click here for the word frequency
Membangun Ushul Fikih Alternatif
Mestinya, metodologi Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan.
Oleh: Abd Moqsith Ghazali
Banyak pemikir
Muslim memandang metodologi (ushul fikih) klasik tanpa cacat epistemologis
apapun. Ajakan sejumlah ulama Indonesia untuk mengubah pola bermadzhab dari yang
qawliy ke manhaji mengandung pengertian bahwa metodologi klasik yang telah
dikerangkakan oleh para ulama dahulu memang sudah tuntas dan sempurna. Sehingga,
kewajiban umat yang datang kemudian bukan untuk mengubahnya, tetapi mengikuti
dan melaksanakannya. Di sini, sebuah metodologi yang sejatinya lahir dari pabrik
intelektualitas manusia yang nisbi telah diposisikan sebagai sesuatu yang mutlak.
Tak terbantah. Mereka telah melakukan idealisasi dan universalisasi terhadap
metodologi lama yang provisionaris.
Mestinya, metodologi Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum
pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali
menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. [1]
Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di
dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam
Islam yang tidak lagi relevan. Ditegaskan bahwa ketika terjadi pertentangan
antara akal publik dan bunyi harfiah teks ajaran, metodologi lampau selalu
mengambil cara penundukan terhadap akal publik. [2] Metodologi klasik kurang
hirau terhadap kemampuan manusia di dalam merumuskan konsep kemaslahatan walau
untuk umat manusia sendiri. Manusia tidak memiliki reputasi dan kedudukan apapun
dalam ruang ushul fikih klasik, kecuali sebagai sasaran hukum yang tak berdaya (mukallaf)
[3] Pemberhalaan teks dan pengabaian realitas merupakan ciri umum dari
metodologi lama. Aktivitas ijtihad selalu digerakkan di dalam areal teks.
Ijtihad yang tidak berkulminasi pada teks adalah illegal, sebab teks merupakan
aksis dari seluruh cara pemecahan problem.
Tentu saja ini merupakan kelemahan metodologis tersendiri yang mesti mendapatkan
penanganan. Dengan segala keterbatasan, tulisan ini kiranya bermaksud untuk
mereformasi kaidah-kaidah ushul fikih yang problematis dari sudut
ontologis-epistemologis tersebut. Dengan merekonstruksi kaidah-kaidah ushul ini
niscaya produk pemikiran Islam akan lebih solutif bagi problem-problem
kemanusiaan yang terus melilit. Karena, betapa pun canggihnya sebuah metodologi
jika kandas pada tingkat pemecahan problem tersebut, maka ia tidaklah banyak
guna dan manfaatnya. Kecanggihan sebuah metodologi terutama dalam imu-ilmu
terapan Islam semacam ushul fikih ini akan berkoresponden secara persis dengan
kepiawaiannya di dalam menciptakan kemaslahatan bagi sebesar-besarnya umat
manusia.
1. al-’Ibrah bi al-maqashid la bi al-alfadz.
Kaidah ini berarti bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid di dalam
mengistinbatkan hukum dari al-Qur`an dan al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya
melainkan dari maqashid yang dikandungnya. Yang menjadi aksis adalah cita-cita
etik-moral dari sebuah ayat dan bukan legislasi spesifik atau formulasi
literalnya. Nah, untuk mengetahui maqashid ini maka seseorang dituntut untuk
memahami konteks. Yang dimaksudkan bukan hanya konteks personal yang
juz`iy-partikular melainkan juga konteks impersonal yang kulli-universal.
Pemahaman tentang konteks yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam
pengertian klasik itu merupakan prasyarat utama untuk menemukan maqashid al-syari’ah.
Syathibi di dalam al-Muwafaqat mendengungkan sebuah pernyataan genial bahwa
seorang mujtahid diharuskan untuk melengkapi diri dengan pengetahuan yang
memadai menyangkut tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab sebagai masyarakat awal
yang menjadi sasaran wahyu. Pengetahuan tentang konteks tentu bukan untuk
konteks itu sendiri, melainkan untuk menimba dan memperoleh prinsip-prinsip
dasar Islam atau yang dikenal dengan istilah maqashid al-syari’ah. Begitu
maqashid al-syari’ah sudah dicapai, maka teks harus segera dilepaskan dari
konteks kearabannya (dekontekstualisasi) untuk kemudian dilakukan
rekontekstualisasi. Yaitu, melabuhkan prinsip-prinsip dasar Islam itu di tempat
dan di belahan bumi non-Arab. Maka, kontekstualisasi, dekontekstualisasi, dan
rekontekstualisasi merupakan mekanisme kerja penafsiran sepanjang masa.
Dalam khazanah ushul fikih, maqashid al-syari’ah itu adalah keadilan,
kemaslahatan, kesetaraan, hikmah-kebijaksanaan, dan cinta kasih. Maqashid inilah
yang sejatinya menjadi sumber inspirasi tatkala al-Qur`an hendak melabuhkan
ketentuan-ketentuan legal-spesifik di lapangan. Dengan perkataan lain, maqashid
al-syari’ah adalah sumber dari segala sumber hukum dalam Islam, termasuk sumber
dari al-Qur`an sendiri. Oleh karena itu, sekiranya ditemukan sebuah teks agama
baik di dalam al-Qur`an maupun al-hadits (apalagi di dalam tafsir dan fikih)
yang tidak lagi menyuarakan maqashid al-syari’ah, maka ia batal atau dapat
dibatalkan demi logika maqashid al-syari’ah itu.
Kaidah yang diajukan di atas merupakan antipoda dari kaidah lama yang berbunyi
al-’ibrah bi khushûsh al-sabab lâ bi ‘umûm al-lafadz. Bahwa yang harus menjadi
pertimbangan adalah keumuman lafadz, bukan khususnya sebab. Maka, jika suatu
nash menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain
menerapkan nash tersebut, sekalipun nash itu hadir untuk merespons suatu
peristiwa yang khusus. “Pasrah pada keumuman lafdz ( al-taslim bi ‘umum al-lafdz)
hanya akan menyebabkan kita senantiasa berada dalam kerangka makna linguistik (fiy
ithar al-dalalah al-lughawiyah)”, tandas Nahr Hamid Abu Zaid dalam bukunya yang
berjudul al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah.
Terdapat sekian banyak kritik terhadap kaidah konvensional ini. Misalnya,
pertama, kaidah ini dipandang terlalu banyak berkonsentrasi dan bergerak pada
medan semantik dengan menepikan peranan sabab al-nuzul. Implikasinya, para
pengguna kaidah ini kerap terjebak pada suatu kenaifan. Bahwa semakin harafiah
seseorang membaca al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada kebenaran. Sebaliknya,
semakin jauh yang bersangkutan dari makna literal al-Qur`an, maka ia semakin
terlempar dari kebenaran. Maka, semakin literal seseorang di dalam memperlakukan
al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada ketakwaan. Dan semakin substantif
seseorang di dalam memandang al-Qur`an, maka jauh ia dari ketakwaan.
Kedua, dalam kaidah yang terakhir itu, realitas hendak disubordinasikan ke dalam
bunyi harafiah teks. Yang dituju adalah kebenaran teks dengan konsekuensi
mengabaikan konteks (al-siyaq al-tarikhi) yang mengitari. Konteks didudukkan
dalam posisi yang rendah dan sekunder. Ini menjadi maklum, oleh karena para
pemakai kaidah ini menganut ideologi universalisme dan ketidak-berhinggan
kebenaran huruf (shalahiyyah al-nansh dalaliyan li kulli zaman wa makan).
Sehingga kita tidak perlu kaget ketika ushul fikih lama berbicara tentang lafdz
dalam porsi yang demikian besar. Segala jenis perbincangan kebahasaan (abhats
lughawiyah min mabahits al-alfadz) seperti mengenai ‘amm-khashsh,
muthlaq-muqayyad, mujmal-mubayyan, muhkam-mutasyabih, qath’iy-dhanniy merupakan
upaya untuk menegakkan otoritas teks semata. Para pemakai kaidah kedua ini
mungkin tepat sekiranya disebut sebagai penyembah kata (‘ubbad al-alafdz),
semantara kata (lafdz) adalah shanam yu’bad (patung yang disembah).
Segera tampak bahwa analisis yang berhenti hanya pada konteks linguistik saja
tidak akan cukup memadai untuk mengejar kebenaran hakiki (maqashid asasiyah)
yang diusung oleh teks. Analisis mestinya dilanjutkan pada penyingkapan makna
yang terdiamkan (al-maskut ‘anhu), yaitu makna yang tak tercakup secara verbatim
di dalam aksara sebuah teks. Pencapaian terhadap makna-makna itu akan
meniscayakan adanya sebuah analisa yang bukan hanya terhadap struktur kalimat
per se melainkan yang justeru fondasional adalah analisa kelas dan struktur
sosial dan budaya yang melingkupi sejarah kehadiran teks. Maka, kejarlah
maqashid al-syari’ah dengan pelbagai cara, tanpa terlalu banyak terpesona
terhadap keindahan sebuah teks. Sebab, keterpesonaan merupakan tindakan
ideologis yang hanya akan menumpulkan kreativitas dalam pencarian makna obyektif.
[2] Jawaz Naskh al-Nushush bi al-Mashlahah
Terdapat sebait pertanyaan ontologis dalam ranah ushul fikih, jika terjadi
pertentangan antara teks (nash) dan maslahat mana yang mesti dimenangkan? Dalam
menjawab pertanyaan ini, umumnya ulama ushul fikih klasik mengatakan bahwa yang
dimenangkan adalah nash. Bahkan, al-Thufi menyatakan bahwa tidak mungkin terjadi
pertentangan antara nash dan mashlahah, karena apa yang diujarkan oleh nash
adalah kemaslahatan itu sendiri. Sering disinyalir bahwa kemaslahatan yang
diandaikan oleh manusia adalah kemaslahatan semu dan relatif, sementara
kemaslahatan yang ditetapkan Tuhan melalui bunyi harafiah nash adalah
kemaslahatan hakiki dan obyektif. Manusia tidak memiliki kewenangan untuk
mempertanyakan dan menggugat kemaslahatan literal teks. Kewajiban manusia adalah
mengamalkan dan mengimaninya secara sepenuh hati.Secara pribadi, saya tidak
dalam posisi bersetuju dengan jawaban di atas. Pada hemat saya, maslahat
memiliki otoritas untuk menganulir kententuan-ketentuan teks suci. Inilah yang
dimaksud dengan ungkapan “naskh al-nushush bi al-mashlahah”. Sebagai spirit dari
teks (nushush) al-Qur`an, kemaslahatan merupakan amunisi untuk mengontrol balik
dari keberadaan teks dengan menganulir beberapa teks suci yang sudah aus. Dengan
cara ini, maka cita kemaslahatan akan senantiasa berkreasi untuk memproduksi
formulasi bahkan teks keagamaan baru di tengah kegamangan dan kegagapan
formulasi dan teks keagamaan lama.Praktek dari kaidah ini dapat diketahui dari
pembatalan demi pembatalan terhadap sejumlah syari’at Islam, yang dikenal dengan
istilah nasikh-mansukh. Semua pelajar Islam mesti tahu cerita tentang
penganuliran beberapa syari’at yang dipandang tidak lagi bersendikan
kemaslahatan. Dijelaskan bahwa nasakh itu bukan hanya berlaku terhadap syari’at
nabi-nabi terdahulu (syar’u man qablana) saja, tetapi melainkan juga berlangsung
dalam batang tubuh syari’at Nabi Muhammad sendiri. Betapa syari’at Islam yang
baru diundangkan, kerap dalam 3 sampai 5 tahun dianulir kembali oleh Nabi
Muhammad karena tidak bermaslahat lagi.
Tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu tempat dan
waktu tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan waktu
yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karena perubahan konteks, maka dapat
saja Allah menyuruh berbuat sesuatu karena diketahui mengandung maslahat,
kemudian Allah melarangnya pada waktu kemudian karena diketahui di lapangan
aturan tersebut tidak lagi menyuarakan kemaslahatan. Ibnu Rusyd dalam bukunya
yang bertitelkan Fashl al-Maqal fiy Taqrir Ma Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah min
al-Ittishal menyatakan bahwa hikmah (kemaslahatan) itu merupakan saudara kandung
dari syari’at-syari’at yang telah ditetapkan Allah Swt.
Teks suci tanpa kemaslahatan memang tak berfungsi apa-apa buat manusia, kecuali
untuk teks itu sendiri. Teks baru bermakna sekiranya menyertakan cita
kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan adalah fondasi paling pokok dari
setiap perundang-undangan syari’at Islam. Ini bukan karena ajaran Islam memang
perlu dicocok-cocokkan secara opurtunistik dengan perkembangan kemaslahatan,
melainkan karena tuntutan kemaslahatan itu secara obyektif niscaya mengharuskan
demikian. Menarik mendengar pernyataan Izzuddin Ibnu Abdissalam, “innama al-takalif
kulluha raji’atun ila mashalih al-’ibad” [ seluruh ketentuan agama diarahkan
untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat manusia ]. Dengan ini, maka
kemaslahatan itu merupakan ajaran agama yang tsawabit (tidak berubah, pokok, dan
universal), sementara wujud pelaksanaan cita kemaslahatan itu merupakan perkara
agama yang mutaghayyir (berubah-berubah mengikuti perubahan alur sejarah dan
peradaban).Maka, yang perlu mendapatkan proviso penegasan di sini adalah bahwa
nasakh tidak dapat dilakukan terhadap teks al-Qur`an yang mengandung
prinsip-prinsip ajaran yang universal, ajaran mana telah melintasi ruang dan
waktu, mengatasi pelbagai etnis dan keyakinan. Ayat-ayat ini ingin saya katakan
sebagai ayat dengan kedudukan paling tinggi (al-ayat al-’ala qiymatan), atau al-ayat
al-ushuliyat atau ushul al-Qur`an. Ayat-ayat seperti ini memang tidak banyak
jumlahnya, bahkan bisa dihitung dengan jari tangan. Masuk dalam kategori ayat
yang tidak bisa dinasakh ini, seperti ayat “wa idza hakamtum bayna al-nas an
tahkumu bi al’adl”, “I’dilu huwa aqrabu li al-taqwa”, dan sebagainya. Nasakh
terhadap ayat yang demikian bukan saja berpunggungan dengan semangat kehadiran
Islam awal, melainkan juga bertentangan dengan logika nasakh sendiri. Sementara
ayat-ayat mu’amalah dalam al-Qur`an yang bersifat tehnis-operasional--saya suka
menyebutnya dengan al-ayat al-adna qiymatan atau al-ayat al-furu’iyyat atau
fikih al-Qur`an, seperti ayat yang berbicara tentang bentuk-bentuk hukuman (‘uqubat),
sanksi bagi para pelaku pidana (hudud), bilangan waris dan sebagainya, maka
tetap terbuka kemungkinan untuk dinasakh dan difalsifikasi, sekiranya ayat tadi
tidak efektif lagi sebagai sarana untuk mewujudkan cita kemalahatan. Dalam
sejarahnya, nasakh selalu hadir untuk terus-menerus memperbaharui teks-teks
agama yang tidak lagi merepresentasikan prinsip-prinsip dasar Islam.
[3] Tanqih al-Nushush bi al-’Aql al-Mujtama’
Kaidah ini hendak menyatakan bahwa akal publik memiliki kewenangan untuk
menyulih dan mengamandemen sejumlah ketentuan “dogmatik” agama yang menyangkut
perkara-perkara publik, baik dalam al-Qur`an maupun dalam al-Sunnah. Sehingga
ketika terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran,
maka akal publik berotoritas untuk mengedit, menyempurnakan, dan
memodifikasikannya. Modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan ketika berhadapan
dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat hudud (seperti potong tangan, rajam,
dan sebagainya), waris, dan sebagainya. Ayat-ayat tersebut dalam konteks
sekarang, alih-alih bisa menyelesaikan masalah-masalah kemanusian, yang terjadi
justeru merupakan bagian dari masalah yang harus dipecahkan melalui prosedur
tanqih yang berupa taqyid bi al-’aql, takhshish bi al-’aql, dan tabyin bi al-’aql.
Ayat-ayat semacam itu, sebagaimana dikatakan sebelumnya disebut sebagai fikih
al-Qur`an. Sebagai sebuah fikih, ayat-ayat tersebut sepenuhnya merupakan respons
al-Qur`an terhadap kasus-kasus tertentu yang berlangsung dalam lokus tertentu
pula, masyarakat Arab. Dengan demikian, kebenaran ayat-ayat tadi bersifat
relatif dan tentatif, sehingga memerlukan penyempurnaan, pembaharuan, dan
penyulingan. Dalam tataran itu, universalisasi fikih al-Qur`an tanpa melalui
proses tanqih harus dihindari. Sebab, membiarkan fikih al-Qur`an persis seperti
dalam bunyi harfiahnya hanya akan mengantarkan al-Qur`an pada perangkap yang
mematikan spirit dan elan vital al-Qur`an.
Kerja tanqih ini hakekatnya inheren di dalam diri setiap manusia yang berakal
budi. Dalam jiwa manusia terdapat impuls abadi yang tak pernah padam untuk
bertanqih. Terdapat dorongan adekuat untuk senantiasa berpihak pada kebenaran
dan keadilan. Selalu ada kecenderungan untuk mengoreksi pelbagai kekeliruan dan
menyempurnakan segala kekurangan. Akal publik dan bukan akal privat ini
dibutuhkan tentu untuk menghindari oligarki pendapat atau otoritarianisme dalam
merumuskan dan memecahkan urusan-urusan publik. Bagaimanapun di dalam ruang
publik tidak boleh ada satu pihak atau golongan dalam masyarakat yang berhak
memaksa pandangannya pada orang lain, karena pandangannya dinilai lebih benar.
Mereka memiliki kedudukan dan derajat yang sama.
Pandangan di atas sangat berbeda dengan pandangan mainstream, baik yang klasik
maupun yang kontemporer yang terus menerus mendevaluasi akal di bawah
kedigdayaan teks. Baik kalangan Asy’ariyah maupun Mu’tazilah hakekatnya
sama-sama memposisikan akal sebagai pengelola data-teks, sementara data-teks
merupakan pangkal atau asal. Sebagai pengelola, maka akal tidak bisa bertindak
terlampau jauh, kecuali hanya untuk melakukan rasionalisasi terhadap
barang-barang irrasional yang ada dalam al-Qur`an dan al-Sunnah. Akal hanya
berguna untuk membuka tabir kegelapan teks-teks dhanniyat al-Qur`an saja. Di
tangan Mu’tazilah, akal hanya berfungsi untuk menakwil ayat-ayat yang mutasyabih.
Akal tidak cukup percaya diri untuk melakukan peninjauan ulang apalagi
mempertanyakan ayat-ayat partikular yang tergolong qath’iyat dari sudut struktur
gramatika bahasanya.
Akal manusia dalam buku-buku teologi klasik telah diletakkan sebagai sub-ordinat
dari teks. Akal mengalami penyusutan peran. Seolah-olah akal manusia itu begitu
rendah, sehingga kalau dibiarkan maka manusia secara massal akan bertelanjang
bulat di jalan-jalan sebagaimana binatang, berzina beramai-ramai, mencuri secara
berjemaah, saling bunuh-membunuh, dan sebagainya. Ini, tentu saja sebuah sikap
yang tidak apresiatif bahkan merendahkan akal sebagai karya agung Allah Swt.
Allah menciptakan akal sesungguhnya agar manusia sanggup memilah dan memilih
mana-mana tindakan yang baik dan mana-mana pula perbuatan yang buruk.
Menurut saya, sekali lagi, akal publik harus diberi posisi yang penting. Akal
publik tidak cukup hanya tampil sebagai pengelola data-teks. Menyangkut
perkara-perkara mu’amalah yang mundan, akal publik perlu mendapatkan wewenang
untuk mengevaluasi efektivitas dan kinerja beberapa ketentuan al-Qur`an dan al-Hadits
di dalam mengimpelementasikan maqashid al-syari’ah di bumi realitas. Sekiranya
dari data lapangan diketahui ketidak-berdayaan sebuah teks di dalam mengatasi
perkara-perkara publik, maka akal publik mesti mempertimbangkan ulang ketentuan
tersebut. Akal publik bertugas untuk mengeluarkan spirit dasar Islam dari
lipatan huruf-huruf agama. Akal publik mempunyai tanggungjawab moral untuk
mentanqih ayat-ayat yang problematik.
Akhirnya, jangan lupa bahwa itu hanya sebagian kaidah ushul fikih alternatif
yang bisa disodorkan untuk membenahi kelemahan-kelemahan metodologi istinbath
yang telah lama dirisaukan. Tentu saja ada sekian banyak lagi kaidah ushul fikih
yang perlu direformasi dengan menyertakan banyak orang yang berkompeten. Dengan
cara ini, niscaya kita bisa menghindari kebekuan dan kemandulan metodologi-ushul
fikih.
pre- text |
WORD |
post- text |
% |
tiwa yang khusus. “Pasrah pada keumuman lafdz ( al-taslim bi | ‘umum | al-lafdz) hanya akan menyebabkan kita senantiasa berada dala | 31 % |
idah lama yang berbunyi al-’ibrah bi khushûsh al-sabab lâ bi | ‘umûm | al-lafadz. Bahwa yang harus menjadi pertimbangan adalah keum | 29 % |
wenangan untuk menyulih dan mengamandemen sejumlah ketentuan | “dogmatik” | agama yang menyangkut perkara-perkara publik, baik dalam al- | 74 % |
i ayat “wa idza hakamtum bayna al-nas an tahkumu bi al’adl”, | “i’dilu | huwa aqrabu li al-taqwa”, dan sebagainya. Nasakh terhadap ay | 69 % |
kian. Menarik mendengar pernyataan Izzuddin Ibnu Abdissalam, | “innama | al-takalif kulluha raji’atun ila mashalih al-’ibad” seluru | 63 % |
an-ketentuan teks suci. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan | “naskh | al-nushush bi al-mashlahah”. Sebagai spirit dari teks (nushu | 51 % |
nash itu hadir untuk merespons suatu peristiwa yang khusus. | “pasrah | pada keumuman lafdz ( al-taslim bi ‘umum al-lafdz) hanya aka | 31 % |
lam kategori ayat yang tidak bisa dinasakh ini, seperti ayat | “wa | idza hakamtum bayna al-nas an tahkumu bi al’adl”, “I’dilu hu | 69 % |
ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. | 1 | Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kema | 8 % |
ampau selalu mengambil cara penundukan terhadap akal publik. | 2 | Metodologi klasik kurang hirau terhadap kemampuan manusia di | 9 % |
akan menumpulkan kreativitas dalam pencarian makna obyektif. | 2 | Jawaz Naskh al-Nushush bi al-Mashlahah Terdapat sebait pe | 46 % |
k, kecuali sebagai sasaran hukum yang tak berdaya (mukallaf) | 3 | Pemberhalaan teks dan pengabaian realitas merupakan ciri umu | 11 % |
ri. Betapa syari’at Islam yang baru diundangkan, kerap dalam | 3 | sampai 5 tahun dianulir kembali oleh Nabi Muhammad karena ti | 56 % |
ng tidak lagi merepresentasikan prinsip-prinsip dasar Islam. | 3 | Tanqih al-Nushush bi al-’Aql al-Mujtama’ Kaidah ini hend | 73 % |
a syari’at Islam yang baru diundangkan, kerap dalam 3 sampai | 5 | tahun dianulir kembali oleh Nabi Muhammad karena tidak berma | 56 % |
anusia yang berakal budi. Dalam jiwa manusia terdapat impuls | abadi | yang tak pernah padam untuk bertanqih. Terdapat dorongan ade | 83 % |
formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Oleh: | abd | Moqsith Ghazali Banyak pemikir Muslim memandang metodolog | 2 % |
tik (fiy ithar al-dalalah al-lughawiyah)”, tandas Nahr Hamid | abu | Zaid dalam bukunya yang berjudul al-Nash, al-Sulthah, al-Haq | 32 % |
uatu nash menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak | ada | pilihan lain selain menerapkan nash tersebut, sekalipun nash | 30 % |
ntuk senantiasa berpihak pada kebenaran dan keadilan. Selalu | ada | kecenderungan untuk mengoreksi pelbagai kekeliruan dan menye | 83 % |
rusan publik. Bagaimanapun di dalam ruang publik tidak boleh | ada | satu pihak atau golongan dalam masyarakat yang berhak memaks | 85 % |
lakukan rasionalisasi terhadap barang-barang irrasional yang | ada | dalam al-Qur`an dan al-Sunnah. Akal hanya berguna untuk memb | 88 % |
metodologi istinbath yang telah lama dirisaukan. Tentu saja | ada | sekian banyak lagi kaidah ushul fikih yang perlu direformasi | 99 % |
dalam areal teks. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada teks | adalah | illegal, sebab teks merupakan aksis dari seluruh cara pemeca | 12 % |
elainkan dari maqashid yang dikandungnya. Yang menjadi aksis | adalah | cita-cita etik-moral dari sebuah ayat dan bukan legislasi sp | 18 % |
asa. Dalam khazanah ushul fikih, maqashid al-syari’ah itu | adalah | keadilan, kemaslahatan, kesetaraan, hikmah-kebijaksanaan, da | 25 % |
fik di lapangan. Dengan perkataan lain, maqashid al-syari’ah | adalah | sumber dari segala sumber hukum dalam Islam, termasuk sumber | 27 % |
lâ bi ‘umûm al-lafadz. Bahwa yang harus menjadi pertimbangan | adalah | keumuman lafadz, bukan khususnya sebab. Maka, jika suatu nas | 29 % |
k disubordinasikan ke dalam bunyi harafiah teks. Yang dituju | adalah | kebenaran teks dengan konsekuensi mengabaikan konteks (al-si | 36 % |
ai penyembah kata (‘ubbad al-alafdz), semantara kata (lafdz) | adalah | shanam yu’bad (patung yang disembah). Segera tampak bahwa | 41 % |
p struktur kalimat per se melainkan yang justeru fondasional | adalah | analisa kelas dan struktur sosial dan budaya yang melingkupi | 44 % |
a ulama ushul fikih klasik mengatakan bahwa yang dimenangkan | adalah | nash. Bahkan, al-Thufi menyatakan bahwa tidak mungkin terjad | 47 % |
tara nash dan mashlahah, karena apa yang diujarkan oleh nash | adalah | kemaslahatan itu sendiri. Sering disinyalir bahwa kemaslahat | 48 % |
g disinyalir bahwa kemaslahatan yang diandaikan oleh manusia | adalah | kemaslahatan semu dan relatif, sementara kemaslahatan yang d | 49 % |
maslahatan yang ditetapkan Tuhan melalui bunyi harafiah nash | adalah | kemaslahatan hakiki dan obyektif. Manusia tidak memiliki kew | 49 % |
n dan menggugat kemaslahatan literal teks. Kewajiban manusia | adalah | mengamalkan dan mengimaninya secara sepenuh hati.Secara prib | 50 % |
enyertakan cita kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan | adalah | fondasi paling pokok dari setiap perundang-undangan syari’at | 62 % |
aban).Maka, yang perlu mendapatkan proviso penegasan di sini | adalah | bahwa nasakh tidak dapat dilakukan terhadap teks al-Qur`an y | 66 % |
teks. Pencapaian terhadap makna-makna itu akan meniscayakan | adanya | sebuah analisa yang bukan hanya terhadap struktur kalimat pe | 43 % |
adi yang tak pernah padam untuk bertanqih. Terdapat dorongan | adekuat | untuk senantiasa berpihak pada kebenaran dan keadilan. Selal | 83 % |
an sendiri. Oleh karena itu, sekiranya ditemukan sebuah teks | agama | baik di dalam al-Qur`an maupun al-hadits (apalagi di dalam t | 27 % |
kulluha raji’atun ila mashalih al-’ibad” seluruh ketentuan | agama | diarahkan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat manusia | 64 % |
anusia . Dengan ini, maka kemaslahatan itu merupakan ajaran | agama | yang tsawabit (tidak berubah, pokok, dan universal), sementa | 64 % |
ra wujud pelaksanaan cita kemaslahatan itu merupakan perkara | agama | yang mutaghayyir (berubah-berubah mengikuti perubahan alur s | 65 % |
akh selalu hadir untuk terus-menerus memperbaharui teks-teks | agama | yang tidak lagi merepresentasikan prinsip-prinsip dasar Isla | 73 % |
tuk menyulih dan mengamandemen sejumlah ketentuan “dogmatik” | agama | yang menyangkut perkara-perkara publik, baik dalam al-Qur`an | 74 % |
i karya agung Allah Swt. Allah menciptakan akal sesungguhnya | agar | manusia sanggup memilah dan memilih mana-mana tindakan yang | 93 % |
yang tidak apresiatif bahkan merendahkan akal sebagai karya | agung | Allah Swt. Allah menciptakan akal sesungguhnya agar manusia | 93 % |
ologi (ushul fikih) klasik tanpa cacat epistemologis apapun. | ajakan | sejumlah ulama Indonesia untuk mengubah pola bermadzhab dari | 3 % |
i setiap perundang-undangan syari’at Islam. Ini bukan karena | ajaran | Islam memang perlu dicocok-cocokkan secara opurtunistik deng | 62 % |
umat manusia . Dengan ini, maka kemaslahatan itu merupakan | ajaran | agama yang tsawabit (tidak berubah, pokok, dan universal), s | 64 % |
ukan terhadap teks al-Qur`an yang mengandung prinsip-prinsip | ajaran | yang universal, ajaran mana telah melintasi ruang dan waktu, | 66 % |
ur`an yang mengandung prinsip-prinsip ajaran yang universal, | ajaran | mana telah melintasi ruang dan waktu, mengatasi pelbagai etn | 67 % |
n konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta | akademis | kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan k | 1 % |
n konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta | akademis | kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan k | 7 % |
ologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan | akal | publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan | 2 % |
ologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan | akal | publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan | 8 % |
relevan. Ditegaskan bahwa ketika terjadi pertentangan antara | akal | publik dan bunyi harfiah teks ajaran, metodologi lampau sela | 9 % |
metodologi lampau selalu mengambil cara penundukan terhadap | akal | publik. 2 Metodologi klasik kurang hirau terhadap kemampua | 9 % |
i al-’Aql al-Mujtama’ Kaidah ini hendak menyatakan bahwa | akal | publik memiliki kewenangan untuk menyulih dan mengamandemen | 74 % |
dalam al-Sunnah. Sehingga ketika terjadi pertentangan antara | akal | publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka akal publik be | 75 % |
an antara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka | akal | publik berotoritas untuk mengedit, menyempurnakan, dan memod | 75 % |
si pelbagai kekeliruan dan menyempurnakan segala kekurangan. | akal | publik dan bukan akal privat ini dibutuhkan tentu untuk meng | 84 % |
dan menyempurnakan segala kekurangan. Akal publik dan bukan | akal | privat ini dibutuhkan tentu untuk menghindari oligarki penda | 84 % |
asik maupun yang kontemporer yang terus menerus mendevaluasi | akal | di bawah kedigdayaan teks. Baik kalangan Asy’ariyah maupun M | 87 % |
y’ariyah maupun Mu’tazilah hakekatnya sama-sama memposisikan | akal | sebagai pengelola data-teks, sementara data-teks merupakan p | 87 % |
ta-teks merupakan pangkal atau asal. Sebagai pengelola, maka | akal | tidak bisa bertindak terlampau jauh, kecuali hanya untuk mel | 88 % |
ng-barang irrasional yang ada dalam al-Qur`an dan al-Sunnah. | akal | hanya berguna untuk membuka tabir kegelapan teks-teks dhanni | 89 % |
an teks-teks dhanniyat al-Qur`an saja. Di tangan Mu’tazilah, | akal | hanya berfungsi untuk menakwil ayat-ayat yang mutasyabih. Ak | 89 % |
al hanya berfungsi untuk menakwil ayat-ayat yang mutasyabih. | akal | tidak cukup percaya diri untuk melakukan peninjauan ulang ap | 90 % |
tergolong qath’iyat dari sudut struktur gramatika bahasanya. | akal | manusia dalam buku-buku teologi klasik telah diletakkan seba | 90 % |
ologi klasik telah diletakkan sebagai sub-ordinat dari teks. | akal | mengalami penyusutan peran. Seolah-olah akal manusia itu beg | 91 % |
inat dari teks. Akal mengalami penyusutan peran. Seolah-olah | akal | manusia itu begitu rendah, sehingga kalau dibiarkan maka man | 91 % |
u saja sebuah sikap yang tidak apresiatif bahkan merendahkan | akal | sebagai karya agung Allah Swt. Allah menciptakan akal sesung | 93 % |
dahkan akal sebagai karya agung Allah Swt. Allah menciptakan | akal | sesungguhnya agar manusia sanggup memilah dan memilih mana-m | 93 % |
na pula perbuatan yang buruk. Menurut saya, sekali lagi, | akal | publik harus diberi posisi yang penting. Akal publik tidak c | 94 % |
, sekali lagi, akal publik harus diberi posisi yang penting. | akal | publik tidak cukup hanya tampil sebagai pengelola data-teks. | 94 % |
data-teks. Menyangkut perkara-perkara mu’amalah yang mundan, | akal | publik perlu mendapatkan wewenang untuk mengevaluasi efektiv | 95 % |
sebuah teks di dalam mengatasi perkara-perkara publik, maka | akal | publik mesti mempertimbangkan ulang ketentuan tersebut. Akal | 97 % |
akal publik mesti mempertimbangkan ulang ketentuan tersebut. | akal | publik bertugas untuk mengeluarkan spirit dasar Islam dari l | 97 % |
geluarkan spirit dasar Islam dari lipatan huruf-huruf agama. | akal | publik mempunyai tanggungjawab moral untuk mentanqih ayat-ay | 97 % |
ruksi kaidah-kaidah ushul ini niscaya produk pemikiran Islam | akan | lebih solutif bagi problem-problem kemanusiaan yang terus me | 14 % |
erutama dalam imu-ilmu terapan Islam semacam ushul fikih ini | akan | berkoresponden secara persis dengan kepiawaiannya di dalam m | 16 % |
rah pada keumuman lafdz ( al-taslim bi ‘umum al-lafdz) hanya | akan | menyebabkan kita senantiasa berada dalam kerangka makna ling | 31 % |
lisis yang berhenti hanya pada konteks linguistik saja tidak | akan | cukup memadai untuk mengejar kebenaran hakiki (maqashid asas | 42 % |
alam aksara sebuah teks. Pencapaian terhadap makna-makna itu | akan | meniscayakan adanya sebuah analisa yang bukan hanya terhadap | 43 % |
Sebab, keterpesonaan merupakan tindakan ideologis yang hanya | akan | menumpulkan kreativitas dalam pencarian makna obyektif. | 45 % |
suci yang sudah aus. Dengan cara ini, maka cita kemaslahatan | akan | senantiasa berkreasi untuk memproduksi formulasi bahkan teks | 53 % |
fikih al-Qur`an persis seperti dalam bunyi harfiahnya hanya | akan | mengantarkan al-Qur`an pada perangkap yang mematikan spirit | 81 % |
rendah, sehingga kalau dibiarkan maka manusia secara massal | akan | bertelanjang bulat di jalan-jalan sebagaimana binatang, berz | 92 % |
nhu), yaitu makna yang tak tercakup secara verbatim di dalam | aksara | sebuah teks. Pencapaian terhadap makna-makna itu akan menisc | 43 % |
tinbatkan hukum dari al-Qur`an dan al-Sunnah bukan huruf dan | aksaranya | melainkan dari maqashid yang dikandungnya. Yang menjadi aksi | 18 % |
berkulminasi pada teks adalah illegal, sebab teks merupakan | aksis | dari seluruh cara pemecahan problem. Tentu saja ini merup | 12 % |
anya melainkan dari maqashid yang dikandungnya. Yang menjadi | aksis | adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat dan bukan legis | 18 % |
engabaian realitas merupakan ciri umum dari metodologi lama. | aktivitas | ijtihad selalu digerakkan di dalam areal teks. Ijtihad yang | 11 % |
katakan sebagai ayat dengan kedudukan paling tinggi (al-ayat | al-’ala | qiymatan), atau al-ayat al-ushuliyat atau ushul al-Qur`an. A | 67 % |
n prinsip-prinsip dasar Islam. 3 Tanqih al-Nushush bi | al-’aql | al-Mujtama’ Kaidah ini hendak menyatakan bahwa akal publ | 74 % |
bdissalam, “innama al-takalif kulluha raji’atun ila mashalih | al-’ibad” | seluruh ketentuan agama diarahkan untuk sebesar-besarnya kem | 64 % |
an kemaslahatan bagi sebesar-besarnya umat manusia. 1. | al-’ibrah | bi al-maqashid la bi al-alfadz. Kaidah ini berarti bahwa | 17 % |
an di atas merupakan antipoda dari kaidah lama yang berbunyi | al-’ibrah | bi khushûsh al-sabab lâ bi ‘umûm al-lafadz. Bahwa yang harus | 29 % |
fat tehnis-operasional--saya suka menyebutnya dengan al-ayat | al-adna | qiymatan atau al-ayat al-furu’iyyat atau fikih al-Qur`an, se | 71 % |
gan kedudukan paling tinggi (al-ayat al-’ala qiymatan), atau | al-ayat | al-ushuliyat atau ushul al-Qur`an. Ayat-ayat seperti ini mem | 68 % |
ng bersifat tehnis-operasional--saya suka menyebutnya dengan | al-ayat | al-adna qiymatan atau al-ayat al-furu’iyyat atau fikih al-Qu | 71 % |
--saya suka menyebutnya dengan al-ayat al-adna qiymatan atau | al-ayat | al-furu’iyyat atau fikih al-Qur`an, seperti ayat yang berbic | 71 % |
senantiasa berada dalam kerangka makna linguistik (fiy ithar | al-dalalah | al-lughawiyah)”, tandas Nahr Hamid Abu Zaid dalam bukunya ya | 32 % |
uka menyebutnya dengan al-ayat al-adna qiymatan atau al-ayat | al-furu’iyyat | atau fikih al-Qur`an, seperti ayat yang berbicara tentang be | 71 % |
a ditemukan sebuah teks agama baik di dalam al-Qur`an maupun | al-hadits | (apalagi di dalam tafsir dan fikih) yang tidak lagi menyuara | 28 % |
asi efektivitas dan kinerja beberapa ketentuan al-Qur`an dan | al-hadits | di dalam mengimpelementasikan maqashid al-syari’ah di bumi r | 95 % |
ertitelkan Fashl al-Maqal fiy Taqrir Ma Bayna al-Syari’at wa | al-hikmah | min al-Ittishal menyatakan bahwa hikmah (kemaslahatan) itu m | 60 % |
, dan sebagainya. Ayat-ayat tersebut dalam konteks sekarang, | alih-alih | bisa menyelesaikan masalah-masalah kemanusian, yang terjadi | 77 % |
hl al-Maqal fiy Taqrir Ma Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah min | al-ittishal | menyatakan bahwa hikmah (kemaslahatan) itu merupakan saudara | 60 % |
atan dapat berubah karena perubahan konteks, maka dapat saja | allah | menyuruh berbuat sesuatu karena diketahui mengandung maslaha | 58 % |
rbuat sesuatu karena diketahui mengandung maslahat, kemudian | allah | melarangnya pada waktu kemudian karena diketahui di lapangan | 59 % |
saudara kandung dari syari’at-syari’at yang telah ditetapkan | allah | Swt. Teks suci tanpa kemaslahatan memang tak berfungsi ap | 60 % |
tidak apresiatif bahkan merendahkan akal sebagai karya agung | allah | Swt. Allah menciptakan akal sesungguhnya agar manusia sanggu | 93 % |
iatif bahkan merendahkan akal sebagai karya agung Allah Swt. | allah | menciptakan akal sesungguhnya agar manusia sanggup memilah d | 93 % |
emaslahatan. Ibnu Rusyd dalam bukunya yang bertitelkan Fashl | al-maqal | fiy Taqrir Ma Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah min al-Ittishal | 59 % |
an bagi sebesar-besarnya umat manusia. 1. al-’Ibrah bi | al-maqashid | la bi al-alfadz. Kaidah ini berarti bahwa yang mesti menj | 17 % |
carian makna obyektif. 2 Jawaz Naskh al-Nushush bi | al-mashlahah | Terdapat sebait pertanyaan ontologis dalam ranah ushul fikih | 46 % |
p-prinsip dasar Islam. 3 Tanqih al-Nushush bi al-’Aql | al-mujtama’ | Kaidah ini hendak menyatakan bahwa akal publik memiliki kewe | 74 % |
a untuk menemukan maqashid al-syari’ah. Syathibi di dalam | al-muwafaqat | mendengungkan sebuah pernyataan genial bahwa seorang mujtahi | 21 % |
rsalisme dan ketidak-berhinggan kebenaran huruf (shalahiyyah | al-nansh | dalaliyan li kulli zaman wa makan). Sehingga kita tidak perl | 38 % |
idak bisa dinasakh ini, seperti ayat “wa idza hakamtum bayna | al-nas | an tahkumu bi al’adl”, “I’dilu huwa aqrabu li al-taqwa”, dan | 69 % |
itas dalam pencarian makna obyektif. 2 Jawaz Naskh | al-nushush | bi al-Mashlahah Terdapat sebait pertanyaan ontologis dala | 46 % |
ntuan teks suci. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan “naskh | al-nushush | bi al-mashlahah”. Sebagai spirit dari teks (nushush) al-Qur` | 51 % |
representasikan prinsip-prinsip dasar Islam. 3 Tanqih | al-nushush | bi al-’Aql al-Mujtama’ Kaidah ini hendak menyatakan bahw | 74 % |
Pemahaman tentang konteks yang lebih dari sekadar ilmu sabab | al-nuzul | dalam pengertian klasik itu merupakan prasyarat utama untuk | 20 % |
rhatian seorang mujtahid di dalam mengistinbatkan hukum dari | al-qur`an | dan al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya melainkan dari maqas | 17 % |
ashid inilah yang sejatinya menjadi sumber inspirasi tatkala | al-qur`an | hendak melabuhkan ketentuan-ketentuan legal-spesifik di lapa | 26 % |
r dari segala sumber hukum dalam Islam, termasuk sumber dari | al-qur`an | sendiri. Oleh karena itu, sekiranya ditemukan sebuah teks ag | 27 % |
ena itu, sekiranya ditemukan sebuah teks agama baik di dalam | al-qur`an | maupun al-hadits (apalagi di dalam tafsir dan fikih) yang ti | 28 % |
sini adalah bahwa nasakh tidak dapat dilakukan terhadap teks | al-qur`an | yang mengandung prinsip-prinsip ajaran yang universal, ajara | 66 % |
n logika nasakh sendiri. Sementara ayat-ayat mu’amalah dalam | al-qur`an | yang bersifat tehnis-operasional--saya suka menyebutnya deng | 70 % |
ik” agama yang menyangkut perkara-perkara publik, baik dalam | al-qur`an | maupun dalam al-Sunnah. Sehingga ketika terjadi pertentangan | 75 % |
ebuah fikih, ayat-ayat tersebut sepenuhnya merupakan respons | al-qur`an | terhadap kasus-kasus tertentu yang berlangsung dalam lokus t | 79 % |
an, dan penyulingan. Dalam tataran itu, universalisasi fikih | al-qur`an | tanpa melalui proses tanqih harus dihindari. Sebab, membiark | 81 % |
lalui proses tanqih harus dihindari. Sebab, membiarkan fikih | al-qur`an | persis seperti dalam bunyi harfiahnya hanya akan mengantarka | 81 % |
ersis seperti dalam bunyi harfiahnya hanya akan mengantarkan | al-qur`an | pada perangkap yang mematikan spirit dan elan vital al-Qur`a | 81 % |
sionalisasi terhadap barang-barang irrasional yang ada dalam | al-qur`an | dan al-Sunnah. Akal hanya berguna untuk membuka tabir kegela | 88 % |
ya berguna untuk membuka tabir kegelapan teks-teks dhanniyat | al-qur`an | saja. Di tangan Mu’tazilah, akal hanya berfungsi untuk menak | 89 % |
ntuk mengevaluasi efektivitas dan kinerja beberapa ketentuan | al-qur`an | dan al-Hadits di dalam mengimpelementasikan maqashid al-syar | 95 % |
ntipoda dari kaidah lama yang berbunyi al-’ibrah bi khushûsh | al-sabab | lâ bi ‘umûm al-lafadz. Bahwa yang harus menjadi pertimbangan | 29 % |
g mujtahid di dalam mengistinbatkan hukum dari al-Qur`an dan | al-sunnah | bukan huruf dan aksaranya melainkan dari maqashid yang dikan | 17 % |
dikenal dengan istilah maqashid al-syari’ah. Begitu maqashid | al-syari’ah | sudah dicapai, maka teks harus segera dilepaskan dari kontek | 23 % |
iran sepanjang masa. Dalam khazanah ushul fikih, maqashid | al-syari’ah | itu adalah keadilan, kemaslahatan, kesetaraan, hikmah-kebija | 25 % |
legal-spesifik di lapangan. Dengan perkataan lain, maqashid | al-syari’ah | adalah sumber dari segala sumber hukum dalam Islam, termasuk | 27 % |
ah, maka ia batal atau dapat dibatalkan demi logika maqashid | al-syari’ah | itu. Kaidah yang diajukan di atas merupakan antipoda dari | 28 % |
g melingkupi sejarah kehadiran teks. Maka, kejarlah maqashid | al-syari’ah | dengan pelbagai cara, tanpa terlalu banyak terpesona terhada | 44 % |
-Qur`an dan al-Hadits di dalam mengimpelementasikan maqashid | al-syari’ah | di bumi realitas. Sekiranya dari data lapangan diketahui ket | 96 % |
bukunya yang bertitelkan Fashl al-Maqal fiy Taqrir Ma Bayna | al-syari’at | wa al-Hikmah min al-Ittishal menyatakan bahwa hikmah (kemasl | 60 % |
narik mendengar pernyataan Izzuddin Ibnu Abdissalam, “innama | al-takalif | kulluha raji’atun ila mashalih al-’ibad” seluruh ketentuan | 63 % |
s suatu peristiwa yang khusus. “Pasrah pada keumuman lafdz ( | al-taslim | bi ‘umum al-lafdz) hanya akan menyebabkan kita senantiasa be | 31 % |
Membangun Ushul Fikih | alternatif | Mestinya, metodologi Islam klasik diletakkan dalam konfigura | 0 % |
nya, jangan lupa bahwa itu hanya sebagian kaidah ushul fikih | alternatif | yang bisa disodorkan untuk membenahi kelemahan-kelemahan met | 98 % |
lasik mengatakan bahwa yang dimenangkan adalah nash. Bahkan, | al-thufi | menyatakan bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan antara n | 47 % |
agama yang mutaghayyir (berubah-berubah mengikuti perubahan | alur | sejarah dan peradaban).Maka, yang perlu mendapatkan proviso | 65 % |
dukan paling tinggi (al-ayat al-’ala qiymatan), atau al-ayat | al-ushuliyat | atau ushul al-Qur`an. Ayat-ayat seperti ini memang tidak ban | 68 % |
spirit dari teks (nushush) al-Qur`an, kemaslahatan merupakan | amunisi | untuk mengontrol balik dari keberadaan teks dengan menganuli | 52 % |
sa dinasakh ini, seperti ayat “wa idza hakamtum bayna al-nas | an | tahkumu bi al’adl”, “I’dilu huwa aqrabu li al-taqwa”, dan se | 69 % |
ian terhadap makna-makna itu akan meniscayakan adanya sebuah | analisa | yang bukan hanya terhadap struktur kalimat per se melainkan | 43 % |
tur kalimat per se melainkan yang justeru fondasional adalah | analisa | kelas dan struktur sosial dan budaya yang melingkupi sejarah | 44 % |
shanam yu’bad (patung yang disembah). Segera tampak bahwa | analisis | yang berhenti hanya pada konteks linguistik saja tidak akan | 41 % |
kebenaran hakiki (maqashid asasiyah) yang diusung oleh teks. | analisis | mestinya dilanjutkan pada penyingkapan makna yang terdiamkan | 42 % |
k lagi relevan. Ditegaskan bahwa ketika terjadi pertentangan | antara | akal publik dan bunyi harfiah teks ajaran, metodologi lampau | 9 % |
ontologis dalam ranah ushul fikih, jika terjadi pertentangan | antara | teks (nash) dan maslahat mana yang mesti dimenangkan? Dalam | 46 % |
al-Thufi menyatakan bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan | antara | nash dan mashlahah, karena apa yang diujarkan oleh nash adal | 48 % |
maupun dalam al-Sunnah. Sehingga ketika terjadi pertentangan | antara | akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka akal publ | 75 % |
d al-syari’ah itu. Kaidah yang diajukan di atas merupakan | antipoda | dari kaidah lama yang berbunyi al-’ibrah bi khushûsh al-saba | 29 % |
ngkin terjadi pertentangan antara nash dan mashlahah, karena | apa | yang diujarkan oleh nash adalah kemaslahatan itu sendiri. Se | 48 % |
ah Swt. Teks suci tanpa kemaslahatan memang tak berfungsi | apa-apa | buat manusia, kecuali untuk teks itu sendiri. Teks baru berm | 61 % |
al tidak cukup percaya diri untuk melakukan peninjauan ulang | apalagi | mempertanyakan ayat-ayat partikular yang tergolong qath’iyat | 90 % |
nusia sendiri. Manusia tidak memiliki reputasi dan kedudukan | apapun | dalam ruang ushul fikih klasik, kecuali sebagai sasaran huku | 10 % |
nuh, dan sebagainya. Ini, tentu saja sebuah sikap yang tidak | apresiatif | bahkan merendahkan akal sebagai karya agung Allah Swt. Allah | 93 % |
za hakamtum bayna al-nas an tahkumu bi al’adl”, “I’dilu huwa | aqrabu | li al-taqwa”, dan sebagainya. Nasakh terhadap ayat yang demi | 69 % |
uan yang memadai menyangkut tradisi dan kebiasaan masyarakat | arab | sebagai masyarakat awal yang menjadi sasaran wahyu. Pengetah | 22 % |
etodologi lama. Aktivitas ijtihad selalu digerakkan di dalam | areal | teks. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada teks adalah illeg | 12 % |
s mendevaluasi akal di bawah kedigdayaan teks. Baik kalangan | asy’ariyah | maupun Mu’tazilah hakekatnya sama-sama memposisikan akal seb | 87 % |
logika maqashid al-syari’ah itu. Kaidah yang diajukan di | atas | merupakan antipoda dari kaidah lama yang berbunyi al-’ibrah | 29 % |
a memiliki kedudukan dan derajat yang sama. Pandangan di | atas | sangat berbeda dengan pandangan mainstream, baik yang klasik | 86 % |
ita etik-moral dari sebuah ayat dan bukan legislasi spesifik | atau | formulasi literalnya. Nah, untuk mengetahui maqashid ini mak | 18 % |
kan untuk menimba dan memperoleh prinsip-prinsip dasar Islam | atau | yang dikenal dengan istilah maqashid al-syari’ah. Begitu maq | 23 % |
g tidak lagi menyuarakan maqashid al-syari’ah, maka ia batal | atau | dapat dibatalkan demi logika maqashid al-syari’ah itu. Ka | 28 % |
t dengan kedudukan paling tinggi (al-ayat al-’ala qiymatan), | atau | al-ayat al-ushuliyat atau ushul al-Qur`an. Ayat-ayat seperti | 68 % |
tinggi (al-ayat al-’ala qiymatan), atau al-ayat al-ushuliyat | atau | ushul al-Qur`an. Ayat-ayat seperti ini memang tidak banyak j | 68 % |
ional--saya suka menyebutnya dengan al-ayat al-adna qiymatan | atau | al-ayat al-furu’iyyat atau fikih al-Qur`an, seperti ayat yan | 71 % |
a dengan al-ayat al-adna qiymatan atau al-ayat al-furu’iyyat | atau | fikih al-Qur`an, seperti ayat yang berbicara tentang bentuk- | 71 % |
vat ini dibutuhkan tentu untuk menghindari oligarki pendapat | atau | otoritarianisme dalam merumuskan dan memecahkan urusan-urusa | 84 % |
agaimanapun di dalam ruang publik tidak boleh ada satu pihak | atau | golongan dalam masyarakat yang berhak memaksa pandangannya p | 85 % |
i pengelola data-teks, sementara data-teks merupakan pangkal | atau | asal. Sebagai pengelola, maka akal tidak bisa bertindak terl | 88 % |
melarangnya pada waktu kemudian karena diketahui di lapangan | aturan | tersebut tidak lagi menyuarakan kemaslahatan. Ibnu Rusyd dal | 59 % |
kut tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab sebagai masyarakat | awal | yang menjadi sasaran wahyu. Pengetahuan tentang konteks tent | 22 % |
. Yang menjadi aksis adalah cita-cita etik-moral dari sebuah | ayat | dan bukan legislasi spesifik atau formulasi literalnya. Nah, | 18 % |
tnis dan keyakinan. Ayat-ayat ini ingin saya katakan sebagai | ayat | dengan kedudukan paling tinggi (al-ayat al-’ala qiymatan), a | 67 % |
ahkan bisa dihitung dengan jari tangan. Masuk dalam kategori | ayat | yang tidak bisa dinasakh ini, seperti ayat “wa idza hakamtum | 68 % |
uk dalam kategori ayat yang tidak bisa dinasakh ini, seperti | ayat | “wa idza hakamtum bayna al-nas an tahkumu bi al’adl”, “I’dil | 69 % |
lu huwa aqrabu li al-taqwa”, dan sebagainya. Nasakh terhadap | ayat | yang demikian bukan saja berpunggungan dengan semangat kehad | 69 % |
tan atau al-ayat al-furu’iyyat atau fikih al-Qur`an, seperti | ayat | yang berbicara tentang bentuk-bentuk hukuman (‘uqubat), sank | 71 % |
buka kemungkinan untuk dinasakh dan difalsifikasi, sekiranya | ayat | tadi tidak efektif lagi sebagai sarana untuk mewujudkan cita | 72 % |
uhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti | ayat | hudud (seperti potong tangan, rajam, dan sebagainya), waris, | 76 % |
asi ruang dan waktu, mengatasi pelbagai etnis dan keyakinan. | ayat-ayat | ini ingin saya katakan sebagai ayat dengan kedudukan paling | 67 % |
a qiymatan), atau al-ayat al-ushuliyat atau ushul al-Qur`an. | ayat-ayat | seperti ini memang tidak banyak jumlahnya, bahkan bisa dihit | 68 % |
an juga bertentangan dengan logika nasakh sendiri. Sementara | ayat-ayat | mu’amalah dalam al-Qur`an yang bersifat tehnis-operasional-- | 70 % |
fikasi ini terasa sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan | ayat-ayat | partikular, seperti ayat hudud (seperti potong tangan, rajam | 76 % |
otong tangan, rajam, dan sebagainya), waris, dan sebagainya. | ayat-ayat | tersebut dalam konteks sekarang, alih-alih bisa menyelesaika | 77 % |
yid bi al-’aql, takhshish bi al-’aql, dan tabyin bi al-’aql. | ayat-ayat | semacam itu, sebagaimana dikatakan sebelumnya disebut sebaga | 78 % |
umnya disebut sebagai fikih al-Qur`an. Sebagai sebuah fikih, | ayat-ayat | tersebut sepenuhnya merupakan respons al-Qur`an terhadap kas | 79 % |
s tertentu pula, masyarakat Arab. Dengan demikian, kebenaran | ayat-ayat | tadi bersifat relatif dan tentatif, sehingga memerlukan peny | 80 % |
a. Di tangan Mu’tazilah, akal hanya berfungsi untuk menakwil | ayat-ayat | yang mutasyabih. Akal tidak cukup percaya diri untuk melakuk | 89 % |
diri untuk melakukan peninjauan ulang apalagi mempertanyakan | ayat-ayat | partikular yang tergolong qath’iyat dari sudut struktur gram | 90 % |
a. Akal publik mempunyai tanggungjawab moral untuk mentanqih | ayat-ayat | yang problematik. Akhirnya, jangan lupa bahwa itu hanya s | 98 % |
anisme dalam merumuskan dan memecahkan urusan-urusan publik. | bagaimanapun | di dalam ruang publik tidak boleh ada satu pihak atau golong | 85 % |
ushul ini niscaya produk pemikiran Islam akan lebih solutif | bagi | problem-problem kemanusiaan yang terus melilit. Karena, beta | 14 % |
ersis dengan kepiawaiannya di dalam menciptakan kemaslahatan | bagi | sebesar-besarnya umat manusia. 1. al-’Ibrah bi al-maqa | 16 % |
. Teks baru bermakna sekiranya menyertakan cita kemaslahatan | bagi | umat manusia. Kemaslahatan adalah fondasi paling pokok dari | 61 % |
ng berbicara tentang bentuk-bentuk hukuman (‘uqubat), sanksi | bagi | para pelaku pidana (hudud), bilangan waris dan sebagainya, m | 71 % |
n masalah-masalah kemanusian, yang terjadi justeru merupakan | bagian | dari masalah yang harus dipecahkan melalui prosedur tanqih y | 78 % |
akademis kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan | bahkan | kerapuhan metodolgi klasik tersebut. Metodologi lama terlalu | 1 % |
akademis kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan | bahkan | kerapuhan metodolgi klasik tersebut. 1 Metodologi lama ter | 7 % |
ahatan akan senantiasa berkreasi untuk memproduksi formulasi | bahkan | teks keagamaan baru di tengah kegamangan dan kegagapan formu | 53 % |
Qur`an. Ayat-ayat seperti ini memang tidak banyak jumlahnya, | bahkan | bisa dihitung dengan jari tangan. Masuk dalam kategori ayat | 68 % |
bagainya. Ini, tentu saja sebuah sikap yang tidak apresiatif | bahkan | merendahkan akal sebagai karya agung Allah Swt. Allah mencip | 93 % |
bermadzhab dari yang qawliy ke manhaji mengandung pengertian | bahwa | metodologi klasik yang telah dikerangkakan oleh para ulama d | 4 % |
rmalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Ditegaskan | bahwa | ketika terjadi pertentangan antara akal publik dan bunyi har | 9 % |
’Ibrah bi al-maqashid la bi al-alfadz. Kaidah ini berarti | bahwa | yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid di dalam mengi | 17 % |
di dalam al-Muwafaqat mendengungkan sebuah pernyataan genial | bahwa | seorang mujtahid diharuskan untuk melengkapi diri dengan pen | 21 % |
rbunyi al-’ibrah bi khushûsh al-sabab lâ bi ‘umûm al-lafadz. | bahwa | yang harus menjadi pertimbangan adalah keumuman lafadz, buka | 29 % |
para pengguna kaidah ini kerap terjebak pada suatu kenaifan. | bahwa | semakin harafiah seseorang membaca al-Qur`an, maka semakin d | 34 % |
dalah shanam yu’bad (patung yang disembah). Segera tampak | bahwa | analisis yang berhenti hanya pada konteks linguistik saja ti | 41 % |
pertanyaan ini, umumnya ulama ushul fikih klasik mengatakan | bahwa | yang dimenangkan adalah nash. Bahkan, al-Thufi menyatakan ba | 47 % |
wa yang dimenangkan adalah nash. Bahkan, al-Thufi menyatakan | bahwa | tidak mungkin terjadi pertentangan antara nash dan mashlahah | 47 % |
oleh nash adalah kemaslahatan itu sendiri. Sering disinyalir | bahwa | kemaslahatan yang diandaikan oleh manusia adalah kemaslahata | 48 % |
ng dipandang tidak lagi bersendikan kemaslahatan. Dijelaskan | bahwa | nasakh itu bukan hanya berlaku terhadap syari’at nabi-nabi t | 55 % |
uhammad karena tidak bermaslahat lagi. Tidaklah mustahil | bahwa | sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu tempat dan waktu | 57 % |
Ma Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah min al-Ittishal menyatakan | bahwa | hikmah (kemaslahatan) itu merupakan saudara kandung dari sya | 60 % |
aka, yang perlu mendapatkan proviso penegasan di sini adalah | bahwa | nasakh tidak dapat dilakukan terhadap teks al-Qur`an yang me | 66 % |
hush bi al-’Aql al-Mujtama’ Kaidah ini hendak menyatakan | bahwa | akal publik memiliki kewenangan untuk menyulih dan mengamand | 74 % |
ntanqih ayat-ayat yang problematik. Akhirnya, jangan lupa | bahwa | itu hanya sebagian kaidah ushul fikih alternatif yang bisa d | 98 % |
diri. Oleh karena itu, sekiranya ditemukan sebuah teks agama | baik | di dalam al-Qur`an maupun al-hadits (apalagi di dalam tafsir | 27 % |
uan “dogmatik” agama yang menyangkut perkara-perkara publik, | baik | dalam al-Qur`an maupun dalam al-Sunnah. Sehingga ketika terj | 75 % |
andangan di atas sangat berbeda dengan pandangan mainstream, | baik | yang klasik maupun yang kontemporer yang terus menerus mende | 86 % |
g terus menerus mendevaluasi akal di bawah kedigdayaan teks. | baik | kalangan Asy’ariyah maupun Mu’tazilah hakekatnya sama-sama m | 87 % |
manusia sanggup memilah dan memilih mana-mana tindakan yang | baik | dan mana-mana pula perbuatan yang buruk. Menurut saya, s | 94 % |
) al-Qur`an, kemaslahatan merupakan amunisi untuk mengontrol | balik | dari keberadaan teks dengan menganulir beberapa teks suci ya | 52 % |
Islam yang tidak lagi relevan. Oleh: Abd Moqsith Ghazali | banyak | pemikir Muslim memandang metodologi (ushul fikih) klasik tan | 3 % |
as pada tingkat pemecahan problem tersebut, maka ia tidaklah | banyak | guna dan manfaatnya. Kecanggihan sebuah metodologi terutama | 15 % |
erjudul al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah. Terdapat sekian | banyak | kritik terhadap kaidah konvensional ini. Misalnya, pertama, | 32 % |
nsional ini. Misalnya, pertama, kaidah ini dipandang terlalu | banyak | berkonsentrasi dan bergerak pada medan semantik dengan menep | 33 % |
lah maqashid al-syari’ah dengan pelbagai cara, tanpa terlalu | banyak | terpesona terhadap keindahan sebuah teks. Sebab, keterpesona | 45 % |
yat atau ushul al-Qur`an. Ayat-ayat seperti ini memang tidak | banyak | jumlahnya, bahkan bisa dihitung dengan jari tangan. Masuk da | 68 % |
istinbath yang telah lama dirisaukan. Tentu saja ada sekian | banyak | lagi kaidah ushul fikih yang perlu direformasi dengan menyer | 99 % |
kaidah ushul fikih yang perlu direformasi dengan menyertakan | banyak | orang yang berkompeten. Dengan cara ini, niscaya kita bisa m | 99 % |
u jauh, kecuali hanya untuk melakukan rasionalisasi terhadap | barang-barang | irrasional yang ada dalam al-Qur`an dan al-Sunnah. Akal hany | 88 % |
berkreasi untuk memproduksi formulasi bahkan teks keagamaan | baru | di tengah kegamangan dan kegagapan formulasi dan teks keagam | 53 % |
h syari’at Nabi Muhammad sendiri. Betapa syari’at Islam yang | baru | diundangkan, kerap dalam 3 sampai 5 tahun dianulir kembali o | 56 % |
i apa-apa buat manusia, kecuali untuk teks itu sendiri. Teks | baru | bermakna sekiranya menyertakan cita kemaslahatan bagi umat m | 61 % |
h) yang tidak lagi menyuarakan maqashid al-syari’ah, maka ia | batal | atau dapat dibatalkan demi logika maqashid al-syari’ah itu. | 28 % |
u man qablana) saja, tetapi melainkan juga berlangsung dalam | batang | tubuh syari’at Nabi Muhammad sendiri. Betapa syari’at Islam | 56 % |
pun yang kontemporer yang terus menerus mendevaluasi akal di | bawah | kedigdayaan teks. Baik kalangan Asy’ariyah maupun Mu’tazilah | 87 % |
dalam bukunya yang bertitelkan Fashl al-Maqal fiy Taqrir Ma | bayna | al-Syari’at wa al-Hikmah min al-Ittishal menyatakan bahwa hi | 60 % |
yang tidak bisa dinasakh ini, seperti ayat “wa idza hakamtum | bayna | al-nas an tahkumu bi al’adl”, “I’dilu huwa aqrabu li al-taqw | 69 % |
ntuk mengontrol balik dari keberadaan teks dengan menganulir | beberapa | teks suci yang sudah aus. Dengan cara ini, maka cita kemasla | 52 % |
. Semua pelajar Islam mesti tahu cerita tentang penganuliran | beberapa | syari’at yang dipandang tidak lagi bersendikan kemaslahatan. | 55 % |
dapatkan wewenang untuk mengevaluasi efektivitas dan kinerja | beberapa | ketentuan al-Qur`an dan al-Hadits di dalam mengimpelementasi | 95 % |
Islam atau yang dikenal dengan istilah maqashid al-syari’ah. | begitu | maqashid al-syari’ah sudah dicapai, maka teks harus segera d | 23 % |
kal mengalami penyusutan peran. Seolah-olah akal manusia itu | begitu | rendah, sehingga kalau dibiarkan maka manusia secara massal | 91 % |
melabuhkan prinsip-prinsip dasar Islam itu di tempat dan di | belahan | bumi non-Arab. Maka, kontekstualisasi, dekontekstualisasi, d | 24 % |
at atau fikih al-Qur`an, seperti ayat yang berbicara tentang | bentuk-bentuk | hukuman (‘uqubat), sanksi bagi para pelaku pidana (hudud), b | 71 % |
im bi ‘umum al-lafdz) hanya akan menyebabkan kita senantiasa | berada | dalam kerangka makna linguistik (fiy ithar al-dalalah al-lug | 31 % |
qih ini hakekatnya inheren di dalam diri setiap manusia yang | berakal | budi. Dalam jiwa manusia terdapat impuls abadi yang tak pern | 82 % |
1. al-’Ibrah bi al-maqashid la bi al-alfadz. Kaidah ini | berarti | bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid di dalam | 17 % |
edudukan dan derajat yang sama. Pandangan di atas sangat | berbeda | dengan pandangan mainstream, baik yang klasik maupun yang ko | 86 % |
an). Sehingga kita tidak perlu kaget ketika ushul fikih lama | berbicara | tentang lafdz dalam porsi yang demikian besar. Segala jenis | 39 % |
l-ayat al-furu’iyyat atau fikih al-Qur`an, seperti ayat yang | berbicara | tentang bentuk-bentuk hukuman (‘uqubat), sanksi bagi para pe | 71 % |
bah karena perubahan konteks, maka dapat saja Allah menyuruh | berbuat | sesuatu karena diketahui mengandung maslahat, kemudian Allah | 58 % |
ng diajukan di atas merupakan antipoda dari kaidah lama yang | berbunyi | al-’ibrah bi khushûsh al-sabab lâ bi ‘umûm al-lafadz. Bahwa | 29 % |
g ushul fikih klasik, kecuali sebagai sasaran hukum yang tak | berdaya | (mukallaf) 3 Pemberhalaan teks dan pengabaian realitas mer | 11 % |
tapkan Allah Swt. Teks suci tanpa kemaslahatan memang tak | berfungsi | apa-apa buat manusia, kecuali untuk teks itu sendiri. Teks b | 61 % |
s dhanniyat al-Qur`an saja. Di tangan Mu’tazilah, akal hanya | berfungsi | untuk menakwil ayat-ayat yang mutasyabih. Akal tidak cukup p | 89 % |
tama, kaidah ini dipandang terlalu banyak berkonsentrasi dan | bergerak | pada medan semantik dengan menepikan peranan sabab al-nuzul. | 33 % |
rrasional yang ada dalam al-Qur`an dan al-Sunnah. Akal hanya | berguna | untuk membuka tabir kegelapan teks-teks dhanniyat al-Qur`an | 89 % |
fikasikannya. Modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan ketika | berhadapan | dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat hudud (seperti pot | 76 % |
dak boleh ada satu pihak atau golongan dalam masyarakat yang | berhak | memaksa pandangannya pada orang lain, karena pandangannya di | 85 % |
(patung yang disembah). Segera tampak bahwa analisis yang | berhenti | hanya pada konteks linguistik saja tidak akan cukup memadai | 41 % |
-lughawiyah)”, tandas Nahr Hamid Abu Zaid dalam bukunya yang | berjudul | al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah. Terdapat sekian banyak | 32 % |
ini. Misalnya, pertama, kaidah ini dipandang terlalu banyak | berkonsentrasi | dan bergerak pada medan semantik dengan menepikan peranan sa | 33 % |
ma dalam imu-ilmu terapan Islam semacam ushul fikih ini akan | berkoresponden | secara persis dengan kepiawaiannya di dalam menciptakan kema | 16 % |
aus. Dengan cara ini, maka cita kemaslahatan akan senantiasa | berkreasi | untuk memproduksi formulasi bahkan teks keagamaan baru di te | 53 % |
ad selalu digerakkan di dalam areal teks. Ijtihad yang tidak | berkulminasi | pada teks adalah illegal, sebab teks merupakan aksis dari se | 12 % |
ndikan kemaslahatan. Dijelaskan bahwa nasakh itu bukan hanya | berlaku | terhadap syari’at nabi-nabi terdahulu (syar’u man qablana) s | 55 % |
i terdahulu (syar’u man qablana) saja, tetapi melainkan juga | berlangsung | dalam batang tubuh syari’at Nabi Muhammad sendiri. Betapa sy | 56 % |
rupakan respons al-Qur`an terhadap kasus-kasus tertentu yang | berlangsung | dalam lokus tertentu pula, masyarakat Arab. Dengan demikian, | 79 % |
apapun. Ajakan sejumlah ulama Indonesia untuk mengubah pola | bermadzhab | dari yang qawliy ke manhaji mengandung pengertian bahwa meto | 3 % |
-apa buat manusia, kecuali untuk teks itu sendiri. Teks baru | bermakna | sekiranya menyertakan cita kemaslahatan bagi umat manusia. K | 61 % |
penanganan. Dengan segala keterbatasan, tulisan ini kiranya | bermaksud | untuk mereformasi kaidah-kaidah ushul fikih yang problematis | 13 % |
pai 5 tahun dianulir kembali oleh Nabi Muhammad karena tidak | bermaslahat | lagi. Tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai masl | 57 % |
k bermaslahat lagi. Tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang | bernilai | maslahat dalam suatu tempat dan waktu tertentu, kemudian ber | 57 % |
al publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka akal publik | berotoritas | untuk mengedit, menyempurnakan, dan memodifikasikannya. Modi | 75 % |
untuk bertanqih. Terdapat dorongan adekuat untuk senantiasa | berpihak | pada kebenaran dan keadilan. Selalu ada kecenderungan untuk | 83 % |
an sebagainya. Nasakh terhadap ayat yang demikian bukan saja | berpunggungan | dengan semangat kehadiran Islam awal, melainkan juga bertent | 69 % |
makin dekat ia pada kebenaran. Sebaliknya, semakin jauh yang | bersangkutan | dari makna literal al-Qur`an, maka ia semakin terlempar dari | 34 % |
ang penganuliran beberapa syari’at yang dipandang tidak lagi | bersendikan | kemaslahatan. Dijelaskan bahwa nasakh itu bukan hanya berlak | 55 % |
secara sepenuh hati.Secara pribadi, saya tidak dalam posisi | bersetuju | dengan jawaban di atas. Pada hemat saya, maslahat memiliki o | 51 % |
susnya sebab. Maka, jika suatu nash menggunakan redaksi yang | bersifat | umum, maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan nash ter | 30 % |
sendiri. Sementara ayat-ayat mu’amalah dalam al-Qur`an yang | bersifat | tehnis-operasional--saya suka menyebutnya dengan al-ayat al- | 70 % |
, masyarakat Arab. Dengan demikian, kebenaran ayat-ayat tadi | bersifat | relatif dan tentatif, sehingga memerlukan penyempurnaan, pem | 80 % |
ah, sehingga kalau dibiarkan maka manusia secara massal akan | bertelanjang | bulat di jalan-jalan sebagaimana binatang, berzina beramai-r | 92 % |
ggungan dengan semangat kehadiran Islam awal, melainkan juga | bertentangan | dengan logika nasakh sendiri. Sementara ayat-ayat mu’amalah | 70 % |
n pangkal atau asal. Sebagai pengelola, maka akal tidak bisa | bertindak | terlampau jauh, kecuali hanya untuk melakukan rasionalisasi | 88 % |
lagi menyuarakan kemaslahatan. Ibnu Rusyd dalam bukunya yang | bertitelkan | Fashl al-Maqal fiy Taqrir Ma Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah | 59 % |
mesti mempertimbangkan ulang ketentuan tersebut. Akal publik | bertugas | untuk mengeluarkan spirit dasar Islam dari lipatan huruf-hur | 97 % |
lai maslahat dalam suatu tempat dan waktu tertentu, kemudian | berubah | menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan waktu yang lain. Bila | 57 % |
lam suatu ruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat | berubah | karena perubahan konteks, maka dapat saja Allah menyuruh ber | 58 % |
i masalah yang harus dipecahkan melalui prosedur tanqih yang | berupa | taqyid bi al-’aql, takhshish bi al-’aql, dan tabyin bi al-’a | 78 % |
akan bertelanjang bulat di jalan-jalan sebagaimana binatang, | berzina | beramai-ramai, mencuri secara berjemaah, saling bunuh-membun | 92 % |
bagi problem-problem kemanusiaan yang terus melilit. Karena, | betapa | pun canggihnya sebuah metodologi jika kandas pada tingkat pe | 15 % |
rlangsung dalam batang tubuh syari’at Nabi Muhammad sendiri. | betapa | syari’at Islam yang baru diundangkan, kerap dalam 3 sampai 5 | 56 % |
hatan bagi sebesar-besarnya umat manusia. 1. al-’Ibrah | bi | al-maqashid la bi al-alfadz. Kaidah ini berarti bahwa yan | 17 % |
-besarnya umat manusia. 1. al-’Ibrah bi al-maqashid la | bi | al-alfadz. Kaidah ini berarti bahwa yang mesti menjadi pe | 17 % |
merupakan antipoda dari kaidah lama yang berbunyi al-’ibrah | bi | khushûsh al-sabab lâ bi ‘umûm al-lafadz. Bahwa yang harus me | 29 % |
kaidah lama yang berbunyi al-’ibrah bi khushûsh al-sabab lâ | bi | ‘umûm al-lafadz. Bahwa yang harus menjadi pertimbangan adala | 29 % |
ristiwa yang khusus. “Pasrah pada keumuman lafdz ( al-taslim | bi | ‘umum al-lafdz) hanya akan menyebabkan kita senantiasa berad | 31 % |
pencarian makna obyektif. 2 Jawaz Naskh al-Nushush | bi | al-Mashlahah Terdapat sebait pertanyaan ontologis dalam r | 46 % |
suci. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan “naskh al-nushush | bi | al-mashlahah”. Sebagai spirit dari teks (nushush) al-Qur`an, | 51 % |
ini, seperti ayat “wa idza hakamtum bayna al-nas an tahkumu | bi | al’adl”, “I’dilu huwa aqrabu li al-taqwa”, dan sebagainya. N | 69 % |
ikan prinsip-prinsip dasar Islam. 3 Tanqih al-Nushush | bi | al-’Aql al-Mujtama’ Kaidah ini hendak menyatakan bahwa a | 74 % |
harus dipecahkan melalui prosedur tanqih yang berupa taqyid | bi | al-’aql, takhshish bi al-’aql, dan tabyin bi al-’aql. Ay | 78 % |
lui prosedur tanqih yang berupa taqyid bi al-’aql, takhshish | bi | al-’aql, dan tabyin bi al-’aql. Ayat-ayat semacam itu, s | 78 % |
g berupa taqyid bi al-’aql, takhshish bi al-’aql, dan tabyin | bi | al-’aql. Ayat-ayat semacam itu, sebagaimana dikatakan se | 78 % |
ubah menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan waktu yang lain. | bila | kemaslahatan dapat berubah karena perubahan konteks, maka da | 58 % |
k hukuman (‘uqubat), sanksi bagi para pelaku pidana (hudud), | bilangan | waris dan sebagainya, maka tetap terbuka kemungkinan untuk d | 72 % |
Ayat-ayat seperti ini memang tidak banyak jumlahnya, bahkan | bisa | dihitung dengan jari tangan. Masuk dalam kategori ayat yang | 68 % |
ung dengan jari tangan. Masuk dalam kategori ayat yang tidak | bisa | dinasakh ini, seperti ayat “wa idza hakamtum bayna al-nas an | 69 % |
gainya. Ayat-ayat tersebut dalam konteks sekarang, alih-alih | bisa | menyelesaikan masalah-masalah kemanusian, yang terjadi juste | 77 % |
upakan pangkal atau asal. Sebagai pengelola, maka akal tidak | bisa | bertindak terlampau jauh, kecuali hanya untuk melakukan rasi | 88 % |
bahwa itu hanya sebagian kaidah ushul fikih alternatif yang | bisa | disodorkan untuk membenahi kelemahan-kelemahan metodologi is | 98 % |
banyak orang yang berkompeten. Dengan cara ini, niscaya kita | bisa | menghindari kebekuan dan kemandulan metodologi-ushul fikih. | 100 % |
usan-urusan publik. Bagaimanapun di dalam ruang publik tidak | boleh | ada satu pihak atau golongan dalam masyarakat yang berhak me | 85 % |
Teks suci tanpa kemaslahatan memang tak berfungsi apa-apa | buat | manusia, kecuali untuk teks itu sendiri. Teks baru bermakna | 61 % |
eru fondasional adalah analisa kelas dan struktur sosial dan | budaya | yang melingkupi sejarah kehadiran teks. Maka, kejarlah maqas | 44 % |
dan sempurna. Sehingga, kewajiban umat yang datang kemudian | bukan | untuk mengubahnya, tetapi mengikuti dan melaksanakannya. Di | 5 % |
di dalam mengistinbatkan hukum dari al-Qur`an dan al-Sunnah | bukan | huruf dan aksaranya melainkan dari maqashid yang dikandungny | 18 % |
njadi aksis adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat dan | bukan | legislasi spesifik atau formulasi literalnya. Nah, untuk men | 18 % |
seseorang dituntut untuk memahami konteks. Yang dimaksudkan | bukan | hanya konteks personal yang juz`iy-partikular melainkan juga | 19 % |
ang menjadi sasaran wahyu. Pengetahuan tentang konteks tentu | bukan | untuk konteks itu sendiri, melainkan untuk menimba dan mempe | 22 % |
ahwa yang harus menjadi pertimbangan adalah keumuman lafadz, | bukan | khususnya sebab. Maka, jika suatu nash menggunakan redaksi y | 30 % |
makna-makna itu akan meniscayakan adanya sebuah analisa yang | bukan | hanya terhadap struktur kalimat per se melainkan yang juster | 43 % |
k lagi bersendikan kemaslahatan. Dijelaskan bahwa nasakh itu | bukan | hanya berlaku terhadap syari’at nabi-nabi terdahulu (syar’u | 55 % |
ing pokok dari setiap perundang-undangan syari’at Islam. Ini | bukan | karena ajaran Islam memang perlu dicocok-cocokkan secara opu | 62 % |
l-taqwa”, dan sebagainya. Nasakh terhadap ayat yang demikian | bukan | saja berpunggungan dengan semangat kehadiran Islam awal, mel | 69 % |
liruan dan menyempurnakan segala kekurangan. Akal publik dan | bukan | akal privat ini dibutuhkan tentu untuk menghindari oligarki | 84 % |
i sudut struktur gramatika bahasanya. Akal manusia dalam | buku-buku | teologi klasik telah diletakkan sebagai sub-ordinat dari tek | 91 % |
al-dalalah al-lughawiyah)”, tandas Nahr Hamid Abu Zaid dalam | bukunya | yang berjudul al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah. Terdapat | 32 % |
rsebut tidak lagi menyuarakan kemaslahatan. Ibnu Rusyd dalam | bukunya | yang bertitelkan Fashl al-Maqal fiy Taqrir Ma Bayna al-Syari | 59 % |
kalau dibiarkan maka manusia secara massal akan bertelanjang | bulat | di jalan-jalan sebagaimana binatang, berzina beramai-ramai, | 92 % |
kan prinsip-prinsip dasar Islam itu di tempat dan di belahan | bumi | non-Arab. Maka, kontekstualisasi, dekontekstualisasi, dan re | 24 % |
Hadits di dalam mengimpelementasikan maqashid al-syari’ah di | bumi | realitas. Sekiranya dari data lapangan diketahui ketidak-ber | 96 % |
kan bahwa ketika terjadi pertentangan antara akal publik dan | bunyi | harfiah teks ajaran, metodologi lampau selalu mengambil cara | 9 % |
yang terakhir itu, realitas hendak disubordinasikan ke dalam | bunyi | harafiah teks. Yang dituju adalah kebenaran teks dengan kons | 36 % |
elatif, sementara kemaslahatan yang ditetapkan Tuhan melalui | bunyi | harafiah nash adalah kemaslahatan hakiki dan obyektif. Manus | 49 % |
hingga ketika terjadi pertentangan antara akal publik dengan | bunyi | harfiah teks ajaran, maka akal publik berotoritas untuk meng | 75 % |
dari. Sebab, membiarkan fikih al-Qur`an persis seperti dalam | bunyi | harfiahnya hanya akan mengantarkan al-Qur`an pada perangkap | 81 % |
mikir Muslim memandang metodologi (ushul fikih) klasik tanpa | cacat | epistemologis apapun. Ajakan sejumlah ulama Indonesia untuk | 3 % |
m-problem kemanusiaan yang terus melilit. Karena, betapa pun | canggihnya | sebuah metodologi jika kandas pada tingkat pemecahan problem | 15 % |
unyi harfiah teks ajaran, metodologi lampau selalu mengambil | cara | penundukan terhadap akal publik. 2 Metodologi klasik kuran | 9 % |
teks adalah illegal, sebab teks merupakan aksis dari seluruh | cara | pemecahan problem. Tentu saja ini merupakan kelemahan met | 12 % |
dengan menganulir beberapa teks suci yang sudah aus. Dengan | cara | ini, maka cita kemaslahatan akan senantiasa berkreasi untuk | 53 % |
asi dengan menyertakan banyak orang yang berkompeten. Dengan | cara | ini, niscaya kita bisa menghindari kebekuan dan kemandulan metodologi-ushul fikih. | 100 % |
engan istilah nasikh-mansukh. Semua pelajar Islam mesti tahu | cerita | tentang penganuliran beberapa syari’at yang dipandang tidak | 55 % |
eadilan, kemaslahatan, kesetaraan, hikmah-kebijaksanaan, dan | cinta | kasih. Maqashid inilah yang sejatinya menjadi sumber inspira | 26 % |
laf) 3 Pemberhalaan teks dan pengabaian realitas merupakan | ciri | umum dari metodologi lama. Aktivitas ijtihad selalu digerakk | 11 % |
lir beberapa teks suci yang sudah aus. Dengan cara ini, maka | cita | kemaslahatan akan senantiasa berkreasi untuk memproduksi for | 53 % |
k teks itu sendiri. Teks baru bermakna sekiranya menyertakan | cita | kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan adalah fondasi | 61 % |
berubah, pokok, dan universal), sementara wujud pelaksanaan | cita | kemaslahatan itu merupakan perkara agama yang mutaghayyir (b | 65 % |
ayat tadi tidak efektif lagi sebagai sarana untuk mewujudkan | cita | kemalahatan. Dalam sejarahnya, nasakh selalu hadir untuk ter | 73 % |
n dari maqashid yang dikandungnya. Yang menjadi aksis adalah | cita-cita | etik-moral dari sebuah ayat dan bukan legislasi spesifik ata | 18 % |
yang berhenti hanya pada konteks linguistik saja tidak akan | cukup | memadai untuk mengejar kebenaran hakiki (maqashid asasiyah) | 42 % |
rfungsi untuk menakwil ayat-ayat yang mutasyabih. Akal tidak | cukup | percaya diri untuk melakukan peninjauan ulang apalagi memper | 90 % |
l publik harus diberi posisi yang penting. Akal publik tidak | cukup | hanya tampil sebagai pengelola data-teks. Menyangkut perkara | 94 % |
a metodologi klasik yang telah dikerangkakan oleh para ulama | dahulu | memang sudah tuntas dan sempurna. Sehingga, kewajiban umat y | 4 % |
dan ketidak-berhinggan kebenaran huruf (shalahiyyah al-nansh | dalaliyan | li kulli zaman wa makan). Sehingga kita tidak perlu kaget ke | 38 % |
h Alternatif Mestinya, metodologi Islam klasik diletakkan | dalam | konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya | 0 % |
alu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di | dalam | menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalisti | 2 % |
ulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di | dalam | Islam yang tidak lagi relevan. Oleh: Abd Moqsith Ghazali | 2 % |
ovisionaris. Mestinya, metodologi Islam klasik diletakkan | dalam | konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya | 7 % |
alu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di | dalam | menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalisti | 8 % |
ulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di | dalam | Islam yang tidak lagi relevan. Ditegaskan bahwa ketika terja | 8 % |
Metodologi klasik kurang hirau terhadap kemampuan manusia di | dalam | merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk umat manusia send | 10 % |
endiri. Manusia tidak memiliki reputasi dan kedudukan apapun | dalam | ruang ushul fikih klasik, kecuali sebagai sasaran hukum yang | 10 % |
dari metodologi lama. Aktivitas ijtihad selalu digerakkan di | dalam | areal teks. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada teks adalah | 12 % |
guna dan manfaatnya. Kecanggihan sebuah metodologi terutama | dalam | imu-ilmu terapan Islam semacam ushul fikih ini akan berkores | 16 % |
ni akan berkoresponden secara persis dengan kepiawaiannya di | dalam | menciptakan kemaslahatan bagi sebesar-besarnya umat manusia. | 16 % |
rarti bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid di | dalam | mengistinbatkan hukum dari al-Qur`an dan al-Sunnah bukan hur | 17 % |
tentang konteks yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul | dalam | pengertian klasik itu merupakan prasyarat utama untuk menemu | 20 % |
t utama untuk menemukan maqashid al-syari’ah. Syathibi di | dalam | al-Muwafaqat mendengungkan sebuah pernyataan genial bahwa se | 21 % |
alisasi merupakan mekanisme kerja penafsiran sepanjang masa. | dalam | khazanah ushul fikih, maqashid al-syari’ah itu adalah keadil | 25 % |
maqashid al-syari’ah adalah sumber dari segala sumber hukum | dalam | Islam, termasuk sumber dari al-Qur`an sendiri. Oleh karena i | 27 % |
eh karena itu, sekiranya ditemukan sebuah teks agama baik di | dalam | al-Qur`an maupun al-hadits (apalagi di dalam tafsir dan fiki | 28 % |
s agama baik di dalam al-Qur`an maupun al-hadits (apalagi di | dalam | tafsir dan fikih) yang tidak lagi menyuarakan maqashid al-sy | 28 % |
umum al-lafdz) hanya akan menyebabkan kita senantiasa berada | dalam | kerangka makna linguistik (fiy ithar al-dalalah al-lughawiya | 31 % |
ithar al-dalalah al-lughawiyah)”, tandas Nahr Hamid Abu Zaid | dalam | bukunya yang berjudul al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah. T | 32 % |
terlempar dari kebenaran. Maka, semakin literal seseorang di | dalam | memperlakukan al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada ketakwaa | 35 % |
dekat ia pada ketakwaan. Dan semakin substantif seseorang di | dalam | memandang al-Qur`an, maka jauh ia dari ketakwaan. Kedua, | 36 % |
memandang al-Qur`an, maka jauh ia dari ketakwaan. Kedua, | dalam | kaidah yang terakhir itu, realitas hendak disubordinasikan k | 36 % |
aidah yang terakhir itu, realitas hendak disubordinasikan ke | dalam | bunyi harafiah teks. Yang dituju adalah kebenaran teks denga | 36 % |
eks (al-siyaq al-tarikhi) yang mengitari. Konteks didudukkan | dalam | posisi yang rendah dan sekunder. Ini menjadi maklum, oleh ka | 37 % |
perlu kaget ketika ushul fikih lama berbicara tentang lafdz | dalam | porsi yang demikian besar. Segala jenis perbincangan kebahas | 39 % |
kut ‘anhu), yaitu makna yang tak tercakup secara verbatim di | dalam | aksara sebuah teks. Pencapaian terhadap makna-makna itu akan | 43 % |
n tindakan ideologis yang hanya akan menumpulkan kreativitas | dalam | pencarian makna obyektif. 2 Jawaz Naskh al-Nushush | 45 % |
hush bi al-Mashlahah Terdapat sebait pertanyaan ontologis | dalam | ranah ushul fikih, jika terjadi pertentangan antara teks (na | 46 % |
antara teks (nash) dan maslahat mana yang mesti dimenangkan? | dalam | menjawab pertanyaan ini, umumnya ulama ushul fikih klasik me | 47 % |
mengimaninya secara sepenuh hati.Secara pribadi, saya tidak | dalam | posisi bersetuju dengan jawaban di atas. Pada hemat saya, ma | 50 % |
(syar’u man qablana) saja, tetapi melainkan juga berlangsung | dalam | batang tubuh syari’at Nabi Muhammad sendiri. Betapa syari’at | 56 % |
sendiri. Betapa syari’at Islam yang baru diundangkan, kerap | dalam | 3 sampai 5 tahun dianulir kembali oleh Nabi Muhammad karena | 56 % |
. Tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat | dalam | suatu tempat dan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi ma | 57 % |
tempat dan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat | dalam | suatu ruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat ber | 58 % |
ran tersebut tidak lagi menyuarakan kemaslahatan. Ibnu Rusyd | dalam | bukunya yang bertitelkan Fashl al-Maqal fiy Taqrir Ma Bayna | 59 % |
ak jumlahnya, bahkan bisa dihitung dengan jari tangan. Masuk | dalam | kategori ayat yang tidak bisa dinasakh ini, seperti ayat “wa | 68 % |
dengan logika nasakh sendiri. Sementara ayat-ayat mu’amalah | dalam | al-Qur`an yang bersifat tehnis-operasional--saya suka menyeb | 70 % |
ektif lagi sebagai sarana untuk mewujudkan cita kemalahatan. | dalam | sejarahnya, nasakh selalu hadir untuk terus-menerus memperba | 73 % |
dogmatik” agama yang menyangkut perkara-perkara publik, baik | dalam | al-Qur`an maupun dalam al-Sunnah. Sehingga ketika terjadi pe | 75 % |
nyangkut perkara-perkara publik, baik dalam al-Qur`an maupun | dalam | al-Sunnah. Sehingga ketika terjadi pertentangan antara akal | 75 % |
, dan sebagainya), waris, dan sebagainya. Ayat-ayat tersebut | dalam | konteks sekarang, alih-alih bisa menyelesaikan masalah-masal | 77 % |
ons al-Qur`an terhadap kasus-kasus tertentu yang berlangsung | dalam | lokus tertentu pula, masyarakat Arab. Dengan demikian, keben | 79 % |
ngga memerlukan penyempurnaan, pembaharuan, dan penyulingan. | dalam | tataran itu, universalisasi fikih al-Qur`an tanpa melalui pr | 80 % |
dihindari. Sebab, membiarkan fikih al-Qur`an persis seperti | dalam | bunyi harfiahnya hanya akan mengantarkan al-Qur`an pada pera | 81 % |
vital al-Qur`an. Kerja tanqih ini hakekatnya inheren di | dalam | diri setiap manusia yang berakal budi. Dalam jiwa manusia te | 82 % |
tnya inheren di dalam diri setiap manusia yang berakal budi. | dalam | jiwa manusia terdapat impuls abadi yang tak pernah padam unt | 82 % |
ntu untuk menghindari oligarki pendapat atau otoritarianisme | dalam | merumuskan dan memecahkan urusan-urusan publik. Bagaimanapun | 84 % |
umuskan dan memecahkan urusan-urusan publik. Bagaimanapun di | dalam | ruang publik tidak boleh ada satu pihak atau golongan dalam | 85 % |
dalam ruang publik tidak boleh ada satu pihak atau golongan | dalam | masyarakat yang berhak memaksa pandangannya pada orang lain, | 85 % |
kan rasionalisasi terhadap barang-barang irrasional yang ada | dalam | al-Qur`an dan al-Sunnah. Akal hanya berguna untuk membuka ta | 88 % |
at dari sudut struktur gramatika bahasanya. Akal manusia | dalam | buku-buku teologi klasik telah diletakkan sebagai sub-ordina | 91 % |
as dan kinerja beberapa ketentuan al-Qur`an dan al-Hadits di | dalam | mengimpelementasikan maqashid al-syari’ah di bumi realitas. | 96 % |
ari data lapangan diketahui ketidak-berdayaan sebuah teks di | dalam | mengatasi perkara-perkara publik, maka akal publik mesti mem | 96 % |
stinya, metodologi Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi | dan | konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta a | 1 % |
ebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih | dan | menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Is | 2 % |
lah dikerangkakan oleh para ulama dahulu memang sudah tuntas | dan | sempurna. Sehingga, kewajiban umat yang datang kemudian buka | 4 % |
ng datang kemudian bukan untuk mengubahnya, tetapi mengikuti | dan | melaksanakannya. Di sini, sebuah metodologi yang sejatinya l | 5 % |
ang mutlak. Tak terbantah. Mereka telah melakukan idealisasi | dan | universalisasi terhadap metodologi lama yang provisionaris. | 6 % |
stinya, metodologi Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi | dan | konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta a | 7 % |
ebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih | dan | menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Is | 8 % |
egaskan bahwa ketika terjadi pertentangan antara akal publik | dan | bunyi harfiah teks ajaran, metodologi lampau selalu mengambi | 9 % |
untuk umat manusia sendiri. Manusia tidak memiliki reputasi | dan | kedudukan apapun dalam ruang ushul fikih klasik, kecuali seb | 10 % |
aran hukum yang tak berdaya (mukallaf) 3 Pemberhalaan teks | dan | pengabaian realitas merupakan ciri umum dari metodologi lama | 11 % |
kat pemecahan problem tersebut, maka ia tidaklah banyak guna | dan | manfaatnya. Kecanggihan sebuah metodologi terutama dalam imu | 15 % |
orang mujtahid di dalam mengistinbatkan hukum dari al-Qur`an | dan | al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya melainkan dari maqashid | 17 % |
ngistinbatkan hukum dari al-Qur`an dan al-Sunnah bukan huruf | dan | aksaranya melainkan dari maqashid yang dikandungnya. Yang me | 18 % |
g menjadi aksis adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat | dan | bukan legislasi spesifik atau formulasi literalnya. Nah, unt | 18 % |
kapi diri dengan pengetahuan yang memadai menyangkut tradisi | dan | kebiasaan masyarakat Arab sebagai masyarakat awal yang menja | 21 % |
ntu bukan untuk konteks itu sendiri, melainkan untuk menimba | dan | memperoleh prinsip-prinsip dasar Islam atau yang dikenal den | 22 % |
Yaitu, melabuhkan prinsip-prinsip dasar Islam itu di tempat | dan | di belahan bumi non-Arab. Maka, kontekstualisasi, dekontekst | 24 % |
n bumi non-Arab. Maka, kontekstualisasi, dekontekstualisasi, | dan | rekontekstualisasi merupakan mekanisme kerja penafsiran sepa | 25 % |
ah keadilan, kemaslahatan, kesetaraan, hikmah-kebijaksanaan, | dan | cinta kasih. Maqashid inilah yang sejatinya menjadi sumber i | 26 % |
di dalam al-Qur`an maupun al-hadits (apalagi di dalam tafsir | dan | fikih) yang tidak lagi menyuarakan maqashid al-syari’ah, mak | 28 % |
pertama, kaidah ini dipandang terlalu banyak berkonsentrasi | dan | bergerak pada medan semantik dengan menepikan peranan sabab | 33 % |
mperlakukan al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada ketakwaan. | dan | semakin substantif seseorang di dalam memandang al-Qur`an, m | 35 % |
yang mengitari. Konteks didudukkan dalam posisi yang rendah | dan | sekunder. Ini menjadi maklum, oleh karena para pemakai kaida | 37 % |
rena para pemakai kaidah ini menganut ideologi universalisme | dan | ketidak-berhinggan kebenaran huruf (shalahiyyah al-nansh dal | 38 % |
r se melainkan yang justeru fondasional adalah analisa kelas | dan | struktur sosial dan budaya yang melingkupi sejarah kehadiran | 44 % |
justeru fondasional adalah analisa kelas dan struktur sosial | dan | budaya yang melingkupi sejarah kehadiran teks. Maka, kejarla | 44 % |
ah ushul fikih, jika terjadi pertentangan antara teks (nash) | dan | maslahat mana yang mesti dimenangkan? Dalam menjawab pertany | 47 % |
yatakan bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan antara nash | dan | mashlahah, karena apa yang diujarkan oleh nash adalah kemasl | 48 % |
ahatan yang diandaikan oleh manusia adalah kemaslahatan semu | dan | relatif, sementara kemaslahatan yang ditetapkan Tuhan melalu | 49 % |
Tuhan melalui bunyi harafiah nash adalah kemaslahatan hakiki | dan | obyektif. Manusia tidak memiliki kewenangan untuk mempertany | 49 % |
ktif. Manusia tidak memiliki kewenangan untuk mempertanyakan | dan | menggugat kemaslahatan literal teks. Kewajiban manusia adala | 50 % |
aslahatan literal teks. Kewajiban manusia adalah mengamalkan | dan | mengimaninya secara sepenuh hati.Secara pribadi, saya tidak | 50 % |
si formulasi bahkan teks keagamaan baru di tengah kegamangan | dan | kegagapan formulasi dan teks keagamaan lama.Praktek dari kai | 53 % |
keagamaan baru di tengah kegamangan dan kegagapan formulasi | dan | teks keagamaan lama.Praktek dari kaidah ini dapat diketahui | 53 % |
ahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu tempat | dan | waktu tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suat | 57 % |
ertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu ruang | dan | waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karena peru | 58 % |
merupakan ajaran agama yang tsawabit (tidak berubah, pokok, | dan | universal), sementara wujud pelaksanaan cita kemaslahatan it | 65 % |
utaghayyir (berubah-berubah mengikuti perubahan alur sejarah | dan | peradaban).Maka, yang perlu mendapatkan proviso penegasan di | 66 % |
sip ajaran yang universal, ajaran mana telah melintasi ruang | dan | waktu, mengatasi pelbagai etnis dan keyakinan. Ayat-ayat ini | 67 % |
na telah melintasi ruang dan waktu, mengatasi pelbagai etnis | dan | keyakinan. Ayat-ayat ini ingin saya katakan sebagai ayat den | 67 % |
nas an tahkumu bi al’adl”, “I’dilu huwa aqrabu li al-taqwa”, | dan | sebagainya. Nasakh terhadap ayat yang demikian bukan saja be | 69 % |
bat), sanksi bagi para pelaku pidana (hudud), bilangan waris | dan | sebagainya, maka tetap terbuka kemungkinan untuk dinasakh da | 72 % |
an sebagainya, maka tetap terbuka kemungkinan untuk dinasakh | dan | difalsifikasi, sekiranya ayat tadi tidak efektif lagi sebaga | 72 % |
yatakan bahwa akal publik memiliki kewenangan untuk menyulih | dan | mengamandemen sejumlah ketentuan “dogmatik” agama yang menya | 74 % |
maka akal publik berotoritas untuk mengedit, menyempurnakan, | dan | memodifikasikannya. Modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan | 76 % |
artikular, seperti ayat hudud (seperti potong tangan, rajam, | dan | sebagainya), waris, dan sebagainya. Ayat-ayat tersebut dalam | 77 % |
hudud (seperti potong tangan, rajam, dan sebagainya), waris, | dan | sebagainya. Ayat-ayat tersebut dalam konteks sekarang, alih- | 77 % |
tanqih yang berupa taqyid bi al-’aql, takhshish bi al-’aql, | dan | tabyin bi al-’aql. Ayat-ayat semacam itu, sebagaimana di | 78 % |
. Dengan demikian, kebenaran ayat-ayat tadi bersifat relatif | dan | tentatif, sehingga memerlukan penyempurnaan, pembaharuan, da | 80 % |
an tentatif, sehingga memerlukan penyempurnaan, pembaharuan, | dan | penyulingan. Dalam tataran itu, universalisasi fikih al-Qur` | 80 % |
mengantarkan al-Qur`an pada perangkap yang mematikan spirit | dan | elan vital al-Qur`an. Kerja tanqih ini hakekatnya inhere | 82 % |
at dorongan adekuat untuk senantiasa berpihak pada kebenaran | dan | keadilan. Selalu ada kecenderungan untuk mengoreksi pelbagai | 83 % |
elalu ada kecenderungan untuk mengoreksi pelbagai kekeliruan | dan | menyempurnakan segala kekurangan. Akal publik dan bukan akal | 84 % |
kekeliruan dan menyempurnakan segala kekurangan. Akal publik | dan | bukan akal privat ini dibutuhkan tentu untuk menghindari oli | 84 % |
dari oligarki pendapat atau otoritarianisme dalam merumuskan | dan | memecahkan urusan-urusan publik. Bagaimanapun di dalam ruang | 84 % |
pandangannya dinilai lebih benar. Mereka memiliki kedudukan | dan | derajat yang sama. Pandangan di atas sangat berbeda deng | 86 % |
i terhadap barang-barang irrasional yang ada dalam al-Qur`an | dan | al-Sunnah. Akal hanya berguna untuk membuka tabir kegelapan | 89 % |
amai-ramai, mencuri secara berjemaah, saling bunuh-membunuh, | dan | sebagainya. Ini, tentu saja sebuah sikap yang tidak apresiat | 92 % |
h menciptakan akal sesungguhnya agar manusia sanggup memilah | dan | memilih mana-mana tindakan yang baik dan mana-mana pula perb | 93 % |
sia sanggup memilah dan memilih mana-mana tindakan yang baik | dan | mana-mana pula perbuatan yang buruk. Menurut saya, sekal | 94 % |
ik perlu mendapatkan wewenang untuk mengevaluasi efektivitas | dan | kinerja beberapa ketentuan al-Qur`an dan al-Hadits di dalam | 95 % |
valuasi efektivitas dan kinerja beberapa ketentuan al-Qur`an | dan | al-Hadits di dalam mengimpelementasikan maqashid al-syari’ah | 95 % |
ten. Dengan cara ini, niscaya kita bisa menghindari kebekuan | dan | kemandulan metodologi-ushul fikih. | 100 % |
ak lagi menyuarakan maqashid al-syari’ah, maka ia batal atau | dapat | dibatalkan demi logika maqashid al-syari’ah itu. Kaidah y | 28 % |
an formulasi dan teks keagamaan lama.Praktek dari kaidah ini | dapat | diketahui dari pembatalan demi pembatalan terhadap sejumlah | 54 % |
dat dalam suatu ruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan | dapat | berubah karena perubahan konteks, maka dapat saja Allah meny | 58 % |
la kemaslahatan dapat berubah karena perubahan konteks, maka | dapat | saja Allah menyuruh berbuat sesuatu karena diketahui mengand | 58 % |
dapatkan proviso penegasan di sini adalah bahwa nasakh tidak | dapat | dilakukan terhadap teks al-Qur`an yang mengandung prinsip-pr | 66 % |
akan sejumlah ulama Indonesia untuk mengubah pola bermadzhab | dari | yang qawliy ke manhaji mengandung pengertian bahwa metodolog | 3 % |
ksanakannya. Di sini, sebuah metodologi yang sejatinya lahir | dari | pabrik intelektualitas manusia yang nisbi telah diposisikan | 5 % |
emberhalaan teks dan pengabaian realitas merupakan ciri umum | dari | metodologi lama. Aktivitas ijtihad selalu digerakkan di dala | 11 % |
lminasi pada teks adalah illegal, sebab teks merupakan aksis | dari | seluruh cara pemecahan problem. Tentu saja ini merupakan | 12 % |
untuk mereformasi kaidah-kaidah ushul fikih yang problematis | dari | sudut ontologis-epistemologis tersebut. Dengan merekonstruks | 14 % |
di perhatian seorang mujtahid di dalam mengistinbatkan hukum | dari | al-Qur`an dan al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya melainkan | 17 % |
al-Qur`an dan al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya melainkan | dari | maqashid yang dikandungnya. Yang menjadi aksis adalah cita-c | 18 % |
dikandungnya. Yang menjadi aksis adalah cita-cita etik-moral | dari | sebuah ayat dan bukan legislasi spesifik atau formulasi lite | 18 % |
l yang kulli-universal. Pemahaman tentang konteks yang lebih | dari | sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian klasik itu meru | 20 % |
al-syari’ah sudah dicapai, maka teks harus segera dilepaskan | dari | konteks kearabannya (dekontekstualisasi) untuk kemudian dila | 23 % |
n. Dengan perkataan lain, maqashid al-syari’ah adalah sumber | dari | segala sumber hukum dalam Islam, termasuk sumber dari al-Qur | 27 % |
sumber dari segala sumber hukum dalam Islam, termasuk sumber | dari | al-Qur`an sendiri. Oleh karena itu, sekiranya ditemukan sebu | 27 % |
i’ah itu. Kaidah yang diajukan di atas merupakan antipoda | dari | kaidah lama yang berbunyi al-’ibrah bi khushûsh al-sabab lâ | 29 % |
a pada kebenaran. Sebaliknya, semakin jauh yang bersangkutan | dari | makna literal al-Qur`an, maka ia semakin terlempar dari kebe | 34 % |
utan dari makna literal al-Qur`an, maka ia semakin terlempar | dari | kebenaran. Maka, semakin literal seseorang di dalam memperla | 35 % |
stantif seseorang di dalam memandang al-Qur`an, maka jauh ia | dari | ketakwaan. Kedua, dalam kaidah yang terakhir itu, realit | 36 % |
ungkapan “naskh al-nushush bi al-mashlahah”. Sebagai spirit | dari | teks (nushush) al-Qur`an, kemaslahatan merupakan amunisi unt | 52 % |
ur`an, kemaslahatan merupakan amunisi untuk mengontrol balik | dari | keberadaan teks dengan menganulir beberapa teks suci yang su | 52 % |
ngan dan kegagapan formulasi dan teks keagamaan lama.Praktek | dari | kaidah ini dapat diketahui dari pembatalan demi pembatalan t | 54 % |
teks keagamaan lama.Praktek dari kaidah ini dapat diketahui | dari | pembatalan demi pembatalan terhadap sejumlah syari’at Islam, | 54 % |
an bahwa hikmah (kemaslahatan) itu merupakan saudara kandung | dari | syari’at-syari’at yang telah ditetapkan Allah Swt. Teks s | 60 % |
bagi umat manusia. Kemaslahatan adalah fondasi paling pokok | dari | setiap perundang-undangan syari’at Islam. Ini bukan karena a | 62 % |
ah-masalah kemanusian, yang terjadi justeru merupakan bagian | dari | masalah yang harus dipecahkan melalui prosedur tanqih yang b | 78 % |
mempertanyakan ayat-ayat partikular yang tergolong qath’iyat | dari | sudut struktur gramatika bahasanya. Akal manusia dalam b | 90 % |
uku-buku teologi klasik telah diletakkan sebagai sub-ordinat | dari | teks. Akal mengalami penyusutan peran. Seolah-olah akal manu | 91 % |
ementasikan maqashid al-syari’ah di bumi realitas. Sekiranya | dari | data lapangan diketahui ketidak-berdayaan sebuah teks di dal | 96 % |
. Akal publik bertugas untuk mengeluarkan spirit dasar Islam | dari | lipatan huruf-huruf agama. Akal publik mempunyai tanggungjaw | 97 % |
diri, melainkan untuk menimba dan memperoleh prinsip-prinsip | dasar | Islam atau yang dikenal dengan istilah maqashid al-syari’ah. | 23 % |
akukan rekontekstualisasi. Yaitu, melabuhkan prinsip-prinsip | dasar | Islam itu di tempat dan di belahan bumi non-Arab. Maka, kont | 24 % |
teks agama yang tidak lagi merepresentasikan prinsip-prinsip | dasar | Islam. 3 Tanqih al-Nushush bi al-’Aql al-Mujtama’ | 73 % |
uan tersebut. Akal publik bertugas untuk mengeluarkan spirit | dasar | Islam dari lipatan huruf-huruf agama. Akal publik mempunyai | 97 % |
asikan maqashid al-syari’ah di bumi realitas. Sekiranya dari | data | lapangan diketahui ketidak-berdayaan sebuah teks di dalam me | 96 % |
ang sudah tuntas dan sempurna. Sehingga, kewajiban umat yang | datang | kemudian bukan untuk mengubahnya, tetapi mengikuti dan melak | 4 % |
ama memposisikan akal sebagai pengelola data-teks, sementara | data-teks | merupakan pangkal atau asal. Sebagai pengelola, maka akal ti | 87 % |
a semakin harafiah seseorang membaca al-Qur`an, maka semakin | dekat | ia pada kebenaran. Sebaliknya, semakin jauh yang bersangkuta | 34 % |
ral seseorang di dalam memperlakukan al-Qur`an, maka semakin | dekat | ia pada ketakwaan. Dan semakin substantif seseorang di dalam | 35 % |
an maqashid al-syari’ah, maka ia batal atau dapat dibatalkan | demi | logika maqashid al-syari’ah itu. Kaidah yang diajukan di | 28 % |
lama.Praktek dari kaidah ini dapat diketahui dari pembatalan | demi | pembatalan terhadap sejumlah syari’at Islam, yang dikenal de | 54 % |
ka ushul fikih lama berbicara tentang lafdz dalam porsi yang | demikian | besar. Segala jenis perbincangan kebahasaan (abhats lughawiy | 39 % |
rabu li al-taqwa”, dan sebagainya. Nasakh terhadap ayat yang | demikian | bukan saja berpunggungan dengan semangat kehadiran Islam awa | 69 % |
an metodologis tersendiri yang mesti mendapatkan penanganan. | dengan | segala keterbatasan, tulisan ini kiranya bermaksud untuk mer | 13 % |
ang problematis dari sudut ontologis-epistemologis tersebut. | dengan | merekonstruksi kaidah-kaidah ushul ini niscaya produk pemiki | 14 % |
am semacam ushul fikih ini akan berkoresponden secara persis | dengan | kepiawaiannya di dalam menciptakan kemaslahatan bagi sebesar | 16 % |
nial bahwa seorang mujtahid diharuskan untuk melengkapi diri | dengan | pengetahuan yang memadai menyangkut tradisi dan kebiasaan ma | 21 % |
dan memperoleh prinsip-prinsip dasar Islam atau yang dikenal | dengan | istilah maqashid al-syari’ah. Begitu maqashid al-syari’ah su | 23 % |
k melabuhkan ketentuan-ketentuan legal-spesifik di lapangan. | dengan | perkataan lain, maqashid al-syari’ah adalah sumber dari sega | 26 % |
rlalu banyak berkonsentrasi dan bergerak pada medan semantik | dengan | menepikan peranan sabab al-nuzul. Implikasinya, para penggun | 33 % |
dalam bunyi harafiah teks. Yang dituju adalah kebenaran teks | dengan | konsekuensi mengabaikan konteks (al-siyaq al-tarikhi) yang m | 37 % |
sejarah kehadiran teks. Maka, kejarlah maqashid al-syari’ah | dengan | pelbagai cara, tanpa terlalu banyak terpesona terhadap keind | 45 % |
penuh hati.Secara pribadi, saya tidak dalam posisi bersetuju | dengan | jawaban di atas. Pada hemat saya, maslahat memiliki otoritas | 51 % |
ganulir kententuan-ketentuan teks suci. Inilah yang dimaksud | dengan | ungkapan “naskh al-nushush bi al-mashlahah”. Sebagai spirit | 51 % |
erupakan amunisi untuk mengontrol balik dari keberadaan teks | dengan | menganulir beberapa teks suci yang sudah aus. Dengan cara in | 52 % |
an teks dengan menganulir beberapa teks suci yang sudah aus. | dengan | cara ini, maka cita kemaslahatan akan senantiasa berkreasi u | 53 % |
mi pembatalan terhadap sejumlah syari’at Islam, yang dikenal | dengan | istilah nasikh-mansukh. Semua pelajar Islam mesti tahu cerit | 54 % |
aran Islam memang perlu dicocok-cocokkan secara opurtunistik | dengan | perkembangan kemaslahatan, melainkan karena tuntutan kemasla | 62 % |
iarahkan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat manusia . | dengan | ini, maka kemaslahatan itu merupakan ajaran agama yang tsawa | 64 % |
dan keyakinan. Ayat-ayat ini ingin saya katakan sebagai ayat | dengan | kedudukan paling tinggi (al-ayat al-’ala qiymatan), atau al- | 67 % |
erti ini memang tidak banyak jumlahnya, bahkan bisa dihitung | dengan | jari tangan. Masuk dalam kategori ayat yang tidak bisa dinas | 68 % |
Nasakh terhadap ayat yang demikian bukan saja berpunggungan | dengan | semangat kehadiran Islam awal, melainkan juga bertentangan d | 70 % |
n semangat kehadiran Islam awal, melainkan juga bertentangan | dengan | logika nasakh sendiri. Sementara ayat-ayat mu’amalah dalam a | 70 % |
r`an yang bersifat tehnis-operasional--saya suka menyebutnya | dengan | al-ayat al-adna qiymatan atau al-ayat al-furu’iyyat atau fik | 71 % |
nah. Sehingga ketika terjadi pertentangan antara akal publik | dengan | bunyi harfiah teks ajaran, maka akal publik berotoritas untu | 75 % |
a. Modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan ketika berhadapan | dengan | ayat-ayat partikular, seperti ayat hudud (seperti potong tan | 76 % |
yang berlangsung dalam lokus tertentu pula, masyarakat Arab. | dengan | demikian, kebenaran ayat-ayat tadi bersifat relatif dan tent | 80 % |
dan derajat yang sama. Pandangan di atas sangat berbeda | dengan | pandangan mainstream, baik yang klasik maupun yang kontempor | 86 % |
sekian banyak lagi kaidah ushul fikih yang perlu direformasi | dengan | menyertakan banyak orang yang berkompeten. Dengan cara ini, | 99 % |
ireformasi dengan menyertakan banyak orang yang berkompeten. | dengan | cara ini, niscaya kita bisa menghindari kebekuan dan kemandulan metodologi-ushul fikih. | 99 % |
dangannya dinilai lebih benar. Mereka memiliki kedudukan dan | derajat | yang sama. Pandangan di atas sangat berbeda dengan panda | 86 % |
. Akal hanya berguna untuk membuka tabir kegelapan teks-teks | dhanniyat | al-Qur`an saja. Di tangan Mu’tazilah, akal hanya berfungsi u | 89 % |
erlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik | di | dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-form | 2 % |
enyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik | di | dalam Islam yang tidak lagi relevan. Oleh: Abd Moqsith Gh | 2 % |
kan untuk mengubahnya, tetapi mengikuti dan melaksanakannya. | di | sini, sebuah metodologi yang sejatinya lahir dari pabrik int | 5 % |
erlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik | di | dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-form | 8 % |
enyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik | di | dalam Islam yang tidak lagi relevan. Ditegaskan bahwa ketika | 8 % |
2 Metodologi klasik kurang hirau terhadap kemampuan manusia | di | dalam merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk umat manusi | 10 % |
um dari metodologi lama. Aktivitas ijtihad selalu digerakkan | di | dalam areal teks. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada teks | 12 % |
h ini akan berkoresponden secara persis dengan kepiawaiannya | di | dalam menciptakan kemaslahatan bagi sebesar-besarnya umat ma | 16 % |
berarti bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid | di | dalam mengistinbatkan hukum dari al-Qur`an dan al-Sunnah buk | 17 % |
arat utama untuk menemukan maqashid al-syari’ah. Syathibi | di | dalam al-Muwafaqat mendengungkan sebuah pernyataan genial ba | 21 % |
tualisasi. Yaitu, melabuhkan prinsip-prinsip dasar Islam itu | di | tempat dan di belahan bumi non-Arab. Maka, kontekstualisasi, | 24 % |
tu, melabuhkan prinsip-prinsip dasar Islam itu di tempat dan | di | belahan bumi non-Arab. Maka, kontekstualisasi, dekontekstual | 24 % |
-Qur`an hendak melabuhkan ketentuan-ketentuan legal-spesifik | di | lapangan. Dengan perkataan lain, maqashid al-syari’ah adalah | 26 % |
Oleh karena itu, sekiranya ditemukan sebuah teks agama baik | di | dalam al-Qur`an maupun al-hadits (apalagi di dalam tafsir da | 27 % |
teks agama baik di dalam al-Qur`an maupun al-hadits (apalagi | di | dalam tafsir dan fikih) yang tidak lagi menyuarakan maqashid | 28 % |
emi logika maqashid al-syari’ah itu. Kaidah yang diajukan | di | atas merupakan antipoda dari kaidah lama yang berbunyi al-’i | 29 % |
in terlempar dari kebenaran. Maka, semakin literal seseorang | di | dalam memperlakukan al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada ke | 35 % |
in dekat ia pada ketakwaan. Dan semakin substantif seseorang | di | dalam memandang al-Qur`an, maka jauh ia dari ketakwaan. | 36 % |
maskut ‘anhu), yaitu makna yang tak tercakup secara verbatim | di | dalam aksara sebuah teks. Pencapaian terhadap makna-makna it | 43 % |
ra pribadi, saya tidak dalam posisi bersetuju dengan jawaban | di | atas. Pada hemat saya, maslahat memiliki otoritas untuk meng | 51 % |
reasi untuk memproduksi formulasi bahkan teks keagamaan baru | di | tengah kegamangan dan kegagapan formulasi dan teks keagamaan | 53 % |
udian Allah melarangnya pada waktu kemudian karena diketahui | di | lapangan aturan tersebut tidak lagi menyuarakan kemaslahatan | 59 % |
an peradaban).Maka, yang perlu mendapatkan proviso penegasan | di | sini adalah bahwa nasakh tidak dapat dilakukan terhadap teks | 66 % |
lan vital al-Qur`an. Kerja tanqih ini hakekatnya inheren | di | dalam diri setiap manusia yang berakal budi. Dalam jiwa manu | 82 % |
merumuskan dan memecahkan urusan-urusan publik. Bagaimanapun | di | dalam ruang publik tidak boleh ada satu pihak atau golongan | 85 % |
reka memiliki kedudukan dan derajat yang sama. Pandangan | di | atas sangat berbeda dengan pandangan mainstream, baik yang k | 86 % |
maupun yang kontemporer yang terus menerus mendevaluasi akal | di | bawah kedigdayaan teks. Baik kalangan Asy’ariyah maupun Mu’t | 87 % |
membuka tabir kegelapan teks-teks dhanniyat al-Qur`an saja. | di | tangan Mu’tazilah, akal hanya berfungsi untuk menakwil ayat- | 89 % |
dibiarkan maka manusia secara massal akan bertelanjang bulat | di | jalan-jalan sebagaimana binatang, berzina beramai-ramai, men | 92 % |
vitas dan kinerja beberapa ketentuan al-Qur`an dan al-Hadits | di | dalam mengimpelementasikan maqashid al-syari’ah di bumi real | 96 % |
al-Hadits di dalam mengimpelementasikan maqashid al-syari’ah | di | bumi realitas. Sekiranya dari data lapangan diketahui ketida | 96 % |
a dari data lapangan diketahui ketidak-berdayaan sebuah teks | di | dalam mengatasi perkara-perkara publik, maka akal publik mes | 96 % |
atalkan demi logika maqashid al-syari’ah itu. Kaidah yang | diajukan | di atas merupakan antipoda dari kaidah lama yang berbunyi al | 29 % |
hatan itu sendiri. Sering disinyalir bahwa kemaslahatan yang | diandaikan | oleh manusia adalah kemaslahatan semu dan relatif, sementara | 48 % |
at Islam yang baru diundangkan, kerap dalam 3 sampai 5 tahun | dianulir | kembali oleh Nabi Muhammad karena tidak bermaslahat lagi. | 56 % |
a raji’atun ila mashalih al-’ibad” seluruh ketentuan agama | diarahkan | untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat manusia . Dengan i | 64 % |
i menyuarakan maqashid al-syari’ah, maka ia batal atau dapat | dibatalkan | demi logika maqashid al-syari’ah itu. Kaidah yang diajuka | 28 % |
yang buruk. Menurut saya, sekali lagi, akal publik harus | diberi | posisi yang penting. Akal publik tidak cukup hanya tampil se | 94 % |
. Seolah-olah akal manusia itu begitu rendah, sehingga kalau | dibiarkan | maka manusia secara massal akan bertelanjang bulat di jalan- | 91 % |
rnakan, dan memodifikasikannya. Modifikasi ini terasa sangat | dibutuhkan | ketika berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat | 76 % |
kan segala kekurangan. Akal publik dan bukan akal privat ini | dibutuhkan | tentu untuk menghindari oligarki pendapat atau otoritarianis | 84 % |
n syari’at Islam. Ini bukan karena ajaran Islam memang perlu | dicocok-cocokkan | secara opurtunistik dengan perkembangan kemaslahatan, melain | 62 % |
baikan konteks (al-siyaq al-tarikhi) yang mengitari. Konteks | didudukkan | dalam posisi yang rendah dan sekunder. Ini menjadi maklum, o | 37 % |
kan ciri umum dari metodologi lama. Aktivitas ijtihad selalu | digerakkan | di dalam areal teks. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada te | 12 % |
endengungkan sebuah pernyataan genial bahwa seorang mujtahid | diharuskan | untuk melengkapi diri dengan pengetahuan yang memadai menyan | 21 % |
-ayat seperti ini memang tidak banyak jumlahnya, bahkan bisa | dihitung | dengan jari tangan. Masuk dalam kategori ayat yang tidak bis | 68 % |
syari’at yang dipandang tidak lagi bersendikan kemaslahatan. | dijelaskan | bahwa nasakh itu bukan hanya berlaku terhadap syari’at nabi- | 55 % |
an tabyin bi al-’aql. Ayat-ayat semacam itu, sebagaimana | dikatakan | sebelumnya disebut sebagai fikih al-Qur`an. Sebagai sebuah f | 78 % |
menimba dan memperoleh prinsip-prinsip dasar Islam atau yang | dikenal | dengan istilah maqashid al-syari’ah. Begitu maqashid al-syar | 23 % |
talan demi pembatalan terhadap sejumlah syari’at Islam, yang | dikenal | dengan istilah nasikh-mansukh. Semua pelajar Islam mesti tah | 54 % |
aji mengandung pengertian bahwa metodologi klasik yang telah | dikerangkakan | oleh para ulama dahulu memang sudah tuntas dan sempurna. Seh | 4 % |
mulasi dan teks keagamaan lama.Praktek dari kaidah ini dapat | diketahui | dari pembatalan demi pembatalan terhadap sejumlah syari’at I | 54 % |
nteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatu karena | diketahui | mengandung maslahat, kemudian Allah melarangnya pada waktu k | 58 % |
lahat, kemudian Allah melarangnya pada waktu kemudian karena | diketahui | di lapangan aturan tersebut tidak lagi menyuarakan kemaslaha | 59 % |
d al-syari’ah di bumi realitas. Sekiranya dari data lapangan | diketahui | ketidak-berdayaan sebuah teks di dalam mengatasi perkara-per | 96 % |
dari konteks kearabannya (dekontekstualisasi) untuk kemudian | dilakukan | rekontekstualisasi. Yaitu, melabuhkan prinsip-prinsip dasar | 24 % |
an proviso penegasan di sini adalah bahwa nasakh tidak dapat | dilakukan | terhadap teks al-Qur`an yang mengandung prinsip-prinsip ajar | 66 % |
maqashid asasiyah) yang diusung oleh teks. Analisis mestinya | dilanjutkan | pada penyingkapan makna yang terdiamkan (al-maskut ‘anhu), y | 42 % |
u maqashid al-syari’ah sudah dicapai, maka teks harus segera | dilepaskan | dari konteks kearabannya (dekontekstualisasi) untuk kemudian | 23 % |
Ushul Fikih Alternatif Mestinya, metodologi Islam klasik | diletakkan | dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat forma | 0 % |
ama yang provisionaris. Mestinya, metodologi Islam klasik | diletakkan | dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada saat forma | 6 % |
sanya. Akal manusia dalam buku-buku teologi klasik telah | diletakkan | sebagai sub-ordinat dari teks. Akal mengalami penyusutan per | 91 % |
untuk menganulir kententuan-ketentuan teks suci. Inilah yang | dimaksud | dengan ungkapan “naskh al-nushush bi al-mashlahah”. Sebagai | 51 % |
hid ini maka seseorang dituntut untuk memahami konteks. Yang | dimaksudkan | bukan hanya konteks personal yang juz`iy-partikular melainka | 19 % |
ini, umumnya ulama ushul fikih klasik mengatakan bahwa yang | dimenangkan | adalah nash. Bahkan, al-Thufi menyatakan bahwa tidak mungkin | 47 % |
ini, umumnya ulama ushul fikih klasik mengatakan bahwa yang | dimenangkan | adalah nash. Bahkan, al-Thufi menyatakan bahwa tidak mungkin | 47 % |
engan jari tangan. Masuk dalam kategori ayat yang tidak bisa | dinasakh | ini, seperti ayat “wa idza hakamtum bayna al-nas an tahkumu | 69 % |
n waris dan sebagainya, maka tetap terbuka kemungkinan untuk | dinasakh | dan difalsifikasi, sekiranya ayat tadi tidak efektif lagi se | 72 % |
ak memaksa pandangannya pada orang lain, karena pandangannya | dinilai | lebih benar. Mereka memiliki kedudukan dan derajat yang sama | 85 % |
hadap kaidah konvensional ini. Misalnya, pertama, kaidah ini | dipandang | terlalu banyak berkonsentrasi dan bergerak pada medan semant | 33 % |
esti tahu cerita tentang penganuliran beberapa syari’at yang | dipandang | tidak lagi bersendikan kemaslahatan. Dijelaskan bahwa nasakh | 55 % |
ang terjadi justeru merupakan bagian dari masalah yang harus | dipecahkan | melalui prosedur tanqih yang berupa taqyid bi al-’aql, takhs | 78 % |
a lahir dari pabrik intelektualitas manusia yang nisbi telah | diposisikan | sebagai sesuatu yang mutlak. Tak terbantah. Mereka telah mel | 5 % |
tu saja ada sekian banyak lagi kaidah ushul fikih yang perlu | direformasi | dengan menyertakan banyak orang yang berkompeten. Dengan car | 99 % |
an genial bahwa seorang mujtahid diharuskan untuk melengkapi | diri | dengan pengetahuan yang memadai menyangkut tradisi dan kebia | 21 % |
al-Qur`an. Kerja tanqih ini hakekatnya inheren di dalam | diri | setiap manusia yang berakal budi. Dalam jiwa manusia terdapa | 82 % |
menakwil ayat-ayat yang mutasyabih. Akal tidak cukup percaya | diri | untuk melakukan peninjauan ulang apalagi mempertanyakan ayat | 90 % |
emata. Para pemakai kaidah kedua ini mungkin tepat sekiranya | disebut | sebagai penyembah kata (‘ubbad al-alafdz), semantara kata (l | 40 % |
Ayat-ayat semacam itu, sebagaimana dikatakan sebelumnya | disebut | sebagai fikih al-Qur`an. Sebagai sebuah fikih, ayat-ayat ter | 79 % |
diujarkan oleh nash adalah kemaslahatan itu sendiri. Sering | disinyalir | bahwa kemaslahatan yang diandaikan oleh manusia adalah kemas | 48 % |
a itu hanya sebagian kaidah ushul fikih alternatif yang bisa | disodorkan | untuk membenahi kelemahan-kelemahan metodologi istinbath yan | 98 % |
. Kedua, dalam kaidah yang terakhir itu, realitas hendak | disubordinasikan | ke dalam bunyi harafiah teks. Yang dituju adalah kebenaran t | 36 % |
an legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. | ditegaskan | bahwa ketika terjadi pertentangan antara akal publik dan bun | 9 % |
uk sumber dari al-Qur`an sendiri. Oleh karena itu, sekiranya | ditemukan | sebuah teks agama baik di dalam al-Qur`an maupun al-hadits ( | 27 % |
h kemaslahatan semu dan relatif, sementara kemaslahatan yang | ditetapkan | Tuhan melalui bunyi harafiah nash adalah kemaslahatan hakiki | 49 % |
merupakan saudara kandung dari syari’at-syari’at yang telah | ditetapkan | Allah Swt. Teks suci tanpa kemaslahatan memang tak berfun | 60 % |
s hendak disubordinasikan ke dalam bunyi harafiah teks. Yang | dituju | adalah kebenaran teks dengan konsekuensi mengabaikan konteks | 36 % |
iteralnya. Nah, untuk mengetahui maqashid ini maka seseorang | dituntut | untuk memahami konteks. Yang dimaksudkan bukan hanya konteks | 19 % |
jadi pertentangan antara nash dan mashlahah, karena apa yang | diujarkan | oleh nash adalah kemaslahatan itu sendiri. Sering disinyalir | 48 % |
dai untuk mengejar kebenaran hakiki (maqashid asasiyah) yang | diusung | oleh teks. Analisis mestinya dilanjutkan pada penyingkapan m | 42 % |
impuls abadi yang tak pernah padam untuk bertanqih. Terdapat | dorongan | adekuat untuk senantiasa berpihak pada kebenaran dan keadila | 83 % |
untuk dinasakh dan difalsifikasi, sekiranya ayat tadi tidak | efektif | lagi sebagai sarana untuk mewujudkan cita kemalahatan. Dalam | 72 % |
n, akal publik perlu mendapatkan wewenang untuk mengevaluasi | efektivitas | dan kinerja beberapa ketentuan al-Qur`an dan al-Hadits di da | 95 % |
gantarkan al-Qur`an pada perangkap yang mematikan spirit dan | elan | vital al-Qur`an. Kerja tanqih ini hakekatnya inheren di | 82 % |
Muslim memandang metodologi (ushul fikih) klasik tanpa cacat | epistemologis | apapun. Ajakan sejumlah ulama Indonesia untuk mengubah pola | 3 % |
ashid yang dikandungnya. Yang menjadi aksis adalah cita-cita | etik-moral | dari sebuah ayat dan bukan legislasi spesifik atau formulasi | 18 % |
ran mana telah melintasi ruang dan waktu, mengatasi pelbagai | etnis | dan keyakinan. Ayat-ayat ini ingin saya katakan sebagai ayat | 67 % |
asi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, | fakta | akademis kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan | 1 % |
asi dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, | fakta | akademis kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan | 7 % |
akan kemaslahatan. Ibnu Rusyd dalam bukunya yang bertitelkan | fashl | al-Maqal fiy Taqrir Ma Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah min al | 59 % |
Membangun Ushul | fikih | Alternatif Mestinya, metodologi Islam klasik diletakkan d | 0 % |
dak memiliki reputasi dan kedudukan apapun dalam ruang ushul | fikih | klasik, kecuali sebagai sasaran hukum yang tak berdaya (muka | 11 % |
ini kiranya bermaksud untuk mereformasi kaidah-kaidah ushul | fikih | yang problematis dari sudut ontologis-epistemologis tersebut | 13 % |
todologi terutama dalam imu-ilmu terapan Islam semacam ushul | fikih | ini akan berkoresponden secara persis dengan kepiawaiannya d | 16 % |
aman wa makan). Sehingga kita tidak perlu kaget ketika ushul | fikih | lama berbicara tentang lafdz dalam porsi yang demikian besar | 39 % |
enangkan? Dalam menjawab pertanyaan ini, umumnya ulama ushul | fikih | klasik mengatakan bahwa yang dimenangkan adalah nash. Bahkan | 47 % |
gan al-ayat al-adna qiymatan atau al-ayat al-furu’iyyat atau | fikih | al-Qur`an, seperti ayat yang berbicara tentang bentuk-bentuk | 71 % |
emacam itu, sebagaimana dikatakan sebelumnya disebut sebagai | fikih | al-Qur`an. Sebagai sebuah fikih, ayat-ayat tersebut sepenuhn | 79 % |
baharuan, dan penyulingan. Dalam tataran itu, universalisasi | fikih | al-Qur`an tanpa melalui proses tanqih harus dihindari. Sebab | 81 % |
npa melalui proses tanqih harus dihindari. Sebab, membiarkan | fikih | al-Qur`an persis seperti dalam bunyi harfiahnya hanya akan m | 81 % |
Akhirnya, jangan lupa bahwa itu hanya sebagian kaidah ushul | fikih | alternatif yang bisa disodorkan untuk membenahi kelemahan-ke | 98 % |
a dirisaukan. Tentu saja ada sekian banyak lagi kaidah ushul | fikih | yang perlu direformasi dengan menyertakan banyak orang yang | 99 % |
an. Ibnu Rusyd dalam bukunya yang bertitelkan Fashl al-Maqal | fiy | Taqrir Ma Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah min al-Ittishal men | 60 % |
kan cita kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan adalah | fondasi | paling pokok dari setiap perundang-undangan syari’at Islam. | 62 % |
anya terhadap struktur kalimat per se melainkan yang justeru | fondasional | adalah analisa kelas dan struktur sosial dan budaya yang mel | 44 % |
tik-moral dari sebuah ayat dan bukan legislasi spesifik atau | formulasi | literalnya. Nah, untuk mengetahui maqashid ini maka seseoran | 18 % |
ita kemaslahatan akan senantiasa berkreasi untuk memproduksi | formulasi | bahkan teks keagamaan baru di tengah kegamangan dan kegagapa | 53 % |
ahkan teks keagamaan baru di tengah kegamangan dan kegagapan | formulasi | dan teks keagamaan lama.Praktek dari kaidah ini dapat diketa | 53 % |
athibi di dalam al-Muwafaqat mendengungkan sebuah pernyataan | genial | bahwa seorang mujtahid diharuskan untuk melengkapi diri deng | 21 % |
di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Oleh: Abd Moqsith | ghazali | Banyak pemikir Muslim memandang metodologi (ushul fikih) kla | 3 % |
anapun di dalam ruang publik tidak boleh ada satu pihak atau | golongan | dalam masyarakat yang berhak memaksa pandangannya pada orang | 85 % |
ayat partikular yang tergolong qath’iyat dari sudut struktur | gramatika | bahasanya. Akal manusia dalam buku-buku teologi klasik t | 90 % |
tingkat pemecahan problem tersebut, maka ia tidaklah banyak | guna | dan manfaatnya. Kecanggihan sebuah metodologi terutama dalam | 15 % |
han lain selain menerapkan nash tersebut, sekalipun nash itu | hadir | untuk merespons suatu peristiwa yang khusus. “Pasrah pada ke | 30 % |
mewujudkan cita kemalahatan. Dalam sejarahnya, nasakh selalu | hadir | untuk terus-menerus memperbaharui teks-teks agama yang tidak | 73 % |
ori ayat yang tidak bisa dinasakh ini, seperti ayat “wa idza | hakamtum | bayna al-nas an tahkumu bi al’adl”, “I’dilu huwa aqrabu li a | 69 % |
atikan spirit dan elan vital al-Qur`an. Kerja tanqih ini | hakekatnya | inheren di dalam diri setiap manusia yang berakal budi. Dala | 82 % |
kedigdayaan teks. Baik kalangan Asy’ariyah maupun Mu’tazilah | hakekatnya | sama-sama memposisikan akal sebagai pengelola data-teks, sem | 87 % |
istik saja tidak akan cukup memadai untuk mengejar kebenaran | hakiki | (maqashid asasiyah) yang diusung oleh teks. Analisis mestiny | 42 % |
tapkan Tuhan melalui bunyi harafiah nash adalah kemaslahatan | hakiki | dan obyektif. Manusia tidak memiliki kewenangan untuk memper | 49 % |
inguistik (fiy ithar al-dalalah al-lughawiyah)”, tandas Nahr | hamid | Abu Zaid dalam bukunya yang berjudul al-Nash, al-Sulthah, al | 32 % |
rang dituntut untuk memahami konteks. Yang dimaksudkan bukan | hanya | konteks personal yang juz`iy-partikular melainkan juga konte | 19 % |
. “Pasrah pada keumuman lafdz ( al-taslim bi ‘umum al-lafdz) | hanya | akan menyebabkan kita senantiasa berada dalam kerangka makna | 31 % |
ang disembah). Segera tampak bahwa analisis yang berhenti | hanya | pada konteks linguistik saja tidak akan cukup memadai untuk | 41 % |
makna itu akan meniscayakan adanya sebuah analisa yang bukan | hanya | terhadap struktur kalimat per se melainkan yang justeru fond | 43 % |
teks. Sebab, keterpesonaan merupakan tindakan ideologis yang | hanya | akan menumpulkan kreativitas dalam pencarian makna obyektif. | 45 % |
bersendikan kemaslahatan. Dijelaskan bahwa nasakh itu bukan | hanya | berlaku terhadap syari’at nabi-nabi terdahulu (syar’u man qa | 55 % |
iarkan fikih al-Qur`an persis seperti dalam bunyi harfiahnya | hanya | akan mengantarkan al-Qur`an pada perangkap yang mematikan sp | 81 % |
lola, maka akal tidak bisa bertindak terlampau jauh, kecuali | hanya | untuk melakukan rasionalisasi terhadap barang-barang irrasio | 88 % |
rang irrasional yang ada dalam al-Qur`an dan al-Sunnah. Akal | hanya | berguna untuk membuka tabir kegelapan teks-teks dhanniyat al | 89 % |
ks-teks dhanniyat al-Qur`an saja. Di tangan Mu’tazilah, akal | hanya | berfungsi untuk menakwil ayat-ayat yang mutasyabih. Akal tid | 89 % |
ik harus diberi posisi yang penting. Akal publik tidak cukup | hanya | tampil sebagai pengelola data-teks. Menyangkut perkara-perka | 94 % |
at-ayat yang problematik. Akhirnya, jangan lupa bahwa itu | hanya | sebagian kaidah ushul fikih alternatif yang bisa disodorkan | 98 % |
kaidah ini kerap terjebak pada suatu kenaifan. Bahwa semakin | harafiah | seseorang membaca al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada kebe | 34 % |
erakhir itu, realitas hendak disubordinasikan ke dalam bunyi | harafiah | teks. Yang dituju adalah kebenaran teks dengan konsekuensi m | 36 % |
, sementara kemaslahatan yang ditetapkan Tuhan melalui bunyi | harafiah | nash adalah kemaslahatan hakiki dan obyektif. Manusia tidak | 49 % |
hwa ketika terjadi pertentangan antara akal publik dan bunyi | harfiah | teks ajaran, metodologi lampau selalu mengambil cara penundu | 9 % |
ketika terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi | harfiah | teks ajaran, maka akal publik berotoritas untuk mengedit, me | 75 % |
Sebab, membiarkan fikih al-Qur`an persis seperti dalam bunyi | harfiahnya | hanya akan mengantarkan al-Qur`an pada perangkap yang memati | 81 % |
ari’ah. Begitu maqashid al-syari’ah sudah dicapai, maka teks | harus | segera dilepaskan dari konteks kearabannya (dekontekstualisa | 23 % |
ibrah bi khushûsh al-sabab lâ bi ‘umûm al-lafadz. Bahwa yang | harus | menjadi pertimbangan adalah keumuman lafadz, bukan khususnya | 29 % |
ian, yang terjadi justeru merupakan bagian dari masalah yang | harus | dipecahkan melalui prosedur tanqih yang berupa taqyid bi al- | 78 % |
, universalisasi fikih al-Qur`an tanpa melalui proses tanqih | harus | dihindari. Sebab, membiarkan fikih al-Qur`an persis seperti | 81 % |
uatan yang buruk. Menurut saya, sekali lagi, akal publik | harus | diberi posisi yang penting. Akal publik tidak cukup hanya ta | 94 % |
ya tidak dalam posisi bersetuju dengan jawaban di atas. Pada | hemat | saya, maslahat memiliki otoritas untuk menganulir kententuan | 51 % |
ah yang sejatinya menjadi sumber inspirasi tatkala al-Qur`an | hendak | melabuhkan ketentuan-ketentuan legal-spesifik di lapangan. D | 26 % |
takwaan. Kedua, dalam kaidah yang terakhir itu, realitas | hendak | disubordinasikan ke dalam bunyi harafiah teks. Yang dituju a | 36 % |
3 Tanqih al-Nushush bi al-’Aql al-Mujtama’ Kaidah ini | hendak | menyatakan bahwa akal publik memiliki kewenangan untuk menyu | 74 % |
na al-Syari’at wa al-Hikmah min al-Ittishal menyatakan bahwa | hikmah | (kemaslahatan) itu merupakan saudara kandung dari syari’at-s | 60 % |
enundukan terhadap akal publik. 2 Metodologi klasik kurang | hirau | terhadap kemampuan manusia di dalam merumuskan konsep kemasl | 10 % |
ketika berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat | hudud | (seperti potong tangan, rajam, dan sebagainya), waris, dan s | 76 % |
apun dalam ruang ushul fikih klasik, kecuali sebagai sasaran | hukum | yang tak berdaya (mukallaf) 3 Pemberhalaan teks dan pengab | 11 % |
menjadi perhatian seorang mujtahid di dalam mengistinbatkan | hukum | dari al-Qur`an dan al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya melai | 17 % |
lain, maqashid al-syari’ah adalah sumber dari segala sumber | hukum | dalam Islam, termasuk sumber dari al-Qur`an sendiri. Oleh ka | 27 % |
al-Qur`an, seperti ayat yang berbicara tentang bentuk-bentuk | hukuman | (‘uqubat), sanksi bagi para pelaku pidana (hudud), bilangan | 71 % |
lam mengistinbatkan hukum dari al-Qur`an dan al-Sunnah bukan | huruf | dan aksaranya melainkan dari maqashid yang dikandungnya. Yan | 18 % |
anut ideologi universalisme dan ketidak-berhinggan kebenaran | huruf | (shalahiyyah al-nansh dalaliyan li kulli zaman wa makan). Se | 38 % |
bertugas untuk mengeluarkan spirit dasar Islam dari lipatan | huruf-huruf | agama. Akal publik mempunyai tanggungjawab moral untuk menta | 97 % |
wa idza hakamtum bayna al-nas an tahkumu bi al’adl”, “I’dilu | huwa | aqrabu li al-taqwa”, dan sebagainya. Nasakh terhadap ayat ya | 69 % |
gi jika kandas pada tingkat pemecahan problem tersebut, maka | ia | tidaklah banyak guna dan manfaatnya. Kecanggihan sebuah meto | 15 % |
ikih) yang tidak lagi menyuarakan maqashid al-syari’ah, maka | ia | batal atau dapat dibatalkan demi logika maqashid al-syari’ah | 28 % |
kin harafiah seseorang membaca al-Qur`an, maka semakin dekat | ia | pada kebenaran. Sebaliknya, semakin jauh yang bersangkutan d | 34 % |
in jauh yang bersangkutan dari makna literal al-Qur`an, maka | ia | semakin terlempar dari kebenaran. Maka, semakin literal sese | 35 % |
seorang di dalam memperlakukan al-Qur`an, maka semakin dekat | ia | pada ketakwaan. Dan semakin substantif seseorang di dalam me | 35 % |
substantif seseorang di dalam memandang al-Qur`an, maka jauh | ia | dari ketakwaan. Kedua, dalam kaidah yang terakhir itu, r | 36 % |
apangan aturan tersebut tidak lagi menyuarakan kemaslahatan. | ibnu | Rusyd dalam bukunya yang bertitelkan Fashl al-Maqal fiy Taqr | 59 % |
mengharuskan demikian. Menarik mendengar pernyataan Izzuddin | ibnu | Abdissalam, “innama al-takalif kulluha raji’atun ila mashali | 63 % |
i sesuatu yang mutlak. Tak terbantah. Mereka telah melakukan | idealisasi | dan universalisasi terhadap metodologi lama yang provisionar | 6 % |
menjadi maklum, oleh karena para pemakai kaidah ini menganut | ideologi | universalisme dan ketidak-berhinggan kebenaran huruf (shalah | 38 % |
indahan sebuah teks. Sebab, keterpesonaan merupakan tindakan | ideologis | yang hanya akan menumpulkan kreativitas dalam pencarian makn | 45 % |
kategori ayat yang tidak bisa dinasakh ini, seperti ayat “wa | idza | hakamtum bayna al-nas an tahkumu bi al’adl”, “I’dilu huwa aq | 69 % |
realitas merupakan ciri umum dari metodologi lama. Aktivitas | ijtihad | selalu digerakkan di dalam areal teks. Ijtihad yang tidak be | 11 % |
ma. Aktivitas ijtihad selalu digerakkan di dalam areal teks. | ijtihad | yang tidak berkulminasi pada teks adalah illegal, sebab teks | 12 % |
zuddin Ibnu Abdissalam, “innama al-takalif kulluha raji’atun | ila | mashalih al-’ibad” seluruh ketentuan agama diarahkan untuk | 64 % |
universal. Pemahaman tentang konteks yang lebih dari sekadar | ilmu | sabab al-nuzul dalam pengertian klasik itu merupakan prasyar | 20 % |
nteks personal yang juz`iy-partikular melainkan juga konteks | impersonal | yang kulli-universal. Pemahaman tentang konteks yang lebih d | 19 % |
etiap manusia yang berakal budi. Dalam jiwa manusia terdapat | impuls | abadi yang tak pernah padam untuk bertanqih. Terdapat dorong | 82 % |
dan manfaatnya. Kecanggihan sebuah metodologi terutama dalam | imu-ilmu | terapan Islam semacam ushul fikih ini akan berkoresponden se | 16 % |
asik tanpa cacat epistemologis apapun. Ajakan sejumlah ulama | indonesia | untuk mengubah pola bermadzhab dari yang qawliy ke manhaji m | 3 % |
waktu, mengatasi pelbagai etnis dan keyakinan. Ayat-ayat ini | ingin | saya katakan sebagai ayat dengan kedudukan paling tinggi (al | 67 % |
it dan elan vital al-Qur`an. Kerja tanqih ini hakekatnya | inheren | di dalam diri setiap manusia yang berakal budi. Dalam jiwa m | 82 % |
kan aksis dari seluruh cara pemecahan problem. Tentu saja | ini | merupakan kelemahan metodologis tersendiri yang mesti mendap | 12 % |
mendapatkan penanganan. Dengan segala keterbatasan, tulisan | ini | kiranya bermaksud untuk mereformasi kaidah-kaidah ushul fiki | 13 % |
emologis tersebut. Dengan merekonstruksi kaidah-kaidah ushul | ini | niscaya produk pemikiran Islam akan lebih solutif bagi probl | 14 % |
gi terutama dalam imu-ilmu terapan Islam semacam ushul fikih | ini | akan berkoresponden secara persis dengan kepiawaiannya di da | 16 % |
1. al-’Ibrah bi al-maqashid la bi al-alfadz. Kaidah | ini | berarti bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid | 17 % |
ik atau formulasi literalnya. Nah, untuk mengetahui maqashid | ini | maka seseorang dituntut untuk memahami konteks. Yang dimaksu | 19 % |
terhadap kaidah konvensional ini. Misalnya, pertama, kaidah | ini | dipandang terlalu banyak berkonsentrasi dan bergerak pada me | 33 % |
n peranan sabab al-nuzul. Implikasinya, para pengguna kaidah | ini | kerap terjebak pada suatu kenaifan. Bahwa semakin harafiah s | 34 % |
i. Konteks didudukkan dalam posisi yang rendah dan sekunder. | ini | menjadi maklum, oleh karena para pemakai kaidah ini menganut | 37 % |
ekunder. Ini menjadi maklum, oleh karena para pemakai kaidah | ini | menganut ideologi universalisme dan ketidak-berhinggan keben | 38 % |
k menegakkan otoritas teks semata. Para pemakai kaidah kedua | ini | mungkin tepat sekiranya disebut sebagai penyembah kata (‘ubb | 40 % |
agapan formulasi dan teks keagamaan lama.Praktek dari kaidah | ini | dapat diketahui dari pembatalan demi pembatalan terhadap sej | 54 % |
paling pokok dari setiap perundang-undangan syari’at Islam. | ini | bukan karena ajaran Islam memang perlu dicocok-cocokkan seca | 62 % |
dan waktu, mengatasi pelbagai etnis dan keyakinan. Ayat-ayat | ini | ingin saya katakan sebagai ayat dengan kedudukan paling ting | 67 % |
al-ayat al-ushuliyat atau ushul al-Qur`an. Ayat-ayat seperti | ini | memang tidak banyak jumlahnya, bahkan bisa dihitung dengan j | 68 % |
3 Tanqih al-Nushush bi al-’Aql al-Mujtama’ Kaidah | ini | hendak menyatakan bahwa akal publik memiliki kewenangan untu | 74 % |
mengedit, menyempurnakan, dan memodifikasikannya. Modifikasi | ini | terasa sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat | 76 % |
mematikan spirit dan elan vital al-Qur`an. Kerja tanqih | ini | hakekatnya inheren di dalam diri setiap manusia yang berakal | 82 % |
urnakan segala kekurangan. Akal publik dan bukan akal privat | ini | dibutuhkan tentu untuk menghindari oligarki pendapat atau ot | 84 % |
kesetaraan, hikmah-kebijaksanaan, dan cinta kasih. Maqashid | inilah | yang sejatinya menjadi sumber inspirasi tatkala al-Qur`an he | 26 % |
ki otoritas untuk menganulir kententuan-ketentuan teks suci. | inilah | yang dimaksud dengan ungkapan “naskh al-nushush bi al-mashla | 51 % |
n cinta kasih. Maqashid inilah yang sejatinya menjadi sumber | inspirasi | tatkala al-Qur`an hendak melabuhkan ketentuan-ketentuan lega | 26 % |
Di sini, sebuah metodologi yang sejatinya lahir dari pabrik | intelektualitas | manusia yang nisbi telah diposisikan sebagai sesuatu yang mu | 5 % |
i hanya untuk melakukan rasionalisasi terhadap barang-barang | irrasional | yang ada dalam al-Qur`an dan al-Sunnah. Akal hanya berguna u | 88 % |
Membangun Ushul Fikih Alternatif Mestinya, metodologi | islam | klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikir | 0 % |
an menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam | islam | yang tidak lagi relevan. Oleh: Abd Moqsith Ghazali Ban | 2 % |
metodologi lama yang provisionaris. Mestinya, metodologi | islam | klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikir | 6 % |
an menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam | islam | yang tidak lagi relevan. Ditegaskan bahwa ketika terjadi per | 8 % |
ekonstruksi kaidah-kaidah ushul ini niscaya produk pemikiran | islam | akan lebih solutif bagi problem-problem kemanusiaan yang ter | 14 % |
ecanggihan sebuah metodologi terutama dalam imu-ilmu terapan | islam | semacam ushul fikih ini akan berkoresponden secara persis de | 16 % |
melainkan untuk menimba dan memperoleh prinsip-prinsip dasar | islam | atau yang dikenal dengan istilah maqashid al-syari’ah. Begit | 23 % |
rekontekstualisasi. Yaitu, melabuhkan prinsip-prinsip dasar | islam | itu di tempat dan di belahan bumi non-Arab. Maka, kontekstua | 24 % |
m, yang dikenal dengan istilah nasikh-mansukh. Semua pelajar | islam | mesti tahu cerita tentang penganuliran beberapa syari’at yan | 54 % |
batang tubuh syari’at Nabi Muhammad sendiri. Betapa syari’at | islam | yang baru diundangkan, kerap dalam 3 sampai 5 tahun dianulir | 56 % |
p perundang-undangan syari’at Islam. Ini bukan karena ajaran | islam | memang perlu dicocok-cocokkan secara opurtunistik dengan per | 62 % |
demikian bukan saja berpunggungan dengan semangat kehadiran | islam | awal, melainkan juga bertentangan dengan logika nasakh sendi | 70 % |
rsebut. Akal publik bertugas untuk mengeluarkan spirit dasar | islam | dari lipatan huruf-huruf agama. Akal publik mempunyai tanggu | 97 % |
peroleh prinsip-prinsip dasar Islam atau yang dikenal dengan | istilah | maqashid al-syari’ah. Begitu maqashid al-syari’ah sudah dica | 23 % |
atalan terhadap sejumlah syari’at Islam, yang dikenal dengan | istilah | nasikh-mansukh. Semua pelajar Islam mesti tahu cerita tentan | 54 % |
sa disodorkan untuk membenahi kelemahan-kelemahan metodologi | istinbath | yang telah lama dirisaukan. Tentu saja ada sekian banyak lag | 99 % |
kita senantiasa berada dalam kerangka makna linguistik (fiy | ithar | al-dalalah al-lughawiyah)”, tandas Nahr Hamid Abu Zaid dalam | 32 % |
bih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian klasik | itu | merupakan prasyarat utama untuk menemukan maqashid al-syari’ | 20 % |
wahyu. Pengetahuan tentang konteks tentu bukan untuk konteks | itu | sendiri, melainkan untuk menimba dan memperoleh prinsip-prin | 22 % |
tekstualisasi. Yaitu, melabuhkan prinsip-prinsip dasar Islam | itu | di tempat dan di belahan bumi non-Arab. Maka, kontekstualisa | 24 % |
ng masa. Dalam khazanah ushul fikih, maqashid al-syari’ah | itu | adalah keadilan, kemaslahatan, kesetaraan, hikmah-kebijaksan | 25 % |
pilihan lain selain menerapkan nash tersebut, sekalipun nash | itu | hadir untuk merespons suatu peristiwa yang khusus. “Pasrah p | 30 % |
di dalam aksara sebuah teks. Pencapaian terhadap makna-makna | itu | akan meniscayakan adanya sebuah analisa yang bukan hanya ter | 43 % |
hah, karena apa yang diujarkan oleh nash adalah kemaslahatan | itu | sendiri. Sering disinyalir bahwa kemaslahatan yang diandaika | 48 % |
tidak lagi bersendikan kemaslahatan. Dijelaskan bahwa nasakh | itu | bukan hanya berlaku terhadap syari’at nabi-nabi terdahulu (s | 55 % |
ikmah min al-Ittishal menyatakan bahwa hikmah (kemaslahatan) | itu | merupakan saudara kandung dari syari’at-syari’at yang telah | 60 % |
emang tak berfungsi apa-apa buat manusia, kecuali untuk teks | itu | sendiri. Teks baru bermakna sekiranya menyertakan cita kemas | 61 % |
mbangan kemaslahatan, melainkan karena tuntutan kemaslahatan | itu | secara obyektif niscaya mengharuskan demikian. Menarik mende | 63 % |
a kemaslahatan umat manusia . Dengan ini, maka kemaslahatan | itu | merupakan ajaran agama yang tsawabit (tidak berubah, pokok, | 64 % |
an universal), sementara wujud pelaksanaan cita kemaslahatan | itu | merupakan perkara agama yang mutaghayyir (berubah-berubah me | 65 % |
s. Akal mengalami penyusutan peran. Seolah-olah akal manusia | itu | begitu rendah, sehingga kalau dibiarkan maka manusia secara | 91 % |
h ayat-ayat yang problematik. Akhirnya, jangan lupa bahwa | itu | hanya sebagian kaidah ushul fikih alternatif yang bisa disod | 98 % |
niscaya mengharuskan demikian. Menarik mendengar pernyataan | izzuddin | Ibnu Abdissalam, “innama al-takalif kulluha raji’atun ila ma | 63 % |
iarkan maka manusia secara massal akan bertelanjang bulat di | jalan-jalan | sebagaimana binatang, berzina beramai-ramai, mencuri secara | 92 % |
ral untuk mentanqih ayat-ayat yang problematik. Akhirnya, | jangan | lupa bahwa itu hanya sebagian kaidah ushul fikih alternatif | 98 % |
i memang tidak banyak jumlahnya, bahkan bisa dihitung dengan | jari | tangan. Masuk dalam kategori ayat yang tidak bisa dinasakh i | 68 % |
n, maka semakin dekat ia pada kebenaran. Sebaliknya, semakin | jauh | yang bersangkutan dari makna literal al-Qur`an, maka ia sema | 34 % |
akin substantif seseorang di dalam memandang al-Qur`an, maka | jauh | ia dari ketakwaan. Kedua, dalam kaidah yang terakhir itu | 36 % |
ati.Secara pribadi, saya tidak dalam posisi bersetuju dengan | jawaban | di atas. Pada hemat saya, maslahat memiliki otoritas untuk m | 51 % |
ulkan kreativitas dalam pencarian makna obyektif. 2 | jawaz | Naskh al-Nushush bi al-Mashlahah Terdapat sebait pertanya | 46 % |
bicara tentang lafdz dalam porsi yang demikian besar. Segala | jenis | perbincangan kebahasaan (abhats lughawiyah min mabahits al-a | 39 % |
rus melilit. Karena, betapa pun canggihnya sebuah metodologi | jika | kandas pada tingkat pemecahan problem tersebut, maka ia tida | 15 % |
mbangan adalah keumuman lafadz, bukan khususnya sebab. Maka, | jika | suatu nash menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tida | 30 % |
erdapat sebait pertanyaan ontologis dalam ranah ushul fikih, | jika | terjadi pertentangan antara teks (nash) dan maslahat mana ya | 46 % |
nheren di dalam diri setiap manusia yang berakal budi. Dalam | jiwa | manusia terdapat impuls abadi yang tak pernah padam untuk be | 82 % |
ukan hanya konteks personal yang juz`iy-partikular melainkan | juga | konteks impersonal yang kulli-universal. Pemahaman tentang k | 19 % |
i-nabi terdahulu (syar’u man qablana) saja, tetapi melainkan | juga | berlangsung dalam batang tubuh syari’at Nabi Muhammad sendir | 56 % |
erpunggungan dengan semangat kehadiran Islam awal, melainkan | juga | bertentangan dengan logika nasakh sendiri. Sementara ayat-ay | 70 % |
bukan hanya terhadap struktur kalimat per se melainkan yang | justeru | fondasional adalah analisa kelas dan struktur sosial dan bud | 44 % |
bisa menyelesaikan masalah-masalah kemanusian, yang terjadi | justeru | merupakan bagian dari masalah yang harus dipecahkan melalui | 77 % |
konteks. Yang dimaksudkan bukan hanya konteks personal yang | juz`iy-partikular | melainkan juga konteks impersonal yang kulli-universal. Pema | 19 % |
alaliyan li kulli zaman wa makan). Sehingga kita tidak perlu | kaget | ketika ushul fikih lama berbicara tentang lafdz dalam porsi | 38 % |
manusia. 1. al-’Ibrah bi al-maqashid la bi al-alfadz. | kaidah | ini berarti bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujta | 17 % |
atau dapat dibatalkan demi logika maqashid al-syari’ah itu. | kaidah | yang diajukan di atas merupakan antipoda dari kaidah lama ya | 29 % |
itu. Kaidah yang diajukan di atas merupakan antipoda dari | kaidah | lama yang berbunyi al-’ibrah bi khushûsh al-sabab lâ bi ‘umû | 29 % |
thah, al-Haqiqah. Terdapat sekian banyak kritik terhadap | kaidah | konvensional ini. Misalnya, pertama, kaidah ini dipandang te | 32 % |
kritik terhadap kaidah konvensional ini. Misalnya, pertama, | kaidah | ini dipandang terlalu banyak berkonsentrasi dan bergerak pad | 33 % |
enepikan peranan sabab al-nuzul. Implikasinya, para pengguna | kaidah | ini kerap terjebak pada suatu kenaifan. Bahwa semakin harafi | 33 % |
ang al-Qur`an, maka jauh ia dari ketakwaan. Kedua, dalam | kaidah | yang terakhir itu, realitas hendak disubordinasikan ke dalam | 36 % |
h dan sekunder. Ini menjadi maklum, oleh karena para pemakai | kaidah | ini menganut ideologi universalisme dan ketidak-berhinggan k | 38 % |
an upaya untuk menegakkan otoritas teks semata. Para pemakai | kaidah | kedua ini mungkin tepat sekiranya disebut sebagai penyembah | 40 % |
dan kegagapan formulasi dan teks keagamaan lama.Praktek dari | kaidah | ini dapat diketahui dari pembatalan demi pembatalan terhadap | 54 % |
sar Islam. 3 Tanqih al-Nushush bi al-’Aql al-Mujtama’ | kaidah | ini hendak menyatakan bahwa akal publik memiliki kewenangan | 74 % |
oblematik. Akhirnya, jangan lupa bahwa itu hanya sebagian | kaidah | ushul fikih alternatif yang bisa disodorkan untuk membenahi | 98 % |
ang telah lama dirisaukan. Tentu saja ada sekian banyak lagi | kaidah | ushul fikih yang perlu direformasi dengan menyertakan banyak | 99 % |
eterbatasan, tulisan ini kiranya bermaksud untuk mereformasi | kaidah-kaidah | ushul fikih yang problematis dari sudut ontologis-epistemolo | 13 % |
udut ontologis-epistemologis tersebut. Dengan merekonstruksi | kaidah-kaidah | ushul ini niscaya produk pemikiran Islam akan lebih solutif | 14 % |
us menerus mendevaluasi akal di bawah kedigdayaan teks. Baik | kalangan | Asy’ariyah maupun Mu’tazilah hakekatnya sama-sama memposisik | 87 % |
peran. Seolah-olah akal manusia itu begitu rendah, sehingga | kalau | dibiarkan maka manusia secara massal akan bertelanjang bulat | 91 % |
kan adanya sebuah analisa yang bukan hanya terhadap struktur | kalimat | per se melainkan yang justeru fondasional adalah analisa kel | 44 % |
elilit. Karena, betapa pun canggihnya sebuah metodologi jika | kandas | pada tingkat pemecahan problem tersebut, maka ia tidaklah ba | 15 % |
menyatakan bahwa hikmah (kemaslahatan) itu merupakan saudara | kandung | dari syari’at-syari’at yang telah ditetapkan Allah Swt. T | 60 % |
um dalam Islam, termasuk sumber dari al-Qur`an sendiri. Oleh | karena | itu, sekiranya ditemukan sebuah teks agama baik di dalam al- | 27 % |
am posisi yang rendah dan sekunder. Ini menjadi maklum, oleh | karena | para pemakai kaidah ini menganut ideologi universalisme dan | 37 % |
idak mungkin terjadi pertentangan antara nash dan mashlahah, | karena | apa yang diujarkan oleh nash adalah kemaslahatan itu sendiri | 48 % |
p dalam 3 sampai 5 tahun dianulir kembali oleh Nabi Muhammad | karena | tidak bermaslahat lagi. Tidaklah mustahil bahwa sesuatu | 57 % |
u ruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah | karena | perubahan konteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat se | 58 % |
ahan konteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatu | karena | diketahui mengandung maslahat, kemudian Allah melarangnya pa | 58 % |
ung maslahat, kemudian Allah melarangnya pada waktu kemudian | karena | diketahui di lapangan aturan tersebut tidak lagi menyuarakan | 59 % |
kok dari setiap perundang-undangan syari’at Islam. Ini bukan | karena | ajaran Islam memang perlu dicocok-cocokkan secara opurtunist | 62 % |
ara opurtunistik dengan perkembangan kemaslahatan, melainkan | karena | tuntutan kemaslahatan itu secara obyektif niscaya mengharusk | 63 % |
masyarakat yang berhak memaksa pandangannya pada orang lain, | karena | pandangannya dinilai lebih benar. Mereka memiliki kedudukan | 85 % |
sikap yang tidak apresiatif bahkan merendahkan akal sebagai | karya | agung Allah Swt. Allah menciptakan akal sesungguhnya agar ma | 93 % |
yat tersebut sepenuhnya merupakan respons al-Qur`an terhadap | kasus-kasus | tertentu yang berlangsung dalam lokus tertentu pula, masyara | 79 % |
kedua ini mungkin tepat sekiranya disebut sebagai penyembah | kata | (‘ubbad al-alafdz), semantara kata (lafdz) adalah shanam yu’ | 41 % |
disebut sebagai penyembah kata (‘ubbad al-alafdz), semantara | kata | (lafdz) adalah shanam yu’bad (patung yang disembah). Sege | 41 % |
atasi pelbagai etnis dan keyakinan. Ayat-ayat ini ingin saya | katakan | sebagai ayat dengan kedudukan paling tinggi (al-ayat al-’ala | 67 % |
lahnya, bahkan bisa dihitung dengan jari tangan. Masuk dalam | kategori | ayat yang tidak bisa dinasakh ini, seperti ayat “wa idza hak | 68 % |
ma Indonesia untuk mengubah pola bermadzhab dari yang qawliy | ke | manhaji mengandung pengertian bahwa metodologi klasik yang t | 4 % |
m kaidah yang terakhir itu, realitas hendak disubordinasikan | ke | dalam bunyi harafiah teks. Yang dituju adalah kebenaran teks | 36 % |
senantiasa berkreasi untuk memproduksi formulasi bahkan teks | keagamaan | baru di tengah kegamangan dan kegagapan formulasi dan teks k | 53 % |
n baru di tengah kegamangan dan kegagapan formulasi dan teks | keagamaan | lama.Praktek dari kaidah ini dapat diketahui dari pembatalan | 53 % |
udah dicapai, maka teks harus segera dilepaskan dari konteks | kearabannya | (dekontekstualisasi) untuk kemudian dilakukan rekontekstuali | 23 % |
z dalam porsi yang demikian besar. Segala jenis perbincangan | kebahasaan | (abhats lughawiyah min mabahits al-alfadz) seperti mengenai | 39 % |
berkompeten. Dengan cara ini, niscaya kita bisa menghindari | kebekuan | dan kemandulan metodologi-ushul fikih. | 100 % |
ordinasikan ke dalam bunyi harafiah teks. Yang dituju adalah | kebenaran | teks dengan konsekuensi mengabaikan konteks (al-siyaq al-tar | 37 % |
h ini menganut ideologi universalisme dan ketidak-berhinggan | kebenaran | huruf (shalahiyyah al-nansh dalaliyan li kulli zaman wa maka | 38 % |
teks linguistik saja tidak akan cukup memadai untuk mengejar | kebenaran | hakiki (maqashid asasiyah) yang diusung oleh teks. Analisis | 42 % |
dalam lokus tertentu pula, masyarakat Arab. Dengan demikian, | kebenaran | ayat-ayat tadi bersifat relatif dan tentatif, sehingga memer | 80 % |
ih. Terdapat dorongan adekuat untuk senantiasa berpihak pada | kebenaran | dan keadilan. Selalu ada kecenderungan untuk mengoreksi pelb | 83 % |
, kemaslahatan merupakan amunisi untuk mengontrol balik dari | keberadaan | teks dengan menganulir beberapa teks suci yang sudah aus. De | 52 % |
diri dengan pengetahuan yang memadai menyangkut tradisi dan | kebiasaan | masyarakat Arab sebagai masyarakat awal yang menjadi sasaran | 21 % |
oblem tersebut, maka ia tidaklah banyak guna dan manfaatnya. | kecanggihan | sebuah metodologi terutama dalam imu-ilmu terapan Islam sema | 15 % |
senantiasa berpihak pada kebenaran dan keadilan. Selalu ada | kecenderungan | untuk mengoreksi pelbagai kekeliruan dan menyempurnakan sega | 83 % |
eputasi dan kedudukan apapun dalam ruang ushul fikih klasik, | kecuali | sebagai sasaran hukum yang tak berdaya (mukallaf) 3 Pember | 11 % |
anpa kemaslahatan memang tak berfungsi apa-apa buat manusia, | kecuali | untuk teks itu sendiri. Teks baru bermakna sekiranya menyert | 61 % |
ai pengelola, maka akal tidak bisa bertindak terlampau jauh, | kecuali | hanya untuk melakukan rasionalisasi terhadap barang-barang i | 88 % |
ng kontemporer yang terus menerus mendevaluasi akal di bawah | kedigdayaan | teks. Baik kalangan Asy’ariyah maupun Mu’tazilah hakekatnya | 87 % |
a untuk menegakkan otoritas teks semata. Para pemakai kaidah | kedua | ini mungkin tepat sekiranya disebut sebagai penyembah kata ( | 40 % |
uk umat manusia sendiri. Manusia tidak memiliki reputasi dan | kedudukan | apapun dalam ruang ushul fikih klasik, kecuali sebagai sasar | 10 % |
akinan. Ayat-ayat ini ingin saya katakan sebagai ayat dengan | kedudukan | paling tinggi (al-ayat al-’ala qiymatan), atau al-ayat al-us | 67 % |
in, karena pandangannya dinilai lebih benar. Mereka memiliki | kedudukan | dan derajat yang sama. Pandangan di atas sangat berbeda | 86 % |
ormulasi bahkan teks keagamaan baru di tengah kegamangan dan | kegagapan | formulasi dan teks keagamaan lama.Praktek dari kaidah ini da | 53 % |
k memproduksi formulasi bahkan teks keagamaan baru di tengah | kegamangan | dan kegagapan formulasi dan teks keagamaan lama.Praktek dari | 53 % |
Qur`an dan al-Sunnah. Akal hanya berguna untuk membuka tabir | kegelapan | teks-teks dhanniyat al-Qur`an saja. Di tangan Mu’tazilah, ak | 89 % |
kelas dan struktur sosial dan budaya yang melingkupi sejarah | kehadiran | teks. Maka, kejarlah maqashid al-syari’ah dengan pelbagai ca | 44 % |
ayat yang demikian bukan saja berpunggungan dengan semangat | kehadiran | Islam awal, melainkan juga bertentangan dengan logika nasakh | 70 % |
engan pelbagai cara, tanpa terlalu banyak terpesona terhadap | keindahan | sebuah teks. Sebab, keterpesonaan merupakan tindakan ideolog | 45 % |
ial dan budaya yang melingkupi sejarah kehadiran teks. Maka, | kejarlah | maqashid al-syari’ah dengan pelbagai cara, tanpa terlalu ban | 44 % |
keadilan. Selalu ada kecenderungan untuk mengoreksi pelbagai | kekeliruan | dan menyempurnakan segala kekurangan. Akal publik dan bukan | 83 % |
mat per se melainkan yang justeru fondasional adalah analisa | kelas | dan struktur sosial dan budaya yang melingkupi sejarah kehad | 44 % |
seluruh cara pemecahan problem. Tentu saja ini merupakan | kelemahan | metodologis tersendiri yang mesti mendapatkan penanganan. De | 13 % |
ushul fikih alternatif yang bisa disodorkan untuk membenahi | kelemahan-kelemahan | metodologi istinbath yang telah lama dirisaukan. Tentu saja | 98 % |
but. Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap | kemampuan | akal publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-keten | 2 % |
1 Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata terhadap | kemampuan | akal publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-keten | 8 % |
dap akal publik. 2 Metodologi klasik kurang hirau terhadap | kemampuan | manusia di dalam merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk | 10 % |
Dengan cara ini, niscaya kita bisa menghindari kebekuan dan | kemandulan | metodologi-ushul fikih. | 100 % |
oduk pemikiran Islam akan lebih solutif bagi problem-problem | kemanusiaan | yang terus melilit. Karena, betapa pun canggihnya sebuah met | 14 % |
hirau terhadap kemampuan manusia di dalam merumuskan konsep | kemaslahatan | walau untuk umat manusia sendiri. Manusia tidak memiliki rep | 10 % |
nden secara persis dengan kepiawaiannya di dalam menciptakan | kemaslahatan | bagi sebesar-besarnya umat manusia. 1. al-’Ibrah bi al | 16 % |
sh dan mashlahah, karena apa yang diujarkan oleh nash adalah | kemaslahatan | itu sendiri. Sering disinyalir bahwa kemaslahatan yang diand | 48 % |
ash adalah kemaslahatan itu sendiri. Sering disinyalir bahwa | kemaslahatan | yang diandaikan oleh manusia adalah kemaslahatan semu dan re | 48 % |
yalir bahwa kemaslahatan yang diandaikan oleh manusia adalah | kemaslahatan | semu dan relatif, sementara kemaslahatan yang ditetapkan Tuh | 49 % |
oleh manusia adalah kemaslahatan semu dan relatif, sementara | kemaslahatan | yang ditetapkan Tuhan melalui bunyi harafiah nash adalah kem | 49 % |
tan yang ditetapkan Tuhan melalui bunyi harafiah nash adalah | kemaslahatan | hakiki dan obyektif. Manusia tidak memiliki kewenangan untuk | 49 % |
tidak memiliki kewenangan untuk mempertanyakan dan menggugat | kemaslahatan | literal teks. Kewajiban manusia adalah mengamalkan dan mengi | 50 % |
al-mashlahah”. Sebagai spirit dari teks (nushush) al-Qur`an, | kemaslahatan | merupakan amunisi untuk mengontrol balik dari keberadaan tek | 52 % |
eberapa teks suci yang sudah aus. Dengan cara ini, maka cita | kemaslahatan | akan senantiasa berkreasi untuk memproduksi formulasi bahkan | 53 % |
menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan waktu yang lain. Bila | kemaslahatan | dapat berubah karena perubahan konteks, maka dapat saja Alla | 58 % |
syari’at yang telah ditetapkan Allah Swt. Teks suci tanpa | kemaslahatan | memang tak berfungsi apa-apa buat manusia, kecuali untuk tek | 61 % |
s itu sendiri. Teks baru bermakna sekiranya menyertakan cita | kemaslahatan | bagi umat manusia. Kemaslahatan adalah fondasi paling pokok | 61 % |
a sekiranya menyertakan cita kemaslahatan bagi umat manusia. | kemaslahatan | adalah fondasi paling pokok dari setiap perundang-undangan s | 62 % |
dengan perkembangan kemaslahatan, melainkan karena tuntutan | kemaslahatan | itu secara obyektif niscaya mengharuskan demikian. Menarik m | 63 % |
” seluruh ketentuan agama diarahkan untuk sebesar-besarnya | kemaslahatan | umat manusia . Dengan ini, maka kemaslahatan itu merupakan | 64 % |
besar-besarnya kemaslahatan umat manusia . Dengan ini, maka | kemaslahatan | itu merupakan ajaran agama yang tsawabit (tidak berubah, pok | 64 % |
bah, pokok, dan universal), sementara wujud pelaksanaan cita | kemaslahatan | itu merupakan perkara agama yang mutaghayyir (berubah-beruba | 65 % |
yang baru diundangkan, kerap dalam 3 sampai 5 tahun dianulir | kembali | oleh Nabi Muhammad karena tidak bermaslahat lagi. Tidakl | 57 % |
ah tuntas dan sempurna. Sehingga, kewajiban umat yang datang | kemudian | bukan untuk mengubahnya, tetapi mengikuti dan melaksanakanny | 5 % |
lepaskan dari konteks kearabannya (dekontekstualisasi) untuk | kemudian | dilakukan rekontekstualisasi. Yaitu, melabuhkan prinsip-prin | 24 % |
ang bernilai maslahat dalam suatu tempat dan waktu tertentu, | kemudian | berubah menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan waktu yang la | 57 % |
nyuruh berbuat sesuatu karena diketahui mengandung maslahat, | kemudian | Allah melarangnya pada waktu kemudian karena diketahui di la | 59 % |
i mengandung maslahat, kemudian Allah melarangnya pada waktu | kemudian | karena diketahui di lapangan aturan tersebut tidak lagi meny | 59 % |
a (hudud), bilangan waris dan sebagainya, maka tetap terbuka | kemungkinan | untuk dinasakh dan difalsifikasi, sekiranya ayat tadi tidak | 72 % |
Pada hemat saya, maslahat memiliki otoritas untuk menganulir | kententuan-ketentuan | teks suci. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan “naskh al-nu | 51 % |
cam ushul fikih ini akan berkoresponden secara persis dengan | kepiawaiannya | di dalam menciptakan kemaslahatan bagi sebesar-besarnya umat | 16 % |
l-lafdz) hanya akan menyebabkan kita senantiasa berada dalam | kerangka | makna linguistik (fiy ithar al-dalalah al-lughawiyah)”, tand | 31 % |
ranan sabab al-nuzul. Implikasinya, para pengguna kaidah ini | kerap | terjebak pada suatu kenaifan. Bahwa semakin harafiah seseora | 34 % |
hammad sendiri. Betapa syari’at Islam yang baru diundangkan, | kerap | dalam 3 sampai 5 tahun dianulir kembali oleh Nabi Muhammad k | 56 % |
s kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan | kerapuhan | metodolgi klasik tersebut. Metodologi lama terlalu memandang | 1 % |
s kontemporer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan | kerapuhan | metodolgi klasik tersebut. 1 Metodologi lama terlalu meman | 7 % |
kontekstualisasi, dan rekontekstualisasi merupakan mekanisme | kerja | penafsiran sepanjang masa. Dalam khazanah ushul fikih, ma | 25 % |
da perangkap yang mematikan spirit dan elan vital al-Qur`an. | kerja | tanqih ini hakekatnya inheren di dalam diri setiap manusia y | 82 % |
l-takalif kulluha raji’atun ila mashalih al-’ibad” seluruh | ketentuan | agama diarahkan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat man | 64 % |
emiliki kewenangan untuk menyulih dan mengamandemen sejumlah | ketentuan | “dogmatik” agama yang menyangkut perkara-perkara publik, bai | 74 % |
wewenang untuk mengevaluasi efektivitas dan kinerja beberapa | ketentuan | al-Qur`an dan al-Hadits di dalam mengimpelementasikan maqash | 95 % |
erkara publik, maka akal publik mesti mempertimbangkan ulang | ketentuan | tersebut. Akal publik bertugas untuk mengeluarkan spirit das | 97 % |
hadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir | ketentuan-ketentuan | legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. | 2 % |
hadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir | ketentuan-ketentuan | legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Di | 8 % |
menjadi sumber inspirasi tatkala al-Qur`an hendak melabuhkan | ketentuan-ketentuan | legal-spesifik di lapangan. Dengan perkataan lain, maqashid | 26 % |
lalu banyak terpesona terhadap keindahan sebuah teks. Sebab, | keterpesonaan | merupakan tindakan ideologis yang hanya akan menumpulkan kre | 45 % |
ya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali menayangkan | ketidakberdayaan | bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. Metodologi lama | 1 % |
ya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali menayangkan | ketidakberdayaan | bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. 1 Metodologi l | 7 % |
’ah di bumi realitas. Sekiranya dari data lapangan diketahui | ketidak-berdayaan | sebuah teks di dalam mengatasi perkara-perkara publik, maka | 96 % |
para pemakai kaidah ini menganut ideologi universalisme dan | ketidak-berhinggan | kebenaran huruf (shalahiyyah al-nansh dalaliyan li kulli zam | 38 % |
tik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Ditegaskan bahwa | ketika | terjadi pertentangan antara akal publik dan bunyi harfiah te | 9 % |
an li kulli zaman wa makan). Sehingga kita tidak perlu kaget | ketika | ushul fikih lama berbicara tentang lafdz dalam porsi yang de | 39 % |
ublik, baik dalam al-Qur`an maupun dalam al-Sunnah. Sehingga | ketika | terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi harfiah | 75 % |
memodifikasikannya. Modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan | ketika | berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat hudud ( | 76 % |
umûm al-lafadz. Bahwa yang harus menjadi pertimbangan adalah | keumuman | lafadz, bukan khususnya sebab. Maka, jika suatu nash menggun | 30 % |
ir untuk merespons suatu peristiwa yang khusus. “Pasrah pada | keumuman | lafdz ( al-taslim bi ‘umum al-lafdz) hanya akan menyebabkan | 31 % |
ara ulama dahulu memang sudah tuntas dan sempurna. Sehingga, | kewajiban | umat yang datang kemudian bukan untuk mengubahnya, tetapi me | 4 % |
ntuk mempertanyakan dan menggugat kemaslahatan literal teks. | kewajiban | manusia adalah mengamalkan dan mengimaninya secara sepenuh h | 50 % |
lah kemaslahatan hakiki dan obyektif. Manusia tidak memiliki | kewenangan | untuk mempertanyakan dan menggugat kemaslahatan literal teks | 50 % |
Kaidah ini hendak menyatakan bahwa akal publik memiliki | kewenangan | untuk menyulih dan mengamandemen sejumlah ketentuan “dogmati | 74 % |
erupakan mekanisme kerja penafsiran sepanjang masa. Dalam | khazanah | ushul fikih, maqashid al-syari’ah itu adalah keadilan, kemas | 25 % |
rupakan antipoda dari kaidah lama yang berbunyi al-’ibrah bi | khushûsh | al-sabab lâ bi ‘umûm al-lafadz. Bahwa yang harus menjadi per | 29 % |
ang harus menjadi pertimbangan adalah keumuman lafadz, bukan | khususnya | sebab. Maka, jika suatu nash menggunakan redaksi yang bersif | 30 % |
erlu mendapatkan wewenang untuk mengevaluasi efektivitas dan | kinerja | beberapa ketentuan al-Qur`an dan al-Hadits di dalam mengimpe | 95 % |
dapatkan penanganan. Dengan segala keterbatasan, tulisan ini | kiranya | bermaksud untuk mereformasi kaidah-kaidah ushul fikih yang p | 13 % |
lafdz ( al-taslim bi ‘umum al-lafdz) hanya akan menyebabkan | kita | senantiasa berada dalam kerangka makna linguistik (fiy ithar | 31 % |
hiyyah al-nansh dalaliyan li kulli zaman wa makan). Sehingga | kita | tidak perlu kaget ketika ushul fikih lama berbicara tentang | 38 % |
akan banyak orang yang berkompeten. Dengan cara ini, niscaya | kita | bisa menghindari kebekuan dan kemandulan metodologi-ushul fikih. | 100 % |
mbangun Ushul Fikih Alternatif Mestinya, metodologi Islam | klasik | diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada | 0 % |
kali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi | klasik | tersebut. Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata ter | 1 % |
Banyak pemikir Muslim memandang metodologi (ushul fikih) | klasik | tanpa cacat epistemologis apapun. Ajakan sejumlah ulama Indo | 3 % |
ang qawliy ke manhaji mengandung pengertian bahwa metodologi | klasik | yang telah dikerangkakan oleh para ulama dahulu memang sudah | 4 % |
ologi lama yang provisionaris. Mestinya, metodologi Islam | klasik | diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada | 6 % |
kali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi | klasik | tersebut. 1 Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata | 7 % |
ngambil cara penundukan terhadap akal publik. 2 Metodologi | klasik | kurang hirau terhadap kemampuan manusia di dalam merumuskan | 10 % |
yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian | klasik | itu merupakan prasyarat utama untuk menemukan maqashid al-sy | 20 % |
an? Dalam menjawab pertanyaan ini, umumnya ulama ushul fikih | klasik | mengatakan bahwa yang dimenangkan adalah nash. Bahkan, al-Th | 47 % |
i atas sangat berbeda dengan pandangan mainstream, baik yang | klasik | maupun yang kontemporer yang terus menerus mendevaluasi akal | 86 % |
ramatika bahasanya. Akal manusia dalam buku-buku teologi | klasik | telah diletakkan sebagai sub-ordinat dari teks. Akal mengala | 91 % |
rnatif Mestinya, metodologi Islam klasik diletakkan dalam | konfigurasi | dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fak | 0 % |
naris. Mestinya, metodologi Islam klasik diletakkan dalam | konfigurasi | dan konteks umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fak | 7 % |
unyi harafiah teks. Yang dituju adalah kebenaran teks dengan | konsekuensi | mengabaikan konteks (al-siyaq al-tarikhi) yang mengitari. Ko | 37 % |
kurang hirau terhadap kemampuan manusia di dalam merumuskan | konsep | kemaslahatan walau untuk umat manusia sendiri. Manusia tidak | 10 % |
ya, metodologi Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan | konteks | umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis | 1 % |
ya, metodologi Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan | konteks | umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis | 7 % |
ituntut untuk memahami konteks. Yang dimaksudkan bukan hanya | konteks | personal yang juz`iy-partikular melainkan juga konteks imper | 19 % |
hanya konteks personal yang juz`iy-partikular melainkan juga | konteks | impersonal yang kulli-universal. Pemahaman tentang konteks y | 19 % |
a konteks impersonal yang kulli-universal. Pemahaman tentang | konteks | yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian | 20 % |
yarakat awal yang menjadi sasaran wahyu. Pengetahuan tentang | konteks | tentu bukan untuk konteks itu sendiri, melainkan untuk menim | 22 % |
sasaran wahyu. Pengetahuan tentang konteks tentu bukan untuk | konteks | itu sendiri, melainkan untuk menimba dan memperoleh prinsip- | 22 % |
ari’ah sudah dicapai, maka teks harus segera dilepaskan dari | konteks | kearabannya (dekontekstualisasi) untuk kemudian dilakukan re | 23 % |
dituju adalah kebenaran teks dengan konsekuensi mengabaikan | konteks | (al-siyaq al-tarikhi) yang mengitari. Konteks didudukkan dal | 37 % |
si mengabaikan konteks (al-siyaq al-tarikhi) yang mengitari. | konteks | didudukkan dalam posisi yang rendah dan sekunder. Ini menjad | 37 % |
h). Segera tampak bahwa analisis yang berhenti hanya pada | konteks | linguistik saja tidak akan cukup memadai untuk mengejar kebe | 41 % |
sebagainya), waris, dan sebagainya. Ayat-ayat tersebut dalam | konteks | sekarang, alih-alih bisa menyelesaikan masalah-masalah keman | 77 % |
umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis | kontemporer | seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan met | 1 % |
umum pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis | kontemporer | seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan met | 7 % |
da dengan pandangan mainstream, baik yang klasik maupun yang | kontemporer | yang terus menerus mendevaluasi akal di bawah kedigdayaan te | 86 % |
l-Haqiqah. Terdapat sekian banyak kritik terhadap kaidah | konvensional | ini. Misalnya, pertama, kaidah ini dipandang terlalu banyak | 32 % |
aan merupakan tindakan ideologis yang hanya akan menumpulkan | kreativitas | dalam pencarian makna obyektif. 2 Jawaz Naskh al-N | 45 % |
al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah. Terdapat sekian banyak | kritik | terhadap kaidah konvensional ini. Misalnya, pertama, kaidah | 32 % |
erhinggan kebenaran huruf (shalahiyyah al-nansh dalaliyan li | kulli | zaman wa makan). Sehingga kita tidak perlu kaget ketika ushu | 38 % |
ngar pernyataan Izzuddin Ibnu Abdissalam, “innama al-takalif | kulluha | raji’atun ila mashalih al-’ibad” seluruh ketentuan agama d | 63 % |
cara penundukan terhadap akal publik. 2 Metodologi klasik | kurang | hirau terhadap kemampuan manusia di dalam merumuskan konsep | 10 % |
sar-besarnya umat manusia. 1. al-’Ibrah bi al-maqashid | la | bi al-alfadz. Kaidah ini berarti bahwa yang mesti menjadi | 17 % |
ari kaidah lama yang berbunyi al-’ibrah bi khushûsh al-sabab | lâ | bi ‘umûm al-lafadz. Bahwa yang harus menjadi pertimbangan ad | 29 % |
merespons suatu peristiwa yang khusus. “Pasrah pada keumuman | lafdz | ( al-taslim bi ‘umum al-lafdz) hanya akan menyebabkan kita s | 31 % |
tidak perlu kaget ketika ushul fikih lama berbicara tentang | lafdz | dalam porsi yang demikian besar. Segala jenis perbincangan k | 39 % |
entuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang tidak | lagi | relevan. Oleh: Abd Moqsith Ghazali Banyak pemikir Musl | 2 % |
entuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang tidak | lagi | relevan. Ditegaskan bahwa ketika terjadi pertentangan antara | 8 % |
pun al-hadits (apalagi di dalam tafsir dan fikih) yang tidak | lagi | menyuarakan maqashid al-syari’ah, maka ia batal atau dapat d | 28 % |
tentang penganuliran beberapa syari’at yang dipandang tidak | lagi | bersendikan kemaslahatan. Dijelaskan bahwa nasakh itu bukan | 55 % |
kemudian karena diketahui di lapangan aturan tersebut tidak | lagi | menyuarakan kemaslahatan. Ibnu Rusyd dalam bukunya yang bert | 59 % |
inasakh dan difalsifikasi, sekiranya ayat tadi tidak efektif | lagi | sebagai sarana untuk mewujudkan cita kemalahatan. Dalam seja | 72 % |
untuk terus-menerus memperbaharui teks-teks agama yang tidak | lagi | merepresentasikan prinsip-prinsip dasar Islam. 3 Tanq | 73 % |
ath yang telah lama dirisaukan. Tentu saja ada sekian banyak | lagi | kaidah ushul fikih yang perlu direformasi dengan menyertakan | 99 % |
n melaksanakannya. Di sini, sebuah metodologi yang sejatinya | lahir | dari pabrik intelektualitas manusia yang nisbi telah diposis | 5 % |
nggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan | lain | selain menerapkan nash tersebut, sekalipun nash itu hadir un | 30 % |
ayaan bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. Metodologi | lama | terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publi | 1 % |
melakukan idealisasi dan universalisasi terhadap metodologi | lama | yang provisionaris. Mestinya, metodologi Islam klasik dil | 6 % |
n bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. 1 Metodologi | lama | terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publi | 8 % |
Kaidah yang diajukan di atas merupakan antipoda dari kaidah | lama | yang berbunyi al-’ibrah bi khushûsh al-sabab lâ bi ‘umûm al- | 29 % |
a makan). Sehingga kita tidak perlu kaget ketika ushul fikih | lama | berbicara tentang lafdz dalam porsi yang demikian besar. Seg | 39 % |
embenahi kelemahan-kelemahan metodologi istinbath yang telah | lama | dirisaukan. Tentu saja ada sekian banyak lagi kaidah ushul f | 99 % |
antara akal publik dan bunyi harfiah teks ajaran, metodologi | lampau | selalu mengambil cara penundukan terhadap akal publik. 2 M | 9 % |
an Allah melarangnya pada waktu kemudian karena diketahui di | lapangan | aturan tersebut tidak lagi menyuarakan kemaslahatan. Ibnu Ru | 59 % |
n maqashid al-syari’ah di bumi realitas. Sekiranya dari data | lapangan | diketahui ketidak-berdayaan sebuah teks di dalam mengatasi p | 96 % |
kaidah-kaidah ushul ini niscaya produk pemikiran Islam akan | lebih | solutif bagi problem-problem kemanusiaan yang terus melilit. | 14 % |
ersonal yang kulli-universal. Pemahaman tentang konteks yang | lebih | dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian klasik itu | 20 % |
sa pandangannya pada orang lain, karena pandangannya dinilai | lebih | benar. Mereka memiliki kedudukan dan derajat yang sama. | 86 % |
publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan | legal-formalistik | di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Oleh: Abd Moqsith | 2 % |
publik di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan | legal-formalistik | di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Ditegaskan bahwa ket | 8 % |
rasi tatkala al-Qur`an hendak melabuhkan ketentuan-ketentuan | legal-spesifik | di lapangan. Dengan perkataan lain, maqashid al-syari’ah ada | 26 % |
aksis adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat dan bukan | legislasi | spesifik atau formulasi literalnya. Nah, untuk mengetahui ma | 18 % |
k-berhinggan kebenaran huruf (shalahiyyah al-nansh dalaliyan | li | kulli zaman wa makan). Sehingga kita tidak perlu kaget ketik | 38 % |
mtum bayna al-nas an tahkumu bi al’adl”, “I’dilu huwa aqrabu | li | al-taqwa”, dan sebagainya. Nasakh terhadap ayat yang demikia | 69 % |
akan menyebabkan kita senantiasa berada dalam kerangka makna | linguistik | (fiy ithar al-dalalah al-lughawiyah)”, tandas Nahr Hamid Abu | 31 % |
egera tampak bahwa analisis yang berhenti hanya pada konteks | linguistik | saja tidak akan cukup memadai untuk mengejar kebenaran hakik | 41 % |
l publik bertugas untuk mengeluarkan spirit dasar Islam dari | lipatan | huruf-huruf agama. Akal publik mempunyai tanggungjawab moral | 97 % |
naran. Sebaliknya, semakin jauh yang bersangkutan dari makna | literal | al-Qur`an, maka ia semakin terlempar dari kebenaran. Maka, s | 34 % |
`an, maka ia semakin terlempar dari kebenaran. Maka, semakin | literal | seseorang di dalam memperlakukan al-Qur`an, maka semakin dek | 35 % |
i kewenangan untuk mempertanyakan dan menggugat kemaslahatan | literal | teks. Kewajiban manusia adalah mengamalkan dan mengimaninya | 50 % |
qashid al-syari’ah, maka ia batal atau dapat dibatalkan demi | logika | maqashid al-syari’ah itu. Kaidah yang diajukan di atas me | 28 % |
gat kehadiran Islam awal, melainkan juga bertentangan dengan | logika | nasakh sendiri. Sementara ayat-ayat mu’amalah dalam al-Qur`a | 70 % |
-Qur`an terhadap kasus-kasus tertentu yang berlangsung dalam | lokus | tertentu pula, masyarakat Arab. Dengan demikian, kebenaran a | 79 % |
demikian besar. Segala jenis perbincangan kebahasaan (abhats | lughawiyah | min mabahits al-alfadz) seperti mengenai ‘amm-khashsh, muthl | 39 % |
uk mentanqih ayat-ayat yang problematik. Akhirnya, jangan | lupa | bahwa itu hanya sebagian kaidah ushul fikih alternatif yang | 98 % |
syd dalam bukunya yang bertitelkan Fashl al-Maqal fiy Taqrir | ma | Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah min al-Ittishal menyatakan ba | 60 % |
Segala jenis perbincangan kebahasaan (abhats lughawiyah min | mabahits | al-alfadz) seperti mengenai ‘amm-khashsh, muthlaq-muqayyad, | 39 % |
am suatu tempat dan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi | mafsadat | dalam suatu ruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dap | 58 % |
odologi jika kandas pada tingkat pemecahan problem tersebut, | maka | ia tidaklah banyak guna dan manfaatnya. Kecanggihan sebuah m | 15 % |
tau formulasi literalnya. Nah, untuk mengetahui maqashid ini | maka | seseorang dituntut untuk memahami konteks. Yang dimaksudkan | 19 % |
shid al-syari’ah. Begitu maqashid al-syari’ah sudah dicapai, | maka | teks harus segera dilepaskan dari konteks kearabannya (dekon | 23 % |
dan fikih) yang tidak lagi menyuarakan maqashid al-syari’ah, | maka | ia batal atau dapat dibatalkan demi logika maqashid al-syari | 28 % |
aka, jika suatu nash menggunakan redaksi yang bersifat umum, | maka | tidak ada pilihan lain selain menerapkan nash tersebut, seka | 30 % |
enaifan. Bahwa semakin harafiah seseorang membaca al-Qur`an, | maka | semakin dekat ia pada kebenaran. Sebaliknya, semakin jauh ya | 34 % |
semakin jauh yang bersangkutan dari makna literal al-Qur`an, | maka | ia semakin terlempar dari kebenaran. Maka, semakin literal s | 35 % |
semakin literal seseorang di dalam memperlakukan al-Qur`an, | maka | semakin dekat ia pada ketakwaan. Dan semakin substantif sese | 35 % |
n semakin substantif seseorang di dalam memandang al-Qur`an, | maka | jauh ia dari ketakwaan. Kedua, dalam kaidah yang terakhi | 36 % |
nganulir beberapa teks suci yang sudah aus. Dengan cara ini, | maka | cita kemaslahatan akan senantiasa berkreasi untuk memproduks | 53 % |
n. Bila kemaslahatan dapat berubah karena perubahan konteks, | maka | dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatu karena diketahui m | 58 % |
uk sebesar-besarnya kemaslahatan umat manusia . Dengan ini, | maka | kemaslahatan itu merupakan ajaran agama yang tsawabit (tidak | 64 % |
i para pelaku pidana (hudud), bilangan waris dan sebagainya, | maka | tetap terbuka kemungkinan untuk dinasakh dan difalsifikasi, | 72 % |
ntangan antara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, | maka | akal publik berotoritas untuk mengedit, menyempurnakan, dan | 75 % |
ra data-teks merupakan pangkal atau asal. Sebagai pengelola, | maka | akal tidak bisa bertindak terlampau jauh, kecuali hanya untu | 88 % |
lah akal manusia itu begitu rendah, sehingga kalau dibiarkan | maka | manusia secara massal akan bertelanjang bulat di jalan-jalan | 92 % |
ayaan sebuah teks di dalam mengatasi perkara-perkara publik, | maka | akal publik mesti mempertimbangkan ulang ketentuan tersebut. | 96 % |
hanya akan menyebabkan kita senantiasa berada dalam kerangka | makna | linguistik (fiy ithar al-dalalah al-lughawiyah)”, tandas Nah | 31 % |
a kebenaran. Sebaliknya, semakin jauh yang bersangkutan dari | makna | literal al-Qur`an, maka ia semakin terlempar dari kebenaran. | 34 % |
g oleh teks. Analisis mestinya dilanjutkan pada penyingkapan | makna | yang terdiamkan (al-maskut ‘anhu), yaitu makna yang tak terc | 42 % |
penyingkapan makna yang terdiamkan (al-maskut ‘anhu), yaitu | makna | yang tak tercakup secara verbatim di dalam aksara sebuah tek | 43 % |
ogis yang hanya akan menumpulkan kreativitas dalam pencarian | makna | obyektif. 2 Jawaz Naskh al-Nushush bi al-Mashlahah | 46 % |
ra verbatim di dalam aksara sebuah teks. Pencapaian terhadap | makna-makna | itu akan meniscayakan adanya sebuah analisa yang bukan hanya | 43 % |
hanya berlaku terhadap syari’at nabi-nabi terdahulu (syar’u | man | qablana) saja, tetapi melainkan juga berlangsung dalam batan | 56 % |
h, jika terjadi pertentangan antara teks (nash) dan maslahat | mana | yang mesti dimenangkan? Dalam menjawab pertanyaan ini, umumn | 47 % |
ang mengandung prinsip-prinsip ajaran yang universal, ajaran | mana | telah melintasi ruang dan waktu, mengatasi pelbagai etnis da | 67 % |
n akal sesungguhnya agar manusia sanggup memilah dan memilih | mana-mana | tindakan yang baik dan mana-mana pula perbuatan yang buruk. | 93 % |
sanggup memilah dan memilih mana-mana tindakan yang baik dan | mana-mana | pula perbuatan yang buruk. Menurut saya, sekali lagi, ak | 94 % |
Indonesia untuk mengubah pola bermadzhab dari yang qawliy ke | manhaji | mengandung pengertian bahwa metodologi klasik yang telah dik | 4 % |
metodologi yang sejatinya lahir dari pabrik intelektualitas | manusia | yang nisbi telah diposisikan sebagai sesuatu yang mutlak. Ta | 5 % |
ublik. 2 Metodologi klasik kurang hirau terhadap kemampuan | manusia | di dalam merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk umat man | 10 % |
sia di dalam merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk umat | manusia | sendiri. Manusia tidak memiliki reputasi dan kedudukan apapu | 10 % |
muskan konsep kemaslahatan walau untuk umat manusia sendiri. | manusia | tidak memiliki reputasi dan kedudukan apapun dalam ruang ush | 10 % |
i. Sering disinyalir bahwa kemaslahatan yang diandaikan oleh | manusia | adalah kemaslahatan semu dan relatif, sementara kemaslahatan | 49 % |
bunyi harafiah nash adalah kemaslahatan hakiki dan obyektif. | manusia | tidak memiliki kewenangan untuk mempertanyakan dan menggugat | 49 % |
rtanyakan dan menggugat kemaslahatan literal teks. Kewajiban | manusia | adalah mengamalkan dan mengimaninya secara sepenuh hati.Seca | 50 % |
uan agama diarahkan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat | manusia | . Dengan ini, maka kemaslahatan itu merupakan ajaran agama y | 64 % |
Kerja tanqih ini hakekatnya inheren di dalam diri setiap | manusia | yang berakal budi. Dalam jiwa manusia terdapat impuls abadi | 82 % |
n di dalam diri setiap manusia yang berakal budi. Dalam jiwa | manusia | terdapat impuls abadi yang tak pernah padam untuk bertanqih. | 82 % |
qath’iyat dari sudut struktur gramatika bahasanya. Akal | manusia | dalam buku-buku teologi klasik telah diletakkan sebagai sub- | 91 % |
dari teks. Akal mengalami penyusutan peran. Seolah-olah akal | manusia | itu begitu rendah, sehingga kalau dibiarkan maka manusia sec | 91 % |
kal manusia itu begitu rendah, sehingga kalau dibiarkan maka | manusia | secara massal akan bertelanjang bulat di jalan-jalan sebagai | 92 % |
ya agung Allah Swt. Allah menciptakan akal sesungguhnya agar | manusia | sanggup memilah dan memilih mana-mana tindakan yang baik dan | 93 % |
ur`an dan al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya melainkan dari | maqashid | yang dikandungnya. Yang menjadi aksis adalah cita-cita etik- | 18 % |
si spesifik atau formulasi literalnya. Nah, untuk mengetahui | maqashid | ini maka seseorang dituntut untuk memahami konteks. Yang dim | 19 % |
gertian klasik itu merupakan prasyarat utama untuk menemukan | maqashid | al-syari’ah. Syathibi di dalam al-Muwafaqat mendengungkan | 20 % |
prinsip-prinsip dasar Islam atau yang dikenal dengan istilah | maqashid | al-syari’ah. Begitu maqashid al-syari’ah sudah dicapai, maka | 23 % |
tau yang dikenal dengan istilah maqashid al-syari’ah. Begitu | maqashid | al-syari’ah sudah dicapai, maka teks harus segera dilepaskan | 23 % |
ja penafsiran sepanjang masa. Dalam khazanah ushul fikih, | maqashid | al-syari’ah itu adalah keadilan, kemaslahatan, kesetaraan, h | 25 % |
slahatan, kesetaraan, hikmah-kebijaksanaan, dan cinta kasih. | maqashid | inilah yang sejatinya menjadi sumber inspirasi tatkala al-Qu | 26 % |
ketentuan legal-spesifik di lapangan. Dengan perkataan lain, | maqashid | al-syari’ah adalah sumber dari segala sumber hukum dalam Isl | 27 % |
alagi di dalam tafsir dan fikih) yang tidak lagi menyuarakan | maqashid | al-syari’ah, maka ia batal atau dapat dibatalkan demi logika | 28 % |
al-syari’ah, maka ia batal atau dapat dibatalkan demi logika | maqashid | al-syari’ah itu. Kaidah yang diajukan di atas merupakan a | 28 % |
udaya yang melingkupi sejarah kehadiran teks. Maka, kejarlah | maqashid | al-syari’ah dengan pelbagai cara, tanpa terlalu banyak terpe | 44 % |
entuan al-Qur`an dan al-Hadits di dalam mengimpelementasikan | maqashid | al-syari’ah di bumi realitas. Sekiranya dari data lapangan d | 96 % |
salah kemanusian, yang terjadi justeru merupakan bagian dari | masalah | yang harus dipecahkan melalui prosedur tanqih yang berupa ta | 78 % |
ersebut dalam konteks sekarang, alih-alih bisa menyelesaikan | masalah-masalah | kemanusian, yang terjadi justeru merupakan bagian dari masal | 77 % |
in Ibnu Abdissalam, “innama al-takalif kulluha raji’atun ila | mashalih | al-’ibad” seluruh ketentuan agama diarahkan untuk sebesar- | 64 % |
shul fikih, jika terjadi pertentangan antara teks (nash) dan | maslahat | mana yang mesti dimenangkan? Dalam menjawab pertanyaan ini, | 47 % |
am posisi bersetuju dengan jawaban di atas. Pada hemat saya, | maslahat | memiliki otoritas untuk menganulir kententuan-ketentuan teks | 51 % |
ahat lagi. Tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai | maslahat | dalam suatu tempat dan waktu tertentu, kemudian berubah menj | 57 % |
begitu rendah, sehingga kalau dibiarkan maka manusia secara | massal | akan bertelanjang bulat di jalan-jalan sebagaimana binatang, | 92 % |
k banyak jumlahnya, bahkan bisa dihitung dengan jari tangan. | masuk | dalam kategori ayat yang tidak bisa dinasakh ini, seperti ay | 68 % |
an pengetahuan yang memadai menyangkut tradisi dan kebiasaan | masyarakat | Arab sebagai masyarakat awal yang menjadi sasaran wahyu. Pen | 22 % |
dai menyangkut tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab sebagai | masyarakat | awal yang menjadi sasaran wahyu. Pengetahuan tentang konteks | 22 % |
s-kasus tertentu yang berlangsung dalam lokus tertentu pula, | masyarakat | Arab. Dengan demikian, kebenaran ayat-ayat tadi bersifat rel | 80 % |
ruang publik tidak boleh ada satu pihak atau golongan dalam | masyarakat | yang berhak memaksa pandangannya pada orang lain, karena pan | 85 % |
i klasik tersebut. Metodologi lama terlalu memandang sebelah | mata | terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganu | 2 % |
asik tersebut. 1 Metodologi lama terlalu memandang sebelah | mata | terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganu | 8 % |
ekiranya ditemukan sebuah teks agama baik di dalam al-Qur`an | maupun | al-hadits (apalagi di dalam tafsir dan fikih) yang tidak lag | 28 % |
yang menyangkut perkara-perkara publik, baik dalam al-Qur`an | maupun | dalam al-Sunnah. Sehingga ketika terjadi pertentangan antara | 75 % |
sangat berbeda dengan pandangan mainstream, baik yang klasik | maupun | yang kontemporer yang terus menerus mendevaluasi akal di baw | 86 % |
asi akal di bawah kedigdayaan teks. Baik kalangan Asy’ariyah | maupun | Mu’tazilah hakekatnya sama-sama memposisikan akal sebagai pe | 87 % |
ni dipandang terlalu banyak berkonsentrasi dan bergerak pada | medan | semantik dengan menepikan peranan sabab al-nuzul. Implikasin | 33 % |
lisasi, dekontekstualisasi, dan rekontekstualisasi merupakan | mekanisme | kerja penafsiran sepanjang masa. Dalam khazanah ushul fik | 25 % |
alisasi) untuk kemudian dilakukan rekontekstualisasi. Yaitu, | melabuhkan | prinsip-prinsip dasar Islam itu di tempat dan di belahan bum | 24 % |
sejatinya menjadi sumber inspirasi tatkala al-Qur`an hendak | melabuhkan | ketentuan-ketentuan legal-spesifik di lapangan. Dengan perka | 26 % |
hukum dari al-Qur`an dan al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya | melainkan | dari maqashid yang dikandungnya. Yang menjadi aksis adalah c | 18 % |
aksudkan bukan hanya konteks personal yang juz`iy-partikular | melainkan | juga konteks impersonal yang kulli-universal. Pemahaman tent | 19 % |
ahuan tentang konteks tentu bukan untuk konteks itu sendiri, | melainkan | untuk menimba dan memperoleh prinsip-prinsip dasar Islam ata | 22 % |
ah analisa yang bukan hanya terhadap struktur kalimat per se | melainkan | yang justeru fondasional adalah analisa kelas dan struktur s | 44 % |
ari’at nabi-nabi terdahulu (syar’u man qablana) saja, tetapi | melainkan | juga berlangsung dalam batang tubuh syari’at Nabi Muhammad s | 56 % |
cokkan secara opurtunistik dengan perkembangan kemaslahatan, | melainkan | karena tuntutan kemaslahatan itu secara obyektif niscaya men | 63 % |
kan saja berpunggungan dengan semangat kehadiran Islam awal, | melainkan | juga bertentangan dengan logika nasakh sendiri. Sementara ay | 70 % |
kan sebagai sesuatu yang mutlak. Tak terbantah. Mereka telah | melakukan | idealisasi dan universalisasi terhadap metodologi lama yang | 6 % |
kal tidak bisa bertindak terlampau jauh, kecuali hanya untuk | melakukan | rasionalisasi terhadap barang-barang irrasional yang ada dal | 88 % |
at-ayat yang mutasyabih. Akal tidak cukup percaya diri untuk | melakukan | peninjauan ulang apalagi mempertanyakan ayat-ayat partikular | 90 % |
mu dan relatif, sementara kemaslahatan yang ditetapkan Tuhan | melalui | bunyi harafiah nash adalah kemaslahatan hakiki dan obyektif. | 49 % |
justeru merupakan bagian dari masalah yang harus dipecahkan | melalui | prosedur tanqih yang berupa taqyid bi al-’aql, takhshish bi | 78 % |
gan. Dalam tataran itu, universalisasi fikih al-Qur`an tanpa | melalui | proses tanqih harus dihindari. Sebab, membiarkan fikih al-Qu | 81 % |
sesuatu karena diketahui mengandung maslahat, kemudian Allah | melarangnya | pada waktu kemudian karena diketahui di lapangan aturan ters | 59 % |
ah pernyataan genial bahwa seorang mujtahid diharuskan untuk | melengkapi | diri dengan pengetahuan yang memadai menyangkut tradisi dan | 21 % |
nal adalah analisa kelas dan struktur sosial dan budaya yang | melingkupi | sejarah kehadiran teks. Maka, kejarlah maqashid al-syari’ah | 44 % |
ung prinsip-prinsip ajaran yang universal, ajaran mana telah | melintasi | ruang dan waktu, mengatasi pelbagai etnis dan keyakinan. Aya | 67 % |
hid diharuskan untuk melengkapi diri dengan pengetahuan yang | memadai | menyangkut tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab sebagai mas | 21 % |
berhenti hanya pada konteks linguistik saja tidak akan cukup | memadai | untuk mengejar kebenaran hakiki (maqashid asasiyah) yang diu | 42 % |
untuk mengetahui maqashid ini maka seseorang dituntut untuk | memahami | konteks. Yang dimaksudkan bukan hanya konteks personal yang | 19 % |
eh ada satu pihak atau golongan dalam masyarakat yang berhak | memaksa | pandangannya pada orang lain, karena pandangannya dinilai le | 85 % |
kerapuhan metodolgi klasik tersebut. Metodologi lama terlalu | memandang | sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyuli | 2 % |
levan. Oleh: Abd Moqsith Ghazali Banyak pemikir Muslim | memandang | metodologi (ushul fikih) klasik tanpa cacat epistemologis ap | 3 % |
puhan metodolgi klasik tersebut. 1 Metodologi lama terlalu | memandang | sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyuli | 8 % |
ia pada ketakwaan. Dan semakin substantif seseorang di dalam | memandang | al-Qur`an, maka jauh ia dari ketakwaan. Kedua, dalam kai | 36 % |
ologi klasik yang telah dikerangkakan oleh para ulama dahulu | memang | sudah tuntas dan sempurna. Sehingga, kewajiban umat yang dat | 4 % |
telah ditetapkan Allah Swt. Teks suci tanpa kemaslahatan | memang | tak berfungsi apa-apa buat manusia, kecuali untuk teks itu s | 61 % |
ndang-undangan syari’at Islam. Ini bukan karena ajaran Islam | memang | perlu dicocok-cocokkan secara opurtunistik dengan perkembang | 62 % |
yat al-ushuliyat atau ushul al-Qur`an. Ayat-ayat seperti ini | memang | tidak banyak jumlahnya, bahkan bisa dihitung dengan jari tan | 68 % |
iahnya hanya akan mengantarkan al-Qur`an pada perangkap yang | mematikan | spirit dan elan vital al-Qur`an. Kerja tanqih ini hakeka | 82 % |
rjebak pada suatu kenaifan. Bahwa semakin harafiah seseorang | membaca | al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada kebenaran. Sebaliknya, | 34 % |
membangun | Ushul Fikih Alternatif Mestinya, metodologi Islam klasik | 0 % | |
ian kaidah ushul fikih alternatif yang bisa disodorkan untuk | membenahi | kelemahan-kelemahan metodologi istinbath yang telah lama dir | 98 % |
l-Qur`an tanpa melalui proses tanqih harus dihindari. Sebab, | membiarkan | fikih al-Qur`an persis seperti dalam bunyi harfiahnya hanya | 81 % |
ada dalam al-Qur`an dan al-Sunnah. Akal hanya berguna untuk | membuka | tabir kegelapan teks-teks dhanniyat al-Qur`an saja. Di tanga | 89 % |
oligarki pendapat atau otoritarianisme dalam merumuskan dan | memecahkan | urusan-urusan publik. Bagaimanapun di dalam ruang publik tid | 84 % |
naran ayat-ayat tadi bersifat relatif dan tentatif, sehingga | memerlukan | penyempurnaan, pembaharuan, dan penyulingan. Dalam tataran i | 80 % |
wt. Allah menciptakan akal sesungguhnya agar manusia sanggup | memilah | dan memilih mana-mana tindakan yang baik dan mana-mana pula | 93 % |
nciptakan akal sesungguhnya agar manusia sanggup memilah dan | memilih | mana-mana tindakan yang baik dan mana-mana pula perbuatan ya | 93 % |
kemaslahatan walau untuk umat manusia sendiri. Manusia tidak | memiliki | reputasi dan kedudukan apapun dalam ruang ushul fikih klasik | 10 % |
nash adalah kemaslahatan hakiki dan obyektif. Manusia tidak | memiliki | kewenangan untuk mempertanyakan dan menggugat kemaslahatan l | 49 % |
bersetuju dengan jawaban di atas. Pada hemat saya, maslahat | memiliki | otoritas untuk menganulir kententuan-ketentuan teks suci. In | 51 % |
-Mujtama’ Kaidah ini hendak menyatakan bahwa akal publik | memiliki | kewenangan untuk menyulih dan mengamandemen sejumlah ketentu | 74 % |
orang lain, karena pandangannya dinilai lebih benar. Mereka | memiliki | kedudukan dan derajat yang sama. Pandangan di atas sanga | 86 % |
n. Dalam sejarahnya, nasakh selalu hadir untuk terus-menerus | memperbaharui | teks-teks agama yang tidak lagi merepresentasikan prinsip-pr | 73 % |
par dari kebenaran. Maka, semakin literal seseorang di dalam | memperlakukan | al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada ketakwaan. Dan semakin | 35 % |
bukan untuk konteks itu sendiri, melainkan untuk menimba dan | memperoleh | prinsip-prinsip dasar Islam atau yang dikenal dengan istilah | 22 % |
hakiki dan obyektif. Manusia tidak memiliki kewenangan untuk | mempertanyakan | dan menggugat kemaslahatan literal teks. Kewajiban manusia a | 50 % |
cukup percaya diri untuk melakukan peninjauan ulang apalagi | mempertanyakan | ayat-ayat partikular yang tergolong qath’iyat dari sudut str | 90 % |
lam mengatasi perkara-perkara publik, maka akal publik mesti | mempertimbangkan | ulang ketentuan tersebut. Akal publik bertugas untuk mengelu | 97 % |
k kalangan Asy’ariyah maupun Mu’tazilah hakekatnya sama-sama | memposisikan | akal sebagai pengelola data-teks, sementara data-teks merupa | 87 % |
ini, maka cita kemaslahatan akan senantiasa berkreasi untuk | memproduksi | formulasi bahkan teks keagamaan baru di tengah kegamangan da | 53 % |
irit dasar Islam dari lipatan huruf-huruf agama. Akal publik | mempunyai | tanggungjawab moral untuk mentanqih ayat-ayat yang problemat | 97 % |
ur`an saja. Di tangan Mu’tazilah, akal hanya berfungsi untuk | menakwil | ayat-ayat yang mutasyabih. Akal tidak cukup percaya diri unt | 89 % |
aslahatan itu secara obyektif niscaya mengharuskan demikian. | menarik | mendengar pernyataan Izzuddin Ibnu Abdissalam, “innama al-ta | 63 % |
at formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali | menayangkan | ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. | 1 % |
at formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali | menayangkan | ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. | 7 % |
n berkoresponden secara persis dengan kepiawaiannya di dalam | menciptakan | kemaslahatan bagi sebesar-besarnya umat manusia. 1. al | 16 % |
bahkan merendahkan akal sebagai karya agung Allah Swt. Allah | menciptakan | akal sesungguhnya agar manusia sanggup memilah dan memilih m | 93 % |
di jalan-jalan sebagaimana binatang, berzina beramai-ramai, | mencuri | secara berjemaah, saling bunuh-membunuh, dan sebagainya. Ini | 92 % |
ja ini merupakan kelemahan metodologis tersendiri yang mesti | mendapatkan | penanganan. Dengan segala keterbatasan, tulisan ini kiranya | 13 % |
ikuti perubahan alur sejarah dan peradaban).Maka, yang perlu | mendapatkan | proviso penegasan di sini adalah bahwa nasakh tidak dapat di | 66 % |
kut perkara-perkara mu’amalah yang mundan, akal publik perlu | mendapatkan | wewenang untuk mengevaluasi efektivitas dan kinerja beberapa | 95 % |
n itu secara obyektif niscaya mengharuskan demikian. Menarik | mendengar | pernyataan Izzuddin Ibnu Abdissalam, “innama al-takalif kull | 63 % |
ukan maqashid al-syari’ah. Syathibi di dalam al-Muwafaqat | mendengungkan | sebuah pernyataan genial bahwa seorang mujtahid diharuskan u | 21 % |
baik yang klasik maupun yang kontemporer yang terus menerus | mendevaluasi | akal di bawah kedigdayaan teks. Baik kalangan Asy’ariyah mau | 87 % |
an, muhkam-mutasyabih, qath’iy-dhanniy merupakan upaya untuk | menegakkan | otoritas teks semata. Para pemakai kaidah kedua ini mungkin | 40 % |
dalam pengertian klasik itu merupakan prasyarat utama untuk | menemukan | maqashid al-syari’ah. Syathibi di dalam al-Muwafaqat mend | 20 % |
anyak berkonsentrasi dan bergerak pada medan semantik dengan | menepikan | peranan sabab al-nuzul. Implikasinya, para pengguna kaidah i | 33 % |
daksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain | menerapkan | nash tersebut, sekalipun nash itu hadir untuk merespons suat | 30 % |
nstream, baik yang klasik maupun yang kontemporer yang terus | menerus | mendevaluasi akal di bawah kedigdayaan teks. Baik kalangan A | 86 % |
h teks. Yang dituju adalah kebenaran teks dengan konsekuensi | mengabaikan | konteks (al-siyaq al-tarikhi) yang mengitari. Konteks didudu | 37 % |
klasik telah diletakkan sebagai sub-ordinat dari teks. Akal | mengalami | penyusutan peran. Seolah-olah akal manusia itu begitu rendah | 91 % |
enggugat kemaslahatan literal teks. Kewajiban manusia adalah | mengamalkan | dan mengimaninya secara sepenuh hati.Secara pribadi, saya ti | 50 % |
kan bahwa akal publik memiliki kewenangan untuk menyulih dan | mengamandemen | sejumlah ketentuan “dogmatik” agama yang menyangkut perkara- | 74 % |
blik dan bunyi harfiah teks ajaran, metodologi lampau selalu | mengambil | cara penundukan terhadap akal publik. 2 Metodologi klasik | 9 % |
a untuk mengubah pola bermadzhab dari yang qawliy ke manhaji | mengandung | pengertian bahwa metodologi klasik yang telah dikerangkakan | 4 % |
a dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatu karena diketahui | mengandung | maslahat, kemudian Allah melarangnya pada waktu kemudian kar | 58 % |
wa nasakh tidak dapat dilakukan terhadap teks al-Qur`an yang | mengandung | prinsip-prinsip ajaran yang universal, ajaran mana telah mel | 66 % |
h al-Qur`an persis seperti dalam bunyi harfiahnya hanya akan | mengantarkan | al-Qur`an pada perangkap yang mematikan spirit dan elan vita | 81 % |
ah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan | menganulir | ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang ti | 2 % |
ah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan | menganulir | ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang ti | 8 % |
n di atas. Pada hemat saya, maslahat memiliki otoritas untuk | menganulir | kententuan-ketentuan teks suci. Inilah yang dimaksud dengan | 51 % |
n amunisi untuk mengontrol balik dari keberadaan teks dengan | menganulir | beberapa teks suci yang sudah aus. Dengan cara ini, maka cit | 52 % |
der. Ini menjadi maklum, oleh karena para pemakai kaidah ini | menganut | ideologi universalisme dan ketidak-berhinggan kebenaran huru | 38 % |
am menjawab pertanyaan ini, umumnya ulama ushul fikih klasik | mengatakan | bahwa yang dimenangkan adalah nash. Bahkan, al-Thufi menyata | 47 % |
yang universal, ajaran mana telah melintasi ruang dan waktu, | mengatasi | pelbagai etnis dan keyakinan. Ayat-ayat ini ingin saya katak | 67 % |
ta lapangan diketahui ketidak-berdayaan sebuah teks di dalam | mengatasi | perkara-perkara publik, maka akal publik mesti mempertimbang | 96 % |
pada konteks linguistik saja tidak akan cukup memadai untuk | mengejar | kebenaran hakiki (maqashid asasiyah) yang diusung oleh teks. | 42 % |
bangkan ulang ketentuan tersebut. Akal publik bertugas untuk | mengeluarkan | spirit dasar Islam dari lipatan huruf-huruf agama. Akal publ | 97 % |
ebahasaan (abhats lughawiyah min mabahits al-alfadz) seperti | mengenai | ‘amm-khashsh, muthlaq-muqayyad, mujmal-mubayyan, muhkam-muta | 39 % |
kan legislasi spesifik atau formulasi literalnya. Nah, untuk | mengetahui | maqashid ini maka seseorang dituntut untuk memahami konteks. | 19 % |
ah yang mundan, akal publik perlu mendapatkan wewenang untuk | mengevaluasi | efektivitas dan kinerja beberapa ketentuan al-Qur`an dan al- | 95 % |
. Manusia tidak memiliki kewenangan untuk mempertanyakan dan | menggugat | kemaslahatan literal teks. Kewajiban manusia adalah mengamal | 50 % |
eumuman lafadz, bukan khususnya sebab. Maka, jika suatu nash | menggunakan | redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain sela | 30 % |
kan karena tuntutan kemaslahatan itu secara obyektif niscaya | mengharuskan | demikian. Menarik mendengar pernyataan Izzuddin Ibnu Abdissa | 63 % |
Akal publik dan bukan akal privat ini dibutuhkan tentu untuk | menghindari | oligarki pendapat atau otoritarianisme dalam merumuskan dan | 84 % |
k orang yang berkompeten. Dengan cara ini, niscaya kita bisa | menghindari | kebekuan dan kemandulan metodologi-ushul fikih. | 100 % |
an umat yang datang kemudian bukan untuk mengubahnya, tetapi | mengikuti | dan melaksanakannya. Di sini, sebuah metodologi yang sejatin | 5 % |
tu merupakan perkara agama yang mutaghayyir (berubah-berubah | mengikuti | perubahan alur sejarah dan peradaban).Maka, yang perlu menda | 65 % |
hatan literal teks. Kewajiban manusia adalah mengamalkan dan | mengimaninya | secara sepenuh hati.Secara pribadi, saya tidak dalam posisi | 50 % |
kinerja beberapa ketentuan al-Qur`an dan al-Hadits di dalam | mengimpelementasikan | maqashid al-syari’ah di bumi realitas. Sekiranya dari data l | 96 % |
bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang mujtahid di dalam | mengistinbatkan | hukum dari al-Qur`an dan al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya | 17 % |
ks (nushush) al-Qur`an, kemaslahatan merupakan amunisi untuk | mengontrol | balik dari keberadaan teks dengan menganulir beberapa teks s | 52 % |
pada kebenaran dan keadilan. Selalu ada kecenderungan untuk | mengoreksi | pelbagai kekeliruan dan menyempurnakan segala kekurangan. Ak | 83 % |
epistemologis apapun. Ajakan sejumlah ulama Indonesia untuk | mengubah | pola bermadzhab dari yang qawliy ke manhaji mengandung penge | 3 % |
nteks tentu bukan untuk konteks itu sendiri, melainkan untuk | menimba | dan memperoleh prinsip-prinsip dasar Islam atau yang dikenal | 22 % |
aksara sebuah teks. Pencapaian terhadap makna-makna itu akan | meniscayakan | adanya sebuah analisa yang bukan hanya terhadap struktur kal | 43 % |
shid la bi al-alfadz. Kaidah ini berarti bahwa yang mesti | menjadi | perhatian seorang mujtahid di dalam mengistinbatkan hukum da | 17 % |
an aksaranya melainkan dari maqashid yang dikandungnya. Yang | menjadi | aksis adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat dan bukan | 18 % |
i dan kebiasaan masyarakat Arab sebagai masyarakat awal yang | menjadi | sasaran wahyu. Pengetahuan tentang konteks tentu bukan untuk | 22 % |
bijaksanaan, dan cinta kasih. Maqashid inilah yang sejatinya | menjadi | sumber inspirasi tatkala al-Qur`an hendak melabuhkan ketentu | 26 % |
bi khushûsh al-sabab lâ bi ‘umûm al-lafadz. Bahwa yang harus | menjadi | pertimbangan adalah keumuman lafadz, bukan khususnya sebab. | 29 % |
onteks didudukkan dalam posisi yang rendah dan sekunder. Ini | menjadi | maklum, oleh karena para pemakai kaidah ini menganut ideolog | 37 % |
ahat dalam suatu tempat dan waktu tertentu, kemudian berubah | menjadi | mafsadat dalam suatu ruang dan waktu yang lain. Bila kemasla | 57 % |
teks (nash) dan maslahat mana yang mesti dimenangkan? Dalam | menjawab | pertanyaan ini, umumnya ulama ushul fikih klasik mengatakan | 47 % |
huruf agama. Akal publik mempunyai tanggungjawab moral untuk | mentanqih | ayat-ayat yang problematik. Akhirnya, jangan lupa bahwa i | 98 % |
, keterpesonaan merupakan tindakan ideologis yang hanya akan | menumpulkan | kreativitas dalam pencarian makna obyektif. 2 Jawa | 45 % |
tindakan yang baik dan mana-mana pula perbuatan yang buruk. | menurut | saya, sekali lagi, akal publik harus diberi posisi yang pent | 94 % |
ruskan untuk melengkapi diri dengan pengetahuan yang memadai | menyangkut | tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab sebagai masyarakat awa | 21 % |
h dan mengamandemen sejumlah ketentuan “dogmatik” agama yang | menyangkut | perkara-perkara publik, baik dalam al-Qur`an maupun dalam al | 74 % |
publik tidak cukup hanya tampil sebagai pengelola data-teks. | menyangkut | perkara-perkara mu’amalah yang mundan, akal publik perlu men | 95 % |
gatakan bahwa yang dimenangkan adalah nash. Bahkan, al-Thufi | menyatakan | bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan antara nash dan mas | 47 % |
fiy Taqrir Ma Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah min al-Ittishal | menyatakan | bahwa hikmah (kemaslahatan) itu merupakan saudara kandung da | 60 % |
nqih al-Nushush bi al-’Aql al-Mujtama’ Kaidah ini hendak | menyatakan | bahwa akal publik memiliki kewenangan untuk menyulih dan men | 74 % |
ada keumuman lafdz ( al-taslim bi ‘umum al-lafdz) hanya akan | menyebabkan | kita senantiasa berada dalam kerangka makna linguistik (fiy | 31 % |
dalam al-Qur`an yang bersifat tehnis-operasional--saya suka | menyebutnya | dengan al-ayat al-adna qiymatan atau al-ayat al-furu’iyyat a | 71 % |
a. Ayat-ayat tersebut dalam konteks sekarang, alih-alih bisa | menyelesaikan | masalah-masalah kemanusian, yang terjadi justeru merupakan b | 77 % |
u ada kecenderungan untuk mengoreksi pelbagai kekeliruan dan | menyempurnakan | segala kekurangan. Akal publik dan bukan akal privat ini dib | 84 % |
kecuali untuk teks itu sendiri. Teks baru bermakna sekiranya | menyertakan | cita kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan adalah fon | 61 % |
banyak lagi kaidah ushul fikih yang perlu direformasi dengan | menyertakan | banyak orang yang berkompeten. Dengan cara ini, niscaya kita | 99 % |
l-hadits (apalagi di dalam tafsir dan fikih) yang tidak lagi | menyuarakan | maqashid al-syari’ah, maka ia batal atau dapat dibatalkan de | 28 % |
dian karena diketahui di lapangan aturan tersebut tidak lagi | menyuarakan | kemaslahatan. Ibnu Rusyd dalam bukunya yang bertitelkan Fash | 59 % |
mandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam | menyulih | dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dala | 2 % |
mandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dalam | menyulih | dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dala | 8 % |
endak menyatakan bahwa akal publik memiliki kewenangan untuk | menyulih | dan mengamandemen sejumlah ketentuan “dogmatik” agama yang m | 74 % |
apat berubah karena perubahan konteks, maka dapat saja Allah | menyuruh | berbuat sesuatu karena diketahui mengandung maslahat, kemudi | 58 % |
gan segala keterbatasan, tulisan ini kiranya bermaksud untuk | mereformasi | kaidah-kaidah ushul fikih yang problematis dari sudut ontolo | 13 % |
elah diposisikan sebagai sesuatu yang mutlak. Tak terbantah. | mereka | telah melakukan idealisasi dan universalisasi terhadap metod | 6 % |
ya pada orang lain, karena pandangannya dinilai lebih benar. | mereka | memiliki kedudukan dan derajat yang sama. Pandangan di a | 86 % |
blematis dari sudut ontologis-epistemologis tersebut. Dengan | merekonstruksi | kaidah-kaidah ushul ini niscaya produk pemikiran Islam akan | 14 % |
a. Ini, tentu saja sebuah sikap yang tidak apresiatif bahkan | merendahkan | akal sebagai karya agung Allah Swt. Allah menciptakan akal s | 93 % |
terus-menerus memperbaharui teks-teks agama yang tidak lagi | merepresentasikan | prinsip-prinsip dasar Islam. 3 Tanqih al-Nushush bi a | 73 % |
ain menerapkan nash tersebut, sekalipun nash itu hadir untuk | merespons | suatu peristiwa yang khusus. “Pasrah pada keumuman lafdz ( a | 31 % |
logi klasik kurang hirau terhadap kemampuan manusia di dalam | merumuskan | konsep kemaslahatan walau untuk umat manusia sendiri. Manusi | 10 % |
tuk menghindari oligarki pendapat atau otoritarianisme dalam | merumuskan | dan memecahkan urusan-urusan publik. Bagaimanapun di dalam r | 84 % |
aya (mukallaf) 3 Pemberhalaan teks dan pengabaian realitas | merupakan | ciri umum dari metodologi lama. Aktivitas ijtihad selalu dig | 11 % |
yang tidak berkulminasi pada teks adalah illegal, sebab teks | merupakan | aksis dari seluruh cara pemecahan problem. Tentu saja ini | 12 % |
aksis dari seluruh cara pemecahan problem. Tentu saja ini | merupakan | kelemahan metodologis tersendiri yang mesti mendapatkan pena | 12 % |
dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian klasik itu | merupakan | prasyarat utama untuk menemukan maqashid al-syari’ah. Sya | 20 % |
kontekstualisasi, dekontekstualisasi, dan rekontekstualisasi | merupakan | mekanisme kerja penafsiran sepanjang masa. Dalam khazanah | 25 % |
ka maqashid al-syari’ah itu. Kaidah yang diajukan di atas | merupakan | antipoda dari kaidah lama yang berbunyi al-’ibrah bi khushûs | 29 % |
uqayyad, mujmal-mubayyan, muhkam-mutasyabih, qath’iy-dhanniy | merupakan | upaya untuk menegakkan otoritas teks semata. Para pemakai ka | 40 % |
rpesona terhadap keindahan sebuah teks. Sebab, keterpesonaan | merupakan | tindakan ideologis yang hanya akan menumpulkan kreativitas d | 45 % |
. Sebagai spirit dari teks (nushush) al-Qur`an, kemaslahatan | merupakan | amunisi untuk mengontrol balik dari keberadaan teks dengan m | 52 % |
h min al-Ittishal menyatakan bahwa hikmah (kemaslahatan) itu | merupakan | saudara kandung dari syari’at-syari’at yang telah ditetapkan | 60 % |
maslahatan umat manusia . Dengan ini, maka kemaslahatan itu | merupakan | ajaran agama yang tsawabit (tidak berubah, pokok, dan univer | 64 % |
niversal), sementara wujud pelaksanaan cita kemaslahatan itu | merupakan | perkara agama yang mutaghayyir (berubah-berubah mengikuti pe | 65 % |
nyelesaikan masalah-masalah kemanusian, yang terjadi justeru | merupakan | bagian dari masalah yang harus dipecahkan melalui prosedur t | 77 % |
-Qur`an. Sebagai sebuah fikih, ayat-ayat tersebut sepenuhnya | merupakan | respons al-Qur`an terhadap kasus-kasus tertentu yang berlang | 79 % |
isikan akal sebagai pengelola data-teks, sementara data-teks | merupakan | pangkal atau asal. Sebagai pengelola, maka akal tidak bisa b | 87 % |
ntu saja ini merupakan kelemahan metodologis tersendiri yang | mesti | mendapatkan penanganan. Dengan segala keterbatasan, tulisan | 13 % |
l-maqashid la bi al-alfadz. Kaidah ini berarti bahwa yang | mesti | menjadi perhatian seorang mujtahid di dalam mengistinbatkan | 17 % |
rjadi pertentangan antara teks (nash) dan maslahat mana yang | mesti | dimenangkan? Dalam menjawab pertanyaan ini, umumnya ulama us | 47 % |
g dikenal dengan istilah nasikh-mansukh. Semua pelajar Islam | mesti | tahu cerita tentang penganuliran beberapa syari’at yang dipa | 54 % |
di dalam mengatasi perkara-perkara publik, maka akal publik | mesti | mempertimbangkan ulang ketentuan tersebut. Akal publik bertu | 97 % |
hakiki (maqashid asasiyah) yang diusung oleh teks. Analisis | mestinya | dilanjutkan pada penyingkapan makna yang terdiamkan (al-mask | 42 % |
rer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan | metodolgi | klasik tersebut. Metodologi lama terlalu memandang sebelah m | 1 % |
rer seringkali menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan | metodolgi | klasik tersebut. 1 Metodologi lama terlalu memandang sebel | 7 % |
Membangun Ushul Fikih Alternatif Mestinya, | metodologi | Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum p | 0 % |
ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. | metodologi | lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal | 1 % |
Oleh: Abd Moqsith Ghazali Banyak pemikir Muslim memandang | metodologi | (ushul fikih) klasik tanpa cacat epistemologis apapun. Ajaka | 3 % |
zhab dari yang qawliy ke manhaji mengandung pengertian bahwa | metodologi | klasik yang telah dikerangkakan oleh para ulama dahulu meman | 4 % |
ahnya, tetapi mengikuti dan melaksanakannya. Di sini, sebuah | metodologi | yang sejatinya lahir dari pabrik intelektualitas manusia yan | 5 % |
ereka telah melakukan idealisasi dan universalisasi terhadap | metodologi | lama yang provisionaris. Mestinya, metodologi Islam klasi | 6 % |
si terhadap metodologi lama yang provisionaris. Mestinya, | metodologi | Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum p | 6 % |
idakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. 1 | metodologi | lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal | 8 % |
rtentangan antara akal publik dan bunyi harfiah teks ajaran, | metodologi | lampau selalu mengambil cara penundukan terhadap akal publik | 9 % |
au selalu mengambil cara penundukan terhadap akal publik. 2 | metodologi | klasik kurang hirau terhadap kemampuan manusia di dalam meru | 9 % |
halaan teks dan pengabaian realitas merupakan ciri umum dari | metodologi | lama. Aktivitas ijtihad selalu digerakkan di dalam areal tek | 11 % |
aan yang terus melilit. Karena, betapa pun canggihnya sebuah | metodologi | jika kandas pada tingkat pemecahan problem tersebut, maka ia | 15 % |
a ia tidaklah banyak guna dan manfaatnya. Kecanggihan sebuah | metodologi | terutama dalam imu-ilmu terapan Islam semacam ushul fikih in | 15 % |
tif yang bisa disodorkan untuk membenahi kelemahan-kelemahan | metodologi | istinbath yang telah lama dirisaukan. Tentu saja ada sekian | 99 % |
ara pemecahan problem. Tentu saja ini merupakan kelemahan | metodologis | tersendiri yang mesti mendapatkan penanganan. Dengan segala | 13 % |
a ini, niscaya kita bisa menghindari kebekuan dan kemandulan | metodologi-ushul | fikih. | 100 % |
sekiranya ayat tadi tidak efektif lagi sebagai sarana untuk | mewujudkan | cita kemalahatan. Dalam sejarahnya, nasakh selalu hadir untu | 72 % |
sar. Segala jenis perbincangan kebahasaan (abhats lughawiyah | min | mabahits al-alfadz) seperti mengenai ‘amm-khashsh, muthlaq-m | 39 % |
Fashl al-Maqal fiy Taqrir Ma Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah | min | al-Ittishal menyatakan bahwa hikmah (kemaslahatan) itu merup | 60 % |
itas untuk mengedit, menyempurnakan, dan memodifikasikannya. | modifikasi | ini terasa sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-a | 76 % |
alistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. Oleh: Abd | moqsith | Ghazali Banyak pemikir Muslim memandang metodologi (ushul | 3 % |
patan huruf-huruf agama. Akal publik mempunyai tanggungjawab | moral | untuk mentanqih ayat-ayat yang problematik. Akhirnya, jan | 98 % |
rtentangan dengan logika nasakh sendiri. Sementara ayat-ayat | mu’amalah | dalam al-Qur`an yang bersifat tehnis-operasional--saya suka | 70 % |
mpil sebagai pengelola data-teks. Menyangkut perkara-perkara | mu’amalah | yang mundan, akal publik perlu mendapatkan wewenang untuk me | 95 % |
l di bawah kedigdayaan teks. Baik kalangan Asy’ariyah maupun | mu’tazilah | hakekatnya sama-sama memposisikan akal sebagai pengelola dat | 87 % |
melainkan juga berlangsung dalam batang tubuh syari’at Nabi | muhammad | sendiri. Betapa syari’at Islam yang baru diundangkan, kerap | 56 % |
kan, kerap dalam 3 sampai 5 tahun dianulir kembali oleh Nabi | muhammad | karena tidak bermaslahat lagi. Tidaklah mustahil bahwa s | 57 % |
aidah ini berarti bahwa yang mesti menjadi perhatian seorang | mujtahid | di dalam mengistinbatkan hukum dari al-Qur`an dan al-Sunnah | 17 % |
wafaqat mendengungkan sebuah pernyataan genial bahwa seorang | mujtahid | diharuskan untuk melengkapi diri dengan pengetahuan yang mem | 21 % |
negakkan otoritas teks semata. Para pemakai kaidah kedua ini | mungkin | tepat sekiranya disebut sebagai penyembah kata (‘ubbad al-al | 40 % |
nangkan adalah nash. Bahkan, al-Thufi menyatakan bahwa tidak | mungkin | terjadi pertentangan antara nash dan mashlahah, karena apa y | 48 % |
lagi relevan. Oleh: Abd Moqsith Ghazali Banyak pemikir | muslim | memandang metodologi (ushul fikih) klasik tanpa cacat episte | 3 % |
eh Nabi Muhammad karena tidak bermaslahat lagi. Tidaklah | mustahil | bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu tempat dan | 57 % |
laksanaan cita kemaslahatan itu merupakan perkara agama yang | mutaghayyir | (berubah-berubah mengikuti perubahan alur sejarah dan perada | 65 % |
etapi melainkan juga berlangsung dalam batang tubuh syari’at | nabi | Muhammad sendiri. Betapa syari’at Islam yang baru diundangka | 56 % |
ndangkan, kerap dalam 3 sampai 5 tahun dianulir kembali oleh | nabi | Muhammad karena tidak bermaslahat lagi. Tidaklah mustahi | 57 % |
askan bahwa nasakh itu bukan hanya berlaku terhadap syari’at | nabi-nabi | terdahulu (syar’u man qablana) saja, tetapi melainkan juga b | 55 % |
kna linguistik (fiy ithar al-dalalah al-lughawiyah)”, tandas | nahr | Hamid Abu Zaid dalam bukunya yang berjudul al-Nash, al-Sulth | 32 % |
andang tidak lagi bersendikan kemaslahatan. Dijelaskan bahwa | nasakh | itu bukan hanya berlaku terhadap syari’at nabi-nabi terdahul | 55 % |
ang perlu mendapatkan proviso penegasan di sini adalah bahwa | nasakh | tidak dapat dilakukan terhadap teks al-Qur`an yang mengandun | 66 % |
i al’adl”, “I’dilu huwa aqrabu li al-taqwa”, dan sebagainya. | nasakh | terhadap ayat yang demikian bukan saja berpunggungan dengan | 69 % |
adiran Islam awal, melainkan juga bertentangan dengan logika | nasakh | sendiri. Sementara ayat-ayat mu’amalah dalam al-Qur`an yang | 70 % |
sarana untuk mewujudkan cita kemalahatan. Dalam sejarahnya, | nasakh | selalu hadir untuk terus-menerus memperbaharui teks-teks aga | 73 % |
lah keumuman lafadz, bukan khususnya sebab. Maka, jika suatu | nash | menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilih | 30 % |
bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan | nash | tersebut, sekalipun nash itu hadir untuk merespons suatu per | 30 % |
ada pilihan lain selain menerapkan nash tersebut, sekalipun | nash | itu hadir untuk merespons suatu peristiwa yang khusus. “Pasr | 30 % |
i menyatakan bahwa tidak mungkin terjadi pertentangan antara | nash | dan mashlahah, karena apa yang diujarkan oleh nash adalah ke | 48 % |
an antara nash dan mashlahah, karena apa yang diujarkan oleh | nash | adalah kemaslahatan itu sendiri. Sering disinyalir bahwa kem | 48 % |
ra kemaslahatan yang ditetapkan Tuhan melalui bunyi harafiah | nash | adalah kemaslahatan hakiki dan obyektif. Manusia tidak memil | 49 % |
reativitas dalam pencarian makna obyektif. 2 Jawaz | naskh | al-Nushush bi al-Mashlahah Terdapat sebait pertanyaan ont | 46 % |
ang sejatinya lahir dari pabrik intelektualitas manusia yang | nisbi | telah diposisikan sebagai sesuatu yang mutlak. Tak terbantah | 5 % |
ogis tersebut. Dengan merekonstruksi kaidah-kaidah ushul ini | niscaya | produk pemikiran Islam akan lebih solutif bagi problem-probl | 14 % |
, melainkan karena tuntutan kemaslahatan itu secara obyektif | niscaya | mengharuskan demikian. Menarik mendengar pernyataan Izzuddin | 63 % |
menyertakan banyak orang yang berkompeten. Dengan cara ini, | niscaya | kita bisa menghindari kebekuan dan kemandulan metodologi-ushul fikih. | 100 % |
aslahatan, melainkan karena tuntutan kemaslahatan itu secara | obyektif | niscaya mengharuskan demikian. Menarik mendengar pernyataan | 63 % |
pengertian bahwa metodologi klasik yang telah dikerangkakan | oleh | para ulama dahulu memang sudah tuntas dan sempurna. Sehingga | 4 % |
r hukum dalam Islam, termasuk sumber dari al-Qur`an sendiri. | oleh | karena itu, sekiranya ditemukan sebuah teks agama baik di da | 27 % |
n dalam posisi yang rendah dan sekunder. Ini menjadi maklum, | oleh | karena para pemakai kaidah ini menganut ideologi universalis | 37 % |
k mengejar kebenaran hakiki (maqashid asasiyah) yang diusung | oleh | teks. Analisis mestinya dilanjutkan pada penyingkapan makna | 42 % |
ntangan antara nash dan mashlahah, karena apa yang diujarkan | oleh | nash adalah kemaslahatan itu sendiri. Sering disinyalir bahw | 48 % |
endiri. Sering disinyalir bahwa kemaslahatan yang diandaikan | oleh | manusia adalah kemaslahatan semu dan relatif, sementara kema | 48 % |
u diundangkan, kerap dalam 3 sampai 5 tahun dianulir kembali | oleh | Nabi Muhammad karena tidak bermaslahat lagi. Tidaklah mu | 57 % |
an legal-formalistik di dalam Islam yang tidak lagi relevan. | oleh: | Abd Moqsith Ghazali Banyak pemikir Muslim memandang metod | 2 % |
dan bukan akal privat ini dibutuhkan tentu untuk menghindari | oligarki | pendapat atau otoritarianisme dalam merumuskan dan memecahka | 84 % |
skh al-Nushush bi al-Mashlahah Terdapat sebait pertanyaan | ontologis | dalam ranah ushul fikih, jika terjadi pertentangan antara te | 46 % |
ormasi kaidah-kaidah ushul fikih yang problematis dari sudut | ontologis-epistemologis | tersebut. Dengan merekonstruksi kaidah-kaidah ushul ini nisc | 14 % |
kan karena ajaran Islam memang perlu dicocok-cocokkan secara | opurtunistik | dengan perkembangan kemaslahatan, melainkan karena tuntutan | 62 % |
ongan dalam masyarakat yang berhak memaksa pandangannya pada | orang | lain, karena pandangannya dinilai lebih benar. Mereka memili | 85 % |
ushul fikih yang perlu direformasi dengan menyertakan banyak | orang | yang berkompeten. Dengan cara ini, niscaya kita bisa menghin | 99 % |
ni dibutuhkan tentu untuk menghindari oligarki pendapat atau | otoritarianisme | dalam merumuskan dan memecahkan urusan-urusan publik. Bagaim | 84 % |
mutasyabih, qath’iy-dhanniy merupakan upaya untuk menegakkan | otoritas | teks semata. Para pemakai kaidah kedua ini mungkin tepat sek | 40 % |
u dengan jawaban di atas. Pada hemat saya, maslahat memiliki | otoritas | untuk menganulir kententuan-ketentuan teks suci. Inilah yang | 51 % |
kannya. Di sini, sebuah metodologi yang sejatinya lahir dari | pabrik | intelektualitas manusia yang nisbi telah diposisikan sebagai | 5 % |
asik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran | pada | saat formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringka | 1 % |
asik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran | pada | saat formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringka | 7 % |
erakkan di dalam areal teks. Ijtihad yang tidak berkulminasi | pada | teks adalah illegal, sebab teks merupakan aksis dari seluruh | 12 % |
Karena, betapa pun canggihnya sebuah metodologi jika kandas | pada | tingkat pemecahan problem tersebut, maka ia tidaklah banyak | 15 % |
u hadir untuk merespons suatu peristiwa yang khusus. “Pasrah | pada | keumuman lafdz ( al-taslim bi ‘umum al-lafdz) hanya akan men | 31 % |
dah ini dipandang terlalu banyak berkonsentrasi dan bergerak | pada | medan semantik dengan menepikan peranan sabab al-nuzul. Impl | 33 % |
nuzul. Implikasinya, para pengguna kaidah ini kerap terjebak | pada | suatu kenaifan. Bahwa semakin harafiah seseorang membaca al- | 34 % |
harafiah seseorang membaca al-Qur`an, maka semakin dekat ia | pada | kebenaran. Sebaliknya, semakin jauh yang bersangkutan dari m | 34 % |
rang di dalam memperlakukan al-Qur`an, maka semakin dekat ia | pada | ketakwaan. Dan semakin substantif seseorang di dalam memanda | 35 % |
sembah). Segera tampak bahwa analisis yang berhenti hanya | pada | konteks linguistik saja tidak akan cukup memadai untuk menge | 41 % |
siyah) yang diusung oleh teks. Analisis mestinya dilanjutkan | pada | penyingkapan makna yang terdiamkan (al-maskut ‘anhu), yaitu | 42 % |
i, saya tidak dalam posisi bersetuju dengan jawaban di atas. | pada | hemat saya, maslahat memiliki otoritas untuk menganulir kent | 51 % |
na diketahui mengandung maslahat, kemudian Allah melarangnya | pada | waktu kemudian karena diketahui di lapangan aturan tersebut | 59 % |
rti dalam bunyi harfiahnya hanya akan mengantarkan al-Qur`an | pada | perangkap yang mematikan spirit dan elan vital al-Qur`an. | 82 % |
rtanqih. Terdapat dorongan adekuat untuk senantiasa berpihak | pada | kebenaran dan keadilan. Selalu ada kecenderungan untuk mengo | 83 % |
u golongan dalam masyarakat yang berhak memaksa pandangannya | pada | orang lain, karena pandangannya dinilai lebih benar. Mereka | 85 % |
di. Dalam jiwa manusia terdapat impuls abadi yang tak pernah | padam | untuk bertanqih. Terdapat dorongan adekuat untuk senantiasa | 83 % |
kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan adalah fondasi | paling | pokok dari setiap perundang-undangan syari’at Islam. Ini buk | 62 % |
at-ayat ini ingin saya katakan sebagai ayat dengan kedudukan | paling | tinggi (al-ayat al-’ala qiymatan), atau al-ayat al-ushuliyat | 67 % |
ebih benar. Mereka memiliki kedudukan dan derajat yang sama. | pandangan | di atas sangat berbeda dengan pandangan mainstream, baik yan | 86 % |
rajat yang sama. Pandangan di atas sangat berbeda dengan | pandangan | mainstream, baik yang klasik maupun yang kontemporer yang te | 86 % |
atu pihak atau golongan dalam masyarakat yang berhak memaksa | pandangannya | pada orang lain, karena pandangannya dinilai lebih benar. Me | 85 % |
kat yang berhak memaksa pandangannya pada orang lain, karena | pandangannya | dinilai lebih benar. Mereka memiliki kedudukan dan derajat y | 85 % |
l sebagai pengelola data-teks, sementara data-teks merupakan | pangkal | atau asal. Sebagai pengelola, maka akal tidak bisa bertindak | 88 % |
ertian bahwa metodologi klasik yang telah dikerangkakan oleh | para | ulama dahulu memang sudah tuntas dan sempurna. Sehingga, kew | 4 % |
antik dengan menepikan peranan sabab al-nuzul. Implikasinya, | para | pengguna kaidah ini kerap terjebak pada suatu kenaifan. Bahw | 33 % |
si yang rendah dan sekunder. Ini menjadi maklum, oleh karena | para | pemakai kaidah ini menganut ideologi universalisme dan ketid | 38 % |
anniy merupakan upaya untuk menegakkan otoritas teks semata. | para | pemakai kaidah kedua ini mungkin tepat sekiranya disebut seb | 40 % |
rbicara tentang bentuk-bentuk hukuman (‘uqubat), sanksi bagi | para | pelaku pidana (hudud), bilangan waris dan sebagainya, maka t | 71 % |
melakukan peninjauan ulang apalagi mempertanyakan ayat-ayat | partikular | yang tergolong qath’iyat dari sudut struktur gramatika bahas | 90 % |
’at Islam, yang dikenal dengan istilah nasikh-mansukh. Semua | pelajar | Islam mesti tahu cerita tentang penganuliran beberapa syari’ | 54 % |
wabit (tidak berubah, pokok, dan universal), sementara wujud | pelaksanaan | cita kemaslahatan itu merupakan perkara agama yang mutaghayy | 65 % |
ra tentang bentuk-bentuk hukuman (‘uqubat), sanksi bagi para | pelaku | pidana (hudud), bilangan waris dan sebagainya, maka tetap te | 72 % |
h kehadiran teks. Maka, kejarlah maqashid al-syari’ah dengan | pelbagai | cara, tanpa terlalu banyak terpesona terhadap keindahan sebu | 45 % |
rsal, ajaran mana telah melintasi ruang dan waktu, mengatasi | pelbagai | etnis dan keyakinan. Ayat-ayat ini ingin saya katakan sebaga | 67 % |
aran dan keadilan. Selalu ada kecenderungan untuk mengoreksi | pelbagai | kekeliruan dan menyempurnakan segala kekurangan. Akal publik | 83 % |
ular melainkan juga konteks impersonal yang kulli-universal. | pemahaman | tentang konteks yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul | 20 % |
ng rendah dan sekunder. Ini menjadi maklum, oleh karena para | pemakai | kaidah ini menganut ideologi universalisme dan ketidak-berhi | 38 % |
merupakan upaya untuk menegakkan otoritas teks semata. Para | pemakai | kaidah kedua ini mungkin tepat sekiranya disebut sebagai pen | 40 % |
keagamaan lama.Praktek dari kaidah ini dapat diketahui dari | pembatalan | demi pembatalan terhadap sejumlah syari’at Islam, yang diken | 54 % |
Praktek dari kaidah ini dapat diketahui dari pembatalan demi | pembatalan | terhadap sejumlah syari’at Islam, yang dikenal dengan istila | 54 % |
kecuali sebagai sasaran hukum yang tak berdaya (mukallaf) 3 | pemberhalaan | teks dan pengabaian realitas merupakan ciri umum dari metodo | 11 % |
adalah illegal, sebab teks merupakan aksis dari seluruh cara | pemecahan | problem. Tentu saja ini merupakan kelemahan metodologis t | 12 % |
pa pun canggihnya sebuah metodologi jika kandas pada tingkat | pemecahan | problem tersebut, maka ia tidaklah banyak guna dan manfaatny | 15 % |
g tidak lagi relevan. Oleh: Abd Moqsith Ghazali Banyak | pemikir | Muslim memandang metodologi (ushul fikih) klasik tanpa cacat | 3 % |
i Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum | pemikiran | pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer ser | 1 % |
i Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum | pemikiran | pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer ser | 7 % |
Dengan merekonstruksi kaidah-kaidah ushul ini niscaya produk | pemikiran | Islam akan lebih solutif bagi problem-problem kemanusiaan ya | 14 % |
stualisasi, dan rekontekstualisasi merupakan mekanisme kerja | penafsiran | sepanjang masa. Dalam khazanah ushul fikih, maqashid al-s | 25 % |
ng tak tercakup secara verbatim di dalam aksara sebuah teks. | pencapaian | terhadap makna-makna itu akan meniscayakan adanya sebuah ana | 43 % |
akan ideologis yang hanya akan menumpulkan kreativitas dalam | pencarian | makna obyektif. 2 Jawaz Naskh al-Nushush bi al-Mas | 46 % |
akal privat ini dibutuhkan tentu untuk menghindari oligarki | pendapat | atau otoritarianisme dalam merumuskan dan memecahkan urusan- | 84 % |
sejarah dan peradaban).Maka, yang perlu mendapatkan proviso | penegasan | di sini adalah bahwa nasakh tidak dapat dilakukan terhadap t | 66 % |
hukum yang tak berdaya (mukallaf) 3 Pemberhalaan teks dan | pengabaian | realitas merupakan ciri umum dari metodologi lama. Aktivitas | 11 % |
asikh-mansukh. Semua pelajar Islam mesti tahu cerita tentang | penganuliran | beberapa syari’at yang dipandang tidak lagi bersendikan kema | 55 % |
un Mu’tazilah hakekatnya sama-sama memposisikan akal sebagai | pengelola | data-teks, sementara data-teks merupakan pangkal atau asal. | 87 % |
i yang penting. Akal publik tidak cukup hanya tampil sebagai | pengelola | data-teks. Menyangkut perkara-perkara mu’amalah yang mundan, | 94 % |
gubah pola bermadzhab dari yang qawliy ke manhaji mengandung | pengertian | bahwa metodologi klasik yang telah dikerangkakan oleh para u | 4 % |
ng konteks yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam | pengertian | klasik itu merupakan prasyarat utama untuk menemukan maqashi | 20 % |
hwa seorang mujtahid diharuskan untuk melengkapi diri dengan | pengetahuan | yang memadai menyangkut tradisi dan kebiasaan masyarakat Ara | 21 % |
kat Arab sebagai masyarakat awal yang menjadi sasaran wahyu. | pengetahuan | tentang konteks tentu bukan untuk konteks itu sendiri, melai | 22 % |
dengan menepikan peranan sabab al-nuzul. Implikasinya, para | pengguna | kaidah ini kerap terjebak pada suatu kenaifan. Bahwa semakin | 33 % |
ng mutasyabih. Akal tidak cukup percaya diri untuk melakukan | peninjauan | ulang apalagi mempertanyakan ayat-ayat partikular yang tergo | 90 % |
harfiah teks ajaran, metodologi lampau selalu mengambil cara | penundukan | terhadap akal publik. 2 Metodologi klasik kurang hirau ter | 9 % |
kai kaidah kedua ini mungkin tepat sekiranya disebut sebagai | penyembah | kata (‘ubbad al-alafdz), semantara kata (lafdz) adalah shana | 41 % |
) yang diusung oleh teks. Analisis mestinya dilanjutkan pada | penyingkapan | makna yang terdiamkan (al-maskut ‘anhu), yaitu makna yang ta | 42 % |
lah diletakkan sebagai sub-ordinat dari teks. Akal mengalami | penyusutan | peran. Seolah-olah akal manusia itu begitu rendah, sehingga | 91 % |
ya sebuah analisa yang bukan hanya terhadap struktur kalimat | per | se melainkan yang justeru fondasional adalah analisa kelas d | 44 % |
onsentrasi dan bergerak pada medan semantik dengan menepikan | peranan | sabab al-nuzul. Implikasinya, para pengguna kaidah ini kerap | 33 % |
alam bunyi harfiahnya hanya akan mengantarkan al-Qur`an pada | perangkap | yang mematikan spirit dan elan vital al-Qur`an. Kerja ta | 82 % |
tentang lafdz dalam porsi yang demikian besar. Segala jenis | perbincangan | kebahasaan (abhats lughawiyah min mabahits al-alfadz) sepert | 39 % |
dan memilih mana-mana tindakan yang baik dan mana-mana pula | perbuatan | yang buruk. Menurut saya, sekali lagi, akal publik harus | 94 % |
i untuk menakwil ayat-ayat yang mutasyabih. Akal tidak cukup | percaya | diri untuk melakukan peninjauan ulang apalagi mempertanyakan | 90 % |
bi al-alfadz. Kaidah ini berarti bahwa yang mesti menjadi | perhatian | seorang mujtahid di dalam mengistinbatkan hukum dari al-Qur` | 17 % |
ash tersebut, sekalipun nash itu hadir untuk merespons suatu | peristiwa | yang khusus. “Pasrah pada keumuman lafdz ( al-taslim bi ‘umu | 31 % |
sementara wujud pelaksanaan cita kemaslahatan itu merupakan | perkara | agama yang mutaghayyir (berubah-berubah mengikuti perubahan | 65 % |
mandemen sejumlah ketentuan “dogmatik” agama yang menyangkut | perkara-perkara | publik, baik dalam al-Qur`an maupun dalam al-Sunnah. Sehingg | 75 % |
k cukup hanya tampil sebagai pengelola data-teks. Menyangkut | perkara-perkara | mu’amalah yang mundan, akal publik perlu mendapatkan wewenan | 95 % |
n diketahui ketidak-berdayaan sebuah teks di dalam mengatasi | perkara-perkara | publik, maka akal publik mesti mempertimbangkan ulang ketent | 96 % |
uhkan ketentuan-ketentuan legal-spesifik di lapangan. Dengan | perkataan | lain, maqashid al-syari’ah adalah sumber dari segala sumber | 26 % |
lam memang perlu dicocok-cocokkan secara opurtunistik dengan | perkembangan | kemaslahatan, melainkan karena tuntutan kemaslahatan itu sec | 62 % |
ansh dalaliyan li kulli zaman wa makan). Sehingga kita tidak | perlu | kaget ketika ushul fikih lama berbicara tentang lafdz dalam | 38 % |
ndangan syari’at Islam. Ini bukan karena ajaran Islam memang | perlu | dicocok-cocokkan secara opurtunistik dengan perkembangan kem | 62 % |
h mengikuti perubahan alur sejarah dan peradaban).Maka, yang | perlu | mendapatkan proviso penegasan di sini adalah bahwa nasakh ti | 66 % |
enyangkut perkara-perkara mu’amalah yang mundan, akal publik | perlu | mendapatkan wewenang untuk mengevaluasi efektivitas dan kine | 95 % |
n. Tentu saja ada sekian banyak lagi kaidah ushul fikih yang | perlu | direformasi dengan menyertakan banyak orang yang berkompeten | 99 % |
akal budi. Dalam jiwa manusia terdapat impuls abadi yang tak | pernah | padam untuk bertanqih. Terdapat dorongan adekuat untuk senan | 83 % |
i’ah. Syathibi di dalam al-Muwafaqat mendengungkan sebuah | pernyataan | genial bahwa seorang mujtahid diharuskan untuk melengkapi di | 21 % |
ra obyektif niscaya mengharuskan demikian. Menarik mendengar | pernyataan | Izzuddin Ibnu Abdissalam, “innama al-takalif kulluha raji’at | 63 % |
pan Islam semacam ushul fikih ini akan berkoresponden secara | persis | dengan kepiawaiannya di dalam menciptakan kemaslahatan bagi | 16 % |
es tanqih harus dihindari. Sebab, membiarkan fikih al-Qur`an | persis | seperti dalam bunyi harfiahnya hanya akan mengantarkan al-Qu | 81 % |
untuk memahami konteks. Yang dimaksudkan bukan hanya konteks | personal | yang juz`iy-partikular melainkan juga konteks impersonal yan | 19 % |
2 Jawaz Naskh al-Nushush bi al-Mashlahah Terdapat sebait | pertanyaan | ontologis dalam ranah ushul fikih, jika terjadi pertentangan | 46 % |
sh) dan maslahat mana yang mesti dimenangkan? Dalam menjawab | pertanyaan | ini, umumnya ulama ushul fikih klasik mengatakan bahwa yang | 47 % |
lam yang tidak lagi relevan. Ditegaskan bahwa ketika terjadi | pertentangan | antara akal publik dan bunyi harfiah teks ajaran, metodologi | 9 % |
t pertanyaan ontologis dalam ranah ushul fikih, jika terjadi | pertentangan | antara teks (nash) dan maslahat mana yang mesti dimenangkan? | 46 % |
ash. Bahkan, al-Thufi menyatakan bahwa tidak mungkin terjadi | pertentangan | antara nash dan mashlahah, karena apa yang diujarkan oleh na | 48 % |
am al-Qur`an maupun dalam al-Sunnah. Sehingga ketika terjadi | pertentangan | antara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka ak | 75 % |
ûsh al-sabab lâ bi ‘umûm al-lafadz. Bahwa yang harus menjadi | pertimbangan | adalah keumuman lafadz, bukan khususnya sebab. Maka, jika su | 29 % |
dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karena | perubahan | konteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat sesuatu kare | 58 % |
an perkara agama yang mutaghayyir (berubah-berubah mengikuti | perubahan | alur sejarah dan peradaban).Maka, yang perlu mendapatkan pro | 65 % |
anusia. Kemaslahatan adalah fondasi paling pokok dari setiap | perundang-undangan | syari’at Islam. Ini bukan karena ajaran Islam memang perlu d | 62 % |
ang bentuk-bentuk hukuman (‘uqubat), sanksi bagi para pelaku | pidana | (hudud), bilangan waris dan sebagainya, maka tetap terbuka k | 72 % |
lik. Bagaimanapun di dalam ruang publik tidak boleh ada satu | pihak | atau golongan dalam masyarakat yang berhak memaksa pandangan | 85 % |
nash menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada | pilihan | lain selain menerapkan nash tersebut, sekalipun nash itu had | 30 % |
ahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan adalah fondasi paling | pokok | dari setiap perundang-undangan syari’at Islam. Ini bukan kar | 62 % |
logis apapun. Ajakan sejumlah ulama Indonesia untuk mengubah | pola | bermadzhab dari yang qawliy ke manhaji mengandung pengertian | 3 % |
kaget ketika ushul fikih lama berbicara tentang lafdz dalam | porsi | yang demikian besar. Segala jenis perbincangan kebahasaan (a | 39 % |
l-siyaq al-tarikhi) yang mengitari. Konteks didudukkan dalam | posisi | yang rendah dan sekunder. Ini menjadi maklum, oleh karena pa | 37 % |
maninya secara sepenuh hati.Secara pribadi, saya tidak dalam | posisi | bersetuju dengan jawaban di atas. Pada hemat saya, maslahat | 50 % |
ruk. Menurut saya, sekali lagi, akal publik harus diberi | posisi | yang penting. Akal publik tidak cukup hanya tampil sebagai p | 94 % |
pan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat hudud (seperti | potong | tangan, rajam, dan sebagainya), waris, dan sebagainya. Ayat- | 76 % |
ar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian klasik itu merupakan | prasyarat | utama untuk menemukan maqashid al-syari’ah. Syathibi di d | 20 % |
konteks itu sendiri, melainkan untuk menimba dan memperoleh | prinsip-prinsip | dasar Islam atau yang dikenal dengan istilah maqashid al-sya | 22 % |
tuk kemudian dilakukan rekontekstualisasi. Yaitu, melabuhkan | prinsip-prinsip | dasar Islam itu di tempat dan di belahan bumi non-Arab. Maka | 24 % |
idak dapat dilakukan terhadap teks al-Qur`an yang mengandung | prinsip-prinsip | ajaran yang universal, ajaran mana telah melintasi ruang dan | 66 % |
perbaharui teks-teks agama yang tidak lagi merepresentasikan | prinsip-prinsip | dasar Islam. 3 Tanqih al-Nushush bi al-’Aql al-Mujtam | 73 % |
menyempurnakan segala kekurangan. Akal publik dan bukan akal | privat | ini dibutuhkan tentu untuk menghindari oligarki pendapat ata | 84 % |
ggihnya sebuah metodologi jika kandas pada tingkat pemecahan | problem | tersebut, maka ia tidaklah banyak guna dan manfaatnya. Kecan | 15 % |
a bermaksud untuk mereformasi kaidah-kaidah ushul fikih yang | problematis | dari sudut ontologis-epistemologis tersebut. Dengan merekons | 13 % |
l ini niscaya produk pemikiran Islam akan lebih solutif bagi | problem-problem | kemanusiaan yang terus melilit. Karena, betapa pun canggihny | 14 % |
sebut. Dengan merekonstruksi kaidah-kaidah ushul ini niscaya | produk | pemikiran Islam akan lebih solutif bagi problem-problem kema | 14 % |
merupakan bagian dari masalah yang harus dipecahkan melalui | prosedur | tanqih yang berupa taqyid bi al-’aql, takhshish bi al-’aql, | 78 % |
am tataran itu, universalisasi fikih al-Qur`an tanpa melalui | proses | tanqih harus dihindari. Sebab, membiarkan fikih al-Qur`an pe | 81 % |
han alur sejarah dan peradaban).Maka, yang perlu mendapatkan | proviso | penegasan di sini adalah bahwa nasakh tidak dapat dilakukan | 66 % |
lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal | publik | di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-f | 2 % |
lama terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal | publik | di dalam menyulih dan menganulir ketentuan-ketentuan legal-f | 8 % |
an. Ditegaskan bahwa ketika terjadi pertentangan antara akal | publik | dan bunyi harfiah teks ajaran, metodologi lampau selalu meng | 9 % |
’Aql al-Mujtama’ Kaidah ini hendak menyatakan bahwa akal | publik | memiliki kewenangan untuk menyulih dan mengamandemen sejumla | 74 % |
al-Sunnah. Sehingga ketika terjadi pertentangan antara akal | publik | dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka akal publik berotorit | 75 % |
tara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka akal | publik | berotoritas untuk mengedit, menyempurnakan, dan memodifikasi | 75 % |
lbagai kekeliruan dan menyempurnakan segala kekurangan. Akal | publik | dan bukan akal privat ini dibutuhkan tentu untuk menghindari | 84 % |
memecahkan urusan-urusan publik. Bagaimanapun di dalam ruang | publik | tidak boleh ada satu pihak atau golongan dalam masyarakat ya | 85 % |
la perbuatan yang buruk. Menurut saya, sekali lagi, akal | publik | harus diberi posisi yang penting. Akal publik tidak cukup ha | 94 % |
ali lagi, akal publik harus diberi posisi yang penting. Akal | publik | tidak cukup hanya tampil sebagai pengelola data-teks. Menyan | 94 % |
teks. Menyangkut perkara-perkara mu’amalah yang mundan, akal | publik | perlu mendapatkan wewenang untuk mengevaluasi efektivitas da | 95 % |
ah teks di dalam mengatasi perkara-perkara publik, maka akal | publik | mesti mempertimbangkan ulang ketentuan tersebut. Akal publik | 97 % |
publik mesti mempertimbangkan ulang ketentuan tersebut. Akal | publik | bertugas untuk mengeluarkan spirit dasar Islam dari lipatan | 97 % |
rkan spirit dasar Islam dari lipatan huruf-huruf agama. Akal | publik | mempunyai tanggungjawab moral untuk mentanqih ayat-ayat yang | 97 % |
milah dan memilih mana-mana tindakan yang baik dan mana-mana | pula | perbuatan yang buruk. Menurut saya, sekali lagi, akal pu | 94 % |
oblem-problem kemanusiaan yang terus melilit. Karena, betapa | pun | canggihnya sebuah metodologi jika kandas pada tingkat pemeca | 15 % |
g apalagi mempertanyakan ayat-ayat partikular yang tergolong | qath’iyat | dari sudut struktur gramatika bahasanya. Akal manusia da | 90 % |
ashsh, muthlaq-muqayyad, mujmal-mubayyan, muhkam-mutasyabih, | qath’iy-dhanniy | merupakan upaya untuk menegakkan otoritas teks semata. Para | 40 % |
lah ulama Indonesia untuk mengubah pola bermadzhab dari yang | qawliy | ke manhaji mengandung pengertian bahwa metodologi klasik yan | 4 % |
is-operasional--saya suka menyebutnya dengan al-ayat al-adna | qiymatan | atau al-ayat al-furu’iyyat atau fikih al-Qur`an, seperti aya | 71 % |
nyataan Izzuddin Ibnu Abdissalam, “innama al-takalif kulluha | raji’atun | ila mashalih al-’ibad” seluruh ketentuan agama diarahkan u | 64 % |
i al-Mashlahah Terdapat sebait pertanyaan ontologis dalam | ranah | ushul fikih, jika terjadi pertentangan antara teks (nash) da | 46 % |
bisa bertindak terlampau jauh, kecuali hanya untuk melakukan | rasionalisasi | terhadap barang-barang irrasional yang ada dalam al-Qur`an d | 88 % |
tak berdaya (mukallaf) 3 Pemberhalaan teks dan pengabaian | realitas | merupakan ciri umum dari metodologi lama. Aktivitas ijtihad | 11 % |
a dari ketakwaan. Kedua, dalam kaidah yang terakhir itu, | realitas | hendak disubordinasikan ke dalam bunyi harafiah teks. Yang d | 36 % |
dz, bukan khususnya sebab. Maka, jika suatu nash menggunakan | redaksi | yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain mener | 30 % |
mi non-Arab. Maka, kontekstualisasi, dekontekstualisasi, dan | rekontekstualisasi | merupakan mekanisme kerja penafsiran sepanjang masa. Dala | 25 % |
kat Arab. Dengan demikian, kebenaran ayat-ayat tadi bersifat | relatif | dan tentatif, sehingga memerlukan penyempurnaan, pembaharuan | 80 % |
arikhi) yang mengitari. Konteks didudukkan dalam posisi yang | rendah | dan sekunder. Ini menjadi maklum, oleh karena para pemakai k | 37 % |
tan walau untuk umat manusia sendiri. Manusia tidak memiliki | reputasi | dan kedudukan apapun dalam ruang ushul fikih klasik, kecuali | 10 % |
ebagai sebuah fikih, ayat-ayat tersebut sepenuhnya merupakan | respons | al-Qur`an terhadap kasus-kasus tertentu yang berlangsung dal | 79 % |
. Manusia tidak memiliki reputasi dan kedudukan apapun dalam | ruang | ushul fikih klasik, kecuali sebagai sasaran hukum yang tak b | 10 % |
aktu tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu | ruang | dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karena | 58 % |
p-prinsip ajaran yang universal, ajaran mana telah melintasi | ruang | dan waktu, mengatasi pelbagai etnis dan keyakinan. Ayat-ayat | 67 % |
n dan memecahkan urusan-urusan publik. Bagaimanapun di dalam | ruang | publik tidak boleh ada satu pihak atau golongan dalam masyar | 85 % |
an aturan tersebut tidak lagi menyuarakan kemaslahatan. Ibnu | rusyd | dalam bukunya yang bertitelkan Fashl al-Maqal fiy Taqrir Ma | 59 % |
diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada | saat | formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali me | 1 % |
diletakkan dalam konfigurasi dan konteks umum pemikiran pada | saat | formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer seringkali me | 7 % |
rsal. Pemahaman tentang konteks yang lebih dari sekadar ilmu | sabab | al-nuzul dalam pengertian klasik itu merupakan prasyarat uta | 20 % |
si dan bergerak pada medan semantik dengan menepikan peranan | sabab | al-nuzul. Implikasinya, para pengguna kaidah ini kerap terje | 33 % |
erupakan aksis dari seluruh cara pemecahan problem. Tentu | saja | ini merupakan kelemahan metodologis tersendiri yang mesti me | 12 % |
k bahwa analisis yang berhenti hanya pada konteks linguistik | saja | tidak akan cukup memadai untuk mengejar kebenaran hakiki (ma | 42 % |
aslahatan dapat berubah karena perubahan konteks, maka dapat | saja | Allah menyuruh berbuat sesuatu karena diketahui mengandung m | 58 % |
a”, dan sebagainya. Nasakh terhadap ayat yang demikian bukan | saja | berpunggungan dengan semangat kehadiran Islam awal, melainka | 69 % |
berjemaah, saling bunuh-membunuh, dan sebagainya. Ini, tentu | saja | sebuah sikap yang tidak apresiatif bahkan merendahkan akal s | 93 % |
mahan metodologi istinbath yang telah lama dirisaukan. Tentu | saja | ada sekian banyak lagi kaidah ushul fikih yang perlu direfor | 99 % |
a binatang, berzina beramai-ramai, mencuri secara berjemaah, | saling | bunuh-membunuh, dan sebagainya. Ini, tentu saja sebuah sikap | 92 % |
teks. Baik kalangan Asy’ariyah maupun Mu’tazilah hakekatnya | sama-sama | memposisikan akal sebagai pengelola data-teks, sementara dat | 87 % |
. Betapa syari’at Islam yang baru diundangkan, kerap dalam 3 | sampai | 5 tahun dianulir kembali oleh Nabi Muhammad karena tidak ber | 56 % |
enyempurnakan, dan memodifikasikannya. Modifikasi ini terasa | sangat | dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat partikular, se | 76 % |
iliki kedudukan dan derajat yang sama. Pandangan di atas | sangat | berbeda dengan pandangan mainstream, baik yang klasik maupun | 86 % |
Allah Swt. Allah menciptakan akal sesungguhnya agar manusia | sanggup | memilah dan memilih mana-mana tindakan yang baik dan mana-ma | 93 % |
ayat yang berbicara tentang bentuk-bentuk hukuman (‘uqubat), | sanksi | bagi para pelaku pidana (hudud), bilangan waris dan sebagain | 71 % |
ifalsifikasi, sekiranya ayat tadi tidak efektif lagi sebagai | sarana | untuk mewujudkan cita kemalahatan. Dalam sejarahnya, nasakh | 72 % |
dukan apapun dalam ruang ushul fikih klasik, kecuali sebagai | sasaran | hukum yang tak berdaya (mukallaf) 3 Pemberhalaan teks dan | 11 % |
biasaan masyarakat Arab sebagai masyarakat awal yang menjadi | sasaran | wahyu. Pengetahuan tentang konteks tentu bukan untuk konteks | 22 % |
n publik. Bagaimanapun di dalam ruang publik tidak boleh ada | satu | pihak atau golongan dalam masyarakat yang berhak memaksa pan | 85 % |
ttishal menyatakan bahwa hikmah (kemaslahatan) itu merupakan | saudara | kandung dari syari’at-syari’at yang telah ditetapkan Allah S | 60 % |
amalkan dan mengimaninya secara sepenuh hati.Secara pribadi, | saya | tidak dalam posisi bersetuju dengan jawaban di atas. Pada he | 50 % |
mengatasi pelbagai etnis dan keyakinan. Ayat-ayat ini ingin | saya | katakan sebagai ayat dengan kedudukan paling tinggi (al-ayat | 67 % |
ebuah analisa yang bukan hanya terhadap struktur kalimat per | se | melainkan yang justeru fondasional adalah analisa kelas dan | 44 % |
s. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada teks adalah illegal, | sebab | teks merupakan aksis dari seluruh cara pemecahan problem. | 12 % |
pabrik intelektualitas manusia yang nisbi telah diposisikan | sebagai | sesuatu yang mutlak. Tak terbantah. Mereka telah melakukan i | 6 % |
dan kedudukan apapun dalam ruang ushul fikih klasik, kecuali | sebagai | sasaran hukum yang tak berdaya (mukallaf) 3 Pemberhalaan t | 11 % |
ang memadai menyangkut tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab | sebagai | masyarakat awal yang menjadi sasaran wahyu. Pengetahuan tent | 22 % |
ara pemakai kaidah kedua ini mungkin tepat sekiranya disebut | sebagai | penyembah kata (‘ubbad al-alafdz), semantara kata (lafdz) ad | 41 % |
dimaksud dengan ungkapan “naskh al-nushush bi al-mashlahah”. | sebagai | spirit dari teks (nushush) al-Qur`an, kemaslahatan merupakan | 52 % |
lbagai etnis dan keyakinan. Ayat-ayat ini ingin saya katakan | sebagai | ayat dengan kedudukan paling tinggi (al-ayat al-’ala qiymata | 67 % |
kh dan difalsifikasi, sekiranya ayat tadi tidak efektif lagi | sebagai | sarana untuk mewujudkan cita kemalahatan. Dalam sejarahnya, | 72 % |
t-ayat semacam itu, sebagaimana dikatakan sebelumnya disebut | sebagai | fikih al-Qur`an. Sebagai sebuah fikih, ayat-ayat tersebut se | 79 % |
aimana dikatakan sebelumnya disebut sebagai fikih al-Qur`an. | sebagai | sebuah fikih, ayat-ayat tersebut sepenuhnya merupakan respon | 79 % |
yah maupun Mu’tazilah hakekatnya sama-sama memposisikan akal | sebagai | pengelola data-teks, sementara data-teks merupakan pangkal a | 87 % |
data-teks, sementara data-teks merupakan pangkal atau asal. | sebagai | pengelola, maka akal tidak bisa bertindak terlampau jauh, ke | 88 % |
Akal manusia dalam buku-buku teologi klasik telah diletakkan | sebagai | sub-ordinat dari teks. Akal mengalami penyusutan peran. Seol | 91 % |
a sebuah sikap yang tidak apresiatif bahkan merendahkan akal | sebagai | karya agung Allah Swt. Allah menciptakan akal sesungguhnya a | 93 % |
ri posisi yang penting. Akal publik tidak cukup hanya tampil | sebagai | pengelola data-teks. Menyangkut perkara-perkara mu’amalah ya | 94 % |
i al-’aql, dan tabyin bi al-’aql. Ayat-ayat semacam itu, | sebagaimana | dikatakan sebelumnya disebut sebagai fikih al-Qur`an. Sebaga | 78 % |
manusia secara massal akan bertelanjang bulat di jalan-jalan | sebagaimana | binatang, berzina beramai-ramai, mencuri secara berjemaah, s | 92 % |
t yang problematik. Akhirnya, jangan lupa bahwa itu hanya | sebagian | kaidah ushul fikih alternatif yang bisa disodorkan untuk mem | 98 % |
2 Jawaz Naskh al-Nushush bi al-Mashlahah Terdapat | sebait | pertanyaan ontologis dalam ranah ushul fikih, jika terjadi p | 46 % |
metodolgi klasik tersebut. Metodologi lama terlalu memandang | sebelah | mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan me | 2 % |
dolgi klasik tersebut. 1 Metodologi lama terlalu memandang | sebelah | mata terhadap kemampuan akal publik di dalam menyulih dan me | 8 % |
bi al-’aql. Ayat-ayat semacam itu, sebagaimana dikatakan | sebelumnya | disebut sebagai fikih al-Qur`an. Sebagai sebuah fikih, ayat- | 79 % |
dengan kepiawaiannya di dalam menciptakan kemaslahatan bagi | sebesar-besarnya | umat manusia. 1. al-’Ibrah bi al-maqashid la bi al-alf | 16 % |
mashalih al-’ibad” seluruh ketentuan agama diarahkan untuk | sebesar-besarnya | kemaslahatan umat manusia . Dengan ini, maka kemaslahatan i | 64 % |
mengubahnya, tetapi mengikuti dan melaksanakannya. Di sini, | sebuah | metodologi yang sejatinya lahir dari pabrik intelektualitas | 5 % |
emanusiaan yang terus melilit. Karena, betapa pun canggihnya | sebuah | metodologi jika kandas pada tingkat pemecahan problem terseb | 15 % |
ut, maka ia tidaklah banyak guna dan manfaatnya. Kecanggihan | sebuah | metodologi terutama dalam imu-ilmu terapan Islam semacam ush | 15 % |
dungnya. Yang menjadi aksis adalah cita-cita etik-moral dari | sebuah | ayat dan bukan legislasi spesifik atau formulasi literalnya. | 18 % |
al-syari’ah. Syathibi di dalam al-Muwafaqat mendengungkan | sebuah | pernyataan genial bahwa seorang mujtahid diharuskan untuk me | 21 % |
dari al-Qur`an sendiri. Oleh karena itu, sekiranya ditemukan | sebuah | teks agama baik di dalam al-Qur`an maupun al-hadits (apalagi | 27 % |
aitu makna yang tak tercakup secara verbatim di dalam aksara | sebuah | teks. Pencapaian terhadap makna-makna itu akan meniscayakan | 43 % |
Pencapaian terhadap makna-makna itu akan meniscayakan adanya | sebuah | analisa yang bukan hanya terhadap struktur kalimat per se me | 43 % |
agai cara, tanpa terlalu banyak terpesona terhadap keindahan | sebuah | teks. Sebab, keterpesonaan merupakan tindakan ideologis yang | 45 % |
ikatakan sebelumnya disebut sebagai fikih al-Qur`an. Sebagai | sebuah | fikih, ayat-ayat tersebut sepenuhnya merupakan respons al-Qu | 79 % |
maah, saling bunuh-membunuh, dan sebagainya. Ini, tentu saja | sebuah | sikap yang tidak apresiatif bahkan merendahkan akal sebagai | 93 % |
as. Sekiranya dari data lapangan diketahui ketidak-berdayaan | sebuah | teks di dalam mengatasi perkara-perkara publik, maka akal pu | 96 % |
mu terapan Islam semacam ushul fikih ini akan berkoresponden | secara | persis dengan kepiawaiannya di dalam menciptakan kemaslahata | 16 % |
terdiamkan (al-maskut ‘anhu), yaitu makna yang tak tercakup | secara | verbatim di dalam aksara sebuah teks. Pencapaian terhadap ma | 43 % |
teks. Kewajiban manusia adalah mengamalkan dan mengimaninya | secara | sepenuh hati.Secara pribadi, saya tidak dalam posisi bersetu | 50 % |
Ini bukan karena ajaran Islam memang perlu dicocok-cocokkan | secara | opurtunistik dengan perkembangan kemaslahatan, melainkan kar | 62 % |
gan kemaslahatan, melainkan karena tuntutan kemaslahatan itu | secara | obyektif niscaya mengharuskan demikian. Menarik mendengar pe | 63 % |
sia itu begitu rendah, sehingga kalau dibiarkan maka manusia | secara | massal akan bertelanjang bulat di jalan-jalan sebagaimana bi | 92 % |
n-jalan sebagaimana binatang, berzina beramai-ramai, mencuri | secara | berjemaah, saling bunuh-membunuh, dan sebagainya. Ini, tentu | 92 % |
dologis tersendiri yang mesti mendapatkan penanganan. Dengan | segala | keterbatasan, tulisan ini kiranya bermaksud untuk mereformas | 13 % |
ngan perkataan lain, maqashid al-syari’ah adalah sumber dari | segala | sumber hukum dalam Islam, termasuk sumber dari al-Qur`an sen | 27 % |
ama berbicara tentang lafdz dalam porsi yang demikian besar. | segala | jenis perbincangan kebahasaan (abhats lughawiyah min mabahit | 39 % |
ngan untuk mengoreksi pelbagai kekeliruan dan menyempurnakan | segala | kekurangan. Akal publik dan bukan akal privat ini dibutuhkan | 84 % |
. Begitu maqashid al-syari’ah sudah dicapai, maka teks harus | segera | dilepaskan dari konteks kearabannya (dekontekstualisasi) unt | 23 % |
ra kata (lafdz) adalah shanam yu’bad (patung yang disembah). | segera | tampak bahwa analisis yang berhenti hanya pada konteks lingu | 41 % |
uf (shalahiyyah al-nansh dalaliyan li kulli zaman wa makan). | sehingga | kita tidak perlu kaget ketika ushul fikih lama berbicara ten | 38 % |
perkara publik, baik dalam al-Qur`an maupun dalam al-Sunnah. | sehingga | ketika terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi | 75 % |
ian, kebenaran ayat-ayat tadi bersifat relatif dan tentatif, | sehingga | memerlukan penyempurnaan, pembaharuan, dan penyulingan. Dala | 80 % |
enyusutan peran. Seolah-olah akal manusia itu begitu rendah, | sehingga | kalau dibiarkan maka manusia secara massal akan bertelanjang | 91 % |
analisa kelas dan struktur sosial dan budaya yang melingkupi | sejarah | kehadiran teks. Maka, kejarlah maqashid al-syari’ah dengan p | 44 % |
a yang mutaghayyir (berubah-berubah mengikuti perubahan alur | sejarah | dan peradaban).Maka, yang perlu mendapatkan proviso penegasa | 65 % |
ngikuti dan melaksanakannya. Di sini, sebuah metodologi yang | sejatinya | lahir dari pabrik intelektualitas manusia yang nisbi telah d | 5 % |
hikmah-kebijaksanaan, dan cinta kasih. Maqashid inilah yang | sejatinya | menjadi sumber inspirasi tatkala al-Qur`an hendak melabuhkan | 26 % |
ushul fikih) klasik tanpa cacat epistemologis apapun. Ajakan | sejumlah | ulama Indonesia untuk mengubah pola bermadzhab dari yang qaw | 3 % |
ini dapat diketahui dari pembatalan demi pembatalan terhadap | sejumlah | syari’at Islam, yang dikenal dengan istilah nasikh-mansukh. | 54 % |
publik memiliki kewenangan untuk menyulih dan mengamandemen | sejumlah | ketentuan “dogmatik” agama yang menyangkut perkara-perkara p | 74 % |
g kulli-universal. Pemahaman tentang konteks yang lebih dari | sekadar | ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian klasik itu merupakan pr | 20 % |
k dan mana-mana pula perbuatan yang buruk. Menurut saya, | sekali | lagi, akal publik harus diberi posisi yang penting. Akal pub | 94 % |
maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan nash tersebut, | sekalipun | nash itu hadir untuk merespons suatu peristiwa yang khusus. | 30 % |
yang berjudul al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah. Terdapat | sekian | banyak kritik terhadap kaidah konvensional ini. Misalnya, pe | 32 % |
odologi istinbath yang telah lama dirisaukan. Tentu saja ada | sekian | banyak lagi kaidah ushul fikih yang perlu direformasi dengan | 99 % |
am, termasuk sumber dari al-Qur`an sendiri. Oleh karena itu, | sekiranya | ditemukan sebuah teks agama baik di dalam al-Qur`an maupun a | 27 % |
tas teks semata. Para pemakai kaidah kedua ini mungkin tepat | sekiranya | disebut sebagai penyembah kata (‘ubbad al-alafdz), semantara | 40 % |
manusia, kecuali untuk teks itu sendiri. Teks baru bermakna | sekiranya | menyertakan cita kemaslahatan bagi umat manusia. Kemaslahata | 61 % |
tetap terbuka kemungkinan untuk dinasakh dan difalsifikasi, | sekiranya | ayat tadi tidak efektif lagi sebagai sarana untuk mewujudkan | 72 % |
mengimpelementasikan maqashid al-syari’ah di bumi realitas. | sekiranya | dari data lapangan diketahui ketidak-berdayaan sebuah teks d | 96 % |
akan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain | selain | menerapkan nash tersebut, sekalipun nash itu hadir untuk mer | 30 % |
akal publik dan bunyi harfiah teks ajaran, metodologi lampau | selalu | mengambil cara penundukan terhadap akal publik. 2 Metodolo | 9 % |
merupakan ciri umum dari metodologi lama. Aktivitas ijtihad | selalu | digerakkan di dalam areal teks. Ijtihad yang tidak berkulmin | 12 % |
untuk mewujudkan cita kemalahatan. Dalam sejarahnya, nasakh | selalu | hadir untuk terus-menerus memperbaharui teks-teks agama yang | 73 % |
ekuat untuk senantiasa berpihak pada kebenaran dan keadilan. | selalu | ada kecenderungan untuk mengoreksi pelbagai kekeliruan dan m | 83 % |
si pada teks adalah illegal, sebab teks merupakan aksis dari | seluruh | cara pemecahan problem. Tentu saja ini merupakan kelemaha | 12 % |
“innama al-takalif kulluha raji’atun ila mashalih al-’ibad” | seluruh | ketentuan agama diarahkan untuk sebesar-besarnya kemaslahata | 64 % |
ihan sebuah metodologi terutama dalam imu-ilmu terapan Islam | semacam | ushul fikih ini akan berkoresponden secara persis dengan kep | 16 % |
, takhshish bi al-’aql, dan tabyin bi al-’aql. Ayat-ayat | semacam | itu, sebagaimana dikatakan sebelumnya disebut sebagai fikih | 78 % |
engguna kaidah ini kerap terjebak pada suatu kenaifan. Bahwa | semakin | harafiah seseorang membaca al-Qur`an, maka semakin dekat ia | 34 % |
an. Bahwa semakin harafiah seseorang membaca al-Qur`an, maka | semakin | dekat ia pada kebenaran. Sebaliknya, semakin jauh yang bersa | 34 % |
al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada kebenaran. Sebaliknya, | semakin | jauh yang bersangkutan dari makna literal al-Qur`an, maka ia | 34 % |
jauh yang bersangkutan dari makna literal al-Qur`an, maka ia | semakin | terlempar dari kebenaran. Maka, semakin literal seseorang di | 35 % |
l al-Qur`an, maka ia semakin terlempar dari kebenaran. Maka, | semakin | literal seseorang di dalam memperlakukan al-Qur`an, maka sem | 35 % |
kin literal seseorang di dalam memperlakukan al-Qur`an, maka | semakin | dekat ia pada ketakwaan. Dan semakin substantif seseorang di | 35 % |
lakukan al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada ketakwaan. Dan | semakin | substantif seseorang di dalam memandang al-Qur`an, maka jauh | 35 % |
terhadap ayat yang demikian bukan saja berpunggungan dengan | semangat | kehadiran Islam awal, melainkan juga bertentangan dengan log | 70 % |
sekiranya disebut sebagai penyembah kata (‘ubbad al-alafdz), | semantara | kata (lafdz) adalah shanam yu’bad (patung yang disembah). | 41 % |
andang terlalu banyak berkonsentrasi dan bergerak pada medan | semantik | dengan menepikan peranan sabab al-nuzul. Implikasinya, para | 33 % |
iandaikan oleh manusia adalah kemaslahatan semu dan relatif, | sementara | kemaslahatan yang ditetapkan Tuhan melalui bunyi harafiah na | 49 % |
n agama yang tsawabit (tidak berubah, pokok, dan universal), | sementara | wujud pelaksanaan cita kemaslahatan itu merupakan perkara ag | 65 % |
l, melainkan juga bertentangan dengan logika nasakh sendiri. | sementara | ayat-ayat mu’amalah dalam al-Qur`an yang bersifat tehnis-ope | 70 % |
nya sama-sama memposisikan akal sebagai pengelola data-teks, | sementara | data-teks merupakan pangkal atau asal. Sebagai pengelola, ma | 87 % |
emaslahatan yang diandaikan oleh manusia adalah kemaslahatan | semu | dan relatif, sementara kemaslahatan yang ditetapkan Tuhan me | 49 % |
syari’at Islam, yang dikenal dengan istilah nasikh-mansukh. | semua | pelajar Islam mesti tahu cerita tentang penganuliran beberap | 54 % |
z ( al-taslim bi ‘umum al-lafdz) hanya akan menyebabkan kita | senantiasa | berada dalam kerangka makna linguistik (fiy ithar al-dalalah | 31 % |
yang sudah aus. Dengan cara ini, maka cita kemaslahatan akan | senantiasa | berkreasi untuk memproduksi formulasi bahkan teks keagamaan | 53 % |
ernah padam untuk bertanqih. Terdapat dorongan adekuat untuk | senantiasa | berpihak pada kebenaran dan keadilan. Selalu ada kecenderung | 83 % |
agai sub-ordinat dari teks. Akal mengalami penyusutan peran. | seolah-olah | akal manusia itu begitu rendah, sehingga kalau dibiarkan mak | 91 % |
dz. Kaidah ini berarti bahwa yang mesti menjadi perhatian | seorang | mujtahid di dalam mengistinbatkan hukum dari al-Qur`an dan a | 17 % |
am al-Muwafaqat mendengungkan sebuah pernyataan genial bahwa | seorang | mujtahid diharuskan untuk melengkapi diri dengan pengetahuan | 21 % |
dan rekontekstualisasi merupakan mekanisme kerja penafsiran | sepanjang | masa. Dalam khazanah ushul fikih, maqashid al-syari’ah it | 25 % |
Kewajiban manusia adalah mengamalkan dan mengimaninya secara | sepenuh | hati.Secara pribadi, saya tidak dalam posisi bersetuju denga | 50 % |
ai fikih al-Qur`an. Sebagai sebuah fikih, ayat-ayat tersebut | sepenuhnya | merupakan respons al-Qur`an terhadap kasus-kasus tertentu ya | 79 % |
cangan kebahasaan (abhats lughawiyah min mabahits al-alfadz) | seperti | mengenai ‘amm-khashsh, muthlaq-muqayyad, mujmal-mubayyan, mu | 39 % |
), atau al-ayat al-ushuliyat atau ushul al-Qur`an. Ayat-ayat | seperti | ini memang tidak banyak jumlahnya, bahkan bisa dihitung deng | 68 % |
gan. Masuk dalam kategori ayat yang tidak bisa dinasakh ini, | seperti | ayat “wa idza hakamtum bayna al-nas an tahkumu bi al’adl”, “ | 69 % |
na qiymatan atau al-ayat al-furu’iyyat atau fikih al-Qur`an, | seperti | ayat yang berbicara tentang bentuk-bentuk hukuman (‘uqubat), | 71 % |
at dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat partikular, | seperti | ayat hudud (seperti potong tangan, rajam, dan sebagainya), w | 76 % |
ih harus dihindari. Sebab, membiarkan fikih al-Qur`an persis | seperti | dalam bunyi harfiahnya hanya akan mengantarkan al-Qur`an pad | 81 % |
pa yang diujarkan oleh nash adalah kemaslahatan itu sendiri. | sering | disinyalir bahwa kemaslahatan yang diandaikan oleh manusia a | 48 % |
ran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer | seringkali | menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klas | 1 % |
ran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis kontemporer | seringkali | menayangkan ketidakberdayaan bahkan kerapuhan metodolgi klas | 7 % |
ormulasi literalnya. Nah, untuk mengetahui maqashid ini maka | seseorang | dituntut untuk memahami konteks. Yang dimaksudkan bukan hany | 19 % |
i kerap terjebak pada suatu kenaifan. Bahwa semakin harafiah | seseorang | membaca al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada kebenaran. Seb | 34 % |
a ia semakin terlempar dari kebenaran. Maka, semakin literal | seseorang | di dalam memperlakukan al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada | 35 % |
maka semakin dekat ia pada ketakwaan. Dan semakin substantif | seseorang | di dalam memandang al-Qur`an, maka jauh ia dari ketakwaan. | 35 % |
intelektualitas manusia yang nisbi telah diposisikan sebagai | sesuatu | yang mutlak. Tak terbantah. Mereka telah melakukan idealisas | 6 % |
d karena tidak bermaslahat lagi. Tidaklah mustahil bahwa | sesuatu | yang bernilai maslahat dalam suatu tempat dan waktu tertentu | 57 % |
na perubahan konteks, maka dapat saja Allah menyuruh berbuat | sesuatu | karena diketahui mengandung maslahat, kemudian Allah melaran | 58 % |
n akal sebagai karya agung Allah Swt. Allah menciptakan akal | sesungguhnya | agar manusia sanggup memilah dan memilih mana-mana tindakan | 93 % |
umat manusia. Kemaslahatan adalah fondasi paling pokok dari | setiap | perundang-undangan syari’at Islam. Ini bukan karena ajaran I | 62 % |
ur`an. Kerja tanqih ini hakekatnya inheren di dalam diri | setiap | manusia yang berakal budi. Dalam jiwa manusia terdapat impul | 82 % |
embah kata (‘ubbad al-alafdz), semantara kata (lafdz) adalah | shanam | yu’bad (patung yang disembah). Segera tampak bahwa analis | 41 % |
aling bunuh-membunuh, dan sebagainya. Ini, tentu saja sebuah | sikap | yang tidak apresiatif bahkan merendahkan akal sebagai karya | 93 % |
peradaban).Maka, yang perlu mendapatkan proviso penegasan di | sini | adalah bahwa nasakh tidak dapat dilakukan terhadap teks al-Q | 66 % |
h-kaidah ushul ini niscaya produk pemikiran Islam akan lebih | solutif | bagi problem-problem kemanusiaan yang terus melilit. Karena, | 14 % |
n yang justeru fondasional adalah analisa kelas dan struktur | sosial | dan budaya yang melingkupi sejarah kehadiran teks. Maka, kej | 44 % |
ah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat dan bukan legislasi | spesifik | atau formulasi literalnya. Nah, untuk mengetahui maqashid in | 18 % |
dengan ungkapan “naskh al-nushush bi al-mashlahah”. Sebagai | spirit | dari teks (nushush) al-Qur`an, kemaslahatan merupakan amunis | 52 % |
ya akan mengantarkan al-Qur`an pada perangkap yang mematikan | spirit | dan elan vital al-Qur`an. Kerja tanqih ini hakekatnya in | 82 % |
ketentuan tersebut. Akal publik bertugas untuk mengeluarkan | spirit | dasar Islam dari lipatan huruf-huruf agama. Akal publik memp | 97 % |
meniscayakan adanya sebuah analisa yang bukan hanya terhadap | struktur | kalimat per se melainkan yang justeru fondasional adalah ana | 44 % |
melainkan yang justeru fondasional adalah analisa kelas dan | struktur | sosial dan budaya yang melingkupi sejarah kehadiran teks. Ma | 44 % |
kan ayat-ayat partikular yang tergolong qath’iyat dari sudut | struktur | gramatika bahasanya. Akal manusia dalam buku-buku teolog | 90 % |
an adalah keumuman lafadz, bukan khususnya sebab. Maka, jika | suatu | nash menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada | 30 % |
pkan nash tersebut, sekalipun nash itu hadir untuk merespons | suatu | peristiwa yang khusus. “Pasrah pada keumuman lafdz ( al-tasl | 31 % |
. Implikasinya, para pengguna kaidah ini kerap terjebak pada | suatu | kenaifan. Bahwa semakin harafiah seseorang membaca al-Qur`an | 34 % |
Tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam | suatu | tempat dan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat | 57 % |
dan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam | suatu | ruang dan waktu yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah k | 58 % |
usia dalam buku-buku teologi klasik telah diletakkan sebagai | sub-ordinat | dari teks. Akal mengalami penyusutan peran. Seolah-olah akal | 91 % |
al-Qur`an, maka semakin dekat ia pada ketakwaan. Dan semakin | substantif | seseorang di dalam memandang al-Qur`an, maka jauh ia dari ke | 35 % |
l balik dari keberadaan teks dengan menganulir beberapa teks | suci | yang sudah aus. Dengan cara ini, maka cita kemaslahatan akan | 52 % |
i syari’at-syari’at yang telah ditetapkan Allah Swt. Teks | suci | tanpa kemaslahatan memang tak berfungsi apa-apa buat manusia | 61 % |
lasik yang telah dikerangkakan oleh para ulama dahulu memang | sudah | tuntas dan sempurna. Sehingga, kewajiban umat yang datang ke | 4 % |
an istilah maqashid al-syari’ah. Begitu maqashid al-syari’ah | sudah | dicapai, maka teks harus segera dilepaskan dari konteks kear | 23 % |
ri keberadaan teks dengan menganulir beberapa teks suci yang | sudah | aus. Dengan cara ini, maka cita kemaslahatan akan senantiasa | 52 % |
mereformasi kaidah-kaidah ushul fikih yang problematis dari | sudut | ontologis-epistemologis tersebut. Dengan merekonstruksi kaid | 14 % |
rtanyakan ayat-ayat partikular yang tergolong qath’iyat dari | sudut | struktur gramatika bahasanya. Akal manusia dalam buku-bu | 90 % |
malah dalam al-Qur`an yang bersifat tehnis-operasional--saya | suka | menyebutnya dengan al-ayat al-adna qiymatan atau al-ayat al- | 71 % |
aan, dan cinta kasih. Maqashid inilah yang sejatinya menjadi | sumber | inspirasi tatkala al-Qur`an hendak melabuhkan ketentuan-kete | 26 % |
lapangan. Dengan perkataan lain, maqashid al-syari’ah adalah | sumber | dari segala sumber hukum dalam Islam, termasuk sumber dari a | 27 % |
rkataan lain, maqashid al-syari’ah adalah sumber dari segala | sumber | hukum dalam Islam, termasuk sumber dari al-Qur`an sendiri. O | 27 % |
adalah sumber dari segala sumber hukum dalam Islam, termasuk | sumber | dari al-Qur`an sendiri. Oleh karena itu, sekiranya ditemukan | 27 % |
diketahui dari pembatalan demi pembatalan terhadap sejumlah | syari’at | Islam, yang dikenal dengan istilah nasikh-mansukh. Semua pel | 54 % |
elajar Islam mesti tahu cerita tentang penganuliran beberapa | syari’at | yang dipandang tidak lagi bersendikan kemaslahatan. Dijelask | 55 % |
an. Dijelaskan bahwa nasakh itu bukan hanya berlaku terhadap | syari’at | nabi-nabi terdahulu (syar’u man qablana) saja, tetapi melain | 55 % |
) saja, tetapi melainkan juga berlangsung dalam batang tubuh | syari’at | Nabi Muhammad sendiri. Betapa syari’at Islam yang baru diund | 56 % |
ng dalam batang tubuh syari’at Nabi Muhammad sendiri. Betapa | syari’at | Islam yang baru diundangkan, kerap dalam 3 sampai 5 tahun di | 56 % |
n adalah fondasi paling pokok dari setiap perundang-undangan | syari’at | Islam. Ini bukan karena ajaran Islam memang perlu dicocok-co | 62 % |
hwa hikmah (kemaslahatan) itu merupakan saudara kandung dari | syari’at-syari’at | yang telah ditetapkan Allah Swt. Teks suci tanpa kemaslah | 60 % |
upakan prasyarat utama untuk menemukan maqashid al-syari’ah. | syathibi | di dalam al-Muwafaqat mendengungkan sebuah pernyataan genial | 21 % |
am al-Qur`an dan al-Sunnah. Akal hanya berguna untuk membuka | tabir | kegelapan teks-teks dhanniyat al-Qur`an saja. Di tangan Mu’t | 89 % |
qih yang berupa taqyid bi al-’aql, takhshish bi al-’aql, dan | tabyin | bi al-’aql. Ayat-ayat semacam itu, sebagaimana dikatakan | 78 % |
kemungkinan untuk dinasakh dan difalsifikasi, sekiranya ayat | tadi | tidak efektif lagi sebagai sarana untuk mewujudkan cita kema | 72 % |
pula, masyarakat Arab. Dengan demikian, kebenaran ayat-ayat | tadi | bersifat relatif dan tentatif, sehingga memerlukan penyempur | 80 % |
a baik di dalam al-Qur`an maupun al-hadits (apalagi di dalam | tafsir | dan fikih) yang tidak lagi menyuarakan maqashid al-syari’ah, | 28 % |
dinasakh ini, seperti ayat “wa idza hakamtum bayna al-nas an | tahkumu | bi al’adl”, “I’dilu huwa aqrabu li al-taqwa”, dan sebagainya | 69 % |
nal dengan istilah nasikh-mansukh. Semua pelajar Islam mesti | tahu | cerita tentang penganuliran beberapa syari’at yang dipandang | 54 % |
syari’at Islam yang baru diundangkan, kerap dalam 3 sampai 5 | tahun | dianulir kembali oleh Nabi Muhammad karena tidak bermaslahat | 56 % |
ia yang nisbi telah diposisikan sebagai sesuatu yang mutlak. | tak | terbantah. Mereka telah melakukan idealisasi dan universalis | 6 % |
ruang ushul fikih klasik, kecuali sebagai sasaran hukum yang | tak | berdaya (mukallaf) 3 Pemberhalaan teks dan pengabaian real | 11 % |
an makna yang terdiamkan (al-maskut ‘anhu), yaitu makna yang | tak | tercakup secara verbatim di dalam aksara sebuah teks. Pencap | 43 % |
ditetapkan Allah Swt. Teks suci tanpa kemaslahatan memang | tak | berfungsi apa-apa buat manusia, kecuali untuk teks itu sendi | 61 % |
berakal budi. Dalam jiwa manusia terdapat impuls abadi yang | tak | pernah padam untuk bertanqih. Terdapat dorongan adekuat untu | 83 % |
ahkan melalui prosedur tanqih yang berupa taqyid bi al-’aql, | takhshish | bi al-’aql, dan tabyin bi al-’aql. Ayat-ayat semacam itu | 78 % |
afdz) adalah shanam yu’bad (patung yang disembah). Segera | tampak | bahwa analisis yang berhenti hanya pada konteks linguistik s | 41 % |
us diberi posisi yang penting. Akal publik tidak cukup hanya | tampil | sebagai pengelola data-teks. Menyangkut perkara-perkara mu’a | 94 % |
ngka makna linguistik (fiy ithar al-dalalah al-lughawiyah)”, | tandas | Nahr Hamid Abu Zaid dalam bukunya yang berjudul al-Nash, al- | 32 % |
mbuka tabir kegelapan teks-teks dhanniyat al-Qur`an saja. Di | tangan | Mu’tazilah, akal hanya berfungsi untuk menakwil ayat-ayat ya | 89 % |
Islam dari lipatan huruf-huruf agama. Akal publik mempunyai | tanggungjawab | moral untuk mentanqih ayat-ayat yang problematik. Akhirny | 97 % |
yak pemikir Muslim memandang metodologi (ushul fikih) klasik | tanpa | cacat epistemologis apapun. Ajakan sejumlah ulama Indonesia | 3 % |
s. Maka, kejarlah maqashid al-syari’ah dengan pelbagai cara, | tanpa | terlalu banyak terpesona terhadap keindahan sebuah teks. Seb | 45 % |
ri’at-syari’at yang telah ditetapkan Allah Swt. Teks suci | tanpa | kemaslahatan memang tak berfungsi apa-apa buat manusia, kecu | 61 % |
nyulingan. Dalam tataran itu, universalisasi fikih al-Qur`an | tanpa | melalui proses tanqih harus dihindari. Sebab, membiarkan fik | 81 % |
lagi merepresentasikan prinsip-prinsip dasar Islam. 3 | tanqih | al-Nushush bi al-’Aql al-Mujtama’ Kaidah ini hendak meny | 73 % |
n bagian dari masalah yang harus dipecahkan melalui prosedur | tanqih | yang berupa taqyid bi al-’aql, takhshish bi al-’aql, dan tab | 78 % |
ran itu, universalisasi fikih al-Qur`an tanpa melalui proses | tanqih | harus dihindari. Sebab, membiarkan fikih al-Qur`an persis se | 81 % |
ap yang mematikan spirit dan elan vital al-Qur`an. Kerja | tanqih | ini hakekatnya inheren di dalam diri setiap manusia yang ber | 82 % |
Ibnu Rusyd dalam bukunya yang bertitelkan Fashl al-Maqal fiy | taqrir | Ma Bayna al-Syari’at wa al-Hikmah min al-Ittishal menyatakan | 60 % |
ah yang harus dipecahkan melalui prosedur tanqih yang berupa | taqyid | bi al-’aql, takhshish bi al-’aql, dan tabyin bi al-’aql. | 78 % |
emerlukan penyempurnaan, pembaharuan, dan penyulingan. Dalam | tataran | itu, universalisasi fikih al-Qur`an tanpa melalui proses tan | 80 % |
sih. Maqashid inilah yang sejatinya menjadi sumber inspirasi | tatkala | al-Qur`an hendak melabuhkan ketentuan-ketentuan legal-spesif | 26 % |
Sementara ayat-ayat mu’amalah dalam al-Qur`an yang bersifat | tehnis-operasional--saya | suka menyebutnya dengan al-ayat al-adna qiymatan atau al-aya | 70 % |
ka terjadi pertentangan antara akal publik dan bunyi harfiah | teks | ajaran, metodologi lampau selalu mengambil cara penundukan t | 9 % |
i sasaran hukum yang tak berdaya (mukallaf) 3 Pemberhalaan | teks | dan pengabaian realitas merupakan ciri umum dari metodologi | 11 % |
an di dalam areal teks. Ijtihad yang tidak berkulminasi pada | teks | adalah illegal, sebab teks merupakan aksis dari seluruh cara | 12 % |
ihad yang tidak berkulminasi pada teks adalah illegal, sebab | teks | merupakan aksis dari seluruh cara pemecahan problem. Tent | 12 % |
al-syari’ah. Begitu maqashid al-syari’ah sudah dicapai, maka | teks | harus segera dilepaskan dari konteks kearabannya (dekontekst | 23 % |
-Qur`an sendiri. Oleh karena itu, sekiranya ditemukan sebuah | teks | agama baik di dalam al-Qur`an maupun al-hadits (apalagi di d | 27 % |
n ke dalam bunyi harafiah teks. Yang dituju adalah kebenaran | teks | dengan konsekuensi mengabaikan konteks (al-siyaq al-tarikhi) | 37 % |
h, qath’iy-dhanniy merupakan upaya untuk menegakkan otoritas | teks | semata. Para pemakai kaidah kedua ini mungkin tepat sekirany | 40 % |
is dalam ranah ushul fikih, jika terjadi pertentangan antara | teks | (nash) dan maslahat mana yang mesti dimenangkan? Dalam menja | 46 % |
ahat memiliki otoritas untuk menganulir kententuan-ketentuan | teks | suci. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan “naskh al-nushush | 51 % |
apan “naskh al-nushush bi al-mashlahah”. Sebagai spirit dari | teks | (nushush) al-Qur`an, kemaslahatan merupakan amunisi untuk me | 52 % |
tan merupakan amunisi untuk mengontrol balik dari keberadaan | teks | dengan menganulir beberapa teks suci yang sudah aus. Dengan | 52 % |
ontrol balik dari keberadaan teks dengan menganulir beberapa | teks | suci yang sudah aus. Dengan cara ini, maka cita kemaslahatan | 52 % |
akan senantiasa berkreasi untuk memproduksi formulasi bahkan | teks | keagamaan baru di tengah kegamangan dan kegagapan formulasi | 53 % |
gamaan baru di tengah kegamangan dan kegagapan formulasi dan | teks | keagamaan lama.Praktek dari kaidah ini dapat diketahui dari | 53 % |
dung dari syari’at-syari’at yang telah ditetapkan Allah Swt. | teks | suci tanpa kemaslahatan memang tak berfungsi apa-apa buat ma | 61 % |
tan memang tak berfungsi apa-apa buat manusia, kecuali untuk | teks | itu sendiri. Teks baru bermakna sekiranya menyertakan cita k | 61 % |
fungsi apa-apa buat manusia, kecuali untuk teks itu sendiri. | teks | baru bermakna sekiranya menyertakan cita kemaslahatan bagi u | 61 % |
n di sini adalah bahwa nasakh tidak dapat dilakukan terhadap | teks | al-Qur`an yang mengandung prinsip-prinsip ajaran yang univer | 66 % |
terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi harfiah | teks | ajaran, maka akal publik berotoritas untuk mengedit, menyemp | 75 % |
iranya dari data lapangan diketahui ketidak-berdayaan sebuah | teks | di dalam mengatasi perkara-perkara publik, maka akal publik | 96 % |
ahnya, nasakh selalu hadir untuk terus-menerus memperbaharui | teks-teks | agama yang tidak lagi merepresentasikan prinsip-prinsip dasa | 73 % |
al-Sunnah. Akal hanya berguna untuk membuka tabir kegelapan | teks-teks | dhanniyat al-Qur`an saja. Di tangan Mu’tazilah, akal hanya b | 89 % |
e manhaji mengandung pengertian bahwa metodologi klasik yang | telah | dikerangkakan oleh para ulama dahulu memang sudah tuntas dan | 4 % |
jatinya lahir dari pabrik intelektualitas manusia yang nisbi | telah | diposisikan sebagai sesuatu yang mutlak. Tak terbantah. Mere | 5 % |
posisikan sebagai sesuatu yang mutlak. Tak terbantah. Mereka | telah | melakukan idealisasi dan universalisasi terhadap metodologi | 6 % |
n) itu merupakan saudara kandung dari syari’at-syari’at yang | telah | ditetapkan Allah Swt. Teks suci tanpa kemaslahatan memang | 60 % |
engandung prinsip-prinsip ajaran yang universal, ajaran mana | telah | melintasi ruang dan waktu, mengatasi pelbagai etnis dan keya | 67 % |
a bahasanya. Akal manusia dalam buku-buku teologi klasik | telah | diletakkan sebagai sub-ordinat dari teks. Akal mengalami pen | 91 % |
ntuk membenahi kelemahan-kelemahan metodologi istinbath yang | telah | lama dirisaukan. Tentu saja ada sekian banyak lagi kaidah us | 99 % |
lisasi. Yaitu, melabuhkan prinsip-prinsip dasar Islam itu di | tempat | dan di belahan bumi non-Arab. Maka, kontekstualisasi, dekont | 24 % |
ah mustahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu | tempat | dan waktu tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam | 57 % |
si untuk memproduksi formulasi bahkan teks keagamaan baru di | tengah | kegamangan dan kegagapan formulasi dan teks keagamaan lama.P | 53 % |
nkan juga konteks impersonal yang kulli-universal. Pemahaman | tentang | konteks yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam pe | 20 % |
agai masyarakat awal yang menjadi sasaran wahyu. Pengetahuan | tentang | konteks tentu bukan untuk konteks itu sendiri, melainkan unt | 22 % |
gga kita tidak perlu kaget ketika ushul fikih lama berbicara | tentang | lafdz dalam porsi yang demikian besar. Segala jenis perbinca | 39 % |
stilah nasikh-mansukh. Semua pelajar Islam mesti tahu cerita | tentang | penganuliran beberapa syari’at yang dipandang tidak lagi ber | 55 % |
furu’iyyat atau fikih al-Qur`an, seperti ayat yang berbicara | tentang | bentuk-bentuk hukuman (‘uqubat), sanksi bagi para pelaku pid | 71 % |
ab teks merupakan aksis dari seluruh cara pemecahan problem. | tentu | saja ini merupakan kelemahan metodologis tersendiri yang mes | 12 % |
awal yang menjadi sasaran wahyu. Pengetahuan tentang konteks | tentu | bukan untuk konteks itu sendiri, melainkan untuk menimba dan | 22 % |
kekurangan. Akal publik dan bukan akal privat ini dibutuhkan | tentu | untuk menghindari oligarki pendapat atau otoritarianisme dal | 84 % |
ecara berjemaah, saling bunuh-membunuh, dan sebagainya. Ini, | tentu | saja sebuah sikap yang tidak apresiatif bahkan merendahkan a | 92 % |
n-kelemahan metodologi istinbath yang telah lama dirisaukan. | tentu | saja ada sekian banyak lagi kaidah ushul fikih yang perlu di | 99 % |
ruktur gramatika bahasanya. Akal manusia dalam buku-buku | teologi | klasik telah diletakkan sebagai sub-ordinat dari teks. Akal | 91 % |
otoritas teks semata. Para pemakai kaidah kedua ini mungkin | tepat | sekiranya disebut sebagai penyembah kata (‘ubbad al-alafdz), | 40 % |
n, maka jauh ia dari ketakwaan. Kedua, dalam kaidah yang | terakhir | itu, realitas hendak disubordinasikan ke dalam bunyi harafia | 36 % |
atnya. Kecanggihan sebuah metodologi terutama dalam imu-ilmu | terapan | Islam semacam ushul fikih ini akan berkoresponden secara per | 16 % |
edit, menyempurnakan, dan memodifikasikannya. Modifikasi ini | terasa | sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat-ayat partiku | 76 % |
ku pidana (hudud), bilangan waris dan sebagainya, maka tetap | terbuka | kemungkinan untuk dinasakh dan difalsifikasi, sekiranya ayat | 72 % |
akna yang terdiamkan (al-maskut ‘anhu), yaitu makna yang tak | tercakup | secara verbatim di dalam aksara sebuah teks. Pencapaian terh | 43 % |
a nasakh itu bukan hanya berlaku terhadap syari’at nabi-nabi | terdahulu | (syar’u man qablana) saja, tetapi melainkan juga berlangsung | 55 % |
dalam bukunya yang berjudul al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah. | terdapat | sekian banyak kritik terhadap kaidah konvensional ini. Misal | 32 % |
obyektif. 2 Jawaz Naskh al-Nushush bi al-Mashlahah | terdapat | sebait pertanyaan ontologis dalam ranah ushul fikih, jika te | 46 % |
am diri setiap manusia yang berakal budi. Dalam jiwa manusia | terdapat | impuls abadi yang tak pernah padam untuk bertanqih. Terdapat | 82 % |
terdapat impuls abadi yang tak pernah padam untuk bertanqih. | terdapat | dorongan adekuat untuk senantiasa berpihak pada kebenaran da | 83 % |
. Analisis mestinya dilanjutkan pada penyingkapan makna yang | terdiamkan | (al-maskut ‘anhu), yaitu makna yang tak tercakup secara verb | 42 % |
jauan ulang apalagi mempertanyakan ayat-ayat partikular yang | tergolong | qath’iyat dari sudut struktur gramatika bahasanya. Akal | 90 % |
sik tersebut. Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata | terhadap | kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir keten | 2 % |
bantah. Mereka telah melakukan idealisasi dan universalisasi | terhadap | metodologi lama yang provisionaris. Mestinya, metodologi | 6 % |
tersebut. 1 Metodologi lama terlalu memandang sebelah mata | terhadap | kemampuan akal publik di dalam menyulih dan menganulir keten | 8 % |
s ajaran, metodologi lampau selalu mengambil cara penundukan | terhadap | akal publik. 2 Metodologi klasik kurang hirau terhadap kem | 9 % |
kan terhadap akal publik. 2 Metodologi klasik kurang hirau | terhadap | kemampuan manusia di dalam merumuskan konsep kemaslahatan wa | 10 % |
h, al-Sulthah, al-Haqiqah. Terdapat sekian banyak kritik | terhadap | kaidah konvensional ini. Misalnya, pertama, kaidah ini dipan | 32 % |
akup secara verbatim di dalam aksara sebuah teks. Pencapaian | terhadap | makna-makna itu akan meniscayakan adanya sebuah analisa yang | 43 % |
itu akan meniscayakan adanya sebuah analisa yang bukan hanya | terhadap | struktur kalimat per se melainkan yang justeru fondasional a | 43 % |
yari’ah dengan pelbagai cara, tanpa terlalu banyak terpesona | terhadap | keindahan sebuah teks. Sebab, keterpesonaan merupakan tindak | 45 % |
i kaidah ini dapat diketahui dari pembatalan demi pembatalan | terhadap | sejumlah syari’at Islam, yang dikenal dengan istilah nasikh- | 54 % |
emaslahatan. Dijelaskan bahwa nasakh itu bukan hanya berlaku | terhadap | syari’at nabi-nabi terdahulu (syar’u man qablana) saja, teta | 55 % |
penegasan di sini adalah bahwa nasakh tidak dapat dilakukan | terhadap | teks al-Qur`an yang mengandung prinsip-prinsip ajaran yang u | 66 % |
l”, “I’dilu huwa aqrabu li al-taqwa”, dan sebagainya. Nasakh | terhadap | ayat yang demikian bukan saja berpunggungan dengan semangat | 69 % |
h, ayat-ayat tersebut sepenuhnya merupakan respons al-Qur`an | terhadap | kasus-kasus tertentu yang berlangsung dalam lokus tertentu p | 79 % |
terlampau jauh, kecuali hanya untuk melakukan rasionalisasi | terhadap | barang-barang irrasional yang ada dalam al-Qur`an dan al-Sun | 88 % |
dalam Islam yang tidak lagi relevan. Ditegaskan bahwa ketika | terjadi | pertentangan antara akal publik dan bunyi harfiah teks ajara | 9 % |
at sebait pertanyaan ontologis dalam ranah ushul fikih, jika | terjadi | pertentangan antara teks (nash) dan maslahat mana yang mesti | 46 % |
adalah nash. Bahkan, al-Thufi menyatakan bahwa tidak mungkin | terjadi | pertentangan antara nash dan mashlahah, karena apa yang diuj | 48 % |
baik dalam al-Qur`an maupun dalam al-Sunnah. Sehingga ketika | terjadi | pertentangan antara akal publik dengan bunyi harfiah teks aj | 75 % |
lih-alih bisa menyelesaikan masalah-masalah kemanusian, yang | terjadi | justeru merupakan bagian dari masalah yang harus dipecahkan | 77 % |
sabab al-nuzul. Implikasinya, para pengguna kaidah ini kerap | terjebak | pada suatu kenaifan. Bahwa semakin harafiah seseorang membac | 34 % |
bahkan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. Metodologi lama | terlalu | memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dal | 2 % |
kan kerapuhan metodolgi klasik tersebut. 1 Metodologi lama | terlalu | memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik di dal | 8 % |
ah konvensional ini. Misalnya, pertama, kaidah ini dipandang | terlalu | banyak berkonsentrasi dan bergerak pada medan semantik denga | 33 % |
a, kejarlah maqashid al-syari’ah dengan pelbagai cara, tanpa | terlalu | banyak terpesona terhadap keindahan sebuah teks. Sebab, kete | 45 % |
atau asal. Sebagai pengelola, maka akal tidak bisa bertindak | terlampau | jauh, kecuali hanya untuk melakukan rasionalisasi terhadap b | 88 % |
g bersangkutan dari makna literal al-Qur`an, maka ia semakin | terlempar | dari kebenaran. Maka, semakin literal seseorang di dalam mem | 35 % |
syari’ah adalah sumber dari segala sumber hukum dalam Islam, | termasuk | sumber dari al-Qur`an sendiri. Oleh karena itu, sekiranya di | 27 % |
ashid al-syari’ah dengan pelbagai cara, tanpa terlalu banyak | terpesona | terhadap keindahan sebuah teks. Sebab, keterpesonaan merupak | 45 % |
gnya pada waktu kemudian karena diketahui di lapangan aturan | tersebut | tidak lagi menyuarakan kemaslahatan. Ibnu Rusyd dalam bukuny | 59 % |
an, rajam, dan sebagainya), waris, dan sebagainya. Ayat-ayat | tersebut | dalam konteks sekarang, alih-alih bisa menyelesaikan masalah | 77 % |
but sebagai fikih al-Qur`an. Sebagai sebuah fikih, ayat-ayat | tersebut | sepenuhnya merupakan respons al-Qur`an terhadap kasus-kasus | 79 % |
n problem. Tentu saja ini merupakan kelemahan metodologis | tersendiri | yang mesti mendapatkan penanganan. Dengan segala keterbatasa | 13 % |
sepenuhnya merupakan respons al-Qur`an terhadap kasus-kasus | tertentu | yang berlangsung dalam lokus tertentu pula, masyarakat Arab. | 79 % |
n terhadap kasus-kasus tertentu yang berlangsung dalam lokus | tertentu | pula, masyarakat Arab. Dengan demikian, kebenaran ayat-ayat | 80 % |
lam akan lebih solutif bagi problem-problem kemanusiaan yang | terus | melilit. Karena, betapa pun canggihnya sebuah metodologi jik | 14 % |
an mainstream, baik yang klasik maupun yang kontemporer yang | terus | menerus mendevaluasi akal di bawah kedigdayaan teks. Baik ka | 86 % |
ita kemalahatan. Dalam sejarahnya, nasakh selalu hadir untuk | terus-menerus | memperbaharui teks-teks agama yang tidak lagi merepresentasi | 73 % |
ah banyak guna dan manfaatnya. Kecanggihan sebuah metodologi | terutama | dalam imu-ilmu terapan Islam semacam ushul fikih ini akan be | 16 % |
a pelaku pidana (hudud), bilangan waris dan sebagainya, maka | tetap | terbuka kemungkinan untuk dinasakh dan difalsifikasi, sekira | 72 % |
kewajiban umat yang datang kemudian bukan untuk mengubahnya, | tetapi | mengikuti dan melaksanakannya. Di sini, sebuah metodologi ya | 5 % |
adap syari’at nabi-nabi terdahulu (syar’u man qablana) saja, | tetapi | melainkan juga berlangsung dalam batang tubuh syari’at Nabi | 56 % |
ir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang | tidak | lagi relevan. Oleh: Abd Moqsith Ghazali Banyak pemikir | 2 % |
ir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam yang | tidak | lagi relevan. Ditegaskan bahwa ketika terjadi pertentangan a | 8 % |
onsep kemaslahatan walau untuk umat manusia sendiri. Manusia | tidak | memiliki reputasi dan kedudukan apapun dalam ruang ushul fik | 10 % |
ijtihad selalu digerakkan di dalam areal teks. Ijtihad yang | tidak | berkulminasi pada teks adalah illegal, sebab teks merupakan | 12 % |
an maupun al-hadits (apalagi di dalam tafsir dan fikih) yang | tidak | lagi menyuarakan maqashid al-syari’ah, maka ia batal atau da | 28 % |
jika suatu nash menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka | tidak | ada pilihan lain selain menerapkan nash tersebut, sekalipun | 30 % |
h al-nansh dalaliyan li kulli zaman wa makan). Sehingga kita | tidak | perlu kaget ketika ushul fikih lama berbicara tentang lafdz | 38 % |
wa analisis yang berhenti hanya pada konteks linguistik saja | tidak | akan cukup memadai untuk mengejar kebenaran hakiki (maqashid | 42 % |
g dimenangkan adalah nash. Bahkan, al-Thufi menyatakan bahwa | tidak | mungkin terjadi pertentangan antara nash dan mashlahah, kare | 48 % |
rafiah nash adalah kemaslahatan hakiki dan obyektif. Manusia | tidak | memiliki kewenangan untuk mempertanyakan dan menggugat kemas | 49 % |
an dan mengimaninya secara sepenuh hati.Secara pribadi, saya | tidak | dalam posisi bersetuju dengan jawaban di atas. Pada hemat sa | 50 % |
cerita tentang penganuliran beberapa syari’at yang dipandang | tidak | lagi bersendikan kemaslahatan. Dijelaskan bahwa nasakh itu b | 55 % |
3 sampai 5 tahun dianulir kembali oleh Nabi Muhammad karena | tidak | bermaslahat lagi. Tidaklah mustahil bahwa sesuatu yang b | 57 % |
waktu kemudian karena diketahui di lapangan aturan tersebut | tidak | lagi menyuarakan kemaslahatan. Ibnu Rusyd dalam bukunya yang | 59 % |
lu mendapatkan proviso penegasan di sini adalah bahwa nasakh | tidak | dapat dilakukan terhadap teks al-Qur`an yang mengandung prin | 66 % |
ushuliyat atau ushul al-Qur`an. Ayat-ayat seperti ini memang | tidak | banyak jumlahnya, bahkan bisa dihitung dengan jari tangan. M | 68 % |
dihitung dengan jari tangan. Masuk dalam kategori ayat yang | tidak | bisa dinasakh ini, seperti ayat “wa idza hakamtum bayna al-n | 68 % |
gkinan untuk dinasakh dan difalsifikasi, sekiranya ayat tadi | tidak | efektif lagi sebagai sarana untuk mewujudkan cita kemalahata | 72 % |
hadir untuk terus-menerus memperbaharui teks-teks agama yang | tidak | lagi merepresentasikan prinsip-prinsip dasar Islam. 3 | 73 % |
kan urusan-urusan publik. Bagaimanapun di dalam ruang publik | tidak | boleh ada satu pihak atau golongan dalam masyarakat yang ber | 85 % |
ks merupakan pangkal atau asal. Sebagai pengelola, maka akal | tidak | bisa bertindak terlampau jauh, kecuali hanya untuk melakukan | 88 % |
nya berfungsi untuk menakwil ayat-ayat yang mutasyabih. Akal | tidak | cukup percaya diri untuk melakukan peninjauan ulang apalagi | 90 % |
-membunuh, dan sebagainya. Ini, tentu saja sebuah sikap yang | tidak | apresiatif bahkan merendahkan akal sebagai karya agung Allah | 93 % |
i, akal publik harus diberi posisi yang penting. Akal publik | tidak | cukup hanya tampil sebagai pengelola data-teks. Menyangkut p | 94 % |
jika kandas pada tingkat pemecahan problem tersebut, maka ia | tidaklah | banyak guna dan manfaatnya. Kecanggihan sebuah metodologi te | 15 % |
ir kembali oleh Nabi Muhammad karena tidak bermaslahat lagi. | tidaklah | mustahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu te | 57 % |
rhadap keindahan sebuah teks. Sebab, keterpesonaan merupakan | tindakan | ideologis yang hanya akan menumpulkan kreativitas dalam penc | 45 % |
ungguhnya agar manusia sanggup memilah dan memilih mana-mana | tindakan | yang baik dan mana-mana pula perbuatan yang buruk. Menur | 93 % |
ini ingin saya katakan sebagai ayat dengan kedudukan paling | tinggi | (al-ayat al-’ala qiymatan), atau al-ayat al-ushuliyat atau u | 67 % |
na, betapa pun canggihnya sebuah metodologi jika kandas pada | tingkat | pemecahan problem tersebut, maka ia tidaklah banyak guna dan | 15 % |
k melengkapi diri dengan pengetahuan yang memadai menyangkut | tradisi | dan kebiasaan masyarakat Arab sebagai masyarakat awal yang m | 21 % |
engan ini, maka kemaslahatan itu merupakan ajaran agama yang | tsawabit | (tidak berubah, pokok, dan universal), sementara wujud pelak | 64 % |
ablana) saja, tetapi melainkan juga berlangsung dalam batang | tubuh | syari’at Nabi Muhammad sendiri. Betapa syari’at Islam yang b | 56 % |
tan semu dan relatif, sementara kemaslahatan yang ditetapkan | tuhan | melalui bunyi harafiah nash adalah kemaslahatan hakiki dan o | 49 % |
ng mesti mendapatkan penanganan. Dengan segala keterbatasan, | tulisan | ini kiranya bermaksud untuk mereformasi kaidah-kaidah ushul | 13 % |
yang telah dikerangkakan oleh para ulama dahulu memang sudah | tuntas | dan sempurna. Sehingga, kewajiban umat yang datang kemudian | 4 % |
rtunistik dengan perkembangan kemaslahatan, melainkan karena | tuntutan | kemaslahatan itu secara obyektif niscaya mengharuskan demiki | 63 % |
ih) klasik tanpa cacat epistemologis apapun. Ajakan sejumlah | ulama | Indonesia untuk mengubah pola bermadzhab dari yang qawliy ke | 3 % |
n bahwa metodologi klasik yang telah dikerangkakan oleh para | ulama | dahulu memang sudah tuntas dan sempurna. Sehingga, kewajiban | 4 % |
ng mesti dimenangkan? Dalam menjawab pertanyaan ini, umumnya | ulama | ushul fikih klasik mengatakan bahwa yang dimenangkan adalah | 47 % |
ih. Akal tidak cukup percaya diri untuk melakukan peninjauan | ulang | apalagi mempertanyakan ayat-ayat partikular yang tergolong q | 90 % |
kara-perkara publik, maka akal publik mesti mempertimbangkan | ulang | ketentuan tersebut. Akal publik bertugas untuk mengeluarkan | 97 % |
dahulu memang sudah tuntas dan sempurna. Sehingga, kewajiban | umat | yang datang kemudian bukan untuk mengubahnya, tetapi mengiku | 4 % |
manusia di dalam merumuskan konsep kemaslahatan walau untuk | umat | manusia sendiri. Manusia tidak memiliki reputasi dan keduduk | 10 % |
nnya di dalam menciptakan kemaslahatan bagi sebesar-besarnya | umat | manusia. 1. al-’Ibrah bi al-maqashid la bi al-alfadz. | 16 % |
s baru bermakna sekiranya menyertakan cita kemaslahatan bagi | umat | manusia. Kemaslahatan adalah fondasi paling pokok dari setia | 61 % |
etentuan agama diarahkan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan | umat | manusia . Dengan ini, maka kemaslahatan itu merupakan ajara | 64 % |
dologi Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks | umum | pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis konte | 1 % |
dologi Islam klasik diletakkan dalam konfigurasi dan konteks | umum | pemikiran pada saat formatifnya. Sebab, fakta akademis konte | 7 % |
3 Pemberhalaan teks dan pengabaian realitas merupakan ciri | umum | dari metodologi lama. Aktivitas ijtihad selalu digerakkan di | 11 % |
mana yang mesti dimenangkan? Dalam menjawab pertanyaan ini, | umumnya | ulama ushul fikih klasik mengatakan bahwa yang dimenangkan a | 47 % |
kententuan-ketentuan teks suci. Inilah yang dimaksud dengan | ungkapan | “naskh al-nushush bi al-mashlahah”. Sebagai spirit dari teks | 51 % |
mutlak. Tak terbantah. Mereka telah melakukan idealisasi dan | universalisasi | terhadap metodologi lama yang provisionaris. Mestinya, me | 6 % |
yempurnaan, pembaharuan, dan penyulingan. Dalam tataran itu, | universalisasi | fikih al-Qur`an tanpa melalui proses tanqih harus dihindari. | 81 % |
aklum, oleh karena para pemakai kaidah ini menganut ideologi | universalisme | dan ketidak-berhinggan kebenaran huruf (shalahiyyah al-nansh | 38 % |
cacat epistemologis apapun. Ajakan sejumlah ulama Indonesia | untuk | mengubah pola bermadzhab dari yang qawliy ke manhaji mengand | 3 % |
empurna. Sehingga, kewajiban umat yang datang kemudian bukan | untuk | mengubahnya, tetapi mengikuti dan melaksanakannya. Di sini, | 5 % |
ampuan manusia di dalam merumuskan konsep kemaslahatan walau | untuk | umat manusia sendiri. Manusia tidak memiliki reputasi dan ke | 10 % |
n. Dengan segala keterbatasan, tulisan ini kiranya bermaksud | untuk | mereformasi kaidah-kaidah ushul fikih yang problematis dari | 13 % |
dan bukan legislasi spesifik atau formulasi literalnya. Nah, | untuk | mengetahui maqashid ini maka seseorang dituntut untuk memaha | 19 % |
. Nah, untuk mengetahui maqashid ini maka seseorang dituntut | untuk | memahami konteks. Yang dimaksudkan bukan hanya konteks perso | 19 % |
-nuzul dalam pengertian klasik itu merupakan prasyarat utama | untuk | menemukan maqashid al-syari’ah. Syathibi di dalam al-Muwa | 20 % |
n sebuah pernyataan genial bahwa seorang mujtahid diharuskan | untuk | melengkapi diri dengan pengetahuan yang memadai menyangkut t | 21 % |
njadi sasaran wahyu. Pengetahuan tentang konteks tentu bukan | untuk | konteks itu sendiri, melainkan untuk menimba dan memperoleh | 22 % |
ang konteks tentu bukan untuk konteks itu sendiri, melainkan | untuk | menimba dan memperoleh prinsip-prinsip dasar Islam atau yang | 22 % |
era dilepaskan dari konteks kearabannya (dekontekstualisasi) | untuk | kemudian dilakukan rekontekstualisasi. Yaitu, melabuhkan pri | 24 % |
in selain menerapkan nash tersebut, sekalipun nash itu hadir | untuk | merespons suatu peristiwa yang khusus. “Pasrah pada keumuman | 31 % |
mubayyan, muhkam-mutasyabih, qath’iy-dhanniy merupakan upaya | untuk | menegakkan otoritas teks semata. Para pemakai kaidah kedua i | 40 % |
hanya pada konteks linguistik saja tidak akan cukup memadai | untuk | mengejar kebenaran hakiki (maqashid asasiyah) yang diusung o | 42 % |
hatan hakiki dan obyektif. Manusia tidak memiliki kewenangan | untuk | mempertanyakan dan menggugat kemaslahatan literal teks. Kewa | 50 % |
jawaban di atas. Pada hemat saya, maslahat memiliki otoritas | untuk | menganulir kententuan-ketentuan teks suci. Inilah yang dimak | 51 % |
ari teks (nushush) al-Qur`an, kemaslahatan merupakan amunisi | untuk | mengontrol balik dari keberadaan teks dengan menganulir bebe | 52 % |
n cara ini, maka cita kemaslahatan akan senantiasa berkreasi | untuk | memproduksi formulasi bahkan teks keagamaan baru di tengah k | 53 % |
aslahatan memang tak berfungsi apa-apa buat manusia, kecuali | untuk | teks itu sendiri. Teks baru bermakna sekiranya menyertakan c | 61 % |
n ila mashalih al-’ibad” seluruh ketentuan agama diarahkan | untuk | sebesar-besarnya kemaslahatan umat manusia . Dengan ini, ma | 64 % |
ilangan waris dan sebagainya, maka tetap terbuka kemungkinan | untuk | dinasakh dan difalsifikasi, sekiranya ayat tadi tidak efekti | 72 % |
ikasi, sekiranya ayat tadi tidak efektif lagi sebagai sarana | untuk | mewujudkan cita kemalahatan. Dalam sejarahnya, nasakh selalu | 72 % |
dkan cita kemalahatan. Dalam sejarahnya, nasakh selalu hadir | untuk | terus-menerus memperbaharui teks-teks agama yang tidak lagi | 73 % |
ini hendak menyatakan bahwa akal publik memiliki kewenangan | untuk | menyulih dan mengamandemen sejumlah ketentuan “dogmatik” aga | 74 % |
ngan bunyi harfiah teks ajaran, maka akal publik berotoritas | untuk | mengedit, menyempurnakan, dan memodifikasikannya. Modifikasi | 76 % |
lam jiwa manusia terdapat impuls abadi yang tak pernah padam | untuk | bertanqih. Terdapat dorongan adekuat untuk senantiasa berpih | 83 % |
tak pernah padam untuk bertanqih. Terdapat dorongan adekuat | untuk | senantiasa berpihak pada kebenaran dan keadilan. Selalu ada | 83 % |
rpihak pada kebenaran dan keadilan. Selalu ada kecenderungan | untuk | mengoreksi pelbagai kekeliruan dan menyempurnakan segala kek | 83 % |
ngan. Akal publik dan bukan akal privat ini dibutuhkan tentu | untuk | menghindari oligarki pendapat atau otoritarianisme dalam mer | 84 % |
maka akal tidak bisa bertindak terlampau jauh, kecuali hanya | untuk | melakukan rasionalisasi terhadap barang-barang irrasional ya | 88 % |
l yang ada dalam al-Qur`an dan al-Sunnah. Akal hanya berguna | untuk | membuka tabir kegelapan teks-teks dhanniyat al-Qur`an saja. | 89 % |
t al-Qur`an saja. Di tangan Mu’tazilah, akal hanya berfungsi | untuk | menakwil ayat-ayat yang mutasyabih. Akal tidak cukup percaya | 89 % |
wil ayat-ayat yang mutasyabih. Akal tidak cukup percaya diri | untuk | melakukan peninjauan ulang apalagi mempertanyakan ayat-ayat | 90 % |
u’amalah yang mundan, akal publik perlu mendapatkan wewenang | untuk | mengevaluasi efektivitas dan kinerja beberapa ketentuan al-Q | 95 % |
pertimbangkan ulang ketentuan tersebut. Akal publik bertugas | untuk | mengeluarkan spirit dasar Islam dari lipatan huruf-huruf aga | 97 % |
huruf-huruf agama. Akal publik mempunyai tanggungjawab moral | untuk | mentanqih ayat-ayat yang problematik. Akhirnya, jangan lu | 98 % |
sebagian kaidah ushul fikih alternatif yang bisa disodorkan | untuk | membenahi kelemahan-kelemahan metodologi istinbath yang tela | 98 % |
ujmal-mubayyan, muhkam-mutasyabih, qath’iy-dhanniy merupakan | upaya | untuk menegakkan otoritas teks semata. Para pemakai kaidah k | 40 % |
endapat atau otoritarianisme dalam merumuskan dan memecahkan | urusan-urusan | publik. Bagaimanapun di dalam ruang publik tidak boleh ada s | 84 % |
Membangun | ushul | Fikih Alternatif Mestinya, metodologi Islam klasik dileta | 0 % |
sia tidak memiliki reputasi dan kedudukan apapun dalam ruang | ushul | fikih klasik, kecuali sebagai sasaran hukum yang tak berdaya | 11 % |
ulisan ini kiranya bermaksud untuk mereformasi kaidah-kaidah | ushul | fikih yang problematis dari sudut ontologis-epistemologis te | 13 % |
-epistemologis tersebut. Dengan merekonstruksi kaidah-kaidah | ushul | ini niscaya produk pemikiran Islam akan lebih solutif bagi p | 14 % |
uah metodologi terutama dalam imu-ilmu terapan Islam semacam | ushul | fikih ini akan berkoresponden secara persis dengan kepiawaia | 16 % |
mekanisme kerja penafsiran sepanjang masa. Dalam khazanah | ushul | fikih, maqashid al-syari’ah itu adalah keadilan, kemaslahata | 25 % |
ulli zaman wa makan). Sehingga kita tidak perlu kaget ketika | ushul | fikih lama berbicara tentang lafdz dalam porsi yang demikian | 39 % |
ashlahah Terdapat sebait pertanyaan ontologis dalam ranah | ushul | fikih, jika terjadi pertentangan antara teks (nash) dan masl | 46 % |
ti dimenangkan? Dalam menjawab pertanyaan ini, umumnya ulama | ushul | fikih klasik mengatakan bahwa yang dimenangkan adalah nash. | 47 % |
i (al-ayat al-’ala qiymatan), atau al-ayat al-ushuliyat atau | ushul | al-Qur`an. Ayat-ayat seperti ini memang tidak banyak jumlahn | 68 % |
ik. Akhirnya, jangan lupa bahwa itu hanya sebagian kaidah | ushul | fikih alternatif yang bisa disodorkan untuk membenahi kelema | 98 % |
ah lama dirisaukan. Tentu saja ada sekian banyak lagi kaidah | ushul | fikih yang perlu direformasi dengan menyertakan banyak orang | 99 % |
bab al-nuzul dalam pengertian klasik itu merupakan prasyarat | utama | untuk menemukan maqashid al-syari’ah. Syathibi di dalam a | 20 % |
mkan (al-maskut ‘anhu), yaitu makna yang tak tercakup secara | verbatim | di dalam aksara sebuah teks. Pencapaian terhadap makna-makna | 43 % |
rkan al-Qur`an pada perangkap yang mematikan spirit dan elan | vital | al-Qur`an. Kerja tanqih ini hakekatnya inheren di dalam | 82 % |
benaran huruf (shalahiyyah al-nansh dalaliyan li kulli zaman | wa | makan). Sehingga kita tidak perlu kaget ketika ushul fikih l | 38 % |
g bertitelkan Fashl al-Maqal fiy Taqrir Ma Bayna al-Syari’at | wa | al-Hikmah min al-Ittishal menyatakan bahwa hikmah (kemaslaha | 60 % |
bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu tempat dan | waktu | tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu ruan | 57 % |
ntu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan | waktu | yang lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karena perubahan | 58 % |
ketahui mengandung maslahat, kemudian Allah melarangnya pada | waktu | kemudian karena diketahui di lapangan aturan tersebut tidak | 59 % |
ap kemampuan manusia di dalam merumuskan konsep kemaslahatan | walau | untuk umat manusia sendiri. Manusia tidak memiliki reputasi | 10 % |
(‘uqubat), sanksi bagi para pelaku pidana (hudud), bilangan | waris | dan sebagainya, maka tetap terbuka kemungkinan untuk dinasak | 72 % |
perkara mu’amalah yang mundan, akal publik perlu mendapatkan | wewenang | untuk mengevaluasi efektivitas dan kinerja beberapa ketentua | 95 % |
ng tsawabit (tidak berubah, pokok, dan universal), sementara | wujud | pelaksanaan cita kemaslahatan itu merupakan perkara agama ya | 65 % |
n pada penyingkapan makna yang terdiamkan (al-maskut ‘anhu), | yaitu | makna yang tak tercakup secara verbatim di dalam aksara sebu | 43 % |
ganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam | yang | tidak lagi relevan. Oleh: Abd Moqsith Ghazali Banyak p | 2 % |
sejumlah ulama Indonesia untuk mengubah pola bermadzhab dari | yang | qawliy ke manhaji mengandung pengertian bahwa metodologi kla | 4 % |
liy ke manhaji mengandung pengertian bahwa metodologi klasik | yang | telah dikerangkakan oleh para ulama dahulu memang sudah tunt | 4 % |
u memang sudah tuntas dan sempurna. Sehingga, kewajiban umat | yang | datang kemudian bukan untuk mengubahnya, tetapi mengikuti da | 4 % |
pi mengikuti dan melaksanakannya. Di sini, sebuah metodologi | yang | sejatinya lahir dari pabrik intelektualitas manusia yang nis | 5 % |
ogi yang sejatinya lahir dari pabrik intelektualitas manusia | yang | nisbi telah diposisikan sebagai sesuatu yang mutlak. Tak ter | 5 % |
ualitas manusia yang nisbi telah diposisikan sebagai sesuatu | yang | mutlak. Tak terbantah. Mereka telah melakukan idealisasi dan | 6 % |
kukan idealisasi dan universalisasi terhadap metodologi lama | yang | provisionaris. Mestinya, metodologi Islam klasik diletakk | 6 % |
ganulir ketentuan-ketentuan legal-formalistik di dalam Islam | yang | tidak lagi relevan. Ditegaskan bahwa ketika terjadi pertenta | 8 % |
alam ruang ushul fikih klasik, kecuali sebagai sasaran hukum | yang | tak berdaya (mukallaf) 3 Pemberhalaan teks dan pengabaian | 11 % |
vitas ijtihad selalu digerakkan di dalam areal teks. Ijtihad | yang | tidak berkulminasi pada teks adalah illegal, sebab teks meru | 12 % |
Tentu saja ini merupakan kelemahan metodologis tersendiri | yang | mesti mendapatkan penanganan. Dengan segala keterbatasan, tu | 13 % |
iranya bermaksud untuk mereformasi kaidah-kaidah ushul fikih | yang | problematis dari sudut ontologis-epistemologis tersebut. Den | 13 % |
an Islam akan lebih solutif bagi problem-problem kemanusiaan | yang | terus melilit. Karena, betapa pun canggihnya sebuah metodolo | 14 % |
bi al-maqashid la bi al-alfadz. Kaidah ini berarti bahwa | yang | mesti menjadi perhatian seorang mujtahid di dalam mengistinb | 17 % |
al-Sunnah bukan huruf dan aksaranya melainkan dari maqashid | yang | dikandungnya. Yang menjadi aksis adalah cita-cita etik-moral | 18 % |
ruf dan aksaranya melainkan dari maqashid yang dikandungnya. | yang | menjadi aksis adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat d | 18 % |
maqashid ini maka seseorang dituntut untuk memahami konteks. | yang | dimaksudkan bukan hanya konteks personal yang juz`iy-partiku | 19 % |
ahami konteks. Yang dimaksudkan bukan hanya konteks personal | yang | juz`iy-partikular melainkan juga konteks impersonal yang kul | 19 % |
nal yang juz`iy-partikular melainkan juga konteks impersonal | yang | kulli-universal. Pemahaman tentang konteks yang lebih dari s | 20 % |
s impersonal yang kulli-universal. Pemahaman tentang konteks | yang | lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam pengertian klas | 20 % |
mujtahid diharuskan untuk melengkapi diri dengan pengetahuan | yang | memadai menyangkut tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab seb | 21 % |
radisi dan kebiasaan masyarakat Arab sebagai masyarakat awal | yang | menjadi sasaran wahyu. Pengetahuan tentang konteks tentu buk | 22 % |
ntuk menimba dan memperoleh prinsip-prinsip dasar Islam atau | yang | dikenal dengan istilah maqashid al-syari’ah. Begitu maqashid | 23 % |
raan, hikmah-kebijaksanaan, dan cinta kasih. Maqashid inilah | yang | sejatinya menjadi sumber inspirasi tatkala al-Qur`an hendak | 26 % |
-Qur`an maupun al-hadits (apalagi di dalam tafsir dan fikih) | yang | tidak lagi menyuarakan maqashid al-syari’ah, maka ia batal a | 28 % |
t dibatalkan demi logika maqashid al-syari’ah itu. Kaidah | yang | diajukan di atas merupakan antipoda dari kaidah lama yang be | 29 % |
ah yang diajukan di atas merupakan antipoda dari kaidah lama | yang | berbunyi al-’ibrah bi khushûsh al-sabab lâ bi ‘umûm al-lafad | 29 % |
al-’ibrah bi khushûsh al-sabab lâ bi ‘umûm al-lafadz. Bahwa | yang | harus menjadi pertimbangan adalah keumuman lafadz, bukan khu | 29 % |
n khususnya sebab. Maka, jika suatu nash menggunakan redaksi | yang | bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan | 30 % |
ut, sekalipun nash itu hadir untuk merespons suatu peristiwa | yang | khusus. “Pasrah pada keumuman lafdz ( al-taslim bi ‘umum al- | 31 % |
ah al-lughawiyah)”, tandas Nahr Hamid Abu Zaid dalam bukunya | yang | berjudul al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah. Terdapat sekia | 32 % |
ka semakin dekat ia pada kebenaran. Sebaliknya, semakin jauh | yang | bersangkutan dari makna literal al-Qur`an, maka ia semakin t | 34 % |
Qur`an, maka jauh ia dari ketakwaan. Kedua, dalam kaidah | yang | terakhir itu, realitas hendak disubordinasikan ke dalam buny | 36 % |
alitas hendak disubordinasikan ke dalam bunyi harafiah teks. | yang | dituju adalah kebenaran teks dengan konsekuensi mengabaikan | 36 % |
dengan konsekuensi mengabaikan konteks (al-siyaq al-tarikhi) | yang | mengitari. Konteks didudukkan dalam posisi yang rendah dan s | 37 % |
al-tarikhi) yang mengitari. Konteks didudukkan dalam posisi | yang | rendah dan sekunder. Ini menjadi maklum, oleh karena para pe | 37 % |
ketika ushul fikih lama berbicara tentang lafdz dalam porsi | yang | demikian besar. Segala jenis perbincangan kebahasaan (abhats | 39 % |
alafdz), semantara kata (lafdz) adalah shanam yu’bad (patung | yang | disembah). Segera tampak bahwa analisis yang berhenti han | 41 % |
’bad (patung yang disembah). Segera tampak bahwa analisis | yang | berhenti hanya pada konteks linguistik saja tidak akan cukup | 41 % |
memadai untuk mengejar kebenaran hakiki (maqashid asasiyah) | yang | diusung oleh teks. Analisis mestinya dilanjutkan pada penyin | 42 % |
teks. Analisis mestinya dilanjutkan pada penyingkapan makna | yang | terdiamkan (al-maskut ‘anhu), yaitu makna yang tak tercakup | 42 % |
ngkapan makna yang terdiamkan (al-maskut ‘anhu), yaitu makna | yang | tak tercakup secara verbatim di dalam aksara sebuah teks. Pe | 43 % |
adap makna-makna itu akan meniscayakan adanya sebuah analisa | yang | bukan hanya terhadap struktur kalimat per se melainkan yang | 43 % |
yang bukan hanya terhadap struktur kalimat per se melainkan | yang | justeru fondasional adalah analisa kelas dan struktur sosial | 44 % |
dasional adalah analisa kelas dan struktur sosial dan budaya | yang | melingkupi sejarah kehadiran teks. Maka, kejarlah maqashid a | 44 % |
buah teks. Sebab, keterpesonaan merupakan tindakan ideologis | yang | hanya akan menumpulkan kreativitas dalam pencarian makna oby | 45 % |
ka terjadi pertentangan antara teks (nash) dan maslahat mana | yang | mesti dimenangkan? Dalam menjawab pertanyaan ini, umumnya ul | 47 % |
nyaan ini, umumnya ulama ushul fikih klasik mengatakan bahwa | yang | dimenangkan adalah nash. Bahkan, al-Thufi menyatakan bahwa t | 47 % |
n terjadi pertentangan antara nash dan mashlahah, karena apa | yang | diujarkan oleh nash adalah kemaslahatan itu sendiri. Sering | 48 % |
maslahatan itu sendiri. Sering disinyalir bahwa kemaslahatan | yang | diandaikan oleh manusia adalah kemaslahatan semu dan relatif | 48 % |
adalah kemaslahatan semu dan relatif, sementara kemaslahatan | yang | ditetapkan Tuhan melalui bunyi harafiah nash adalah kemaslah | 49 % |
itas untuk menganulir kententuan-ketentuan teks suci. Inilah | yang | dimaksud dengan ungkapan “naskh al-nushush bi al-mashlahah”. | 51 % |
ik dari keberadaan teks dengan menganulir beberapa teks suci | yang | sudah aus. Dengan cara ini, maka cita kemaslahatan akan sena | 52 % |
pembatalan demi pembatalan terhadap sejumlah syari’at Islam, | yang | dikenal dengan istilah nasikh-mansukh. Semua pelajar Islam m | 54 % |
lam mesti tahu cerita tentang penganuliran beberapa syari’at | yang | dipandang tidak lagi bersendikan kemaslahatan. Dijelaskan ba | 55 % |
tubuh syari’at Nabi Muhammad sendiri. Betapa syari’at Islam | yang | baru diundangkan, kerap dalam 3 sampai 5 tahun dianulir kemb | 56 % |
tidak bermaslahat lagi. Tidaklah mustahil bahwa sesuatu | yang | bernilai maslahat dalam suatu tempat dan waktu tertentu, kem | 57 % |
emudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan waktu | yang | lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karena perubahan konte | 58 % |
idak lagi menyuarakan kemaslahatan. Ibnu Rusyd dalam bukunya | yang | bertitelkan Fashl al-Maqal fiy Taqrir Ma Bayna al-Syari’at w | 59 % |
ahatan) itu merupakan saudara kandung dari syari’at-syari’at | yang | telah ditetapkan Allah Swt. Teks suci tanpa kemaslahatan | 60 % |
. Dengan ini, maka kemaslahatan itu merupakan ajaran agama | yang | tsawabit (tidak berubah, pokok, dan universal), sementara wu | 64 % |
ud pelaksanaan cita kemaslahatan itu merupakan perkara agama | yang | mutaghayyir (berubah-berubah mengikuti perubahan alur sejara | 65 % |
erubah mengikuti perubahan alur sejarah dan peradaban).Maka, | yang | perlu mendapatkan proviso penegasan di sini adalah bahwa nas | 66 % |
h bahwa nasakh tidak dapat dilakukan terhadap teks al-Qur`an | yang | mengandung prinsip-prinsip ajaran yang universal, ajaran man | 66 % |
rhadap teks al-Qur`an yang mengandung prinsip-prinsip ajaran | yang | universal, ajaran mana telah melintasi ruang dan waktu, meng | 66 % |
bisa dihitung dengan jari tangan. Masuk dalam kategori ayat | yang | tidak bisa dinasakh ini, seperti ayat “wa idza hakamtum bayn | 68 % |
wa aqrabu li al-taqwa”, dan sebagainya. Nasakh terhadap ayat | yang | demikian bukan saja berpunggungan dengan semangat kehadiran | 69 % |
asakh sendiri. Sementara ayat-ayat mu’amalah dalam al-Qur`an | yang | bersifat tehnis-operasional--saya suka menyebutnya dengan al | 70 % |
tau al-ayat al-furu’iyyat atau fikih al-Qur`an, seperti ayat | yang | berbicara tentang bentuk-bentuk hukuman (‘uqubat), sanksi ba | 71 % |
lalu hadir untuk terus-menerus memperbaharui teks-teks agama | yang | tidak lagi merepresentasikan prinsip-prinsip dasar Islam. | 73 % |
nyulih dan mengamandemen sejumlah ketentuan “dogmatik” agama | yang | menyangkut perkara-perkara publik, baik dalam al-Qur`an maup | 74 % |
ng, alih-alih bisa menyelesaikan masalah-masalah kemanusian, | yang | terjadi justeru merupakan bagian dari masalah yang harus dip | 77 % |
manusian, yang terjadi justeru merupakan bagian dari masalah | yang | harus dipecahkan melalui prosedur tanqih yang berupa taqyid | 78 % |
n dari masalah yang harus dipecahkan melalui prosedur tanqih | yang | berupa taqyid bi al-’aql, takhshish bi al-’aql, dan tabyin b | 78 % |
ya merupakan respons al-Qur`an terhadap kasus-kasus tertentu | yang | berlangsung dalam lokus tertentu pula, masyarakat Arab. Deng | 79 % |
harfiahnya hanya akan mengantarkan al-Qur`an pada perangkap | yang | mematikan spirit dan elan vital al-Qur`an. Kerja tanqih | 82 % |
a tanqih ini hakekatnya inheren di dalam diri setiap manusia | yang | berakal budi. Dalam jiwa manusia terdapat impuls abadi yang | 82 % |
yang berakal budi. Dalam jiwa manusia terdapat impuls abadi | yang | tak pernah padam untuk bertanqih. Terdapat dorongan adekuat | 83 % |
ik tidak boleh ada satu pihak atau golongan dalam masyarakat | yang | berhak memaksa pandangannya pada orang lain, karena pandanga | 85 % |
a dinilai lebih benar. Mereka memiliki kedudukan dan derajat | yang | sama. Pandangan di atas sangat berbeda dengan pandangan | 86 % |
gan di atas sangat berbeda dengan pandangan mainstream, baik | yang | klasik maupun yang kontemporer yang terus menerus mendevalua | 86 % |
berbeda dengan pandangan mainstream, baik yang klasik maupun | yang | kontemporer yang terus menerus mendevaluasi akal di bawah ke | 86 % |
ndangan mainstream, baik yang klasik maupun yang kontemporer | yang | terus menerus mendevaluasi akal di bawah kedigdayaan teks. B | 86 % |
uk melakukan rasionalisasi terhadap barang-barang irrasional | yang | ada dalam al-Qur`an dan al-Sunnah. Akal hanya berguna untuk | 88 % |
an Mu’tazilah, akal hanya berfungsi untuk menakwil ayat-ayat | yang | mutasyabih. Akal tidak cukup percaya diri untuk melakukan pe | 89 % |
peninjauan ulang apalagi mempertanyakan ayat-ayat partikular | yang | tergolong qath’iyat dari sudut struktur gramatika bahasanya. | 90 % |
bunuh-membunuh, dan sebagainya. Ini, tentu saja sebuah sikap | yang | tidak apresiatif bahkan merendahkan akal sebagai karya agung | 93 % |
agar manusia sanggup memilah dan memilih mana-mana tindakan | yang | baik dan mana-mana pula perbuatan yang buruk. Menurut sa | 94 % |
ih mana-mana tindakan yang baik dan mana-mana pula perbuatan | yang | buruk. Menurut saya, sekali lagi, akal publik harus dibe | 94 % |
Menurut saya, sekali lagi, akal publik harus diberi posisi | yang | penting. Akal publik tidak cukup hanya tampil sebagai pengel | 94 % |
ai pengelola data-teks. Menyangkut perkara-perkara mu’amalah | yang | mundan, akal publik perlu mendapatkan wewenang untuk mengeva | 95 % |
blik mempunyai tanggungjawab moral untuk mentanqih ayat-ayat | yang | problematik. Akhirnya, jangan lupa bahwa itu hanya sebagi | 98 % |
lupa bahwa itu hanya sebagian kaidah ushul fikih alternatif | yang | bisa disodorkan untuk membenahi kelemahan-kelemahan metodolo | 98 % |
kan untuk membenahi kelemahan-kelemahan metodologi istinbath | yang | telah lama dirisaukan. Tentu saja ada sekian banyak lagi kai | 99 % |
saukan. Tentu saja ada sekian banyak lagi kaidah ushul fikih | yang | perlu direformasi dengan menyertakan banyak orang yang berko | 99 % |
fikih yang perlu direformasi dengan menyertakan banyak orang | yang | berkompeten. Dengan cara ini, niscaya kita bisa menghindari kebekuan dan kemandulan metodologi-ushul fikih. | 99 % |
ata (‘ubbad al-alafdz), semantara kata (lafdz) adalah shanam | yu’bad | (patung yang disembah). Segera tampak bahwa analisis yang | 41 % |
(fiy ithar al-dalalah al-lughawiyah)”, tandas Nahr Hamid Abu | zaid | dalam bukunya yang berjudul al-Nash, al-Sulthah, al-Haqiqah. | 32 % |
gan kebenaran huruf (shalahiyyah al-nansh dalaliyan li kulli | zaman | wa makan). Sehingga kita tidak perlu kaget ketika ushul fiki | 38 % |
The End
Word Frequency Program
The End