fikih al-Qur`an tanpa melalui proses tanqih harus dihindari. Sebab, membiarkan fikih al-Qur`an persis seperti dalam bunyi harfiahnya hanya akan mengantarkan al-Qur`an pada perangkap yang mematikan spirit dan elan vital al-Qur`an.

Kerja tanqih ini hakekatnya inheren di dalam diri setiap manusia yang berakal budi. Dalam jiwa manusia terdapat impuls abadi yang tak pernah padam untuk bertanqih. Terdapat dorongan adekuat untuk senantiasa berpihak pada kebenaran dan keadilan. Selalu ada kecenderungan untuk mengoreksi pelbagai kekeliruan dan menyempurnakan segala kekurangan. Akal publik dan bukan akal privat ini dibutuhkan tentu untuk menghindari oligarki pendapat atau otoritarianisme dalam merumuskan dan memecahkan urusan-urusan publik. Bagaimanapun di dalam ruang publik tidak boleh ada satu pihak atau golongan dalam masyarakat yang berhak memaksa pandangannya pada orang lain, karena pandangannya dinilai lebih benar. Mereka memiliki kedudukan dan derajat yang sama.

Pandangan di atas sangat berbeda dengan pandangan mainstream, baik yang klasik maupun yang kontemporer yang terus menerus mendevaluasi akal di bawah kedigdayaan teks. Baik kalangan Asy’ariyah maupun Mu’tazilah hakekatnya sama-sama memposisikan akal sebagai pengelola data-teks, sementara data-teks merupakan pangkal atau asal. Sebagai pengelola, maka akal tidak bisa bertindak terlampau jauh, kecuali hanya untuk melakukan rasionalisasi terhadap barang-barang irrasional yang ada dalam al-Qur`an dan al-Sunnah. Akal hanya berguna untuk membuka tabir kegelapan teks-teks dhanniyat al-Qur`an saja. Di tangan Mu’tazilah, akal hanya berfungsi untuk menakwil ayat-ayat yang mutasyabih. Akal tidak cukup percaya diri untuk melakukan peninjauan ulang apalagi mempertanyakan ayat-ayat partikular yang tergolong qath’iyat dari sudut struktur gramatika bahasanya.

Akal manusia dalam buku-buku teologi klasik telah diletakkan sebagai sub-ordinat dari teks. Akal mengalami penyusutan peran. Seolah-olah akal manusia itu begitu rendah, sehingga kalau dibiarkan maka manusia secara massal akan bertelanjang bulat di jalan-jalan sebagaimana binatang, berzina beramai-ramai, mencuri secara berjemaah, saling bunuh-membunuh, dan sebagainya. Ini, tentu saja sebuah sikap yang tidak apresiatif bahkan merendahkan akal sebagai karya agung Allah Swt. Allah menciptakan akal sesungguhnya agar manusia sanggup memilah dan memilih mana-mana tindakan yang baik dan mana-mana pula perbuatan yang buruk.

Menurut saya, sekali lagi, akal publik harus diberi posisi yang penting. Akal publik tidak cukup hanya tampil sebagai pengelola data-teks. Menyangkut perkara-perkara mu’amalah yang mundan, akal publik perlu mendapatkan wewenang untuk mengevaluasi efektivitas dan kinerja beberapa ketentuan al-Qur`an dan al-Hadits di dalam mengimpelementasikan maqashid al-syari’ah di bumi realitas. Sekiranya dari data lapangan diketahui ketidak-berdayaan sebuah teks di dalam mengatasi perkara-perkara publik, maka akal publik mesti mempertimbangkan ulang ketentuan tersebut. Akal publik bertugas untuk mengeluarkan spirit dasar Islam dari lipatan huruf-huruf agama. Akal publik mempunyai tanggungjawab moral untuk mentanqih ayat-ayat yang problematik.

Akhirnya, jangan lupa bahwa itu hanya sebagian kaidah ushul fikih alternatif yang bisa disodorkan untuk membenahi kelemahan-kelemahan metodologi istinbath yang telah lama dirisaukan. Tentu saja ada sekian banyak lagi kaidah ushul fikih yang perlu direformasi dengan menyertakan banyak orang yang berkompeten. Dengan cara ini, niscaya kita bisa menghindari kebekuan dan kemandulan metodologi-ushul fikih.

 

pre- text

WORD

post- text

%
tiwa yang khusus. “Pasrah pada keumuman lafdz ( al-taslim bi ‘umum al-lafdz) hanya akan menyebabkan kita senantiasa berada dala 31 %
idah lama yang berbunyi al-’ibrah bi khushûsh al-sabab lâ bi ‘umûm al-lafadz. Bahwa yang harus menjadi pertimbangan adalah keum 29 %
wenangan untuk menyulih dan mengamandemen sejumlah ketentuan “dogmatik” agama yang menyangkut perkara-perkara publik, baik dalam al- 74 %
i ayat “wa idza hakamtum bayna al-nas an tahkumu bi al’adl”, “i’dilu huwa aqrabu li al-taqwa”, dan sebagainya. Nasakh terhadap ay 69 %
kian. Menarik mendengar pernyataan Izzuddin Ibnu Abdissalam, “innama al-takalif kulluha raji’atun ila mashalih al-’ibad” seluru 63 %
an-ketentuan teks suci. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan “naskh al-nushush bi al-mashlahah”. Sebagai spirit dari teks (nushu 51 %
nash itu hadir untuk merespons suatu peristiwa yang khusus. “pasrah pada keumuman lafdz ( al-taslim bi ‘umum al-lafdz) hanya aka 31 %
lam kategori ayat yang tidak bisa dinasakh ini, seperti ayat “wa idza hakamtum bayna al-nas an tahkumu bi al’adl”, “I’dilu hu 69 %
ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. 1 Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kema 8 %
ampau selalu mengambil cara penundukan terhadap akal publik. 2 Metodologi klasik kurang hirau terhadap kemampuan manusia di 9 %
akan menumpulkan kreativitas dalam pencarian makna obyektif. 2 Jawaz Naskh al-Nushush bi al-Mashlahah Terdapat sebait pe 46 %
k, kecuali sebagai sasaran hukum yang tak berdaya (mukallaf) 3 Pemberhalaan teks dan pengabaian realitas merupakan ciri umu 11 %
ri. Betapa syari’at Islam yang baru diundangkan, kerap dalam 3 sampai 5 tahun dianulir kembali oleh Nabi Muhammad karena ti 56 %
ng tidak lagi merepresentasikan prinsip-prinsip dasar Islam. 3 Tanqih al-Nushush bi al-’Aql al-Mujtama’ Kaidah ini hend 73 %
a syari’at Islam yang baru diundangkan, kerap dalam 3 sampai 5 tahun dianulir kembali oleh Nabi Muhammad karena tidak berma 56 %
anusia yang berakal budi. Dalam jiwa manusia terdapat impuls abadi yang tak pernah padam untuk bertanqih. Terdapat dorongan ade 83 %
formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Oleh: abd Moqsith Ghazali Banyak pemikir Muslim memandang metodolog 2 %
tik (fiy ithar al-dalalah al-lughawiyah)”, tandas Nahr Hamid abu Zaid dalam bukunya yang berjudul al-Nash, al-Sulthah, al-Haq 32 %
uatu nash menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan nash tersebut, sekalipun nash 30 %
ntuk senantiasa berpihak pada kebenaran dan keadilan. Selalu ada kecenderungan untuk mengoreksi pelbagai kekeliruan dan menye 83 %
rusan publik. Bagaimanapun di dalam ruang publik tidak boleh ada satu pihak atau golongan dalam masyarakat yang berhak memaks 85 %
lakukan rasionalisasi terhadap barang-barang irrasional yang ada dalam al-Qur`an dan al-Sunnah. Akal hanya berguna untuk memb 88 %
metodologi istinbath yang telah lama dirisaukan. Tentu saja ada sekian banyak lagi kaidah ushul fikih yang perlu direformasi 99 %
dalam areal teks. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada teks adalah illegal, sebab teks merupakan aksis dari seluruh cara pemeca 12 %
elainkan dari maqashid yang dikandungnya. Yang menjadi aksis adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat dan bukan legislasi sp 18 %
asa. Dalam khazanah ushul fikih, maqashid al-syari’ah itu adalah keadilan, kemaslahatan, kesetaraan, hikmah-kebijaksanaan, da 25 %
fik di lapangan. Dengan perkataan lain, maqashid al-syari’ah adalah sumber dari segala sumber hukum dalam Islam, termasuk sumber 27 %
lâ bi ‘umûm al-lafadz. Bahwa yang harus menjadi pertimbangan adalah keumuman lafadz, bukan khususnya sebab. Maka, jika suatu nas 29 %
k disubordinasikan ke dalam bunyi harafiah teks. Yang dituju adalah kebenaran teks dengan konsekuensi mengabaikan konteks (al-si 36 %
ai penyembah kata (‘ubbad al-alafdz), semantara kata (lafdz) adalah shanam yu’bad (patung yang disembah). Segera tampak bahwa 41 %
p struktur kalimat per se melainkan yang justeru fondasional adalah analisa kelas dan struktur sosial dan budaya yang melingkupi 44 %
a ulama ushul fikih klasik mengatakan bahwa yang dimenangkan adalah nash. Bahkan, al-Thufi menyatakan bahwa tidak mungkin terjad 47 %
tara nash dan mashlahah, karena apa yang diujarkan oleh nash adalah kemaslahatan itu sendiri. Sering disinyalir bahwa kemaslahat 48 %
g disinyalir bahwa kemaslahatan yang diandaikan oleh manusia adalah kemaslahatan semu dan relatif, sementara kemaslahatan yang d 49 %
maslahatan yang ditetapkan Tuhan melalui bunyi harafiah nash adalah kemaslahatan hakiki dan obyektif. Manusia tidak memiliki kew 49 %
n dan menggugat kemaslahatan literal teks. Kewajiban manusia adalah mengamalkan dan mengimaninya secara sepenuh hati.Secara prib 50 %
enyertakan cita kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan adalah fondasi paling pokok dari setiap perundang-undangan syari’at 62 %
aban).Maka, yang perlu mendapatkan proviso penegasan di sini adalah bahwa nasakh tidak dapat dilakukan terhadap teks al-Qur`an y 66 %
teks. Pencapaian terhadap makna-makna itu akan meniscayakan adanya sebuah analisa yang bukan hanya terhadap struktur kalimat pe 43 %
adi yang tak pernah padam untuk bertanqih. Terdapat dorongan adekuat untuk senantiasa berpihak pada kebenaran dan keadilan. Selal 83 %
an sendiri. Oleh karena itu, sekiranya ditemukan sebuah teks agama baik di dalam al-Qur`an maupun al-hadits (apalagi di dalam t 27 %
kulluha raji’atun ila mashalih al-’ibad” seluruh ketentuan agama diarahkan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat manusia 64 %
anusia . Dengan ini, maka kemaslahatan itu merupakan ajaran agama yang tsawabit (tidak berubah, pokok, dan universal), sementa 64 %
ra wujud pelaksanaan cita kemaslahatan itu merupakan perkara agama yang mutaghayyir (berubah-berubah mengikuti perubahan alur s 65 %
akh selalu hadir untuk terus-menerus memperbaharui teks-teks agama yang tidak lagi merepresentasikan prinsip-prinsip dasar Isla 73 %
tuk menyulih dan mengamandemen sejumlah ketentuan “dogmatik” agama yang menyangkut perkara-perkara publik, baik dalam al-Qur`an 74 %
i karya agung Allah Swt. Allah menciptakan akal sesungguhnya agar manusia sanggup memilah dan memilih mana-mana tindakan yang 93 %
yang tidak apresiatif bahkan merendahkan akal sebagai karya agung Allah Swt. Allah menciptakan akal sesungguhnya agar manusia 93 %
ologi (ushul fikih) klasik tanpa cacat epistemologis apapun. ajakan sejumlah ulama Indonesia untuk mengubah pola bermadzhab dari 3 %
i setiap perundang-undangan syari’at Islam. Ini bukan karena ajaran Islam memang perlu dicocok-cocokkan secara opurtunistik deng 62 %
umat manusia . Dengan ini, maka kemaslahatan itu merupakan ajaran agama yang tsawabit (tidak berubah, pokok, dan universal), s 64 %
ukan terhadap teks al-Qur`an yang mengandung prinsip-prinsip ajaran yang universal, ajaran mana telah melintasi ruang dan waktu, 66 %
ur`an yang mengandung prinsip-prinsip ajaran yang universal, ajaran mana telah melintasi ruang dan waktu, mengatasi pelbagai etn 67 %
n konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan k 1 %
n konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan k 7 %
ologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan 2 %
ologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan 8 %
relevan. Ditegaskan bahwa ketika terjadi pertentangan antara akal publik dan bunyi harfiah teks ajaran, metodologi lampau sela 9 %
metodologi lampau selalu mengambil cara penundukan terhadap akal publik. 2 Metodologi klasik kurang hirau terhadap kemampua 9 %
i al-’Aql al-Mujtama’ Kaidah ini hendak menyatakan bahwa akal publik memiliki kewenangan untuk menyulih dan mengamandemen 74 %
dalam al-Sunnah. Sehingga ketika terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka akal publik be 75 %
an antara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka akal publik berotoritas untuk mengedit, menyempurnakan, dan memod 75 %
si pelbagai kekeliruan dan menyempurnakan segala kekurangan. akal publik dan bukan akal privat ini dibutuhkan tentu untuk meng 84 %
dan menyempurnakan segala kekurangan. Akal publik dan bukan akal privat ini dibutuhkan tentu untuk menghindari oligarki penda 84 %
asik maupun yang kontemporer yang terus menerus mendevaluasi akal di bawah kedigdayaan teks. Baik kalangan Asy’ariyah maupun M 87 %
y’ariyah maupun Mu’tazilah hakekatnya sama-sama memposisikan akal sebagai pengelola data-teks, sementara data-teks merupakan p 87 %
ta-teks merupakan pangkal atau asal. Sebagai pengelola, maka akal tidak bisa bertindak terlampau jauh, kecuali hanya untuk mel 88 %
ng-barang irrasional yang ada dalam al-Qur`an dan al-Sunnah. akal hanya berguna untuk membuka tabir kegelapan teks-teks dhanni 89 %
an teks-teks dhanniyat al-Qur`an saja. Di tangan Mu’tazilah, akal hanya berfungsi untuk menakwil ayat-ayat yang mutasyabih. Ak 89 %
al hanya berfungsi untuk menakwil ayat-ayat yang mutasyabih. akal tidak cukup percaya diri untuk melakukan peninjauan ulang ap 90 %
tergolong qath’iyat dari sudut struktur gramatika bahasanya. akal manusia dalam buku-buku teologi klasik telah diletakkan seba 90 %
ologi klasik telah diletakkan sebagai sub-ordinat dari teks. akal mengalami penyusutan peran. Seolah-olah akal manusia itu beg 91 %
inat dari teks. Akal mengalami penyusutan peran. Seolah-olah akal manusia itu begitu rendah, sehingga kalau dibiarkan maka man 91 %
u saja sebuah sikap yang tidak apresiatif bahkan merendahkan akal sebagai karya agung Allah Swt. Allah menciptakan akal sesung 93 %
dahkan akal sebagai karya agung Allah Swt. Allah menciptakan akal sesungguhnya agar manusia sanggup memilah dan memilih mana-m 93 %
na pula perbuatan yang buruk. Menurut saya, sekali lagi, akal publik harus diberi posisi yang penting. Akal publik tidak c 94 %
, sekali lagi, akal publik harus diberi posisi yang penting. akal publik tidak cukup hanya tampil sebagai pengelola data-teks. 94 %
data-teks. Menyangkut perkara-perkara mu’amalah yang mundan, akal publik perlu mendapatkan wewenang untuk mengevaluasi efektiv 95 %
sebuah teks di dalam mengatasi perkara-perkara publik, maka akal publik mesti mempertimbangkan ulang ketentuan tersebut. Akal 97 %
akal publik mesti mempertimbangkan ulang ketentuan tersebut. akal publik bertugas untuk mengeluarkan spirit dasar Islam dari l 97 %
geluarkan spirit dasar Islam dari lipatan huruf-huruf agama. akal publik mempunyai tanggungjawab moral untuk mentanqih ayat-ay 97 %
ruksi kaidah-kaidah ushul ini niscaya produk pemikiran Islam akan lebih solutif bagi problem-problem kemanusiaan yang terus me 14 %
erutama dalam imu-ilmu terapan Islam semacam ushul fikih ini akan berkoresponden secara persis dengan kepiawaiannya di dalam m 16 %
rah pada keumuman lafdz ( al-taslim bi ‘umum al-lafdz) hanya akan menyebabkan kita senantiasa berada dalam kerangka makna ling 31 %
lisis yang berhenti hanya pada konteks linguistik saja tidak akan cukup memadai untuk mengejar kebenaran hakiki (maqashid asas 42 %
alam aksara sebuah teks. Pencapaian terhadap makna-makna itu akan meniscayakan adanya sebuah analisa yang bukan hanya terhadap 43 %
Sebab, keterpesonaan merupakan tindakan ideologis yang hanya akan menumpulkan kreativitas dalam pencarian makna obyektif. 45 %
suci yang sudah aus. Dengan cara ini, maka cita kemaslahatan akan senantiasa berkreasi untuk memproduksi formulasi bahkan teks 53 %
fikih al-Qur`an persis seperti dalam bunyi harfiahnya hanya akan mengantarkan al-Qur`an pada perangkap yang mematikan spirit 81 %
rendah, sehingga kalau dibiarkan maka manusia secara massal akan bertelanjang bulat di jalan-jalan sebagaimana binatang, berz 92 %
nhu), yaitu makna yang tak tercakup secara verbatim di dalam aksara sebuah teks. Pencapaian terhadap makna-makna itu akan menisc 43 %
tinbatkan hukum dari al-Qur`an dan al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya melainkan dari maqashid yang dikandungnya. Yang menjadi aksi 18 %
berkulminasi pada teks adalah illegal, sebab teks merupakan aksis dari seluruh cara pemecahan problem. Tentu saja ini merup 12 %
anya melainkan dari maqashid yang dikandungnya. Yang menjadi aksis adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat dan bukan legis 18 %
engabaian realitas merupakan ciri umum dari metodologi lama. aktivitas ijtihad selalu digerakkan di dalam areal teks. Ijtihad yang 11 %
katakan sebagai ayat dengan kedudukan paling tinggi (al-ayat al-’ala qiymatan), atau al-ayat al-ushuliyat atau ushul al-Qur`an. A 67 %
n prinsip-prinsip dasar Islam. 3 Tanqih al-Nushush bi al-’aql al-Mujtama’ Kaidah ini hendak menyatakan bahwa akal publ 74 %
bdissalam, “innama al-takalif kulluha raji’atun ila mashalih al-’ibad” seluruh ketentuan agama diarahkan untuk sebesar-besarnya kem 64 %
an kemaslahatan bagi sebesar-besarnya umat manusia. 1. al-’ibrah bi al-maqashid la bi al-alfadz. Kaidah ini berarti bahwa 17 %
an di atas merupakan antipoda dari kaidah lama yang berbunyi al-’ibrah bi khushûsh al-sabab lâ bi ‘umûm al-lafadz. Bahwa yang harus 29 %
fat tehnis-operasional--saya suka menyebutnya dengan al-ayat al-adna qiymatan atau al-ayat al-furu’iyyat atau fikih al-Qur`an, se 71 %
gan kedudukan paling tinggi (al-ayat al-’ala qiymatan), atau al-ayat al-ushuliyat atau ushul al-Qur`an. Ayat-ayat seperti ini mem 68 %
ng bersifat tehnis-operasional--saya suka menyebutnya dengan al-ayat al-adna qiymatan atau al-ayat al-furu’iyyat atau fikih al-Qu 71 %
--saya suka menyebutnya dengan al-ayat al-adna qiymatan atau al-ayat al-furu’iyyat atau fikih al-Qur`an, seperti ayat yang berbic 71 %
senantiasa berada dalam kerangka makna linguistik (fiy ithar al-dalalah al-lughawiyah)”, tandas Nahr Hamid Abu Zaid dalam bukunya ya 32 %
uka menyebutnya dengan al-ayat al-adna qiymatan atau al-ayat al-furu’iyyat atau fikih al-Qur`an, seperti ayat yang berbicara tentang be 71 %
a ditemukan sebuah teks agama baik di dalam al-Qur`an maupun al-hadits (apalagi di dalam tafsir dan fikih) yang tidak lagi menyuara 28 %
asi efektivitas dan kinerja beberapa ketentuan al-Qur`an dan al-hadits di dalam mengimpelementasikan maqashid al-syari’ah di bumi r 95 %
ertitelkan Fashl al-Maqal fiy Taqrir Ma Bayna al-Syari’at wa al-hikmah min al-Ittishal menyatakan bahwa hikmah (kemaslahatan) itu m 60 %
, dan sebagainya. Ayat-ayat tersebut dalam konteks sekarang, alih-alih bisa menyelesaikan masalah-masalah kemanusian, yang terjadi 77 %
hl al-Maqal fiy Taqrir Ma Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah min al-ittishal menyatakan bahwa hikmah (kemaslahatan) itu merupakan saudara 60 %
atan dapat berubah karena perubahan konteks, maka dapat saja allah menyuruh berbuat sesuatu karena diketahui mengandung maslaha 58 %
rbuat sesuatu karena diketahui mengandung maslahat, kemudian allah melarangnya pada waktu kemudian karena diketahui di lapangan 59 %
saudara kandung dari syari’at-syari’at yang telah ditetapkan allah Swt. Teks suci tanpa kemaslahatan memang tak berfungsi ap 60 %
tidak apresiatif bahkan merendahkan akal sebagai karya agung allah Swt. Allah menciptakan akal sesungguhnya agar manusia sanggu 93 %
iatif bahkan merendahkan akal sebagai karya agung Allah Swt. allah menciptakan akal sesungguhnya agar manusia sanggup memilah d 93 %
emaslahatan. Ibnu Rusyd dalam bukunya yang bertitelkan Fashl al-maqal fiy Taqrir Ma Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah min al-Ittishal 59 %
an bagi sebesar-besarnya umat manusia. 1. al-’Ibrah bi al-maqashid la bi al-alfadz. Kaidah ini berarti bahwa yang mesti menj 17 %
carian makna obyektif. 2 Jawaz Naskh al-Nushush bi al-mashlahah Terdapat sebait pertanyaan ontologis dalam ranah ushul fikih 46 %
p-prinsip dasar Islam. 3 Tanqih al-Nushush bi al-’Aql al-mujtama’ Kaidah ini hendak menyatakan bahwa akal publik memiliki kewe 74 %
a untuk menemukan maqashid al-syari’ah. Syathibi di dalam al-muwafaqat mendengungkan sebuah pernyataan genial bahwa seorang mujtahi 21 %
rsalisme dan ketidak-berhinggan kebenaran huruf (shalahiyyah al-nansh dalaliyan li kulli zaman wa makan). Sehingga kita tidak perl 38 %
idak bisa dinasakh ini, seperti ayat “wa idza hakamtum bayna al-nas an tahkumu bi al’adl”, “I’dilu huwa aqrabu li al-taqwa”, dan 69 %
itas dalam pencarian makna obyektif. 2 Jawaz Naskh al-nushush bi al-Mashlahah Terdapat sebait pertanyaan ontologis dala 46 %
ntuan teks suci. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan “naskh al-nushush bi al-mashlahah”. Sebagai spirit dari teks (nushush) al-Qur` 51 %
representasikan prinsip-prinsip dasar Islam. 3 Tanqih al-nushush bi al-’Aql al-Mujtama’ Kaidah ini hendak menyatakan bahw 74 %
Pemahaman tentang konteks yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian klasik itu merupakan prasyarat utama untuk 20 %
rhatian seorang mujtahid di dalam mengistinbatkan hukum dari al-qur`an dan al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya melainkan dari maqas 17 %
ashid inilah yang sejatinya menjadi sumber inspirasi tatkala al-qur`an hendak melabuhkan ketentuan-ketentuan legal-spesifik di lapa 26 %
r dari segala sumber hukum dalam Islam, termasuk sumber dari al-qur`an sendiri. Oleh karena itu, sekiranya ditemukan sebuah teks ag 27 %
ena itu, sekiranya ditemukan sebuah teks agama baik di dalam al-qur`an maupun al-hadits (apalagi di dalam tafsir dan fikih) yang ti 28 %
sini adalah bahwa nasakh tidak dapat dilakukan terhadap teks al-qur`an yang mengandung prinsip-prinsip ajaran yang universal, ajara 66 %
n logika nasakh sendiri. Sementara ayat-ayat mu’amalah dalam al-qur`an yang bersifat tehnis-operasional--saya suka menyebutnya deng 70 %
ik” agama yang menyangkut perkara-perkara publik, baik dalam al-qur`an maupun dalam al-Sunnah. Sehingga ketika terjadi pertentangan 75 %
ebuah fikih, ayat-ayat tersebut sepenuhnya merupakan respons al-qur`an terhadap kasus-kasus tertentu yang berlangsung dalam lokus t 79 %
an, dan penyulingan. Dalam tataran itu, universalisasi fikih al-qur`an tanpa melalui proses tanqih harus dihindari. Sebab, membiark 81 %
lalui proses tanqih harus dihindari. Sebab, membiarkan fikih al-qur`an persis seperti dalam bunyi harfiahnya hanya akan mengantarka 81 %
ersis seperti dalam bunyi harfiahnya hanya akan mengantarkan al-qur`an pada perangkap yang mematikan spirit dan elan vital al-Qur`a 81 %
sionalisasi terhadap barang-barang irrasional yang ada dalam al-qur`an dan al-Sunnah. Akal hanya berguna untuk membuka tabir kegela 88 %
ya berguna untuk membuka tabir kegelapan teks-teks dhanniyat al-qur`an saja. Di tangan Mu’tazilah, akal hanya berfungsi untuk menak 89 %
ntuk mengevaluasi efektivitas dan kinerja beberapa ketentuan al-qur`an dan al-Hadits di dalam mengimpelementasikan maqashid al-syar 95 %
ntipoda dari kaidah lama yang berbunyi al-’ibrah bi khushûsh al-sabab lâ bi ‘umûm al-lafadz. Bahwa yang harus menjadi pertimbangan 29 %
g mujtahid di dalam mengistinbatkan hukum dari al-Qur`an dan al-sunnah bukan huruf dan aksaranya melainkan dari maqashid yang dikan 17 %
dikenal dengan istilah maqashid al-syari’ah. Begitu maqashid al-syari’ah sudah dicapai, maka teks harus segera dilepaskan dari kontek 23 %
iran sepanjang masa. Dalam khazanah ushul fikih, maqashid al-syari’ah itu adalah keadilan, kemaslahatan, kesetaraan, hikmah-kebija 25 %
legal-spesifik di lapangan. Dengan perkataan lain, maqashid al-syari’ah adalah sumber dari segala sumber hukum dalam Islam, termasuk 27 %
ah, maka ia batal atau dapat dibatalkan demi logika maqashid al-syari’ah itu. Kaidah yang diajukan di atas merupakan antipoda dari 28 %
g melingkupi sejarah kehadiran teks. Maka, kejarlah maqashid al-syari’ah dengan pelbagai cara, tanpa terlalu banyak terpesona terhada 44 %
-Qur`an dan al-Hadits di dalam mengimpelementasikan maqashid al-syari’ah di bumi realitas. Sekiranya dari data lapangan diketahui ket 96 %
bukunya yang bertitelkan Fashl al-Maqal fiy Taqrir Ma Bayna al-syari’at wa al-Hikmah min al-Ittishal menyatakan bahwa hikmah (kemasl 60 %
narik mendengar pernyataan Izzuddin Ibnu Abdissalam, “innama al-takalif kulluha raji’atun ila mashalih al-’ibad” seluruh ketentuan 63 %
s suatu peristiwa yang khusus. “Pasrah pada keumuman lafdz ( al-taslim bi ‘umum al-lafdz) hanya akan menyebabkan kita senantiasa be 31 %
Membangun Ushul Fikih alternatif Mestinya, metodologi Islam klasik diletakkan dalam konfigura 0 %
nya, jangan lupa bahwa itu hanya sebagian kaidah ushul fikih alternatif yang bisa disodorkan untuk membenahi kelemahan-kelemahan met 98 %
lasik mengatakan bahwa yang dimenangkan adalah nash. Bahkan, al-thufi menyatakan bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan antara n 47 %
agama yang mutaghayyir (berubah-berubah mengikuti perubahan alur sejarah dan peradaban).Maka, yang perlu mendapatkan proviso 65 %
dukan paling tinggi (al-ayat al-’ala qiymatan), atau al-ayat al-ushuliyat atau ushul al-Qur`an. Ayat-ayat seperti ini memang tidak ban 68 %
spirit dari teks (nushush) al-Qur`an, kemaslahatan merupakan amunisi untuk mengontrol balik dari keberadaan teks dengan menganuli 52 %
sa dinasakh ini, seperti ayat “wa idza hakamtum bayna al-nas an tahkumu bi al’adl”, “I’dilu huwa aqrabu li al-taqwa”, dan se 69 %
ian terhadap makna-makna itu akan meniscayakan adanya sebuah analisa yang bukan hanya terhadap struktur kalimat per se melainkan 43 %
tur kalimat per se melainkan yang justeru fondasional adalah analisa kelas dan struktur sosial dan budaya yang melingkupi sejarah 44 %
shanam yu’bad (patung yang disembah). Segera tampak bahwa analisis yang berhenti hanya pada konteks linguistik saja tidak akan 41 %
kebenaran hakiki (maqashid asasiyah) yang diusung oleh teks. analisis mestinya dilanjutkan pada penyingkapan makna yang terdiamkan 42 %
k lagi relevan. Ditegaskan bahwa ketika terjadi pertentangan antara akal publik dan bunyi harfiah teks ajaran, metodologi lampau 9 %
ontologis dalam ranah ushul fikih, jika terjadi pertentangan antara teks (nash) dan maslahat mana yang mesti dimenangkan? Dalam 46 %
al-Thufi menyatakan bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan antara nash dan mashlahah, karena apa yang diujarkan oleh nash adal 48 %
maupun dalam al-Sunnah. Sehingga ketika terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka akal publ 75 %
d al-syari’ah itu. Kaidah yang diajukan di atas merupakan antipoda dari kaidah lama yang berbunyi al-’ibrah bi khushûsh al-saba 29 %
ngkin terjadi pertentangan antara nash dan mashlahah, karena apa yang diujarkan oleh nash adalah kemaslahatan itu sendiri. Se 48 %
ah Swt. Teks suci tanpa kemaslahatan memang tak berfungsi apa-apa buat manusia, kecuali untuk teks itu sendiri. Teks baru berm 61 %
al tidak cukup percaya diri untuk melakukan peninjauan ulang apalagi mempertanyakan ayat-ayat partikular yang tergolong qath’iyat 90 %
nusia sendiri. Manusia tidak memiliki reputasi dan kedudukan apapun dalam ruang ushul fikih klasik, kecuali sebagai sasaran huku 10 %
nuh, dan sebagainya. Ini, tentu saja sebuah sikap yang tidak apresiatif bahkan merendahkan akal sebagai karya agung Allah Swt. Allah 93 %
za hakamtum bayna al-nas an tahkumu bi al’adl”, “I’dilu huwa aqrabu li al-taqwa”, dan sebagainya. Nasakh terhadap ayat yang demi 69 %
uan yang memadai menyangkut tradisi dan kebiasaan masyarakat arab sebagai masyarakat awal yang menjadi sasaran wahyu. Pengetah 22 %
etodologi lama. Aktivitas ijtihad selalu digerakkan di dalam areal teks. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada teks adalah illeg 12 %
s mendevaluasi akal di bawah kedigdayaan teks. Baik kalangan asy’ariyah maupun Mu’tazilah hakekatnya sama-sama memposisikan akal seb 87 %
logika maqashid al-syari’ah itu. Kaidah yang diajukan di atas merupakan antipoda dari kaidah lama yang berbunyi al-’ibrah 29 %
a memiliki kedudukan dan derajat yang sama. Pandangan di atas sangat berbeda dengan pandangan mainstream, baik yang klasik 86 %
ita etik-moral dari sebuah ayat dan bukan legislasi spesifik atau formulasi literalnya. Nah, untuk mengetahui maqashid ini mak 18 %
kan untuk menimba dan memperoleh prinsip-prinsip dasar Islam atau yang dikenal dengan istilah maqashid al-syari’ah. Begitu maq 23 %
g tidak lagi menyuarakan maqashid al-syari’ah, maka ia batal atau dapat dibatalkan demi logika maqashid al-syari’ah itu. Ka 28 %
t dengan kedudukan paling tinggi (al-ayat al-’ala qiymatan), atau al-ayat al-ushuliyat atau ushul al-Qur`an. Ayat-ayat seperti 68 %
tinggi (al-ayat al-’ala qiymatan), atau al-ayat al-ushuliyat atau ushul al-Qur`an. Ayat-ayat seperti ini memang tidak banyak j 68 %
ional--saya suka menyebutnya dengan al-ayat al-adna qiymatan atau al-ayat al-furu’iyyat atau fikih al-Qur`an, seperti ayat yan 71 %
a dengan al-ayat al-adna qiymatan atau al-ayat al-furu’iyyat atau fikih al-Qur`an, seperti ayat yang berbicara tentang bentuk- 71 %
vat ini dibutuhkan tentu untuk menghindari oligarki pendapat atau otoritarianisme dalam merumuskan dan memecahkan urusan-urusa 84 %
agaimanapun di dalam ruang publik tidak boleh ada satu pihak atau golongan dalam masyarakat yang berhak memaksa pandangannya p 85 %
i pengelola data-teks, sementara data-teks merupakan pangkal atau asal. Sebagai pengelola, maka akal tidak bisa bertindak terl 88 %
melarangnya pada waktu kemudian karena diketahui di lapangan aturan tersebut tidak lagi menyuarakan kemaslahatan. Ibnu Rusyd dal 59 %
kut tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab sebagai masyarakat awal yang menjadi sasaran wahyu. Pengetahuan tentang konteks tent 22 %
. Yang menjadi aksis adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat dan bukan legislasi spesifik atau formulasi literalnya. Nah, 18 %
tnis dan keyakinan. Ayat-ayat ini ingin saya katakan sebagai ayat dengan kedudukan paling tinggi (al-ayat al-’ala qiymatan), a 67 %
ahkan bisa dihitung dengan jari tangan. Masuk dalam kategori ayat yang tidak bisa dinasakh ini, seperti ayat “wa idza hakamtum 68 %
uk dalam kategori ayat yang tidak bisa dinasakh ini, seperti ayat “wa idza hakamtum bayna al-nas an tahkumu bi al’adl”, “I’dil 69 %
lu huwa aqrabu li al-taqwa”, dan sebagainya. Nasakh terhadap ayat yang demikian bukan saja berpunggungan dengan semangat kehad 69 %
tan atau al-ayat al-furu’iyyat atau fikih al-Qur`an, seperti ayat yang berbicara tentang bentuk-bentuk hukuman (‘uqubat), sank 71 %
buka kemungkinan untuk dinasakh dan difalsifikasi, sekiranya ayat tadi tidak efektif lagi sebagai sarana untuk mewujudkan cita 72 %
uhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat hudud (seperti potong tangan, rajam, dan sebagainya), waris, 76 %
asi ruang dan waktu, mengatasi pelbagai etnis dan keyakinan. ayat-ayat ini ingin saya katakan sebagai ayat dengan kedudukan paling 67 %
a qiymatan), atau al-ayat al-ushuliyat atau ushul al-Qur`an. ayat-ayat seperti ini memang tidak banyak jumlahnya, bahkan bisa dihit 68 %
an juga bertentangan dengan logika nasakh sendiri. Sementara ayat-ayat mu’amalah dalam al-Qur`an yang bersifat tehnis-operasional-- 70 %
fikasi ini terasa sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat hudud (seperti potong tangan, rajam 76 %
otong tangan, rajam, dan sebagainya), waris, dan sebagainya. ayat-ayat tersebut dalam konteks sekarang, alih-alih bisa menyelesaika 77 %
yid bi al-’aql, takhshish bi al-’aql, dan tabyin bi al-’aql. ayat-ayat semacam itu, sebagaimana dikatakan sebelumnya disebut sebaga 78 %
umnya disebut sebagai fikih al-Qur`an. Sebagai sebuah fikih, ayat-ayat tersebut sepenuhnya merupakan respons al-Qur`an terhadap kas 79 %
s tertentu pula, masyarakat Arab. Dengan demikian, kebenaran ayat-ayat tadi bersifat relatif dan tentatif, sehingga memerlukan peny 80 %
a. Di tangan Mu’tazilah, akal hanya berfungsi untuk menakwil ayat-ayat yang mutasyabih. Akal tidak cukup percaya diri untuk melakuk 89 %
diri untuk melakukan peninjauan ulang apalagi mempertanyakan ayat-ayat partikular yang tergolong qath’iyat dari sudut struktur gram 90 %
a. Akal publik mempunyai tanggungjawab moral untuk mentanqih ayat-ayat yang problematik. Akhirnya, jangan lupa bahwa itu hanya s 98 %
anisme dalam merumuskan dan memecahkan urusan-urusan publik. bagaimanapun di dalam ruang publik tidak boleh ada satu pihak atau golong 85 %
ushul ini niscaya produk pemikiran Islam akan lebih solutif bagi problem-problem kemanusiaan yang terus melilit. Karena, beta 14 %
ersis dengan kepiawaiannya di dalam menciptakan kemaslahatan bagi sebesar-besarnya umat manusia. 1. al-’Ibrah bi al-maqa 16 %
. Teks baru bermakna sekiranya menyertakan cita kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan adalah fondasi paling pokok dari 61 %
ng berbicara tentang bentuk-bentuk hukuman (‘uqubat), sanksi bagi para pelaku pidana (hudud), bilangan waris dan sebagainya, m 71 %
n masalah-masalah kemanusian, yang terjadi justeru merupakan bagian dari masalah yang harus dipecahkan melalui prosedur tanqih y 78 %
akademis kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. Metodologi lama terlalu 1 %
akademis kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. 1 Metodologi lama ter 7 %
ahatan akan senantiasa berkreasi untuk memproduksi formulasi bahkan teks keagamaan baru di tengah kegamangan dan kegagapan formu 53 %
Qur`an. Ayat-ayat seperti ini memang tidak banyak jumlahnya, bahkan bisa dihitung dengan jari tangan. Masuk dalam kategori ayat 68 %
bagainya. Ini, tentu saja sebuah sikap yang tidak apresiatif bahkan merendahkan akal sebagai karya agung Allah Swt. Allah mencip 93 %
bermadzhab dari yang qawliy ke manhaji mengandung pengertian bahwa metodologi klasik yang telah dikerangkakan oleh para ulama d 4 %
rmalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Ditegaskan bahwa ketika terjadi pertentangan antara akal publik dan bunyi har 9 %
’Ibrah bi al-maqashid la bi al-alfadz. Kaidah ini berarti bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid di dalam mengi 17 %
di dalam al-Muwafaqat mendengungkan sebuah pernyataan genial bahwa seorang mujtahid diharuskan untuk melengkapi diri dengan pen 21 %
rbunyi al-’ibrah bi khushûsh al-sabab lâ bi ‘umûm al-lafadz. bahwa yang harus menjadi pertimbangan adalah keumuman lafadz, buka 29 %
para pengguna kaidah ini kerap terjebak pada suatu kenaifan. bahwa semakin harafiah seseorang membaca al-Qur`an, maka semakin d 34 %
dalah shanam yu’bad (patung yang disembah). Segera tampak bahwa analisis yang berhenti hanya pada konteks linguistik saja ti 41 %
pertanyaan ini, umumnya ulama ushul fikih klasik mengatakan bahwa yang dimenangkan adalah nash. Bahkan, al-Thufi menyatakan ba 47 %
wa yang dimenangkan adalah nash. Bahkan, al-Thufi menyatakan bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan antara nash dan mashlahah 47 %
oleh nash adalah kemaslahatan itu sendiri. Sering disinyalir bahwa kemaslahatan yang diandaikan oleh manusia adalah kemaslahata 48 %
ng dipandang tidak lagi bersendikan kemaslahatan. Dijelaskan bahwa nasakh itu bukan hanya berlaku terhadap syari’at nabi-nabi t 55 %
uhammad karena tidak bermaslahat lagi. Tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu tempat dan waktu 57 %
Ma Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah min al-Ittishal menyatakan bahwa hikmah (kemaslahatan) itu merupakan saudara kandung dari sya 60 %
aka, yang perlu mendapatkan proviso penegasan di sini adalah bahwa nasakh tidak dapat dilakukan terhadap teks al-Qur`an yang me 66 %
hush bi al-’Aql al-Mujtama’ Kaidah ini hendak menyatakan bahwa akal publik memiliki kewenangan untuk menyulih dan mengamand 74 %
ntanqih ayat-ayat yang problematik. Akhirnya, jangan lupa bahwa itu hanya sebagian kaidah ushul fikih alternatif yang bisa d 98 %
diri. Oleh karena itu, sekiranya ditemukan sebuah teks agama baik di dalam al-Qur`an maupun al-hadits (apalagi di dalam tafsir 27 %
uan “dogmatik” agama yang menyangkut perkara-perkara publik, baik dalam al-Qur`an maupun dalam al-Sunnah. Sehingga ketika terj 75 %
andangan di atas sangat berbeda dengan pandangan mainstream, baik yang klasik maupun yang kontemporer yang terus menerus mende 86 %
g terus menerus mendevaluasi akal di bawah kedigdayaan teks. baik kalangan Asy’ariyah maupun Mu’tazilah hakekatnya sama-sama m 87 %
manusia sanggup memilah dan memilih mana-mana tindakan yang baik dan mana-mana pula perbuatan yang buruk. Menurut saya, s 94 %
) al-Qur`an, kemaslahatan merupakan amunisi untuk mengontrol balik dari keberadaan teks dengan menganulir beberapa teks suci ya 52 %
Islam yang tidak lagi relevan. Oleh: Abd Moqsith Ghazali banyak pemikir Muslim memandang metodologi (ushul fikih) klasik tan 3 %
as pada tingkat pemecahan problem tersebut, maka ia tidaklah banyak guna dan manfaatnya. Kecanggihan sebuah metodologi terutama 15 %
erjudul al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah. Terdapat sekian banyak kritik terhadap kaidah konvensional ini. Misalnya, pertama, 32 %
nsional ini. Misalnya, pertama, kaidah ini dipandang terlalu banyak berkonsentrasi dan bergerak pada medan semantik dengan menep 33 %
lah maqashid al-syari’ah dengan pelbagai cara, tanpa terlalu banyak terpesona terhadap keindahan sebuah teks. Sebab, keterpesona 45 %
yat atau ushul al-Qur`an. Ayat-ayat seperti ini memang tidak banyak jumlahnya, bahkan bisa dihitung dengan jari tangan. Masuk da 68 %
istinbath yang telah lama dirisaukan. Tentu saja ada sekian banyak lagi kaidah ushul fikih yang perlu direformasi dengan menyer 99 %
kaidah ushul fikih yang perlu direformasi dengan menyertakan banyak orang yang berkompeten. Dengan cara ini, niscaya kita bisa m 99 %
u jauh, kecuali hanya untuk melakukan rasionalisasi terhadap barang-barang irrasional yang ada dalam al-Qur`an dan al-Sunnah. Akal hany 88 %
berkreasi untuk memproduksi formulasi bahkan teks keagamaan baru di tengah kegamangan dan kegagapan formulasi dan teks keagam 53 %
h syari’at Nabi Muhammad sendiri. Betapa syari’at Islam yang baru diundangkan, kerap dalam 3 sampai 5 tahun dianulir kembali o 56 %
i apa-apa buat manusia, kecuali untuk teks itu sendiri. Teks baru bermakna sekiranya menyertakan cita kemaslahatan bagi umat m 61 %
h) yang tidak lagi menyuarakan maqashid al-syari’ah, maka ia batal atau dapat dibatalkan demi logika maqashid al-syari’ah itu. 28 %
u man qablana) saja, tetapi melainkan juga berlangsung dalam batang tubuh syari’at Nabi Muhammad sendiri. Betapa syari’at Islam 56 %
pun yang kontemporer yang terus menerus mendevaluasi akal di bawah kedigdayaan teks. Baik kalangan Asy’ariyah maupun Mu’tazilah 87 %
dalam bukunya yang bertitelkan Fashl al-Maqal fiy Taqrir Ma bayna al-Syari’at wa al-Hikmah min al-Ittishal menyatakan bahwa hi 60 %
yang tidak bisa dinasakh ini, seperti ayat “wa idza hakamtum bayna al-nas an tahkumu bi al’adl”, “I’dilu huwa aqrabu li al-taqw 69 %
ntuk mengontrol balik dari keberadaan teks dengan menganulir beberapa teks suci yang sudah aus. Dengan cara ini, maka cita kemasla 52 %
. Semua pelajar Islam mesti tahu cerita tentang penganuliran beberapa syari’at yang dipandang tidak lagi bersendikan kemaslahatan. 55 %
dapatkan wewenang untuk mengevaluasi efektivitas dan kinerja beberapa ketentuan al-Qur`an dan al-Hadits di dalam mengimpelementasi 95 %
Islam atau yang dikenal dengan istilah maqashid al-syari’ah. begitu maqashid al-syari’ah sudah dicapai, maka teks harus segera d 23 %
kal mengalami penyusutan peran. Seolah-olah akal manusia itu begitu rendah, sehingga kalau dibiarkan maka manusia secara massal 91 %
melabuhkan prinsip-prinsip dasar Islam itu di tempat dan di belahan bumi non-Arab. Maka, kontekstualisasi, dekontekstualisasi, d 24 %
at atau fikih al-Qur`an, seperti ayat yang berbicara tentang bentuk-bentuk hukuman (‘uqubat), sanksi bagi para pelaku pidana (hudud), b 71 %
im bi ‘umum al-lafdz) hanya akan menyebabkan kita senantiasa berada dalam kerangka makna linguistik (fiy ithar al-dalalah al-lug 31 %
qih ini hakekatnya inheren di dalam diri setiap manusia yang berakal budi. Dalam jiwa manusia terdapat impuls abadi yang tak pern 82 %
1. al-’Ibrah bi al-maqashid la bi al-alfadz. Kaidah ini berarti bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid di dalam 17 %
edudukan dan derajat yang sama. Pandangan di atas sangat berbeda dengan pandangan mainstream, baik yang klasik maupun yang ko 86 %
an). Sehingga kita tidak perlu kaget ketika ushul fikih lama berbicara tentang lafdz dalam porsi yang demikian besar. Segala jenis 39 %
l-ayat al-furu’iyyat atau fikih al-Qur`an, seperti ayat yang berbicara tentang bentuk-bentuk hukuman (‘uqubat), sanksi bagi para pe 71 %
bah karena perubahan konteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatu karena diketahui mengandung maslahat, kemudian Allah 58 %
ng diajukan di atas merupakan antipoda dari kaidah lama yang berbunyi al-’ibrah bi khushûsh al-sabab lâ bi ‘umûm al-lafadz. Bahwa 29 %
g ushul fikih klasik, kecuali sebagai sasaran hukum yang tak berdaya (mukallaf) 3 Pemberhalaan teks dan pengabaian realitas mer 11 %
tapkan Allah Swt. Teks suci tanpa kemaslahatan memang tak berfungsi apa-apa buat manusia, kecuali untuk teks itu sendiri. Teks b 61 %
s dhanniyat al-Qur`an saja. Di tangan Mu’tazilah, akal hanya berfungsi untuk menakwil ayat-ayat yang mutasyabih. Akal tidak cukup p 89 %
tama, kaidah ini dipandang terlalu banyak berkonsentrasi dan bergerak pada medan semantik dengan menepikan peranan sabab al-nuzul. 33 %
rrasional yang ada dalam al-Qur`an dan al-Sunnah. Akal hanya berguna untuk membuka tabir kegelapan teks-teks dhanniyat al-Qur`an 89 %
fikasikannya. Modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat hudud (seperti pot 76 %
dak boleh ada satu pihak atau golongan dalam masyarakat yang berhak memaksa pandangannya pada orang lain, karena pandangannya di 85 %
(patung yang disembah). Segera tampak bahwa analisis yang berhenti hanya pada konteks linguistik saja tidak akan cukup memadai 41 %
-lughawiyah)”, tandas Nahr Hamid Abu Zaid dalam bukunya yang berjudul al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah. Terdapat sekian banyak 32 %
ini. Misalnya, pertama, kaidah ini dipandang terlalu banyak berkonsentrasi dan bergerak pada medan semantik dengan menepikan peranan sa 33 %
ma dalam imu-ilmu terapan Islam semacam ushul fikih ini akan berkoresponden secara persis dengan kepiawaiannya di dalam menciptakan kema 16 %
aus. Dengan cara ini, maka cita kemaslahatan akan senantiasa berkreasi untuk memproduksi formulasi bahkan teks keagamaan baru di te 53 %
ad selalu digerakkan di dalam areal teks. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada teks adalah illegal, sebab teks merupakan aksis dari se 12 %
ndikan kemaslahatan. Dijelaskan bahwa nasakh itu bukan hanya berlaku terhadap syari’at nabi-nabi terdahulu (syar’u man qablana) s 55 %
i terdahulu (syar’u man qablana) saja, tetapi melainkan juga berlangsung dalam batang tubuh syari’at Nabi Muhammad sendiri. Betapa sy 56 %
rupakan respons al-Qur`an terhadap kasus-kasus tertentu yang berlangsung dalam lokus tertentu pula, masyarakat Arab. Dengan demikian, 79 %
apapun. Ajakan sejumlah ulama Indonesia untuk mengubah pola bermadzhab dari yang qawliy ke manhaji mengandung pengertian bahwa meto 3 %
-apa buat manusia, kecuali untuk teks itu sendiri. Teks baru bermakna sekiranya menyertakan cita kemaslahatan bagi umat manusia. K 61 %
penanganan. Dengan segala keterbatasan, tulisan ini kiranya bermaksud untuk mereformasi kaidah-kaidah ushul fikih yang problematis 13 %
pai 5 tahun dianulir kembali oleh Nabi Muhammad karena tidak bermaslahat lagi. Tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai masl 57 %
k bermaslahat lagi. Tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu tempat dan waktu tertentu, kemudian ber 57 %
al publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka akal publik berotoritas untuk mengedit, menyempurnakan, dan memodifikasikannya. Modi 75 %
untuk bertanqih. Terdapat dorongan adekuat untuk senantiasa berpihak pada kebenaran dan keadilan. Selalu ada kecenderungan untuk 83 %
an sebagainya. Nasakh terhadap ayat yang demikian bukan saja berpunggungan dengan semangat kehadiran Islam awal, melainkan juga bertent 69 %
makin dekat ia pada kebenaran. Sebaliknya, semakin jauh yang bersangkutan dari makna literal al-Qur`an, maka ia semakin terlempar dari 34 %
ang penganuliran beberapa syari’at yang dipandang tidak lagi bersendikan kemaslahatan. Dijelaskan bahwa nasakh itu bukan hanya berlak 55 %
secara sepenuh hati.Secara pribadi, saya tidak dalam posisi bersetuju dengan jawaban di atas. Pada hemat saya, maslahat memiliki o 51 %
susnya sebab. Maka, jika suatu nash menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan nash ter 30 %
sendiri. Sementara ayat-ayat mu’amalah dalam al-Qur`an yang bersifat tehnis-operasional--saya suka menyebutnya dengan al-ayat al- 70 %
, masyarakat Arab. Dengan demikian, kebenaran ayat-ayat tadi bersifat relatif dan tentatif, sehingga memerlukan penyempurnaan, pem 80 %
ah, sehingga kalau dibiarkan maka manusia secara massal akan bertelanjang bulat di jalan-jalan sebagaimana binatang, berzina beramai-r 92 %
ggungan dengan semangat kehadiran Islam awal, melainkan juga bertentangan dengan logika nasakh sendiri. Sementara ayat-ayat mu’amalah 70 %
n pangkal atau asal. Sebagai pengelola, maka akal tidak bisa bertindak terlampau jauh, kecuali hanya untuk melakukan rasionalisasi 88 %
lagi menyuarakan kemaslahatan. Ibnu Rusyd dalam bukunya yang bertitelkan Fashl al-Maqal fiy Taqrir Ma Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah 59 %
mesti mempertimbangkan ulang ketentuan tersebut. Akal publik bertugas untuk mengeluarkan spirit dasar Islam dari lipatan huruf-hur 97 %
lai maslahat dalam suatu tempat dan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan waktu yang lain. Bila 57 %
lam suatu ruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karena perubahan konteks, maka dapat saja Allah menyuruh ber 58 %
i masalah yang harus dipecahkan melalui prosedur tanqih yang berupa taqyid bi al-’aql, takhshish bi al-’aql, dan tabyin bi al-’a 78 %
akan bertelanjang bulat di jalan-jalan sebagaimana binatang, berzina beramai-ramai, mencuri secara berjemaah, saling bunuh-membun 92 %
bagi problem-problem kemanusiaan yang terus melilit. Karena, betapa pun canggihnya sebuah metodologi jika kandas pada tingkat pe 15 %
rlangsung dalam batang tubuh syari’at Nabi Muhammad sendiri. betapa syari’at Islam yang baru diundangkan, kerap dalam 3 sampai 5 56 %
hatan bagi sebesar-besarnya umat manusia. 1. al-’Ibrah bi al-maqashid la bi al-alfadz. Kaidah ini berarti bahwa yan 17 %
-besarnya umat manusia. 1. al-’Ibrah bi al-maqashid la bi al-alfadz. Kaidah ini berarti bahwa yang mesti menjadi pe 17 %
merupakan antipoda dari kaidah lama yang berbunyi al-’ibrah bi khushûsh al-sabab lâ bi ‘umûm al-lafadz. Bahwa yang harus me 29 %
kaidah lama yang berbunyi al-’ibrah bi khushûsh al-sabab lâ bi ‘umûm al-lafadz. Bahwa yang harus menjadi pertimbangan adala 29 %
ristiwa yang khusus. “Pasrah pada keumuman lafdz ( al-taslim bi ‘umum al-lafdz) hanya akan menyebabkan kita senantiasa berad 31 %
pencarian makna obyektif. 2 Jawaz Naskh al-Nushush bi al-Mashlahah Terdapat sebait pertanyaan ontologis dalam r 46 %
suci. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan “naskh al-nushush bi al-mashlahah”. Sebagai spirit dari teks (nushush) al-Qur`an, 51 %
ini, seperti ayat “wa idza hakamtum bayna al-nas an tahkumu bi al’adl”, “I’dilu huwa aqrabu li al-taqwa”, dan sebagainya. N 69 %
ikan prinsip-prinsip dasar Islam. 3 Tanqih al-Nushush bi al-’Aql al-Mujtama’ Kaidah ini hendak menyatakan bahwa a 74 %
harus dipecahkan melalui prosedur tanqih yang berupa taqyid bi al-’aql, takhshish bi al-’aql, dan tabyin bi al-’aql. Ay 78 %
lui prosedur tanqih yang berupa taqyid bi al-’aql, takhshish bi al-’aql, dan tabyin bi al-’aql. Ayat-ayat semacam itu, s 78 %
g berupa taqyid bi al-’aql, takhshish bi al-’aql, dan tabyin bi al-’aql. Ayat-ayat semacam itu, sebagaimana dikatakan se 78 %
ubah menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan waktu yang lain. bila kemaslahatan dapat berubah karena perubahan konteks, maka da 58 %
k hukuman (‘uqubat), sanksi bagi para pelaku pidana (hudud), bilangan waris dan sebagainya, maka tetap terbuka kemungkinan untuk d 72 %
Ayat-ayat seperti ini memang tidak banyak jumlahnya, bahkan bisa dihitung dengan jari tangan. Masuk dalam kategori ayat yang 68 %
ung dengan jari tangan. Masuk dalam kategori ayat yang tidak bisa dinasakh ini, seperti ayat “wa idza hakamtum bayna al-nas an 69 %
gainya. Ayat-ayat tersebut dalam konteks sekarang, alih-alih bisa menyelesaikan masalah-masalah kemanusian, yang terjadi juste 77 %
upakan pangkal atau asal. Sebagai pengelola, maka akal tidak bisa bertindak terlampau jauh, kecuali hanya untuk melakukan rasi 88 %
bahwa itu hanya sebagian kaidah ushul fikih alternatif yang bisa disodorkan untuk membenahi kelemahan-kelemahan metodologi is 98 %
banyak orang yang berkompeten. Dengan cara ini, niscaya kita bisa menghindari kebekuan dan kemandulan metodologi-ushul fikih. 100 %
usan-urusan publik. Bagaimanapun di dalam ruang publik tidak boleh ada satu pihak atau golongan dalam masyarakat yang berhak me 85 %
Teks suci tanpa kemaslahatan memang tak berfungsi apa-apa buat manusia, kecuali untuk teks itu sendiri. Teks baru bermakna 61 %
eru fondasional adalah analisa kelas dan struktur sosial dan budaya yang melingkupi sejarah kehadiran teks. Maka, kejarlah maqas 44 %
dan sempurna. Sehingga, kewajiban umat yang datang kemudian bukan untuk mengubahnya, tetapi mengikuti dan melaksanakannya. Di 5 %
di dalam mengistinbatkan hukum dari al-Qur`an dan al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya melainkan dari maqashid yang dikandungny 18 %
njadi aksis adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat dan bukan legislasi spesifik atau formulasi literalnya. Nah, untuk men 18 %
seseorang dituntut untuk memahami konteks. Yang dimaksudkan bukan hanya konteks personal yang juz`iy-partikular melainkan juga 19 %
ang menjadi sasaran wahyu. Pengetahuan tentang konteks tentu bukan untuk konteks itu sendiri, melainkan untuk menimba dan mempe 22 %
ahwa yang harus menjadi pertimbangan adalah keumuman lafadz, bukan khususnya sebab. Maka, jika suatu nash menggunakan redaksi y 30 %
makna-makna itu akan meniscayakan adanya sebuah analisa yang bukan hanya terhadap struktur kalimat per se melainkan yang juster 43 %
k lagi bersendikan kemaslahatan. Dijelaskan bahwa nasakh itu bukan hanya berlaku terhadap syari’at nabi-nabi terdahulu (syar’u 55 %
ing pokok dari setiap perundang-undangan syari’at Islam. Ini bukan karena ajaran Islam memang perlu dicocok-cocokkan secara opu 62 %
l-taqwa”, dan sebagainya. Nasakh terhadap ayat yang demikian bukan saja berpunggungan dengan semangat kehadiran Islam awal, mel 69 %
liruan dan menyempurnakan segala kekurangan. Akal publik dan bukan akal privat ini dibutuhkan tentu untuk menghindari oligarki 84 %
i sudut struktur gramatika bahasanya. Akal manusia dalam buku-buku teologi klasik telah diletakkan sebagai sub-ordinat dari tek 91 %
al-dalalah al-lughawiyah)”, tandas Nahr Hamid Abu Zaid dalam bukunya yang berjudul al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah. Terdapat 32 %
rsebut tidak lagi menyuarakan kemaslahatan. Ibnu Rusyd dalam bukunya yang bertitelkan Fashl al-Maqal fiy Taqrir Ma Bayna al-Syari 59 %
kalau dibiarkan maka manusia secara massal akan bertelanjang bulat di jalan-jalan sebagaimana binatang, berzina beramai-ramai, 92 %
kan prinsip-prinsip dasar Islam itu di tempat dan di belahan bumi non-Arab. Maka, kontekstualisasi, dekontekstualisasi, dan re 24 %
Hadits di dalam mengimpelementasikan maqashid al-syari’ah di bumi realitas. Sekiranya dari data lapangan diketahui ketidak-ber 96 %
kan bahwa ketika terjadi pertentangan antara akal publik dan bunyi harfiah teks ajaran, metodologi lampau selalu mengambil cara 9 %
yang terakhir itu, realitas hendak disubordinasikan ke dalam bunyi harafiah teks. Yang dituju adalah kebenaran teks dengan kons 36 %
elatif, sementara kemaslahatan yang ditetapkan Tuhan melalui bunyi harafiah nash adalah kemaslahatan hakiki dan obyektif. Manus 49 %
hingga ketika terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka akal publik berotoritas untuk meng 75 %
dari. Sebab, membiarkan fikih al-Qur`an persis seperti dalam bunyi harfiahnya hanya akan mengantarkan al-Qur`an pada perangkap 81 %
mikir Muslim memandang metodologi (ushul fikih) klasik tanpa cacat epistemologis apapun. Ajakan sejumlah ulama Indonesia untuk 3 %
m-problem kemanusiaan yang terus melilit. Karena, betapa pun canggihnya sebuah metodologi jika kandas pada tingkat pemecahan problem 15 %
unyi harfiah teks ajaran, metodologi lampau selalu mengambil cara penundukan terhadap akal publik. 2 Metodologi klasik kuran 9 %
teks adalah illegal, sebab teks merupakan aksis dari seluruh cara pemecahan problem. Tentu saja ini merupakan kelemahan met 12 %
dengan menganulir beberapa teks suci yang sudah aus. Dengan cara ini, maka cita kemaslahatan akan senantiasa berkreasi untuk 53 %
asi dengan menyertakan banyak orang yang berkompeten. Dengan cara ini, niscaya kita bisa menghindari kebekuan dan kemandulan metodologi-ushul fikih. 100 %
engan istilah nasikh-mansukh. Semua pelajar Islam mesti tahu cerita tentang penganuliran beberapa syari’at yang dipandang tidak 55 %
eadilan, kemaslahatan, kesetaraan, hikmah-kebijaksanaan, dan cinta kasih. Maqashid inilah yang sejatinya menjadi sumber inspira 26 %
laf) 3 Pemberhalaan teks dan pengabaian realitas merupakan ciri umum dari metodologi lama. Aktivitas ijtihad selalu digerakk 11 %
lir beberapa teks suci yang sudah aus. Dengan cara ini, maka cita kemaslahatan akan senantiasa berkreasi untuk memproduksi for 53 %
k teks itu sendiri. Teks baru bermakna sekiranya menyertakan cita kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan adalah fondasi 61 %
berubah, pokok, dan universal), sementara wujud pelaksanaan cita kemaslahatan itu merupakan perkara agama yang mutaghayyir (b 65 %
ayat tadi tidak efektif lagi sebagai sarana untuk mewujudkan cita kemalahatan. Dalam sejarahnya, nasakh selalu hadir untuk ter 73 %
n dari maqashid yang dikandungnya. Yang menjadi aksis adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat dan bukan legislasi spesifik ata 18 %
yang berhenti hanya pada konteks linguistik saja tidak akan cukup memadai untuk mengejar kebenaran hakiki (maqashid asasiyah) 42 %
rfungsi untuk menakwil ayat-ayat yang mutasyabih. Akal tidak cukup percaya diri untuk melakukan peninjauan ulang apalagi memper 90 %
l publik harus diberi posisi yang penting. Akal publik tidak cukup hanya tampil sebagai pengelola data-teks. Menyangkut perkara 94 %
a metodologi klasik yang telah dikerangkakan oleh para ulama dahulu memang sudah tuntas dan sempurna. Sehingga, kewajiban umat y 4 %
dan ketidak-berhinggan kebenaran huruf (shalahiyyah al-nansh dalaliyan li kulli zaman wa makan). Sehingga kita tidak perlu kaget ke 38 %
h Alternatif Mestinya, metodologi Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya 0 %
alu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalisti 2 %
ulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Oleh: Abd Moqsith Ghazali 2 %
ovisionaris. Mestinya, metodologi Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya 7 %
alu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalisti 8 %
ulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Ditegaskan bahwa ketika terja 8 %
Metodologi klasik kurang hirau terhadap kemampuan manusia di dalam merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk umat manusia send 10 %
endiri. Manusia tidak memiliki reputasi dan kedudukan apapun dalam ruang ushul fikih klasik, kecuali sebagai sasaran hukum yang 10 %
dari metodologi lama. Aktivitas ijtihad selalu digerakkan di dalam areal teks. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada teks adalah 12 %
guna dan manfaatnya. Kecanggihan sebuah metodologi terutama dalam imu-ilmu terapan Islam semacam ushul fikih ini akan berkores 16 %
ni akan berkoresponden secara persis dengan kepiawaiannya di dalam menciptakan kemaslahatan bagi sebesar-besarnya umat manusia. 16 %
rarti bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid di dalam mengistinbatkan hukum dari al-Qur`an dan al-Sunnah bukan hur 17 %
tentang konteks yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian klasik itu merupakan prasyarat utama untuk menemu 20 %
t utama untuk menemukan maqashid al-syari’ah. Syathibi di dalam al-Muwafaqat mendengungkan sebuah pernyataan genial bahwa se 21 %
alisasi merupakan mekanisme kerja penafsiran sepanjang masa. dalam khazanah ushul fikih, maqashid al-syari’ah itu adalah keadil 25 %
maqashid al-syari’ah adalah sumber dari segala sumber hukum dalam Islam, termasuk sumber dari al-Qur`an sendiri. Oleh karena i 27 %
eh karena itu, sekiranya ditemukan sebuah teks agama baik di dalam al-Qur`an maupun al-hadits (apalagi di dalam tafsir dan fiki 28 %
s agama baik di dalam al-Qur`an maupun al-hadits (apalagi di dalam tafsir dan fikih) yang tidak lagi menyuarakan maqashid al-sy 28 %
umum al-lafdz) hanya akan menyebabkan kita senantiasa berada dalam kerangka makna linguistik (fiy ithar al-dalalah al-lughawiya 31 %
ithar al-dalalah al-lughawiyah)”, tandas Nahr Hamid Abu Zaid dalam bukunya yang berjudul al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah. T 32 %
terlempar dari kebenaran. Maka, semakin literal seseorang di dalam memperlakukan al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada ketakwaa 35 %
dekat ia pada ketakwaan. Dan semakin substantif seseorang di dalam memandang al-Qur`an, maka jauh ia dari ketakwaan. Kedua, 36 %
memandang al-Qur`an, maka jauh ia dari ketakwaan. Kedua, dalam kaidah yang terakhir itu, realitas hendak disubordinasikan k 36 %
aidah yang terakhir itu, realitas hendak disubordinasikan ke dalam bunyi harafiah teks. Yang dituju adalah kebenaran teks denga 36 %
eks (al-siyaq al-tarikhi) yang mengitari. Konteks didudukkan dalam posisi yang rendah dan sekunder. Ini menjadi maklum, oleh ka 37 %
perlu kaget ketika ushul fikih lama berbicara tentang lafdz dalam porsi yang demikian besar. Segala jenis perbincangan kebahas 39 %
kut ‘anhu), yaitu makna yang tak tercakup secara verbatim di dalam aksara sebuah teks. Pencapaian terhadap makna-makna itu akan 43 %
n tindakan ideologis yang hanya akan menumpulkan kreativitas dalam pencarian makna obyektif. 2 Jawaz Naskh al-Nushush 45 %
hush bi al-Mashlahah Terdapat sebait pertanyaan ontologis dalam ranah ushul fikih, jika terjadi pertentangan antara teks (na 46 %
antara teks (nash) dan maslahat mana yang mesti dimenangkan? dalam menjawab pertanyaan ini, umumnya ulama ushul fikih klasik me 47 %
mengimaninya secara sepenuh hati.Secara pribadi, saya tidak dalam posisi bersetuju dengan jawaban di atas. Pada hemat saya, ma 50 %
(syar’u man qablana) saja, tetapi melainkan juga berlangsung dalam batang tubuh syari’at Nabi Muhammad sendiri. Betapa syari’at 56 %
sendiri. Betapa syari’at Islam yang baru diundangkan, kerap dalam 3 sampai 5 tahun dianulir kembali oleh Nabi Muhammad karena 56 %
. Tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu tempat dan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi ma 57 %
tempat dan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat ber 58 %
ran tersebut tidak lagi menyuarakan kemaslahatan. Ibnu Rusyd dalam bukunya yang bertitelkan Fashl al-Maqal fiy Taqrir Ma Bayna 59 %
ak jumlahnya, bahkan bisa dihitung dengan jari tangan. Masuk dalam kategori ayat yang tidak bisa dinasakh ini, seperti ayat “wa 68 %
dengan logika nasakh sendiri. Sementara ayat-ayat mu’amalah dalam al-Qur`an yang bersifat tehnis-operasional--saya suka menyeb 70 %
ektif lagi sebagai sarana untuk mewujudkan cita kemalahatan. dalam sejarahnya, nasakh selalu hadir untuk terus-menerus memperba 73 %
dogmatik” agama yang menyangkut perkara-perkara publik, baik dalam al-Qur`an maupun dalam al-Sunnah. Sehingga ketika terjadi pe 75 %
nyangkut perkara-perkara publik, baik dalam al-Qur`an maupun dalam al-Sunnah. Sehingga ketika terjadi pertentangan antara akal 75 %
, dan sebagainya), waris, dan sebagainya. Ayat-ayat tersebut dalam konteks sekarang, alih-alih bisa menyelesaikan masalah-masal 77 %
ons al-Qur`an terhadap kasus-kasus tertentu yang berlangsung dalam lokus tertentu pula, masyarakat Arab. Dengan demikian, keben 79 %
ngga memerlukan penyempurnaan, pembaharuan, dan penyulingan. dalam tataran itu, universalisasi fikih al-Qur`an tanpa melalui pr 80 %
dihindari. Sebab, membiarkan fikih al-Qur`an persis seperti dalam bunyi harfiahnya hanya akan mengantarkan al-Qur`an pada pera 81 %
vital al-Qur`an. Kerja tanqih ini hakekatnya inheren di dalam diri setiap manusia yang berakal budi. Dalam jiwa manusia te 82 %
tnya inheren di dalam diri setiap manusia yang berakal budi. dalam jiwa manusia terdapat impuls abadi yang tak pernah padam unt 82 %
ntu untuk menghindari oligarki pendapat atau otoritarianisme dalam merumuskan dan memecahkan urusan-urusan publik. Bagaimanapun 84 %
umuskan dan memecahkan urusan-urusan publik. Bagaimanapun di dalam ruang publik tidak boleh ada satu pihak atau golongan dalam 85 %
dalam ruang publik tidak boleh ada satu pihak atau golongan dalam masyarakat yang berhak memaksa pandangannya pada orang lain, 85 %
kan rasionalisasi terhadap barang-barang irrasional yang ada dalam al-Qur`an dan al-Sunnah. Akal hanya berguna untuk membuka ta 88 %
at dari sudut struktur gramatika bahasanya. Akal manusia dalam buku-buku teologi klasik telah diletakkan sebagai sub-ordina 91 %
as dan kinerja beberapa ketentuan al-Qur`an dan al-Hadits di dalam mengimpelementasikan maqashid al-syari’ah di bumi realitas. 96 %
ari data lapangan diketahui ketidak-berdayaan sebuah teks di dalam mengatasi perkara-perkara publik, maka akal publik mesti mem 96 %
stinya, metodologi Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta a 1 %
ebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Is 2 %
lah dikerangkakan oleh para ulama dahulu memang sudah tuntas dan sempurna. Sehingga, kewajiban umat yang datang kemudian buka 4 %
ng datang kemudian bukan untuk mengubahnya, tetapi mengikuti dan melaksanakannya. Di sini, sebuah metodologi yang sejatinya l 5 %
ang mutlak. Tak terbantah. Mereka telah melakukan idealisasi dan universalisasi terhadap metodologi lama yang provisionaris. 6 %
stinya, metodologi Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta a 7 %
ebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Is 8 %
egaskan bahwa ketika terjadi pertentangan antara akal publik dan bunyi harfiah teks ajaran, metodologi lampau selalu mengambi 9 %
untuk umat manusia sendiri. Manusia tidak memiliki reputasi dan kedudukan apapun dalam ruang ushul fikih klasik, kecuali seb 10 %
aran hukum yang tak berdaya (mukallaf) 3 Pemberhalaan teks dan pengabaian realitas merupakan ciri umum dari metodologi lama 11 %
kat pemecahan problem tersebut, maka ia tidaklah banyak guna dan manfaatnya. Kecanggihan sebuah metodologi terutama dalam imu 15 %
orang mujtahid di dalam mengistinbatkan hukum dari al-Qur`an dan al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya melainkan dari maqashid 17 %
ngistinbatkan hukum dari al-Qur`an dan al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya melainkan dari maqashid yang dikandungnya. Yang me 18 %
g menjadi aksis adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat dan bukan legislasi spesifik atau formulasi literalnya. Nah, unt 18 %
kapi diri dengan pengetahuan yang memadai menyangkut tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab sebagai masyarakat awal yang menja 21 %
ntu bukan untuk konteks itu sendiri, melainkan untuk menimba dan memperoleh prinsip-prinsip dasar Islam atau yang dikenal den 22 %
Yaitu, melabuhkan prinsip-prinsip dasar Islam itu di tempat dan di belahan bumi non-Arab. Maka, kontekstualisasi, dekontekst 24 %
n bumi non-Arab. Maka, kontekstualisasi, dekontekstualisasi, dan rekontekstualisasi merupakan mekanisme kerja penafsiran sepa 25 %
ah keadilan, kemaslahatan, kesetaraan, hikmah-kebijaksanaan, dan cinta kasih. Maqashid inilah yang sejatinya menjadi sumber i 26 %
di dalam al-Qur`an maupun al-hadits (apalagi di dalam tafsir dan fikih) yang tidak lagi menyuarakan maqashid al-syari’ah, mak 28 %
pertama, kaidah ini dipandang terlalu banyak berkonsentrasi dan bergerak pada medan semantik dengan menepikan peranan sabab 33 %
mperlakukan al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada ketakwaan. dan semakin substantif seseorang di dalam memandang al-Qur`an, m 35 %
yang mengitari. Konteks didudukkan dalam posisi yang rendah dan sekunder. Ini menjadi maklum, oleh karena para pemakai kaida 37 %
rena para pemakai kaidah ini menganut ideologi universalisme dan ketidak-berhinggan kebenaran huruf (shalahiyyah al-nansh dal 38 %
r se melainkan yang justeru fondasional adalah analisa kelas dan struktur sosial dan budaya yang melingkupi sejarah kehadiran 44 %
justeru fondasional adalah analisa kelas dan struktur sosial dan budaya yang melingkupi sejarah kehadiran teks. Maka, kejarla 44 %
ah ushul fikih, jika terjadi pertentangan antara teks (nash) dan maslahat mana yang mesti dimenangkan? Dalam menjawab pertany 47 %
yatakan bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan antara nash dan mashlahah, karena apa yang diujarkan oleh nash adalah kemasl 48 %
ahatan yang diandaikan oleh manusia adalah kemaslahatan semu dan relatif, sementara kemaslahatan yang ditetapkan Tuhan melalu 49 %
Tuhan melalui bunyi harafiah nash adalah kemaslahatan hakiki dan obyektif. Manusia tidak memiliki kewenangan untuk mempertany 49 %
ktif. Manusia tidak memiliki kewenangan untuk mempertanyakan dan menggugat kemaslahatan literal teks. Kewajiban manusia adala 50 %
aslahatan literal teks. Kewajiban manusia adalah mengamalkan dan mengimaninya secara sepenuh hati.Secara pribadi, saya tidak 50 %
si formulasi bahkan teks keagamaan baru di tengah kegamangan dan kegagapan formulasi dan teks keagamaan lama.Praktek dari kai 53 %
keagamaan baru di tengah kegamangan dan kegagapan formulasi dan teks keagamaan lama.Praktek dari kaidah ini dapat diketahui 53 %
ahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu tempat dan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suat 57 %
ertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karena peru 58 %
merupakan ajaran agama yang tsawabit (tidak berubah, pokok, dan universal), sementara wujud pelaksanaan cita kemaslahatan it 65 %
utaghayyir (berubah-berubah mengikuti perubahan alur sejarah dan peradaban).Maka, yang perlu mendapatkan proviso penegasan di 66 %
sip ajaran yang universal, ajaran mana telah melintasi ruang dan waktu, mengatasi pelbagai etnis dan keyakinan. Ayat-ayat ini 67 %
na telah melintasi ruang dan waktu, mengatasi pelbagai etnis dan keyakinan. Ayat-ayat ini ingin saya katakan sebagai ayat den 67 %
nas an tahkumu bi al’adl”, “I’dilu huwa aqrabu li al-taqwa”, dan sebagainya. Nasakh terhadap ayat yang demikian bukan saja be 69 %
bat), sanksi bagi para pelaku pidana (hudud), bilangan waris dan sebagainya, maka tetap terbuka kemungkinan untuk dinasakh da 72 %
an sebagainya, maka tetap terbuka kemungkinan untuk dinasakh dan difalsifikasi, sekiranya ayat tadi tidak efektif lagi sebaga 72 %
yatakan bahwa akal publik memiliki kewenangan untuk menyulih dan mengamandemen sejumlah ketentuan “dogmatik” agama yang menya 74 %
maka akal publik berotoritas untuk mengedit, menyempurnakan, dan memodifikasikannya. Modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan 76 %
artikular, seperti ayat hudud (seperti potong tangan, rajam, dan sebagainya), waris, dan sebagainya. Ayat-ayat tersebut dalam 77 %
hudud (seperti potong tangan, rajam, dan sebagainya), waris, dan sebagainya. Ayat-ayat tersebut dalam konteks sekarang, alih- 77 %
tanqih yang berupa taqyid bi al-’aql, takhshish bi al-’aql, dan tabyin bi al-’aql. Ayat-ayat semacam itu, sebagaimana di 78 %
. Dengan demikian, kebenaran ayat-ayat tadi bersifat relatif dan tentatif, sehingga memerlukan penyempurnaan, pembaharuan, da 80 %
an tentatif, sehingga memerlukan penyempurnaan, pembaharuan, dan penyulingan. Dalam tataran itu, universalisasi fikih al-Qur` 80 %
mengantarkan al-Qur`an pada perangkap yang mematikan spirit dan elan vital al-Qur`an. Kerja tanqih ini hakekatnya inhere 82 %
at dorongan adekuat untuk senantiasa berpihak pada kebenaran dan keadilan. Selalu ada kecenderungan untuk mengoreksi pelbagai 83 %
elalu ada kecenderungan untuk mengoreksi pelbagai kekeliruan dan menyempurnakan segala kekurangan. Akal publik dan bukan akal 84 %
kekeliruan dan menyempurnakan segala kekurangan. Akal publik dan bukan akal privat ini dibutuhkan tentu untuk menghindari oli 84 %
dari oligarki pendapat atau otoritarianisme dalam merumuskan dan memecahkan urusan-urusan publik. Bagaimanapun di dalam ruang 84 %
pandangannya dinilai lebih benar. Mereka memiliki kedudukan dan derajat yang sama. Pandangan di atas sangat berbeda deng 86 %
i terhadap barang-barang irrasional yang ada dalam al-Qur`an dan al-Sunnah. Akal hanya berguna untuk membuka tabir kegelapan 89 %
amai-ramai, mencuri secara berjemaah, saling bunuh-membunuh, dan sebagainya. Ini, tentu saja sebuah sikap yang tidak apresiat 92 %
h menciptakan akal sesungguhnya agar manusia sanggup memilah dan memilih mana-mana tindakan yang baik dan mana-mana pula perb 93 %
sia sanggup memilah dan memilih mana-mana tindakan yang baik dan mana-mana pula perbuatan yang buruk. Menurut saya, sekal 94 %
ik perlu mendapatkan wewenang untuk mengevaluasi efektivitas dan kinerja beberapa ketentuan al-Qur`an dan al-Hadits di dalam 95 %
valuasi efektivitas dan kinerja beberapa ketentuan al-Qur`an dan al-Hadits di dalam mengimpelementasikan maqashid al-syari’ah 95 %
ten. Dengan cara ini, niscaya kita bisa menghindari kebekuan dan kemandulan metodologi-ushul fikih. 100 %
ak lagi menyuarakan maqashid al-syari’ah, maka ia batal atau dapat dibatalkan demi logika maqashid al-syari’ah itu. Kaidah y 28 %
an formulasi dan teks keagamaan lama.Praktek dari kaidah ini dapat diketahui dari pembatalan demi pembatalan terhadap sejumlah 54 %
dat dalam suatu ruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karena perubahan konteks, maka dapat saja Allah meny 58 %
la kemaslahatan dapat berubah karena perubahan konteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatu karena diketahui mengand 58 %
dapatkan proviso penegasan di sini adalah bahwa nasakh tidak dapat dilakukan terhadap teks al-Qur`an yang mengandung prinsip-pr 66 %
akan sejumlah ulama Indonesia untuk mengubah pola bermadzhab dari yang qawliy ke manhaji mengandung pengertian bahwa metodolog 3 %
ksanakannya. Di sini, sebuah metodologi yang sejatinya lahir dari pabrik intelektualitas manusia yang nisbi telah diposisikan 5 %
emberhalaan teks dan pengabaian realitas merupakan ciri umum dari metodologi lama. Aktivitas ijtihad selalu digerakkan di dala 11 %
lminasi pada teks adalah illegal, sebab teks merupakan aksis dari seluruh cara pemecahan problem. Tentu saja ini merupakan 12 %
untuk mereformasi kaidah-kaidah ushul fikih yang problematis dari sudut ontologis-epistemologis tersebut. Dengan merekonstruks 14 %
di perhatian seorang mujtahid di dalam mengistinbatkan hukum dari al-Qur`an dan al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya melainkan 17 %
al-Qur`an dan al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya melainkan dari maqashid yang dikandungnya. Yang menjadi aksis adalah cita-c 18 %
dikandungnya. Yang menjadi aksis adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat dan bukan legislasi spesifik atau formulasi lite 18 %
l yang kulli-universal. Pemahaman tentang konteks yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian klasik itu meru 20 %
al-syari’ah sudah dicapai, maka teks harus segera dilepaskan dari konteks kearabannya (dekontekstualisasi) untuk kemudian dila 23 %
n. Dengan perkataan lain, maqashid al-syari’ah adalah sumber dari segala sumber hukum dalam Islam, termasuk sumber dari al-Qur 27 %
sumber dari segala sumber hukum dalam Islam, termasuk sumber dari al-Qur`an sendiri. Oleh karena itu, sekiranya ditemukan sebu 27 %
i’ah itu. Kaidah yang diajukan di atas merupakan antipoda dari kaidah lama yang berbunyi al-’ibrah bi khushûsh al-sabab lâ 29 %
a pada kebenaran. Sebaliknya, semakin jauh yang bersangkutan dari makna literal al-Qur`an, maka ia semakin terlempar dari kebe 34 %
utan dari makna literal al-Qur`an, maka ia semakin terlempar dari kebenaran. Maka, semakin literal seseorang di dalam memperla 35 %
stantif seseorang di dalam memandang al-Qur`an, maka jauh ia dari ketakwaan. Kedua, dalam kaidah yang terakhir itu, realit 36 %
ungkapan “naskh al-nushush bi al-mashlahah”. Sebagai spirit dari teks (nushush) al-Qur`an, kemaslahatan merupakan amunisi unt 52 %
ur`an, kemaslahatan merupakan amunisi untuk mengontrol balik dari keberadaan teks dengan menganulir beberapa teks suci yang su 52 %
ngan dan kegagapan formulasi dan teks keagamaan lama.Praktek dari kaidah ini dapat diketahui dari pembatalan demi pembatalan t 54 %
teks keagamaan lama.Praktek dari kaidah ini dapat diketahui dari pembatalan demi pembatalan terhadap sejumlah syari’at Islam, 54 %
an bahwa hikmah (kemaslahatan) itu merupakan saudara kandung dari syari’at-syari’at yang telah ditetapkan Allah Swt. Teks s 60 %
bagi umat manusia. Kemaslahatan adalah fondasi paling pokok dari setiap perundang-undangan syari’at Islam. Ini bukan karena a 62 %
ah-masalah kemanusian, yang terjadi justeru merupakan bagian dari masalah yang harus dipecahkan melalui prosedur tanqih yang b 78 %
mempertanyakan ayat-ayat partikular yang tergolong qath’iyat dari sudut struktur gramatika bahasanya. Akal manusia dalam b 90 %
uku-buku teologi klasik telah diletakkan sebagai sub-ordinat dari teks. Akal mengalami penyusutan peran. Seolah-olah akal manu 91 %
ementasikan maqashid al-syari’ah di bumi realitas. Sekiranya dari data lapangan diketahui ketidak-berdayaan sebuah teks di dal 96 %
. Akal publik bertugas untuk mengeluarkan spirit dasar Islam dari lipatan huruf-huruf agama. Akal publik mempunyai tanggungjaw 97 %
diri, melainkan untuk menimba dan memperoleh prinsip-prinsip dasar Islam atau yang dikenal dengan istilah maqashid al-syari’ah. 23 %
akukan rekontekstualisasi. Yaitu, melabuhkan prinsip-prinsip dasar Islam itu di tempat dan di belahan bumi non-Arab. Maka, kont 24 %
teks agama yang tidak lagi merepresentasikan prinsip-prinsip dasar Islam. 3 Tanqih al-Nushush bi al-’Aql al-Mujtama’ 73 %
uan tersebut. Akal publik bertugas untuk mengeluarkan spirit dasar Islam dari lipatan huruf-huruf agama. Akal publik mempunyai 97 %
asikan maqashid al-syari’ah di bumi realitas. Sekiranya dari data lapangan diketahui ketidak-berdayaan sebuah teks di dalam me 96 %
ang sudah tuntas dan sempurna. Sehingga, kewajiban umat yang datang kemudian bukan untuk mengubahnya, tetapi mengikuti dan melak 4 %
ama memposisikan akal sebagai pengelola data-teks, sementara data-teks merupakan pangkal atau asal. Sebagai pengelola, maka akal ti 87 %
a semakin harafiah seseorang membaca al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada kebenaran. Sebaliknya, semakin jauh yang bersangkuta 34 %
ral seseorang di dalam memperlakukan al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada ketakwaan. Dan semakin substantif seseorang di dalam 35 %
an maqashid al-syari’ah, maka ia batal atau dapat dibatalkan demi logika maqashid al-syari’ah itu. Kaidah yang diajukan di 28 %
lama.Praktek dari kaidah ini dapat diketahui dari pembatalan demi pembatalan terhadap sejumlah syari’at Islam, yang dikenal de 54 %
ka ushul fikih lama berbicara tentang lafdz dalam porsi yang demikian besar. Segala jenis perbincangan kebahasaan (abhats lughawiy 39 %
rabu li al-taqwa”, dan sebagainya. Nasakh terhadap ayat yang demikian bukan saja berpunggungan dengan semangat kehadiran Islam awa 69 %
an metodologis tersendiri yang mesti mendapatkan penanganan. dengan segala keterbatasan, tulisan ini kiranya bermaksud untuk mer 13 %
ang problematis dari sudut ontologis-epistemologis tersebut. dengan merekonstruksi kaidah-kaidah ushul ini niscaya produk pemiki 14 %
am semacam ushul fikih ini akan berkoresponden secara persis dengan kepiawaiannya di dalam menciptakan kemaslahatan bagi sebesar 16 %
nial bahwa seorang mujtahid diharuskan untuk melengkapi diri dengan pengetahuan yang memadai menyangkut tradisi dan kebiasaan ma 21 %
dan memperoleh prinsip-prinsip dasar Islam atau yang dikenal dengan istilah maqashid al-syari’ah. Begitu maqashid al-syari’ah su 23 %
k melabuhkan ketentuan-ketentuan legal-spesifik di lapangan. dengan perkataan lain, maqashid al-syari’ah adalah sumber dari sega 26 %
rlalu banyak berkonsentrasi dan bergerak pada medan semantik dengan menepikan peranan sabab al-nuzul. Implikasinya, para penggun 33 %
dalam bunyi harafiah teks. Yang dituju adalah kebenaran teks dengan konsekuensi mengabaikan konteks (al-siyaq al-tarikhi) yang m 37 %
sejarah kehadiran teks. Maka, kejarlah maqashid al-syari’ah dengan pelbagai cara, tanpa terlalu banyak terpesona terhadap keind 45 %
penuh hati.Secara pribadi, saya tidak dalam posisi bersetuju dengan jawaban di atas. Pada hemat saya, maslahat memiliki otoritas 51 %
ganulir kententuan-ketentuan teks suci. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan “naskh al-nushush bi al-mashlahah”. Sebagai spirit 51 %
erupakan amunisi untuk mengontrol balik dari keberadaan teks dengan menganulir beberapa teks suci yang sudah aus. Dengan cara in 52 %
an teks dengan menganulir beberapa teks suci yang sudah aus. dengan cara ini, maka cita kemaslahatan akan senantiasa berkreasi u 53 %
mi pembatalan terhadap sejumlah syari’at Islam, yang dikenal dengan istilah nasikh-mansukh. Semua pelajar Islam mesti tahu cerit 54 %
aran Islam memang perlu dicocok-cocokkan secara opurtunistik dengan perkembangan kemaslahatan, melainkan karena tuntutan kemasla 62 %
iarahkan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat manusia . dengan ini, maka kemaslahatan itu merupakan ajaran agama yang tsawa 64 %
dan keyakinan. Ayat-ayat ini ingin saya katakan sebagai ayat dengan kedudukan paling tinggi (al-ayat al-’ala qiymatan), atau al- 67 %
erti ini memang tidak banyak jumlahnya, bahkan bisa dihitung dengan jari tangan. Masuk dalam kategori ayat yang tidak bisa dinas 68 %
Nasakh terhadap ayat yang demikian bukan saja berpunggungan dengan semangat kehadiran Islam awal, melainkan juga bertentangan d 70 %
n semangat kehadiran Islam awal, melainkan juga bertentangan dengan logika nasakh sendiri. Sementara ayat-ayat mu’amalah dalam a 70 %
r`an yang bersifat tehnis-operasional--saya suka menyebutnya dengan al-ayat al-adna qiymatan atau al-ayat al-furu’iyyat atau fik 71 %
nah. Sehingga ketika terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka akal publik berotoritas untu 75 %
a. Modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat hudud (seperti potong tan 76 %
yang berlangsung dalam lokus tertentu pula, masyarakat Arab. dengan demikian, kebenaran ayat-ayat tadi bersifat relatif dan tent 80 %
dan derajat yang sama. Pandangan di atas sangat berbeda dengan pandangan mainstream, baik yang klasik maupun yang kontempor 86 %
sekian banyak lagi kaidah ushul fikih yang perlu direformasi dengan menyertakan banyak orang yang berkompeten. Dengan cara ini, 99 %
ireformasi dengan menyertakan banyak orang yang berkompeten. dengan cara ini, niscaya kita bisa menghindari kebekuan dan kemandulan metodologi-ushul fikih. 99 %
dangannya dinilai lebih benar. Mereka memiliki kedudukan dan derajat yang sama. Pandangan di atas sangat berbeda dengan panda 86 %
. Akal hanya berguna untuk membuka tabir kegelapan teks-teks dhanniyat al-Qur`an saja. Di tangan Mu’tazilah, akal hanya berfungsi u 89 %
erlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-form 2 %
enyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Oleh: Abd Moqsith Gh 2 %
kan untuk mengubahnya, tetapi mengikuti dan melaksanakannya. di sini, sebuah metodologi yang sejatinya lahir dari pabrik int 5 %
erlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-form 8 %
enyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Ditegaskan bahwa ketika 8 %
2 Metodologi klasik kurang hirau terhadap kemampuan manusia di dalam merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk umat manusi 10 %
um dari metodologi lama. Aktivitas ijtihad selalu digerakkan di dalam areal teks. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada teks 12 %
h ini akan berkoresponden secara persis dengan kepiawaiannya di dalam menciptakan kemaslahatan bagi sebesar-besarnya umat ma 16 %
berarti bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid di dalam mengistinbatkan hukum dari al-Qur`an dan al-Sunnah buk 17 %
arat utama untuk menemukan maqashid al-syari’ah. Syathibi di dalam al-Muwafaqat mendengungkan sebuah pernyataan genial ba 21 %
tualisasi. Yaitu, melabuhkan prinsip-prinsip dasar Islam itu di tempat dan di belahan bumi non-Arab. Maka, kontekstualisasi, 24 %
tu, melabuhkan prinsip-prinsip dasar Islam itu di tempat dan di belahan bumi non-Arab. Maka, kontekstualisasi, dekontekstual 24 %
-Qur`an hendak melabuhkan ketentuan-ketentuan legal-spesifik di lapangan. Dengan perkataan lain, maqashid al-syari’ah adalah 26 %
Oleh karena itu, sekiranya ditemukan sebuah teks agama baik di dalam al-Qur`an maupun al-hadits (apalagi di dalam tafsir da 27 %
teks agama baik di dalam al-Qur`an maupun al-hadits (apalagi di dalam tafsir dan fikih) yang tidak lagi menyuarakan maqashid 28 %
emi logika maqashid al-syari’ah itu. Kaidah yang diajukan di atas merupakan antipoda dari kaidah lama yang berbunyi al-’i 29 %
in terlempar dari kebenaran. Maka, semakin literal seseorang di dalam memperlakukan al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada ke 35 %
in dekat ia pada ketakwaan. Dan semakin substantif seseorang di dalam memandang al-Qur`an, maka jauh ia dari ketakwaan. 36 %
maskut ‘anhu), yaitu makna yang tak tercakup secara verbatim di dalam aksara sebuah teks. Pencapaian terhadap makna-makna it 43 %
ra pribadi, saya tidak dalam posisi bersetuju dengan jawaban di atas. Pada hemat saya, maslahat memiliki otoritas untuk meng 51 %
reasi untuk memproduksi formulasi bahkan teks keagamaan baru di tengah kegamangan dan kegagapan formulasi dan teks keagamaan 53 %
udian Allah melarangnya pada waktu kemudian karena diketahui di lapangan aturan tersebut tidak lagi menyuarakan kemaslahatan 59 %
an peradaban).Maka, yang perlu mendapatkan proviso penegasan di sini adalah bahwa nasakh tidak dapat dilakukan terhadap teks 66 %
lan vital al-Qur`an. Kerja tanqih ini hakekatnya inheren di dalam diri setiap manusia yang berakal budi. Dalam jiwa manu 82 %
merumuskan dan memecahkan urusan-urusan publik. Bagaimanapun di dalam ruang publik tidak boleh ada satu pihak atau golongan 85 %
reka memiliki kedudukan dan derajat yang sama. Pandangan di atas sangat berbeda dengan pandangan mainstream, baik yang k 86 %
maupun yang kontemporer yang terus menerus mendevaluasi akal di bawah kedigdayaan teks. Baik kalangan Asy’ariyah maupun Mu’t 87 %
membuka tabir kegelapan teks-teks dhanniyat al-Qur`an saja. di tangan Mu’tazilah, akal hanya berfungsi untuk menakwil ayat- 89 %
dibiarkan maka manusia secara massal akan bertelanjang bulat di jalan-jalan sebagaimana binatang, berzina beramai-ramai, men 92 %
vitas dan kinerja beberapa ketentuan al-Qur`an dan al-Hadits di dalam mengimpelementasikan maqashid al-syari’ah di bumi real 96 %
al-Hadits di dalam mengimpelementasikan maqashid al-syari’ah di bumi realitas. Sekiranya dari data lapangan diketahui ketida 96 %
a dari data lapangan diketahui ketidak-berdayaan sebuah teks di dalam mengatasi perkara-perkara publik, maka akal publik mes 96 %
atalkan demi logika maqashid al-syari’ah itu. Kaidah yang diajukan di atas merupakan antipoda dari kaidah lama yang berbunyi al 29 %
hatan itu sendiri. Sering disinyalir bahwa kemaslahatan yang diandaikan oleh manusia adalah kemaslahatan semu dan relatif, sementara 48 %
at Islam yang baru diundangkan, kerap dalam 3 sampai 5 tahun dianulir kembali oleh Nabi Muhammad karena tidak bermaslahat lagi. 56 %
a raji’atun ila mashalih al-’ibad” seluruh ketentuan agama diarahkan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat manusia . Dengan i 64 %
i menyuarakan maqashid al-syari’ah, maka ia batal atau dapat dibatalkan demi logika maqashid al-syari’ah itu. Kaidah yang diajuka 28 %
yang buruk. Menurut saya, sekali lagi, akal publik harus diberi posisi yang penting. Akal publik tidak cukup hanya tampil se 94 %
. Seolah-olah akal manusia itu begitu rendah, sehingga kalau dibiarkan maka manusia secara massal akan bertelanjang bulat di jalan- 91 %
rnakan, dan memodifikasikannya. Modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat 76 %
kan segala kekurangan. Akal publik dan bukan akal privat ini dibutuhkan tentu untuk menghindari oligarki pendapat atau otoritarianis 84 %
n syari’at Islam. Ini bukan karena ajaran Islam memang perlu dicocok-cocokkan secara opurtunistik dengan perkembangan kemaslahatan, melain 62 %
baikan konteks (al-siyaq al-tarikhi) yang mengitari. Konteks didudukkan dalam posisi yang rendah dan sekunder. Ini menjadi maklum, o 37 %
kan ciri umum dari metodologi lama. Aktivitas ijtihad selalu digerakkan di dalam areal teks. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada te 12 %
endengungkan sebuah pernyataan genial bahwa seorang mujtahid diharuskan untuk melengkapi diri dengan pengetahuan yang memadai menyan 21 %
-ayat seperti ini memang tidak banyak jumlahnya, bahkan bisa dihitung dengan jari tangan. Masuk dalam kategori ayat yang tidak bis 68 %
syari’at yang dipandang tidak lagi bersendikan kemaslahatan. dijelaskan bahwa nasakh itu bukan hanya berlaku terhadap syari’at nabi- 55 %
an tabyin bi al-’aql. Ayat-ayat semacam itu, sebagaimana dikatakan sebelumnya disebut sebagai fikih al-Qur`an. Sebagai sebuah f 78 %
menimba dan memperoleh prinsip-prinsip dasar Islam atau yang dikenal dengan istilah maqashid al-syari’ah. Begitu maqashid al-syar 23 %
talan demi pembatalan terhadap sejumlah syari’at Islam, yang dikenal dengan istilah nasikh-mansukh. Semua pelajar Islam mesti tah 54 %
aji mengandung pengertian bahwa metodologi klasik yang telah dikerangkakan oleh para ulama dahulu memang sudah tuntas dan sempurna. Seh 4 %
mulasi dan teks keagamaan lama.Praktek dari kaidah ini dapat diketahui dari pembatalan demi pembatalan terhadap sejumlah syari’at I 54 %
nteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatu karena diketahui mengandung maslahat, kemudian Allah melarangnya pada waktu k 58 %
lahat, kemudian Allah melarangnya pada waktu kemudian karena diketahui di lapangan aturan tersebut tidak lagi menyuarakan kemaslaha 59 %
d al-syari’ah di bumi realitas. Sekiranya dari data lapangan diketahui ketidak-berdayaan sebuah teks di dalam mengatasi perkara-per 96 %
dari konteks kearabannya (dekontekstualisasi) untuk kemudian dilakukan rekontekstualisasi. Yaitu, melabuhkan prinsip-prinsip dasar 24 %
an proviso penegasan di sini adalah bahwa nasakh tidak dapat dilakukan terhadap teks al-Qur`an yang mengandung prinsip-prinsip ajar 66 %
maqashid asasiyah) yang diusung oleh teks. Analisis mestinya dilanjutkan pada penyingkapan makna yang terdiamkan (al-maskut ‘anhu), y 42 %
u maqashid al-syari’ah sudah dicapai, maka teks harus segera dilepaskan dari konteks kearabannya (dekontekstualisasi) untuk kemudian 23 %
Ushul Fikih Alternatif Mestinya, metodologi Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat forma 0 %
ama yang provisionaris. Mestinya, metodologi Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat forma 6 %
sanya. Akal manusia dalam buku-buku teologi klasik telah diletakkan sebagai sub-ordinat dari teks. Akal mengalami penyusutan per 91 %
untuk menganulir kententuan-ketentuan teks suci. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan “naskh al-nushush bi al-mashlahah”. Sebagai 51 %
hid ini maka seseorang dituntut untuk memahami konteks. Yang dimaksudkan bukan hanya konteks personal yang juz`iy-partikular melainka 19 %
ini, umumnya ulama ushul fikih klasik mengatakan bahwa yang dimenangkan adalah nash. Bahkan, al-Thufi menyatakan bahwa tidak mungkin 47 %
ini, umumnya ulama ushul fikih klasik mengatakan bahwa yang dimenangkan adalah nash. Bahkan, al-Thufi menyatakan bahwa tidak mungkin 47 %
engan jari tangan. Masuk dalam kategori ayat yang tidak bisa dinasakh ini, seperti ayat “wa idza hakamtum bayna al-nas an tahkumu 69 %
n waris dan sebagainya, maka tetap terbuka kemungkinan untuk dinasakh dan difalsifikasi, sekiranya ayat tadi tidak efektif lagi se 72 %
ak memaksa pandangannya pada orang lain, karena pandangannya dinilai lebih benar. Mereka memiliki kedudukan dan derajat yang sama 85 %
hadap kaidah konvensional ini. Misalnya, pertama, kaidah ini dipandang terlalu banyak berkonsentrasi dan bergerak pada medan semant 33 %
esti tahu cerita tentang penganuliran beberapa syari’at yang dipandang tidak lagi bersendikan kemaslahatan. Dijelaskan bahwa nasakh 55 %
ang terjadi justeru merupakan bagian dari masalah yang harus dipecahkan melalui prosedur tanqih yang berupa taqyid bi al-’aql, takhs 78 %
a lahir dari pabrik intelektualitas manusia yang nisbi telah diposisikan sebagai sesuatu yang mutlak. Tak terbantah. Mereka telah mel 5 %
tu saja ada sekian banyak lagi kaidah ushul fikih yang perlu direformasi dengan menyertakan banyak orang yang berkompeten. Dengan car 99 %
an genial bahwa seorang mujtahid diharuskan untuk melengkapi diri dengan pengetahuan yang memadai menyangkut tradisi dan kebia 21 %
al-Qur`an. Kerja tanqih ini hakekatnya inheren di dalam diri setiap manusia yang berakal budi. Dalam jiwa manusia terdapa 82 %
menakwil ayat-ayat yang mutasyabih. Akal tidak cukup percaya diri untuk melakukan peninjauan ulang apalagi mempertanyakan ayat 90 %
emata. Para pemakai kaidah kedua ini mungkin tepat sekiranya disebut sebagai penyembah kata (‘ubbad al-alafdz), semantara kata (l 40 %
Ayat-ayat semacam itu, sebagaimana dikatakan sebelumnya disebut sebagai fikih al-Qur`an. Sebagai sebuah fikih, ayat-ayat ter 79 %
diujarkan oleh nash adalah kemaslahatan itu sendiri. Sering disinyalir bahwa kemaslahatan yang diandaikan oleh manusia adalah kemas 48 %
a itu hanya sebagian kaidah ushul fikih alternatif yang bisa disodorkan untuk membenahi kelemahan-kelemahan metodologi istinbath yan 98 %
. Kedua, dalam kaidah yang terakhir itu, realitas hendak disubordinasikan ke dalam bunyi harafiah teks. Yang dituju adalah kebenaran t 36 %
an legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. ditegaskan bahwa ketika terjadi pertentangan antara akal publik dan bun 9 %
uk sumber dari al-Qur`an sendiri. Oleh karena itu, sekiranya ditemukan sebuah teks agama baik di dalam al-Qur`an maupun al-hadits ( 27 %
h kemaslahatan semu dan relatif, sementara kemaslahatan yang ditetapkan Tuhan melalui bunyi harafiah nash adalah kemaslahatan hakiki 49 %
merupakan saudara kandung dari syari’at-syari’at yang telah ditetapkan Allah Swt. Teks suci tanpa kemaslahatan memang tak berfun 60 %
s hendak disubordinasikan ke dalam bunyi harafiah teks. Yang dituju adalah kebenaran teks dengan konsekuensi mengabaikan konteks 36 %
iteralnya. Nah, untuk mengetahui maqashid ini maka seseorang dituntut untuk memahami konteks. Yang dimaksudkan bukan hanya konteks 19 %
jadi pertentangan antara nash dan mashlahah, karena apa yang diujarkan oleh nash adalah kemaslahatan itu sendiri. Sering disinyalir 48 %
dai untuk mengejar kebenaran hakiki (maqashid asasiyah) yang diusung oleh teks. Analisis mestinya dilanjutkan pada penyingkapan m 42 %
impuls abadi yang tak pernah padam untuk bertanqih. Terdapat dorongan adekuat untuk senantiasa berpihak pada kebenaran dan keadila 83 %
untuk dinasakh dan difalsifikasi, sekiranya ayat tadi tidak efektif lagi sebagai sarana untuk mewujudkan cita kemalahatan. Dalam 72 %
n, akal publik perlu mendapatkan wewenang untuk mengevaluasi efektivitas dan kinerja beberapa ketentuan al-Qur`an dan al-Hadits di da 95 %
gantarkan al-Qur`an pada perangkap yang mematikan spirit dan elan vital al-Qur`an. Kerja tanqih ini hakekatnya inheren di 82 %
Muslim memandang metodologi (ushul fikih) klasik tanpa cacat epistemologis apapun. Ajakan sejumlah ulama Indonesia untuk mengubah pola 3 %
ashid yang dikandungnya. Yang menjadi aksis adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat dan bukan legislasi spesifik atau formulasi 18 %
ran mana telah melintasi ruang dan waktu, mengatasi pelbagai etnis dan keyakinan. Ayat-ayat ini ingin saya katakan sebagai ayat 67 %
asi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan 1 %
asi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan 7 %
akan kemaslahatan. Ibnu Rusyd dalam bukunya yang bertitelkan fashl al-Maqal fiy Taqrir Ma Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah min al 59 %
Membangun Ushul fikih Alternatif Mestinya, metodologi Islam klasik diletakkan d 0 %
dak memiliki reputasi dan kedudukan apapun dalam ruang ushul fikih klasik, kecuali sebagai sasaran hukum yang tak berdaya (muka 11 %
ini kiranya bermaksud untuk mereformasi kaidah-kaidah ushul fikih yang problematis dari sudut ontologis-epistemologis tersebut 13 %
todologi terutama dalam imu-ilmu terapan Islam semacam ushul fikih ini akan berkoresponden secara persis dengan kepiawaiannya d 16 %
aman wa makan). Sehingga kita tidak perlu kaget ketika ushul fikih lama berbicara tentang lafdz dalam porsi yang demikian besar 39 %
enangkan? Dalam menjawab pertanyaan ini, umumnya ulama ushul fikih klasik mengatakan bahwa yang dimenangkan adalah nash. Bahkan 47 %
gan al-ayat al-adna qiymatan atau al-ayat al-furu’iyyat atau fikih al-Qur`an, seperti ayat yang berbicara tentang bentuk-bentuk 71 %
emacam itu, sebagaimana dikatakan sebelumnya disebut sebagai fikih al-Qur`an. Sebagai sebuah fikih, ayat-ayat tersebut sepenuhn 79 %
baharuan, dan penyulingan. Dalam tataran itu, universalisasi fikih al-Qur`an tanpa melalui proses tanqih harus dihindari. Sebab 81 %
npa melalui proses tanqih harus dihindari. Sebab, membiarkan fikih al-Qur`an persis seperti dalam bunyi harfiahnya hanya akan m 81 %
Akhirnya, jangan lupa bahwa itu hanya sebagian kaidah ushul fikih alternatif yang bisa disodorkan untuk membenahi kelemahan-ke 98 %
a dirisaukan. Tentu saja ada sekian banyak lagi kaidah ushul fikih yang perlu direformasi dengan menyertakan banyak orang yang 99 %
an. Ibnu Rusyd dalam bukunya yang bertitelkan Fashl al-Maqal fiy Taqrir Ma Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah min al-Ittishal men 60 %
kan cita kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan adalah fondasi paling pokok dari setiap perundang-undangan syari’at Islam. 62 %
anya terhadap struktur kalimat per se melainkan yang justeru fondasional adalah analisa kelas dan struktur sosial dan budaya yang mel 44 %
tik-moral dari sebuah ayat dan bukan legislasi spesifik atau formulasi literalnya. Nah, untuk mengetahui maqashid ini maka seseoran 18 %
ita kemaslahatan akan senantiasa berkreasi untuk memproduksi formulasi bahkan teks keagamaan baru di tengah kegamangan dan kegagapa 53 %
ahkan teks keagamaan baru di tengah kegamangan dan kegagapan formulasi dan teks keagamaan lama.Praktek dari kaidah ini dapat diketa 53 %
athibi di dalam al-Muwafaqat mendengungkan sebuah pernyataan genial bahwa seorang mujtahid diharuskan untuk melengkapi diri deng 21 %
di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Oleh: Abd Moqsith ghazali Banyak pemikir Muslim memandang metodologi (ushul fikih) kla 3 %
anapun di dalam ruang publik tidak boleh ada satu pihak atau golongan dalam masyarakat yang berhak memaksa pandangannya pada orang 85 %
ayat partikular yang tergolong qath’iyat dari sudut struktur gramatika bahasanya. Akal manusia dalam buku-buku teologi klasik t 90 %
tingkat pemecahan problem tersebut, maka ia tidaklah banyak guna dan manfaatnya. Kecanggihan sebuah metodologi terutama dalam 15 %
han lain selain menerapkan nash tersebut, sekalipun nash itu hadir untuk merespons suatu peristiwa yang khusus. “Pasrah pada ke 30 %
mewujudkan cita kemalahatan. Dalam sejarahnya, nasakh selalu hadir untuk terus-menerus memperbaharui teks-teks agama yang tidak 73 %
ori ayat yang tidak bisa dinasakh ini, seperti ayat “wa idza hakamtum bayna al-nas an tahkumu bi al’adl”, “I’dilu huwa aqrabu li a 69 %
atikan spirit dan elan vital al-Qur`an. Kerja tanqih ini hakekatnya inheren di dalam diri setiap manusia yang berakal budi. Dala 82 %
kedigdayaan teks. Baik kalangan Asy’ariyah maupun Mu’tazilah hakekatnya sama-sama memposisikan akal sebagai pengelola data-teks, sem 87 %
istik saja tidak akan cukup memadai untuk mengejar kebenaran hakiki (maqashid asasiyah) yang diusung oleh teks. Analisis mestiny 42 %
tapkan Tuhan melalui bunyi harafiah nash adalah kemaslahatan hakiki dan obyektif. Manusia tidak memiliki kewenangan untuk memper 49 %
inguistik (fiy ithar al-dalalah al-lughawiyah)”, tandas Nahr hamid Abu Zaid dalam bukunya yang berjudul al-Nash, al-Sulthah, al 32 %
rang dituntut untuk memahami konteks. Yang dimaksudkan bukan hanya konteks personal yang juz`iy-partikular melainkan juga konte 19 %
. “Pasrah pada keumuman lafdz ( al-taslim bi ‘umum al-lafdz) hanya akan menyebabkan kita senantiasa berada dalam kerangka makna 31 %
ang disembah). Segera tampak bahwa analisis yang berhenti hanya pada konteks linguistik saja tidak akan cukup memadai untuk 41 %
makna itu akan meniscayakan adanya sebuah analisa yang bukan hanya terhadap struktur kalimat per se melainkan yang justeru fond 43 %
teks. Sebab, keterpesonaan merupakan tindakan ideologis yang hanya akan menumpulkan kreativitas dalam pencarian makna obyektif. 45 %
bersendikan kemaslahatan. Dijelaskan bahwa nasakh itu bukan hanya berlaku terhadap syari’at nabi-nabi terdahulu (syar’u man qa 55 %
iarkan fikih al-Qur`an persis seperti dalam bunyi harfiahnya hanya akan mengantarkan al-Qur`an pada perangkap yang mematikan sp 81 %
lola, maka akal tidak bisa bertindak terlampau jauh, kecuali hanya untuk melakukan rasionalisasi terhadap barang-barang irrasio 88 %
rang irrasional yang ada dalam al-Qur`an dan al-Sunnah. Akal hanya berguna untuk membuka tabir kegelapan teks-teks dhanniyat al 89 %
ks-teks dhanniyat al-Qur`an saja. Di tangan Mu’tazilah, akal hanya berfungsi untuk menakwil ayat-ayat yang mutasyabih. Akal tid 89 %
ik harus diberi posisi yang penting. Akal publik tidak cukup hanya tampil sebagai pengelola data-teks. Menyangkut perkara-perka 94 %
at-ayat yang problematik. Akhirnya, jangan lupa bahwa itu hanya sebagian kaidah ushul fikih alternatif yang bisa disodorkan 98 %
kaidah ini kerap terjebak pada suatu kenaifan. Bahwa semakin harafiah seseorang membaca al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada kebe 34 %
erakhir itu, realitas hendak disubordinasikan ke dalam bunyi harafiah teks. Yang dituju adalah kebenaran teks dengan konsekuensi m 36 %
, sementara kemaslahatan yang ditetapkan Tuhan melalui bunyi harafiah nash adalah kemaslahatan hakiki dan obyektif. Manusia tidak 49 %
hwa ketika terjadi pertentangan antara akal publik dan bunyi harfiah teks ajaran, metodologi lampau selalu mengambil cara penundu 9 %
ketika terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka akal publik berotoritas untuk mengedit, me 75 %
Sebab, membiarkan fikih al-Qur`an persis seperti dalam bunyi harfiahnya hanya akan mengantarkan al-Qur`an pada perangkap yang memati 81 %
ari’ah. Begitu maqashid al-syari’ah sudah dicapai, maka teks harus segera dilepaskan dari konteks kearabannya (dekontekstualisa 23 %
ibrah bi khushûsh al-sabab lâ bi ‘umûm al-lafadz. Bahwa yang harus menjadi pertimbangan adalah keumuman lafadz, bukan khususnya 29 %
ian, yang terjadi justeru merupakan bagian dari masalah yang harus dipecahkan melalui prosedur tanqih yang berupa taqyid bi al- 78 %
, universalisasi fikih al-Qur`an tanpa melalui proses tanqih harus dihindari. Sebab, membiarkan fikih al-Qur`an persis seperti 81 %
uatan yang buruk. Menurut saya, sekali lagi, akal publik harus diberi posisi yang penting. Akal publik tidak cukup hanya ta 94 %
ya tidak dalam posisi bersetuju dengan jawaban di atas. Pada hemat saya, maslahat memiliki otoritas untuk menganulir kententuan 51 %
ah yang sejatinya menjadi sumber inspirasi tatkala al-Qur`an hendak melabuhkan ketentuan-ketentuan legal-spesifik di lapangan. D 26 %
takwaan. Kedua, dalam kaidah yang terakhir itu, realitas hendak disubordinasikan ke dalam bunyi harafiah teks. Yang dituju a 36 %
3 Tanqih al-Nushush bi al-’Aql al-Mujtama’ Kaidah ini hendak menyatakan bahwa akal publik memiliki kewenangan untuk menyu 74 %
na al-Syari’at wa al-Hikmah min al-Ittishal menyatakan bahwa hikmah (kemaslahatan) itu merupakan saudara kandung dari syari’at-s 60 %
enundukan terhadap akal publik. 2 Metodologi klasik kurang hirau terhadap kemampuan manusia di dalam merumuskan konsep kemasl 10 %
ketika berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat hudud (seperti potong tangan, rajam, dan sebagainya), waris, dan s 76 %
apun dalam ruang ushul fikih klasik, kecuali sebagai sasaran hukum yang tak berdaya (mukallaf) 3 Pemberhalaan teks dan pengab 11 %
menjadi perhatian seorang mujtahid di dalam mengistinbatkan hukum dari al-Qur`an dan al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya melai 17 %
lain, maqashid al-syari’ah adalah sumber dari segala sumber hukum dalam Islam, termasuk sumber dari al-Qur`an sendiri. Oleh ka 27 %
al-Qur`an, seperti ayat yang berbicara tentang bentuk-bentuk hukuman (‘uqubat), sanksi bagi para pelaku pidana (hudud), bilangan 71 %
lam mengistinbatkan hukum dari al-Qur`an dan al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya melainkan dari maqashid yang dikandungnya. Yan 18 %
anut ideologi universalisme dan ketidak-berhinggan kebenaran huruf (shalahiyyah al-nansh dalaliyan li kulli zaman wa makan). Se 38 %
bertugas untuk mengeluarkan spirit dasar Islam dari lipatan huruf-huruf agama. Akal publik mempunyai tanggungjawab moral untuk menta 97 %
wa idza hakamtum bayna al-nas an tahkumu bi al’adl”, “I’dilu huwa aqrabu li al-taqwa”, dan sebagainya. Nasakh terhadap ayat ya 69 %
gi jika kandas pada tingkat pemecahan problem tersebut, maka ia tidaklah banyak guna dan manfaatnya. Kecanggihan sebuah meto 15 %
ikih) yang tidak lagi menyuarakan maqashid al-syari’ah, maka ia batal atau dapat dibatalkan demi logika maqashid al-syari’ah 28 %
kin harafiah seseorang membaca al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada kebenaran. Sebaliknya, semakin jauh yang bersangkutan d 34 %
in jauh yang bersangkutan dari makna literal al-Qur`an, maka ia semakin terlempar dari kebenaran. Maka, semakin literal sese 35 %
seorang di dalam memperlakukan al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada ketakwaan. Dan semakin substantif seseorang di dalam me 35 %
substantif seseorang di dalam memandang al-Qur`an, maka jauh ia dari ketakwaan. Kedua, dalam kaidah yang terakhir itu, r 36 %
apangan aturan tersebut tidak lagi menyuarakan kemaslahatan. ibnu Rusyd dalam bukunya yang bertitelkan Fashl al-Maqal fiy Taqr 59 %
mengharuskan demikian. Menarik mendengar pernyataan Izzuddin ibnu Abdissalam, “innama al-takalif kulluha raji’atun ila mashali 63 %
i sesuatu yang mutlak. Tak terbantah. Mereka telah melakukan idealisasi dan universalisasi terhadap metodologi lama yang provisionar 6 %
menjadi maklum, oleh karena para pemakai kaidah ini menganut ideologi universalisme dan ketidak-berhinggan kebenaran huruf (shalah 38 %
indahan sebuah teks. Sebab, keterpesonaan merupakan tindakan ideologis yang hanya akan menumpulkan kreativitas dalam pencarian makn 45 %
kategori ayat yang tidak bisa dinasakh ini, seperti ayat “wa idza hakamtum bayna al-nas an tahkumu bi al’adl”, “I’dilu huwa aq 69 %
realitas merupakan ciri umum dari metodologi lama. Aktivitas ijtihad selalu digerakkan di dalam areal teks. Ijtihad yang tidak be 11 %
ma. Aktivitas ijtihad selalu digerakkan di dalam areal teks. ijtihad yang tidak berkulminasi pada teks adalah illegal, sebab teks 12 %
zuddin Ibnu Abdissalam, “innama al-takalif kulluha raji’atun ila mashalih al-’ibad” seluruh ketentuan agama diarahkan untuk 64 %
universal. Pemahaman tentang konteks yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian klasik itu merupakan prasyar 20 %
nteks personal yang juz`iy-partikular melainkan juga konteks impersonal yang kulli-universal. Pemahaman tentang konteks yang lebih d 19 %
etiap manusia yang berakal budi. Dalam jiwa manusia terdapat impuls abadi yang tak pernah padam untuk bertanqih. Terdapat dorong 82 %
dan manfaatnya. Kecanggihan sebuah metodologi terutama dalam imu-ilmu terapan Islam semacam ushul fikih ini akan berkoresponden se 16 %
asik tanpa cacat epistemologis apapun. Ajakan sejumlah ulama indonesia untuk mengubah pola bermadzhab dari yang qawliy ke manhaji m 3 %
waktu, mengatasi pelbagai etnis dan keyakinan. Ayat-ayat ini ingin saya katakan sebagai ayat dengan kedudukan paling tinggi (al 67 %
it dan elan vital al-Qur`an. Kerja tanqih ini hakekatnya inheren di dalam diri setiap manusia yang berakal budi. Dalam jiwa m 82 %
kan aksis dari seluruh cara pemecahan problem. Tentu saja ini merupakan kelemahan metodologis tersendiri yang mesti mendap 12 %
mendapatkan penanganan. Dengan segala keterbatasan, tulisan ini kiranya bermaksud untuk mereformasi kaidah-kaidah ushul fiki 13 %
emologis tersebut. Dengan merekonstruksi kaidah-kaidah ushul ini niscaya produk pemikiran Islam akan lebih solutif bagi probl 14 %
gi terutama dalam imu-ilmu terapan Islam semacam ushul fikih ini akan berkoresponden secara persis dengan kepiawaiannya di da 16 %
1. al-’Ibrah bi al-maqashid la bi al-alfadz. Kaidah ini berarti bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid 17 %
ik atau formulasi literalnya. Nah, untuk mengetahui maqashid ini maka seseorang dituntut untuk memahami konteks. Yang dimaksu 19 %
terhadap kaidah konvensional ini. Misalnya, pertama, kaidah ini dipandang terlalu banyak berkonsentrasi dan bergerak pada me 33 %
n peranan sabab al-nuzul. Implikasinya, para pengguna kaidah ini kerap terjebak pada suatu kenaifan. Bahwa semakin harafiah s 34 %
i. Konteks didudukkan dalam posisi yang rendah dan sekunder. ini menjadi maklum, oleh karena para pemakai kaidah ini menganut 37 %
ekunder. Ini menjadi maklum, oleh karena para pemakai kaidah ini menganut ideologi universalisme dan ketidak-berhinggan keben 38 %
k menegakkan otoritas teks semata. Para pemakai kaidah kedua ini mungkin tepat sekiranya disebut sebagai penyembah kata (‘ubb 40 %
agapan formulasi dan teks keagamaan lama.Praktek dari kaidah ini dapat diketahui dari pembatalan demi pembatalan terhadap sej 54 %
paling pokok dari setiap perundang-undangan syari’at Islam. ini bukan karena ajaran Islam memang perlu dicocok-cocokkan seca 62 %
dan waktu, mengatasi pelbagai etnis dan keyakinan. Ayat-ayat ini ingin saya katakan sebagai ayat dengan kedudukan paling ting 67 %
al-ayat al-ushuliyat atau ushul al-Qur`an. Ayat-ayat seperti ini memang tidak banyak jumlahnya, bahkan bisa dihitung dengan j 68 %
3 Tanqih al-Nushush bi al-’Aql al-Mujtama’ Kaidah ini hendak menyatakan bahwa akal publik memiliki kewenangan untu 74 %
mengedit, menyempurnakan, dan memodifikasikannya. Modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat 76 %
mematikan spirit dan elan vital al-Qur`an. Kerja tanqih ini hakekatnya inheren di dalam diri setiap manusia yang berakal 82 %
urnakan segala kekurangan. Akal publik dan bukan akal privat ini dibutuhkan tentu untuk menghindari oligarki pendapat atau ot 84 %
kesetaraan, hikmah-kebijaksanaan, dan cinta kasih. Maqashid inilah yang sejatinya menjadi sumber inspirasi tatkala al-Qur`an he 26 %
ki otoritas untuk menganulir kententuan-ketentuan teks suci. inilah yang dimaksud dengan ungkapan “naskh al-nushush bi al-mashla 51 %
n cinta kasih. Maqashid inilah yang sejatinya menjadi sumber inspirasi tatkala al-Qur`an hendak melabuhkan ketentuan-ketentuan lega 26 %
Di sini, sebuah metodologi yang sejatinya lahir dari pabrik intelektualitas manusia yang nisbi telah diposisikan sebagai sesuatu yang mu 5 %
i hanya untuk melakukan rasionalisasi terhadap barang-barang irrasional yang ada dalam al-Qur`an dan al-Sunnah. Akal hanya berguna u 88 %
Membangun Ushul Fikih Alternatif Mestinya, metodologi islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikir 0 %
an menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam islam yang tidak lagi relevan. Oleh: Abd Moqsith Ghazali Ban 2 %
metodologi lama yang provisionaris. Mestinya, metodologi islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikir 6 %
an menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam islam yang tidak lagi relevan. Ditegaskan bahwa ketika terjadi per 8 %
ekonstruksi kaidah-kaidah ushul ini niscaya produk pemikiran islam akan lebih solutif bagi problem-problem kemanusiaan yang ter 14 %
ecanggihan sebuah metodologi terutama dalam imu-ilmu terapan islam semacam ushul fikih ini akan berkoresponden secara persis de 16 %
melainkan untuk menimba dan memperoleh prinsip-prinsip dasar islam atau yang dikenal dengan istilah maqashid al-syari’ah. Begit 23 %
rekontekstualisasi. Yaitu, melabuhkan prinsip-prinsip dasar islam itu di tempat dan di belahan bumi non-Arab. Maka, kontekstua 24 %
m, yang dikenal dengan istilah nasikh-mansukh. Semua pelajar islam mesti tahu cerita tentang penganuliran beberapa syari’at yan 54 %
batang tubuh syari’at Nabi Muhammad sendiri. Betapa syari’at islam yang baru diundangkan, kerap dalam 3 sampai 5 tahun dianulir 56 %
p perundang-undangan syari’at Islam. Ini bukan karena ajaran islam memang perlu dicocok-cocokkan secara opurtunistik dengan per 62 %
demikian bukan saja berpunggungan dengan semangat kehadiran islam awal, melainkan juga bertentangan dengan logika nasakh sendi 70 %
rsebut. Akal publik bertugas untuk mengeluarkan spirit dasar islam dari lipatan huruf-huruf agama. Akal publik mempunyai tanggu 97 %
peroleh prinsip-prinsip dasar Islam atau yang dikenal dengan istilah maqashid al-syari’ah. Begitu maqashid al-syari’ah sudah dica 23 %
atalan terhadap sejumlah syari’at Islam, yang dikenal dengan istilah nasikh-mansukh. Semua pelajar Islam mesti tahu cerita tentan 54 %
sa disodorkan untuk membenahi kelemahan-kelemahan metodologi istinbath yang telah lama dirisaukan. Tentu saja ada sekian banyak lag 99 %
kita senantiasa berada dalam kerangka makna linguistik (fiy ithar al-dalalah al-lughawiyah)”, tandas Nahr Hamid Abu Zaid dalam 32 %
bih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian klasik itu merupakan prasyarat utama untuk menemukan maqashid al-syari’ 20 %
wahyu. Pengetahuan tentang konteks tentu bukan untuk konteks itu sendiri, melainkan untuk menimba dan memperoleh prinsip-prin 22 %
tekstualisasi. Yaitu, melabuhkan prinsip-prinsip dasar Islam itu di tempat dan di belahan bumi non-Arab. Maka, kontekstualisa 24 %
ng masa. Dalam khazanah ushul fikih, maqashid al-syari’ah itu adalah keadilan, kemaslahatan, kesetaraan, hikmah-kebijaksan 25 %
pilihan lain selain menerapkan nash tersebut, sekalipun nash itu hadir untuk merespons suatu peristiwa yang khusus. “Pasrah p 30 %
di dalam aksara sebuah teks. Pencapaian terhadap makna-makna itu akan meniscayakan adanya sebuah analisa yang bukan hanya ter 43 %
hah, karena apa yang diujarkan oleh nash adalah kemaslahatan itu sendiri. Sering disinyalir bahwa kemaslahatan yang diandaika 48 %
tidak lagi bersendikan kemaslahatan. Dijelaskan bahwa nasakh itu bukan hanya berlaku terhadap syari’at nabi-nabi terdahulu (s 55 %
ikmah min al-Ittishal menyatakan bahwa hikmah (kemaslahatan) itu merupakan saudara kandung dari syari’at-syari’at yang telah 60 %
emang tak berfungsi apa-apa buat manusia, kecuali untuk teks itu sendiri. Teks baru bermakna sekiranya menyertakan cita kemas 61 %
mbangan kemaslahatan, melainkan karena tuntutan kemaslahatan itu secara obyektif niscaya mengharuskan demikian. Menarik mende 63 %
a kemaslahatan umat manusia . Dengan ini, maka kemaslahatan itu merupakan ajaran agama yang tsawabit (tidak berubah, pokok, 64 %
an universal), sementara wujud pelaksanaan cita kemaslahatan itu merupakan perkara agama yang mutaghayyir (berubah-berubah me 65 %
s. Akal mengalami penyusutan peran. Seolah-olah akal manusia itu begitu rendah, sehingga kalau dibiarkan maka manusia secara 91 %
h ayat-ayat yang problematik. Akhirnya, jangan lupa bahwa itu hanya sebagian kaidah ushul fikih alternatif yang bisa disod 98 %
niscaya mengharuskan demikian. Menarik mendengar pernyataan izzuddin Ibnu Abdissalam, “innama al-takalif kulluha raji’atun ila ma 63 %
iarkan maka manusia secara massal akan bertelanjang bulat di jalan-jalan sebagaimana binatang, berzina beramai-ramai, mencuri secara 92 %
ral untuk mentanqih ayat-ayat yang problematik. Akhirnya, jangan lupa bahwa itu hanya sebagian kaidah ushul fikih alternatif 98 %
i memang tidak banyak jumlahnya, bahkan bisa dihitung dengan jari tangan. Masuk dalam kategori ayat yang tidak bisa dinasakh i 68 %
n, maka semakin dekat ia pada kebenaran. Sebaliknya, semakin jauh yang bersangkutan dari makna literal al-Qur`an, maka ia sema 34 %
akin substantif seseorang di dalam memandang al-Qur`an, maka jauh ia dari ketakwaan. Kedua, dalam kaidah yang terakhir itu 36 %
ati.Secara pribadi, saya tidak dalam posisi bersetuju dengan jawaban di atas. Pada hemat saya, maslahat memiliki otoritas untuk m 51 %
ulkan kreativitas dalam pencarian makna obyektif. 2 jawaz Naskh al-Nushush bi al-Mashlahah Terdapat sebait pertanya 46 %
bicara tentang lafdz dalam porsi yang demikian besar. Segala jenis perbincangan kebahasaan (abhats lughawiyah min mabahits al-a 39 %
rus melilit. Karena, betapa pun canggihnya sebuah metodologi jika kandas pada tingkat pemecahan problem tersebut, maka ia tida 15 %
mbangan adalah keumuman lafadz, bukan khususnya sebab. Maka, jika suatu nash menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tida 30 %
erdapat sebait pertanyaan ontologis dalam ranah ushul fikih, jika terjadi pertentangan antara teks (nash) dan maslahat mana ya 46 %
nheren di dalam diri setiap manusia yang berakal budi. Dalam jiwa manusia terdapat impuls abadi yang tak pernah padam untuk be 82 %
ukan hanya konteks personal yang juz`iy-partikular melainkan juga konteks impersonal yang kulli-universal. Pemahaman tentang k 19 %
i-nabi terdahulu (syar’u man qablana) saja, tetapi melainkan juga berlangsung dalam batang tubuh syari’at Nabi Muhammad sendir 56 %
erpunggungan dengan semangat kehadiran Islam awal, melainkan juga bertentangan dengan logika nasakh sendiri. Sementara ayat-ay 70 %
bukan hanya terhadap struktur kalimat per se melainkan yang justeru fondasional adalah analisa kelas dan struktur sosial dan bud 44 %
bisa menyelesaikan masalah-masalah kemanusian, yang terjadi justeru merupakan bagian dari masalah yang harus dipecahkan melalui 77 %
konteks. Yang dimaksudkan bukan hanya konteks personal yang juz`iy-partikular melainkan juga konteks impersonal yang kulli-universal. Pema 19 %
alaliyan li kulli zaman wa makan). Sehingga kita tidak perlu kaget ketika ushul fikih lama berbicara tentang lafdz dalam porsi 38 %
manusia. 1. al-’Ibrah bi al-maqashid la bi al-alfadz. kaidah ini berarti bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujta 17 %
atau dapat dibatalkan demi logika maqashid al-syari’ah itu. kaidah yang diajukan di atas merupakan antipoda dari kaidah lama ya 29 %
itu. Kaidah yang diajukan di atas merupakan antipoda dari kaidah lama yang berbunyi al-’ibrah bi khushûsh al-sabab lâ bi ‘umû 29 %
thah, al-Haqiqah. Terdapat sekian banyak kritik terhadap kaidah konvensional ini. Misalnya, pertama, kaidah ini dipandang te 32 %
kritik terhadap kaidah konvensional ini. Misalnya, pertama, kaidah ini dipandang terlalu banyak berkonsentrasi dan bergerak pad 33 %
enepikan peranan sabab al-nuzul. Implikasinya, para pengguna kaidah ini kerap terjebak pada suatu kenaifan. Bahwa semakin harafi 33 %
ang al-Qur`an, maka jauh ia dari ketakwaan. Kedua, dalam kaidah yang terakhir itu, realitas hendak disubordinasikan ke dalam 36 %
h dan sekunder. Ini menjadi maklum, oleh karena para pemakai kaidah ini menganut ideologi universalisme dan ketidak-berhinggan k 38 %
an upaya untuk menegakkan otoritas teks semata. Para pemakai kaidah kedua ini mungkin tepat sekiranya disebut sebagai penyembah 40 %
dan kegagapan formulasi dan teks keagamaan lama.Praktek dari kaidah ini dapat diketahui dari pembatalan demi pembatalan terhadap 54 %
sar Islam. 3 Tanqih al-Nushush bi al-’Aql al-Mujtama’ kaidah ini hendak menyatakan bahwa akal publik memiliki kewenangan 74 %
oblematik. Akhirnya, jangan lupa bahwa itu hanya sebagian kaidah ushul fikih alternatif yang bisa disodorkan untuk membenahi 98 %
ang telah lama dirisaukan. Tentu saja ada sekian banyak lagi kaidah ushul fikih yang perlu direformasi dengan menyertakan banyak 99 %
eterbatasan, tulisan ini kiranya bermaksud untuk mereformasi kaidah-kaidah ushul fikih yang problematis dari sudut ontologis-epistemolo 13 %
udut ontologis-epistemologis tersebut. Dengan merekonstruksi kaidah-kaidah ushul ini niscaya produk pemikiran Islam akan lebih solutif 14 %
us menerus mendevaluasi akal di bawah kedigdayaan teks. Baik kalangan Asy’ariyah maupun Mu’tazilah hakekatnya sama-sama memposisik 87 %
peran. Seolah-olah akal manusia itu begitu rendah, sehingga kalau dibiarkan maka manusia secara massal akan bertelanjang bulat 91 %
kan adanya sebuah analisa yang bukan hanya terhadap struktur kalimat per se melainkan yang justeru fondasional adalah analisa kel 44 %
elilit. Karena, betapa pun canggihnya sebuah metodologi jika kandas pada tingkat pemecahan problem tersebut, maka ia tidaklah ba 15 %
menyatakan bahwa hikmah (kemaslahatan) itu merupakan saudara kandung dari syari’at-syari’at yang telah ditetapkan Allah Swt. T 60 %
um dalam Islam, termasuk sumber dari al-Qur`an sendiri. Oleh karena itu, sekiranya ditemukan sebuah teks agama baik di dalam al- 27 %
am posisi yang rendah dan sekunder. Ini menjadi maklum, oleh karena para pemakai kaidah ini menganut ideologi universalisme dan 37 %
idak mungkin terjadi pertentangan antara nash dan mashlahah, karena apa yang diujarkan oleh nash adalah kemaslahatan itu sendiri 48 %
p dalam 3 sampai 5 tahun dianulir kembali oleh Nabi Muhammad karena tidak bermaslahat lagi. Tidaklah mustahil bahwa sesuatu 57 %
u ruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karena perubahan konteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat se 58 %
ahan konteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatu karena diketahui mengandung maslahat, kemudian Allah melarangnya pa 58 %
ung maslahat, kemudian Allah melarangnya pada waktu kemudian karena diketahui di lapangan aturan tersebut tidak lagi menyuarakan 59 %
kok dari setiap perundang-undangan syari’at Islam. Ini bukan karena ajaran Islam memang perlu dicocok-cocokkan secara opurtunist 62 %
ara opurtunistik dengan perkembangan kemaslahatan, melainkan karena tuntutan kemaslahatan itu secara obyektif niscaya mengharusk 63 %
masyarakat yang berhak memaksa pandangannya pada orang lain, karena pandangannya dinilai lebih benar. Mereka memiliki kedudukan 85 %
sikap yang tidak apresiatif bahkan merendahkan akal sebagai karya agung Allah Swt. Allah menciptakan akal sesungguhnya agar ma 93 %
yat tersebut sepenuhnya merupakan respons al-Qur`an terhadap kasus-kasus tertentu yang berlangsung dalam lokus tertentu pula, masyara 79 %
kedua ini mungkin tepat sekiranya disebut sebagai penyembah kata (‘ubbad al-alafdz), semantara kata (lafdz) adalah shanam yu’ 41 %
disebut sebagai penyembah kata (‘ubbad al-alafdz), semantara kata (lafdz) adalah shanam yu’bad (patung yang disembah). Sege 41 %
atasi pelbagai etnis dan keyakinan. Ayat-ayat ini ingin saya katakan sebagai ayat dengan kedudukan paling tinggi (al-ayat al-’ala 67 %
lahnya, bahkan bisa dihitung dengan jari tangan. Masuk dalam kategori ayat yang tidak bisa dinasakh ini, seperti ayat “wa idza hak 68 %
ma Indonesia untuk mengubah pola bermadzhab dari yang qawliy ke manhaji mengandung pengertian bahwa metodologi klasik yang t 4 %
m kaidah yang terakhir itu, realitas hendak disubordinasikan ke dalam bunyi harafiah teks. Yang dituju adalah kebenaran teks 36 %
senantiasa berkreasi untuk memproduksi formulasi bahkan teks keagamaan baru di tengah kegamangan dan kegagapan formulasi dan teks k 53 %
n baru di tengah kegamangan dan kegagapan formulasi dan teks keagamaan lama.Praktek dari kaidah ini dapat diketahui dari pembatalan 53 %
udah dicapai, maka teks harus segera dilepaskan dari konteks kearabannya (dekontekstualisasi) untuk kemudian dilakukan rekontekstuali 23 %
z dalam porsi yang demikian besar. Segala jenis perbincangan kebahasaan (abhats lughawiyah min mabahits al-alfadz) seperti mengenai 39 %
berkompeten. Dengan cara ini, niscaya kita bisa menghindari kebekuan dan kemandulan metodologi-ushul fikih. 100 %
ordinasikan ke dalam bunyi harafiah teks. Yang dituju adalah kebenaran teks dengan konsekuensi mengabaikan konteks (al-siyaq al-tar 37 %
h ini menganut ideologi universalisme dan ketidak-berhinggan kebenaran huruf (shalahiyyah al-nansh dalaliyan li kulli zaman wa maka 38 %
teks linguistik saja tidak akan cukup memadai untuk mengejar kebenaran hakiki (maqashid asasiyah) yang diusung oleh teks. Analisis 42 %
dalam lokus tertentu pula, masyarakat Arab. Dengan demikian, kebenaran ayat-ayat tadi bersifat relatif dan tentatif, sehingga memer 80 %
ih. Terdapat dorongan adekuat untuk senantiasa berpihak pada kebenaran dan keadilan. Selalu ada kecenderungan untuk mengoreksi pelb 83 %
, kemaslahatan merupakan amunisi untuk mengontrol balik dari keberadaan teks dengan menganulir beberapa teks suci yang sudah aus. De 52 %
diri dengan pengetahuan yang memadai menyangkut tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab sebagai masyarakat awal yang menjadi sasaran 21 %
oblem tersebut, maka ia tidaklah banyak guna dan manfaatnya. kecanggihan sebuah metodologi terutama dalam imu-ilmu terapan Islam sema 15 %
senantiasa berpihak pada kebenaran dan keadilan. Selalu ada kecenderungan untuk mengoreksi pelbagai kekeliruan dan menyempurnakan sega 83 %
eputasi dan kedudukan apapun dalam ruang ushul fikih klasik, kecuali sebagai sasaran hukum yang tak berdaya (mukallaf) 3 Pember 11 %
anpa kemaslahatan memang tak berfungsi apa-apa buat manusia, kecuali untuk teks itu sendiri. Teks baru bermakna sekiranya menyert 61 %
ai pengelola, maka akal tidak bisa bertindak terlampau jauh, kecuali hanya untuk melakukan rasionalisasi terhadap barang-barang i 88 %
ng kontemporer yang terus menerus mendevaluasi akal di bawah kedigdayaan teks. Baik kalangan Asy’ariyah maupun Mu’tazilah hakekatnya 87 %
a untuk menegakkan otoritas teks semata. Para pemakai kaidah kedua ini mungkin tepat sekiranya disebut sebagai penyembah kata ( 40 %
uk umat manusia sendiri. Manusia tidak memiliki reputasi dan kedudukan apapun dalam ruang ushul fikih klasik, kecuali sebagai sasar 10 %
akinan. Ayat-ayat ini ingin saya katakan sebagai ayat dengan kedudukan paling tinggi (al-ayat al-’ala qiymatan), atau al-ayat al-us 67 %
in, karena pandangannya dinilai lebih benar. Mereka memiliki kedudukan dan derajat yang sama. Pandangan di atas sangat berbeda 86 %
ormulasi bahkan teks keagamaan baru di tengah kegamangan dan kegagapan formulasi dan teks keagamaan lama.Praktek dari kaidah ini da 53 %
k memproduksi formulasi bahkan teks keagamaan baru di tengah kegamangan dan kegagapan formulasi dan teks keagamaan lama.Praktek dari 53 %
Qur`an dan al-Sunnah. Akal hanya berguna untuk membuka tabir kegelapan teks-teks dhanniyat al-Qur`an saja. Di tangan Mu’tazilah, ak 89 %
kelas dan struktur sosial dan budaya yang melingkupi sejarah kehadiran teks. Maka, kejarlah maqashid al-syari’ah dengan pelbagai ca 44 %
ayat yang demikian bukan saja berpunggungan dengan semangat kehadiran Islam awal, melainkan juga bertentangan dengan logika nasakh 70 %
engan pelbagai cara, tanpa terlalu banyak terpesona terhadap keindahan sebuah teks. Sebab, keterpesonaan merupakan tindakan ideolog 45 %
ial dan budaya yang melingkupi sejarah kehadiran teks. Maka, kejarlah maqashid al-syari’ah dengan pelbagai cara, tanpa terlalu ban 44 %
keadilan. Selalu ada kecenderungan untuk mengoreksi pelbagai kekeliruan dan menyempurnakan segala kekurangan. Akal publik dan bukan 83 %
mat per se melainkan yang justeru fondasional adalah analisa kelas dan struktur sosial dan budaya yang melingkupi sejarah kehad 44 %
seluruh cara pemecahan problem. Tentu saja ini merupakan kelemahan metodologis tersendiri yang mesti mendapatkan penanganan. De 13 %
ushul fikih alternatif yang bisa disodorkan untuk membenahi kelemahan-kelemahan metodologi istinbath yang telah lama dirisaukan. Tentu saja 98 %
but. Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-keten 2 %
1 Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-keten 8 %
dap akal publik. 2 Metodologi klasik kurang hirau terhadap kemampuan manusia di dalam merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk 10 %
Dengan cara ini, niscaya kita bisa menghindari kebekuan dan kemandulan metodologi-ushul fikih. 100 %
oduk pemikiran Islam akan lebih solutif bagi problem-problem kemanusiaan yang terus melilit. Karena, betapa pun canggihnya sebuah met 14 %
hirau terhadap kemampuan manusia di dalam merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk umat manusia sendiri. Manusia tidak memiliki rep 10 %
nden secara persis dengan kepiawaiannya di dalam menciptakan kemaslahatan bagi sebesar-besarnya umat manusia. 1. al-’Ibrah bi al 16 %
sh dan mashlahah, karena apa yang diujarkan oleh nash adalah kemaslahatan itu sendiri. Sering disinyalir bahwa kemaslahatan yang diand 48 %
ash adalah kemaslahatan itu sendiri. Sering disinyalir bahwa kemaslahatan yang diandaikan oleh manusia adalah kemaslahatan semu dan re 48 %
yalir bahwa kemaslahatan yang diandaikan oleh manusia adalah kemaslahatan semu dan relatif, sementara kemaslahatan yang ditetapkan Tuh 49 %
oleh manusia adalah kemaslahatan semu dan relatif, sementara kemaslahatan yang ditetapkan Tuhan melalui bunyi harafiah nash adalah kem 49 %
tan yang ditetapkan Tuhan melalui bunyi harafiah nash adalah kemaslahatan hakiki dan obyektif. Manusia tidak memiliki kewenangan untuk 49 %
tidak memiliki kewenangan untuk mempertanyakan dan menggugat kemaslahatan literal teks. Kewajiban manusia adalah mengamalkan dan mengi 50 %
al-mashlahah”. Sebagai spirit dari teks (nushush) al-Qur`an, kemaslahatan merupakan amunisi untuk mengontrol balik dari keberadaan tek 52 %
eberapa teks suci yang sudah aus. Dengan cara ini, maka cita kemaslahatan akan senantiasa berkreasi untuk memproduksi formulasi bahkan 53 %
menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karena perubahan konteks, maka dapat saja Alla 58 %
syari’at yang telah ditetapkan Allah Swt. Teks suci tanpa kemaslahatan memang tak berfungsi apa-apa buat manusia, kecuali untuk tek 61 %
s itu sendiri. Teks baru bermakna sekiranya menyertakan cita kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan adalah fondasi paling pokok 61 %
a sekiranya menyertakan cita kemaslahatan bagi umat manusia. kemaslahatan adalah fondasi paling pokok dari setiap perundang-undangan s 62 %
dengan perkembangan kemaslahatan, melainkan karena tuntutan kemaslahatan itu secara obyektif niscaya mengharuskan demikian. Menarik m 63 %
” seluruh ketentuan agama diarahkan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat manusia . Dengan ini, maka kemaslahatan itu merupakan 64 %
besar-besarnya kemaslahatan umat manusia . Dengan ini, maka kemaslahatan itu merupakan ajaran agama yang tsawabit (tidak berubah, pok 64 %
bah, pokok, dan universal), sementara wujud pelaksanaan cita kemaslahatan itu merupakan perkara agama yang mutaghayyir (berubah-beruba 65 %
yang baru diundangkan, kerap dalam 3 sampai 5 tahun dianulir kembali oleh Nabi Muhammad karena tidak bermaslahat lagi. Tidakl 57 %
ah tuntas dan sempurna. Sehingga, kewajiban umat yang datang kemudian bukan untuk mengubahnya, tetapi mengikuti dan melaksanakanny 5 %
lepaskan dari konteks kearabannya (dekontekstualisasi) untuk kemudian dilakukan rekontekstualisasi. Yaitu, melabuhkan prinsip-prin 24 %
ang bernilai maslahat dalam suatu tempat dan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan waktu yang la 57 %
nyuruh berbuat sesuatu karena diketahui mengandung maslahat, kemudian Allah melarangnya pada waktu kemudian karena diketahui di la 59 %
i mengandung maslahat, kemudian Allah melarangnya pada waktu kemudian karena diketahui di lapangan aturan tersebut tidak lagi meny 59 %
a (hudud), bilangan waris dan sebagainya, maka tetap terbuka kemungkinan untuk dinasakh dan difalsifikasi, sekiranya ayat tadi tidak 72 %
Pada hemat saya, maslahat memiliki otoritas untuk menganulir kententuan-ketentuan teks suci. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan “naskh al-nu 51 %
cam ushul fikih ini akan berkoresponden secara persis dengan kepiawaiannya di dalam menciptakan kemaslahatan bagi sebesar-besarnya umat 16 %
l-lafdz) hanya akan menyebabkan kita senantiasa berada dalam kerangka makna linguistik (fiy ithar al-dalalah al-lughawiyah)”, tand 31 %
ranan sabab al-nuzul. Implikasinya, para pengguna kaidah ini kerap terjebak pada suatu kenaifan. Bahwa semakin harafiah seseora 34 %
hammad sendiri. Betapa syari’at Islam yang baru diundangkan, kerap dalam 3 sampai 5 tahun dianulir kembali oleh Nabi Muhammad k 56 %
s kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. Metodologi lama terlalu memandang 1 %
s kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. 1 Metodologi lama terlalu meman 7 %
kontekstualisasi, dan rekontekstualisasi merupakan mekanisme kerja penafsiran sepanjang masa. Dalam khazanah ushul fikih, ma 25 %
da perangkap yang mematikan spirit dan elan vital al-Qur`an. kerja tanqih ini hakekatnya inheren di dalam diri setiap manusia y 82 %
l-takalif kulluha raji’atun ila mashalih al-’ibad” seluruh ketentuan agama diarahkan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat man 64 %
emiliki kewenangan untuk menyulih dan mengamandemen sejumlah ketentuan “dogmatik” agama yang menyangkut perkara-perkara publik, bai 74 %
wewenang untuk mengevaluasi efektivitas dan kinerja beberapa ketentuan al-Qur`an dan al-Hadits di dalam mengimpelementasikan maqash 95 %
erkara publik, maka akal publik mesti mempertimbangkan ulang ketentuan tersebut. Akal publik bertugas untuk mengeluarkan spirit das 97 %
hadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. 2 %
hadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Di 8 %
menjadi sumber inspirasi tatkala al-Qur`an hendak melabuhkan ketentuan-ketentuan legal-spesifik di lapangan. Dengan perkataan lain, maqashid 26 %
lalu banyak terpesona terhadap keindahan sebuah teks. Sebab, keterpesonaan merupakan tindakan ideologis yang hanya akan menumpulkan kre 45 %
ya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. Metodologi lama 1 %
ya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. 1 Metodologi l 7 %
’ah di bumi realitas. Sekiranya dari data lapangan diketahui ketidak-berdayaan sebuah teks di dalam mengatasi perkara-perkara publik, maka 96 %
para pemakai kaidah ini menganut ideologi universalisme dan ketidak-berhinggan kebenaran huruf (shalahiyyah al-nansh dalaliyan li kulli zam 38 %
tik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Ditegaskan bahwa ketika terjadi pertentangan antara akal publik dan bunyi harfiah te 9 %
an li kulli zaman wa makan). Sehingga kita tidak perlu kaget ketika ushul fikih lama berbicara tentang lafdz dalam porsi yang de 39 %
ublik, baik dalam al-Qur`an maupun dalam al-Sunnah. Sehingga ketika terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi harfiah 75 %
memodifikasikannya. Modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat hudud ( 76 %
umûm al-lafadz. Bahwa yang harus menjadi pertimbangan adalah keumuman lafadz, bukan khususnya sebab. Maka, jika suatu nash menggun 30 %
ir untuk merespons suatu peristiwa yang khusus. “Pasrah pada keumuman lafdz ( al-taslim bi ‘umum al-lafdz) hanya akan menyebabkan 31 %
ara ulama dahulu memang sudah tuntas dan sempurna. Sehingga, kewajiban umat yang datang kemudian bukan untuk mengubahnya, tetapi me 4 %
ntuk mempertanyakan dan menggugat kemaslahatan literal teks. kewajiban manusia adalah mengamalkan dan mengimaninya secara sepenuh h 50 %
lah kemaslahatan hakiki dan obyektif. Manusia tidak memiliki kewenangan untuk mempertanyakan dan menggugat kemaslahatan literal teks 50 %
Kaidah ini hendak menyatakan bahwa akal publik memiliki kewenangan untuk menyulih dan mengamandemen sejumlah ketentuan “dogmati 74 %
erupakan mekanisme kerja penafsiran sepanjang masa. Dalam khazanah ushul fikih, maqashid al-syari’ah itu adalah keadilan, kemas 25 %
rupakan antipoda dari kaidah lama yang berbunyi al-’ibrah bi khushûsh al-sabab lâ bi ‘umûm al-lafadz. Bahwa yang harus menjadi per 29 %
ang harus menjadi pertimbangan adalah keumuman lafadz, bukan khususnya sebab. Maka, jika suatu nash menggunakan redaksi yang bersif 30 %
erlu mendapatkan wewenang untuk mengevaluasi efektivitas dan kinerja beberapa ketentuan al-Qur`an dan al-Hadits di dalam mengimpe 95 %
dapatkan penanganan. Dengan segala keterbatasan, tulisan ini kiranya bermaksud untuk mereformasi kaidah-kaidah ushul fikih yang p 13 %
lafdz ( al-taslim bi ‘umum al-lafdz) hanya akan menyebabkan kita senantiasa berada dalam kerangka makna linguistik (fiy ithar 31 %
hiyyah al-nansh dalaliyan li kulli zaman wa makan). Sehingga kita tidak perlu kaget ketika ushul fikih lama berbicara tentang 38 %
akan banyak orang yang berkompeten. Dengan cara ini, niscaya kita bisa menghindari kebekuan dan kemandulan metodologi-ushul fikih. 100 %
mbangun Ushul Fikih Alternatif Mestinya, metodologi Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada 0 %
kali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata ter 1 %
Banyak pemikir Muslim memandang metodologi (ushul fikih) klasik tanpa cacat epistemologis apapun. Ajakan sejumlah ulama Indo 3 %
ang qawliy ke manhaji mengandung pengertian bahwa metodologi klasik yang telah dikerangkakan oleh para ulama dahulu memang sudah 4 %
ologi lama yang provisionaris. Mestinya, metodologi Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada 6 %
kali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. 1 Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata 7 %
ngambil cara penundukan terhadap akal publik. 2 Metodologi klasik kurang hirau terhadap kemampuan manusia di dalam merumuskan 10 %
yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian klasik itu merupakan prasyarat utama untuk menemukan maqashid al-sy 20 %
an? Dalam menjawab pertanyaan ini, umumnya ulama ushul fikih klasik mengatakan bahwa yang dimenangkan adalah nash. Bahkan, al-Th 47 %
i atas sangat berbeda dengan pandangan mainstream, baik yang klasik maupun yang kontemporer yang terus menerus mendevaluasi akal 86 %
ramatika bahasanya. Akal manusia dalam buku-buku teologi klasik telah diletakkan sebagai sub-ordinat dari teks. Akal mengala 91 %
rnatif Mestinya, metodologi Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fak 0 %
naris. Mestinya, metodologi Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fak 7 %
unyi harafiah teks. Yang dituju adalah kebenaran teks dengan konsekuensi mengabaikan konteks (al-siyaq al-tarikhi) yang mengitari. Ko 37 %
kurang hirau terhadap kemampuan manusia di dalam merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk umat manusia sendiri. Manusia tidak 10 %
ya, metodologi Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis 1 %
ya, metodologi Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis 7 %
ituntut untuk memahami konteks. Yang dimaksudkan bukan hanya konteks personal yang juz`iy-partikular melainkan juga konteks imper 19 %
hanya konteks personal yang juz`iy-partikular melainkan juga konteks impersonal yang kulli-universal. Pemahaman tentang konteks y 19 %
a konteks impersonal yang kulli-universal. Pemahaman tentang konteks yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian 20 %
yarakat awal yang menjadi sasaran wahyu. Pengetahuan tentang konteks tentu bukan untuk konteks itu sendiri, melainkan untuk menim 22 %
sasaran wahyu. Pengetahuan tentang konteks tentu bukan untuk konteks itu sendiri, melainkan untuk menimba dan memperoleh prinsip- 22 %
ari’ah sudah dicapai, maka teks harus segera dilepaskan dari konteks kearabannya (dekontekstualisasi) untuk kemudian dilakukan re 23 %
dituju adalah kebenaran teks dengan konsekuensi mengabaikan konteks (al-siyaq al-tarikhi) yang mengitari. Konteks didudukkan dal 37 %
si mengabaikan konteks (al-siyaq al-tarikhi) yang mengitari. konteks didudukkan dalam posisi yang rendah dan sekunder. Ini menjad 37 %
h). Segera tampak bahwa analisis yang berhenti hanya pada konteks linguistik saja tidak akan cukup memadai untuk mengejar kebe 41 %
sebagainya), waris, dan sebagainya. Ayat-ayat tersebut dalam konteks sekarang, alih-alih bisa menyelesaikan masalah-masalah keman 77 %
umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan met 1 %
umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan met 7 %
da dengan pandangan mainstream, baik yang klasik maupun yang kontemporer yang terus menerus mendevaluasi akal di bawah kedigdayaan te 86 %
l-Haqiqah. Terdapat sekian banyak kritik terhadap kaidah konvensional ini. Misalnya, pertama, kaidah ini dipandang terlalu banyak 32 %
aan merupakan tindakan ideologis yang hanya akan menumpulkan kreativitas dalam pencarian makna obyektif. 2 Jawaz Naskh al-N 45 %
al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah. Terdapat sekian banyak kritik terhadap kaidah konvensional ini. Misalnya, pertama, kaidah 32 %
erhinggan kebenaran huruf (shalahiyyah al-nansh dalaliyan li kulli zaman wa makan). Sehingga kita tidak perlu kaget ketika ushu 38 %
ngar pernyataan Izzuddin Ibnu Abdissalam, “innama al-takalif kulluha raji’atun ila mashalih al-’ibad” seluruh ketentuan agama d 63 %
cara penundukan terhadap akal publik. 2 Metodologi klasik kurang hirau terhadap kemampuan manusia di dalam merumuskan konsep 10 %
sar-besarnya umat manusia. 1. al-’Ibrah bi al-maqashid la bi al-alfadz. Kaidah ini berarti bahwa yang mesti menjadi 17 %
ari kaidah lama yang berbunyi al-’ibrah bi khushûsh al-sabab bi ‘umûm al-lafadz. Bahwa yang harus menjadi pertimbangan ad 29 %
merespons suatu peristiwa yang khusus. “Pasrah pada keumuman lafdz ( al-taslim bi ‘umum al-lafdz) hanya akan menyebabkan kita s 31 %
tidak perlu kaget ketika ushul fikih lama berbicara tentang lafdz dalam porsi yang demikian besar. Segala jenis perbincangan k 39 %
entuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Oleh: Abd Moqsith Ghazali Banyak pemikir Musl 2 %
entuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Ditegaskan bahwa ketika terjadi pertentangan antara 8 %
pun al-hadits (apalagi di dalam tafsir dan fikih) yang tidak lagi menyuarakan maqashid al-syari’ah, maka ia batal atau dapat d 28 %
tentang penganuliran beberapa syari’at yang dipandang tidak lagi bersendikan kemaslahatan. Dijelaskan bahwa nasakh itu bukan 55 %
kemudian karena diketahui di lapangan aturan tersebut tidak lagi menyuarakan kemaslahatan. Ibnu Rusyd dalam bukunya yang bert 59 %
inasakh dan difalsifikasi, sekiranya ayat tadi tidak efektif lagi sebagai sarana untuk mewujudkan cita kemalahatan. Dalam seja 72 %
untuk terus-menerus memperbaharui teks-teks agama yang tidak lagi merepresentasikan prinsip-prinsip dasar Islam. 3 Tanq 73 %
ath yang telah lama dirisaukan. Tentu saja ada sekian banyak lagi kaidah ushul fikih yang perlu direformasi dengan menyertakan 99 %
n melaksanakannya. Di sini, sebuah metodologi yang sejatinya lahir dari pabrik intelektualitas manusia yang nisbi telah diposis 5 %
nggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan nash tersebut, sekalipun nash itu hadir un 30 %
ayaan bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publi 1 %
melakukan idealisasi dan universalisasi terhadap metodologi lama yang provisionaris. Mestinya, metodologi Islam klasik dil 6 %
n bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. 1 Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publi 8 %
Kaidah yang diajukan di atas merupakan antipoda dari kaidah lama yang berbunyi al-’ibrah bi khushûsh al-sabab lâ bi ‘umûm al- 29 %
a makan). Sehingga kita tidak perlu kaget ketika ushul fikih lama berbicara tentang lafdz dalam porsi yang demikian besar. Seg 39 %
embenahi kelemahan-kelemahan metodologi istinbath yang telah lama dirisaukan. Tentu saja ada sekian banyak lagi kaidah ushul f 99 %
antara akal publik dan bunyi harfiah teks ajaran, metodologi lampau selalu mengambil cara penundukan terhadap akal publik. 2 M 9 %
an Allah melarangnya pada waktu kemudian karena diketahui di lapangan aturan tersebut tidak lagi menyuarakan kemaslahatan. Ibnu Ru 59 %
n maqashid al-syari’ah di bumi realitas. Sekiranya dari data lapangan diketahui ketidak-berdayaan sebuah teks di dalam mengatasi p 96 %
kaidah-kaidah ushul ini niscaya produk pemikiran Islam akan lebih solutif bagi problem-problem kemanusiaan yang terus melilit. 14 %
ersonal yang kulli-universal. Pemahaman tentang konteks yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian klasik itu 20 %
sa pandangannya pada orang lain, karena pandangannya dinilai lebih benar. Mereka memiliki kedudukan dan derajat yang sama. 86 %
publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Oleh: Abd Moqsith 2 %
publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Ditegaskan bahwa ket 8 %
rasi tatkala al-Qur`an hendak melabuhkan ketentuan-ketentuan legal-spesifik di lapangan. Dengan perkataan lain, maqashid al-syari’ah ada 26 %
aksis adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat dan bukan legislasi spesifik atau formulasi literalnya. Nah, untuk mengetahui ma 18 %
k-berhinggan kebenaran huruf (shalahiyyah al-nansh dalaliyan li kulli zaman wa makan). Sehingga kita tidak perlu kaget ketik 38 %
mtum bayna al-nas an tahkumu bi al’adl”, “I’dilu huwa aqrabu li al-taqwa”, dan sebagainya. Nasakh terhadap ayat yang demikia 69 %
akan menyebabkan kita senantiasa berada dalam kerangka makna linguistik (fiy ithar al-dalalah al-lughawiyah)”, tandas Nahr Hamid Abu 31 %
egera tampak bahwa analisis yang berhenti hanya pada konteks linguistik saja tidak akan cukup memadai untuk mengejar kebenaran hakik 41 %
l publik bertugas untuk mengeluarkan spirit dasar Islam dari lipatan huruf-huruf agama. Akal publik mempunyai tanggungjawab moral 97 %
naran. Sebaliknya, semakin jauh yang bersangkutan dari makna literal al-Qur`an, maka ia semakin terlempar dari kebenaran. Maka, s 34 %
`an, maka ia semakin terlempar dari kebenaran. Maka, semakin literal seseorang di dalam memperlakukan al-Qur`an, maka semakin dek 35 %
i kewenangan untuk mempertanyakan dan menggugat kemaslahatan literal teks. Kewajiban manusia adalah mengamalkan dan mengimaninya 50 %
qashid al-syari’ah, maka ia batal atau dapat dibatalkan demi logika maqashid al-syari’ah itu. Kaidah yang diajukan di atas me 28 %
gat kehadiran Islam awal, melainkan juga bertentangan dengan logika nasakh sendiri. Sementara ayat-ayat mu’amalah dalam al-Qur`a 70 %
-Qur`an terhadap kasus-kasus tertentu yang berlangsung dalam lokus tertentu pula, masyarakat Arab. Dengan demikian, kebenaran a 79 %
demikian besar. Segala jenis perbincangan kebahasaan (abhats lughawiyah min mabahits al-alfadz) seperti mengenai ‘amm-khashsh, muthl 39 %
uk mentanqih ayat-ayat yang problematik. Akhirnya, jangan lupa bahwa itu hanya sebagian kaidah ushul fikih alternatif yang 98 %
syd dalam bukunya yang bertitelkan Fashl al-Maqal fiy Taqrir ma Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah min al-Ittishal menyatakan ba 60 %
Segala jenis perbincangan kebahasaan (abhats lughawiyah min mabahits al-alfadz) seperti mengenai ‘amm-khashsh, muthlaq-muqayyad, 39 %
am suatu tempat dan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dap 58 %
odologi jika kandas pada tingkat pemecahan problem tersebut, maka ia tidaklah banyak guna dan manfaatnya. Kecanggihan sebuah m 15 %
tau formulasi literalnya. Nah, untuk mengetahui maqashid ini maka seseorang dituntut untuk memahami konteks. Yang dimaksudkan 19 %
shid al-syari’ah. Begitu maqashid al-syari’ah sudah dicapai, maka teks harus segera dilepaskan dari konteks kearabannya (dekon 23 %
dan fikih) yang tidak lagi menyuarakan maqashid al-syari’ah, maka ia batal atau dapat dibatalkan demi logika maqashid al-syari 28 %
aka, jika suatu nash menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan nash tersebut, seka 30 %
enaifan. Bahwa semakin harafiah seseorang membaca al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada kebenaran. Sebaliknya, semakin jauh ya 34 %
semakin jauh yang bersangkutan dari makna literal al-Qur`an, maka ia semakin terlempar dari kebenaran. Maka, semakin literal s 35 %
semakin literal seseorang di dalam memperlakukan al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada ketakwaan. Dan semakin substantif sese 35 %
n semakin substantif seseorang di dalam memandang al-Qur`an, maka jauh ia dari ketakwaan. Kedua, dalam kaidah yang terakhi 36 %
nganulir beberapa teks suci yang sudah aus. Dengan cara ini, maka cita kemaslahatan akan senantiasa berkreasi untuk memproduks 53 %
n. Bila kemaslahatan dapat berubah karena perubahan konteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatu karena diketahui m 58 %
uk sebesar-besarnya kemaslahatan umat manusia . Dengan ini, maka kemaslahatan itu merupakan ajaran agama yang tsawabit (tidak 64 %
i para pelaku pidana (hudud), bilangan waris dan sebagainya, maka tetap terbuka kemungkinan untuk dinasakh dan difalsifikasi, 72 %
ntangan antara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka akal publik berotoritas untuk mengedit, menyempurnakan, dan 75 %
ra data-teks merupakan pangkal atau asal. Sebagai pengelola, maka akal tidak bisa bertindak terlampau jauh, kecuali hanya untu 88 %
lah akal manusia itu begitu rendah, sehingga kalau dibiarkan maka manusia secara massal akan bertelanjang bulat di jalan-jalan 92 %
ayaan sebuah teks di dalam mengatasi perkara-perkara publik, maka akal publik mesti mempertimbangkan ulang ketentuan tersebut. 96 %
hanya akan menyebabkan kita senantiasa berada dalam kerangka makna linguistik (fiy ithar al-dalalah al-lughawiyah)”, tandas Nah 31 %
a kebenaran. Sebaliknya, semakin jauh yang bersangkutan dari makna literal al-Qur`an, maka ia semakin terlempar dari kebenaran. 34 %
g oleh teks. Analisis mestinya dilanjutkan pada penyingkapan makna yang terdiamkan (al-maskut ‘anhu), yaitu makna yang tak terc 42 %
penyingkapan makna yang terdiamkan (al-maskut ‘anhu), yaitu makna yang tak tercakup secara verbatim di dalam aksara sebuah tek 43 %
ogis yang hanya akan menumpulkan kreativitas dalam pencarian makna obyektif. 2 Jawaz Naskh al-Nushush bi al-Mashlahah 46 %
ra verbatim di dalam aksara sebuah teks. Pencapaian terhadap makna-makna itu akan meniscayakan adanya sebuah analisa yang bukan hanya 43 %
hanya berlaku terhadap syari’at nabi-nabi terdahulu (syar’u man qablana) saja, tetapi melainkan juga berlangsung dalam batan 56 %
h, jika terjadi pertentangan antara teks (nash) dan maslahat mana yang mesti dimenangkan? Dalam menjawab pertanyaan ini, umumn 47 %
ang mengandung prinsip-prinsip ajaran yang universal, ajaran mana telah melintasi ruang dan waktu, mengatasi pelbagai etnis da 67 %
n akal sesungguhnya agar manusia sanggup memilah dan memilih mana-mana tindakan yang baik dan mana-mana pula perbuatan yang buruk. 93 %
sanggup memilah dan memilih mana-mana tindakan yang baik dan mana-mana pula perbuatan yang buruk. Menurut saya, sekali lagi, ak 94 %
Indonesia untuk mengubah pola bermadzhab dari yang qawliy ke manhaji mengandung pengertian bahwa metodologi klasik yang telah dik 4 %
metodologi yang sejatinya lahir dari pabrik intelektualitas manusia yang nisbi telah diposisikan sebagai sesuatu yang mutlak. Ta 5 %
ublik. 2 Metodologi klasik kurang hirau terhadap kemampuan manusia di dalam merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk umat man 10 %
sia di dalam merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk umat manusia sendiri. Manusia tidak memiliki reputasi dan kedudukan apapu 10 %
muskan konsep kemaslahatan walau untuk umat manusia sendiri. manusia tidak memiliki reputasi dan kedudukan apapun dalam ruang ush 10 %
i. Sering disinyalir bahwa kemaslahatan yang diandaikan oleh manusia adalah kemaslahatan semu dan relatif, sementara kemaslahatan 49 %
bunyi harafiah nash adalah kemaslahatan hakiki dan obyektif. manusia tidak memiliki kewenangan untuk mempertanyakan dan menggugat 49 %
rtanyakan dan menggugat kemaslahatan literal teks. Kewajiban manusia adalah mengamalkan dan mengimaninya secara sepenuh hati.Seca 50 %
uan agama diarahkan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat manusia . Dengan ini, maka kemaslahatan itu merupakan ajaran agama y 64 %
Kerja tanqih ini hakekatnya inheren di dalam diri setiap manusia yang berakal budi. Dalam jiwa manusia terdapat impuls abadi 82 %
n di dalam diri setiap manusia yang berakal budi. Dalam jiwa manusia terdapat impuls abadi yang tak pernah padam untuk bertanqih. 82 %
qath’iyat dari sudut struktur gramatika bahasanya. Akal manusia dalam buku-buku teologi klasik telah diletakkan sebagai sub- 91 %
dari teks. Akal mengalami penyusutan peran. Seolah-olah akal manusia itu begitu rendah, sehingga kalau dibiarkan maka manusia sec 91 %
kal manusia itu begitu rendah, sehingga kalau dibiarkan maka manusia secara massal akan bertelanjang bulat di jalan-jalan sebagai 92 %
ya agung Allah Swt. Allah menciptakan akal sesungguhnya agar manusia sanggup memilah dan memilih mana-mana tindakan yang baik dan 93 %
ur`an dan al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya melainkan dari maqashid yang dikandungnya. Yang menjadi aksis adalah cita-cita etik- 18 %
si spesifik atau formulasi literalnya. Nah, untuk mengetahui maqashid ini maka seseorang dituntut untuk memahami konteks. Yang dim 19 %
gertian klasik itu merupakan prasyarat utama untuk menemukan maqashid al-syari’ah. Syathibi di dalam al-Muwafaqat mendengungkan 20 %
prinsip-prinsip dasar Islam atau yang dikenal dengan istilah maqashid al-syari’ah. Begitu maqashid al-syari’ah sudah dicapai, maka 23 %
tau yang dikenal dengan istilah maqashid al-syari’ah. Begitu maqashid al-syari’ah sudah dicapai, maka teks harus segera dilepaskan 23 %
ja penafsiran sepanjang masa. Dalam khazanah ushul fikih, maqashid al-syari’ah itu adalah keadilan, kemaslahatan, kesetaraan, h 25 %
slahatan, kesetaraan, hikmah-kebijaksanaan, dan cinta kasih. maqashid inilah yang sejatinya menjadi sumber inspirasi tatkala al-Qu 26 %
ketentuan legal-spesifik di lapangan. Dengan perkataan lain, maqashid al-syari’ah adalah sumber dari segala sumber hukum dalam Isl 27 %
alagi di dalam tafsir dan fikih) yang tidak lagi menyuarakan maqashid al-syari’ah, maka ia batal atau dapat dibatalkan demi logika 28 %
al-syari’ah, maka ia batal atau dapat dibatalkan demi logika maqashid al-syari’ah itu. Kaidah yang diajukan di atas merupakan a 28 %
udaya yang melingkupi sejarah kehadiran teks. Maka, kejarlah maqashid al-syari’ah dengan pelbagai cara, tanpa terlalu banyak terpe 44 %
entuan al-Qur`an dan al-Hadits di dalam mengimpelementasikan maqashid al-syari’ah di bumi realitas. Sekiranya dari data lapangan d 96 %
salah kemanusian, yang terjadi justeru merupakan bagian dari masalah yang harus dipecahkan melalui prosedur tanqih yang berupa ta 78 %
ersebut dalam konteks sekarang, alih-alih bisa menyelesaikan masalah-masalah kemanusian, yang terjadi justeru merupakan bagian dari masal 77 %
in Ibnu Abdissalam, “innama al-takalif kulluha raji’atun ila mashalih al-’ibad” seluruh ketentuan agama diarahkan untuk sebesar- 64 %
shul fikih, jika terjadi pertentangan antara teks (nash) dan maslahat mana yang mesti dimenangkan? Dalam menjawab pertanyaan ini, 47 %
am posisi bersetuju dengan jawaban di atas. Pada hemat saya, maslahat memiliki otoritas untuk menganulir kententuan-ketentuan teks 51 %
ahat lagi. Tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu tempat dan waktu tertentu, kemudian berubah menj 57 %
begitu rendah, sehingga kalau dibiarkan maka manusia secara massal akan bertelanjang bulat di jalan-jalan sebagaimana binatang, 92 %
k banyak jumlahnya, bahkan bisa dihitung dengan jari tangan. masuk dalam kategori ayat yang tidak bisa dinasakh ini, seperti ay 68 %
an pengetahuan yang memadai menyangkut tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab sebagai masyarakat awal yang menjadi sasaran wahyu. Pen 22 %
dai menyangkut tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab sebagai masyarakat awal yang menjadi sasaran wahyu. Pengetahuan tentang konteks 22 %
s-kasus tertentu yang berlangsung dalam lokus tertentu pula, masyarakat Arab. Dengan demikian, kebenaran ayat-ayat tadi bersifat rel 80 %
ruang publik tidak boleh ada satu pihak atau golongan dalam masyarakat yang berhak memaksa pandangannya pada orang lain, karena pan 85 %
i klasik tersebut. Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganu 2 %
asik tersebut. 1 Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganu 8 %
ekiranya ditemukan sebuah teks agama baik di dalam al-Qur`an maupun al-hadits (apalagi di dalam tafsir dan fikih) yang tidak lag 28 %
yang menyangkut perkara-perkara publik, baik dalam al-Qur`an maupun dalam al-Sunnah. Sehingga ketika terjadi pertentangan antara 75 %
sangat berbeda dengan pandangan mainstream, baik yang klasik maupun yang kontemporer yang terus menerus mendevaluasi akal di baw 86 %
asi akal di bawah kedigdayaan teks. Baik kalangan Asy’ariyah maupun Mu’tazilah hakekatnya sama-sama memposisikan akal sebagai pe 87 %
ni dipandang terlalu banyak berkonsentrasi dan bergerak pada medan semantik dengan menepikan peranan sabab al-nuzul. Implikasin 33 %
lisasi, dekontekstualisasi, dan rekontekstualisasi merupakan mekanisme kerja penafsiran sepanjang masa. Dalam khazanah ushul fik 25 %
alisasi) untuk kemudian dilakukan rekontekstualisasi. Yaitu, melabuhkan prinsip-prinsip dasar Islam itu di tempat dan di belahan bum 24 %
sejatinya menjadi sumber inspirasi tatkala al-Qur`an hendak melabuhkan ketentuan-ketentuan legal-spesifik di lapangan. Dengan perka 26 %
hukum dari al-Qur`an dan al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya melainkan dari maqashid yang dikandungnya. Yang menjadi aksis adalah c 18 %
aksudkan bukan hanya konteks personal yang juz`iy-partikular melainkan juga konteks impersonal yang kulli-universal. Pemahaman tent 19 %
ahuan tentang konteks tentu bukan untuk konteks itu sendiri, melainkan untuk menimba dan memperoleh prinsip-prinsip dasar Islam ata 22 %
ah analisa yang bukan hanya terhadap struktur kalimat per se melainkan yang justeru fondasional adalah analisa kelas dan struktur s 44 %
ari’at nabi-nabi terdahulu (syar’u man qablana) saja, tetapi melainkan juga berlangsung dalam batang tubuh syari’at Nabi Muhammad s 56 %
cokkan secara opurtunistik dengan perkembangan kemaslahatan, melainkan karena tuntutan kemaslahatan itu secara obyektif niscaya men 63 %
kan saja berpunggungan dengan semangat kehadiran Islam awal, melainkan juga bertentangan dengan logika nasakh sendiri. Sementara ay 70 %
kan sebagai sesuatu yang mutlak. Tak terbantah. Mereka telah melakukan idealisasi dan universalisasi terhadap metodologi lama yang 6 %
kal tidak bisa bertindak terlampau jauh, kecuali hanya untuk melakukan rasionalisasi terhadap barang-barang irrasional yang ada dal 88 %
at-ayat yang mutasyabih. Akal tidak cukup percaya diri untuk melakukan peninjauan ulang apalagi mempertanyakan ayat-ayat partikular 90 %
mu dan relatif, sementara kemaslahatan yang ditetapkan Tuhan melalui bunyi harafiah nash adalah kemaslahatan hakiki dan obyektif. 49 %
justeru merupakan bagian dari masalah yang harus dipecahkan melalui prosedur tanqih yang berupa taqyid bi al-’aql, takhshish bi 78 %
gan. Dalam tataran itu, universalisasi fikih al-Qur`an tanpa melalui proses tanqih harus dihindari. Sebab, membiarkan fikih al-Qu 81 %
sesuatu karena diketahui mengandung maslahat, kemudian Allah melarangnya pada waktu kemudian karena diketahui di lapangan aturan ters 59 %
ah pernyataan genial bahwa seorang mujtahid diharuskan untuk melengkapi diri dengan pengetahuan yang memadai menyangkut tradisi dan 21 %
nal adalah analisa kelas dan struktur sosial dan budaya yang melingkupi sejarah kehadiran teks. Maka, kejarlah maqashid al-syari’ah 44 %
ung prinsip-prinsip ajaran yang universal, ajaran mana telah melintasi ruang dan waktu, mengatasi pelbagai etnis dan keyakinan. Aya 67 %
hid diharuskan untuk melengkapi diri dengan pengetahuan yang memadai menyangkut tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab sebagai mas 21 %
berhenti hanya pada konteks linguistik saja tidak akan cukup memadai untuk mengejar kebenaran hakiki (maqashid asasiyah) yang diu 42 %
untuk mengetahui maqashid ini maka seseorang dituntut untuk memahami konteks. Yang dimaksudkan bukan hanya konteks personal yang 19 %
eh ada satu pihak atau golongan dalam masyarakat yang berhak memaksa pandangannya pada orang lain, karena pandangannya dinilai le 85 %
kerapuhan metodolgi klasik tersebut. Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyuli 2 %
levan. Oleh: Abd Moqsith Ghazali Banyak pemikir Muslim memandang metodologi (ushul fikih) klasik tanpa cacat epistemologis ap 3 %
puhan metodolgi klasik tersebut. 1 Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyuli 8 %
ia pada ketakwaan. Dan semakin substantif seseorang di dalam memandang al-Qur`an, maka jauh ia dari ketakwaan. Kedua, dalam kai 36 %
ologi klasik yang telah dikerangkakan oleh para ulama dahulu memang sudah tuntas dan sempurna. Sehingga, kewajiban umat yang dat 4 %
telah ditetapkan Allah Swt. Teks suci tanpa kemaslahatan memang tak berfungsi apa-apa buat manusia, kecuali untuk teks itu s 61 %
ndang-undangan syari’at Islam. Ini bukan karena ajaran Islam memang perlu dicocok-cocokkan secara opurtunistik dengan perkembang 62 %
yat al-ushuliyat atau ushul al-Qur`an. Ayat-ayat seperti ini memang tidak banyak jumlahnya, bahkan bisa dihitung dengan jari tan 68 %
iahnya hanya akan mengantarkan al-Qur`an pada perangkap yang mematikan spirit dan elan vital al-Qur`an. Kerja tanqih ini hakeka 82 %
rjebak pada suatu kenaifan. Bahwa semakin harafiah seseorang membaca al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada kebenaran. Sebaliknya, 34 %
  membangun Ushul Fikih Alternatif Mestinya, metodologi Islam klasik 0 %
ian kaidah ushul fikih alternatif yang bisa disodorkan untuk membenahi kelemahan-kelemahan metodologi istinbath yang telah lama dir 98 %
l-Qur`an tanpa melalui proses tanqih harus dihindari. Sebab, membiarkan fikih al-Qur`an persis seperti dalam bunyi harfiahnya hanya 81 %
ada dalam al-Qur`an dan al-Sunnah. Akal hanya berguna untuk membuka tabir kegelapan teks-teks dhanniyat al-Qur`an saja. Di tanga 89 %
oligarki pendapat atau otoritarianisme dalam merumuskan dan memecahkan urusan-urusan publik. Bagaimanapun di dalam ruang publik tid 84 %
naran ayat-ayat tadi bersifat relatif dan tentatif, sehingga memerlukan penyempurnaan, pembaharuan, dan penyulingan. Dalam tataran i 80 %
wt. Allah menciptakan akal sesungguhnya agar manusia sanggup memilah dan memilih mana-mana tindakan yang baik dan mana-mana pula 93 %
nciptakan akal sesungguhnya agar manusia sanggup memilah dan memilih mana-mana tindakan yang baik dan mana-mana pula perbuatan ya 93 %
kemaslahatan walau untuk umat manusia sendiri. Manusia tidak memiliki reputasi dan kedudukan apapun dalam ruang ushul fikih klasik 10 %
nash adalah kemaslahatan hakiki dan obyektif. Manusia tidak memiliki kewenangan untuk mempertanyakan dan menggugat kemaslahatan l 49 %
bersetuju dengan jawaban di atas. Pada hemat saya, maslahat memiliki otoritas untuk menganulir kententuan-ketentuan teks suci. In 51 %
-Mujtama’ Kaidah ini hendak menyatakan bahwa akal publik memiliki kewenangan untuk menyulih dan mengamandemen sejumlah ketentu 74 %
orang lain, karena pandangannya dinilai lebih benar. Mereka memiliki kedudukan dan derajat yang sama. Pandangan di atas sanga 86 %
n. Dalam sejarahnya, nasakh selalu hadir untuk terus-menerus memperbaharui teks-teks agama yang tidak lagi merepresentasikan prinsip-pr 73 %
par dari kebenaran. Maka, semakin literal seseorang di dalam memperlakukan al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada ketakwaan. Dan semakin 35 %
bukan untuk konteks itu sendiri, melainkan untuk menimba dan memperoleh prinsip-prinsip dasar Islam atau yang dikenal dengan istilah 22 %
hakiki dan obyektif. Manusia tidak memiliki kewenangan untuk mempertanyakan dan menggugat kemaslahatan literal teks. Kewajiban manusia a 50 %
cukup percaya diri untuk melakukan peninjauan ulang apalagi mempertanyakan ayat-ayat partikular yang tergolong qath’iyat dari sudut str 90 %
lam mengatasi perkara-perkara publik, maka akal publik mesti mempertimbangkan ulang ketentuan tersebut. Akal publik bertugas untuk mengelu 97 %
k kalangan Asy’ariyah maupun Mu’tazilah hakekatnya sama-sama memposisikan akal sebagai pengelola data-teks, sementara data-teks merupa 87 %
ini, maka cita kemaslahatan akan senantiasa berkreasi untuk memproduksi formulasi bahkan teks keagamaan baru di tengah kegamangan da 53 %
irit dasar Islam dari lipatan huruf-huruf agama. Akal publik mempunyai tanggungjawab moral untuk mentanqih ayat-ayat yang problemat 97 %
ur`an saja. Di tangan Mu’tazilah, akal hanya berfungsi untuk menakwil ayat-ayat yang mutasyabih. Akal tidak cukup percaya diri unt 89 %
aslahatan itu secara obyektif niscaya mengharuskan demikian. menarik mendengar pernyataan Izzuddin Ibnu Abdissalam, “innama al-ta 63 %
at formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. 1 %
at formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. 7 %
n berkoresponden secara persis dengan kepiawaiannya di dalam menciptakan kemaslahatan bagi sebesar-besarnya umat manusia. 1. al 16 %
bahkan merendahkan akal sebagai karya agung Allah Swt. Allah menciptakan akal sesungguhnya agar manusia sanggup memilah dan memilih m 93 %
di jalan-jalan sebagaimana binatang, berzina beramai-ramai, mencuri secara berjemaah, saling bunuh-membunuh, dan sebagainya. Ini 92 %
ja ini merupakan kelemahan metodologis tersendiri yang mesti mendapatkan penanganan. Dengan segala keterbatasan, tulisan ini kiranya 13 %
ikuti perubahan alur sejarah dan peradaban).Maka, yang perlu mendapatkan proviso penegasan di sini adalah bahwa nasakh tidak dapat di 66 %
kut perkara-perkara mu’amalah yang mundan, akal publik perlu mendapatkan wewenang untuk mengevaluasi efektivitas dan kinerja beberapa 95 %
n itu secara obyektif niscaya mengharuskan demikian. Menarik mendengar pernyataan Izzuddin Ibnu Abdissalam, “innama al-takalif kull 63 %
ukan maqashid al-syari’ah. Syathibi di dalam al-Muwafaqat mendengungkan sebuah pernyataan genial bahwa seorang mujtahid diharuskan u 21 %
baik yang klasik maupun yang kontemporer yang terus menerus mendevaluasi akal di bawah kedigdayaan teks. Baik kalangan Asy’ariyah mau 87 %
an, muhkam-mutasyabih, qath’iy-dhanniy merupakan upaya untuk menegakkan otoritas teks semata. Para pemakai kaidah kedua ini mungkin 40 %
dalam pengertian klasik itu merupakan prasyarat utama untuk menemukan maqashid al-syari’ah. Syathibi di dalam al-Muwafaqat mend 20 %
anyak berkonsentrasi dan bergerak pada medan semantik dengan menepikan peranan sabab al-nuzul. Implikasinya, para pengguna kaidah i 33 %
daksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan nash tersebut, sekalipun nash itu hadir untuk merespons suat 30 %
nstream, baik yang klasik maupun yang kontemporer yang terus menerus mendevaluasi akal di bawah kedigdayaan teks. Baik kalangan A 86 %
h teks. Yang dituju adalah kebenaran teks dengan konsekuensi mengabaikan konteks (al-siyaq al-tarikhi) yang mengitari. Konteks didudu 37 %
klasik telah diletakkan sebagai sub-ordinat dari teks. Akal mengalami penyusutan peran. Seolah-olah akal manusia itu begitu rendah 91 %
enggugat kemaslahatan literal teks. Kewajiban manusia adalah mengamalkan dan mengimaninya secara sepenuh hati.Secara pribadi, saya ti 50 %
kan bahwa akal publik memiliki kewenangan untuk menyulih dan mengamandemen sejumlah ketentuan “dogmatik” agama yang menyangkut perkara- 74 %
blik dan bunyi harfiah teks ajaran, metodologi lampau selalu mengambil cara penundukan terhadap akal publik. 2 Metodologi klasik 9 %
a untuk mengubah pola bermadzhab dari yang qawliy ke manhaji mengandung pengertian bahwa metodologi klasik yang telah dikerangkakan 4 %
a dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatu karena diketahui mengandung maslahat, kemudian Allah melarangnya pada waktu kemudian kar 58 %
wa nasakh tidak dapat dilakukan terhadap teks al-Qur`an yang mengandung prinsip-prinsip ajaran yang universal, ajaran mana telah mel 66 %
h al-Qur`an persis seperti dalam bunyi harfiahnya hanya akan mengantarkan al-Qur`an pada perangkap yang mematikan spirit dan elan vita 81 %
ah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang ti 2 %
ah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang ti 8 %
n di atas. Pada hemat saya, maslahat memiliki otoritas untuk menganulir kententuan-ketentuan teks suci. Inilah yang dimaksud dengan 51 %
n amunisi untuk mengontrol balik dari keberadaan teks dengan menganulir beberapa teks suci yang sudah aus. Dengan cara ini, maka cit 52 %
der. Ini menjadi maklum, oleh karena para pemakai kaidah ini menganut ideologi universalisme dan ketidak-berhinggan kebenaran huru 38 %
am menjawab pertanyaan ini, umumnya ulama ushul fikih klasik mengatakan bahwa yang dimenangkan adalah nash. Bahkan, al-Thufi menyata 47 %
yang universal, ajaran mana telah melintasi ruang dan waktu, mengatasi pelbagai etnis dan keyakinan. Ayat-ayat ini ingin saya katak 67 %
ta lapangan diketahui ketidak-berdayaan sebuah teks di dalam mengatasi perkara-perkara publik, maka akal publik mesti mempertimbang 96 %
pada konteks linguistik saja tidak akan cukup memadai untuk mengejar kebenaran hakiki (maqashid asasiyah) yang diusung oleh teks. 42 %
bangkan ulang ketentuan tersebut. Akal publik bertugas untuk mengeluarkan spirit dasar Islam dari lipatan huruf-huruf agama. Akal publ 97 %
ebahasaan (abhats lughawiyah min mabahits al-alfadz) seperti mengenai ‘amm-khashsh, muthlaq-muqayyad, mujmal-mubayyan, muhkam-muta 39 %
kan legislasi spesifik atau formulasi literalnya. Nah, untuk mengetahui maqashid ini maka seseorang dituntut untuk memahami konteks. 19 %
ah yang mundan, akal publik perlu mendapatkan wewenang untuk mengevaluasi efektivitas dan kinerja beberapa ketentuan al-Qur`an dan al- 95 %
. Manusia tidak memiliki kewenangan untuk mempertanyakan dan menggugat kemaslahatan literal teks. Kewajiban manusia adalah mengamal 50 %
eumuman lafadz, bukan khususnya sebab. Maka, jika suatu nash menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain sela 30 %
kan karena tuntutan kemaslahatan itu secara obyektif niscaya mengharuskan demikian. Menarik mendengar pernyataan Izzuddin Ibnu Abdissa 63 %
Akal publik dan bukan akal privat ini dibutuhkan tentu untuk menghindari oligarki pendapat atau otoritarianisme dalam merumuskan dan 84 %
k orang yang berkompeten. Dengan cara ini, niscaya kita bisa menghindari kebekuan dan kemandulan metodologi-ushul fikih. 100 %
an umat yang datang kemudian bukan untuk mengubahnya, tetapi mengikuti dan melaksanakannya. Di sini, sebuah metodologi yang sejatin 5 %
tu merupakan perkara agama yang mutaghayyir (berubah-berubah mengikuti perubahan alur sejarah dan peradaban).Maka, yang perlu menda 65 %
hatan literal teks. Kewajiban manusia adalah mengamalkan dan mengimaninya secara sepenuh hati.Secara pribadi, saya tidak dalam posisi 50 %
kinerja beberapa ketentuan al-Qur`an dan al-Hadits di dalam mengimpelementasikan maqashid al-syari’ah di bumi realitas. Sekiranya dari data l 96 %
bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid di dalam mengistinbatkan hukum dari al-Qur`an dan al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya 17 %
ks (nushush) al-Qur`an, kemaslahatan merupakan amunisi untuk mengontrol balik dari keberadaan teks dengan menganulir beberapa teks s 52 %
pada kebenaran dan keadilan. Selalu ada kecenderungan untuk mengoreksi pelbagai kekeliruan dan menyempurnakan segala kekurangan. Ak 83 %
epistemologis apapun. Ajakan sejumlah ulama Indonesia untuk mengubah pola bermadzhab dari yang qawliy ke manhaji mengandung penge 3 %
nteks tentu bukan untuk konteks itu sendiri, melainkan untuk menimba dan memperoleh prinsip-prinsip dasar Islam atau yang dikenal 22 %
aksara sebuah teks. Pencapaian terhadap makna-makna itu akan meniscayakan adanya sebuah analisa yang bukan hanya terhadap struktur kal 43 %
shid la bi al-alfadz. Kaidah ini berarti bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid di dalam mengistinbatkan hukum da 17 %
an aksaranya melainkan dari maqashid yang dikandungnya. Yang menjadi aksis adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat dan bukan 18 %
i dan kebiasaan masyarakat Arab sebagai masyarakat awal yang menjadi sasaran wahyu. Pengetahuan tentang konteks tentu bukan untuk 22 %
bijaksanaan, dan cinta kasih. Maqashid inilah yang sejatinya menjadi sumber inspirasi tatkala al-Qur`an hendak melabuhkan ketentu 26 %
bi khushûsh al-sabab lâ bi ‘umûm al-lafadz. Bahwa yang harus menjadi pertimbangan adalah keumuman lafadz, bukan khususnya sebab. 29 %
onteks didudukkan dalam posisi yang rendah dan sekunder. Ini menjadi maklum, oleh karena para pemakai kaidah ini menganut ideolog 37 %
ahat dalam suatu tempat dan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan waktu yang lain. Bila kemasla 57 %
teks (nash) dan maslahat mana yang mesti dimenangkan? Dalam menjawab pertanyaan ini, umumnya ulama ushul fikih klasik mengatakan 47 %
huruf agama. Akal publik mempunyai tanggungjawab moral untuk mentanqih ayat-ayat yang problematik. Akhirnya, jangan lupa bahwa i 98 %
, keterpesonaan merupakan tindakan ideologis yang hanya akan menumpulkan kreativitas dalam pencarian makna obyektif. 2 Jawa 45 %
tindakan yang baik dan mana-mana pula perbuatan yang buruk. menurut saya, sekali lagi, akal publik harus diberi posisi yang pent 94 %
ruskan untuk melengkapi diri dengan pengetahuan yang memadai menyangkut tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab sebagai masyarakat awa 21 %
h dan mengamandemen sejumlah ketentuan “dogmatik” agama yang menyangkut perkara-perkara publik, baik dalam al-Qur`an maupun dalam al 74 %
publik tidak cukup hanya tampil sebagai pengelola data-teks. menyangkut perkara-perkara mu’amalah yang mundan, akal publik perlu men 95 %
gatakan bahwa yang dimenangkan adalah nash. Bahkan, al-Thufi menyatakan bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan antara nash dan mas 47 %
fiy Taqrir Ma Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah min al-Ittishal menyatakan bahwa hikmah (kemaslahatan) itu merupakan saudara kandung da 60 %
nqih al-Nushush bi al-’Aql al-Mujtama’ Kaidah ini hendak menyatakan bahwa akal publik memiliki kewenangan untuk menyulih dan men 74 %
ada keumuman lafdz ( al-taslim bi ‘umum al-lafdz) hanya akan menyebabkan kita senantiasa berada dalam kerangka makna linguistik (fiy 31 %
dalam al-Qur`an yang bersifat tehnis-operasional--saya suka menyebutnya dengan al-ayat al-adna qiymatan atau al-ayat al-furu’iyyat a 71 %
a. Ayat-ayat tersebut dalam konteks sekarang, alih-alih bisa menyelesaikan masalah-masalah kemanusian, yang terjadi justeru merupakan b 77 %
u ada kecenderungan untuk mengoreksi pelbagai kekeliruan dan menyempurnakan segala kekurangan. Akal publik dan bukan akal privat ini dib 84 %
kecuali untuk teks itu sendiri. Teks baru bermakna sekiranya menyertakan cita kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan adalah fon 61 %
banyak lagi kaidah ushul fikih yang perlu direformasi dengan menyertakan banyak orang yang berkompeten. Dengan cara ini, niscaya kita 99 %
l-hadits (apalagi di dalam tafsir dan fikih) yang tidak lagi menyuarakan maqashid al-syari’ah, maka ia batal atau dapat dibatalkan de 28 %
dian karena diketahui di lapangan aturan tersebut tidak lagi menyuarakan kemaslahatan. Ibnu Rusyd dalam bukunya yang bertitelkan Fash 59 %
mandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dala 2 %
mandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dala 8 %
endak menyatakan bahwa akal publik memiliki kewenangan untuk menyulih dan mengamandemen sejumlah ketentuan “dogmatik” agama yang m 74 %
apat berubah karena perubahan konteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatu karena diketahui mengandung maslahat, kemudi 58 %
gan segala keterbatasan, tulisan ini kiranya bermaksud untuk mereformasi kaidah-kaidah ushul fikih yang problematis dari sudut ontolo 13 %
elah diposisikan sebagai sesuatu yang mutlak. Tak terbantah. mereka telah melakukan idealisasi dan universalisasi terhadap metod 6 %
ya pada orang lain, karena pandangannya dinilai lebih benar. mereka memiliki kedudukan dan derajat yang sama. Pandangan di a 86 %
blematis dari sudut ontologis-epistemologis tersebut. Dengan merekonstruksi kaidah-kaidah ushul ini niscaya produk pemikiran Islam akan 14 %
a. Ini, tentu saja sebuah sikap yang tidak apresiatif bahkan merendahkan akal sebagai karya agung Allah Swt. Allah menciptakan akal s 93 %
terus-menerus memperbaharui teks-teks agama yang tidak lagi merepresentasikan prinsip-prinsip dasar Islam. 3 Tanqih al-Nushush bi a 73 %
ain menerapkan nash tersebut, sekalipun nash itu hadir untuk merespons suatu peristiwa yang khusus. “Pasrah pada keumuman lafdz ( a 31 %
logi klasik kurang hirau terhadap kemampuan manusia di dalam merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk umat manusia sendiri. Manusi 10 %
tuk menghindari oligarki pendapat atau otoritarianisme dalam merumuskan dan memecahkan urusan-urusan publik. Bagaimanapun di dalam r 84 %
aya (mukallaf) 3 Pemberhalaan teks dan pengabaian realitas merupakan ciri umum dari metodologi lama. Aktivitas ijtihad selalu dig 11 %
yang tidak berkulminasi pada teks adalah illegal, sebab teks merupakan aksis dari seluruh cara pemecahan problem. Tentu saja ini 12 %
aksis dari seluruh cara pemecahan problem. Tentu saja ini merupakan kelemahan metodologis tersendiri yang mesti mendapatkan pena 12 %
dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian klasik itu merupakan prasyarat utama untuk menemukan maqashid al-syari’ah. Sya 20 %
kontekstualisasi, dekontekstualisasi, dan rekontekstualisasi merupakan mekanisme kerja penafsiran sepanjang masa. Dalam khazanah 25 %
ka maqashid al-syari’ah itu. Kaidah yang diajukan di atas merupakan antipoda dari kaidah lama yang berbunyi al-’ibrah bi khushûs 29 %
uqayyad, mujmal-mubayyan, muhkam-mutasyabih, qath’iy-dhanniy merupakan upaya untuk menegakkan otoritas teks semata. Para pemakai ka 40 %
rpesona terhadap keindahan sebuah teks. Sebab, keterpesonaan merupakan tindakan ideologis yang hanya akan menumpulkan kreativitas d 45 %
. Sebagai spirit dari teks (nushush) al-Qur`an, kemaslahatan merupakan amunisi untuk mengontrol balik dari keberadaan teks dengan m 52 %
h min al-Ittishal menyatakan bahwa hikmah (kemaslahatan) itu merupakan saudara kandung dari syari’at-syari’at yang telah ditetapkan 60 %
maslahatan umat manusia . Dengan ini, maka kemaslahatan itu merupakan ajaran agama yang tsawabit (tidak berubah, pokok, dan univer 64 %
niversal), sementara wujud pelaksanaan cita kemaslahatan itu merupakan perkara agama yang mutaghayyir (berubah-berubah mengikuti pe 65 %
nyelesaikan masalah-masalah kemanusian, yang terjadi justeru merupakan bagian dari masalah yang harus dipecahkan melalui prosedur t 77 %
-Qur`an. Sebagai sebuah fikih, ayat-ayat tersebut sepenuhnya merupakan respons al-Qur`an terhadap kasus-kasus tertentu yang berlang 79 %
isikan akal sebagai pengelola data-teks, sementara data-teks merupakan pangkal atau asal. Sebagai pengelola, maka akal tidak bisa b 87 %
ntu saja ini merupakan kelemahan metodologis tersendiri yang mesti mendapatkan penanganan. Dengan segala keterbatasan, tulisan 13 %
l-maqashid la bi al-alfadz. Kaidah ini berarti bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid di dalam mengistinbatkan 17 %
rjadi pertentangan antara teks (nash) dan maslahat mana yang mesti dimenangkan? Dalam menjawab pertanyaan ini, umumnya ulama us 47 %
g dikenal dengan istilah nasikh-mansukh. Semua pelajar Islam mesti tahu cerita tentang penganuliran beberapa syari’at yang dipa 54 %
di dalam mengatasi perkara-perkara publik, maka akal publik mesti mempertimbangkan ulang ketentuan tersebut. Akal publik bertu 97 %
hakiki (maqashid asasiyah) yang diusung oleh teks. Analisis mestinya dilanjutkan pada penyingkapan makna yang terdiamkan (al-mask 42 %
rer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. Metodologi lama terlalu memandang sebelah m 1 %
rer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. 1 Metodologi lama terlalu memandang sebel 7 %
Membangun Ushul Fikih Alternatif Mestinya, metodologi Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum p 0 %
ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal 1 %
Oleh: Abd Moqsith Ghazali Banyak pemikir Muslim memandang metodologi (ushul fikih) klasik tanpa cacat epistemologis apapun. Ajaka 3 %
zhab dari yang qawliy ke manhaji mengandung pengertian bahwa metodologi klasik yang telah dikerangkakan oleh para ulama dahulu meman 4 %
ahnya, tetapi mengikuti dan melaksanakannya. Di sini, sebuah metodologi yang sejatinya lahir dari pabrik intelektualitas manusia yan 5 %
ereka telah melakukan idealisasi dan universalisasi terhadap metodologi lama yang provisionaris. Mestinya, metodologi Islam klasi 6 %
si terhadap metodologi lama yang provisionaris. Mestinya, metodologi Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum p 6 %
idakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. 1 metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal 8 %
rtentangan antara akal publik dan bunyi harfiah teks ajaran, metodologi lampau selalu mengambil cara penundukan terhadap akal publik 9 %
au selalu mengambil cara penundukan terhadap akal publik. 2 metodologi klasik kurang hirau terhadap kemampuan manusia di dalam meru 9 %
halaan teks dan pengabaian realitas merupakan ciri umum dari metodologi lama. Aktivitas ijtihad selalu digerakkan di dalam areal tek 11 %
aan yang terus melilit. Karena, betapa pun canggihnya sebuah metodologi jika kandas pada tingkat pemecahan problem tersebut, maka ia 15 %
a ia tidaklah banyak guna dan manfaatnya. Kecanggihan sebuah metodologi terutama dalam imu-ilmu terapan Islam semacam ushul fikih in 15 %
tif yang bisa disodorkan untuk membenahi kelemahan-kelemahan metodologi istinbath yang telah lama dirisaukan. Tentu saja ada sekian 99 %
ara pemecahan problem. Tentu saja ini merupakan kelemahan metodologis tersendiri yang mesti mendapatkan penanganan. Dengan segala 13 %
a ini, niscaya kita bisa menghindari kebekuan dan kemandulan metodologi-ushul fikih. 100 %
sekiranya ayat tadi tidak efektif lagi sebagai sarana untuk mewujudkan cita kemalahatan. Dalam sejarahnya, nasakh selalu hadir untu 72 %
sar. Segala jenis perbincangan kebahasaan (abhats lughawiyah min mabahits al-alfadz) seperti mengenai ‘amm-khashsh, muthlaq-m 39 %
Fashl al-Maqal fiy Taqrir Ma Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah min al-Ittishal menyatakan bahwa hikmah (kemaslahatan) itu merup 60 %
itas untuk mengedit, menyempurnakan, dan memodifikasikannya. modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-a 76 %
alistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Oleh: Abd moqsith Ghazali Banyak pemikir Muslim memandang metodologi (ushul 3 %
patan huruf-huruf agama. Akal publik mempunyai tanggungjawab moral untuk mentanqih ayat-ayat yang problematik. Akhirnya, jan 98 %
rtentangan dengan logika nasakh sendiri. Sementara ayat-ayat mu’amalah dalam al-Qur`an yang bersifat tehnis-operasional--saya suka 70 %
mpil sebagai pengelola data-teks. Menyangkut perkara-perkara mu’amalah yang mundan, akal publik perlu mendapatkan wewenang untuk me 95 %
l di bawah kedigdayaan teks. Baik kalangan Asy’ariyah maupun mu’tazilah hakekatnya sama-sama memposisikan akal sebagai pengelola dat 87 %
melainkan juga berlangsung dalam batang tubuh syari’at Nabi muhammad sendiri. Betapa syari’at Islam yang baru diundangkan, kerap 56 %
kan, kerap dalam 3 sampai 5 tahun dianulir kembali oleh Nabi muhammad karena tidak bermaslahat lagi. Tidaklah mustahil bahwa s 57 %
aidah ini berarti bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid di dalam mengistinbatkan hukum dari al-Qur`an dan al-Sunnah 17 %
wafaqat mendengungkan sebuah pernyataan genial bahwa seorang mujtahid diharuskan untuk melengkapi diri dengan pengetahuan yang mem 21 %
negakkan otoritas teks semata. Para pemakai kaidah kedua ini mungkin tepat sekiranya disebut sebagai penyembah kata (‘ubbad al-al 40 %
nangkan adalah nash. Bahkan, al-Thufi menyatakan bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan antara nash dan mashlahah, karena apa y 48 %
lagi relevan. Oleh: Abd Moqsith Ghazali Banyak pemikir muslim memandang metodologi (ushul fikih) klasik tanpa cacat episte 3 %
eh Nabi Muhammad karena tidak bermaslahat lagi. Tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu tempat dan 57 %
laksanaan cita kemaslahatan itu merupakan perkara agama yang mutaghayyir (berubah-berubah mengikuti perubahan alur sejarah dan perada 65 %
etapi melainkan juga berlangsung dalam batang tubuh syari’at nabi Muhammad sendiri. Betapa syari’at Islam yang baru diundangka 56 %
ndangkan, kerap dalam 3 sampai 5 tahun dianulir kembali oleh nabi Muhammad karena tidak bermaslahat lagi. Tidaklah mustahi 57 %
askan bahwa nasakh itu bukan hanya berlaku terhadap syari’at nabi-nabi terdahulu (syar’u man qablana) saja, tetapi melainkan juga b 55 %
kna linguistik (fiy ithar al-dalalah al-lughawiyah)”, tandas nahr Hamid Abu Zaid dalam bukunya yang berjudul al-Nash, al-Sulth 32 %
andang tidak lagi bersendikan kemaslahatan. Dijelaskan bahwa nasakh itu bukan hanya berlaku terhadap syari’at nabi-nabi terdahul 55 %
ang perlu mendapatkan proviso penegasan di sini adalah bahwa nasakh tidak dapat dilakukan terhadap teks al-Qur`an yang mengandun 66 %
i al’adl”, “I’dilu huwa aqrabu li al-taqwa”, dan sebagainya. nasakh terhadap ayat yang demikian bukan saja berpunggungan dengan 69 %
adiran Islam awal, melainkan juga bertentangan dengan logika nasakh sendiri. Sementara ayat-ayat mu’amalah dalam al-Qur`an yang 70 %
sarana untuk mewujudkan cita kemalahatan. Dalam sejarahnya, nasakh selalu hadir untuk terus-menerus memperbaharui teks-teks aga 73 %
lah keumuman lafadz, bukan khususnya sebab. Maka, jika suatu nash menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilih 30 %
bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan nash tersebut, sekalipun nash itu hadir untuk merespons suatu per 30 %
ada pilihan lain selain menerapkan nash tersebut, sekalipun nash itu hadir untuk merespons suatu peristiwa yang khusus. “Pasr 30 %
i menyatakan bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan antara nash dan mashlahah, karena apa yang diujarkan oleh nash adalah ke 48 %
an antara nash dan mashlahah, karena apa yang diujarkan oleh nash adalah kemaslahatan itu sendiri. Sering disinyalir bahwa kem 48 %
ra kemaslahatan yang ditetapkan Tuhan melalui bunyi harafiah nash adalah kemaslahatan hakiki dan obyektif. Manusia tidak memil 49 %
reativitas dalam pencarian makna obyektif. 2 Jawaz naskh al-Nushush bi al-Mashlahah Terdapat sebait pertanyaan ont 46 %
ang sejatinya lahir dari pabrik intelektualitas manusia yang nisbi telah diposisikan sebagai sesuatu yang mutlak. Tak terbantah 5 %
ogis tersebut. Dengan merekonstruksi kaidah-kaidah ushul ini niscaya produk pemikiran Islam akan lebih solutif bagi problem-probl 14 %
, melainkan karena tuntutan kemaslahatan itu secara obyektif niscaya mengharuskan demikian. Menarik mendengar pernyataan Izzuddin 63 %
menyertakan banyak orang yang berkompeten. Dengan cara ini, niscaya kita bisa menghindari kebekuan dan kemandulan metodologi-ushul fikih. 100 %
aslahatan, melainkan karena tuntutan kemaslahatan itu secara obyektif niscaya mengharuskan demikian. Menarik mendengar pernyataan 63 %
pengertian bahwa metodologi klasik yang telah dikerangkakan oleh para ulama dahulu memang sudah tuntas dan sempurna. Sehingga 4 %
r hukum dalam Islam, termasuk sumber dari al-Qur`an sendiri. oleh karena itu, sekiranya ditemukan sebuah teks agama baik di da 27 %
n dalam posisi yang rendah dan sekunder. Ini menjadi maklum, oleh karena para pemakai kaidah ini menganut ideologi universalis 37 %
k mengejar kebenaran hakiki (maqashid asasiyah) yang diusung oleh teks. Analisis mestinya dilanjutkan pada penyingkapan makna 42 %
ntangan antara nash dan mashlahah, karena apa yang diujarkan oleh nash adalah kemaslahatan itu sendiri. Sering disinyalir bahw 48 %
endiri. Sering disinyalir bahwa kemaslahatan yang diandaikan oleh manusia adalah kemaslahatan semu dan relatif, sementara kema 48 %
u diundangkan, kerap dalam 3 sampai 5 tahun dianulir kembali oleh Nabi Muhammad karena tidak bermaslahat lagi. Tidaklah mu 57 %
an legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. oleh: Abd Moqsith Ghazali Banyak pemikir Muslim memandang metod 2 %
dan bukan akal privat ini dibutuhkan tentu untuk menghindari oligarki pendapat atau otoritarianisme dalam merumuskan dan memecahka 84 %
skh al-Nushush bi al-Mashlahah Terdapat sebait pertanyaan ontologis dalam ranah ushul fikih, jika terjadi pertentangan antara te 46 %
ormasi kaidah-kaidah ushul fikih yang problematis dari sudut ontologis-epistemologis tersebut. Dengan merekonstruksi kaidah-kaidah ushul ini nisc 14 %
kan karena ajaran Islam memang perlu dicocok-cocokkan secara opurtunistik dengan perkembangan kemaslahatan, melainkan karena tuntutan 62 %
ongan dalam masyarakat yang berhak memaksa pandangannya pada orang lain, karena pandangannya dinilai lebih benar. Mereka memili 85 %
ushul fikih yang perlu direformasi dengan menyertakan banyak orang yang berkompeten. Dengan cara ini, niscaya kita bisa menghin 99 %
ni dibutuhkan tentu untuk menghindari oligarki pendapat atau otoritarianisme dalam merumuskan dan memecahkan urusan-urusan publik. Bagaim 84 %
mutasyabih, qath’iy-dhanniy merupakan upaya untuk menegakkan otoritas teks semata. Para pemakai kaidah kedua ini mungkin tepat sek 40 %
u dengan jawaban di atas. Pada hemat saya, maslahat memiliki otoritas untuk menganulir kententuan-ketentuan teks suci. Inilah yang 51 %
kannya. Di sini, sebuah metodologi yang sejatinya lahir dari pabrik intelektualitas manusia yang nisbi telah diposisikan sebagai 5 %
asik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringka 1 %
asik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringka 7 %
erakkan di dalam areal teks. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada teks adalah illegal, sebab teks merupakan aksis dari seluruh 12 %
Karena, betapa pun canggihnya sebuah metodologi jika kandas pada tingkat pemecahan problem tersebut, maka ia tidaklah banyak 15 %
u hadir untuk merespons suatu peristiwa yang khusus. “Pasrah pada keumuman lafdz ( al-taslim bi ‘umum al-lafdz) hanya akan men 31 %
dah ini dipandang terlalu banyak berkonsentrasi dan bergerak pada medan semantik dengan menepikan peranan sabab al-nuzul. Impl 33 %
nuzul. Implikasinya, para pengguna kaidah ini kerap terjebak pada suatu kenaifan. Bahwa semakin harafiah seseorang membaca al- 34 %
harafiah seseorang membaca al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada kebenaran. Sebaliknya, semakin jauh yang bersangkutan dari m 34 %
rang di dalam memperlakukan al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada ketakwaan. Dan semakin substantif seseorang di dalam memanda 35 %
sembah). Segera tampak bahwa analisis yang berhenti hanya pada konteks linguistik saja tidak akan cukup memadai untuk menge 41 %
siyah) yang diusung oleh teks. Analisis mestinya dilanjutkan pada penyingkapan makna yang terdiamkan (al-maskut ‘anhu), yaitu 42 %
i, saya tidak dalam posisi bersetuju dengan jawaban di atas. pada hemat saya, maslahat memiliki otoritas untuk menganulir kent 51 %
na diketahui mengandung maslahat, kemudian Allah melarangnya pada waktu kemudian karena diketahui di lapangan aturan tersebut 59 %
rti dalam bunyi harfiahnya hanya akan mengantarkan al-Qur`an pada perangkap yang mematikan spirit dan elan vital al-Qur`an. 82 %
rtanqih. Terdapat dorongan adekuat untuk senantiasa berpihak pada kebenaran dan keadilan. Selalu ada kecenderungan untuk mengo 83 %
u golongan dalam masyarakat yang berhak memaksa pandangannya pada orang lain, karena pandangannya dinilai lebih benar. Mereka 85 %
di. Dalam jiwa manusia terdapat impuls abadi yang tak pernah padam untuk bertanqih. Terdapat dorongan adekuat untuk senantiasa 83 %
kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan adalah fondasi paling pokok dari setiap perundang-undangan syari’at Islam. Ini buk 62 %
at-ayat ini ingin saya katakan sebagai ayat dengan kedudukan paling tinggi (al-ayat al-’ala qiymatan), atau al-ayat al-ushuliyat 67 %
ebih benar. Mereka memiliki kedudukan dan derajat yang sama. pandangan di atas sangat berbeda dengan pandangan mainstream, baik yan 86 %
rajat yang sama. Pandangan di atas sangat berbeda dengan pandangan mainstream, baik yang klasik maupun yang kontemporer yang te 86 %
atu pihak atau golongan dalam masyarakat yang berhak memaksa pandangannya pada orang lain, karena pandangannya dinilai lebih benar. Me 85 %
kat yang berhak memaksa pandangannya pada orang lain, karena pandangannya dinilai lebih benar. Mereka memiliki kedudukan dan derajat y 85 %
l sebagai pengelola data-teks, sementara data-teks merupakan pangkal atau asal. Sebagai pengelola, maka akal tidak bisa bertindak 88 %
ertian bahwa metodologi klasik yang telah dikerangkakan oleh para ulama dahulu memang sudah tuntas dan sempurna. Sehingga, kew 4 %
antik dengan menepikan peranan sabab al-nuzul. Implikasinya, para pengguna kaidah ini kerap terjebak pada suatu kenaifan. Bahw 33 %
si yang rendah dan sekunder. Ini menjadi maklum, oleh karena para pemakai kaidah ini menganut ideologi universalisme dan ketid 38 %
anniy merupakan upaya untuk menegakkan otoritas teks semata. para pemakai kaidah kedua ini mungkin tepat sekiranya disebut seb 40 %
rbicara tentang bentuk-bentuk hukuman (‘uqubat), sanksi bagi para pelaku pidana (hudud), bilangan waris dan sebagainya, maka t 71 %
melakukan peninjauan ulang apalagi mempertanyakan ayat-ayat partikular yang tergolong qath’iyat dari sudut struktur gramatika bahas 90 %
’at Islam, yang dikenal dengan istilah nasikh-mansukh. Semua pelajar Islam mesti tahu cerita tentang penganuliran beberapa syari’ 54 %
wabit (tidak berubah, pokok, dan universal), sementara wujud pelaksanaan cita kemaslahatan itu merupakan perkara agama yang mutaghayy 65 %
ra tentang bentuk-bentuk hukuman (‘uqubat), sanksi bagi para pelaku pidana (hudud), bilangan waris dan sebagainya, maka tetap te 72 %
h kehadiran teks. Maka, kejarlah maqashid al-syari’ah dengan pelbagai cara, tanpa terlalu banyak terpesona terhadap keindahan sebu 45 %
rsal, ajaran mana telah melintasi ruang dan waktu, mengatasi pelbagai etnis dan keyakinan. Ayat-ayat ini ingin saya katakan sebaga 67 %
aran dan keadilan. Selalu ada kecenderungan untuk mengoreksi pelbagai kekeliruan dan menyempurnakan segala kekurangan. Akal publik 83 %
ular melainkan juga konteks impersonal yang kulli-universal. pemahaman tentang konteks yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul 20 %
ng rendah dan sekunder. Ini menjadi maklum, oleh karena para pemakai kaidah ini menganut ideologi universalisme dan ketidak-berhi 38 %
merupakan upaya untuk menegakkan otoritas teks semata. Para pemakai kaidah kedua ini mungkin tepat sekiranya disebut sebagai pen 40 %
keagamaan lama.Praktek dari kaidah ini dapat diketahui dari pembatalan demi pembatalan terhadap sejumlah syari’at Islam, yang diken 54 %
Praktek dari kaidah ini dapat diketahui dari pembatalan demi pembatalan terhadap sejumlah syari’at Islam, yang dikenal dengan istila 54 %
kecuali sebagai sasaran hukum yang tak berdaya (mukallaf) 3 pemberhalaan teks dan pengabaian realitas merupakan ciri umum dari metodo 11 %
adalah illegal, sebab teks merupakan aksis dari seluruh cara pemecahan problem. Tentu saja ini merupakan kelemahan metodologis t 12 %
pa pun canggihnya sebuah metodologi jika kandas pada tingkat pemecahan problem tersebut, maka ia tidaklah banyak guna dan manfaatny 15 %
g tidak lagi relevan. Oleh: Abd Moqsith Ghazali Banyak pemikir Muslim memandang metodologi (ushul fikih) klasik tanpa cacat 3 %
i Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer ser 1 %
i Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer ser 7 %
Dengan merekonstruksi kaidah-kaidah ushul ini niscaya produk pemikiran Islam akan lebih solutif bagi problem-problem kemanusiaan ya 14 %
stualisasi, dan rekontekstualisasi merupakan mekanisme kerja penafsiran sepanjang masa. Dalam khazanah ushul fikih, maqashid al-s 25 %
ng tak tercakup secara verbatim di dalam aksara sebuah teks. pencapaian terhadap makna-makna itu akan meniscayakan adanya sebuah ana 43 %
akan ideologis yang hanya akan menumpulkan kreativitas dalam pencarian makna obyektif. 2 Jawaz Naskh al-Nushush bi al-Mas 46 %
akal privat ini dibutuhkan tentu untuk menghindari oligarki pendapat atau otoritarianisme dalam merumuskan dan memecahkan urusan- 84 %
sejarah dan peradaban).Maka, yang perlu mendapatkan proviso penegasan di sini adalah bahwa nasakh tidak dapat dilakukan terhadap t 66 %
hukum yang tak berdaya (mukallaf) 3 Pemberhalaan teks dan pengabaian realitas merupakan ciri umum dari metodologi lama. Aktivitas 11 %
asikh-mansukh. Semua pelajar Islam mesti tahu cerita tentang penganuliran beberapa syari’at yang dipandang tidak lagi bersendikan kema 55 %
un Mu’tazilah hakekatnya sama-sama memposisikan akal sebagai pengelola data-teks, sementara data-teks merupakan pangkal atau asal. 87 %
i yang penting. Akal publik tidak cukup hanya tampil sebagai pengelola data-teks. Menyangkut perkara-perkara mu’amalah yang mundan, 94 %
gubah pola bermadzhab dari yang qawliy ke manhaji mengandung pengertian bahwa metodologi klasik yang telah dikerangkakan oleh para u 4 %
ng konteks yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian klasik itu merupakan prasyarat utama untuk menemukan maqashi 20 %
hwa seorang mujtahid diharuskan untuk melengkapi diri dengan pengetahuan yang memadai menyangkut tradisi dan kebiasaan masyarakat Ara 21 %
kat Arab sebagai masyarakat awal yang menjadi sasaran wahyu. pengetahuan tentang konteks tentu bukan untuk konteks itu sendiri, melai 22 %
dengan menepikan peranan sabab al-nuzul. Implikasinya, para pengguna kaidah ini kerap terjebak pada suatu kenaifan. Bahwa semakin 33 %
ng mutasyabih. Akal tidak cukup percaya diri untuk melakukan peninjauan ulang apalagi mempertanyakan ayat-ayat partikular yang tergo 90 %
harfiah teks ajaran, metodologi lampau selalu mengambil cara penundukan terhadap akal publik. 2 Metodologi klasik kurang hirau ter 9 %
kai kaidah kedua ini mungkin tepat sekiranya disebut sebagai penyembah kata (‘ubbad al-alafdz), semantara kata (lafdz) adalah shana 41 %
) yang diusung oleh teks. Analisis mestinya dilanjutkan pada penyingkapan makna yang terdiamkan (al-maskut ‘anhu), yaitu makna yang ta 42 %
lah diletakkan sebagai sub-ordinat dari teks. Akal mengalami penyusutan peran. Seolah-olah akal manusia itu begitu rendah, sehingga 91 %
ya sebuah analisa yang bukan hanya terhadap struktur kalimat per se melainkan yang justeru fondasional adalah analisa kelas d 44 %
onsentrasi dan bergerak pada medan semantik dengan menepikan peranan sabab al-nuzul. Implikasinya, para pengguna kaidah ini kerap 33 %
alam bunyi harfiahnya hanya akan mengantarkan al-Qur`an pada perangkap yang mematikan spirit dan elan vital al-Qur`an. Kerja ta 82 %
tentang lafdz dalam porsi yang demikian besar. Segala jenis perbincangan kebahasaan (abhats lughawiyah min mabahits al-alfadz) sepert 39 %
dan memilih mana-mana tindakan yang baik dan mana-mana pula perbuatan yang buruk. Menurut saya, sekali lagi, akal publik harus 94 %
i untuk menakwil ayat-ayat yang mutasyabih. Akal tidak cukup percaya diri untuk melakukan peninjauan ulang apalagi mempertanyakan 90 %
bi al-alfadz. Kaidah ini berarti bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid di dalam mengistinbatkan hukum dari al-Qur` 17 %
ash tersebut, sekalipun nash itu hadir untuk merespons suatu peristiwa yang khusus. “Pasrah pada keumuman lafdz ( al-taslim bi ‘umu 31 %
sementara wujud pelaksanaan cita kemaslahatan itu merupakan perkara agama yang mutaghayyir (berubah-berubah mengikuti perubahan 65 %
mandemen sejumlah ketentuan “dogmatik” agama yang menyangkut perkara-perkara publik, baik dalam al-Qur`an maupun dalam al-Sunnah. Sehingg 75 %
k cukup hanya tampil sebagai pengelola data-teks. Menyangkut perkara-perkara mu’amalah yang mundan, akal publik perlu mendapatkan wewenan 95 %
n diketahui ketidak-berdayaan sebuah teks di dalam mengatasi perkara-perkara publik, maka akal publik mesti mempertimbangkan ulang ketent 96 %
uhkan ketentuan-ketentuan legal-spesifik di lapangan. Dengan perkataan lain, maqashid al-syari’ah adalah sumber dari segala sumber 26 %
lam memang perlu dicocok-cocokkan secara opurtunistik dengan perkembangan kemaslahatan, melainkan karena tuntutan kemaslahatan itu sec 62 %
ansh dalaliyan li kulli zaman wa makan). Sehingga kita tidak perlu kaget ketika ushul fikih lama berbicara tentang lafdz dalam 38 %
ndangan syari’at Islam. Ini bukan karena ajaran Islam memang perlu dicocok-cocokkan secara opurtunistik dengan perkembangan kem 62 %
h mengikuti perubahan alur sejarah dan peradaban).Maka, yang perlu mendapatkan proviso penegasan di sini adalah bahwa nasakh ti 66 %
enyangkut perkara-perkara mu’amalah yang mundan, akal publik perlu mendapatkan wewenang untuk mengevaluasi efektivitas dan kine 95 %
n. Tentu saja ada sekian banyak lagi kaidah ushul fikih yang perlu direformasi dengan menyertakan banyak orang yang berkompeten 99 %
akal budi. Dalam jiwa manusia terdapat impuls abadi yang tak pernah padam untuk bertanqih. Terdapat dorongan adekuat untuk senan 83 %
i’ah. Syathibi di dalam al-Muwafaqat mendengungkan sebuah pernyataan genial bahwa seorang mujtahid diharuskan untuk melengkapi di 21 %
ra obyektif niscaya mengharuskan demikian. Menarik mendengar pernyataan Izzuddin Ibnu Abdissalam, “innama al-takalif kulluha raji’at 63 %
pan Islam semacam ushul fikih ini akan berkoresponden secara persis dengan kepiawaiannya di dalam menciptakan kemaslahatan bagi 16 %
es tanqih harus dihindari. Sebab, membiarkan fikih al-Qur`an persis seperti dalam bunyi harfiahnya hanya akan mengantarkan al-Qu 81 %
untuk memahami konteks. Yang dimaksudkan bukan hanya konteks personal yang juz`iy-partikular melainkan juga konteks impersonal yan 19 %
2 Jawaz Naskh al-Nushush bi al-Mashlahah Terdapat sebait pertanyaan ontologis dalam ranah ushul fikih, jika terjadi pertentangan 46 %
sh) dan maslahat mana yang mesti dimenangkan? Dalam menjawab pertanyaan ini, umumnya ulama ushul fikih klasik mengatakan bahwa yang 47 %
lam yang tidak lagi relevan. Ditegaskan bahwa ketika terjadi pertentangan antara akal publik dan bunyi harfiah teks ajaran, metodologi 9 %
t pertanyaan ontologis dalam ranah ushul fikih, jika terjadi pertentangan antara teks (nash) dan maslahat mana yang mesti dimenangkan? 46 %
ash. Bahkan, al-Thufi menyatakan bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan antara nash dan mashlahah, karena apa yang diujarkan oleh na 48 %
am al-Qur`an maupun dalam al-Sunnah. Sehingga ketika terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka ak 75 %
ûsh al-sabab lâ bi ‘umûm al-lafadz. Bahwa yang harus menjadi pertimbangan adalah keumuman lafadz, bukan khususnya sebab. Maka, jika su 29 %
dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karena perubahan konteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatu kare 58 %
an perkara agama yang mutaghayyir (berubah-berubah mengikuti perubahan alur sejarah dan peradaban).Maka, yang perlu mendapatkan pro 65 %
anusia. Kemaslahatan adalah fondasi paling pokok dari setiap perundang-undangan syari’at Islam. Ini bukan karena ajaran Islam memang perlu d 62 %
ang bentuk-bentuk hukuman (‘uqubat), sanksi bagi para pelaku pidana (hudud), bilangan waris dan sebagainya, maka tetap terbuka k 72 %
lik. Bagaimanapun di dalam ruang publik tidak boleh ada satu pihak atau golongan dalam masyarakat yang berhak memaksa pandangan 85 %
nash menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan nash tersebut, sekalipun nash itu had 30 %
ahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan adalah fondasi paling pokok dari setiap perundang-undangan syari’at Islam. Ini bukan kar 62 %
logis apapun. Ajakan sejumlah ulama Indonesia untuk mengubah pola bermadzhab dari yang qawliy ke manhaji mengandung pengertian 3 %
kaget ketika ushul fikih lama berbicara tentang lafdz dalam porsi yang demikian besar. Segala jenis perbincangan kebahasaan (a 39 %
l-siyaq al-tarikhi) yang mengitari. Konteks didudukkan dalam posisi yang rendah dan sekunder. Ini menjadi maklum, oleh karena pa 37 %
maninya secara sepenuh hati.Secara pribadi, saya tidak dalam posisi bersetuju dengan jawaban di atas. Pada hemat saya, maslahat 50 %
ruk. Menurut saya, sekali lagi, akal publik harus diberi posisi yang penting. Akal publik tidak cukup hanya tampil sebagai p 94 %
pan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat hudud (seperti potong tangan, rajam, dan sebagainya), waris, dan sebagainya. Ayat- 76 %
ar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian klasik itu merupakan prasyarat utama untuk menemukan maqashid al-syari’ah. Syathibi di d 20 %
konteks itu sendiri, melainkan untuk menimba dan memperoleh prinsip-prinsip dasar Islam atau yang dikenal dengan istilah maqashid al-sya 22 %
tuk kemudian dilakukan rekontekstualisasi. Yaitu, melabuhkan prinsip-prinsip dasar Islam itu di tempat dan di belahan bumi non-Arab. Maka 24 %
idak dapat dilakukan terhadap teks al-Qur`an yang mengandung prinsip-prinsip ajaran yang universal, ajaran mana telah melintasi ruang dan 66 %
perbaharui teks-teks agama yang tidak lagi merepresentasikan prinsip-prinsip dasar Islam. 3 Tanqih al-Nushush bi al-’Aql al-Mujtam 73 %
menyempurnakan segala kekurangan. Akal publik dan bukan akal privat ini dibutuhkan tentu untuk menghindari oligarki pendapat ata 84 %
ggihnya sebuah metodologi jika kandas pada tingkat pemecahan problem tersebut, maka ia tidaklah banyak guna dan manfaatnya. Kecan 15 %
a bermaksud untuk mereformasi kaidah-kaidah ushul fikih yang problematis dari sudut ontologis-epistemologis tersebut. Dengan merekons 13 %
l ini niscaya produk pemikiran Islam akan lebih solutif bagi problem-problem kemanusiaan yang terus melilit. Karena, betapa pun canggihny 14 %
sebut. Dengan merekonstruksi kaidah-kaidah ushul ini niscaya produk pemikiran Islam akan lebih solutif bagi problem-problem kema 14 %
merupakan bagian dari masalah yang harus dipecahkan melalui prosedur tanqih yang berupa taqyid bi al-’aql, takhshish bi al-’aql, 78 %
am tataran itu, universalisasi fikih al-Qur`an tanpa melalui proses tanqih harus dihindari. Sebab, membiarkan fikih al-Qur`an pe 81 %
han alur sejarah dan peradaban).Maka, yang perlu mendapatkan proviso penegasan di sini adalah bahwa nasakh tidak dapat dilakukan 66 %
lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-f 2 %
lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-f 8 %
an. Ditegaskan bahwa ketika terjadi pertentangan antara akal publik dan bunyi harfiah teks ajaran, metodologi lampau selalu meng 9 %
’Aql al-Mujtama’ Kaidah ini hendak menyatakan bahwa akal publik memiliki kewenangan untuk menyulih dan mengamandemen sejumla 74 %
al-Sunnah. Sehingga ketika terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka akal publik berotorit 75 %
tara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka akal publik berotoritas untuk mengedit, menyempurnakan, dan memodifikasi 75 %
lbagai kekeliruan dan menyempurnakan segala kekurangan. Akal publik dan bukan akal privat ini dibutuhkan tentu untuk menghindari 84 %
memecahkan urusan-urusan publik. Bagaimanapun di dalam ruang publik tidak boleh ada satu pihak atau golongan dalam masyarakat ya 85 %
la perbuatan yang buruk. Menurut saya, sekali lagi, akal publik harus diberi posisi yang penting. Akal publik tidak cukup ha 94 %
ali lagi, akal publik harus diberi posisi yang penting. Akal publik tidak cukup hanya tampil sebagai pengelola data-teks. Menyan 94 %
teks. Menyangkut perkara-perkara mu’amalah yang mundan, akal publik perlu mendapatkan wewenang untuk mengevaluasi efektivitas da 95 %
ah teks di dalam mengatasi perkara-perkara publik, maka akal publik mesti mempertimbangkan ulang ketentuan tersebut. Akal publik 97 %
publik mesti mempertimbangkan ulang ketentuan tersebut. Akal publik bertugas untuk mengeluarkan spirit dasar Islam dari lipatan 97 %
rkan spirit dasar Islam dari lipatan huruf-huruf agama. Akal publik mempunyai tanggungjawab moral untuk mentanqih ayat-ayat yang 97 %
milah dan memilih mana-mana tindakan yang baik dan mana-mana pula perbuatan yang buruk. Menurut saya, sekali lagi, akal pu 94 %
oblem-problem kemanusiaan yang terus melilit. Karena, betapa pun canggihnya sebuah metodologi jika kandas pada tingkat pemeca 15 %
g apalagi mempertanyakan ayat-ayat partikular yang tergolong qath’iyat dari sudut struktur gramatika bahasanya. Akal manusia da 90 %
ashsh, muthlaq-muqayyad, mujmal-mubayyan, muhkam-mutasyabih, qath’iy-dhanniy merupakan upaya untuk menegakkan otoritas teks semata. Para 40 %
lah ulama Indonesia untuk mengubah pola bermadzhab dari yang qawliy ke manhaji mengandung pengertian bahwa metodologi klasik yan 4 %
is-operasional--saya suka menyebutnya dengan al-ayat al-adna qiymatan atau al-ayat al-furu’iyyat atau fikih al-Qur`an, seperti aya 71 %
nyataan Izzuddin Ibnu Abdissalam, “innama al-takalif kulluha raji’atun ila mashalih al-’ibad” seluruh ketentuan agama diarahkan u 64 %
i al-Mashlahah Terdapat sebait pertanyaan ontologis dalam ranah ushul fikih, jika terjadi pertentangan antara teks (nash) da 46 %
bisa bertindak terlampau jauh, kecuali hanya untuk melakukan rasionalisasi terhadap barang-barang irrasional yang ada dalam al-Qur`an d 88 %
tak berdaya (mukallaf) 3 Pemberhalaan teks dan pengabaian realitas merupakan ciri umum dari metodologi lama. Aktivitas ijtihad 11 %
a dari ketakwaan. Kedua, dalam kaidah yang terakhir itu, realitas hendak disubordinasikan ke dalam bunyi harafiah teks. Yang d 36 %
dz, bukan khususnya sebab. Maka, jika suatu nash menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain mener 30 %
mi non-Arab. Maka, kontekstualisasi, dekontekstualisasi, dan rekontekstualisasi merupakan mekanisme kerja penafsiran sepanjang masa. Dala 25 %
kat Arab. Dengan demikian, kebenaran ayat-ayat tadi bersifat relatif dan tentatif, sehingga memerlukan penyempurnaan, pembaharuan 80 %
arikhi) yang mengitari. Konteks didudukkan dalam posisi yang rendah dan sekunder. Ini menjadi maklum, oleh karena para pemakai k 37 %
tan walau untuk umat manusia sendiri. Manusia tidak memiliki reputasi dan kedudukan apapun dalam ruang ushul fikih klasik, kecuali 10 %
ebagai sebuah fikih, ayat-ayat tersebut sepenuhnya merupakan respons al-Qur`an terhadap kasus-kasus tertentu yang berlangsung dal 79 %
. Manusia tidak memiliki reputasi dan kedudukan apapun dalam ruang ushul fikih klasik, kecuali sebagai sasaran hukum yang tak b 10 %
aktu tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karena 58 %
p-prinsip ajaran yang universal, ajaran mana telah melintasi ruang dan waktu, mengatasi pelbagai etnis dan keyakinan. Ayat-ayat 67 %
n dan memecahkan urusan-urusan publik. Bagaimanapun di dalam ruang publik tidak boleh ada satu pihak atau golongan dalam masyar 85 %
an aturan tersebut tidak lagi menyuarakan kemaslahatan. Ibnu rusyd dalam bukunya yang bertitelkan Fashl al-Maqal fiy Taqrir Ma 59 %
diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali me 1 %
diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali me 7 %
rsal. Pemahaman tentang konteks yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian klasik itu merupakan prasyarat uta 20 %
si dan bergerak pada medan semantik dengan menepikan peranan sabab al-nuzul. Implikasinya, para pengguna kaidah ini kerap terje 33 %
erupakan aksis dari seluruh cara pemecahan problem. Tentu saja ini merupakan kelemahan metodologis tersendiri yang mesti me 12 %
k bahwa analisis yang berhenti hanya pada konteks linguistik saja tidak akan cukup memadai untuk mengejar kebenaran hakiki (ma 42 %
aslahatan dapat berubah karena perubahan konteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatu karena diketahui mengandung m 58 %
a”, dan sebagainya. Nasakh terhadap ayat yang demikian bukan saja berpunggungan dengan semangat kehadiran Islam awal, melainka 69 %
berjemaah, saling bunuh-membunuh, dan sebagainya. Ini, tentu saja sebuah sikap yang tidak apresiatif bahkan merendahkan akal s 93 %
mahan metodologi istinbath yang telah lama dirisaukan. Tentu saja ada sekian banyak lagi kaidah ushul fikih yang perlu direfor 99 %
a binatang, berzina beramai-ramai, mencuri secara berjemaah, saling bunuh-membunuh, dan sebagainya. Ini, tentu saja sebuah sikap 92 %
teks. Baik kalangan Asy’ariyah maupun Mu’tazilah hakekatnya sama-sama memposisikan akal sebagai pengelola data-teks, sementara dat 87 %
. Betapa syari’at Islam yang baru diundangkan, kerap dalam 3 sampai 5 tahun dianulir kembali oleh Nabi Muhammad karena tidak ber 56 %
enyempurnakan, dan memodifikasikannya. Modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat partikular, se 76 %
iliki kedudukan dan derajat yang sama. Pandangan di atas sangat berbeda dengan pandangan mainstream, baik yang klasik maupun 86 %
Allah Swt. Allah menciptakan akal sesungguhnya agar manusia sanggup memilah dan memilih mana-mana tindakan yang baik dan mana-ma 93 %
ayat yang berbicara tentang bentuk-bentuk hukuman (‘uqubat), sanksi bagi para pelaku pidana (hudud), bilangan waris dan sebagain 71 %
ifalsifikasi, sekiranya ayat tadi tidak efektif lagi sebagai sarana untuk mewujudkan cita kemalahatan. Dalam sejarahnya, nasakh 72 %
dukan apapun dalam ruang ushul fikih klasik, kecuali sebagai sasaran hukum yang tak berdaya (mukallaf) 3 Pemberhalaan teks dan 11 %
biasaan masyarakat Arab sebagai masyarakat awal yang menjadi sasaran wahyu. Pengetahuan tentang konteks tentu bukan untuk konteks 22 %
n publik. Bagaimanapun di dalam ruang publik tidak boleh ada satu pihak atau golongan dalam masyarakat yang berhak memaksa pan 85 %
ttishal menyatakan bahwa hikmah (kemaslahatan) itu merupakan saudara kandung dari syari’at-syari’at yang telah ditetapkan Allah S 60 %
amalkan dan mengimaninya secara sepenuh hati.Secara pribadi, saya tidak dalam posisi bersetuju dengan jawaban di atas. Pada he 50 %
mengatasi pelbagai etnis dan keyakinan. Ayat-ayat ini ingin saya katakan sebagai ayat dengan kedudukan paling tinggi (al-ayat 67 %
ebuah analisa yang bukan hanya terhadap struktur kalimat per se melainkan yang justeru fondasional adalah analisa kelas dan 44 %
s. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada teks adalah illegal, sebab teks merupakan aksis dari seluruh cara pemecahan problem. 12 %
pabrik intelektualitas manusia yang nisbi telah diposisikan sebagai sesuatu yang mutlak. Tak terbantah. Mereka telah melakukan i 6 %
dan kedudukan apapun dalam ruang ushul fikih klasik, kecuali sebagai sasaran hukum yang tak berdaya (mukallaf) 3 Pemberhalaan t 11 %
ang memadai menyangkut tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab sebagai masyarakat awal yang menjadi sasaran wahyu. Pengetahuan tent 22 %
ara pemakai kaidah kedua ini mungkin tepat sekiranya disebut sebagai penyembah kata (‘ubbad al-alafdz), semantara kata (lafdz) ad 41 %
dimaksud dengan ungkapan “naskh al-nushush bi al-mashlahah”. sebagai spirit dari teks (nushush) al-Qur`an, kemaslahatan merupakan 52 %
lbagai etnis dan keyakinan. Ayat-ayat ini ingin saya katakan sebagai ayat dengan kedudukan paling tinggi (al-ayat al-’ala qiymata 67 %
kh dan difalsifikasi, sekiranya ayat tadi tidak efektif lagi sebagai sarana untuk mewujudkan cita kemalahatan. Dalam sejarahnya, 72 %
t-ayat semacam itu, sebagaimana dikatakan sebelumnya disebut sebagai fikih al-Qur`an. Sebagai sebuah fikih, ayat-ayat tersebut se 79 %
aimana dikatakan sebelumnya disebut sebagai fikih al-Qur`an. sebagai sebuah fikih, ayat-ayat tersebut sepenuhnya merupakan respon 79 %
yah maupun Mu’tazilah hakekatnya sama-sama memposisikan akal sebagai pengelola data-teks, sementara data-teks merupakan pangkal a 87 %
data-teks, sementara data-teks merupakan pangkal atau asal. sebagai pengelola, maka akal tidak bisa bertindak terlampau jauh, ke 88 %
Akal manusia dalam buku-buku teologi klasik telah diletakkan sebagai sub-ordinat dari teks. Akal mengalami penyusutan peran. Seol 91 %
a sebuah sikap yang tidak apresiatif bahkan merendahkan akal sebagai karya agung Allah Swt. Allah menciptakan akal sesungguhnya a 93 %
ri posisi yang penting. Akal publik tidak cukup hanya tampil sebagai pengelola data-teks. Menyangkut perkara-perkara mu’amalah ya 94 %
i al-’aql, dan tabyin bi al-’aql. Ayat-ayat semacam itu, sebagaimana dikatakan sebelumnya disebut sebagai fikih al-Qur`an. Sebaga 78 %
manusia secara massal akan bertelanjang bulat di jalan-jalan sebagaimana binatang, berzina beramai-ramai, mencuri secara berjemaah, s 92 %
t yang problematik. Akhirnya, jangan lupa bahwa itu hanya sebagian kaidah ushul fikih alternatif yang bisa disodorkan untuk mem 98 %
2 Jawaz Naskh al-Nushush bi al-Mashlahah Terdapat sebait pertanyaan ontologis dalam ranah ushul fikih, jika terjadi p 46 %
metodolgi klasik tersebut. Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan me 2 %
dolgi klasik tersebut. 1 Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan me 8 %
bi al-’aql. Ayat-ayat semacam itu, sebagaimana dikatakan sebelumnya disebut sebagai fikih al-Qur`an. Sebagai sebuah fikih, ayat- 79 %
dengan kepiawaiannya di dalam menciptakan kemaslahatan bagi sebesar-besarnya umat manusia. 1. al-’Ibrah bi al-maqashid la bi al-alf 16 %
mashalih al-’ibad” seluruh ketentuan agama diarahkan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat manusia . Dengan ini, maka kemaslahatan i 64 %
mengubahnya, tetapi mengikuti dan melaksanakannya. Di sini, sebuah metodologi yang sejatinya lahir dari pabrik intelektualitas 5 %
emanusiaan yang terus melilit. Karena, betapa pun canggihnya sebuah metodologi jika kandas pada tingkat pemecahan problem terseb 15 %
ut, maka ia tidaklah banyak guna dan manfaatnya. Kecanggihan sebuah metodologi terutama dalam imu-ilmu terapan Islam semacam ush 15 %
dungnya. Yang menjadi aksis adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat dan bukan legislasi spesifik atau formulasi literalnya. 18 %
al-syari’ah. Syathibi di dalam al-Muwafaqat mendengungkan sebuah pernyataan genial bahwa seorang mujtahid diharuskan untuk me 21 %
dari al-Qur`an sendiri. Oleh karena itu, sekiranya ditemukan sebuah teks agama baik di dalam al-Qur`an maupun al-hadits (apalagi 27 %
aitu makna yang tak tercakup secara verbatim di dalam aksara sebuah teks. Pencapaian terhadap makna-makna itu akan meniscayakan 43 %
Pencapaian terhadap makna-makna itu akan meniscayakan adanya sebuah analisa yang bukan hanya terhadap struktur kalimat per se me 43 %
agai cara, tanpa terlalu banyak terpesona terhadap keindahan sebuah teks. Sebab, keterpesonaan merupakan tindakan ideologis yang 45 %
ikatakan sebelumnya disebut sebagai fikih al-Qur`an. Sebagai sebuah fikih, ayat-ayat tersebut sepenuhnya merupakan respons al-Qu 79 %
maah, saling bunuh-membunuh, dan sebagainya. Ini, tentu saja sebuah sikap yang tidak apresiatif bahkan merendahkan akal sebagai 93 %
as. Sekiranya dari data lapangan diketahui ketidak-berdayaan sebuah teks di dalam mengatasi perkara-perkara publik, maka akal pu 96 %
mu terapan Islam semacam ushul fikih ini akan berkoresponden secara persis dengan kepiawaiannya di dalam menciptakan kemaslahata 16 %
terdiamkan (al-maskut ‘anhu), yaitu makna yang tak tercakup secara verbatim di dalam aksara sebuah teks. Pencapaian terhadap ma 43 %
teks. Kewajiban manusia adalah mengamalkan dan mengimaninya secara sepenuh hati.Secara pribadi, saya tidak dalam posisi bersetu 50 %
Ini bukan karena ajaran Islam memang perlu dicocok-cocokkan secara opurtunistik dengan perkembangan kemaslahatan, melainkan kar 62 %
gan kemaslahatan, melainkan karena tuntutan kemaslahatan itu secara obyektif niscaya mengharuskan demikian. Menarik mendengar pe 63 %
sia itu begitu rendah, sehingga kalau dibiarkan maka manusia secara massal akan bertelanjang bulat di jalan-jalan sebagaimana bi 92 %
n-jalan sebagaimana binatang, berzina beramai-ramai, mencuri secara berjemaah, saling bunuh-membunuh, dan sebagainya. Ini, tentu 92 %
dologis tersendiri yang mesti mendapatkan penanganan. Dengan segala keterbatasan, tulisan ini kiranya bermaksud untuk mereformas 13 %
ngan perkataan lain, maqashid al-syari’ah adalah sumber dari segala sumber hukum dalam Islam, termasuk sumber dari al-Qur`an sen 27 %
ama berbicara tentang lafdz dalam porsi yang demikian besar. segala jenis perbincangan kebahasaan (abhats lughawiyah min mabahit 39 %
ngan untuk mengoreksi pelbagai kekeliruan dan menyempurnakan segala kekurangan. Akal publik dan bukan akal privat ini dibutuhkan 84 %
. Begitu maqashid al-syari’ah sudah dicapai, maka teks harus segera dilepaskan dari konteks kearabannya (dekontekstualisasi) unt 23 %
ra kata (lafdz) adalah shanam yu’bad (patung yang disembah). segera tampak bahwa analisis yang berhenti hanya pada konteks lingu 41 %
uf (shalahiyyah al-nansh dalaliyan li kulli zaman wa makan). sehingga kita tidak perlu kaget ketika ushul fikih lama berbicara ten 38 %
perkara publik, baik dalam al-Qur`an maupun dalam al-Sunnah. sehingga ketika terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi 75 %
ian, kebenaran ayat-ayat tadi bersifat relatif dan tentatif, sehingga memerlukan penyempurnaan, pembaharuan, dan penyulingan. Dala 80 %
enyusutan peran. Seolah-olah akal manusia itu begitu rendah, sehingga kalau dibiarkan maka manusia secara massal akan bertelanjang 91 %
analisa kelas dan struktur sosial dan budaya yang melingkupi sejarah kehadiran teks. Maka, kejarlah maqashid al-syari’ah dengan p 44 %
a yang mutaghayyir (berubah-berubah mengikuti perubahan alur sejarah dan peradaban).Maka, yang perlu mendapatkan proviso penegasa 65 %
ngikuti dan melaksanakannya. Di sini, sebuah metodologi yang sejatinya lahir dari pabrik intelektualitas manusia yang nisbi telah d 5 %
hikmah-kebijaksanaan, dan cinta kasih. Maqashid inilah yang sejatinya menjadi sumber inspirasi tatkala al-Qur`an hendak melabuhkan 26 %
ushul fikih) klasik tanpa cacat epistemologis apapun. Ajakan sejumlah ulama Indonesia untuk mengubah pola bermadzhab dari yang qaw 3 %
ini dapat diketahui dari pembatalan demi pembatalan terhadap sejumlah syari’at Islam, yang dikenal dengan istilah nasikh-mansukh. 54 %
publik memiliki kewenangan untuk menyulih dan mengamandemen sejumlah ketentuan “dogmatik” agama yang menyangkut perkara-perkara p 74 %
g kulli-universal. Pemahaman tentang konteks yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian klasik itu merupakan pr 20 %
k dan mana-mana pula perbuatan yang buruk. Menurut saya, sekali lagi, akal publik harus diberi posisi yang penting. Akal pub 94 %
maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan nash tersebut, sekalipun nash itu hadir untuk merespons suatu peristiwa yang khusus. 30 %
yang berjudul al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah. Terdapat sekian banyak kritik terhadap kaidah konvensional ini. Misalnya, pe 32 %
odologi istinbath yang telah lama dirisaukan. Tentu saja ada sekian banyak lagi kaidah ushul fikih yang perlu direformasi dengan 99 %
am, termasuk sumber dari al-Qur`an sendiri. Oleh karena itu, sekiranya ditemukan sebuah teks agama baik di dalam al-Qur`an maupun a 27 %
tas teks semata. Para pemakai kaidah kedua ini mungkin tepat sekiranya disebut sebagai penyembah kata (‘ubbad al-alafdz), semantara 40 %
manusia, kecuali untuk teks itu sendiri. Teks baru bermakna sekiranya menyertakan cita kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahata 61 %
tetap terbuka kemungkinan untuk dinasakh dan difalsifikasi, sekiranya ayat tadi tidak efektif lagi sebagai sarana untuk mewujudkan 72 %
mengimpelementasikan maqashid al-syari’ah di bumi realitas. sekiranya dari data lapangan diketahui ketidak-berdayaan sebuah teks d 96 %
akan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan nash tersebut, sekalipun nash itu hadir untuk mer 30 %
akal publik dan bunyi harfiah teks ajaran, metodologi lampau selalu mengambil cara penundukan terhadap akal publik. 2 Metodolo 9 %
merupakan ciri umum dari metodologi lama. Aktivitas ijtihad selalu digerakkan di dalam areal teks. Ijtihad yang tidak berkulmin 12 %
untuk mewujudkan cita kemalahatan. Dalam sejarahnya, nasakh selalu hadir untuk terus-menerus memperbaharui teks-teks agama yang 73 %
ekuat untuk senantiasa berpihak pada kebenaran dan keadilan. selalu ada kecenderungan untuk mengoreksi pelbagai kekeliruan dan m 83 %
si pada teks adalah illegal, sebab teks merupakan aksis dari seluruh cara pemecahan problem. Tentu saja ini merupakan kelemaha 12 %
“innama al-takalif kulluha raji’atun ila mashalih al-’ibad” seluruh ketentuan agama diarahkan untuk sebesar-besarnya kemaslahata 64 %
ihan sebuah metodologi terutama dalam imu-ilmu terapan Islam semacam ushul fikih ini akan berkoresponden secara persis dengan kep 16 %
, takhshish bi al-’aql, dan tabyin bi al-’aql. Ayat-ayat semacam itu, sebagaimana dikatakan sebelumnya disebut sebagai fikih 78 %
engguna kaidah ini kerap terjebak pada suatu kenaifan. Bahwa semakin harafiah seseorang membaca al-Qur`an, maka semakin dekat ia 34 %
an. Bahwa semakin harafiah seseorang membaca al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada kebenaran. Sebaliknya, semakin jauh yang bersa 34 %
al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada kebenaran. Sebaliknya, semakin jauh yang bersangkutan dari makna literal al-Qur`an, maka ia 34 %
jauh yang bersangkutan dari makna literal al-Qur`an, maka ia semakin terlempar dari kebenaran. Maka, semakin literal seseorang di 35 %
l al-Qur`an, maka ia semakin terlempar dari kebenaran. Maka, semakin literal seseorang di dalam memperlakukan al-Qur`an, maka sem 35 %
kin literal seseorang di dalam memperlakukan al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada ketakwaan. Dan semakin substantif seseorang di 35 %
lakukan al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada ketakwaan. Dan semakin substantif seseorang di dalam memandang al-Qur`an, maka jauh 35 %
terhadap ayat yang demikian bukan saja berpunggungan dengan semangat kehadiran Islam awal, melainkan juga bertentangan dengan log 70 %
sekiranya disebut sebagai penyembah kata (‘ubbad al-alafdz), semantara kata (lafdz) adalah shanam yu’bad (patung yang disembah). 41 %
andang terlalu banyak berkonsentrasi dan bergerak pada medan semantik dengan menepikan peranan sabab al-nuzul. Implikasinya, para 33 %
iandaikan oleh manusia adalah kemaslahatan semu dan relatif, sementara kemaslahatan yang ditetapkan Tuhan melalui bunyi harafiah na 49 %
n agama yang tsawabit (tidak berubah, pokok, dan universal), sementara wujud pelaksanaan cita kemaslahatan itu merupakan perkara ag 65 %
l, melainkan juga bertentangan dengan logika nasakh sendiri. sementara ayat-ayat mu’amalah dalam al-Qur`an yang bersifat tehnis-ope 70 %
nya sama-sama memposisikan akal sebagai pengelola data-teks, sementara data-teks merupakan pangkal atau asal. Sebagai pengelola, ma 87 %
emaslahatan yang diandaikan oleh manusia adalah kemaslahatan semu dan relatif, sementara kemaslahatan yang ditetapkan Tuhan me 49 %
syari’at Islam, yang dikenal dengan istilah nasikh-mansukh. semua pelajar Islam mesti tahu cerita tentang penganuliran beberap 54 %
z ( al-taslim bi ‘umum al-lafdz) hanya akan menyebabkan kita senantiasa berada dalam kerangka makna linguistik (fiy ithar al-dalalah 31 %
yang sudah aus. Dengan cara ini, maka cita kemaslahatan akan senantiasa berkreasi untuk memproduksi formulasi bahkan teks keagamaan 53 %
ernah padam untuk bertanqih. Terdapat dorongan adekuat untuk senantiasa berpihak pada kebenaran dan keadilan. Selalu ada kecenderung 83 %
agai sub-ordinat dari teks. Akal mengalami penyusutan peran. seolah-olah akal manusia itu begitu rendah, sehingga kalau dibiarkan mak 91 %
dz. Kaidah ini berarti bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid di dalam mengistinbatkan hukum dari al-Qur`an dan a 17 %
am al-Muwafaqat mendengungkan sebuah pernyataan genial bahwa seorang mujtahid diharuskan untuk melengkapi diri dengan pengetahuan 21 %
dan rekontekstualisasi merupakan mekanisme kerja penafsiran sepanjang masa. Dalam khazanah ushul fikih, maqashid al-syari’ah it 25 %
Kewajiban manusia adalah mengamalkan dan mengimaninya secara sepenuh hati.Secara pribadi, saya tidak dalam posisi bersetuju denga 50 %
ai fikih al-Qur`an. Sebagai sebuah fikih, ayat-ayat tersebut sepenuhnya merupakan respons al-Qur`an terhadap kasus-kasus tertentu ya 79 %
cangan kebahasaan (abhats lughawiyah min mabahits al-alfadz) seperti mengenai ‘amm-khashsh, muthlaq-muqayyad, mujmal-mubayyan, mu 39 %
), atau al-ayat al-ushuliyat atau ushul al-Qur`an. Ayat-ayat seperti ini memang tidak banyak jumlahnya, bahkan bisa dihitung deng 68 %
gan. Masuk dalam kategori ayat yang tidak bisa dinasakh ini, seperti ayat “wa idza hakamtum bayna al-nas an tahkumu bi al’adl”, “ 69 %
na qiymatan atau al-ayat al-furu’iyyat atau fikih al-Qur`an, seperti ayat yang berbicara tentang bentuk-bentuk hukuman (‘uqubat), 71 %
at dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat hudud (seperti potong tangan, rajam, dan sebagainya), w 76 %
ih harus dihindari. Sebab, membiarkan fikih al-Qur`an persis seperti dalam bunyi harfiahnya hanya akan mengantarkan al-Qur`an pad 81 %
pa yang diujarkan oleh nash adalah kemaslahatan itu sendiri. sering disinyalir bahwa kemaslahatan yang diandaikan oleh manusia a 48 %
ran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klas 1 %
ran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klas 7 %
ormulasi literalnya. Nah, untuk mengetahui maqashid ini maka seseorang dituntut untuk memahami konteks. Yang dimaksudkan bukan hany 19 %
i kerap terjebak pada suatu kenaifan. Bahwa semakin harafiah seseorang membaca al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada kebenaran. Seb 34 %
a ia semakin terlempar dari kebenaran. Maka, semakin literal seseorang di dalam memperlakukan al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada 35 %
maka semakin dekat ia pada ketakwaan. Dan semakin substantif seseorang di dalam memandang al-Qur`an, maka jauh ia dari ketakwaan. 35 %
intelektualitas manusia yang nisbi telah diposisikan sebagai sesuatu yang mutlak. Tak terbantah. Mereka telah melakukan idealisas 6 %
d karena tidak bermaslahat lagi. Tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu tempat dan waktu tertentu 57 %
na perubahan konteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatu karena diketahui mengandung maslahat, kemudian Allah melaran 58 %
n akal sebagai karya agung Allah Swt. Allah menciptakan akal sesungguhnya agar manusia sanggup memilah dan memilih mana-mana tindakan 93 %
umat manusia. Kemaslahatan adalah fondasi paling pokok dari setiap perundang-undangan syari’at Islam. Ini bukan karena ajaran I 62 %
ur`an. Kerja tanqih ini hakekatnya inheren di dalam diri setiap manusia yang berakal budi. Dalam jiwa manusia terdapat impul 82 %
embah kata (‘ubbad al-alafdz), semantara kata (lafdz) adalah shanam yu’bad (patung yang disembah). Segera tampak bahwa analis 41 %
aling bunuh-membunuh, dan sebagainya. Ini, tentu saja sebuah sikap yang tidak apresiatif bahkan merendahkan akal sebagai karya 93 %
peradaban).Maka, yang perlu mendapatkan proviso penegasan di sini adalah bahwa nasakh tidak dapat dilakukan terhadap teks al-Q 66 %
h-kaidah ushul ini niscaya produk pemikiran Islam akan lebih solutif bagi problem-problem kemanusiaan yang terus melilit. Karena, 14 %
n yang justeru fondasional adalah analisa kelas dan struktur sosial dan budaya yang melingkupi sejarah kehadiran teks. Maka, kej 44 %
ah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat dan bukan legislasi spesifik atau formulasi literalnya. Nah, untuk mengetahui maqashid in 18 %
dengan ungkapan “naskh al-nushush bi al-mashlahah”. Sebagai spirit dari teks (nushush) al-Qur`an, kemaslahatan merupakan amunis 52 %
ya akan mengantarkan al-Qur`an pada perangkap yang mematikan spirit dan elan vital al-Qur`an. Kerja tanqih ini hakekatnya in 82 %
ketentuan tersebut. Akal publik bertugas untuk mengeluarkan spirit dasar Islam dari lipatan huruf-huruf agama. Akal publik memp 97 %
meniscayakan adanya sebuah analisa yang bukan hanya terhadap struktur kalimat per se melainkan yang justeru fondasional adalah ana 44 %
melainkan yang justeru fondasional adalah analisa kelas dan struktur sosial dan budaya yang melingkupi sejarah kehadiran teks. Ma 44 %
kan ayat-ayat partikular yang tergolong qath’iyat dari sudut struktur gramatika bahasanya. Akal manusia dalam buku-buku teolog 90 %
an adalah keumuman lafadz, bukan khususnya sebab. Maka, jika suatu nash menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada 30 %
pkan nash tersebut, sekalipun nash itu hadir untuk merespons suatu peristiwa yang khusus. “Pasrah pada keumuman lafdz ( al-tasl 31 %
. Implikasinya, para pengguna kaidah ini kerap terjebak pada suatu kenaifan. Bahwa semakin harafiah seseorang membaca al-Qur`an 34 %
Tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu tempat dan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat 57 %
dan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah k 58 %
usia dalam buku-buku teologi klasik telah diletakkan sebagai sub-ordinat dari teks. Akal mengalami penyusutan peran. Seolah-olah akal 91 %
al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada ketakwaan. Dan semakin substantif seseorang di dalam memandang al-Qur`an, maka jauh ia dari ke 35 %
l balik dari keberadaan teks dengan menganulir beberapa teks suci yang sudah aus. Dengan cara ini, maka cita kemaslahatan akan 52 %
i syari’at-syari’at yang telah ditetapkan Allah Swt. Teks suci tanpa kemaslahatan memang tak berfungsi apa-apa buat manusia 61 %
lasik yang telah dikerangkakan oleh para ulama dahulu memang sudah tuntas dan sempurna. Sehingga, kewajiban umat yang datang ke 4 %
an istilah maqashid al-syari’ah. Begitu maqashid al-syari’ah sudah dicapai, maka teks harus segera dilepaskan dari konteks kear 23 %
ri keberadaan teks dengan menganulir beberapa teks suci yang sudah aus. Dengan cara ini, maka cita kemaslahatan akan senantiasa 52 %
mereformasi kaidah-kaidah ushul fikih yang problematis dari sudut ontologis-epistemologis tersebut. Dengan merekonstruksi kaid 14 %
rtanyakan ayat-ayat partikular yang tergolong qath’iyat dari sudut struktur gramatika bahasanya. Akal manusia dalam buku-bu 90 %
malah dalam al-Qur`an yang bersifat tehnis-operasional--saya suka menyebutnya dengan al-ayat al-adna qiymatan atau al-ayat al- 71 %
aan, dan cinta kasih. Maqashid inilah yang sejatinya menjadi sumber inspirasi tatkala al-Qur`an hendak melabuhkan ketentuan-kete 26 %
lapangan. Dengan perkataan lain, maqashid al-syari’ah adalah sumber dari segala sumber hukum dalam Islam, termasuk sumber dari a 27 %
rkataan lain, maqashid al-syari’ah adalah sumber dari segala sumber hukum dalam Islam, termasuk sumber dari al-Qur`an sendiri. O 27 %
adalah sumber dari segala sumber hukum dalam Islam, termasuk sumber dari al-Qur`an sendiri. Oleh karena itu, sekiranya ditemukan 27 %
diketahui dari pembatalan demi pembatalan terhadap sejumlah syari’at Islam, yang dikenal dengan istilah nasikh-mansukh. Semua pel 54 %
elajar Islam mesti tahu cerita tentang penganuliran beberapa syari’at yang dipandang tidak lagi bersendikan kemaslahatan. Dijelask 55 %
an. Dijelaskan bahwa nasakh itu bukan hanya berlaku terhadap syari’at nabi-nabi terdahulu (syar’u man qablana) saja, tetapi melain 55 %
) saja, tetapi melainkan juga berlangsung dalam batang tubuh syari’at Nabi Muhammad sendiri. Betapa syari’at Islam yang baru diund 56 %
ng dalam batang tubuh syari’at Nabi Muhammad sendiri. Betapa syari’at Islam yang baru diundangkan, kerap dalam 3 sampai 5 tahun di 56 %
n adalah fondasi paling pokok dari setiap perundang-undangan syari’at Islam. Ini bukan karena ajaran Islam memang perlu dicocok-co 62 %
hwa hikmah (kemaslahatan) itu merupakan saudara kandung dari syari’at-syari’at yang telah ditetapkan Allah Swt. Teks suci tanpa kemaslah 60 %
upakan prasyarat utama untuk menemukan maqashid al-syari’ah. syathibi di dalam al-Muwafaqat mendengungkan sebuah pernyataan genial 21 %
am al-Qur`an dan al-Sunnah. Akal hanya berguna untuk membuka tabir kegelapan teks-teks dhanniyat al-Qur`an saja. Di tangan Mu’t 89 %
qih yang berupa taqyid bi al-’aql, takhshish bi al-’aql, dan tabyin bi al-’aql. Ayat-ayat semacam itu, sebagaimana dikatakan 78 %
kemungkinan untuk dinasakh dan difalsifikasi, sekiranya ayat tadi tidak efektif lagi sebagai sarana untuk mewujudkan cita kema 72 %
pula, masyarakat Arab. Dengan demikian, kebenaran ayat-ayat tadi bersifat relatif dan tentatif, sehingga memerlukan penyempur 80 %
a baik di dalam al-Qur`an maupun al-hadits (apalagi di dalam tafsir dan fikih) yang tidak lagi menyuarakan maqashid al-syari’ah, 28 %
dinasakh ini, seperti ayat “wa idza hakamtum bayna al-nas an tahkumu bi al’adl”, “I’dilu huwa aqrabu li al-taqwa”, dan sebagainya 69 %
nal dengan istilah nasikh-mansukh. Semua pelajar Islam mesti tahu cerita tentang penganuliran beberapa syari’at yang dipandang 54 %
syari’at Islam yang baru diundangkan, kerap dalam 3 sampai 5 tahun dianulir kembali oleh Nabi Muhammad karena tidak bermaslahat 56 %
ia yang nisbi telah diposisikan sebagai sesuatu yang mutlak. tak terbantah. Mereka telah melakukan idealisasi dan universalis 6 %
ruang ushul fikih klasik, kecuali sebagai sasaran hukum yang tak berdaya (mukallaf) 3 Pemberhalaan teks dan pengabaian real 11 %
an makna yang terdiamkan (al-maskut ‘anhu), yaitu makna yang tak tercakup secara verbatim di dalam aksara sebuah teks. Pencap 43 %
ditetapkan Allah Swt. Teks suci tanpa kemaslahatan memang tak berfungsi apa-apa buat manusia, kecuali untuk teks itu sendi 61 %
berakal budi. Dalam jiwa manusia terdapat impuls abadi yang tak pernah padam untuk bertanqih. Terdapat dorongan adekuat untu 83 %
ahkan melalui prosedur tanqih yang berupa taqyid bi al-’aql, takhshish bi al-’aql, dan tabyin bi al-’aql. Ayat-ayat semacam itu 78 %
afdz) adalah shanam yu’bad (patung yang disembah). Segera tampak bahwa analisis yang berhenti hanya pada konteks linguistik s 41 %
us diberi posisi yang penting. Akal publik tidak cukup hanya tampil sebagai pengelola data-teks. Menyangkut perkara-perkara mu’a 94 %
ngka makna linguistik (fiy ithar al-dalalah al-lughawiyah)”, tandas Nahr Hamid Abu Zaid dalam bukunya yang berjudul al-Nash, al- 32 %
mbuka tabir kegelapan teks-teks dhanniyat al-Qur`an saja. Di tangan Mu’tazilah, akal hanya berfungsi untuk menakwil ayat-ayat ya 89 %
Islam dari lipatan huruf-huruf agama. Akal publik mempunyai tanggungjawab moral untuk mentanqih ayat-ayat yang problematik. Akhirny 97 %
yak pemikir Muslim memandang metodologi (ushul fikih) klasik tanpa cacat epistemologis apapun. Ajakan sejumlah ulama Indonesia 3 %
s. Maka, kejarlah maqashid al-syari’ah dengan pelbagai cara, tanpa terlalu banyak terpesona terhadap keindahan sebuah teks. Seb 45 %
ri’at-syari’at yang telah ditetapkan Allah Swt. Teks suci tanpa kemaslahatan memang tak berfungsi apa-apa buat manusia, kecu 61 %
nyulingan. Dalam tataran itu, universalisasi fikih al-Qur`an tanpa melalui proses tanqih harus dihindari. Sebab, membiarkan fik 81 %
lagi merepresentasikan prinsip-prinsip dasar Islam. 3 tanqih al-Nushush bi al-’Aql al-Mujtama’ Kaidah ini hendak meny 73 %
n bagian dari masalah yang harus dipecahkan melalui prosedur tanqih yang berupa taqyid bi al-’aql, takhshish bi al-’aql, dan tab 78 %
ran itu, universalisasi fikih al-Qur`an tanpa melalui proses tanqih harus dihindari. Sebab, membiarkan fikih al-Qur`an persis se 81 %
ap yang mematikan spirit dan elan vital al-Qur`an. Kerja tanqih ini hakekatnya inheren di dalam diri setiap manusia yang ber 82 %
Ibnu Rusyd dalam bukunya yang bertitelkan Fashl al-Maqal fiy taqrir Ma Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah min al-Ittishal menyatakan 60 %
ah yang harus dipecahkan melalui prosedur tanqih yang berupa taqyid bi al-’aql, takhshish bi al-’aql, dan tabyin bi al-’aql. 78 %
emerlukan penyempurnaan, pembaharuan, dan penyulingan. Dalam tataran itu, universalisasi fikih al-Qur`an tanpa melalui proses tan 80 %
sih. Maqashid inilah yang sejatinya menjadi sumber inspirasi tatkala al-Qur`an hendak melabuhkan ketentuan-ketentuan legal-spesif 26 %
Sementara ayat-ayat mu’amalah dalam al-Qur`an yang bersifat tehnis-operasional--saya suka menyebutnya dengan al-ayat al-adna qiymatan atau al-aya 70 %
ka terjadi pertentangan antara akal publik dan bunyi harfiah teks ajaran, metodologi lampau selalu mengambil cara penundukan t 9 %
i sasaran hukum yang tak berdaya (mukallaf) 3 Pemberhalaan teks dan pengabaian realitas merupakan ciri umum dari metodologi 11 %
an di dalam areal teks. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada teks adalah illegal, sebab teks merupakan aksis dari seluruh cara 12 %
ihad yang tidak berkulminasi pada teks adalah illegal, sebab teks merupakan aksis dari seluruh cara pemecahan problem. Tent 12 %
al-syari’ah. Begitu maqashid al-syari’ah sudah dicapai, maka teks harus segera dilepaskan dari konteks kearabannya (dekontekst 23 %
-Qur`an sendiri. Oleh karena itu, sekiranya ditemukan sebuah teks agama baik di dalam al-Qur`an maupun al-hadits (apalagi di d 27 %
n ke dalam bunyi harafiah teks. Yang dituju adalah kebenaran teks dengan konsekuensi mengabaikan konteks (al-siyaq al-tarikhi) 37 %
h, qath’iy-dhanniy merupakan upaya untuk menegakkan otoritas teks semata. Para pemakai kaidah kedua ini mungkin tepat sekirany 40 %
is dalam ranah ushul fikih, jika terjadi pertentangan antara teks (nash) dan maslahat mana yang mesti dimenangkan? Dalam menja 46 %
ahat memiliki otoritas untuk menganulir kententuan-ketentuan teks suci. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan “naskh al-nushush 51 %
apan “naskh al-nushush bi al-mashlahah”. Sebagai spirit dari teks (nushush) al-Qur`an, kemaslahatan merupakan amunisi untuk me 52 %
tan merupakan amunisi untuk mengontrol balik dari keberadaan teks dengan menganulir beberapa teks suci yang sudah aus. Dengan 52 %
ontrol balik dari keberadaan teks dengan menganulir beberapa teks suci yang sudah aus. Dengan cara ini, maka cita kemaslahatan 52 %
akan senantiasa berkreasi untuk memproduksi formulasi bahkan teks keagamaan baru di tengah kegamangan dan kegagapan formulasi 53 %
gamaan baru di tengah kegamangan dan kegagapan formulasi dan teks keagamaan lama.Praktek dari kaidah ini dapat diketahui dari 53 %
dung dari syari’at-syari’at yang telah ditetapkan Allah Swt. teks suci tanpa kemaslahatan memang tak berfungsi apa-apa buat ma 61 %
tan memang tak berfungsi apa-apa buat manusia, kecuali untuk teks itu sendiri. Teks baru bermakna sekiranya menyertakan cita k 61 %
fungsi apa-apa buat manusia, kecuali untuk teks itu sendiri. teks baru bermakna sekiranya menyertakan cita kemaslahatan bagi u 61 %
n di sini adalah bahwa nasakh tidak dapat dilakukan terhadap teks al-Qur`an yang mengandung prinsip-prinsip ajaran yang univer 66 %
terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka akal publik berotoritas untuk mengedit, menyemp 75 %
iranya dari data lapangan diketahui ketidak-berdayaan sebuah teks di dalam mengatasi perkara-perkara publik, maka akal publik 96 %
ahnya, nasakh selalu hadir untuk terus-menerus memperbaharui teks-teks agama yang tidak lagi merepresentasikan prinsip-prinsip dasa 73 %
al-Sunnah. Akal hanya berguna untuk membuka tabir kegelapan teks-teks dhanniyat al-Qur`an saja. Di tangan Mu’tazilah, akal hanya b 89 %
e manhaji mengandung pengertian bahwa metodologi klasik yang telah dikerangkakan oleh para ulama dahulu memang sudah tuntas dan 4 %
jatinya lahir dari pabrik intelektualitas manusia yang nisbi telah diposisikan sebagai sesuatu yang mutlak. Tak terbantah. Mere 5 %
posisikan sebagai sesuatu yang mutlak. Tak terbantah. Mereka telah melakukan idealisasi dan universalisasi terhadap metodologi 6 %
n) itu merupakan saudara kandung dari syari’at-syari’at yang telah ditetapkan Allah Swt. Teks suci tanpa kemaslahatan memang 60 %
engandung prinsip-prinsip ajaran yang universal, ajaran mana telah melintasi ruang dan waktu, mengatasi pelbagai etnis dan keya 67 %
a bahasanya. Akal manusia dalam buku-buku teologi klasik telah diletakkan sebagai sub-ordinat dari teks. Akal mengalami pen 91 %
ntuk membenahi kelemahan-kelemahan metodologi istinbath yang telah lama dirisaukan. Tentu saja ada sekian banyak lagi kaidah us 99 %
lisasi. Yaitu, melabuhkan prinsip-prinsip dasar Islam itu di tempat dan di belahan bumi non-Arab. Maka, kontekstualisasi, dekont 24 %
ah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu tempat dan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam 57 %
si untuk memproduksi formulasi bahkan teks keagamaan baru di tengah kegamangan dan kegagapan formulasi dan teks keagamaan lama.P 53 %
nkan juga konteks impersonal yang kulli-universal. Pemahaman tentang konteks yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam pe 20 %
agai masyarakat awal yang menjadi sasaran wahyu. Pengetahuan tentang konteks tentu bukan untuk konteks itu sendiri, melainkan unt 22 %
gga kita tidak perlu kaget ketika ushul fikih lama berbicara tentang lafdz dalam porsi yang demikian besar. Segala jenis perbinca 39 %
stilah nasikh-mansukh. Semua pelajar Islam mesti tahu cerita tentang penganuliran beberapa syari’at yang dipandang tidak lagi ber 55 %
furu’iyyat atau fikih al-Qur`an, seperti ayat yang berbicara tentang bentuk-bentuk hukuman (‘uqubat), sanksi bagi para pelaku pid 71 %
ab teks merupakan aksis dari seluruh cara pemecahan problem. tentu saja ini merupakan kelemahan metodologis tersendiri yang mes 12 %
awal yang menjadi sasaran wahyu. Pengetahuan tentang konteks tentu bukan untuk konteks itu sendiri, melainkan untuk menimba dan 22 %
kekurangan. Akal publik dan bukan akal privat ini dibutuhkan tentu untuk menghindari oligarki pendapat atau otoritarianisme dal 84 %
ecara berjemaah, saling bunuh-membunuh, dan sebagainya. Ini, tentu saja sebuah sikap yang tidak apresiatif bahkan merendahkan a 92 %
n-kelemahan metodologi istinbath yang telah lama dirisaukan. tentu saja ada sekian banyak lagi kaidah ushul fikih yang perlu di 99 %
ruktur gramatika bahasanya. Akal manusia dalam buku-buku teologi klasik telah diletakkan sebagai sub-ordinat dari teks. Akal 91 %
otoritas teks semata. Para pemakai kaidah kedua ini mungkin tepat sekiranya disebut sebagai penyembah kata (‘ubbad al-alafdz), 40 %
n, maka jauh ia dari ketakwaan. Kedua, dalam kaidah yang terakhir itu, realitas hendak disubordinasikan ke dalam bunyi harafia 36 %
atnya. Kecanggihan sebuah metodologi terutama dalam imu-ilmu terapan Islam semacam ushul fikih ini akan berkoresponden secara per 16 %
edit, menyempurnakan, dan memodifikasikannya. Modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat partiku 76 %
ku pidana (hudud), bilangan waris dan sebagainya, maka tetap terbuka kemungkinan untuk dinasakh dan difalsifikasi, sekiranya ayat 72 %
akna yang terdiamkan (al-maskut ‘anhu), yaitu makna yang tak tercakup secara verbatim di dalam aksara sebuah teks. Pencapaian terh 43 %
a nasakh itu bukan hanya berlaku terhadap syari’at nabi-nabi terdahulu (syar’u man qablana) saja, tetapi melainkan juga berlangsung 55 %
dalam bukunya yang berjudul al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah. terdapat sekian banyak kritik terhadap kaidah konvensional ini. Misal 32 %
obyektif. 2 Jawaz Naskh al-Nushush bi al-Mashlahah terdapat sebait pertanyaan ontologis dalam ranah ushul fikih, jika te 46 %
am diri setiap manusia yang berakal budi. Dalam jiwa manusia terdapat impuls abadi yang tak pernah padam untuk bertanqih. Terdapat 82 %
terdapat impuls abadi yang tak pernah padam untuk bertanqih. terdapat dorongan adekuat untuk senantiasa berpihak pada kebenaran da 83 %
. Analisis mestinya dilanjutkan pada penyingkapan makna yang terdiamkan (al-maskut ‘anhu), yaitu makna yang tak tercakup secara verb 42 %
jauan ulang apalagi mempertanyakan ayat-ayat partikular yang tergolong qath’iyat dari sudut struktur gramatika bahasanya. Akal 90 %
sik tersebut. Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir keten 2 %
bantah. Mereka telah melakukan idealisasi dan universalisasi terhadap metodologi lama yang provisionaris. Mestinya, metodologi 6 %
tersebut. 1 Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir keten 8 %
s ajaran, metodologi lampau selalu mengambil cara penundukan terhadap akal publik. 2 Metodologi klasik kurang hirau terhadap kem 9 %
kan terhadap akal publik. 2 Metodologi klasik kurang hirau terhadap kemampuan manusia di dalam merumuskan konsep kemaslahatan wa 10 %
h, al-Sulthah, al-Haqiqah. Terdapat sekian banyak kritik terhadap kaidah konvensional ini. Misalnya, pertama, kaidah ini dipan 32 %
akup secara verbatim di dalam aksara sebuah teks. Pencapaian terhadap makna-makna itu akan meniscayakan adanya sebuah analisa yang 43 %
itu akan meniscayakan adanya sebuah analisa yang bukan hanya terhadap struktur kalimat per se melainkan yang justeru fondasional a 43 %
yari’ah dengan pelbagai cara, tanpa terlalu banyak terpesona terhadap keindahan sebuah teks. Sebab, keterpesonaan merupakan tindak 45 %
i kaidah ini dapat diketahui dari pembatalan demi pembatalan terhadap sejumlah syari’at Islam, yang dikenal dengan istilah nasikh- 54 %
emaslahatan. Dijelaskan bahwa nasakh itu bukan hanya berlaku terhadap syari’at nabi-nabi terdahulu (syar’u man qablana) saja, teta 55 %
penegasan di sini adalah bahwa nasakh tidak dapat dilakukan terhadap teks al-Qur`an yang mengandung prinsip-prinsip ajaran yang u 66 %
l”, “I’dilu huwa aqrabu li al-taqwa”, dan sebagainya. Nasakh terhadap ayat yang demikian bukan saja berpunggungan dengan semangat 69 %
h, ayat-ayat tersebut sepenuhnya merupakan respons al-Qur`an terhadap kasus-kasus tertentu yang berlangsung dalam lokus tertentu p 79 %
terlampau jauh, kecuali hanya untuk melakukan rasionalisasi terhadap barang-barang irrasional yang ada dalam al-Qur`an dan al-Sun 88 %
dalam Islam yang tidak lagi relevan. Ditegaskan bahwa ketika terjadi pertentangan antara akal publik dan bunyi harfiah teks ajara 9 %
at sebait pertanyaan ontologis dalam ranah ushul fikih, jika terjadi pertentangan antara teks (nash) dan maslahat mana yang mesti 46 %
adalah nash. Bahkan, al-Thufi menyatakan bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan antara nash dan mashlahah, karena apa yang diuj 48 %
baik dalam al-Qur`an maupun dalam al-Sunnah. Sehingga ketika terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi harfiah teks aj 75 %
lih-alih bisa menyelesaikan masalah-masalah kemanusian, yang terjadi justeru merupakan bagian dari masalah yang harus dipecahkan 77 %
sabab al-nuzul. Implikasinya, para pengguna kaidah ini kerap terjebak pada suatu kenaifan. Bahwa semakin harafiah seseorang membac 34 %
bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dal 2 %
kan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. 1 Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dal 8 %
ah konvensional ini. Misalnya, pertama, kaidah ini dipandang terlalu banyak berkonsentrasi dan bergerak pada medan semantik denga 33 %
a, kejarlah maqashid al-syari’ah dengan pelbagai cara, tanpa terlalu banyak terpesona terhadap keindahan sebuah teks. Sebab, kete 45 %
atau asal. Sebagai pengelola, maka akal tidak bisa bertindak terlampau jauh, kecuali hanya untuk melakukan rasionalisasi terhadap b 88 %
g bersangkutan dari makna literal al-Qur`an, maka ia semakin terlempar dari kebenaran. Maka, semakin literal seseorang di dalam mem 35 %
syari’ah adalah sumber dari segala sumber hukum dalam Islam, termasuk sumber dari al-Qur`an sendiri. Oleh karena itu, sekiranya di 27 %
ashid al-syari’ah dengan pelbagai cara, tanpa terlalu banyak terpesona terhadap keindahan sebuah teks. Sebab, keterpesonaan merupak 45 %
gnya pada waktu kemudian karena diketahui di lapangan aturan tersebut tidak lagi menyuarakan kemaslahatan. Ibnu Rusyd dalam bukuny 59 %
an, rajam, dan sebagainya), waris, dan sebagainya. Ayat-ayat tersebut dalam konteks sekarang, alih-alih bisa menyelesaikan masalah 77 %
but sebagai fikih al-Qur`an. Sebagai sebuah fikih, ayat-ayat tersebut sepenuhnya merupakan respons al-Qur`an terhadap kasus-kasus 79 %
n problem. Tentu saja ini merupakan kelemahan metodologis tersendiri yang mesti mendapatkan penanganan. Dengan segala keterbatasa 13 %
sepenuhnya merupakan respons al-Qur`an terhadap kasus-kasus tertentu yang berlangsung dalam lokus tertentu pula, masyarakat Arab. 79 %
n terhadap kasus-kasus tertentu yang berlangsung dalam lokus tertentu pula, masyarakat Arab. Dengan demikian, kebenaran ayat-ayat 80 %
lam akan lebih solutif bagi problem-problem kemanusiaan yang terus melilit. Karena, betapa pun canggihnya sebuah metodologi jik 14 %
an mainstream, baik yang klasik maupun yang kontemporer yang terus menerus mendevaluasi akal di bawah kedigdayaan teks. Baik ka 86 %
ita kemalahatan. Dalam sejarahnya, nasakh selalu hadir untuk terus-menerus memperbaharui teks-teks agama yang tidak lagi merepresentasi 73 %
ah banyak guna dan manfaatnya. Kecanggihan sebuah metodologi terutama dalam imu-ilmu terapan Islam semacam ushul fikih ini akan be 16 %
a pelaku pidana (hudud), bilangan waris dan sebagainya, maka tetap terbuka kemungkinan untuk dinasakh dan difalsifikasi, sekira 72 %
kewajiban umat yang datang kemudian bukan untuk mengubahnya, tetapi mengikuti dan melaksanakannya. Di sini, sebuah metodologi ya 5 %
adap syari’at nabi-nabi terdahulu (syar’u man qablana) saja, tetapi melainkan juga berlangsung dalam batang tubuh syari’at Nabi 56 %
ir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Oleh: Abd Moqsith Ghazali Banyak pemikir 2 %
ir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Ditegaskan bahwa ketika terjadi pertentangan a 8 %
onsep kemaslahatan walau untuk umat manusia sendiri. Manusia tidak memiliki reputasi dan kedudukan apapun dalam ruang ushul fik 10 %
ijtihad selalu digerakkan di dalam areal teks. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada teks adalah illegal, sebab teks merupakan 12 %
an maupun al-hadits (apalagi di dalam tafsir dan fikih) yang tidak lagi menyuarakan maqashid al-syari’ah, maka ia batal atau da 28 %
jika suatu nash menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan nash tersebut, sekalipun 30 %
h al-nansh dalaliyan li kulli zaman wa makan). Sehingga kita tidak perlu kaget ketika ushul fikih lama berbicara tentang lafdz 38 %
wa analisis yang berhenti hanya pada konteks linguistik saja tidak akan cukup memadai untuk mengejar kebenaran hakiki (maqashid 42 %
g dimenangkan adalah nash. Bahkan, al-Thufi menyatakan bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan antara nash dan mashlahah, kare 48 %
rafiah nash adalah kemaslahatan hakiki dan obyektif. Manusia tidak memiliki kewenangan untuk mempertanyakan dan menggugat kemas 49 %
an dan mengimaninya secara sepenuh hati.Secara pribadi, saya tidak dalam posisi bersetuju dengan jawaban di atas. Pada hemat sa 50 %
cerita tentang penganuliran beberapa syari’at yang dipandang tidak lagi bersendikan kemaslahatan. Dijelaskan bahwa nasakh itu b 55 %
3 sampai 5 tahun dianulir kembali oleh Nabi Muhammad karena tidak bermaslahat lagi. Tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang b 57 %
waktu kemudian karena diketahui di lapangan aturan tersebut tidak lagi menyuarakan kemaslahatan. Ibnu Rusyd dalam bukunya yang 59 %
lu mendapatkan proviso penegasan di sini adalah bahwa nasakh tidak dapat dilakukan terhadap teks al-Qur`an yang mengandung prin 66 %
ushuliyat atau ushul al-Qur`an. Ayat-ayat seperti ini memang tidak banyak jumlahnya, bahkan bisa dihitung dengan jari tangan. M 68 %
dihitung dengan jari tangan. Masuk dalam kategori ayat yang tidak bisa dinasakh ini, seperti ayat “wa idza hakamtum bayna al-n 68 %
gkinan untuk dinasakh dan difalsifikasi, sekiranya ayat tadi tidak efektif lagi sebagai sarana untuk mewujudkan cita kemalahata 72 %
hadir untuk terus-menerus memperbaharui teks-teks agama yang tidak lagi merepresentasikan prinsip-prinsip dasar Islam. 3 73 %
kan urusan-urusan publik. Bagaimanapun di dalam ruang publik tidak boleh ada satu pihak atau golongan dalam masyarakat yang ber 85 %
ks merupakan pangkal atau asal. Sebagai pengelola, maka akal tidak bisa bertindak terlampau jauh, kecuali hanya untuk melakukan 88 %
nya berfungsi untuk menakwil ayat-ayat yang mutasyabih. Akal tidak cukup percaya diri untuk melakukan peninjauan ulang apalagi 90 %
-membunuh, dan sebagainya. Ini, tentu saja sebuah sikap yang tidak apresiatif bahkan merendahkan akal sebagai karya agung Allah 93 %
i, akal publik harus diberi posisi yang penting. Akal publik tidak cukup hanya tampil sebagai pengelola data-teks. Menyangkut p 94 %
jika kandas pada tingkat pemecahan problem tersebut, maka ia tidaklah banyak guna dan manfaatnya. Kecanggihan sebuah metodologi te 15 %
ir kembali oleh Nabi Muhammad karena tidak bermaslahat lagi. tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu te 57 %
rhadap keindahan sebuah teks. Sebab, keterpesonaan merupakan tindakan ideologis yang hanya akan menumpulkan kreativitas dalam penc 45 %
ungguhnya agar manusia sanggup memilah dan memilih mana-mana tindakan yang baik dan mana-mana pula perbuatan yang buruk. Menur 93 %
ini ingin saya katakan sebagai ayat dengan kedudukan paling tinggi (al-ayat al-’ala qiymatan), atau al-ayat al-ushuliyat atau u 67 %
na, betapa pun canggihnya sebuah metodologi jika kandas pada tingkat pemecahan problem tersebut, maka ia tidaklah banyak guna dan 15 %
k melengkapi diri dengan pengetahuan yang memadai menyangkut tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab sebagai masyarakat awal yang m 21 %
engan ini, maka kemaslahatan itu merupakan ajaran agama yang tsawabit (tidak berubah, pokok, dan universal), sementara wujud pelak 64 %
ablana) saja, tetapi melainkan juga berlangsung dalam batang tubuh syari’at Nabi Muhammad sendiri. Betapa syari’at Islam yang b 56 %
tan semu dan relatif, sementara kemaslahatan yang ditetapkan tuhan melalui bunyi harafiah nash adalah kemaslahatan hakiki dan o 49 %
ng mesti mendapatkan penanganan. Dengan segala keterbatasan, tulisan ini kiranya bermaksud untuk mereformasi kaidah-kaidah ushul 13 %
yang telah dikerangkakan oleh para ulama dahulu memang sudah tuntas dan sempurna. Sehingga, kewajiban umat yang datang kemudian 4 %
rtunistik dengan perkembangan kemaslahatan, melainkan karena tuntutan kemaslahatan itu secara obyektif niscaya mengharuskan demiki 63 %
ih) klasik tanpa cacat epistemologis apapun. Ajakan sejumlah ulama Indonesia untuk mengubah pola bermadzhab dari yang qawliy ke 3 %
n bahwa metodologi klasik yang telah dikerangkakan oleh para ulama dahulu memang sudah tuntas dan sempurna. Sehingga, kewajiban 4 %
ng mesti dimenangkan? Dalam menjawab pertanyaan ini, umumnya ulama ushul fikih klasik mengatakan bahwa yang dimenangkan adalah 47 %
ih. Akal tidak cukup percaya diri untuk melakukan peninjauan ulang apalagi mempertanyakan ayat-ayat partikular yang tergolong q 90 %
kara-perkara publik, maka akal publik mesti mempertimbangkan ulang ketentuan tersebut. Akal publik bertugas untuk mengeluarkan 97 %
dahulu memang sudah tuntas dan sempurna. Sehingga, kewajiban umat yang datang kemudian bukan untuk mengubahnya, tetapi mengiku 4 %
manusia di dalam merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk umat manusia sendiri. Manusia tidak memiliki reputasi dan keduduk 10 %
nnya di dalam menciptakan kemaslahatan bagi sebesar-besarnya umat manusia. 1. al-’Ibrah bi al-maqashid la bi al-alfadz. 16 %
s baru bermakna sekiranya menyertakan cita kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan adalah fondasi paling pokok dari setia 61 %
etentuan agama diarahkan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat manusia . Dengan ini, maka kemaslahatan itu merupakan ajara 64 %
dologi Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis konte 1 %
dologi Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis konte 7 %
3 Pemberhalaan teks dan pengabaian realitas merupakan ciri umum dari metodologi lama. Aktivitas ijtihad selalu digerakkan di 11 %
mana yang mesti dimenangkan? Dalam menjawab pertanyaan ini, umumnya ulama ushul fikih klasik mengatakan bahwa yang dimenangkan a 47 %
kententuan-ketentuan teks suci. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan “naskh al-nushush bi al-mashlahah”. Sebagai spirit dari teks 51 %
mutlak. Tak terbantah. Mereka telah melakukan idealisasi dan universalisasi terhadap metodologi lama yang provisionaris. Mestinya, me 6 %
yempurnaan, pembaharuan, dan penyulingan. Dalam tataran itu, universalisasi fikih al-Qur`an tanpa melalui proses tanqih harus dihindari. 81 %
aklum, oleh karena para pemakai kaidah ini menganut ideologi universalisme dan ketidak-berhinggan kebenaran huruf (shalahiyyah al-nansh 38 %
cacat epistemologis apapun. Ajakan sejumlah ulama Indonesia untuk mengubah pola bermadzhab dari yang qawliy ke manhaji mengand 3 %
empurna. Sehingga, kewajiban umat yang datang kemudian bukan untuk mengubahnya, tetapi mengikuti dan melaksanakannya. Di sini, 5 %
ampuan manusia di dalam merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk umat manusia sendiri. Manusia tidak memiliki reputasi dan ke 10 %
n. Dengan segala keterbatasan, tulisan ini kiranya bermaksud untuk mereformasi kaidah-kaidah ushul fikih yang problematis dari 13 %
dan bukan legislasi spesifik atau formulasi literalnya. Nah, untuk mengetahui maqashid ini maka seseorang dituntut untuk memaha 19 %
. Nah, untuk mengetahui maqashid ini maka seseorang dituntut untuk memahami konteks. Yang dimaksudkan bukan hanya konteks perso 19 %
-nuzul dalam pengertian klasik itu merupakan prasyarat utama untuk menemukan maqashid al-syari’ah. Syathibi di dalam al-Muwa 20 %
n sebuah pernyataan genial bahwa seorang mujtahid diharuskan untuk melengkapi diri dengan pengetahuan yang memadai menyangkut t 21 %
njadi sasaran wahyu. Pengetahuan tentang konteks tentu bukan untuk konteks itu sendiri, melainkan untuk menimba dan memperoleh 22 %
ang konteks tentu bukan untuk konteks itu sendiri, melainkan untuk menimba dan memperoleh prinsip-prinsip dasar Islam atau yang 22 %
era dilepaskan dari konteks kearabannya (dekontekstualisasi) untuk kemudian dilakukan rekontekstualisasi. Yaitu, melabuhkan pri 24 %
in selain menerapkan nash tersebut, sekalipun nash itu hadir untuk merespons suatu peristiwa yang khusus. “Pasrah pada keumuman 31 %
mubayyan, muhkam-mutasyabih, qath’iy-dhanniy merupakan upaya untuk menegakkan otoritas teks semata. Para pemakai kaidah kedua i 40 %
hanya pada konteks linguistik saja tidak akan cukup memadai untuk mengejar kebenaran hakiki (maqashid asasiyah) yang diusung o 42 %
hatan hakiki dan obyektif. Manusia tidak memiliki kewenangan untuk mempertanyakan dan menggugat kemaslahatan literal teks. Kewa 50 %
jawaban di atas. Pada hemat saya, maslahat memiliki otoritas untuk menganulir kententuan-ketentuan teks suci. Inilah yang dimak 51 %
ari teks (nushush) al-Qur`an, kemaslahatan merupakan amunisi untuk mengontrol balik dari keberadaan teks dengan menganulir bebe 52 %
n cara ini, maka cita kemaslahatan akan senantiasa berkreasi untuk memproduksi formulasi bahkan teks keagamaan baru di tengah k 53 %
aslahatan memang tak berfungsi apa-apa buat manusia, kecuali untuk teks itu sendiri. Teks baru bermakna sekiranya menyertakan c 61 %
n ila mashalih al-’ibad” seluruh ketentuan agama diarahkan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat manusia . Dengan ini, ma 64 %
ilangan waris dan sebagainya, maka tetap terbuka kemungkinan untuk dinasakh dan difalsifikasi, sekiranya ayat tadi tidak efekti 72 %
ikasi, sekiranya ayat tadi tidak efektif lagi sebagai sarana untuk mewujudkan cita kemalahatan. Dalam sejarahnya, nasakh selalu 72 %
dkan cita kemalahatan. Dalam sejarahnya, nasakh selalu hadir untuk terus-menerus memperbaharui teks-teks agama yang tidak lagi 73 %
ini hendak menyatakan bahwa akal publik memiliki kewenangan untuk menyulih dan mengamandemen sejumlah ketentuan “dogmatik” aga 74 %
ngan bunyi harfiah teks ajaran, maka akal publik berotoritas untuk mengedit, menyempurnakan, dan memodifikasikannya. Modifikasi 76 %
lam jiwa manusia terdapat impuls abadi yang tak pernah padam untuk bertanqih. Terdapat dorongan adekuat untuk senantiasa berpih 83 %
tak pernah padam untuk bertanqih. Terdapat dorongan adekuat untuk senantiasa berpihak pada kebenaran dan keadilan. Selalu ada 83 %
rpihak pada kebenaran dan keadilan. Selalu ada kecenderungan untuk mengoreksi pelbagai kekeliruan dan menyempurnakan segala kek 83 %
ngan. Akal publik dan bukan akal privat ini dibutuhkan tentu untuk menghindari oligarki pendapat atau otoritarianisme dalam mer 84 %
maka akal tidak bisa bertindak terlampau jauh, kecuali hanya untuk melakukan rasionalisasi terhadap barang-barang irrasional ya 88 %
l yang ada dalam al-Qur`an dan al-Sunnah. Akal hanya berguna untuk membuka tabir kegelapan teks-teks dhanniyat al-Qur`an saja. 89 %
t al-Qur`an saja. Di tangan Mu’tazilah, akal hanya berfungsi untuk menakwil ayat-ayat yang mutasyabih. Akal tidak cukup percaya 89 %
wil ayat-ayat yang mutasyabih. Akal tidak cukup percaya diri untuk melakukan peninjauan ulang apalagi mempertanyakan ayat-ayat 90 %
u’amalah yang mundan, akal publik perlu mendapatkan wewenang untuk mengevaluasi efektivitas dan kinerja beberapa ketentuan al-Q 95 %
pertimbangkan ulang ketentuan tersebut. Akal publik bertugas untuk mengeluarkan spirit dasar Islam dari lipatan huruf-huruf aga 97 %
huruf-huruf agama. Akal publik mempunyai tanggungjawab moral untuk mentanqih ayat-ayat yang problematik. Akhirnya, jangan lu 98 %
sebagian kaidah ushul fikih alternatif yang bisa disodorkan untuk membenahi kelemahan-kelemahan metodologi istinbath yang tela 98 %
ujmal-mubayyan, muhkam-mutasyabih, qath’iy-dhanniy merupakan upaya untuk menegakkan otoritas teks semata. Para pemakai kaidah k 40 %
endapat atau otoritarianisme dalam merumuskan dan memecahkan urusan-urusan publik. Bagaimanapun di dalam ruang publik tidak boleh ada s 84 %
Membangun ushul Fikih Alternatif Mestinya, metodologi Islam klasik dileta 0 %
sia tidak memiliki reputasi dan kedudukan apapun dalam ruang ushul fikih klasik, kecuali sebagai sasaran hukum yang tak berdaya 11 %
ulisan ini kiranya bermaksud untuk mereformasi kaidah-kaidah ushul fikih yang problematis dari sudut ontologis-epistemologis te 13 %
-epistemologis tersebut. Dengan merekonstruksi kaidah-kaidah ushul ini niscaya produk pemikiran Islam akan lebih solutif bagi p 14 %
uah metodologi terutama dalam imu-ilmu terapan Islam semacam ushul fikih ini akan berkoresponden secara persis dengan kepiawaia 16 %
mekanisme kerja penafsiran sepanjang masa. Dalam khazanah ushul fikih, maqashid al-syari’ah itu adalah keadilan, kemaslahata 25 %
ulli zaman wa makan). Sehingga kita tidak perlu kaget ketika ushul fikih lama berbicara tentang lafdz dalam porsi yang demikian 39 %
ashlahah Terdapat sebait pertanyaan ontologis dalam ranah ushul fikih, jika terjadi pertentangan antara teks (nash) dan masl 46 %
ti dimenangkan? Dalam menjawab pertanyaan ini, umumnya ulama ushul fikih klasik mengatakan bahwa yang dimenangkan adalah nash. 47 %
i (al-ayat al-’ala qiymatan), atau al-ayat al-ushuliyat atau ushul al-Qur`an. Ayat-ayat seperti ini memang tidak banyak jumlahn 68 %
ik. Akhirnya, jangan lupa bahwa itu hanya sebagian kaidah ushul fikih alternatif yang bisa disodorkan untuk membenahi kelema 98 %
ah lama dirisaukan. Tentu saja ada sekian banyak lagi kaidah ushul fikih yang perlu direformasi dengan menyertakan banyak orang 99 %
bab al-nuzul dalam pengertian klasik itu merupakan prasyarat utama untuk menemukan maqashid al-syari’ah. Syathibi di dalam a 20 %
mkan (al-maskut ‘anhu), yaitu makna yang tak tercakup secara verbatim di dalam aksara sebuah teks. Pencapaian terhadap makna-makna 43 %
rkan al-Qur`an pada perangkap yang mematikan spirit dan elan vital al-Qur`an. Kerja tanqih ini hakekatnya inheren di dalam 82 %
benaran huruf (shalahiyyah al-nansh dalaliyan li kulli zaman wa makan). Sehingga kita tidak perlu kaget ketika ushul fikih l 38 %
g bertitelkan Fashl al-Maqal fiy Taqrir Ma Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah min al-Ittishal menyatakan bahwa hikmah (kemaslaha 60 %
bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu tempat dan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu ruan 57 %
ntu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karena perubahan 58 %
ketahui mengandung maslahat, kemudian Allah melarangnya pada waktu kemudian karena diketahui di lapangan aturan tersebut tidak 59 %
ap kemampuan manusia di dalam merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk umat manusia sendiri. Manusia tidak memiliki reputasi 10 %
(‘uqubat), sanksi bagi para pelaku pidana (hudud), bilangan waris dan sebagainya, maka tetap terbuka kemungkinan untuk dinasak 72 %
perkara mu’amalah yang mundan, akal publik perlu mendapatkan wewenang untuk mengevaluasi efektivitas dan kinerja beberapa ketentua 95 %
ng tsawabit (tidak berubah, pokok, dan universal), sementara wujud pelaksanaan cita kemaslahatan itu merupakan perkara agama ya 65 %
n pada penyingkapan makna yang terdiamkan (al-maskut ‘anhu), yaitu makna yang tak tercakup secara verbatim di dalam aksara sebu 43 %
ganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Oleh: Abd Moqsith Ghazali Banyak p 2 %
sejumlah ulama Indonesia untuk mengubah pola bermadzhab dari yang qawliy ke manhaji mengandung pengertian bahwa metodologi kla 4 %
liy ke manhaji mengandung pengertian bahwa metodologi klasik yang telah dikerangkakan oleh para ulama dahulu memang sudah tunt 4 %
u memang sudah tuntas dan sempurna. Sehingga, kewajiban umat yang datang kemudian bukan untuk mengubahnya, tetapi mengikuti da 4 %
pi mengikuti dan melaksanakannya. Di sini, sebuah metodologi yang sejatinya lahir dari pabrik intelektualitas manusia yang nis 5 %
ogi yang sejatinya lahir dari pabrik intelektualitas manusia yang nisbi telah diposisikan sebagai sesuatu yang mutlak. Tak ter 5 %
ualitas manusia yang nisbi telah diposisikan sebagai sesuatu yang mutlak. Tak terbantah. Mereka telah melakukan idealisasi dan 6 %
kukan idealisasi dan universalisasi terhadap metodologi lama yang provisionaris. Mestinya, metodologi Islam klasik diletakk 6 %
ganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Ditegaskan bahwa ketika terjadi pertenta 8 %
alam ruang ushul fikih klasik, kecuali sebagai sasaran hukum yang tak berdaya (mukallaf) 3 Pemberhalaan teks dan pengabaian 11 %
vitas ijtihad selalu digerakkan di dalam areal teks. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada teks adalah illegal, sebab teks meru 12 %
Tentu saja ini merupakan kelemahan metodologis tersendiri yang mesti mendapatkan penanganan. Dengan segala keterbatasan, tu 13 %
iranya bermaksud untuk mereformasi kaidah-kaidah ushul fikih yang problematis dari sudut ontologis-epistemologis tersebut. Den 13 %
an Islam akan lebih solutif bagi problem-problem kemanusiaan yang terus melilit. Karena, betapa pun canggihnya sebuah metodolo 14 %
bi al-maqashid la bi al-alfadz. Kaidah ini berarti bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid di dalam mengistinb 17 %
al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya melainkan dari maqashid yang dikandungnya. Yang menjadi aksis adalah cita-cita etik-moral 18 %
ruf dan aksaranya melainkan dari maqashid yang dikandungnya. yang menjadi aksis adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat d 18 %
maqashid ini maka seseorang dituntut untuk memahami konteks. yang dimaksudkan bukan hanya konteks personal yang juz`iy-partiku 19 %
ahami konteks. Yang dimaksudkan bukan hanya konteks personal yang juz`iy-partikular melainkan juga konteks impersonal yang kul 19 %
nal yang juz`iy-partikular melainkan juga konteks impersonal yang kulli-universal. Pemahaman tentang konteks yang lebih dari s 20 %
s impersonal yang kulli-universal. Pemahaman tentang konteks yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian klas 20 %
mujtahid diharuskan untuk melengkapi diri dengan pengetahuan yang memadai menyangkut tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab seb 21 %
radisi dan kebiasaan masyarakat Arab sebagai masyarakat awal yang menjadi sasaran wahyu. Pengetahuan tentang konteks tentu buk 22 %
ntuk menimba dan memperoleh prinsip-prinsip dasar Islam atau yang dikenal dengan istilah maqashid al-syari’ah. Begitu maqashid 23 %
raan, hikmah-kebijaksanaan, dan cinta kasih. Maqashid inilah yang sejatinya menjadi sumber inspirasi tatkala al-Qur`an hendak 26 %
-Qur`an maupun al-hadits (apalagi di dalam tafsir dan fikih) yang tidak lagi menyuarakan maqashid al-syari’ah, maka ia batal a 28 %
t dibatalkan demi logika maqashid al-syari’ah itu. Kaidah yang diajukan di atas merupakan antipoda dari kaidah lama yang be 29 %
ah yang diajukan di atas merupakan antipoda dari kaidah lama yang berbunyi al-’ibrah bi khushûsh al-sabab lâ bi ‘umûm al-lafad 29 %
al-’ibrah bi khushûsh al-sabab lâ bi ‘umûm al-lafadz. Bahwa yang harus menjadi pertimbangan adalah keumuman lafadz, bukan khu 29 %
n khususnya sebab. Maka, jika suatu nash menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan 30 %
ut, sekalipun nash itu hadir untuk merespons suatu peristiwa yang khusus. “Pasrah pada keumuman lafdz ( al-taslim bi ‘umum al- 31 %
ah al-lughawiyah)”, tandas Nahr Hamid Abu Zaid dalam bukunya yang berjudul al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah. Terdapat sekia 32 %
ka semakin dekat ia pada kebenaran. Sebaliknya, semakin jauh yang bersangkutan dari makna literal al-Qur`an, maka ia semakin t 34 %
Qur`an, maka jauh ia dari ketakwaan. Kedua, dalam kaidah yang terakhir itu, realitas hendak disubordinasikan ke dalam buny 36 %
alitas hendak disubordinasikan ke dalam bunyi harafiah teks. yang dituju adalah kebenaran teks dengan konsekuensi mengabaikan 36 %
dengan konsekuensi mengabaikan konteks (al-siyaq al-tarikhi) yang mengitari. Konteks didudukkan dalam posisi yang rendah dan s 37 %
al-tarikhi) yang mengitari. Konteks didudukkan dalam posisi yang rendah dan sekunder. Ini menjadi maklum, oleh karena para pe 37 %
ketika ushul fikih lama berbicara tentang lafdz dalam porsi yang demikian besar. Segala jenis perbincangan kebahasaan (abhats 39 %
alafdz), semantara kata (lafdz) adalah shanam yu’bad (patung yang disembah). Segera tampak bahwa analisis yang berhenti han 41 %
’bad (patung yang disembah). Segera tampak bahwa analisis yang berhenti hanya pada konteks linguistik saja tidak akan cukup 41 %
memadai untuk mengejar kebenaran hakiki (maqashid asasiyah) yang diusung oleh teks. Analisis mestinya dilanjutkan pada penyin 42 %
teks. Analisis mestinya dilanjutkan pada penyingkapan makna yang terdiamkan (al-maskut ‘anhu), yaitu makna yang tak tercakup 42 %
ngkapan makna yang terdiamkan (al-maskut ‘anhu), yaitu makna yang tak tercakup secara verbatim di dalam aksara sebuah teks. Pe 43 %
adap makna-makna itu akan meniscayakan adanya sebuah analisa yang bukan hanya terhadap struktur kalimat per se melainkan yang 43 %
yang bukan hanya terhadap struktur kalimat per se melainkan yang justeru fondasional adalah analisa kelas dan struktur sosial 44 %
dasional adalah analisa kelas dan struktur sosial dan budaya yang melingkupi sejarah kehadiran teks. Maka, kejarlah maqashid a 44 %
buah teks. Sebab, keterpesonaan merupakan tindakan ideologis yang hanya akan menumpulkan kreativitas dalam pencarian makna oby 45 %
ka terjadi pertentangan antara teks (nash) dan maslahat mana yang mesti dimenangkan? Dalam menjawab pertanyaan ini, umumnya ul 47 %
nyaan ini, umumnya ulama ushul fikih klasik mengatakan bahwa yang dimenangkan adalah nash. Bahkan, al-Thufi menyatakan bahwa t 47 %
n terjadi pertentangan antara nash dan mashlahah, karena apa yang diujarkan oleh nash adalah kemaslahatan itu sendiri. Sering 48 %
maslahatan itu sendiri. Sering disinyalir bahwa kemaslahatan yang diandaikan oleh manusia adalah kemaslahatan semu dan relatif 48 %
adalah kemaslahatan semu dan relatif, sementara kemaslahatan yang ditetapkan Tuhan melalui bunyi harafiah nash adalah kemaslah 49 %
itas untuk menganulir kententuan-ketentuan teks suci. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan “naskh al-nushush bi al-mashlahah”. 51 %
ik dari keberadaan teks dengan menganulir beberapa teks suci yang sudah aus. Dengan cara ini, maka cita kemaslahatan akan sena 52 %
pembatalan demi pembatalan terhadap sejumlah syari’at Islam, yang dikenal dengan istilah nasikh-mansukh. Semua pelajar Islam m 54 %
lam mesti tahu cerita tentang penganuliran beberapa syari’at yang dipandang tidak lagi bersendikan kemaslahatan. Dijelaskan ba 55 %
tubuh syari’at Nabi Muhammad sendiri. Betapa syari’at Islam yang baru diundangkan, kerap dalam 3 sampai 5 tahun dianulir kemb 56 %
tidak bermaslahat lagi. Tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu tempat dan waktu tertentu, kem 57 %
emudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karena perubahan konte 58 %
idak lagi menyuarakan kemaslahatan. Ibnu Rusyd dalam bukunya yang bertitelkan Fashl al-Maqal fiy Taqrir Ma Bayna al-Syari’at w 59 %
ahatan) itu merupakan saudara kandung dari syari’at-syari’at yang telah ditetapkan Allah Swt. Teks suci tanpa kemaslahatan 60 %
. Dengan ini, maka kemaslahatan itu merupakan ajaran agama yang tsawabit (tidak berubah, pokok, dan universal), sementara wu 64 %
ud pelaksanaan cita kemaslahatan itu merupakan perkara agama yang mutaghayyir (berubah-berubah mengikuti perubahan alur sejara 65 %
erubah mengikuti perubahan alur sejarah dan peradaban).Maka, yang perlu mendapatkan proviso penegasan di sini adalah bahwa nas 66 %
h bahwa nasakh tidak dapat dilakukan terhadap teks al-Qur`an yang mengandung prinsip-prinsip ajaran yang universal, ajaran man 66 %
rhadap teks al-Qur`an yang mengandung prinsip-prinsip ajaran yang universal, ajaran mana telah melintasi ruang dan waktu, meng 66 %
bisa dihitung dengan jari tangan. Masuk dalam kategori ayat yang tidak bisa dinasakh ini, seperti ayat “wa idza hakamtum bayn 68 %
wa aqrabu li al-taqwa”, dan sebagainya. Nasakh terhadap ayat yang demikian bukan saja berpunggungan dengan semangat kehadiran 69 %
asakh sendiri. Sementara ayat-ayat mu’amalah dalam al-Qur`an yang bersifat tehnis-operasional--saya suka menyebutnya dengan al 70 %
tau al-ayat al-furu’iyyat atau fikih al-Qur`an, seperti ayat yang berbicara tentang bentuk-bentuk hukuman (‘uqubat), sanksi ba 71 %
lalu hadir untuk terus-menerus memperbaharui teks-teks agama yang tidak lagi merepresentasikan prinsip-prinsip dasar Islam. 73 %
nyulih dan mengamandemen sejumlah ketentuan “dogmatik” agama yang menyangkut perkara-perkara publik, baik dalam al-Qur`an maup 74 %
ng, alih-alih bisa menyelesaikan masalah-masalah kemanusian, yang terjadi justeru merupakan bagian dari masalah yang harus dip 77 %
manusian, yang terjadi justeru merupakan bagian dari masalah yang harus dipecahkan melalui prosedur tanqih yang berupa taqyid 78 %
n dari masalah yang harus dipecahkan melalui prosedur tanqih yang berupa taqyid bi al-’aql, takhshish bi al-’aql, dan tabyin b 78 %
ya merupakan respons al-Qur`an terhadap kasus-kasus tertentu yang berlangsung dalam lokus tertentu pula, masyarakat Arab. Deng 79 %
harfiahnya hanya akan mengantarkan al-Qur`an pada perangkap yang mematikan spirit dan elan vital al-Qur`an. Kerja tanqih 82 %
a tanqih ini hakekatnya inheren di dalam diri setiap manusia yang berakal budi. Dalam jiwa manusia terdapat impuls abadi yang 82 %
yang berakal budi. Dalam jiwa manusia terdapat impuls abadi yang tak pernah padam untuk bertanqih. Terdapat dorongan adekuat 83 %
ik tidak boleh ada satu pihak atau golongan dalam masyarakat yang berhak memaksa pandangannya pada orang lain, karena pandanga 85 %
a dinilai lebih benar. Mereka memiliki kedudukan dan derajat yang sama. Pandangan di atas sangat berbeda dengan pandangan 86 %
gan di atas sangat berbeda dengan pandangan mainstream, baik yang klasik maupun yang kontemporer yang terus menerus mendevalua 86 %
berbeda dengan pandangan mainstream, baik yang klasik maupun yang kontemporer yang terus menerus mendevaluasi akal di bawah ke 86 %
ndangan mainstream, baik yang klasik maupun yang kontemporer yang terus menerus mendevaluasi akal di bawah kedigdayaan teks. B 86 %
uk melakukan rasionalisasi terhadap barang-barang irrasional yang ada dalam al-Qur`an dan al-Sunnah. Akal hanya berguna untuk 88 %
an Mu’tazilah, akal hanya berfungsi untuk menakwil ayat-ayat yang mutasyabih. Akal tidak cukup percaya diri untuk melakukan pe 89 %
peninjauan ulang apalagi mempertanyakan ayat-ayat partikular yang tergolong qath’iyat dari sudut struktur gramatika bahasanya. 90 %
bunuh-membunuh, dan sebagainya. Ini, tentu saja sebuah sikap yang tidak apresiatif bahkan merendahkan akal sebagai karya agung 93 %
agar manusia sanggup memilah dan memilih mana-mana tindakan yang baik dan mana-mana pula perbuatan yang buruk. Menurut sa 94 %
ih mana-mana tindakan yang baik dan mana-mana pula perbuatan yang buruk. Menurut saya, sekali lagi, akal publik harus dibe 94 %
Menurut saya, sekali lagi, akal publik harus diberi posisi yang penting. Akal publik tidak cukup hanya tampil sebagai pengel 94 %
ai pengelola data-teks. Menyangkut perkara-perkara mu’amalah yang mundan, akal publik perlu mendapatkan wewenang untuk mengeva 95 %
blik mempunyai tanggungjawab moral untuk mentanqih ayat-ayat yang problematik. Akhirnya, jangan lupa bahwa itu hanya sebagi 98 %
lupa bahwa itu hanya sebagian kaidah ushul fikih alternatif yang bisa disodorkan untuk membenahi kelemahan-kelemahan metodolo 98 %
kan untuk membenahi kelemahan-kelemahan metodologi istinbath yang telah lama dirisaukan. Tentu saja ada sekian banyak lagi kai 99 %
saukan. Tentu saja ada sekian banyak lagi kaidah ushul fikih yang perlu direformasi dengan menyertakan banyak orang yang berko 99 %
fikih yang perlu direformasi dengan menyertakan banyak orang yang berkompeten. Dengan cara ini, niscaya kita bisa menghindari kebekuan dan kemandulan metodologi-ushul fikih. 99 %
ata (‘ubbad al-alafdz), semantara kata (lafdz) adalah shanam yu’bad (patung yang disembah). Segera tampak bahwa analisis yang 41 %
(fiy ithar al-dalalah al-lughawiyah)”, tandas Nahr Hamid Abu zaid dalam bukunya yang berjudul al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah. 32 %
gan kebenaran huruf (shalahiyyah al-nansh dalaliyan li kulli zaman wa makan). Sehingga kita tidak perlu kaget ketika ushul fiki 38 %

The End

back to top

Word Frequency Program

 yang  97
 dan  63
 dalam  54
 untuk  37
 di  32
 teks  30
 dengan  27
 dari  27
 akal  26
 ini  26
 tidak  25
 al-qur`an  23
 kemaslahatan  23
 maka  22
 itu  20
 publik  18
 fikih  18
 manusia  17
 islam  17
 bahwa  16
 pada  16
 adalah  15
 terhadap  15
 merupakan  15
 metodologi  14
 sebagai  14
 konteks  14
 kaidah  13
 maqashid  13
 ushul  13
 sebuah  12
 klasik  12
 bi  12
 hanya  12
 ayat-ayat  11
 karena  11
 bukan  11
 lagi  10
 atau  10
 al-syari’ah  9
 tersebut  9
 akan  9
 lama  8
 banyak  8
 nash  8
 saja  8
 secara  8
 ayat  8
 kebenaran  7
 telah  7
 melainkan  7
 agama  7
 sendiri  7
 semakin  7
 menjadi  7
 seperti  7
 oleh  7
 sebab  6
 bahkan  6
 bisa  6
 ajaran  6
 ia  6
 syari’at  6
 mesti  5
 cara  5
 tentu  5
 sehingga  5
 tentang  5
 sebagainya  5
 umat  5
 harus  5
 sekiranya  5
 dapat  5
 ada  5
 allah  5
 kemudian  5
 para  5
 suatu  5
 terjadi  5
 makna  5
 perlu  5
 memiliki  5
 baik  5
 nasakh  5
 tak  5
 bunyi  5
 ruang  4
 maslahat  4
 waktu  4
 cita  4
 prinsip-prinsip  4
 umum  4
 ketika  4
 masyarakat  4
 lain  4
 ketentuan  4
 pertentangan  4
 bagi  4
 diketahui  4
 terlalu  4
 seseorang  4
 menganulir  4
 selalu  4
 al-’aql  4
 sementara  4
 dasar  4
 tanpa  4
 tanqih  4
 al-ayat  4
 sumber  4
 memang  4
 memandang  4
 saya  4
 maupun  4
 segala  4
 terdapat  4
 antara  4
 demikian  4
 lapangan  3
 mendapatkan  3
 lebih  3
 melalui  3
 pelbagai  3
 melakukan  3
 mestinya  3
 bersifat  3
 kita  3
 literal  3
 lafdz  3
 menyulih  3
 menyangkut  3
 menyatakan  3
 berubah  3
 mengandung  3
 niscaya  3
 obyektif  3
 kontemporer  3
 cukup  3
 data-teks  3
 ketentuan-ketentuan  3
 senantiasa  3
 al-sunnah  3
 al-nushush  3
 spirit  3
 sesuatu  3
 jauh  3
 diri  3
 atas  3
 juga  3
 sejumlah  3
 jika  3
 harafiah  3
 tertentu  3
 ulama  3
 3  3
 formulasi  3
 hendak  3
 suci  3
 struktur  3
 sudah  3
 tangan  3
 hukum  3
 realitas  3
 posisi  3
 pengelola  3
 baru  3
 kedudukan  3
 diletakkan  3
 beberapa  3
 pemikiran  3
 kemampuan  3
 kecuali  3
 perkara-perkara  3
 kerapuhan  2
 mana-mana  2
 huruf  2
 kerja  2
 kewenangan  2
 hudud  2
 hadir  2
 hakekatnya  2
 formatifnya  2
 ketidakberdayaan  2
 hakiki  2
 keumuman  2
 kewajiban  2
 ketakwaan  2
 harfiah  2
 mana  2
 legal-formalistik  2
 kedua  2
 li  2
 justeru  2
 kaidah-kaidah  2
 keadilan  2
 keagamaan  2
 kata  2
 ke  2
 ijtihad  2
 inilah  2
 kerap  2
 ibnu  2
 logika  2
 istilah  2
 linguistik  2
 kehadiran  2
 konfigurasi  2
 sebesar-besarnya  2
 segera  2
 sebagaimana  2
 sebelah  2
 sejarah  2
 seluruh  2
 semacam  2
 sejatinya  2
 sekian  2
 sasaran  2
 rekontekstualisasi  2
 relatif  2
 pula  2
 qiymatan  2
 relevan  2
 sabab  2
 sangat  2
 rendah  2
 saat  2
 tindakan  2
 ulang  2
 tetapi  2
 tidaklah  2
 universal  2
 waris  2
 yaitu  2
 universalisasi  2
 wa  2
 terus  2
 setiap  2
 sini  2
 seorang  2
 seringkali  2
 sudut  2
 teks-teks  2
 tempat  2
 swt  2
 tadi  2
 problem  2
 mereka  2
 merumuskan  2
 menyertakan  2
 menyuarakan  2
 metodolgi  2
 mu’tazilah  2
 muhammad  2
 min  2
 mu’amalah  2
 menyempurnakan  2
 memadai  2
 mempertanyakan  2
 mata  2
 melabuhkan  2
 menayangkan  2
 menghindari  2
 mengikuti  2
 menciptakan  2
 mengatasi  2
 pengertian  2
 pengetahuan  2
 pembatalan  2
 pemecahan  2
 pernyataan  2
 perubahan  2
 pokok  2
 persis  2
 pertanyaan  2
 pemakai  2
 nabi  2
 orang  2
 mujtahid  2
 mungkin  2
 otoritas  2
 pandangannya  2
 partikular  2
 paling  2
 pandangan  2
 berfungsi  2
 betapa  2
 aksis  2
 dikenal  2
 al-nuzul  2
 1  2
 awal  2
 alternatif  2
 dibutuhkan  2
 akademis  2
 ditetapkan  2
 berbicara  2
 dipandang  2
 begitu  2
 dinasakh  2
 bukunya  2
 al-hadits  2
 dilakukan  2
 bumi  2
 disebut  2
 al-’ibrah  2
 bayna  2
 al-alfadz  2
 apapun  2
 analisa  2
 2  2
 fiy  2
 demi  2
 fakta  2
 arab  2
 berlangsung  2
 apalagi  2
 analisis  2
 dekontekstualisasi  2
 dekat  2
 privat  1
 personal  1
 bawah  1
 pertama  1
 saudara  1
 pribadi  1
 berada  1
 sarana  1
 problematik  1
 problematis  1
 satu  1
 berakal  1
 batang  1
 prasyarat  1
 belahan  1
 pilihan  1
 pertimbangan  1
 perundang-undangan  1
 pidana  1
 pihak  1
 pola  1
 aqrabu  1
 potong  1
 praktek  1
 benar  1
 porsi  1
 bentuk-bentuk  1
 problem-problem  1
 bagian  1
 sama-sama  1
 sama  1
 bagaimanapun  1
 redaksi  1
 rasionalisasi  1
 areal  1
 sampai  1
 bahasanya  1
 asasiyah  1
 asy’ariyah  1
 asal  1
 saling  1
 rusyd  1
 reputasi  1
 aus  1
 aturan  1
 respons  1
 sanksi  1
 batal  1
 sanggup  1
 barang-barang  1
 proviso  1
 prosedur  1
 produk  1
 provisionaris  1
 proses  1
 rajam  1
 balik  1
 ranah  1
 raji’atun  1
 qawliy  1
 qablana  1
 pun  1
 qath’iy-dhanniy  1
 qath’iyat  1
 pernah  1
 pabrik  1
 berkonsentrasi  1
 berkompeten  1
 berjudul  1
 padam  1
 ontologis-epistemologis  1
 ontologis  1
 opurtunistik  1
 otoritarianisme  1
 berkoresponden  1
 pelajar  1
 patung  1
 pelaksanaan  1
 berguna  1
 pelaku  1
 berhenti  1
 berjemaah  1
 pangkal  1
 berhadapan  1
 berhak  1
 oligarki  1
 bermakna  1
 mutlak  1
 nabi-nabi  1
 nahr  1
 nah  1
 mustahil  1
 muslim  1
 mutaghayyir  1
 muthlaq-muqayyad  1
 mutasyabih  1
 nushush  1
 non-arab  1
 berkulminasi  1
 oleh:  1
 berkreasi  1
 nasikh-mansukh  1
 bermadzhab  1
 naskh  1
 berlaku  1
 nisbi  1
 peradaban  1
 per  1
 peran  1
 perangkap  1
 peranan  1
 penyempurnaan  1
 penyembah  1
 penyingkapan  1
 penyusutan  1
 penyulingan  1
 berarti  1
 perkara  1
 perkataan  1
 beramai-ramai  1
 perkembangan  1
 perbuatan  1
 perbincangan  1
 percaya  1
 peristiwa  1
 perhatian  1
 penundukan  1
 berbunyi  1
 pemikir  1
 penafsiran  1
 pencapaian  1
 penanganan  1
 bergerak  1
 pemahaman  1
 pembaharuan  1
 berdaya  1
 pemberhalaan  1
 berbeda  1
 berbuat  1
 pengguna  1
 penting  1
 peninjauan  1
 pendapat  1
 pencarian  1
 penegasan  1
 penganuliran  1
 pengabaian  1
 se  1
 terdiamkan  1
 al-’ala  1
 al’adl”  1
 tergolong  1
 terdahulu  1
 terbantah  1
 terasa  1
 tercakup  1
 terbuka  1
 aktivitas  1
 tersendiri  1
 aksaranya  1
 akhirnya  1
 aksara  1
 terpesona  1
 terlampau  1
 terjebak  1
 termasuk  1
 terlempar  1
 terapan  1
 taqyid  1
 taqrir  1
 tatkala  1
 tataran  1
 al-dalalah  1
 tandas  1
 tampil  1
 al-furu’iyyat  1
 tanggungjawab  1
 tehnis-operasional--saya  1
 teologi  1
 al-’ibad”  1
 terakhir  1
 tepat  1
 tentatif  1
 al-alafdz  1
 ‘umum  1
 tengah  1
 al-adna  1
 terus-menerus  1
 utama  1
 abdissalam  1
 vital  1
 verbatim  1
 urusan-urusan  1
 universalisme  1
 abhats  1
 upaya  1
 ‘anhu  1
 abd  1
 ‘amm-khashsh  1
 wujud  1
 zaid  1
 yu’bad  1
 wewenang  1
 abadi  1
 wahyu  1
 5  1
 walau  1
 abu  1
 tradisi  1
 tingkat  1
 tubuh  1
 tsawabit  1
 tinggi  1
 tetap  1
 terutama  1
 ajakan  1
 ‘ubbad  1
 tuhan  1
 adanya  1
 adekuat  1
 ungkapan  1
 umumnya  1
 agar  1
 tuntas  1
 tulisan  1
 agung  1
 tuntutan  1
 semangat  1
 al-sulthah  1
 semantik  1
 semantara  1
 al-syari’at  1
 selain  1
 sekunder  1
 al-takalif  1
 al-taqwa”  1
 semata  1
 seolah-olah  1
 ”  1
 sepenuh  1
 sepanjang  1
 al-sabab  1
 sempurna  1
 al-siyaq  1
 semua  1
 semu  1
 al-tarikhi  1
 sebelumnya  1
 apa  1
 an  1
 antipoda  1
 sebaliknya  1
 apa-apa  1
 apresiatif  1
 sebait  1
 sebagian  1
 amunisi  1
 sekalipun  1
 sekali  1
 al-taslim  1
 sekarang  1
 sekadar  1
 alur  1
 al-ushuliyat  1
 al-thufi  1
 sejarahnya  1
 sepenuhnya  1
 alih-alih  1
 syar’u  1
 syathibi  1
 syari’at-syari’at  1
 al-ittishal  1
 al-lafdz  1
 al-lughawiyah  1
 al-lafadz  1
 suka  1
 tabir  1
 al-haqiqah  1
 tahun  1
 tampak  1
 takhshish  1
 tahu  1
 al-hikmah  1
 tabyin  1
 tahkumu  1
 tafsir  1
 al-maqal  1
 al-mujtama’  1
 sesungguhnya  1
 shanam  1
 shalahiyyah  1
 al-muwafaqat  1
 sering  1
 al-nash  1
 al-nansh  1
 al-nas  1
 sikap  1
 al-maqashid  1
 al-mashlahah  1
 substantif  1
 sub-ordinat  1
 al-mashlahah”  1
 solutif  1
 al-maskut  1
 spesifik  1
 sosial  1
 kemandulan  1
 kemalahatan  1
 kemanusiaan  1
 ‘uqubat  1
 kemanusian  1
 kekurangan  1
 kekeliruan  1
 kelas  1
 kelemahan-kelemahan  1
 kelemahan  1
 kerangka  1
 kepiawaiannya  1
 dikatakan  1
 kesetaraan  1
 dikandungnya  1
 dikerangkakan  1
 kembali  1
 kemungkinan  1
 kententuan-ketentuan  1
 kenaifan  1
 keberadaan  1
 dimenangkan  1
 kebiasaan  1
 kecenderungan  1
 kecanggihan  1
 dimenangkan?  1
 dinilai  1
 kearabannya  1
 kebekuan  1
 kebahasaan  1
 kegelapan  1
 kegamangan  1
 dilanjutkan  1
 kejarlah  1
 keindahan  1
 kedigdayaan  1
 dimaksudkan  1
 dimaksud  1
 kegagapan  1
 dilepaskan  1
 dijelaskan  1
 kreativitas  1
 konvensional  1
 kritik  1
 kulli-universal  1
 kulli  1
 konsep  1
 konsekuensi  1
 diberi  1
 dibatalkan  1
 kontekstualisasi  1
 dianulir  1
 diarahkan  1
 lahir  1
 diajukan  1
 diandaikan  1
 kurang  1
 kulluha  1
 la  1
 lafadz  1
 lâ  1
 ketidak-berhinggan  1
 ketidak-berdayaan  1
 digerakkan  1
 didudukkan  1
 difalsifikasi  1
 dihindari  1
 dihitung  1
 keterbatasan  1
 diharuskan  1
 keterpesonaan  1
 kinerja  1
 khususnya  1
 kiranya  1
 dibiarkan  1
 dicapai  1
 keyakinan  1
 dicocok-cocokkan  1
 khazanah  1
 khusus  1
 khushûsh  1
 kategori  1
 diujarkan  1
 hukuman  1
 huruf-huruf  1
 dituntut  1
 huwa  1
 hikmah-kebijaksanaan  1
 hikmah  1
 hirau  1
 diundangkan  1
 diusung  1
 illegal  1
 ila  1
 ilmu  1
 implikasinya  1
 impersonal  1
 idealisasi  1
 dituju  1
 ideologi  1
 idza  1
 ideologis  1
 gramatika  1
 golongan  1
 guna  1
 etnis  1
 hakamtum  1
 fondasional  1
 fondasi  1
 fashl  1
 ghazali  1
 genial  1
 efektif  1
 harfiahnya  1
 hati  1
 dorongan  1
 hemat  1
 hamid  1
 etik-moral  1
 epistemologis  1
 efektivitas  1
 elan  1
 impuls  1
 juz`iy-partikular  1
 dirisaukan  1
 kaget  1
 diposisikan  1
 direformasi  1
 jenis  1
 jawaz  1
 disembah  1
 jumlahnya  1
 jiwa  1
 karya  1
 dipecahkan  1
 kasih  1
 katakan  1
 kasus-kasus  1
 kalau  1
 kalangan  1
 kalimat  1
 kandung  1
 kandas  1
 inspirasi  1
 ditemukan  1
 intelektualitas  1
 ditegaskan  1
 irrasional  1
 indonesia  1
 imu-ilmu  1
 ingin  1
 “dogmatik”  1
 inheren  1
 jangan  1
 jalan-jalan  1
 jari  1
 jawaban  1
 disinyalir  1
 istinbath  1
 disubordinasikan  1
 ithar  1
 izzuddin  1
 disodorkan  1
 bilangan  1
 mengharuskan  1
 bila  1
 mengimpelementasikan  1
 mengimaninya  1
 mengetahui  1
 mengenai  1
 mengevaluasi  1
 menggunakan  1
 menggugat  1
 menimba  1
 mengubahnya  1
 meniscayakan  1
 mentanqih  1
 menjawab  1
 mengitari  1
 mengistinbatkan  1
 mengontrol  1
 mengubah  1
 mengoreksi  1
 mengabaikan  1
 menerus  1
 mengalami  1
 mengamandemen  1
 mengamalkan  1
 menegakkan  1
 mendevaluasi  1
 menemukan  1
 menerapkan  1
 menepikan  1
 binatang  1
 mengatakan  1
 mengedit  1
 mengeluarkan  1
 mengejar  1
 buat  1
 mengambil  1
 mengantarkan  1
 menganut  1
 boleh  1
 menumpulkan  1
 berpunggungan  1
 mewujudkan  1
 misalnya  1
 moqsith  1
 modifikasi  1
 bersendikan  1
 bersetuju  1
 bersangkutan  1
 metodologi-ushul  1
 metodologis  1
 bermaslahat  1
 mujmal-mubayyan  1
 mukallaf  1
 bermaksud  1
 mundan  1
 berpihak  1
 moral  1
 berotoritas  1
 muhkam-mutasyabih  1
 bernilai  1
 berupa  1
 menyelesaikan  1
 berubah-berubah  1
 bertitelkan  1
 bertugas  1
 besar  1
 menurut  1
 berzina  1
 menyebutnya  1
 menyebabkan  1
 merespons  1
 merepresentasikan  1
 bertentangan  1
 bertanqih  1
 bertelanjang  1
 mereformasi  1
 menyuruh  1
 bertindak  1
 merendahkan  1
 merekonstruksi  1
 mendengungkan  1
 “pasrah  1
 manhaji  1
 “wa  1
 masalah  1
 masa  1
 man  1
 makna-makna  1
 data  1
 manfaatnya  1
 “naskh  1
 dahulu  1
 masuk  1
 cita-cita  1
 medan  1
 ciri  1
 mashalih  1
 masalah-masalah  1
 mashlahah  1
 massal  1
 dalaliyan  1
 “innama  1
 legislasi  1
 lipatan  1
 lokus  1
 literalnya  1
 “i’dilu  1
 lampau  1
 dhanniyat  1
 legal-spesifik  1
 derajat  1
 ‘umûm  1
 mainstream  1
 makan  1
 datang  1
 maklum  1
 lupa  1
 lughawiyah  1
 ma  1
 mafsadat  1
 mabahits  1
 mekanisme  1
 memperbaharui  1
 memodifikasikannya  1
 memperlakukan  1
 mempertimbangkan  1
 memperoleh  1
 memerlukan  1
 memecahkan  1
 memilah  1
 bulat  1
 memilih  1
 budi  1
 buku-buku  1
 mencuri  1
 mendengar  1
 budaya  1
 memproduksi  1
 memposisikan  1
 mempunyai  1
 menarik  1
 menakwil  1
 melengkapi  1
 melarangnya  1
 melilit  1
 melintasi  1
 melingkupi  1
 cerita  1
 cinta  1
 melaksanakannya  1
 cacat  1
 canggihnya  1
 membangun  1
 membaca  1
 membenahi  1
 membuka  1
 membiarkan  1
 memahami  1
 buruk  1
 memaksa  1
 mematikan  1
 bunuh-membunuh  1
 zaman  1

The End

back to top