click here for the word frequency
Menilik Model Ijma’ Kontemporer
Pada periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum.
Oleh: Taufik Adnan Amal
Konsensus atau
ijma’ selama berabad-abad telah menjadi validasi terpenting berbagai keputusan
di dalam Islam, khususnya di kalangan Sunni. Nabi Muhammad dikabarkan pernah
bersabda: Umatku tidak akan bersepakat dalam kekeliruan. Berpijak pada hadits
inilah otoritas ijma’ yang mengikat itu disandarkan. Bahkan, di kalangan Sunni,
otoritas final untuk penafsiran keagamaan diletakkan pada konsensus (ijma’) atau
putusan kolektif masyarakat muslim. Implikasinya, konsensus memainkan peran
penting dalam perkembangan Islam dan memberi andil yang signifikan terhadap
penafsirannya.
Tetapi, dalam konsep tradisional, hanya ‘ulama’ yang memiliki peran dalam
mencapai konsensus. Masyarakat pada umumnya tidak begitu diperhitungkan. Dengan
demikian, ijma’ lebih bersifat elitis. Selain itu, masih dalam konsepsi klasik,
ijma’ berorientasi ke belakang: dalam kesepakatan ulama di masa-masa silam.
Bahkan, di kalangan mazhab Islam tertentu, ijma’ dibatasi pada konsensus para
sahabat Nabi. Ijma’ apapun yang datang setelah itu tidak memiliki nilai mengikat,
terlebih lagi jika ia merativikasi doktrin yang bertentangan dengan tradisi
salaf.
Gagasan ijma’ yang agak luas dikemukakan al-Syafi’i dan belakangan oleh al-Ghazali.
Bagi keduanya, ijma’ adalah kesepakatan kaum Muslimin secara menyeluruh. Gagasan
ini jelas bersifat utopis, karena tidak ada kesepakatan umat Islam yang bulat
atau menyeluruh sepanjang sejarah Islam. Yang ada hanyalah kesepakatan mayoritas,
bahkan di tingkat lokal.
Pada periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma’ dengan
berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal,
misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan
ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam
bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis perwakilan rakyat.
Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja
beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak
memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki
wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Tetapi, untuk menghindari kemungkinan
terjadinya salah tafsir terhadap sumber-sumber Islam, Iqbal menyetujui masuknya
ulama ke dalam majelis untuk membantu dan memimpin perbincangan-perbincangan
bebas tentang masalah yang bertalian dengan Islam.
Melanjutkan alur pemikiran Iqbal, sarjana pemikir neo-modernis asal pakistan,
Fazlur Rahman mengungkapkan kemungkinan baru ijma’ dalam masyarakat kontemporer.
Baginya, ijtihad yang dihasilkan individu atau kelompok kerja akan mengkristal
ke dalam ijma’ setelah melalui interaksi ide yang ketat. Dengan demikian, ijma’
– yang merupakan konsensus mayoritas masyarakat – lebih bersifat dinamis,
berorientasi ke depan, dan tidak monolitik. Golongan minoritas yang merasa
ijtihad-nya lebih mendekati kebenaran, terbuka sepenuhnya untuk meyakinkan
masyarakat akan kebenaran gagasannya. Apabila masyarakat telah menerima gagasan
minoritas secara mayoritas, opini itu membentuk ijma’ baru dan menggantikan ijma’
lama. Aktivitas untuk menggalang konsensus masyarakat ini, menurut Rahman,
dirujuk al-Quran dengan terma syura.
Pada level negara, ijma’ masyarakat akan ditempa atau dirumuskan ke dalam bentuk
hukum dan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang disebut Rahman
sebagai lembaga syura-ijma’. Dalam pandangan Rahman, majelis ini dipilih oleh
rakyat tanpa kualifikasi teknis apapun. Dalam masalah-masalah pelik, majelis
dapat meminta advis kepada para ahli. Undang-undang atau hukun yang ditetapkan
majelis bisa saja benar atau keliru. Tetapi, sepanjang hukum tersebut
mencerminkan kehendak masyarakat, ia tetap bersifat islami dan demokratis karena
merepresentasikan ijma’ masyarakat. Selain itu, ada kemungkinan untuk mengubah
konsensus tersebut, karena secara potensial selalu terdapat kemungkinan bagi
pandangan minoritas untuk menjadi mayoritas melalui proses perdebatan.
Rahman bahkan mengelaborasi konsepnya tentang lembaga syura-ijma’ ini ke dalam
suatu majelis internasional yang beranggotakan majelis legislatif negeri-negeri
Muslim. Tugasnya adalah memberi advis yang selanjutnya akan dirumuskan ke dalam
undang-undang oleh majelis nasional negeri-negeri Muslim berdasarkan sinaran
perbedaan regional dan situasi sosial masing-masing negeri.
Survei singkat di atas memperlihatkan bahwa ijma’ bisa memberikan pijakan yang
efektif untuk menerima kekuasaan mayoritas (majority rule). Sejalan dengan ini,
Louay M. Safi juga mengemukakan bahwa legitimasi negara tergantung pada sampai
sejauh mana organisasi dan kekuasaan negara merefleksikan kehendak masyarakat,
karena – seperti ditegaskan para yuris klasik – legitimasi institusi negara
tidak terambil dari sumber-sumber tekstual, tetapi didasarkan terutama pada
prinsip ijma’. Dengan kata lain, ijma’ bisa memberi kemungkinan legitimasi
demokrasi bagi kaum Muslimin dan menawarkan format institusi dan prosedur untuk
menjalankannya.
Mekanisme ijma’ yang telah diuraikan juga memberikan kemungkinan deliberasi dan
perdebatan publik, sehingga berbagai sudut pandang yang berkembang dan
dikembangkan secara individual ataupun kolektif mendapat kesempatan untuk
didengar sebelum masyarakat akhirnya secara konsensus atau mayoritas memilih
yang dianggap laik. Ketika putusan mayoritas tercapai, seluruh anggota
masyarakat – baik Muslim ataupun non Muslim – harus berupaya mengejawantahkannya
ke dalam praktik. Penggagas, pengikut atau yang menyetujui pandangan minoritas
juga harus menerima keputusan mayoritas dan berupaya mengimplementasikannya
sebagai suatu konsensus.
Mekanisme ijma’ semacam ini menggagaskan keterlibatan seluruh anggota masyarakat,
termasuk bukan muslim, dalam proses pengambilan keputusan. Tidak ada yang aneh
dalam hal ini. Hasan al-Banna, dalam risalah Nahwa an-Nur (1936), mensinyalir
ada orang menganggap bahwa dengan menjadikan Islam sebagai landasan kehidupan,
maka hal ini berarti minoritas nonmuslim tidak dapat hidup di lingkungan umat
Islam dan persatuan di antara berbagai unsur masyarakat tidak mungkin tercapai.
Menurut al-Banna, anggapan semacam itu berseberangan dengan prinsip persamaan
dan pengakuan Islam terhadap minoritas nonmuslim. Agama Islam, menurutnya,
mengkuduskan kesatuan kemanusiaan umum (al-wahdah al-insaniyyah al-’ammah),
kesatuan keagamaan umum (al-wahdah al-diniyyah al-’ammah), dan kesatuan
keagamaan khusus umat Islam (al-wahdah al-diniyyah al-khassah). Implementasi
prinsip-prinsip ini, menurut al-Banna, tidak akan menimbulkan perpecahan,
malahan menjadikan persatuan berdimensi sakral dan religius.
Senada dengan itu, Fazlur Rahman menekankan sikap anti-eksklusivisme Islam
sehubungan dengan komunitas-komunitas keagamaan lainnya, berdasarkan sejumlah
ayat al-Quran (2:62 dan 5:69), yang – menurut tafsiran Rahman – mengungkapkan
siapa pun yang percaya kepada monoteisme dan hari akhirat, serta melakukan
perbuatan baik akan selamat. Dalam negara modern, seluruh warga negara harus
dipandang setara satu sama lain, tanpa diskriminasi antara sesama warga, baik
Muslim atau bukan Muslim.
Pandangan-pandangan kesarjanaan Muslim yang dikemukakan di atas dengan jelas
menyepakati kesetaraan warga negara – baik Muslim atau nonmuslim – serta
persamaan hak dan kewajibannya, termasuk dalam proses pencapaian konsensus.
Karena itu, ketika suatu ijma’ mengkristal atau berhasil dicapai dalam komunitas
tersebut, berdasarkan prinsip mayoritas, ia mengikat seluruh anggotanya tanpa
kecuali.
Sebagaimana disinggung di atas, konsensus atau ijma’ masyarakat inilah yang
kemudian diundangkan oleh lembaga perwakilan rakyat di tingkat lokal atau
nasional. Majelis semacam ini –yang dibentuk misalnya lewat pemilihan umum–
tentunya merupakan representasi masyarakat yang menerjemahkan kepentingan
masyarakat ke dalam kebijakan-kebijakan yang koheren dan konsisten (preference
representation). Tetapi, sebagai himpunan orang terpilih, majelis ini juga bisa
mempengaruhi preferensi publik (preference formation), jika suatu masalah
dinilai laik untuk dirumuskan ke dalam kebijakan. Untuk pembentukan preferensi
ini, deliberasi, advokasi, pengajuan rancangan undang-undang, serta cara-cara
lainnya yang melibatkan masyarakat, penting dilakukan majelis. Aktivitas semacam
inilah yang dimaknai Rahman dengan istilah syura.
Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk membentuk konsensus masyarakat atau
untuk menakar kesepakatan masyarakat mengenai suatu hal adalah melalui
referendum. Ijma’, berdasarkan alur logika yang telah dikemukakan, jelas bisa
mengambil bentuk referendum. Partisipasi masyarakat yang luas dalam penentuan
suatu kebijakan sangat bisa diharapkan dalam implementasi ijma’-referendum ini
Pada level regional atau internasional, konvensi-konvensi yang telah
dirativikasi suatu negara muslim juga merupakan bentuk lain dari perluasan
konsep ijma’. Dengan merativikasi konvensi semacam itu, negara muslim tersebut
terikat kesepakatan atau ber-ijma’ untuk melaksanakannya.
**Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Makassar
pre- text |
WORD |
post- text |
% |
lah melalui interaksi ide yang ketat. Dengan demikian, ijma’ | – | yang merupakan konsensus mayoritas masyarakat – lebih bersif | 35 % |
ikian, ijma’ – yang merupakan konsensus mayoritas masyarakat | – | lebih bersifat dinamis, berorientasi ke depan, dan tidak mon | 35 % |
n kekuasaan negara merefleksikan kehendak masyarakat, karena | – | seperti ditegaskan para yuris klasik – legitimasi institusi | 55 % |
ak masyarakat, karena – seperti ditegaskan para yuris klasik | – | legitimasi institusi negara tidak terambil dari sumber-sumbe | 55 % |
etika putusan mayoritas tercapai, seluruh anggota masyarakat | – | baik Muslim ataupun non Muslim – harus berupaya mengejawanta | 62 % |
seluruh anggota masyarakat – baik Muslim ataupun non Muslim | – | harus berupaya mengejawantahkannya ke dalam praktik. Penggag | 63 % |
ya, berdasarkan sejumlah ayat al-Quran (2:62 dan 5:69), yang | – | menurut tafsiran Rahman – mengungkapkan siapa pun yang perca | 77 % |
yat al-Quran (2:62 dan 5:69), yang – menurut tafsiran Rahman | – | mengungkapkan siapa pun yang percaya kepada monoteisme dan h | 77 % |
kan di atas dengan jelas menyepakati kesetaraan warga negara | – | baik Muslim atau nonmuslim – serta persamaan hak dan kewajib | 81 % |
epakati kesetaraan warga negara – baik Muslim atau nonmuslim | – | serta persamaan hak dan kewajibannya, termasuk dalam proses | 82 % |
p penafsirannya. Tetapi, dalam konsep tradisional, hanya | ‘ulama’ | yang memiliki peran dalam mencapai konsensus. Masyarakat pad | 14 % |
ng mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk | “institusi | legislatif permanen” atau majelis perwakilan rakyat. Dengan | 4 % |
ng mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk | “institusi | legislatif permanen” atau majelis perwakilan rakyat. Den | 26 % |
menyeluruh. Gagasan ini jelas bersifat utopis, karena tidak | ada | kesepakatan umat Islam yang bulat atau menyeluruh sepanjang | 21 % |
lam yang bulat atau menyeluruh sepanjang sejarah Islam. Yang | ada | hanyalah kesepakatan mayoritas, bahkan di tingkat lokal. | 22 % |
ratis karena merepresentasikan ijma’ masyarakat. Selain itu, | ada | kemungkinan untuk mengubah konsensus tersebut, karena secara | 46 % |
asuk bukan muslim, dalam proses pengambilan keputusan. Tidak | ada | yang aneh dalam hal ini. Hasan al-Banna, dalam risalah Nahwa | 66 % |
san al-Banna, dalam risalah Nahwa an-Nur (1936), mensinyalir | ada | orang menganggap bahwa dengan menjadikan Islam sebagai landa | 67 % |
Syafi’i dan belakangan oleh al-Ghazali. Bagi keduanya, ijma’ | adalah | kesepakatan kaum Muslimin secara menyeluruh. Gagasan ini jel | 20 % |
anggotakan majelis legislatif negeri-negeri Muslim. Tugasnya | adalah | memberi advis yang selanjutnya akan dirumuskan ke dalam unda | 50 % |
atau untuk menakar kesepakatan masyarakat mengenai suatu hal | adalah | melalui referendum. Ijma’, berdasarkan alur logika yang tela | 94 % |
liki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Oleh: Taufik | adnan | Amal Konsensus atau ijma’ selama berabad-abad telah menja | 7 % |
s apapun. Dalam masalah-masalah pelik, majelis dapat meminta | advis | kepada para ahli. Undang-undang atau hukun yang ditetapkan m | 43 % |
lis legislatif negeri-negeri Muslim. Tugasnya adalah memberi | advis | yang selanjutnya akan dirumuskan ke dalam undang-undang oleh | 50 % |
ang bertentangan dengan tradisi salaf. Gagasan ijma’ yang | agak | luas dikemukakan al-Syafi’i dan belakangan oleh al-Ghazali. | 19 % |
persamaan dan pengakuan Islam terhadap minoritas nonmuslim. | agama | Islam, menurutnya, mengkuduskan kesatuan kemanusiaan umum (a | 71 % |
unni. Nabi Muhammad dikabarkan pernah bersabda: Umatku tidak | akan | bersepakat dalam kekeliruan. Berpijak pada hadits inilah oto | 9 % |
aginya, ijtihad yang dihasilkan individu atau kelompok kerja | akan | mengkristal ke dalam ijma’ setelah melalui interaksi ide yan | 34 % |
ti kebenaran, terbuka sepenuhnya untuk meyakinkan masyarakat | akan | kebenaran gagasannya. Apabila masyarakat telah menerima gaga | 37 % |
n dengan terma syura. Pada level negara, ijma’ masyarakat | akan | ditempa atau dirumuskan ke dalam bentuk hukum dan perundang- | 40 % |
egeri Muslim. Tugasnya adalah memberi advis yang selanjutnya | akan | dirumuskan ke dalam undang-undang oleh majelis nasional nege | 50 % |
). Implementasi prinsip-prinsip ini, menurut al-Banna, tidak | akan | menimbulkan perpecahan, malahan menjadikan persatuan berdime | 74 % |
monoteisme dan hari akhirat, serta melakukan perbuatan baik | akan | selamat. Dalam negara modern, seluruh warga negara harus dip | 78 % |
lektif mendapat kesempatan untuk didengar sebelum masyarakat | akhirnya | secara konsensus atau mayoritas memilih yang dianggap laik. | 61 % |
opini itu membentuk ijma’ baru dan menggantikan ijma’ lama. | aktivitas | untuk menggalang konsensus masyarakat ini, menurut Rahman, d | 39 % |
innya yang melibatkan masyarakat, penting dilakukan majelis. | aktivitas | semacam inilah yang dimaknai Rahman dengan istilah syura. | 92 % |
ma’ untuk melaksanakannya. Dosen Fakultas Syari’ah IAIN | alauddin | Makassar | 100 % |
al-insaniyyah al-’ammah), kesatuan keagamaan umum (al-wahdah | al-diniyyah | al-’ammah), dan kesatuan keagamaan khusus umat Islam (al-wah | 72 % |
’ammah), dan kesatuan keagamaan khusus umat Islam (al-wahdah | al-diniyyah | al-khassah). Implementasi prinsip-prinsip ini, menurut al-Ba | 73 % |
enurutnya, mengkuduskan kesatuan kemanusiaan umum (al-wahdah | al-insaniyyah | al-’ammah), kesatuan keagamaan umum (al-wahdah al-diniyyah a | 72 % |
menggalang konsensus masyarakat ini, menurut Rahman, dirujuk | al-quran | dengan terma syura. Pada level negara, ijma’ masyarakat a | 40 % |
nitas-komunitas keagamaan lainnya, berdasarkan sejumlah ayat | al-quran | (2:62 dan 5:69), yang – menurut tafsiran Rahman – mengungkap | 77 % |
n tradisi salaf. Gagasan ijma’ yang agak luas dikemukakan | al-syafi’i | dan belakangan oleh al-Ghazali. Bagi keduanya, ijma’ adalah | 19 % |
tentang masalah yang bertalian dengan Islam. Melanjutkan | alur | pemikiran Iqbal, sarjana pemikir neo-modernis asal pakistan, | 32 % |
enai suatu hal adalah melalui referendum. Ijma’, berdasarkan | alur | logika yang telah dikemukakan, jelas bisa mengambil bentuk r | 94 % |
awasan yang tajam dalam masalah hukum. Oleh: Taufik Adnan | amal | Konsensus atau ijma’ selama berabad-abad telah menjadi valid | 7 % |
memainkan peran penting dalam perkembangan Islam dan memberi | andil | yang signifikan terhadap penafsirannya. Tetapi, dalam ko | 13 % |
n muslim, dalam proses pengambilan keputusan. Tidak ada yang | aneh | dalam hal ini. Hasan al-Banna, dalam risalah Nahwa an-Nur (1 | 66 % |
i unsur masyarakat tidak mungkin tercapai. Menurut al-Banna, | anggapan | semacam itu berseberangan dengan prinsip persamaan dan penga | 70 % |
ng dianggap laik. Ketika putusan mayoritas tercapai, seluruh | anggota | masyarakat – baik Muslim ataupun non Muslim – harus berupaya | 62 % |
ekanisme ijma’ semacam ini menggagaskan keterlibatan seluruh | anggota | masyarakat, termasuk bukan muslim, dalam proses pengambilan | 66 % |
tersebut, berdasarkan prinsip mayoritas, ia mengikat seluruh | anggotanya | tanpa kecuali. Sebagaimana disinggung di atas, konsensus | 84 % |
yang aneh dalam hal ini. Hasan al-Banna, dalam risalah Nahwa | an-nur | (1936), mensinyalir ada orang menganggap bahwa dengan menjad | 67 % |
tidak dapat hidup di lingkungan umat Islam dan persatuan di | antara | berbagai unsur masyarakat tidak mungkin tercapai. Menurut al | 69 % |
ra harus dipandang setara satu sama lain, tanpa diskriminasi | antara | sesama warga, baik Muslim atau bukan Muslim. Pandangan-pa | 80 % |
igius. Senada dengan itu, Fazlur Rahman menekankan sikap | anti-eksklusivisme | Islam sehubungan dengan komunitas-komunitas keagamaan lainny | 76 % |
uhnya untuk meyakinkan masyarakat akan kebenaran gagasannya. | apabila | masyarakat telah menerima gagasan minoritas secara mayoritas | 38 % |
kan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi | apapun | untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang taj | 6 % |
entu, ijma’ dibatasi pada konsensus para sahabat Nabi. Ijma’ | apapun | yang datang setelah itu tidak memiliki nilai mengikat, terle | 17 % |
kan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi | apapun | untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang taj | 28 % |
lanjutkan alur pemikiran Iqbal, sarjana pemikir neo-modernis | asal | pakistan, Fazlur Rahman mengungkapkan kemungkinan baru ijma’ | 32 % |
an situasi sosial masing-masing negeri. Survei singkat di | atas | memperlihatkan bahwa ijma’ bisa memberikan pijakan yang efek | 52 % |
Pandangan-pandangan kesarjanaan Muslim yang dikemukakan di | atas | dengan jelas menyepakati kesetaraan warga negara – baik Musl | 81 % |
erorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” | atau | majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtihad kepada | 4 % |
lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam | atau | bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifik | 5 % |
dalam masalah hukum. Oleh: Taufik Adnan Amal Konsensus | atau | ijma’ selama berabad-abad telah menjadi validasi terpenting | 7 % |
untuk penafsiran keagamaan diletakkan pada konsensus (ijma’) | atau | putusan kolektif masyarakat muslim. Implikasinya, konsensus | 11 % |
t utopis, karena tidak ada kesepakatan umat Islam yang bulat | atau | menyeluruh sepanjang sejarah Islam. Yang ada hanyalah kesepa | 21 % |
erorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” | atau | majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtihad ke | 26 % |
lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam | atau | bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifik | 27 % |
rakat kontemporer. Baginya, ijtihad yang dihasilkan individu | atau | kelompok kerja akan mengkristal ke dalam ijma’ setelah melal | 34 % |
a syura. Pada level negara, ijma’ masyarakat akan ditempa | atau | dirumuskan ke dalam bentuk hukum dan perundang-undangan oleh | 40 % |
majelis dapat meminta advis kepada para ahli. Undang-undang | atau | hukun yang ditetapkan majelis bisa saja benar atau keliru. T | 44 % |
ng-undang atau hukun yang ditetapkan majelis bisa saja benar | atau | keliru. Tetapi, sepanjang hukum tersebut mencerminkan kehend | 44 % |
untuk didengar sebelum masyarakat akhirnya secara konsensus | atau | mayoritas memilih yang dianggap laik. Ketika putusan mayorit | 61 % |
ya mengejawantahkannya ke dalam praktik. Penggagas, pengikut | atau | yang menyetujui pandangan minoritas juga harus menerima kepu | 63 % |
ma lain, tanpa diskriminasi antara sesama warga, baik Muslim | atau | bukan Muslim. Pandangan-pandangan kesarjanaan Muslim yang | 80 % |
ngan jelas menyepakati kesetaraan warga negara – baik Muslim | atau | nonmuslim – serta persamaan hak dan kewajibannya, termasuk d | 81 % |
apaian konsensus. Karena itu, ketika suatu ijma’ mengkristal | atau | berhasil dicapai dalam komunitas tersebut, berdasarkan prins | 83 % |
tanpa kecuali. Sebagaimana disinggung di atas, konsensus | atau | ijma’ masyarakat inilah yang kemudian diundangkan oleh lemba | 85 % |
diundangkan oleh lembaga perwakilan rakyat di tingkat lokal | atau | nasional. Majelis semacam ini –yang dibentuk misalnya lewat | 86 % |
ara yang dapat ditempuh untuk membentuk konsensus masyarakat | atau | untuk menakar kesepakatan masyarakat mengenai suatu hal adal | 93 % |
lam implementasi ijma’-referendum ini Pada level regional | atau | internasional, konvensi-konvensi yang telah dirativikasi sua | 97 % |
ensi semacam itu, negara muslim tersebut terikat kesepakatan | atau | ber-ijma’ untuk melaksanakannya. Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Makassar | 99 % |
t pandang yang berkembang dan dikembangkan secara individual | ataupun | kolektif mendapat kesempatan untuk didengar sebelum masyarak | 60 % |
mayoritas tercapai, seluruh anggota masyarakat – baik Muslim | ataupun | non Muslim – harus berupaya mengejawantahkannya ke dalam pra | 62 % |
pada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim | awam | atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kua | 5 % |
pada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim | awam | atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kua | 27 % |
komunitas-komunitas keagamaan lainnya, berdasarkan sejumlah | ayat | al-Quran (2:62 dan 5:69), yang – menurut tafsiran Rahman – m | 77 % |
luas dikemukakan al-Syafi’i dan belakangan oleh al-Ghazali. | bagi | keduanya, ijma’ adalah kesepakatan kaum Muslimin secara meny | 20 % |
ersebut, karena secara potensial selalu terdapat kemungkinan | bagi | pandangan minoritas untuk menjadi mayoritas melalui proses p | 47 % |
ta lain, ijma’ bisa memberi kemungkinan legitimasi demokrasi | bagi | kaum Muslimin dan menawarkan format institusi dan prosedur u | 57 % |
ga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam atau | bahkan | nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apa | 5 % |
jang sejarah Islam. Yang ada hanyalah kesepakatan mayoritas, | bahkan | di tingkat lokal. Pada periode modern, pemikir-pemikir Mu | 22 % |
ga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam atau | bahkan | nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apa | 27 % |
ntuk menjadi mayoritas melalui proses perdebatan. Rahman | bahkan | mengelaborasi konsepnya tentang lembaga syura-ijma’ ini ke d | 48 % |
sing-masing negeri. Survei singkat di atas memperlihatkan | bahwa | ijma’ bisa memberikan pijakan yang efektif untuk menerima ke | 52 % |
y rule). Sejalan dengan ini, Louay M. Safi juga mengemukakan | bahwa | legitimasi negara tergantung pada sampai sejauh mana organis | 54 % |
isalah Nahwa an-Nur (1936), mensinyalir ada orang menganggap | bahwa | dengan menjadikan Islam sebagai landasan kehidupan, maka hal | 68 % |
ika putusan mayoritas tercapai, seluruh anggota masyarakat – | baik | Muslim ataupun non Muslim – harus berupaya mengejawantahkann | 62 % |
epada monoteisme dan hari akhirat, serta melakukan perbuatan | baik | akan selamat. Dalam negara modern, seluruh warga negara haru | 78 % |
tara satu sama lain, tanpa diskriminasi antara sesama warga, | baik | Muslim atau bukan Muslim. Pandangan-pandangan kesarjanaan | 80 % |
n di atas dengan jelas menyepakati kesetaraan warga negara – | baik | Muslim atau nonmuslim – serta persamaan hak dan kewajibannya | 81 % |
uslim mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan | baru | yang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya | 1 % |
uslim mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan | baru | yang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya | 23 % |
ernis asal pakistan, Fazlur Rahman mengungkapkan kemungkinan | baru | ijma’ dalam masyarakat kontemporer. Baginya, ijtihad yang di | 33 % |
agasan minoritas secara mayoritas, opini itu membentuk ijma’ | baru | dan menggantikan ijma’ lama. Aktivitas untuk menggalang kons | 38 % |
ajelis untuk membantu dan memimpin perbincangan-perbincangan | bebas | tentang masalah yang bertalian dengan Islam. Melanjutkan | 31 % |
eran dalam mencapai konsensus. Masyarakat pada umumnya tidak | begitu | diperhitungkan. Dengan demikian, ijma’ lebih bersifat elitis | 14 % |
lain itu, masih dalam konsepsi klasik, ijma’ berorientasi ke | belakang: | dalam kesepakatan ulama di masa-masa silam. Bahkan, di kalan | 16 % |
. Gagasan ijma’ yang agak luas dikemukakan al-Syafi’i dan | belakangan | oleh al-Ghazali. Bagi keduanya, ijma’ adalah kesepakatan kau | 19 % |
. Undang-undang atau hukun yang ditetapkan majelis bisa saja | benar | atau keliru. Tetapi, sepanjang hukum tersebut mencerminkan k | 44 % |
vidu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam | bentuk | “institusi legislatif permanen” atau majelis perwakilan raky | 4 % |
vidu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam | bentuk | “institusi legislatif permanen” atau majelis perwakilan raky | 26 % |
gara, ijma’ masyarakat akan ditempa atau dirumuskan ke dalam | bentuk | hukum dan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang d | 41 % |
kan alur logika yang telah dikemukakan, jelas bisa mengambil | bentuk | referendum. Partisipasi masyarakat yang luas dalam penentuan | 95 % |
i yang telah dirativikasi suatu negara muslim juga merupakan | bentuk | lain dari perluasan konsep ijma’. Dengan merativikasi konven | 98 % |
m. Oleh: Taufik Adnan Amal Konsensus atau ijma’ selama | berabad-abad | telah menjadi validasi terpenting berbagai keputusan di dala | 7 % |
entransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja | beranggotakan | Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak me | 5 % |
entransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja | beranggotakan | Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak me | 27 % |
ga syura-ijma’ ini ke dalam suatu majelis internasional yang | beranggotakan | majelis legislatif negeri-negeri Muslim. Tugasnya adalah mem | 49 % |
an menjadikan Islam sebagai landasan kehidupan, maka hal ini | berarti | minoritas nonmuslim tidak dapat hidup di lingkungan umat Isl | 68 % |
rn, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma’ dengan | berbagai | kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern. Muhamma | 1 % |
ijma’ selama berabad-abad telah menjadi validasi terpenting | berbagai | keputusan di dalam Islam, khususnya di kalangan Sunni. Nabi | 8 % |
rn, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma’ dengan | berbagai | kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern. Muhamma | 23 % |
rikan kemungkinan deliberasi dan perdebatan publik, sehingga | berbagai | sudut pandang yang berkembang dan dikembangkan secara indivi | 59 % |
dapat hidup di lingkungan umat Islam dan persatuan di antara | berbagai | unsur masyarakat tidak mungkin tercapai. Menurut al-Banna, a | 69 % |
lam undang-undang oleh majelis nasional negeri-negeri Muslim | berdasarkan | sinaran perbedaan regional dan situasi sosial masing-masing | 51 % |
lam sehubungan dengan komunitas-komunitas keagamaan lainnya, | berdasarkan | sejumlah ayat al-Quran (2:62 dan 5:69), yang – menurut tafsi | 76 % |
mengkristal atau berhasil dicapai dalam komunitas tersebut, | berdasarkan | prinsip mayoritas, ia mengikat seluruh anggotanya tanpa kecu | 83 % |
yarakat mengenai suatu hal adalah melalui referendum. Ijma’, | berdasarkan | alur logika yang telah dikemukakan, jelas bisa mengambil ben | 94 % |
ak akan menimbulkan perpecahan, malahan menjadikan persatuan | berdimensi | sakral dan religius. Senada dengan itu, Fazlur Rahman me | 75 % |
n konsensus. Karena itu, ketika suatu ijma’ mengkristal atau | berhasil | dicapai dalam komunitas tersebut, berdasarkan prinsip mayori | 83 % |
semacam itu, negara muslim tersebut terikat kesepakatan atau | ber-ijma’ | untuk melaksanakannya. Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Makassar | 99 % |
dan perdebatan publik, sehingga berbagai sudut pandang yang | berkembang | dan dikembangkan secara individual ataupun kolektif mendapat | 60 % |
sifat elitis. Selain itu, masih dalam konsepsi klasik, ijma’ | berorientasi | ke belakang: dalam kesepakatan ulama di masa-masa silam. Bah | 16 % |
kan konsensus mayoritas masyarakat – lebih bersifat dinamis, | berorientasi | ke depan, dan tidak monolitik. Golongan minoritas yang meras | 36 % |
nah bersabda: Umatku tidak akan bersepakat dalam kekeliruan. | berpijak | pada hadits inilah otoritas ijma’ yang mengikat itu disandar | 10 % |
khususnya di kalangan Sunni. Nabi Muhammad dikabarkan pernah | bersabda: | Umatku tidak akan bersepakat dalam kekeliruan. Berpijak pada | 9 % |
dak mungkin tercapai. Menurut al-Banna, anggapan semacam itu | berseberangan | dengan prinsip persamaan dan pengakuan Islam terhadap minori | 70 % |
Nabi Muhammad dikabarkan pernah bersabda: Umatku tidak akan | bersepakat | dalam kekeliruan. Berpijak pada hadits inilah otoritas ijma’ | 9 % |
ya tidak begitu diperhitungkan. Dengan demikian, ijma’ lebih | bersifat | elitis. Selain itu, masih dalam konsepsi klasik, ijma’ beror | 15 % |
sepakatan kaum Muslimin secara menyeluruh. Gagasan ini jelas | bersifat | utopis, karena tidak ada kesepakatan umat Islam yang bulat a | 21 % |
jma’ – yang merupakan konsensus mayoritas masyarakat – lebih | bersifat | dinamis, berorientasi ke depan, dan tidak monolitik. Golonga | 35 % |
ng hukum tersebut mencerminkan kehendak masyarakat, ia tetap | bersifat | islami dan demokratis karena merepresentasikan ijma’ masyara | 45 % |
emimpin perbincangan-perbincangan bebas tentang masalah yang | bertalian | dengan Islam. Melanjutkan alur pemikiran Iqbal, sarjana | 31 % |
ai mengikat, terlebih lagi jika ia merativikasi doktrin yang | bertentangan | dengan tradisi salaf. Gagasan ijma’ yang agak luas dikemu | 18 % |
anggota masyarakat – baik Muslim ataupun non Muslim – harus | berupaya | mengejawantahkannya ke dalam praktik. Penggagas, pengikut at | 63 % |
dangan minoritas juga harus menerima keputusan mayoritas dan | berupaya | mengimplementasikannya sebagai suatu konsensus. Mekanisme | 64 % |
. Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang | bisa | saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal | 5 % |
Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang | bisa | saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal | 27 % |
para ahli. Undang-undang atau hukun yang ditetapkan majelis | bisa | saja benar atau keliru. Tetapi, sepanjang hukum tersebut men | 44 % |
negeri. Survei singkat di atas memperlihatkan bahwa ijma’ | bisa | memberikan pijakan yang efektif untuk menerima kekuasaan may | 52 % |
asarkan terutama pada prinsip ijma’. Dengan kata lain, ijma’ | bisa | memberi kemungkinan legitimasi demokrasi bagi kaum Muslimin | 57 % |
). Tetapi, sebagai himpunan orang terpilih, majelis ini juga | bisa | mempengaruhi preferensi publik (preference formation), jika | 89 % |
Ijma’, berdasarkan alur logika yang telah dikemukakan, jelas | bisa | mengambil bentuk referendum. Partisipasi masyarakat yang lua | 95 % |
masyarakat yang luas dalam penentuan suatu kebijakan sangat | bisa | diharapkan dalam implementasi ijma’-referendum ini Pada l | 96 % |
nggagaskan keterlibatan seluruh anggota masyarakat, termasuk | bukan | muslim, dalam proses pengambilan keputusan. Tidak ada yang a | 66 % |
in, tanpa diskriminasi antara sesama warga, baik Muslim atau | bukan | Muslim. Pandangan-pandangan kesarjanaan Muslim yang dikem | 80 % |
ersifat utopis, karena tidak ada kesepakatan umat Islam yang | bulat | atau menyeluruh sepanjang sejarah Islam. Yang ada hanyalah k | 21 % |
lah yang dimaknai Rahman dengan istilah syura. Salah satu | cara | yang dapat ditempuh untuk membentuk konsensus masyarakat ata | 93 % |
liberasi, advokasi, pengajuan rancangan undang-undang, serta | cara-cara | lainnya yang melibatkan masyarakat, penting dilakukan majeli | 91 % |
i individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke | dalam | bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis perwakil | 3 % |
tuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam | dalam | masalah hukum. Oleh: Taufik Adnan Amal Konsensus atau | 7 % |
abad telah menjadi validasi terpenting berbagai keputusan di | dalam | Islam, khususnya di kalangan Sunni. Nabi Muhammad dikabarkan | 8 % |
mad dikabarkan pernah bersabda: Umatku tidak akan bersepakat | dalam | kekeliruan. Berpijak pada hadits inilah otoritas ijma’ yang | 9 % |
akat muslim. Implikasinya, konsensus memainkan peran penting | dalam | perkembangan Islam dan memberi andil yang signifikan terhada | 12 % |
ri andil yang signifikan terhadap penafsirannya. Tetapi, | dalam | konsep tradisional, hanya ‘ulama’ yang memiliki peran dalam | 13 % |
dalam konsep tradisional, hanya ‘ulama’ yang memiliki peran | dalam | mencapai konsensus. Masyarakat pada umumnya tidak begitu dip | 14 % |
gan demikian, ijma’ lebih bersifat elitis. Selain itu, masih | dalam | konsepsi klasik, ijma’ berorientasi ke belakang: dalam kesep | 15 % |
masih dalam konsepsi klasik, ijma’ berorientasi ke belakang: | dalam | kesepakatan ulama di masa-masa silam. Bahkan, di kalangan ma | 16 % |
i individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke | dalam | bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis perwakil | 26 % |
tuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam | dalam | masalah hukum. Tetapi, untuk menghindari kemungkinan terjadi | 29 % |
adap sumber-sumber Islam, Iqbal menyetujui masuknya ulama ke | dalam | majelis untuk membantu dan memimpin perbincangan-perbincanga | 30 % |
pakistan, Fazlur Rahman mengungkapkan kemungkinan baru ijma’ | dalam | masyarakat kontemporer. Baginya, ijtihad yang dihasilkan ind | 33 % |
dihasilkan individu atau kelompok kerja akan mengkristal ke | dalam | ijma’ setelah melalui interaksi ide yang ketat. Dengan demik | 34 % |
vel negara, ijma’ masyarakat akan ditempa atau dirumuskan ke | dalam | bentuk hukum dan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, | 41 % |
legislatif, yang disebut Rahman sebagai lembaga syura-ijma’. | dalam | pandangan Rahman, majelis ini dipilih oleh rakyat tanpa kual | 42 % |
lis ini dipilih oleh rakyat tanpa kualifikasi teknis apapun. | dalam | masalah-masalah pelik, majelis dapat meminta advis kepada pa | 43 % |
n mengelaborasi konsepnya tentang lembaga syura-ijma’ ini ke | dalam | suatu majelis internasional yang beranggotakan majelis legis | 49 % |
nya adalah memberi advis yang selanjutnya akan dirumuskan ke | dalam | undang-undang oleh majelis nasional negeri-negeri Muslim ber | 50 % |
m ataupun non Muslim – harus berupaya mengejawantahkannya ke | dalam | praktik. Penggagas, pengikut atau yang menyetujui pandangan | 63 % |
erlibatan seluruh anggota masyarakat, termasuk bukan muslim, | dalam | proses pengambilan keputusan. Tidak ada yang aneh dalam hal | 66 % |
lim, dalam proses pengambilan keputusan. Tidak ada yang aneh | dalam | hal ini. Hasan al-Banna, dalam risalah Nahwa an-Nur (1936), | 67 % |
eputusan. Tidak ada yang aneh dalam hal ini. Hasan al-Banna, | dalam | risalah Nahwa an-Nur (1936), mensinyalir ada orang mengangga | 67 % |
n hari akhirat, serta melakukan perbuatan baik akan selamat. | dalam | negara modern, seluruh warga negara harus dipandang setara s | 78 % |
u nonmuslim – serta persamaan hak dan kewajibannya, termasuk | dalam | proses pencapaian konsensus. Karena itu, ketika suatu ijma’ | 82 % |
na itu, ketika suatu ijma’ mengkristal atau berhasil dicapai | dalam | komunitas tersebut, berdasarkan prinsip mayoritas, ia mengik | 83 % |
tasi masyarakat yang menerjemahkan kepentingan masyarakat ke | dalam | kebijakan-kebijakan yang koheren dan konsisten (preference r | 87 % |
mation), jika suatu masalah dinilai laik untuk dirumuskan ke | dalam | kebijakan. Untuk pembentukan preferensi ini, deliberasi, adv | 90 % |
engambil bentuk referendum. Partisipasi masyarakat yang luas | dalam | penentuan suatu kebijakan sangat bisa diharapkan dalam imple | 96 % |
luas dalam penentuan suatu kebijakan sangat bisa diharapkan | dalam | implementasi ijma’-referendum ini Pada level regional ata | 96 % |
, konsensus memainkan peran penting dalam perkembangan Islam | dan | memberi andil yang signifikan terhadap penafsirannya. Te | 12 % |
alaf. Gagasan ijma’ yang agak luas dikemukakan al-Syafi’i | dan | belakangan oleh al-Ghazali. Bagi keduanya, ijma’ adalah kese | 19 % |
al menyetujui masuknya ulama ke dalam majelis untuk membantu | dan | memimpin perbincangan-perbincangan bebas tentang masalah yan | 31 % |
masyarakat – lebih bersifat dinamis, berorientasi ke depan, | dan | tidak monolitik. Golongan minoritas yang merasa ijtihad-nya | 36 % |
n minoritas secara mayoritas, opini itu membentuk ijma’ baru | dan | menggantikan ijma’ lama. Aktivitas untuk menggalang konsensu | 39 % |
asyarakat akan ditempa atau dirumuskan ke dalam bentuk hukum | dan | perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang disebut Rah | 41 % |
t mencerminkan kehendak masyarakat, ia tetap bersifat islami | dan | demokratis karena merepresentasikan ijma’ masyarakat. Selain | 45 % |
negeri-negeri Muslim berdasarkan sinaran perbedaan regional | dan | situasi sosial masing-masing negeri. Survei singkat di at | 51 % |
itimasi negara tergantung pada sampai sejauh mana organisasi | dan | kekuasaan negara merefleksikan kehendak masyarakat, karena – | 54 % |
memberi kemungkinan legitimasi demokrasi bagi kaum Muslimin | dan | menawarkan format institusi dan prosedur untuk menjalankanny | 58 % |
demokrasi bagi kaum Muslimin dan menawarkan format institusi | dan | prosedur untuk menjalankannya. Mekanisme ijma’ yang telah | 58 % |
yang telah diuraikan juga memberikan kemungkinan deliberasi | dan | perdebatan publik, sehingga berbagai sudut pandang yang berk | 59 % |
atan publik, sehingga berbagai sudut pandang yang berkembang | dan | dikembangkan secara individual ataupun kolektif mendapat kes | 60 % |
pandangan minoritas juga harus menerima keputusan mayoritas | dan | berupaya mengimplementasikannya sebagai suatu konsensus. | 64 % |
noritas nonmuslim tidak dapat hidup di lingkungan umat Islam | dan | persatuan di antara berbagai unsur masyarakat tidak mungkin | 69 % |
anggapan semacam itu berseberangan dengan prinsip persamaan | dan | pengakuan Islam terhadap minoritas nonmuslim. Agama Islam, m | 71 % |
, kesatuan keagamaan umum (al-wahdah al-diniyyah al-’ammah), | dan | kesatuan keagamaan khusus umat Islam (al-wahdah al-diniyyah | 73 % |
n perpecahan, malahan menjadikan persatuan berdimensi sakral | dan | religius. Senada dengan itu, Fazlur Rahman menekankan si | 75 % |
keagamaan lainnya, berdasarkan sejumlah ayat al-Quran (2:62 | dan | 5:69), yang – menurut tafsiran Rahman – mengungkapkan siapa | 77 % |
man – mengungkapkan siapa pun yang percaya kepada monoteisme | dan | hari akhirat, serta melakukan perbuatan baik akan selamat. D | 78 % |
ga negara – baik Muslim atau nonmuslim – serta persamaan hak | dan | kewajibannya, termasuk dalam proses pencapaian konsensus. Ka | 82 % |
ntingan masyarakat ke dalam kebijakan-kebijakan yang koheren | dan | konsisten (preference representation). Tetapi, sebagai himpu | 88 % |
lifikasi teknis apapun. Dalam masalah-masalah pelik, majelis | dapat | meminta advis kepada para ahli. Undang-undang atau hukun yan | 43 % |
an kehidupan, maka hal ini berarti minoritas nonmuslim tidak | dapat | hidup di lingkungan umat Islam dan persatuan di antara berba | 69 % |
imaknai Rahman dengan istilah syura. Salah satu cara yang | dapat | ditempuh untuk membentuk konsensus masyarakat atau untuk men | 93 % |
gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad | dari | individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke d | 3 % |
gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad | dari | individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke d | 25 % |
ra yuris klasik – legitimasi institusi negara tidak terambil | dari | sumber-sumber tekstual, tetapi didasarkan terutama pada prin | 56 % |
dirativikasi suatu negara muslim juga merupakan bentuk lain | dari | perluasan konsep ijma’. Dengan merativikasi konvensi semacam | 98 % |
dibatasi pada konsensus para sahabat Nabi. Ijma’ apapun yang | datang | setelah itu tidak memiliki nilai mengikat, terlebih lagi jik | 17 % |
nisme ijma’ yang telah diuraikan juga memberikan kemungkinan | deliberasi | dan perdebatan publik, sehingga berbagai sudut pandang yang | 59 % |
Dengan kata lain, ijma’ bisa memberi kemungkinan legitimasi | demokrasi | bagi kaum Muslimin dan menawarkan format institusi dan prose | 57 % |
ncerminkan kehendak masyarakat, ia tetap bersifat islami dan | demokratis | karena merepresentasikan ijma’ masyarakat. Selain itu, ada k | 45 % |
de modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma’ | dengan | berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern | 1 % |
n konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras | dengan | kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gaga | 2 % |
stitusi legislatif permanen” atau majelis perwakilan rakyat. | dengan | mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saj | 4 % |
sensus. Masyarakat pada umumnya tidak begitu diperhitungkan. | dengan | demikian, ijma’ lebih bersifat elitis. Selain itu, masih dal | 15 % |
terlebih lagi jika ia merativikasi doktrin yang bertentangan | dengan | tradisi salaf. Gagasan ijma’ yang agak luas dikemukakan a | 19 % |
de modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma’ | dengan | berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern | 23 % |
n konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras | dengan | kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gaga | 24 % |
stitusi legislatif permanen” atau majelis perwakilan rakyat. | dengan | mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saj | 26 % |
rbincangan-perbincangan bebas tentang masalah yang bertalian | dengan | Islam. Melanjutkan alur pemikiran Iqbal, sarjana pemikir | 31 % |
tal ke dalam ijma’ setelah melalui interaksi ide yang ketat. | dengan | demikian, ijma’ – yang merupakan konsensus mayoritas masyara | 35 % |
g konsensus masyarakat ini, menurut Rahman, dirujuk al-Quran | dengan | terma syura. Pada level negara, ijma’ masyarakat akan dit | 40 % |
untuk menerima kekuasaan mayoritas (majority rule). Sejalan | dengan | ini, Louay M. Safi juga mengemukakan bahwa legitimasi negara | 53 % |
ber tekstual, tetapi didasarkan terutama pada prinsip ijma’. | dengan | kata lain, ijma’ bisa memberi kemungkinan legitimasi demokra | 57 % |
Nahwa an-Nur (1936), mensinyalir ada orang menganggap bahwa | dengan | menjadikan Islam sebagai landasan kehidupan, maka hal ini be | 68 % |
rcapai. Menurut al-Banna, anggapan semacam itu berseberangan | dengan | prinsip persamaan dan pengakuan Islam terhadap minoritas non | 70 % |
jadikan persatuan berdimensi sakral dan religius. Senada | dengan | itu, Fazlur Rahman menekankan sikap anti-eksklusivisme Islam | 75 % |
Rahman menekankan sikap anti-eksklusivisme Islam sehubungan | dengan | komunitas-komunitas keagamaan lainnya, berdasarkan sejumlah | 76 % |
dangan-pandangan kesarjanaan Muslim yang dikemukakan di atas | dengan | jelas menyepakati kesetaraan warga negara – baik Muslim atau | 81 % |
kukan majelis. Aktivitas semacam inilah yang dimaknai Rahman | dengan | istilah syura. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk | 92 % |
slim juga merupakan bentuk lain dari perluasan konsep ijma’. | dengan | merativikasi konvensi semacam itu, negara muslim tersebut te | 98 % |
ad-abad telah menjadi validasi terpenting berbagai keputusan | di | dalam Islam, khususnya di kalangan Sunni. Nabi Muhammad dika | 8 % |
dasi terpenting berbagai keputusan di dalam Islam, khususnya | di | kalangan Sunni. Nabi Muhammad dikabarkan pernah bersabda: Um | 8 % |
inilah otoritas ijma’ yang mengikat itu disandarkan. Bahkan, | di | kalangan Sunni, otoritas final untuk penafsiran keagamaan di | 10 % |
sik, ijma’ berorientasi ke belakang: dalam kesepakatan ulama | di | masa-masa silam. Bahkan, di kalangan mazhab Islam tertentu, | 16 % |
elakang: dalam kesepakatan ulama di masa-masa silam. Bahkan, | di | kalangan mazhab Islam tertentu, ijma’ dibatasi pada konsensu | 16 % |
jarah Islam. Yang ada hanyalah kesepakatan mayoritas, bahkan | di | tingkat lokal. Pada periode modern, pemikir-pemikir Musli | 22 % |
l dan situasi sosial masing-masing negeri. Survei singkat | di | atas memperlihatkan bahwa ijma’ bisa memberikan pijakan yang | 52 % |
, maka hal ini berarti minoritas nonmuslim tidak dapat hidup | di | lingkungan umat Islam dan persatuan di antara berbagai unsur | 69 % |
lim tidak dapat hidup di lingkungan umat Islam dan persatuan | di | antara berbagai unsur masyarakat tidak mungkin tercapai. Men | 69 % |
. Pandangan-pandangan kesarjanaan Muslim yang dikemukakan | di | atas dengan jelas menyepakati kesetaraan warga negara – baik | 81 % |
seluruh anggotanya tanpa kecuali. Sebagaimana disinggung | di | atas, konsensus atau ijma’ masyarakat inilah yang kemudian d | 84 % |
lah yang kemudian diundangkan oleh lembaga perwakilan rakyat | di | tingkat lokal atau nasional. Majelis semacam ini –yang diben | 85 % |
arakat akhirnya secara konsensus atau mayoritas memilih yang | dianggap | laik. Ketika putusan mayoritas tercapai, seluruh anggota mas | 61 % |
masa silam. Bahkan, di kalangan mazhab Islam tertentu, ijma’ | dibatasi | pada konsensus para sahabat Nabi. Ijma’ apapun yang datang s | 17 % |
at di tingkat lokal atau nasional. Majelis semacam ini –yang | dibentuk | misalnya lewat pemilihan umum– tentunya merupakan representa | 86 % |
us. Karena itu, ketika suatu ijma’ mengkristal atau berhasil | dicapai | dalam komunitas tersebut, berdasarkan prinsip mayoritas, ia | 83 % |
si negara tidak terambil dari sumber-sumber tekstual, tetapi | didasarkan | terutama pada prinsip ijma’. Dengan kata lain, ijma’ bisa me | 56 % |
secara individual ataupun kolektif mendapat kesempatan untuk | didengar | sebelum masyarakat akhirnya secara konsensus atau mayoritas | 61 % |
arakat yang luas dalam penentuan suatu kebijakan sangat bisa | diharapkan | dalam implementasi ijma’-referendum ini Pada level region | 96 % |
ru ijma’ dalam masyarakat kontemporer. Baginya, ijtihad yang | dihasilkan | individu atau kelompok kerja akan mengkristal ke dalam ijma’ | 33 % |
n di dalam Islam, khususnya di kalangan Sunni. Nabi Muhammad | dikabarkan | pernah bersabda: Umatku tidak akan bersepakat dalam kekeliru | 9 % |
publik, sehingga berbagai sudut pandang yang berkembang dan | dikembangkan | secara individual ataupun kolektif mendapat kesempatan untuk | 60 % |
tangan dengan tradisi salaf. Gagasan ijma’ yang agak luas | dikemukakan | al-Syafi’i dan belakangan oleh al-Ghazali. Bagi keduanya, ij | 19 % |
bukan Muslim. Pandangan-pandangan kesarjanaan Muslim yang | dikemukakan | di atas dengan jelas menyepakati kesetaraan warga negara – b | 81 % |
serta cara-cara lainnya yang melibatkan masyarakat, penting | dilakukan | majelis. Aktivitas semacam inilah yang dimaknai Rahman denga | 92 % |
di kalangan Sunni, otoritas final untuk penafsiran keagamaan | diletakkan | pada konsensus (ijma’) atau putusan kolektif masyarakat musl | 11 % |
at, penting dilakukan majelis. Aktivitas semacam inilah yang | dimaknai | Rahman dengan istilah syura. Salah satu cara yang dapat d | 92 % |
preferensi publik (preference formation), jika suatu masalah | dinilai | laik untuk dirumuskan ke dalam kebijakan. Untuk pembentukan | 90 % |
kan selamat. Dalam negara modern, seluruh warga negara harus | dipandang | setara satu sama lain, tanpa diskriminasi antara sesama warg | 79 % |
gai lembaga syura-ijma’. Dalam pandangan Rahman, majelis ini | dipilih | oleh rakyat tanpa kualifikasi teknis apapun. Dalam masalah-m | 42 % |
el regional atau internasional, konvensi-konvensi yang telah | dirativikasi | suatu negara muslim juga merupakan bentuk lain dari perluasa | 97 % |
s untuk menggalang konsensus masyarakat ini, menurut Rahman, | dirujuk | al-Quran dengan terma syura. Pada level negara, ijma’ mas | 40 % |
ra. Pada level negara, ijma’ masyarakat akan ditempa atau | dirumuskan | ke dalam bentuk hukum dan perundang-undangan oleh lembaga le | 41 % |
Muslim. Tugasnya adalah memberi advis yang selanjutnya akan | dirumuskan | ke dalam undang-undang oleh majelis nasional negeri-negeri M | 50 % |
preference formation), jika suatu masalah dinilai laik untuk | dirumuskan | ke dalam kebijakan. Untuk pembentukan preferensi ini, delibe | 90 % |
k hukum dan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang | disebut | Rahman sebagai lembaga syura-ijma’. Dalam pandangan Rahman, | 41 % |
ia mengikat seluruh anggotanya tanpa kecuali. Sebagaimana | disinggung | di atas, konsensus atau ijma’ masyarakat inilah yang kemudia | 84 % |
uh warga negara harus dipandang setara satu sama lain, tanpa | diskriminasi | antara sesama warga, baik Muslim atau bukan Muslim. Panda | 79 % |
n negara merefleksikan kehendak masyarakat, karena – seperti | ditegaskan | para yuris klasik – legitimasi institusi negara tidak teramb | 55 % |
gan terma syura. Pada level negara, ijma’ masyarakat akan | ditempa | atau dirumuskan ke dalam bentuk hukum dan perundang-undangan | 40 % |
i Rahman dengan istilah syura. Salah satu cara yang dapat | ditempuh | untuk membentuk konsensus masyarakat atau untuk menakar kese | 93 % |
eminta advis kepada para ahli. Undang-undang atau hukun yang | ditetapkan | majelis bisa saja benar atau keliru. Tetapi, sepanjang hukum | 44 % |
i atas, konsensus atau ijma’ masyarakat inilah yang kemudian | diundangkan | oleh lembaga perwakilan rakyat di tingkat lokal atau nasiona | 85 % |
prosedur untuk menjalankannya. Mekanisme ijma’ yang telah | diuraikan | juga memberikan kemungkinan deliberasi dan perdebatan publik | 59 % |
memiliki nilai mengikat, terlebih lagi jika ia merativikasi | doktrin | yang bertentangan dengan tradisi salaf. Gagasan ijma’ yan | 18 % |
ut terikat kesepakatan atau ber-ijma’ untuk melaksanakannya. | dosen | Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Makassar | 99 % |
atas memperlihatkan bahwa ijma’ bisa memberikan pijakan yang | efektif | untuk menerima kekuasaan mayoritas (majority rule). Sejalan | 53 % |
kesepakatan atau ber-ijma’ untuk melaksanakannya. Dosen | fakultas | Syari’ah IAIN Alauddin Makassar | 100 % |
pemikiran Iqbal, sarjana pemikir neo-modernis asal pakistan, | fazlur | Rahman mengungkapkan kemungkinan baru ijma’ dalam masyarakat | 32 % |
atuan berdimensi sakral dan religius. Senada dengan itu, | fazlur | Rahman menekankan sikap anti-eksklusivisme Islam sehubungan | 75 % |
engikat itu disandarkan. Bahkan, di kalangan Sunni, otoritas | final | untuk penafsiran keagamaan diletakkan pada konsensus (ijma’) | 11 % |
kinan legitimasi demokrasi bagi kaum Muslimin dan menawarkan | format | institusi dan prosedur untuk menjalankannya. Mekanisme ij | 58 % |
merativikasi doktrin yang bertentangan dengan tradisi salaf. | gagasan | ijma’ yang agak luas dikemukakan al-Syafi’i dan belakangan o | 19 % |
a, ijma’ adalah kesepakatan kaum Muslimin secara menyeluruh. | gagasan | ini jelas bersifat utopis, karena tidak ada kesepakatan umat | 20 % |
akan kebenaran gagasannya. Apabila masyarakat telah menerima | gagasan | minoritas secara mayoritas, opini itu membentuk ijma’ baru d | 38 % |
ngan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan | gagasannya | tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari indivi | 2 % |
ngan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan | gagasannya | tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari indivi | 24 % |
ersifat dinamis, berorientasi ke depan, dan tidak monolitik. | golongan | minoritas yang merasa ijtihad-nya lebih mendekati kebenaran, | 36 % |
Umatku tidak akan bersepakat dalam kekeliruan. Berpijak pada | hadits | inilah otoritas ijma’ yang mengikat itu disandarkan. Bahkan, | 10 % |
warga negara – baik Muslim atau nonmuslim – serta persamaan | hak | dan kewajibannya, termasuk dalam proses pencapaian konsensus | 82 % |
alam proses pengambilan keputusan. Tidak ada yang aneh dalam | hal | ini. Hasan al-Banna, dalam risalah Nahwa an-Nur (1936), mens | 67 % |
hwa dengan menjadikan Islam sebagai landasan kehidupan, maka | hal | ini berarti minoritas nonmuslim tidak dapat hidup di lingkun | 68 % |
kat atau untuk menakar kesepakatan masyarakat mengenai suatu | hal | adalah melalui referendum. Ijma’, berdasarkan alur logika ya | 94 % |
erhadap penafsirannya. Tetapi, dalam konsep tradisional, | hanya | ‘ulama’ yang memiliki peran dalam mencapai konsensus. Masyar | 13 % |
yang bulat atau menyeluruh sepanjang sejarah Islam. Yang ada | hanyalah | kesepakatan mayoritas, bahkan di tingkat lokal. Pada peri | 22 % |
– mengungkapkan siapa pun yang percaya kepada monoteisme dan | hari | akhirat, serta melakukan perbuatan baik akan selamat. Dalam | 78 % |
eluruh anggota masyarakat – baik Muslim ataupun non Muslim – | harus | berupaya mengejawantahkannya ke dalam praktik. Penggagas, pe | 63 % |
agas, pengikut atau yang menyetujui pandangan minoritas juga | harus | menerima keputusan mayoritas dan berupaya mengimplementasika | 64 % |
baik akan selamat. Dalam negara modern, seluruh warga negara | harus | dipandang setara satu sama lain, tanpa diskriminasi antara s | 79 % |
es pengambilan keputusan. Tidak ada yang aneh dalam hal ini. | hasan | al-Banna, dalam risalah Nahwa an-Nur (1936), mensinyalir ada | 67 % |
idupan, maka hal ini berarti minoritas nonmuslim tidak dapat | hidup | di lingkungan umat Islam dan persatuan di antara berbagai un | 69 % |
n dan konsisten (preference representation). Tetapi, sebagai | himpunan | orang terpilih, majelis ini juga bisa mempengaruhi preferens | 88 % |
jma’ masyarakat akan ditempa atau dirumuskan ke dalam bentuk | hukum | dan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang disebut | 41 % |
apkan majelis bisa saja benar atau keliru. Tetapi, sepanjang | hukum | tersebut mencerminkan kehendak masyarakat, ia tetap bersifat | 45 % |
lis dapat meminta advis kepada para ahli. Undang-undang atau | hukun | yang ditetapkan majelis bisa saja benar atau keliru. Tetapi, | 44 % |
etelah itu tidak memiliki nilai mengikat, terlebih lagi jika | ia | merativikasi doktrin yang bertentangan dengan tradisi salaf. | 18 % |
, sepanjang hukum tersebut mencerminkan kehendak masyarakat, | ia | tetap bersifat islami dan demokratis karena merepresentasika | 45 % |
pai dalam komunitas tersebut, berdasarkan prinsip mayoritas, | ia | mengikat seluruh anggotanya tanpa kecuali. Sebagaimana di | 84 % |
er-ijma’ untuk melaksanakannya. Dosen Fakultas Syari’ah | iain | Alauddin Makassar | 100 % |
ja akan mengkristal ke dalam ijma’ setelah melalui interaksi | ide | yang ketat. Dengan demikian, ijma’ – yang merupakan konsensu | 34 % |
Menilik Model | ijma’ | Kontemporer Pada periode modern, pemikir-pemikir Muslim m | 0 % |
periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep | ijma’ | dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi | 1 % |
. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang | ijma’ | sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewaki | 2 % |
masalah hukum. Oleh: Taufik Adnan Amal Konsensus atau | ijma’ | selama berabad-abad telah menjadi validasi terpenting berbag | 7 % |
pakat dalam kekeliruan. Berpijak pada hadits inilah otoritas | ijma’ | yang mengikat itu disandarkan. Bahkan, di kalangan Sunni, ot | 10 % |
t pada umumnya tidak begitu diperhitungkan. Dengan demikian, | ijma’ | lebih bersifat elitis. Selain itu, masih dalam konsepsi klas | 15 % |
ih bersifat elitis. Selain itu, masih dalam konsepsi klasik, | ijma’ | berorientasi ke belakang: dalam kesepakatan ulama di masa-ma | 16 % |
masa-masa silam. Bahkan, di kalangan mazhab Islam tertentu, | ijma’ | dibatasi pada konsensus para sahabat Nabi. Ijma’ apapun yang | 17 % |
m tertentu, ijma’ dibatasi pada konsensus para sahabat Nabi. | ijma’ | apapun yang datang setelah itu tidak memiliki nilai mengikat | 17 % |
i doktrin yang bertentangan dengan tradisi salaf. Gagasan | ijma’ | yang agak luas dikemukakan al-Syafi’i dan belakangan oleh al | 19 % |
an al-Syafi’i dan belakangan oleh al-Ghazali. Bagi keduanya, | ijma’ | adalah kesepakatan kaum Muslimin secara menyeluruh. Gagasan | 20 % |
periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep | ijma’ | dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi | 23 % |
. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang | ijma’ | sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewaki | 24 % |
asal pakistan, Fazlur Rahman mengungkapkan kemungkinan baru | ijma’ | dalam masyarakat kontemporer. Baginya, ijtihad yang dihasilk | 33 % |
ilkan individu atau kelompok kerja akan mengkristal ke dalam | ijma’ | setelah melalui interaksi ide yang ketat. Dengan demikian, i | 34 % |
’ setelah melalui interaksi ide yang ketat. Dengan demikian, | ijma’ | – yang merupakan konsensus mayoritas masyarakat – lebih bers | 35 % |
rima gagasan minoritas secara mayoritas, opini itu membentuk | ijma’ | baru dan menggantikan ijma’ lama. Aktivitas untuk menggalang | 38 % |
a mayoritas, opini itu membentuk ijma’ baru dan menggantikan | ijma’ | lama. Aktivitas untuk menggalang konsensus masyarakat ini, m | 39 % |
, dirujuk al-Quran dengan terma syura. Pada level negara, | ijma’ | masyarakat akan ditempa atau dirumuskan ke dalam bentuk huku | 40 % |
etap bersifat islami dan demokratis karena merepresentasikan | ijma’ | masyarakat. Selain itu, ada kemungkinan untuk mengubah konse | 46 % |
asing negeri. Survei singkat di atas memperlihatkan bahwa | ijma’ | bisa memberikan pijakan yang efektif untuk menerima kekuasaa | 52 % |
pi didasarkan terutama pada prinsip ijma’. Dengan kata lain, | ijma’ | bisa memberi kemungkinan legitimasi demokrasi bagi kaum Musl | 57 % |
at institusi dan prosedur untuk menjalankannya. Mekanisme | ijma’ | yang telah diuraikan juga memberikan kemungkinan deliberasi | 58 % |
mengimplementasikannya sebagai suatu konsensus. Mekanisme | ijma’ | semacam ini menggagaskan keterlibatan seluruh anggota masyar | 65 % |
dalam proses pencapaian konsensus. Karena itu, ketika suatu | ijma’ | mengkristal atau berhasil dicapai dalam komunitas tersebut, | 83 % |
a kecuali. Sebagaimana disinggung di atas, konsensus atau | ijma’ | masyarakat inilah yang kemudian diundangkan oleh lembaga per | 85 % |
an suatu kebijakan sangat bisa diharapkan dalam implementasi | ijma’-referendum | ini Pada level regional atau internasional, konvensi-konv | 96 % |
ngkapkan gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan | ijtihad | dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi | 3 % |
permanen” atau majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer | ijtihad | kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Musl | 4 % |
ngkapkan gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan | ijtihad | dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi | 25 % |
anen” atau majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer | ijtihad | kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Musl | 27 % |
emungkinan baru ijma’ dalam masyarakat kontemporer. Baginya, | ijtihad | yang dihasilkan individu atau kelompok kerja akan mengkrista | 33 % |
e depan, dan tidak monolitik. Golongan minoritas yang merasa | ijtihad-nya | lebih mendekati kebenaran, terbuka sepenuhnya untuk meyakink | 36 % |
gamaan khusus umat Islam (al-wahdah al-diniyyah al-khassah). | implementasi | prinsip-prinsip ini, menurut al-Banna, tidak akan menimbulka | 73 % |
dalam penentuan suatu kebijakan sangat bisa diharapkan dalam | implementasi | ijma’-referendum ini Pada level regional atau internasion | 96 % |
sannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari | individu | yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bent | 3 % |
sannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari | individu | yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bent | 25 % |
lam masyarakat kontemporer. Baginya, ijtihad yang dihasilkan | individu | atau kelompok kerja akan mengkristal ke dalam ijma’ setelah | 34 % |
rbagai sudut pandang yang berkembang dan dikembangkan secara | individual | ataupun kolektif mendapat kesempatan untuk didengar sebelum | 60 % |
adalah kesepakatan kaum Muslimin secara menyeluruh. Gagasan | ini | jelas bersifat utopis, karena tidak ada kesepakatan umat Isl | 21 % |
sebagai lembaga syura-ijma’. Dalam pandangan Rahman, majelis | ini | dipilih oleh rakyat tanpa kualifikasi teknis apapun. Dalam m | 42 % |
n bahkan mengelaborasi konsepnya tentang lembaga syura-ijma’ | ini | ke dalam suatu majelis internasional yang beranggotakan maje | 49 % |
sikannya sebagai suatu konsensus. Mekanisme ijma’ semacam | ini | menggagaskan keterlibatan seluruh anggota masyarakat, termas | 65 % |
dengan menjadikan Islam sebagai landasan kehidupan, maka hal | ini | berarti minoritas nonmuslim tidak dapat hidup di lingkungan | 68 % |
kilan rakyat di tingkat lokal atau nasional. Majelis semacam | ini | –yang dibentuk misalnya lewat pemilihan umum– tentunya merup | 86 % |
sentation). Tetapi, sebagai himpunan orang terpilih, majelis | ini | juga bisa mempengaruhi preferensi publik (preference formati | 89 % |
n sangat bisa diharapkan dalam implementasi ijma’-referendum | ini | Pada level regional atau internasional, konvensi-konvensi ya | 96 % |
tidak akan bersepakat dalam kekeliruan. Berpijak pada hadits | inilah | otoritas ijma’ yang mengikat itu disandarkan. Bahkan, di kal | 10 % |
agaimana disinggung di atas, konsensus atau ijma’ masyarakat | inilah | yang kemudian diundangkan oleh lembaga perwakilan rakyat di | 85 % |
kan masyarakat, penting dilakukan majelis. Aktivitas semacam | inilah | yang dimaknai Rahman dengan istilah syura. Salah satu car | 92 % |
, karena – seperti ditegaskan para yuris klasik – legitimasi | institusi | negara tidak terambil dari sumber-sumber tekstual, tetapi di | 56 % |
egitimasi demokrasi bagi kaum Muslimin dan menawarkan format | institusi | dan prosedur untuk menjalankannya. Mekanisme ijma’ yang t | 58 % |
lompok kerja akan mengkristal ke dalam ijma’ setelah melalui | interaksi | ide yang ketat. Dengan demikian, ijma’ – yang merupakan kons | 34 % |
epnya tentang lembaga syura-ijma’ ini ke dalam suatu majelis | internasional | yang beranggotakan majelis legislatif negeri-negeri Muslim. | 49 % |
g bisa saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, | iqbal | tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksa | 5 % |
g bisa saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, | iqbal | tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksa | 28 % |
gkinan terjadinya salah tafsir terhadap sumber-sumber Islam, | iqbal | menyetujui masuknya ulama ke dalam majelis untuk membantu da | 30 % |
asinya, konsensus memainkan peran penting dalam perkembangan | islam | dan memberi andil yang signifikan terhadap penafsirannya. | 12 % |
pakatan ulama di masa-masa silam. Bahkan, di kalangan mazhab | islam | tertentu, ijma’ dibatasi pada konsensus para sahabat Nabi. I | 17 % |
ini jelas bersifat utopis, karena tidak ada kesepakatan umat | islam | yang bulat atau menyeluruh sepanjang sejarah Islam. Yang ada | 21 % |
6), mensinyalir ada orang menganggap bahwa dengan menjadikan | islam | sebagai landasan kehidupan, maka hal ini berarti minoritas n | 68 % |
rti minoritas nonmuslim tidak dapat hidup di lingkungan umat | islam | dan persatuan di antara berbagai unsur masyarakat tidak mung | 69 % |
cam itu berseberangan dengan prinsip persamaan dan pengakuan | islam | terhadap minoritas nonmuslim. Agama Islam, menurutnya, mengk | 71 % |
h al-diniyyah al-’ammah), dan kesatuan keagamaan khusus umat | islam | (al-wahdah al-diniyyah al-khassah). Implementasi prinsip-pri | 73 % |
engan itu, Fazlur Rahman menekankan sikap anti-eksklusivisme | islam | sehubungan dengan komunitas-komunitas keagamaan lainnya, ber | 76 % |
tersebut mencerminkan kehendak masyarakat, ia tetap bersifat | islami | dan demokratis karena merepresentasikan ijma’ masyarakat. Se | 45 % |
ajelis. Aktivitas semacam inilah yang dimaknai Rahman dengan | istilah | syura. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk membentu | 92 % |
an. Berpijak pada hadits inilah otoritas ijma’ yang mengikat | itu | disandarkan. Bahkan, di kalangan Sunni, otoritas final untuk | 10 % |
onsensus para sahabat Nabi. Ijma’ apapun yang datang setelah | itu | tidak memiliki nilai mengikat, terlebih lagi jika ia merativ | 18 % |
kat telah menerima gagasan minoritas secara mayoritas, opini | itu | membentuk ijma’ baru dan menggantikan ijma’ lama. Aktivitas | 38 % |
t tidak mungkin tercapai. Menurut al-Banna, anggapan semacam | itu | berseberangan dengan prinsip persamaan dan pengakuan Islam t | 70 % |
lah kesepakatan kaum Muslimin secara menyeluruh. Gagasan ini | jelas | bersifat utopis, karena tidak ada kesepakatan umat Islam yan | 21 % |
pandangan kesarjanaan Muslim yang dikemukakan di atas dengan | jelas | menyepakati kesetaraan warga negara – baik Muslim atau nonmu | 81 % |
ndum. Ijma’, berdasarkan alur logika yang telah dikemukakan, | jelas | bisa mengambil bentuk referendum. Partisipasi masyarakat yan | 95 % |
ang setelah itu tidak memiliki nilai mengikat, terlebih lagi | jika | ia merativikasi doktrin yang bertentangan dengan tradisi sal | 18 % |
bisa mempengaruhi preferensi publik (preference formation), | jika | suatu masalah dinilai laik untuk dirumuskan ke dalam kebijak | 89 % |
mayoritas (majority rule). Sejalan dengan ini, Louay M. Safi | juga | mengemukakan bahwa legitimasi negara tergantung pada sampai | 54 % |
ntuk menjalankannya. Mekanisme ijma’ yang telah diuraikan | juga | memberikan kemungkinan deliberasi dan perdebatan publik, seh | 59 % |
Penggagas, pengikut atau yang menyetujui pandangan minoritas | juga | harus menerima keputusan mayoritas dan berupaya mengimplemen | 64 % |
ation). Tetapi, sebagai himpunan orang terpilih, majelis ini | juga | bisa mempengaruhi preferensi publik (preference formation), | 89 % |
onvensi-konvensi yang telah dirativikasi suatu negara muslim | juga | merupakan bentuk lain dari perluasan konsep ijma’. Dengan me | 98 % |
i terpenting berbagai keputusan di dalam Islam, khususnya di | kalangan | Sunni. Nabi Muhammad dikabarkan pernah bersabda: Umatku tida | 8 % |
lah otoritas ijma’ yang mengikat itu disandarkan. Bahkan, di | kalangan | Sunni, otoritas final untuk penafsiran keagamaan diletakkan | 10 % |
kang: dalam kesepakatan ulama di masa-masa silam. Bahkan, di | kalangan | mazhab Islam tertentu, ijma’ dibatasi pada konsensus para sa | 16 % |
slimin secara menyeluruh. Gagasan ini jelas bersifat utopis, | karena | tidak ada kesepakatan umat Islam yang bulat atau menyeluruh | 21 % |
kehendak masyarakat, ia tetap bersifat islami dan demokratis | karena | merepresentasikan ijma’ masyarakat. Selain itu, ada kemungki | 45 % |
lain itu, ada kemungkinan untuk mengubah konsensus tersebut, | karena | secara potensial selalu terdapat kemungkinan bagi pandangan | 47 % |
sasi dan kekuasaan negara merefleksikan kehendak masyarakat, | karena | – seperti ditegaskan para yuris klasik – legitimasi institus | 55 % |
an kewajibannya, termasuk dalam proses pencapaian konsensus. | karena | itu, ketika suatu ijma’ mengkristal atau berhasil dicapai da | 82 % |
stual, tetapi didasarkan terutama pada prinsip ijma’. Dengan | kata | lain, ijma’ bisa memberi kemungkinan legitimasi demokrasi ba | 57 % |
gan oleh al-Ghazali. Bagi keduanya, ijma’ adalah kesepakatan | kaum | Muslimin secara menyeluruh. Gagasan ini jelas bersifat utopi | 20 % |
in, ijma’ bisa memberi kemungkinan legitimasi demokrasi bagi | kaum | Muslimin dan menawarkan format institusi dan prosedur untuk | 57 % |
dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi | ke | dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis pe | 3 % |
Selain itu, masih dalam konsepsi klasik, ijma’ berorientasi | ke | belakang: dalam kesepakatan ulama di masa-masa silam. Bahkan | 16 % |
dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi | ke | dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis pe | 26 % |
erhadap sumber-sumber Islam, Iqbal menyetujui masuknya ulama | ke | dalam majelis untuk membantu dan memimpin perbincangan-perbi | 30 % |
ang dihasilkan individu atau kelompok kerja akan mengkristal | ke | dalam ijma’ setelah melalui interaksi ide yang ketat. Dengan | 34 % |
mayoritas masyarakat – lebih bersifat dinamis, berorientasi | ke | depan, dan tidak monolitik. Golongan minoritas yang merasa i | 36 % |
level negara, ijma’ masyarakat akan ditempa atau dirumuskan | ke | dalam bentuk hukum dan perundang-undangan oleh lembaga legis | 41 % |
hkan mengelaborasi konsepnya tentang lembaga syura-ijma’ ini | ke | dalam suatu majelis internasional yang beranggotakan majelis | 49 % |
gasnya adalah memberi advis yang selanjutnya akan dirumuskan | ke | dalam undang-undang oleh majelis nasional negeri-negeri Musl | 50 % |
slim ataupun non Muslim – harus berupaya mengejawantahkannya | ke | dalam praktik. Penggagas, pengikut atau yang menyetujui pand | 63 % |
sentasi masyarakat yang menerjemahkan kepentingan masyarakat | ke | dalam kebijakan-kebijakan yang koheren dan konsisten (prefer | 87 % |
formation), jika suatu masalah dinilai laik untuk dirumuskan | ke | dalam kebijakan. Untuk pembentukan preferensi ini, deliberas | 90 % |
. Bahkan, di kalangan Sunni, otoritas final untuk penafsiran | keagamaan | diletakkan pada konsensus (ijma’) atau putusan kolektif masy | 11 % |
manusiaan umum (al-wahdah al-insaniyyah al-’ammah), kesatuan | keagamaan | umum (al-wahdah al-diniyyah al-’ammah), dan kesatuan keagama | 72 % |
agamaan umum (al-wahdah al-diniyyah al-’ammah), dan kesatuan | keagamaan | khusus umat Islam (al-wahdah al-diniyyah al-khassah). Implem | 73 % |
ti-eksklusivisme Islam sehubungan dengan komunitas-komunitas | keagamaan | lainnya, berdasarkan sejumlah ayat al-Quran (2:62 dan 5:69), | 76 % |
benaran, terbuka sepenuhnya untuk meyakinkan masyarakat akan | kebenaran | gagasannya. Apabila masyarakat telah menerima gagasan minori | 37 % |
ndum. Partisipasi masyarakat yang luas dalam penentuan suatu | kebijakan | sangat bisa diharapkan dalam implementasi ijma’-referendum i | 96 % |
asyarakat yang menerjemahkan kepentingan masyarakat ke dalam | kebijakan-kebijakan | yang koheren dan konsisten (preference representation). Teta | 87 % |
dak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, | kecuali | memiliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Oleh: Ta | 6 % |
dak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, | kecuali | memiliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Tetapi, unt | 28 % |
r atau keliru. Tetapi, sepanjang hukum tersebut mencerminkan | kehendak | masyarakat, ia tetap bersifat islami dan demokratis karena m | 45 % |
ai sejauh mana organisasi dan kekuasaan negara merefleksikan | kehendak | masyarakat, karena – seperti ditegaskan para yuris klasik – | 55 % |
nya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer | kekuasaan | ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang teror | 3 % |
nya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer | kekuasaan | ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang teror | 25 % |
wa ijma’ bisa memberikan pijakan yang efektif untuk menerima | kekuasaan | mayoritas (majority rule). Sejalan dengan ini, Louay M. Safi | 53 % |
asi negara tergantung pada sampai sejauh mana organisasi dan | kekuasaan | negara merefleksikan kehendak masyarakat, karena – seperti d | 54 % |
kontemporer. Baginya, ijtihad yang dihasilkan individu atau | kelompok | kerja akan mengkristal ke dalam ijma’ setelah melalui intera | 34 % |
as nonmuslim. Agama Islam, menurutnya, mengkuduskan kesatuan | kemanusiaan | umum (al-wahdah al-insaniyyah al-’ammah), kesatuan keagamaan | 72 % |
inggung di atas, konsensus atau ijma’ masyarakat inilah yang | kemudian | diundangkan oleh lembaga perwakilan rakyat di tingkat lokal | 85 % |
ir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai | kemungkinan | baru yang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, mis | 1 % |
ir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai | kemungkinan | baru yang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, mis | 23 % |
an yang tajam dalam masalah hukum. Tetapi, untuk menghindari | kemungkinan | terjadinya salah tafsir terhadap sumber-sumber Islam, Iqbal | 29 % |
ikir neo-modernis asal pakistan, Fazlur Rahman mengungkapkan | kemungkinan | baru ijma’ dalam masyarakat kontemporer. Baginya, ijtihad ya | 33 % |
s karena merepresentasikan ijma’ masyarakat. Selain itu, ada | kemungkinan | untuk mengubah konsensus tersebut, karena secara potensial s | 46 % |
konsensus tersebut, karena secara potensial selalu terdapat | kemungkinan | bagi pandangan minoritas untuk menjadi mayoritas melalui pro | 47 % |
ama pada prinsip ijma’. Dengan kata lain, ijma’ bisa memberi | kemungkinan | legitimasi demokrasi bagi kaum Muslimin dan menawarkan forma | 57 % |
nya. Mekanisme ijma’ yang telah diuraikan juga memberikan | kemungkinan | deliberasi dan perdebatan publik, sehingga berbagai sudut pa | 59 % |
” atau majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtihad | kepada | lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam | 5 % |
au majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtihad | kepada | lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam | 27 % |
un. Dalam masalah-masalah pelik, majelis dapat meminta advis | kepada | para ahli. Undang-undang atau hukun yang ditetapkan majelis | 43 % |
nurut tafsiran Rahman – mengungkapkan siapa pun yang percaya | kepada | monoteisme dan hari akhirat, serta melakukan perbuatan baik | 78 % |
entunya merupakan representasi masyarakat yang menerjemahkan | kepentingan | masyarakat ke dalam kebijakan-kebijakan yang koheren dan kon | 87 % |
lama berabad-abad telah menjadi validasi terpenting berbagai | keputusan | di dalam Islam, khususnya di kalangan Sunni. Nabi Muhammad d | 8 % |
atau yang menyetujui pandangan minoritas juga harus menerima | keputusan | mayoritas dan berupaya mengimplementasikannya sebagai suatu | 64 % |
rer. Baginya, ijtihad yang dihasilkan individu atau kelompok | kerja | akan mengkristal ke dalam ijma’ setelah melalui interaksi id | 34 % |
warga, baik Muslim atau bukan Muslim. Pandangan-pandangan | kesarjanaan | Muslim yang dikemukakan di atas dengan jelas menyepakati kes | 80 % |
p minoritas nonmuslim. Agama Islam, menurutnya, mengkuduskan | kesatuan | kemanusiaan umum (al-wahdah al-insaniyyah al-’ammah), kesatu | 71 % |
satuan kemanusiaan umum (al-wahdah al-insaniyyah al-’ammah), | kesatuan | keagamaan umum (al-wahdah al-diniyyah al-’ammah), dan kesatu | 72 % |
satuan keagamaan umum (al-wahdah al-diniyyah al-’ammah), dan | kesatuan | keagamaan khusus umat Islam (al-wahdah al-diniyyah al-khassa | 73 % |
dan dikembangkan secara individual ataupun kolektif mendapat | kesempatan | untuk didengar sebelum masyarakat akhirnya secara konsensus | 60 % |
dalam konsepsi klasik, ijma’ berorientasi ke belakang: dalam | kesepakatan | ulama di masa-masa silam. Bahkan, di kalangan mazhab Islam t | 16 % |
dan belakangan oleh al-Ghazali. Bagi keduanya, ijma’ adalah | kesepakatan | kaum Muslimin secara menyeluruh. Gagasan ini jelas bersifat | 20 % |
yeluruh. Gagasan ini jelas bersifat utopis, karena tidak ada | kesepakatan | umat Islam yang bulat atau menyeluruh sepanjang sejarah Isla | 21 % |
t atau menyeluruh sepanjang sejarah Islam. Yang ada hanyalah | kesepakatan | mayoritas, bahkan di tingkat lokal. Pada periode modern, | 22 % |
mpuh untuk membentuk konsensus masyarakat atau untuk menakar | kesepakatan | masyarakat mengenai suatu hal adalah melalui referendum. Ijm | 94 % |
ivikasi konvensi semacam itu, negara muslim tersebut terikat | kesepakatan | atau ber-ijma’ untuk melaksanakannya. Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Makassar | 99 % |
aan Muslim yang dikemukakan di atas dengan jelas menyepakati | kesetaraan | warga negara – baik Muslim atau nonmuslim – serta persamaan | 81 % |
suatu konsensus. Mekanisme ijma’ semacam ini menggagaskan | keterlibatan | seluruh anggota masyarakat, termasuk bukan muslim, dalam pro | 65 % |
secara konsensus atau mayoritas memilih yang dianggap laik. | ketika | putusan mayoritas tercapai, seluruh anggota masyarakat – bai | 62 % |
nya, termasuk dalam proses pencapaian konsensus. Karena itu, | ketika | suatu ijma’ mengkristal atau berhasil dicapai dalam komunita | 83 % |
um (al-wahdah al-diniyyah al-’ammah), dan kesatuan keagamaan | khusus | umat Islam (al-wahdah al-diniyyah al-khassah). Implementasi | 73 % |
njadi validasi terpenting berbagai keputusan di dalam Islam, | khususnya | di kalangan Sunni. Nabi Muhammad dikabarkan pernah bersabda: | 8 % |
kehendak masyarakat, karena – seperti ditegaskan para yuris | klasik | – legitimasi institusi negara tidak terambil dari sumber-sum | 55 % |
kan kepentingan masyarakat ke dalam kebijakan-kebijakan yang | koheren | dan konsisten (preference representation). Tetapi, sebagai h | 88 % |
ran keagamaan diletakkan pada konsensus (ijma’) atau putusan | kolektif | masyarakat muslim. Implikasinya, konsensus memainkan peran p | 11 % |
g yang berkembang dan dikembangkan secara individual ataupun | kolektif | mendapat kesempatan untuk didengar sebelum masyarakat akhirn | 60 % |
, ketika suatu ijma’ mengkristal atau berhasil dicapai dalam | komunitas | tersebut, berdasarkan prinsip mayoritas, ia mengikat seluruh | 83 % |
menekankan sikap anti-eksklusivisme Islam sehubungan dengan | komunitas-komunitas | keagamaan lainnya, berdasarkan sejumlah ayat al-Quran (2:62 | 76 % |
p ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan | kondisi | modern. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya t | 2 % |
p ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan | kondisi | modern. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya t | 24 % |
n yang tajam dalam masalah hukum. Oleh: Taufik Adnan Amal | konsensus | atau ijma’ selama berabad-abad telah menjadi validasi terpen | 7 % |
i, otoritas final untuk penafsiran keagamaan diletakkan pada | konsensus | (ijma’) atau putusan kolektif masyarakat muslim. Implikasiny | 11 % |
jma’) atau putusan kolektif masyarakat muslim. Implikasinya, | konsensus | memainkan peran penting dalam perkembangan Islam dan memberi | 12 % |
hkan, di kalangan mazhab Islam tertentu, ijma’ dibatasi pada | konsensus | para sahabat Nabi. Ijma’ apapun yang datang setelah itu tida | 17 % |
aksi ide yang ketat. Dengan demikian, ijma’ – yang merupakan | konsensus | mayoritas masyarakat – lebih bersifat dinamis, berorientasi | 35 % |
baru dan menggantikan ijma’ lama. Aktivitas untuk menggalang | konsensus | masyarakat ini, menurut Rahman, dirujuk al-Quran dengan term | 39 % |
ijma’ masyarakat. Selain itu, ada kemungkinan untuk mengubah | konsensus | tersebut, karena secara potensial selalu terdapat kemungkina | 46 % |
kesempatan untuk didengar sebelum masyarakat akhirnya secara | konsensus | atau mayoritas memilih yang dianggap laik. Ketika putusan ma | 61 % |
anggotanya tanpa kecuali. Sebagaimana disinggung di atas, | konsensus | atau ijma’ masyarakat inilah yang kemudian diundangkan oleh | 84 % |
yura. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk membentuk | konsensus | masyarakat atau untuk menakar kesepakatan masyarakat mengena | 93 % |
Pada periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan | konsep | ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan k | 1 % |
il yang signifikan terhadap penafsirannya. Tetapi, dalam | konsep | tradisional, hanya ‘ulama’ yang memiliki peran dalam mencapa | 13 % |
Pada periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan | konsep | ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan k | 23 % |
uatu negara muslim juga merupakan bentuk lain dari perluasan | konsep | ijma’. Dengan merativikasi konvensi semacam itu, negara musl | 98 % |
s melalui proses perdebatan. Rahman bahkan mengelaborasi | konsepnya | tentang lembaga syura-ijma’ ini ke dalam suatu majelis inter | 48 % |
mikian, ijma’ lebih bersifat elitis. Selain itu, masih dalam | konsepsi | klasik, ijma’ berorientasi ke belakang: dalam kesepakatan ul | 15 % |
gan masyarakat ke dalam kebijakan-kebijakan yang koheren dan | konsisten | (preference representation). Tetapi, sebagai himpunan orang | 88 % |
Menilik Model Ijma’ | kontemporer | Pada periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan ko | 0 % |
bentuk lain dari perluasan konsep ijma’. Dengan merativikasi | konvensi | semacam itu, negara muslim tersebut terikat kesepakatan atau | 98 % |
a’-referendum ini Pada level regional atau internasional, | konvensi-konvensi | yang telah dirativikasi suatu negara muslim juga merupakan b | 97 % |
wam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan | kualifikasi | apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan y | 6 % |
wam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan | kualifikasi | apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan y | 28 % |
alam pandangan Rahman, majelis ini dipilih oleh rakyat tanpa | kualifikasi | teknis apapun. Dalam masalah-masalah pelik, majelis dapat me | 42 % |
g datang setelah itu tidak memiliki nilai mengikat, terlebih | lagi | jika ia merativikasi doktrin yang bertentangan dengan tradis | 18 % |
si publik (preference formation), jika suatu masalah dinilai | laik | untuk dirumuskan ke dalam kebijakan. Untuk pembentukan prefe | 90 % |
telah dirativikasi suatu negara muslim juga merupakan bentuk | lain | dari perluasan konsep ijma’. Dengan merativikasi konvensi se | 98 % |
advokasi, pengajuan rancangan undang-undang, serta cara-cara | lainnya | yang melibatkan masyarakat, penting dilakukan majelis. Aktiv | 91 % |
r ada orang menganggap bahwa dengan menjadikan Islam sebagai | landasan | kehidupan, maka hal ini berarti minoritas nonmuslim tidak da | 68 % |
umumnya tidak begitu diperhitungkan. Dengan demikian, ijma’ | lebih | bersifat elitis. Selain itu, masih dalam konsepsi klasik, ij | 15 % |
ian, ijma’ – yang merupakan konsensus mayoritas masyarakat – | lebih | bersifat dinamis, berorientasi ke depan, dan tidak monolitik | 35 % |
tidak monolitik. Golongan minoritas yang merasa ijtihad-nya | lebih | mendekati kebenaran, terbuka sepenuhnya untuk meyakinkan mas | 36 % |
mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi | legislatif | permanen” atau majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer | 4 % |
mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi | legislatif | permanen” atau majelis perwakilan rakyat. Dengan mentran | 26 % |
dalam suatu majelis internasional yang beranggotakan majelis | legislatif | negeri-negeri Muslim. Tugasnya adalah memberi advis yang sel | 49 % |
). Sejalan dengan ini, Louay M. Safi juga mengemukakan bahwa | legitimasi | negara tergantung pada sampai sejauh mana organisasi dan kek | 54 % |
masyarakat, karena – seperti ditegaskan para yuris klasik – | legitimasi | institusi negara tidak terambil dari sumber-sumber tekstual, | 55 % |
nsip ijma’. Dengan kata lain, ijma’ bisa memberi kemungkinan | legitimasi | demokrasi bagi kaum Muslimin dan menawarkan format institusi | 57 % |
majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtihad kepada | lembaga | legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam atau ba | 5 % |
lis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtihad kepada | lembaga | legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam atau ba | 27 % |
dirumuskan ke dalam bentuk hukum dan perundang-undangan oleh | lembaga | legislatif, yang disebut Rahman sebagai lembaga syura-ijma’. | 41 % |
ndangan oleh lembaga legislatif, yang disebut Rahman sebagai | lembaga | syura-ijma’. Dalam pandangan Rahman, majelis ini dipilih ole | 42 % |
erdebatan. Rahman bahkan mengelaborasi konsepnya tentang | lembaga | syura-ijma’ ini ke dalam suatu majelis internasional yang be | 48 % |
atau ijma’ masyarakat inilah yang kemudian diundangkan oleh | lembaga | perwakilan rakyat di tingkat lokal atau nasional. Majelis se | 85 % |
menurut Rahman, dirujuk al-Quran dengan terma syura. Pada | level | negara, ijma’ masyarakat akan ditempa atau dirumuskan ke dal | 40 % |
a diharapkan dalam implementasi ijma’-referendum ini Pada | level | regional atau internasional, konvensi-konvensi yang telah di | 97 % |
l atau nasional. Majelis semacam ini –yang dibentuk misalnya | lewat | pemilihan umum– tentunya merupakan representasi masyarakat y | 86 % |
aka hal ini berarti minoritas nonmuslim tidak dapat hidup di | lingkungan | umat Islam dan persatuan di antara berbagai unsur masyarakat | 69 % |
suatu hal adalah melalui referendum. Ijma’, berdasarkan alur | logika | yang telah dikemukakan, jelas bisa mengambil bentuk referend | 94 % |
mudian diundangkan oleh lembaga perwakilan rakyat di tingkat | lokal | atau nasional. Majelis semacam ini –yang dibentuk misalnya l | 86 % |
ima kekuasaan mayoritas (majority rule). Sejalan dengan ini, | louay | M. Safi juga mengemukakan bahwa legitimasi negara tergantung | 53 % |
ertentangan dengan tradisi salaf. Gagasan ijma’ yang agak | luas | dikemukakan al-Syafi’i dan belakangan oleh al-Ghazali. Bagi | 19 % |
isa mengambil bentuk referendum. Partisipasi masyarakat yang | luas | dalam penentuan suatu kebijakan sangat bisa diharapkan dalam | 95 % |
m | enilik Model Ijma’ Kontemporer Pada periode modern, pemik | 0 % | |
anisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau | majelis | perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga | 4 % |
anisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau | majelis | perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtihad kepada lem | 26 % |
umber-sumber Islam, Iqbal menyetujui masuknya ulama ke dalam | majelis | untuk membantu dan memimpin perbincangan-perbincangan bebas | 30 % |
Rahman sebagai lembaga syura-ijma’. Dalam pandangan Rahman, | majelis | ini dipilih oleh rakyat tanpa kualifikasi teknis apapun. Dal | 42 % |
anpa kualifikasi teknis apapun. Dalam masalah-masalah pelik, | majelis | dapat meminta advis kepada para ahli. Undang-undang atau huk | 43 % |
s kepada para ahli. Undang-undang atau hukun yang ditetapkan | majelis | bisa saja benar atau keliru. Tetapi, sepanjang hukum tersebu | 44 % |
asi konsepnya tentang lembaga syura-ijma’ ini ke dalam suatu | majelis | internasional yang beranggotakan majelis legislatif negeri-n | 49 % |
ini ke dalam suatu majelis internasional yang beranggotakan | majelis | legislatif negeri-negeri Muslim. Tugasnya adalah memberi adv | 49 % |
yang selanjutnya akan dirumuskan ke dalam undang-undang oleh | majelis | nasional negeri-negeri Muslim berdasarkan sinaran perbedaan | 51 % |
eh lembaga perwakilan rakyat di tingkat lokal atau nasional. | majelis | semacam ini –yang dibentuk misalnya lewat pemilihan umum– te | 86 % |
ce representation). Tetapi, sebagai himpunan orang terpilih, | majelis | ini juga bisa mempengaruhi preferensi publik (preference for | 89 % |
ap bahwa dengan menjadikan Islam sebagai landasan kehidupan, | maka | hal ini berarti minoritas nonmuslim tidak dapat hidup di lin | 68 % |
melaksanakannya. Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin | makassar | 100 % | |
ip ini, menurut al-Banna, tidak akan menimbulkan perpecahan, | malahan | menjadikan persatuan berdimensi sakral dan religius. Sen | 74 % |
ukakan bahwa legitimasi negara tergantung pada sampai sejauh | mana | organisasi dan kekuasaan negara merefleksikan kehendak masya | 54 % |
laksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam | masalah | hukum. Oleh: Taufik Adnan Amal Konsensus atau ijma’ se | 7 % |
laksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam | masalah | hukum. Tetapi, untuk menghindari kemungkinan terjadinya sala | 29 % |
embantu dan memimpin perbincangan-perbincangan bebas tentang | masalah | yang bertalian dengan Islam. Melanjutkan alur pemikiran | 31 % |
ngaruhi preferensi publik (preference formation), jika suatu | masalah | dinilai laik untuk dirumuskan ke dalam kebijakan. Untuk pemb | 90 % |
i dipilih oleh rakyat tanpa kualifikasi teknis apapun. Dalam | masalah-masalah | pelik, majelis dapat meminta advis kepada para ahli. Undang- | 43 % |
, ijma’ berorientasi ke belakang: dalam kesepakatan ulama di | masa-masa | silam. Bahkan, di kalangan mazhab Islam tertentu, ijma’ diba | 16 % |
n. Dengan demikian, ijma’ lebih bersifat elitis. Selain itu, | masih | dalam konsepsi klasik, ijma’ berorientasi ke belakang: dalam | 15 % |
im berdasarkan sinaran perbedaan regional dan situasi sosial | masing-masing | negeri. Survei singkat di atas memperlihatkan bahwa ijma’ | 51 % |
salah tafsir terhadap sumber-sumber Islam, Iqbal menyetujui | masuknya | ulama ke dalam majelis untuk membantu dan memimpin perbincan | 30 % |
maan diletakkan pada konsensus (ijma’) atau putusan kolektif | masyarakat | muslim. Implikasinya, konsensus memainkan peran penting dala | 12 % |
hanya ‘ulama’ yang memiliki peran dalam mencapai konsensus. | masyarakat | pada umumnya tidak begitu diperhitungkan. Dengan demikian, i | 14 % |
an, Fazlur Rahman mengungkapkan kemungkinan baru ijma’ dalam | masyarakat | kontemporer. Baginya, ijtihad yang dihasilkan individu atau | 33 % |
Dengan demikian, ijma’ – yang merupakan konsensus mayoritas | masyarakat | – lebih bersifat dinamis, berorientasi ke depan, dan tidak m | 35 % |
bih mendekati kebenaran, terbuka sepenuhnya untuk meyakinkan | masyarakat | akan kebenaran gagasannya. Apabila masyarakat telah menerima | 37 % |
tuk meyakinkan masyarakat akan kebenaran gagasannya. Apabila | masyarakat | telah menerima gagasan minoritas secara mayoritas, opini itu | 38 % |
enggantikan ijma’ lama. Aktivitas untuk menggalang konsensus | masyarakat | ini, menurut Rahman, dirujuk al-Quran dengan terma syura. | 39 % |
juk al-Quran dengan terma syura. Pada level negara, ijma’ | masyarakat | akan ditempa atau dirumuskan ke dalam bentuk hukum dan perun | 40 % |
ataupun kolektif mendapat kesempatan untuk didengar sebelum | masyarakat | akhirnya secara konsensus atau mayoritas memilih yang diangg | 61 % |
gap laik. Ketika putusan mayoritas tercapai, seluruh anggota | masyarakat | – baik Muslim ataupun non Muslim – harus berupaya mengejawan | 62 % |
lingkungan umat Islam dan persatuan di antara berbagai unsur | masyarakat | tidak mungkin tercapai. Menurut al-Banna, anggapan semacam i | 69 % |
ali. Sebagaimana disinggung di atas, konsensus atau ijma’ | masyarakat | inilah yang kemudian diundangkan oleh lembaga perwakilan rak | 85 % |
salnya lewat pemilihan umum– tentunya merupakan representasi | masyarakat | yang menerjemahkan kepentingan masyarakat ke dalam kebijakan | 87 % |
pakan representasi masyarakat yang menerjemahkan kepentingan | masyarakat | ke dalam kebijakan-kebijakan yang koheren dan konsisten (pre | 87 % |
alah satu cara yang dapat ditempuh untuk membentuk konsensus | masyarakat | atau untuk menakar kesepakatan masyarakat mengenai suatu hal | 93 % |
embentuk konsensus masyarakat atau untuk menakar kesepakatan | masyarakat | mengenai suatu hal adalah melalui referendum. Ijma’, berdasa | 94 % |
mukakan, jelas bisa mengambil bentuk referendum. Partisipasi | masyarakat | yang luas dalam penentuan suatu kebijakan sangat bisa dihara | 95 % |
ang ketat. Dengan demikian, ijma’ – yang merupakan konsensus | mayoritas | masyarakat – lebih bersifat dinamis, berorientasi ke depan, | 35 % |
terdapat kemungkinan bagi pandangan minoritas untuk menjadi | mayoritas | melalui proses perdebatan. Rahman bahkan mengelaborasi k | 47 % |
isa memberikan pijakan yang efektif untuk menerima kekuasaan | mayoritas | (majority rule). Sejalan dengan ini, Louay M. Safi juga meng | 53 % |
k didengar sebelum masyarakat akhirnya secara konsensus atau | mayoritas | memilih yang dianggap laik. Ketika putusan mayoritas tercapa | 61 % |
us atau mayoritas memilih yang dianggap laik. Ketika putusan | mayoritas | tercapai, seluruh anggota masyarakat – baik Muslim ataupun n | 62 % |
menyetujui pandangan minoritas juga harus menerima keputusan | mayoritas | dan berupaya mengimplementasikannya sebagai suatu konsensus. | 64 % |
am kesepakatan ulama di masa-masa silam. Bahkan, di kalangan | mazhab | Islam tertentu, ijma’ dibatasi pada konsensus para sahabat N | 17 % |
bagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili | mazhab-mazhab | yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif per | 3 % |
bagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili | mazhab-mazhab | yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif per | 25 % |
nawarkan format institusi dan prosedur untuk menjalankannya. | mekanisme | ijma’ yang telah diuraikan juga memberikan kemungkinan delib | 58 % |
dan berupaya mengimplementasikannya sebagai suatu konsensus. | mekanisme | ijma’ semacam ini menggagaskan keterlibatan seluruh anggota | 65 % |
a pun yang percaya kepada monoteisme dan hari akhirat, serta | melakukan | perbuatan baik akan selamat. Dalam negara modern, seluruh wa | 78 % |
atau kelompok kerja akan mengkristal ke dalam ijma’ setelah | melalui | interaksi ide yang ketat. Dengan demikian, ijma’ – yang meru | 34 % |
kemungkinan bagi pandangan minoritas untuk menjadi mayoritas | melalui | proses perdebatan. Rahman bahkan mengelaborasi konsepnya | 48 % |
tuk menakar kesepakatan masyarakat mengenai suatu hal adalah | melalui | referendum. Ijma’, berdasarkan alur logika yang telah dikemu | 94 % |
bincangan bebas tentang masalah yang bertalian dengan Islam. | melanjutkan | alur pemikiran Iqbal, sarjana pemikir neo-modernis asal paki | 32 % |
gajuan rancangan undang-undang, serta cara-cara lainnya yang | melibatkan | masyarakat, penting dilakukan majelis. Aktivitas semacam ini | 91 % |
putusan kolektif masyarakat muslim. Implikasinya, konsensus | memainkan | peran penting dalam perkembangan Islam dan memberi andil yan | 12 % |
slam, Iqbal menyetujui masuknya ulama ke dalam majelis untuk | membantu | dan memimpin perbincangan-perbincangan bebas tentang masalah | 31 % |
telah menerima gagasan minoritas secara mayoritas, opini itu | membentuk | ijma’ baru dan menggantikan ijma’ lama. Aktivitas untuk meng | 38 % |
istilah syura. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk | membentuk | konsensus masyarakat atau untuk menakar kesepakatan masyarak | 93 % |
nsensus memainkan peran penting dalam perkembangan Islam dan | memberi | andil yang signifikan terhadap penafsirannya. Tetapi, da | 13 % |
kan majelis legislatif negeri-negeri Muslim. Tugasnya adalah | memberi | advis yang selanjutnya akan dirumuskan ke dalam undang-undan | 50 % |
an terutama pada prinsip ijma’. Dengan kata lain, ijma’ bisa | memberi | kemungkinan legitimasi demokrasi bagi kaum Muslimin dan mena | 57 % |
an Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak | memberikan | kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memili | 6 % |
an Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak | memberikan | kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memili | 28 % |
i. Survei singkat di atas memperlihatkan bahwa ijma’ bisa | memberikan | pijakan yang efektif untuk menerima kekuasaan mayoritas (maj | 52 % |
menjalankannya. Mekanisme ijma’ yang telah diuraikan juga | memberikan | kemungkinan deliberasi dan perdebatan publik, sehingga berba | 59 % |
sebelum masyarakat akhirnya secara konsensus atau mayoritas | memilih | yang dianggap laik. Ketika putusan mayoritas tercapai, selur | 61 % |
erikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali | memiliki | wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Oleh: Taufik Adna | 6 % |
ya. Tetapi, dalam konsep tradisional, hanya ‘ulama’ yang | memiliki | peran dalam mencapai konsensus. Masyarakat pada umumnya tida | 14 % |
ara sahabat Nabi. Ijma’ apapun yang datang setelah itu tidak | memiliki | nilai mengikat, terlebih lagi jika ia merativikasi doktrin y | 18 % |
erikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali | memiliki | wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Tetapi, untuk menghi | 29 % |
enyetujui masuknya ulama ke dalam majelis untuk membantu dan | memimpin | perbincangan-perbincangan bebas tentang masalah yang bertali | 31 % |
si teknis apapun. Dalam masalah-masalah pelik, majelis dapat | meminta | advis kepada para ahli. Undang-undang atau hukun yang diteta | 43 % |
tapi, sebagai himpunan orang terpilih, majelis ini juga bisa | mempengaruhi | preferensi publik (preference formation), jika suatu masalah | 89 % |
tuasi sosial masing-masing negeri. Survei singkat di atas | memperlihatkan | bahwa ijma’ bisa memberikan pijakan yang efektif untuk mener | 52 % |
pat ditempuh untuk membentuk konsensus masyarakat atau untuk | menakar | kesepakatan masyarakat mengenai suatu hal adalah melalui ref | 93 % |
beri kemungkinan legitimasi demokrasi bagi kaum Muslimin dan | menawarkan | format institusi dan prosedur untuk menjalankannya. Mekan | 58 % |
konsep tradisional, hanya ‘ulama’ yang memiliki peran dalam | mencapai | konsensus. Masyarakat pada umumnya tidak begitu diperhitungk | 14 % |
isa saja benar atau keliru. Tetapi, sepanjang hukum tersebut | mencerminkan | kehendak masyarakat, ia tetap bersifat islami dan demokratis | 45 % |
rkembang dan dikembangkan secara individual ataupun kolektif | mendapat | kesempatan untuk didengar sebelum masyarakat akhirnya secara | 60 % |
monolitik. Golongan minoritas yang merasa ijtihad-nya lebih | mendekati | kebenaran, terbuka sepenuhnya untuk meyakinkan masyarakat ak | 37 % |
si sakral dan religius. Senada dengan itu, Fazlur Rahman | menekankan | sikap anti-eksklusivisme Islam sehubungan dengan komunitas-k | 75 % |
syarakat akan kebenaran gagasannya. Apabila masyarakat telah | menerima | gagasan minoritas secara mayoritas, opini itu membentuk ijma | 38 % |
atkan bahwa ijma’ bisa memberikan pijakan yang efektif untuk | menerima | kekuasaan mayoritas (majority rule). Sejalan dengan ini, Lou | 53 % |
pengikut atau yang menyetujui pandangan minoritas juga harus | menerima | keputusan mayoritas dan berupaya mengimplementasikannya seba | 64 % |
ilihan umum– tentunya merupakan representasi masyarakat yang | menerjemahkan | kepentingan masyarakat ke dalam kebijakan-kebijakan yang koh | 87 % |
, berdasarkan alur logika yang telah dikemukakan, jelas bisa | mengambil | bentuk referendum. Partisipasi masyarakat yang luas dalam pe | 95 % |
na, dalam risalah Nahwa an-Nur (1936), mensinyalir ada orang | menganggap | bahwa dengan menjadikan Islam sebagai landasan kehidupan, ma | 67 % |
masyarakat – baik Muslim ataupun non Muslim – harus berupaya | mengejawantahkannya | ke dalam praktik. Penggagas, pengikut atau yang menyetujui p | 63 % |
njadi mayoritas melalui proses perdebatan. Rahman bahkan | mengelaborasi | konsepnya tentang lembaga syura-ijma’ ini ke dalam suatu maj | 48 % |
’ Kontemporer Pada periode modern, pemikir-pemikir Muslim | mengembangkan | konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras d | 1 % |
ingkat lokal. Pada periode modern, pemikir-pemikir Muslim | mengembangkan | konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras d | 23 % |
itas (majority rule). Sejalan dengan ini, Louay M. Safi juga | mengemukakan | bahwa legitimasi negara tergantung pada sampai sejauh mana o | 54 % |
nsensus masyarakat atau untuk menakar kesepakatan masyarakat | mengenai | suatu hal adalah melalui referendum. Ijma’, berdasarkan alur | 94 % |
nnya sebagai suatu konsensus. Mekanisme ijma’ semacam ini | menggagaskan | keterlibatan seluruh anggota masyarakat, termasuk bukan musl | 65 % |
ntuk ijma’ baru dan menggantikan ijma’ lama. Aktivitas untuk | menggalang | konsensus masyarakat ini, menurut Rahman, dirujuk al-Quran d | 39 % |
noritas secara mayoritas, opini itu membentuk ijma’ baru dan | menggantikan | ijma’ lama. Aktivitas untuk menggalang konsensus masyarakat | 39 % |
miliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Tetapi, untuk | menghindari | kemungkinan terjadinya salah tafsir terhadap sumber-sumber I | 29 % |
kekeliruan. Berpijak pada hadits inilah otoritas ijma’ yang | mengikat | itu disandarkan. Bahkan, di kalangan Sunni, otoritas final u | 10 % |
dalam komunitas tersebut, berdasarkan prinsip mayoritas, ia | mengikat | seluruh anggotanya tanpa kecuali. Sebagaimana disinggung | 84 % |
noritas juga harus menerima keputusan mayoritas dan berupaya | mengimplementasikannya | sebagai suatu konsensus. Mekanisme ijma’ semacam ini meng | 64 % |
a, ijtihad yang dihasilkan individu atau kelompok kerja akan | mengkristal | ke dalam ijma’ setelah melalui interaksi ide yang ketat. Den | 34 % |
proses pencapaian konsensus. Karena itu, ketika suatu ijma’ | mengkristal | atau berhasil dicapai dalam komunitas tersebut, berdasarkan | 83 % |
Islam terhadap minoritas nonmuslim. Agama Islam, menurutnya, | mengkuduskan | kesatuan kemanusiaan umum (al-wahdah al-insaniyyah al-’ammah | 71 % |
ntasikan ijma’ masyarakat. Selain itu, ada kemungkinan untuk | mengubah | konsensus tersebut, karena secara potensial selalu terdapat | 46 % |
ang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya, | mengungkapkan | gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad | 2 % |
ang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya, | mengungkapkan | gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad | 24 % |
l, sarjana pemikir neo-modernis asal pakistan, Fazlur Rahman | mengungkapkan | kemungkinan baru ijma’ dalam masyarakat kontemporer. Baginya | 33 % |
t al-Quran (2:62 dan 5:69), yang – menurut tafsiran Rahman – | mengungkapkan | siapa pun yang percaya kepada monoteisme dan hari akhirat, s | 77 % |
menilik | Model Ijma’ Kontemporer Pada periode modern, pemikir-pem | 0 % | |
plementasi prinsip-prinsip ini, menurut al-Banna, tidak akan | menimbulkan | perpecahan, malahan menjadikan persatuan berdimensi sakral d | 74 % |
Adnan Amal Konsensus atau ijma’ selama berabad-abad telah | menjadi | validasi terpenting berbagai keputusan di dalam Islam, khusu | 8 % |
l selalu terdapat kemungkinan bagi pandangan minoritas untuk | menjadi | mayoritas melalui proses perdebatan. Rahman bahkan menge | 47 % |
an-Nur (1936), mensinyalir ada orang menganggap bahwa dengan | menjadikan | Islam sebagai landasan kehidupan, maka hal ini berarti minor | 68 % |
menurut al-Banna, tidak akan menimbulkan perpecahan, malahan | menjadikan | persatuan berdimensi sakral dan religius. Senada dengan | 74 % |
hal ini. Hasan al-Banna, dalam risalah Nahwa an-Nur (1936), | mensinyalir | ada orang menganggap bahwa dengan menjadikan Islam sebagai l | 67 % |
legislatif permanen” atau majelis perwakilan rakyat. Dengan | mentransfer | ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggota | 4 % |
islatif permanen” atau majelis perwakilan rakyat. Dengan | mentransfer | ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggota | 26 % |
’ lama. Aktivitas untuk menggalang konsensus masyarakat ini, | menurut | Rahman, dirujuk al-Quran dengan terma syura. Pada level n | 39 % |
di antara berbagai unsur masyarakat tidak mungkin tercapai. | menurut | al-Banna, anggapan semacam itu berseberangan dengan prinsip | 70 % |
h al-diniyyah al-khassah). Implementasi prinsip-prinsip ini, | menurut | al-Banna, tidak akan menimbulkan perpecahan, malahan menjadi | 74 % |
, berdasarkan sejumlah ayat al-Quran (2:62 dan 5:69), yang – | menurut | tafsiran Rahman – mengungkapkan siapa pun yang percaya kepad | 77 % |
pis, karena tidak ada kesepakatan umat Islam yang bulat atau | menyeluruh | sepanjang sejarah Islam. Yang ada hanyalah kesepakatan mayor | 21 % |
gan kesarjanaan Muslim yang dikemukakan di atas dengan jelas | menyepakati | kesetaraan warga negara – baik Muslim atau nonmuslim – serta | 81 % |
terjadinya salah tafsir terhadap sumber-sumber Islam, Iqbal | menyetujui | masuknya ulama ke dalam majelis untuk membantu dan memimpin | 30 % |
wantahkannya ke dalam praktik. Penggagas, pengikut atau yang | menyetujui | pandangan minoritas juga harus menerima keputusan mayoritas | 63 % |
ntasi ke depan, dan tidak monolitik. Golongan minoritas yang | merasa | ijtihad-nya lebih mendekati kebenaran, terbuka sepenuhnya un | 36 % |
lah itu tidak memiliki nilai mengikat, terlebih lagi jika ia | merativikasi | doktrin yang bertentangan dengan tradisi salaf. Gagasan i | 18 % |
ga merupakan bentuk lain dari perluasan konsep ijma’. Dengan | merativikasi | konvensi semacam itu, negara muslim tersebut terikat kesepak | 98 % |
tung pada sampai sejauh mana organisasi dan kekuasaan negara | merefleksikan | kehendak masyarakat, karena – seperti ditegaskan para yuris | 55 % |
k masyarakat, ia tetap bersifat islami dan demokratis karena | merepresentasikan | ijma’ masyarakat. Selain itu, ada kemungkinan untuk mengubah | 45 % |
alui interaksi ide yang ketat. Dengan demikian, ijma’ – yang | merupakan | konsensus mayoritas masyarakat – lebih bersifat dinamis, ber | 35 % |
m ini –yang dibentuk misalnya lewat pemilihan umum– tentunya | merupakan | representasi masyarakat yang menerjemahkan kepentingan masya | 87 % |
si-konvensi yang telah dirativikasi suatu negara muslim juga | merupakan | bentuk lain dari perluasan konsep ijma’. Dengan merativikasi | 98 % |
ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang | mewakili | mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi | 3 % |
ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang | mewakili | mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi | 25 % |
ihad-nya lebih mendekati kebenaran, terbuka sepenuhnya untuk | meyakinkan | masyarakat akan kebenaran gagasannya. Apabila masyarakat tel | 37 % |
inamis, berorientasi ke depan, dan tidak monolitik. Golongan | minoritas | yang merasa ijtihad-nya lebih mendekati kebenaran, terbuka s | 36 % |
enaran gagasannya. Apabila masyarakat telah menerima gagasan | minoritas | secara mayoritas, opini itu membentuk ijma’ baru dan menggan | 38 % |
secara potensial selalu terdapat kemungkinan bagi pandangan | minoritas | untuk menjadi mayoritas melalui proses perdebatan. Rahma | 47 % |
praktik. Penggagas, pengikut atau yang menyetujui pandangan | minoritas | juga harus menerima keputusan mayoritas dan berupaya mengimp | 64 % |
dikan Islam sebagai landasan kehidupan, maka hal ini berarti | minoritas | nonmuslim tidak dapat hidup di lingkungan umat Islam dan per | 68 % |
rangan dengan prinsip persamaan dan pengakuan Islam terhadap | minoritas | nonmuslim. Agama Islam, menurutnya, mengkuduskan kesatuan ke | 71 % |
gkat lokal atau nasional. Majelis semacam ini –yang dibentuk | misalnya | lewat pemilihan umum– tentunya merupakan representasi masyar | 86 % |
Menilik | model | Ijma’ Kontemporer Pada periode modern, pemikir-pemikir Mu | 0 % |
afsiran Rahman – mengungkapkan siapa pun yang percaya kepada | monoteisme | dan hari akhirat, serta melakukan perbuatan baik akan selama | 78 % |
erbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern. | muhammad | Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma’ seba | 2 % |
keputusan di dalam Islam, khususnya di kalangan Sunni. Nabi | muhammad | dikabarkan pernah bersabda: Umatku tidak akan bersepakat dal | 9 % |
erbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern. | muhammad | Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma’ seba | 24 % |
slam dan persatuan di antara berbagai unsur masyarakat tidak | mungkin | tercapai. Menurut al-Banna, anggapan semacam itu berseberang | 70 % |
el Ijma’ Kontemporer Pada periode modern, pemikir-pemikir | muslim | mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru | 1 % |
ihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan | muslim | awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberika | 5 % |
an di tingkat lokal. Pada periode modern, pemikir-pemikir | muslim | mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru | 23 % |
ihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan | muslim | awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberika | 27 % |
n ke dalam undang-undang oleh majelis nasional negeri-negeri | muslim | berdasarkan sinaran perbedaan regional dan situasi sosial ma | 51 % |
utusan mayoritas tercapai, seluruh anggota masyarakat – baik | muslim | ataupun non Muslim – harus berupaya mengejawantahkannya ke d | 62 % |
rcapai, seluruh anggota masyarakat – baik Muslim ataupun non | muslim | – harus berupaya mengejawantahkannya ke dalam praktik. Pengg | 63 % |
satu sama lain, tanpa diskriminasi antara sesama warga, baik | muslim | atau bukan Muslim. Pandangan-pandangan kesarjanaan Muslim | 80 % |
Muslim atau bukan Muslim. Pandangan-pandangan kesarjanaan | muslim | yang dikemukakan di atas dengan jelas menyepakati kesetaraan | 80 % |
atas dengan jelas menyepakati kesetaraan warga negara – baik | muslim | atau nonmuslim – serta persamaan hak dan kewajibannya, terma | 81 % |
onal, konvensi-konvensi yang telah dirativikasi suatu negara | muslim | juga merupakan bentuk lain dari perluasan konsep ijma’. Deng | 98 % |
nsep ijma’. Dengan merativikasi konvensi semacam itu, negara | muslim | tersebut terikat kesepakatan atau ber-ijma’ untuk melaksanak | 99 % |
leh al-Ghazali. Bagi keduanya, ijma’ adalah kesepakatan kaum | muslimin | secara menyeluruh. Gagasan ini jelas bersifat utopis, karena | 20 % |
jma’ bisa memberi kemungkinan legitimasi demokrasi bagi kaum | muslimin | dan menawarkan format institusi dan prosedur untuk menjalank | 58 % |
bagai keputusan di dalam Islam, khususnya di kalangan Sunni. | nabi | Muhammad dikabarkan pernah bersabda: Umatku tidak akan berse | 9 % |
k ada yang aneh dalam hal ini. Hasan al-Banna, dalam risalah | nahwa | an-Nur (1936), mensinyalir ada orang menganggap bahwa dengan | 67 % |
anjutnya akan dirumuskan ke dalam undang-undang oleh majelis | nasional | negeri-negeri Muslim berdasarkan sinaran perbedaan regional | 51 % |
dengan ini, Louay M. Safi juga mengemukakan bahwa legitimasi | negara | tergantung pada sampai sejauh mana organisasi dan kekuasaan | 54 % |
tergantung pada sampai sejauh mana organisasi dan kekuasaan | negara | merefleksikan kehendak masyarakat, karena – seperti ditegask | 55 % |
seperti ditegaskan para yuris klasik – legitimasi institusi | negara | tidak terambil dari sumber-sumber tekstual, tetapi didasarka | 56 % |
akhirat, serta melakukan perbuatan baik akan selamat. Dalam | negara | modern, seluruh warga negara harus dipandang setara satu sam | 79 % |
buatan baik akan selamat. Dalam negara modern, seluruh warga | negara | harus dipandang setara satu sama lain, tanpa diskriminasi an | 79 % |
ikemukakan di atas dengan jelas menyepakati kesetaraan warga | negara | – baik Muslim atau nonmuslim – serta persamaan hak dan kewaj | 81 % |
ternasional, konvensi-konvensi yang telah dirativikasi suatu | negara | muslim juga merupakan bentuk lain dari perluasan konsep ijma | 97 % |
asan konsep ijma’. Dengan merativikasi konvensi semacam itu, | negara | muslim tersebut terikat kesepakatan atau ber-ijma’ untuk mel | 99 % |
majelis internasional yang beranggotakan majelis legislatif | negeri-negeri | Muslim. Tugasnya adalah memberi advis yang selanjutnya akan | 49 % |
akan dirumuskan ke dalam undang-undang oleh majelis nasional | negeri-negeri | Muslim berdasarkan sinaran perbedaan regional dan situasi so | 51 % |
Islam. Melanjutkan alur pemikiran Iqbal, sarjana pemikir | neo-modernis | asal pakistan, Fazlur Rahman mengungkapkan kemungkinan baru | 32 % |
at Nabi. Ijma’ apapun yang datang setelah itu tidak memiliki | nilai | mengikat, terlebih lagi jika ia merativikasi doktrin yang be | 18 % |
s tercapai, seluruh anggota masyarakat – baik Muslim ataupun | non | Muslim – harus berupaya mengejawantahkannya ke dalam praktik | 62 % |
m sebagai landasan kehidupan, maka hal ini berarti minoritas | nonmuslim | tidak dapat hidup di lingkungan umat Islam dan persatuan di | 68 % |
jelas menyepakati kesetaraan warga negara – baik Muslim atau | nonmuslim | – serta persamaan hak dan kewajibannya, termasuk dalam prose | 81 % |
n ijma’ yang agak luas dikemukakan al-Syafi’i dan belakangan | oleh | al-Ghazali. Bagi keduanya, ijma’ adalah kesepakatan kaum Mus | 20 % |
atau dirumuskan ke dalam bentuk hukum dan perundang-undangan | oleh | lembaga legislatif, yang disebut Rahman sebagai lembaga syur | 41 % |
aga syura-ijma’. Dalam pandangan Rahman, majelis ini dipilih | oleh | rakyat tanpa kualifikasi teknis apapun. Dalam masalah-masala | 42 % |
dvis yang selanjutnya akan dirumuskan ke dalam undang-undang | oleh | majelis nasional negeri-negeri Muslim berdasarkan sinaran pe | 50 % |
ensus atau ijma’ masyarakat inilah yang kemudian diundangkan | oleh | lembaga perwakilan rakyat di tingkat lokal atau nasional. Ma | 85 % |
ad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. | oleh: | Taufik Adnan Amal Konsensus atau ijma’ selama berabad-aba | 7 % |
asyarakat telah menerima gagasan minoritas secara mayoritas, | opini | itu membentuk ijma’ baru dan menggantikan ijma’ lama. Aktivi | 38 % |
al-Banna, dalam risalah Nahwa an-Nur (1936), mensinyalir ada | orang | menganggap bahwa dengan menjadikan Islam sebagai landasan ke | 67 % |
sisten (preference representation). Tetapi, sebagai himpunan | orang | terpilih, majelis ini juga bisa mempengaruhi preferensi publ | 88 % |
n bahwa legitimasi negara tergantung pada sampai sejauh mana | organisasi | dan kekuasaan negara merefleksikan kehendak masyarakat, kare | 54 % |
kan bersepakat dalam kekeliruan. Berpijak pada hadits inilah | otoritas | ijma’ yang mengikat itu disandarkan. Bahkan, di kalangan Sun | 10 % |
a’ yang mengikat itu disandarkan. Bahkan, di kalangan Sunni, | otoritas | final untuk penafsiran keagamaan diletakkan pada konsensus ( | 11 % |
Menilik Model Ijma’ Kontemporer | pada | periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep | 0 % |
bda: Umatku tidak akan bersepakat dalam kekeliruan. Berpijak | pada | hadits inilah otoritas ijma’ yang mengikat itu disandarkan. | 10 % |
Sunni, otoritas final untuk penafsiran keagamaan diletakkan | pada | konsensus (ijma’) atau putusan kolektif masyarakat muslim. I | 11 % |
ma’ yang memiliki peran dalam mencapai konsensus. Masyarakat | pada | umumnya tidak begitu diperhitungkan. Dengan demikian, ijma’ | 14 % |
m. Bahkan, di kalangan mazhab Islam tertentu, ijma’ dibatasi | pada | konsensus para sahabat Nabi. Ijma’ apapun yang datang setela | 17 % |
ada hanyalah kesepakatan mayoritas, bahkan di tingkat lokal. | pada | periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep | 22 % |
at ini, menurut Rahman, dirujuk al-Quran dengan terma syura. | pada | level negara, ijma’ masyarakat akan ditempa atau dirumuskan | 40 % |
M. Safi juga mengemukakan bahwa legitimasi negara tergantung | pada | sampai sejauh mana organisasi dan kekuasaan negara merefleks | 54 % |
mbil dari sumber-sumber tekstual, tetapi didasarkan terutama | pada | prinsip ijma’. Dengan kata lain, ijma’ bisa memberi kemungki | 57 % |
ngat bisa diharapkan dalam implementasi ijma’-referendum ini | pada | level regional atau internasional, konvensi-konvensi yang te | 97 % |
an deliberasi dan perdebatan publik, sehingga berbagai sudut | pandang | yang berkembang dan dikembangkan secara individual ataupun k | 60 % |
atif, yang disebut Rahman sebagai lembaga syura-ijma’. Dalam | pandangan | Rahman, majelis ini dipilih oleh rakyat tanpa kualifikasi te | 42 % |
ut, karena secara potensial selalu terdapat kemungkinan bagi | pandangan | minoritas untuk menjadi mayoritas melalui proses perdebatan. | 47 % |
a ke dalam praktik. Penggagas, pengikut atau yang menyetujui | pandangan | minoritas juga harus menerima keputusan mayoritas dan berupa | 64 % |
riminasi antara sesama warga, baik Muslim atau bukan Muslim. | pandangan-pandangan | kesarjanaan Muslim yang dikemukakan di atas dengan jelas men | 80 % |
alangan mazhab Islam tertentu, ijma’ dibatasi pada konsensus | para | sahabat Nabi. Ijma’ apapun yang datang setelah itu tidak mem | 17 % |
am masalah-masalah pelik, majelis dapat meminta advis kepada | para | ahli. Undang-undang atau hukun yang ditetapkan majelis bisa | 43 % |
refleksikan kehendak masyarakat, karena – seperti ditegaskan | para | yuris klasik – legitimasi institusi negara tidak terambil da | 55 % |
g telah dikemukakan, jelas bisa mengambil bentuk referendum. | partisipasi | masyarakat yang luas dalam penentuan suatu kebijakan sangat | 95 % |
, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk | pelaksanaan | ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah h | 6 % |
, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk | pelaksanaan | ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah h | 28 % |
alah dinilai laik untuk dirumuskan ke dalam kebijakan. Untuk | pembentukan | preferensi ini, deliberasi, advokasi, pengajuan rancangan un | 90 % |
dengan Islam. Melanjutkan alur pemikiran Iqbal, sarjana | pemikir | neo-modernis asal pakistan, Fazlur Rahman mengungkapkan kemu | 32 % |
ng masalah yang bertalian dengan Islam. Melanjutkan alur | pemikiran | Iqbal, sarjana pemikir neo-modernis asal pakistan, Fazlur Ra | 32 % |
Menilik Model Ijma’ Kontemporer Pada periode modern, | pemikir-pemikir | Muslim mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkina | 1 % |
mayoritas, bahkan di tingkat lokal. Pada periode modern, | pemikir-pemikir | Muslim mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkina | 23 % |
nasional. Majelis semacam ini –yang dibentuk misalnya lewat | pemilihan | umum– tentunya merupakan representasi masyarakat yang menerj | 86 % |
disandarkan. Bahkan, di kalangan Sunni, otoritas final untuk | penafsiran | keagamaan diletakkan pada konsensus (ijma’) atau putusan kol | 11 % |
serta persamaan hak dan kewajibannya, termasuk dalam proses | pencapaian | konsensus. Karena itu, ketika suatu ijma’ mengkristal atau b | 82 % |
il bentuk referendum. Partisipasi masyarakat yang luas dalam | penentuan | suatu kebijakan sangat bisa diharapkan dalam implementasi ij | 96 % |
kan. Untuk pembentukan preferensi ini, deliberasi, advokasi, | pengajuan | rancangan undang-undang, serta cara-cara lainnya yang meliba | 91 % |
gapan semacam itu berseberangan dengan prinsip persamaan dan | pengakuan | Islam terhadap minoritas nonmuslim. Agama Islam, menurutnya, | 71 % |
uruh anggota masyarakat, termasuk bukan muslim, dalam proses | pengambilan | keputusan. Tidak ada yang aneh dalam hal ini. Hasan al-Banna | 66 % |
us berupaya mengejawantahkannya ke dalam praktik. Penggagas, | pengikut | atau yang menyetujui pandangan minoritas juga harus menerima | 63 % |
f masyarakat muslim. Implikasinya, konsensus memainkan peran | penting | dalam perkembangan Islam dan memberi andil yang signifikan t | 12 % |
-undang, serta cara-cara lainnya yang melibatkan masyarakat, | penting | dilakukan majelis. Aktivitas semacam inilah yang dimaknai Ra | 92 % |
olektif masyarakat muslim. Implikasinya, konsensus memainkan | peran | penting dalam perkembangan Islam dan memberi andil yang sign | 12 % |
etapi, dalam konsep tradisional, hanya ‘ulama’ yang memiliki | peran | dalam mencapai konsensus. Masyarakat pada umumnya tidak begi | 14 % |
eh majelis nasional negeri-negeri Muslim berdasarkan sinaran | perbedaan | regional dan situasi sosial masing-masing negeri. Survei | 51 % |
masuknya ulama ke dalam majelis untuk membantu dan memimpin | perbincangan-perbincangan | bebas tentang masalah yang bertalian dengan Islam. Melan | 31 % |
percaya kepada monoteisme dan hari akhirat, serta melakukan | perbuatan | baik akan selamat. Dalam negara modern, seluruh warga negara | 78 % |
ang – menurut tafsiran Rahman – mengungkapkan siapa pun yang | percaya | kepada monoteisme dan hari akhirat, serta melakukan perbuata | 78 % |
g telah diuraikan juga memberikan kemungkinan deliberasi dan | perdebatan | publik, sehingga berbagai sudut pandang yang berkembang dan | 59 % |
Menilik Model Ijma’ Kontemporer Pada | periode | modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma’ de | 0 % |
alah kesepakatan mayoritas, bahkan di tingkat lokal. Pada | periode | modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma’ de | 22 % |
uslim. Implikasinya, konsensus memainkan peran penting dalam | perkembangan | Islam dan memberi andil yang signifikan terhadap penafsirann | 12 % |
tivikasi suatu negara muslim juga merupakan bentuk lain dari | perluasan | konsep ijma’. Dengan merativikasi konvensi semacam itu, nega | 98 % |
hab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif | permanen” | atau majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtihad k | 4 % |
hab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif | permanen” | atau majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtih | 26 % |
Islam, khususnya di kalangan Sunni. Nabi Muhammad dikabarkan | pernah | bersabda: Umatku tidak akan bersepakat dalam kekeliruan. Ber | 9 % |
al-Banna, anggapan semacam itu berseberangan dengan prinsip | persamaan | dan pengakuan Islam terhadap minoritas nonmuslim. Agama Isla | 70 % |
kesetaraan warga negara – baik Muslim atau nonmuslim – serta | persamaan | hak dan kewajibannya, termasuk dalam proses pencapaian konse | 82 % |
tas nonmuslim tidak dapat hidup di lingkungan umat Islam dan | persatuan | di antara berbagai unsur masyarakat tidak mungkin tercapai. | 69 % |
Banna, tidak akan menimbulkan perpecahan, malahan menjadikan | persatuan | berdimensi sakral dan religius. Senada dengan itu, Fazlu | 75 % |
rakat akan ditempa atau dirumuskan ke dalam bentuk hukum dan | perundang-undangan | oleh lembaga legislatif, yang disebut Rahman sebagai lembaga | 41 % |
ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis | perwakilan | rakyat. Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif | 4 % |
ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis | perwakilan | rakyat. Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legisl | 26 % |
ma’ masyarakat inilah yang kemudian diundangkan oleh lembaga | perwakilan | rakyat di tingkat lokal atau nasional. Majelis semacam ini – | 85 % |
i singkat di atas memperlihatkan bahwa ijma’ bisa memberikan | pijakan | yang efektif untuk menerima kekuasaan mayoritas (majority ru | 52 % |
kemungkinan untuk mengubah konsensus tersebut, karena secara | potensial | selalu terdapat kemungkinan bagi pandangan minoritas untuk m | 47 % |
himpunan orang terpilih, majelis ini juga bisa mempengaruhi | preferensi | publik (preference formation), jika suatu masalah dinilai la | 89 % |
laik untuk dirumuskan ke dalam kebijakan. Untuk pembentukan | preferensi | ini, deliberasi, advokasi, pengajuan rancangan undang-undang | 90 % |
dari sumber-sumber tekstual, tetapi didasarkan terutama pada | prinsip | ijma’. Dengan kata lain, ijma’ bisa memberi kemungkinan legi | 57 % |
Menurut al-Banna, anggapan semacam itu berseberangan dengan | prinsip | persamaan dan pengakuan Islam terhadap minoritas nonmuslim. | 70 % |
atau berhasil dicapai dalam komunitas tersebut, berdasarkan | prinsip | mayoritas, ia mengikat seluruh anggotanya tanpa kecuali. | 83 % |
umat Islam (al-wahdah al-diniyyah al-khassah). Implementasi | prinsip-prinsip | ini, menurut al-Banna, tidak akan menimbulkan perpecahan, ma | 74 % |
krasi bagi kaum Muslimin dan menawarkan format institusi dan | prosedur | untuk menjalankannya. Mekanisme ijma’ yang telah diuraika | 58 % |
nan bagi pandangan minoritas untuk menjadi mayoritas melalui | proses | perdebatan. Rahman bahkan mengelaborasi konsepnya tentan | 48 % |
tan seluruh anggota masyarakat, termasuk bukan muslim, dalam | proses | pengambilan keputusan. Tidak ada yang aneh dalam hal ini. Ha | 66 % |
uslim – serta persamaan hak dan kewajibannya, termasuk dalam | proses | pencapaian konsensus. Karena itu, ketika suatu ijma’ mengkri | 82 % |
rang terpilih, majelis ini juga bisa mempengaruhi preferensi | publik | (preference formation), jika suatu masalah dinilai laik untu | 89 % |
5:69), yang – menurut tafsiran Rahman – mengungkapkan siapa | pun | yang percaya kepada monoteisme dan hari akhirat, serta melak | 77 % |
penafsiran keagamaan diletakkan pada konsensus (ijma’) atau | putusan | kolektif masyarakat muslim. Implikasinya, konsensus memainka | 11 % |
konsensus atau mayoritas memilih yang dianggap laik. Ketika | putusan | mayoritas tercapai, seluruh anggota masyarakat – baik Muslim | 62 % |
an Iqbal, sarjana pemikir neo-modernis asal pakistan, Fazlur | rahman | mengungkapkan kemungkinan baru ijma’ dalam masyarakat kontem | 32 % |
dan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang disebut | rahman | sebagai lembaga syura-ijma’. Dalam pandangan Rahman, majelis | 41 % |
minoritas untuk menjadi mayoritas melalui proses perdebatan. | rahman | bahkan mengelaborasi konsepnya tentang lembaga syura-ijma’ i | 48 % |
erdimensi sakral dan religius. Senada dengan itu, Fazlur | rahman | menekankan sikap anti-eksklusivisme Islam sehubungan dengan | 75 % |
umlah ayat al-Quran (2:62 dan 5:69), yang – menurut tafsiran | rahman | – mengungkapkan siapa pun yang percaya kepada monoteisme dan | 77 % |
ng dilakukan majelis. Aktivitas semacam inilah yang dimaknai | rahman | dengan istilah syura. Salah satu cara yang dapat ditempuh | 92 % |
yura-ijma’. Dalam pandangan Rahman, majelis ini dipilih oleh | rakyat | tanpa kualifikasi teknis apapun. Dalam masalah-masalah pelik | 42 % |
kat inilah yang kemudian diundangkan oleh lembaga perwakilan | rakyat | di tingkat lokal atau nasional. Majelis semacam ini –yang di | 85 % |
pembentukan preferensi ini, deliberasi, advokasi, pengajuan | rancangan | undang-undang, serta cara-cara lainnya yang melibatkan masya | 91 % |
nasional negeri-negeri Muslim berdasarkan sinaran perbedaan | regional | dan situasi sosial masing-masing negeri. Survei singkat d | 51 % |
rapkan dalam implementasi ijma’-referendum ini Pada level | regional | atau internasional, konvensi-konvensi yang telah dirativikas | 97 % |
g dibentuk misalnya lewat pemilihan umum– tentunya merupakan | representasi | masyarakat yang menerjemahkan kepentingan masyarakat ke dala | 87 % |
an. Tidak ada yang aneh dalam hal ini. Hasan al-Banna, dalam | risalah | Nahwa an-Nur (1936), mensinyalir ada orang menganggap bahwa | 67 % |
saan mayoritas (majority rule). Sejalan dengan ini, Louay M. | safi | juga mengemukakan bahwa legitimasi negara tergantung pada sa | 53 % |
an mazhab Islam tertentu, ijma’ dibatasi pada konsensus para | sahabat | Nabi. Ijma’ apapun yang datang setelah itu tidak memiliki ni | 17 % |
gan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa | saja | beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu | 5 % |
beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu | saja | tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtiha | 6 % |
gan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa | saja | beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu | 27 % |
beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu | saja | tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtiha | 28 % |
ahli. Undang-undang atau hukun yang ditetapkan majelis bisa | saja | benar atau keliru. Tetapi, sepanjang hukum tersebut mencermi | 44 % |
imbulkan perpecahan, malahan menjadikan persatuan berdimensi | sakral | dan religius. Senada dengan itu, Fazlur Rahman menekanka | 75 % |
alah hukum. Tetapi, untuk menghindari kemungkinan terjadinya | salah | tafsir terhadap sumber-sumber Islam, Iqbal menyetujui masukn | 30 % |
as semacam inilah yang dimaknai Rahman dengan istilah syura. | salah | satu cara yang dapat ditempuh untuk membentuk konsensus masy | 93 % |
ara modern, seluruh warga negara harus dipandang setara satu | sama | lain, tanpa diskriminasi antara sesama warga, baik Muslim at | 79 % |
fi juga mengemukakan bahwa legitimasi negara tergantung pada | sampai | sejauh mana organisasi dan kekuasaan negara merefleksikan ke | 54 % |
isipasi masyarakat yang luas dalam penentuan suatu kebijakan | sangat | bisa diharapkan dalam implementasi ijma’-referendum ini P | 96 % |
ertalian dengan Islam. Melanjutkan alur pemikiran Iqbal, | sarjana | pemikir neo-modernis asal pakistan, Fazlur Rahman mengungkap | 32 % |
m negara modern, seluruh warga negara harus dipandang setara | satu | sama lain, tanpa diskriminasi antara sesama warga, baik Musl | 79 % |
m inilah yang dimaknai Rahman dengan istilah syura. Salah | satu | cara yang dapat ditempuh untuk membentuk konsensus masyaraka | 93 % |
mmad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma’ | sebagai | transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazha | 2 % |
mmad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma’ | sebagai | transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazha | 25 % |
undang-undangan oleh lembaga legislatif, yang disebut Rahman | sebagai | lembaga syura-ijma’. Dalam pandangan Rahman, majelis ini dip | 42 % |
rima keputusan mayoritas dan berupaya mengimplementasikannya | sebagai | suatu konsensus. Mekanisme ijma’ semacam ini menggagaskan | 65 % |
nsinyalir ada orang menganggap bahwa dengan menjadikan Islam | sebagai | landasan kehidupan, maka hal ini berarti minoritas nonmuslim | 68 % |
g koheren dan konsisten (preference representation). Tetapi, | sebagai | himpunan orang terpilih, majelis ini juga bisa mempengaruhi | 88 % |
sip mayoritas, ia mengikat seluruh anggotanya tanpa kecuali. | sebagaimana | disinggung di atas, konsensus atau ijma’ masyarakat inilah y | 84 % |
dividual ataupun kolektif mendapat kesempatan untuk didengar | sebelum | masyarakat akhirnya secara konsensus atau mayoritas memilih | 61 % |
azali. Bagi keduanya, ijma’ adalah kesepakatan kaum Muslimin | secara | menyeluruh. Gagasan ini jelas bersifat utopis, karena tidak | 20 % |
asannya. Apabila masyarakat telah menerima gagasan minoritas | secara | mayoritas, opini itu membentuk ijma’ baru dan menggantikan i | 38 % |
u, ada kemungkinan untuk mengubah konsensus tersebut, karena | secara | potensial selalu terdapat kemungkinan bagi pandangan minorit | 47 % |
ngga berbagai sudut pandang yang berkembang dan dikembangkan | secara | individual ataupun kolektif mendapat kesempatan untuk dideng | 60 % |
ndapat kesempatan untuk didengar sebelum masyarakat akhirnya | secara | konsensus atau mayoritas memilih yang dianggap laik. Ketika | 61 % |
uga memberikan kemungkinan deliberasi dan perdebatan publik, | sehingga | berbagai sudut pandang yang berkembang dan dikembangkan seca | 59 % |
itu, Fazlur Rahman menekankan sikap anti-eksklusivisme Islam | sehubungan | dengan komunitas-komunitas keagamaan lainnya, berdasarkan se | 76 % |
efektif untuk menerima kekuasaan mayoritas (majority rule). | sejalan | dengan ini, Louay M. Safi juga mengemukakan bahwa legitimasi | 53 % |
kesepakatan umat Islam yang bulat atau menyeluruh sepanjang | sejarah | Islam. Yang ada hanyalah kesepakatan mayoritas, bahkan di ti | 22 % |
mengemukakan bahwa legitimasi negara tergantung pada sampai | sejauh | mana organisasi dan kekuasaan negara merefleksikan kehendak | 54 % |
an dengan komunitas-komunitas keagamaan lainnya, berdasarkan | sejumlah | ayat al-Quran (2:62 dan 5:69), yang – menurut tafsiran Rahma | 77 % |
iperhitungkan. Dengan demikian, ijma’ lebih bersifat elitis. | selain | itu, masih dalam konsepsi klasik, ijma’ berorientasi ke bela | 15 % |
mi dan demokratis karena merepresentasikan ijma’ masyarakat. | selain | itu, ada kemungkinan untuk mengubah konsensus tersebut, kare | 46 % |
n untuk mengubah konsensus tersebut, karena secara potensial | selalu | terdapat kemungkinan bagi pandangan minoritas untuk menjadi | 47 % |
ah hukum. Oleh: Taufik Adnan Amal Konsensus atau ijma’ | selama | berabad-abad telah menjadi validasi terpenting berbagai kepu | 7 % |
tif negeri-negeri Muslim. Tugasnya adalah memberi advis yang | selanjutnya | akan dirumuskan ke dalam undang-undang oleh majelis nasional | 50 % |
embangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang | selaras | dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapk | 1 % |
embangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang | selaras | dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapk | 24 % |
milih yang dianggap laik. Ketika putusan mayoritas tercapai, | seluruh | anggota masyarakat – baik Muslim ataupun non Muslim – harus | 62 % |
us. Mekanisme ijma’ semacam ini menggagaskan keterlibatan | seluruh | anggota masyarakat, termasuk bukan muslim, dalam proses peng | 65 % |
melakukan perbuatan baik akan selamat. Dalam negara modern, | seluruh | warga negara harus dipandang setara satu sama lain, tanpa di | 79 % |
munitas tersebut, berdasarkan prinsip mayoritas, ia mengikat | seluruh | anggotanya tanpa kecuali. Sebagaimana disinggung di atas, | 84 % |
plementasikannya sebagai suatu konsensus. Mekanisme ijma’ | semacam | ini menggagaskan keterlibatan seluruh anggota masyarakat, te | 65 % |
asyarakat tidak mungkin tercapai. Menurut al-Banna, anggapan | semacam | itu berseberangan dengan prinsip persamaan dan pengakuan Isl | 70 % |
ga perwakilan rakyat di tingkat lokal atau nasional. Majelis | semacam | ini –yang dibentuk misalnya lewat pemilihan umum– tentunya m | 86 % |
melibatkan masyarakat, penting dilakukan majelis. Aktivitas | semacam | inilah yang dimaknai Rahman dengan istilah syura. Salah s | 92 % |
in dari perluasan konsep ijma’. Dengan merativikasi konvensi | semacam | itu, negara muslim tersebut terikat kesepakatan atau ber-ijm | 98 % |
malahan menjadikan persatuan berdimensi sakral dan religius. | senada | dengan itu, Fazlur Rahman menekankan sikap anti-eksklusivism | 75 % |
tidak ada kesepakatan umat Islam yang bulat atau menyeluruh | sepanjang | sejarah Islam. Yang ada hanyalah kesepakatan mayoritas, bahk | 21 % |
yang ditetapkan majelis bisa saja benar atau keliru. Tetapi, | sepanjang | hukum tersebut mencerminkan kehendak masyarakat, ia tetap be | 44 % |
s yang merasa ijtihad-nya lebih mendekati kebenaran, terbuka | sepenuhnya | untuk meyakinkan masyarakat akan kebenaran gagasannya. Apabi | 37 % |
kekuasaan negara merefleksikan kehendak masyarakat, karena – | seperti | ditegaskan para yuris klasik – legitimasi institusi negara t | 55 % |
n siapa pun yang percaya kepada monoteisme dan hari akhirat, | serta | melakukan perbuatan baik akan selamat. Dalam negara modern, | 78 % |
akati kesetaraan warga negara – baik Muslim atau nonmuslim – | serta | persamaan hak dan kewajibannya, termasuk dalam proses pencap | 82 % |
ni, deliberasi, advokasi, pengajuan rancangan undang-undang, | serta | cara-cara lainnya yang melibatkan masyarakat, penting dilaku | 91 % |
s dipandang setara satu sama lain, tanpa diskriminasi antara | sesama | warga, baik Muslim atau bukan Muslim. Pandangan-pandangan | 80 % |
t. Dalam negara modern, seluruh warga negara harus dipandang | setara | satu sama lain, tanpa diskriminasi antara sesama warga, baik | 79 % |
i pada konsensus para sahabat Nabi. Ijma’ apapun yang datang | setelah | itu tidak memiliki nilai mengikat, terlebih lagi jika ia mer | 18 % |
individu atau kelompok kerja akan mengkristal ke dalam ijma’ | setelah | melalui interaksi ide yang ketat. Dengan demikian, ijma’ – y | 34 % |
62 dan 5:69), yang – menurut tafsiran Rahman – mengungkapkan | siapa | pun yang percaya kepada monoteisme dan hari akhirat, serta m | 77 % |
eran penting dalam perkembangan Islam dan memberi andil yang | signifikan | terhadap penafsirannya. Tetapi, dalam konsep tradisional | 13 % |
an religius. Senada dengan itu, Fazlur Rahman menekankan | sikap | anti-eksklusivisme Islam sehubungan dengan komunitas-komunit | 75 % |
ndang oleh majelis nasional negeri-negeri Muslim berdasarkan | sinaran | perbedaan regional dan situasi sosial masing-masing negeri. | 51 % |
regional dan situasi sosial masing-masing negeri. Survei | singkat | di atas memperlihatkan bahwa ijma’ bisa memberikan pijakan y | 52 % |
eri-negeri Muslim berdasarkan sinaran perbedaan regional dan | situasi | sosial masing-masing negeri. Survei singkat di atas mempe | 51 % |
ri Muslim berdasarkan sinaran perbedaan regional dan situasi | sosial | masing-masing negeri. Survei singkat di atas memperlihatk | 51 % |
elaborasi konsepnya tentang lembaga syura-ijma’ ini ke dalam | suatu | majelis internasional yang beranggotakan majelis legislatif | 49 % |
utusan mayoritas dan berupaya mengimplementasikannya sebagai | suatu | konsensus. Mekanisme ijma’ semacam ini menggagaskan keter | 65 % |
rmasuk dalam proses pencapaian konsensus. Karena itu, ketika | suatu | ijma’ mengkristal atau berhasil dicapai dalam komunitas ters | 83 % |
mempengaruhi preferensi publik (preference formation), jika | suatu | masalah dinilai laik untuk dirumuskan ke dalam kebijakan. Un | 89 % |
asyarakat atau untuk menakar kesepakatan masyarakat mengenai | suatu | hal adalah melalui referendum. Ijma’, berdasarkan alur logik | 94 % |
referendum. Partisipasi masyarakat yang luas dalam penentuan | suatu | kebijakan sangat bisa diharapkan dalam implementasi ijma’-re | 96 % |
tau internasional, konvensi-konvensi yang telah dirativikasi | suatu | negara muslim juga merupakan bentuk lain dari perluasan kons | 97 % |
ungkinan deliberasi dan perdebatan publik, sehingga berbagai | sudut | pandang yang berkembang dan dikembangkan secara individual a | 60 % |
tuk menghindari kemungkinan terjadinya salah tafsir terhadap | sumber-sumber | Islam, Iqbal menyetujui masuknya ulama ke dalam majelis untu | 30 % |
ris klasik – legitimasi institusi negara tidak terambil dari | sumber-sumber | tekstual, tetapi didasarkan terutama pada prinsip ijma’. Den | 56 % |
perbedaan regional dan situasi sosial masing-masing negeri. | survei | singkat di atas memperlihatkan bahwa ijma’ bisa memberikan p | 52 % |
an atau ber-ijma’ untuk melaksanakannya. Dosen Fakultas | syari’ah | IAIN Alauddin Makassar | 100 % |
n. Rahman bahkan mengelaborasi konsepnya tentang lembaga | syura-ijma’ | ini ke dalam suatu majelis internasional yang beranggotakan | 48 % |
ukum. Tetapi, untuk menghindari kemungkinan terjadinya salah | tafsir | terhadap sumber-sumber Islam, Iqbal menyetujui masuknya ulam | 30 % |
arkan sejumlah ayat al-Quran (2:62 dan 5:69), yang – menurut | tafsiran | Rahman – mengungkapkan siapa pun yang percaya kepada monotei | 77 % |
pun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang | tajam | dalam masalah hukum. Oleh: Taufik Adnan Amal Konsensus | 7 % |
pun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang | tajam | dalam masalah hukum. Tetapi, untuk menghindari kemungkinan t | 29 % |
ma’. Dalam pandangan Rahman, majelis ini dipilih oleh rakyat | tanpa | kualifikasi teknis apapun. Dalam masalah-masalah pelik, maje | 42 % |
seluruh warga negara harus dipandang setara satu sama lain, | tanpa | diskriminasi antara sesama warga, baik Muslim atau bukan Mus | 79 % |
erdasarkan prinsip mayoritas, ia mengikat seluruh anggotanya | tanpa | kecuali. Sebagaimana disinggung di atas, konsensus atau i | 84 % |
li memiliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Oleh: | taufik | Adnan Amal Konsensus atau ijma’ selama berabad-abad telah | 7 % |
an Rahman, majelis ini dipilih oleh rakyat tanpa kualifikasi | teknis | apapun. Dalam masalah-masalah pelik, majelis dapat meminta a | 43 % |
aufik Adnan Amal Konsensus atau ijma’ selama berabad-abad | telah | menjadi validasi terpenting berbagai keputusan di dalam Isla | 8 % |
kan masyarakat akan kebenaran gagasannya. Apabila masyarakat | telah | menerima gagasan minoritas secara mayoritas, opini itu membe | 38 % |
i dan prosedur untuk menjalankannya. Mekanisme ijma’ yang | telah | diuraikan juga memberikan kemungkinan deliberasi dan perdeba | 59 % |
alah melalui referendum. Ijma’, berdasarkan alur logika yang | telah | dikemukakan, jelas bisa mengambil bentuk referendum. Partisi | 95 % |
da level regional atau internasional, konvensi-konvensi yang | telah | dirativikasi suatu negara muslim juga merupakan bentuk lain | 97 % |
i modern. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya | tentang | ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang | 2 % |
i modern. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya | tentang | ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang | 24 % |
untuk membantu dan memimpin perbincangan-perbincangan bebas | tentang | masalah yang bertalian dengan Islam. Melanjutkan alur pe | 31 % |
proses perdebatan. Rahman bahkan mengelaborasi konsepnya | tentang | lembaga syura-ijma’ ini ke dalam suatu majelis internasional | 48 % |
saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal | tentu | saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan i | 6 % |
saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal | tentu | saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan i | 28 % |
is semacam ini –yang dibentuk misalnya lewat pemilihan umum– | tentunya | merupakan representasi masyarakat yang menerjemahkan kepenti | 86 % |
gaskan para yuris klasik – legitimasi institusi negara tidak | terambil | dari sumber-sumber tekstual, tetapi didasarkan terutama pada | 56 % |
minoritas yang merasa ijtihad-nya lebih mendekati kebenaran, | terbuka | sepenuhnya untuk meyakinkan masyarakat akan kebenaran gagasa | 37 % |
mengubah konsensus tersebut, karena secara potensial selalu | terdapat | kemungkinan bagi pandangan minoritas untuk menjadi mayoritas | 47 % |
ini, Louay M. Safi juga mengemukakan bahwa legitimasi negara | tergantung | pada sampai sejauh mana organisasi dan kekuasaan negara mere | 54 % |
g dalam perkembangan Islam dan memberi andil yang signifikan | terhadap | penafsirannya. Tetapi, dalam konsep tradisional, hanya ‘ | 13 % |
etapi, untuk menghindari kemungkinan terjadinya salah tafsir | terhadap | sumber-sumber Islam, Iqbal menyetujui masuknya ulama ke dala | 30 % |
u berseberangan dengan prinsip persamaan dan pengakuan Islam | terhadap | minoritas nonmuslim. Agama Islam, menurutnya, mengkuduskan k | 71 % |
an merativikasi konvensi semacam itu, negara muslim tersebut | terikat | kesepakatan atau ber-ijma’ untuk melaksanakannya. Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Makassar | 99 % |
m dalam masalah hukum. Tetapi, untuk menghindari kemungkinan | terjadinya | salah tafsir terhadap sumber-sumber Islam, Iqbal menyetujui | 29 % |
papun yang datang setelah itu tidak memiliki nilai mengikat, | terlebih | lagi jika ia merativikasi doktrin yang bertentangan dengan t | 18 % |
nsus masyarakat ini, menurut Rahman, dirujuk al-Quran dengan | terma | syura. Pada level negara, ijma’ masyarakat akan ditempa a | 40 % |
am ini menggagaskan keterlibatan seluruh anggota masyarakat, | termasuk | bukan muslim, dalam proses pengambilan keputusan. Tidak ada | 66 % |
uslim atau nonmuslim – serta persamaan hak dan kewajibannya, | termasuk | dalam proses pencapaian konsensus. Karena itu, ketika suatu | 82 % |
asaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang | terorganisasi | ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis | 3 % |
asaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang | terorganisasi | ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis | 25 % |
sensus atau ijma’ selama berabad-abad telah menjadi validasi | terpenting | berbagai keputusan di dalam Islam, khususnya di kalangan Sun | 8 % |
majelis bisa saja benar atau keliru. Tetapi, sepanjang hukum | tersebut | mencerminkan kehendak masyarakat, ia tetap bersifat islami d | 45 % |
ma’. Dengan merativikasi konvensi semacam itu, negara muslim | tersebut | terikat kesepakatan atau ber-ijma’ untuk melaksanakannya. | 99 % |
idak terambil dari sumber-sumber tekstual, tetapi didasarkan | terutama | pada prinsip ijma’. Dengan kata lain, ijma’ bisa memberi kem | 56 % |
epanjang hukum tersebut mencerminkan kehendak masyarakat, ia | tetap | bersifat islami dan demokratis karena merepresentasikan ijma | 45 % |
institusi negara tidak terambil dari sumber-sumber tekstual, | tetapi | didasarkan terutama pada prinsip ijma’. Dengan kata lain, ij | 56 % |
ggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja | tidak | memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kec | 6 % |
ngan Sunni. Nabi Muhammad dikabarkan pernah bersabda: Umatku | tidak | akan bersepakat dalam kekeliruan. Berpijak pada hadits inila | 9 % |
liki peran dalam mencapai konsensus. Masyarakat pada umumnya | tidak | begitu diperhitungkan. Dengan demikian, ijma’ lebih bersifat | 14 % |
nsus para sahabat Nabi. Ijma’ apapun yang datang setelah itu | tidak | memiliki nilai mengikat, terlebih lagi jika ia merativikasi | 18 % |
secara menyeluruh. Gagasan ini jelas bersifat utopis, karena | tidak | ada kesepakatan umat Islam yang bulat atau menyeluruh sepanj | 21 % |
ggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja | tidak | memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kec | 28 % |
yarakat – lebih bersifat dinamis, berorientasi ke depan, dan | tidak | monolitik. Golongan minoritas yang merasa ijtihad-nya lebih | 36 % |
i ditegaskan para yuris klasik – legitimasi institusi negara | tidak | terambil dari sumber-sumber tekstual, tetapi didasarkan teru | 56 % |
, termasuk bukan muslim, dalam proses pengambilan keputusan. | tidak | ada yang aneh dalam hal ini. Hasan al-Banna, dalam risalah N | 66 % |
landasan kehidupan, maka hal ini berarti minoritas nonmuslim | tidak | dapat hidup di lingkungan umat Islam dan persatuan di antara | 69 % |
umat Islam dan persatuan di antara berbagai unsur masyarakat | tidak | mungkin tercapai. Menurut al-Banna, anggapan semacam itu ber | 69 % |
hassah). Implementasi prinsip-prinsip ini, menurut al-Banna, | tidak | akan menimbulkan perpecahan, malahan menjadikan persatuan be | 74 % |
ah Islam. Yang ada hanyalah kesepakatan mayoritas, bahkan di | tingkat | lokal. Pada periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengem | 22 % |
yang kemudian diundangkan oleh lembaga perwakilan rakyat di | tingkat | lokal atau nasional. Majelis semacam ini –yang dibentuk misa | 85 % |
h lagi jika ia merativikasi doktrin yang bertentangan dengan | tradisi | salaf. Gagasan ijma’ yang agak luas dikemukakan al-Syafi’ | 19 % |
al, misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma’ sebagai | transfer | kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab | 3 % |
al, misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma’ sebagai | transfer | kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab | 25 % |
yang beranggotakan majelis legislatif negeri-negeri Muslim. | tugasnya | adalah memberi advis yang selanjutnya akan dirumuskan ke dal | 50 % |
si klasik, ijma’ berorientasi ke belakang: dalam kesepakatan | ulama | di masa-masa silam. Bahkan, di kalangan mazhab Islam tertent | 16 % |
fsir terhadap sumber-sumber Islam, Iqbal menyetujui masuknya | ulama | ke dalam majelis untuk membantu dan memimpin perbincangan-pe | 30 % |
asan ini jelas bersifat utopis, karena tidak ada kesepakatan | umat | Islam yang bulat atau menyeluruh sepanjang sejarah Islam. Ya | 21 % |
berarti minoritas nonmuslim tidak dapat hidup di lingkungan | umat | Islam dan persatuan di antara berbagai unsur masyarakat tida | 69 % |
wahdah al-diniyyah al-’ammah), dan kesatuan keagamaan khusus | umat | Islam (al-wahdah al-diniyyah al-khassah). Implementasi prins | 73 % |
di kalangan Sunni. Nabi Muhammad dikabarkan pernah bersabda: | umatku | tidak akan bersepakat dalam kekeliruan. Berpijak pada hadits | 9 % |
. Agama Islam, menurutnya, mengkuduskan kesatuan kemanusiaan | umum | (al-wahdah al-insaniyyah al-’ammah), kesatuan keagamaan umum | 72 % |
umum (al-wahdah al-insaniyyah al-’ammah), kesatuan keagamaan | umum | (al-wahdah al-diniyyah al-’ammah), dan kesatuan keagamaan kh | 72 % |
Majelis semacam ini –yang dibentuk misalnya lewat pemilihan | umum– | tentunya merupakan representasi masyarakat yang menerjemahka | 86 % |
ang memiliki peran dalam mencapai konsensus. Masyarakat pada | umumnya | tidak begitu diperhitungkan. Dengan demikian, ijma’ lebih be | 14 % |
masalah pelik, majelis dapat meminta advis kepada para ahli. | undang-undang | atau hukun yang ditetapkan majelis bisa saja benar atau keli | 44 % |
alah memberi advis yang selanjutnya akan dirumuskan ke dalam | undang-undang | oleh majelis nasional negeri-negeri Muslim berdasarkan sinar | 50 % |
up di lingkungan umat Islam dan persatuan di antara berbagai | unsur | masyarakat tidak mungkin tercapai. Menurut al-Banna, anggapa | 69 % |
muslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun | untuk | pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dal | 6 % |
t itu disandarkan. Bahkan, di kalangan Sunni, otoritas final | untuk | penafsiran keagamaan diletakkan pada konsensus (ijma’) atau | 11 % |
muslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun | untuk | pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dal | 28 % |
ali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Tetapi, | untuk | menghindari kemungkinan terjadinya salah tafsir terhadap sum | 29 % |
mber Islam, Iqbal menyetujui masuknya ulama ke dalam majelis | untuk | membantu dan memimpin perbincangan-perbincangan bebas tentan | 30 % |
sa ijtihad-nya lebih mendekati kebenaran, terbuka sepenuhnya | untuk | meyakinkan masyarakat akan kebenaran gagasannya. Apabila mas | 37 % |
membentuk ijma’ baru dan menggantikan ijma’ lama. Aktivitas | untuk | menggalang konsensus masyarakat ini, menurut Rahman, dirujuk | 39 % |
epresentasikan ijma’ masyarakat. Selain itu, ada kemungkinan | untuk | mengubah konsensus tersebut, karena secara potensial selalu | 46 % |
tensial selalu terdapat kemungkinan bagi pandangan minoritas | untuk | menjadi mayoritas melalui proses perdebatan. Rahman bahk | 47 % |
perlihatkan bahwa ijma’ bisa memberikan pijakan yang efektif | untuk | menerima kekuasaan mayoritas (majority rule). Sejalan dengan | 53 % |
i kaum Muslimin dan menawarkan format institusi dan prosedur | untuk | menjalankannya. Mekanisme ijma’ yang telah diuraikan juga | 58 % |
ngkan secara individual ataupun kolektif mendapat kesempatan | untuk | didengar sebelum masyarakat akhirnya secara konsensus atau m | 61 % |
blik (preference formation), jika suatu masalah dinilai laik | untuk | dirumuskan ke dalam kebijakan. Untuk pembentukan preferensi | 90 % |
tu masalah dinilai laik untuk dirumuskan ke dalam kebijakan. | untuk | pembentukan preferensi ini, deliberasi, advokasi, pengajuan | 90 % |
dengan istilah syura. Salah satu cara yang dapat ditempuh | untuk | membentuk konsensus masyarakat atau untuk menakar kesepakata | 93 % |
ang dapat ditempuh untuk membentuk konsensus masyarakat atau | untuk | menakar kesepakatan masyarakat mengenai suatu hal adalah mel | 93 % |
u, negara muslim tersebut terikat kesepakatan atau ber-ijma’ | untuk | melaksanakannya. Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Makassar | 99 % |
al Konsensus atau ijma’ selama berabad-abad telah menjadi | validasi | terpenting berbagai keputusan di dalam Islam, khususnya di k | 8 % |
an perbuatan baik akan selamat. Dalam negara modern, seluruh | warga | negara harus dipandang setara satu sama lain, tanpa diskrimi | 79 % |
yang dikemukakan di atas dengan jelas menyepakati kesetaraan | warga | negara – baik Muslim atau nonmuslim – serta persamaan hak da | 81 % |
alifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki | wawasan | yang tajam dalam masalah hukum. Oleh: Taufik Adnan Amal | 6 % |
alifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki | wawasan | yang tajam dalam masalah hukum. Tetapi, untuk menghindari ke | 29 % |
mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru | yang | selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya, men | 1 % |
ntang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu | yang | mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “i | 3 % |
kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab | yang | terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen | 3 % |
akyat. Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, | yang | bisa saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, I | 5 % |
i apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan | yang | tajam dalam masalah hukum. Oleh: Taufik Adnan Amal Kon | 7 % |
dalam kekeliruan. Berpijak pada hadits inilah otoritas ijma’ | yang | mengikat itu disandarkan. Bahkan, di kalangan Sunni, otorita | 10 % |
kan peran penting dalam perkembangan Islam dan memberi andil | yang | signifikan terhadap penafsirannya. Tetapi, dalam konsep | 13 % |
irannya. Tetapi, dalam konsep tradisional, hanya ‘ulama’ | yang | memiliki peran dalam mencapai konsensus. Masyarakat pada umu | 14 % |
jma’ dibatasi pada konsensus para sahabat Nabi. Ijma’ apapun | yang | datang setelah itu tidak memiliki nilai mengikat, terlebih l | 17 % |
i nilai mengikat, terlebih lagi jika ia merativikasi doktrin | yang | bertentangan dengan tradisi salaf. Gagasan ijma’ yang aga | 18 % |
rin yang bertentangan dengan tradisi salaf. Gagasan ijma’ | yang | agak luas dikemukakan al-Syafi’i dan belakangan oleh al-Ghaz | 19 % |
las bersifat utopis, karena tidak ada kesepakatan umat Islam | yang | bulat atau menyeluruh sepanjang sejarah Islam. Yang ada hany | 21 % |
at Islam yang bulat atau menyeluruh sepanjang sejarah Islam. | yang | ada hanyalah kesepakatan mayoritas, bahkan di tingkat lokal. | 22 % |
mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru | yang | selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya, men | 24 % |
ntang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu | yang | mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “i | 25 % |
kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab | yang | terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen | 25 % |
t. Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, | yang | bisa saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, I | 27 % |
i apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan | yang | tajam dalam masalah hukum. Tetapi, untuk menghindari kemungk | 29 % |
dan memimpin perbincangan-perbincangan bebas tentang masalah | yang | bertalian dengan Islam. Melanjutkan alur pemikiran Iqbal | 31 % |
an baru ijma’ dalam masyarakat kontemporer. Baginya, ijtihad | yang | dihasilkan individu atau kelompok kerja akan mengkristal ke | 33 % |
kan mengkristal ke dalam ijma’ setelah melalui interaksi ide | yang | ketat. Dengan demikian, ijma’ – yang merupakan konsensus may | 34 % |
h melalui interaksi ide yang ketat. Dengan demikian, ijma’ – | yang | merupakan konsensus mayoritas masyarakat – lebih bersifat di | 35 % |
rorientasi ke depan, dan tidak monolitik. Golongan minoritas | yang | merasa ijtihad-nya lebih mendekati kebenaran, terbuka sepenu | 36 % |
bentuk hukum dan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, | yang | disebut Rahman sebagai lembaga syura-ijma’. Dalam pandangan | 41 % |
pat meminta advis kepada para ahli. Undang-undang atau hukun | yang | ditetapkan majelis bisa saja benar atau keliru. Tetapi, sepa | 44 % |
lembaga syura-ijma’ ini ke dalam suatu majelis internasional | yang | beranggotakan majelis legislatif negeri-negeri Muslim. Tugas | 49 % |
gislatif negeri-negeri Muslim. Tugasnya adalah memberi advis | yang | selanjutnya akan dirumuskan ke dalam undang-undang oleh maje | 50 % |
t di atas memperlihatkan bahwa ijma’ bisa memberikan pijakan | yang | efektif untuk menerima kekuasaan mayoritas (majority rule). | 53 % |
titusi dan prosedur untuk menjalankannya. Mekanisme ijma’ | yang | telah diuraikan juga memberikan kemungkinan deliberasi dan p | 59 % |
erasi dan perdebatan publik, sehingga berbagai sudut pandang | yang | berkembang dan dikembangkan secara individual ataupun kolekt | 60 % |
masyarakat akhirnya secara konsensus atau mayoritas memilih | yang | dianggap laik. Ketika putusan mayoritas tercapai, seluruh an | 61 % |
ngejawantahkannya ke dalam praktik. Penggagas, pengikut atau | yang | menyetujui pandangan minoritas juga harus menerima keputusan | 63 % |
bukan muslim, dalam proses pengambilan keputusan. Tidak ada | yang | aneh dalam hal ini. Hasan al-Banna, dalam risalah Nahwa an-N | 66 % |
lainnya, berdasarkan sejumlah ayat al-Quran (2:62 dan 5:69), | yang | – menurut tafsiran Rahman – mengungkapkan siapa pun yang per | 77 % |
9), yang – menurut tafsiran Rahman – mengungkapkan siapa pun | yang | percaya kepada monoteisme dan hari akhirat, serta melakukan | 78 % |
atau bukan Muslim. Pandangan-pandangan kesarjanaan Muslim | yang | dikemukakan di atas dengan jelas menyepakati kesetaraan warg | 80 % |
a disinggung di atas, konsensus atau ijma’ masyarakat inilah | yang | kemudian diundangkan oleh lembaga perwakilan rakyat di tingk | 85 % |
t pemilihan umum– tentunya merupakan representasi masyarakat | yang | menerjemahkan kepentingan masyarakat ke dalam kebijakan-kebi | 87 % |
jemahkan kepentingan masyarakat ke dalam kebijakan-kebijakan | yang | koheren dan konsisten (preference representation). Tetapi, s | 88 % |
, pengajuan rancangan undang-undang, serta cara-cara lainnya | yang | melibatkan masyarakat, penting dilakukan majelis. Aktivitas | 91 % |
yarakat, penting dilakukan majelis. Aktivitas semacam inilah | yang | dimaknai Rahman dengan istilah syura. Salah satu cara yan | 92 % |
ang dimaknai Rahman dengan istilah syura. Salah satu cara | yang | dapat ditempuh untuk membentuk konsensus masyarakat atau unt | 93 % |
al adalah melalui referendum. Ijma’, berdasarkan alur logika | yang | telah dikemukakan, jelas bisa mengambil bentuk referendum. P | 95 % |
las bisa mengambil bentuk referendum. Partisipasi masyarakat | yang | luas dalam penentuan suatu kebijakan sangat bisa diharapkan | 95 % |
Pada level regional atau internasional, konvensi-konvensi | yang | telah dirativikasi suatu negara muslim juga merupakan bentuk | 97 % |
n rakyat di tingkat lokal atau nasional. Majelis semacam ini | –yang | dibentuk misalnya lewat pemilihan umum– tentunya merupakan r | 86 % |
ksikan kehendak masyarakat, karena – seperti ditegaskan para | yuris | klasik – legitimasi institusi negara tidak terambil dari sum | 55 % |
The End
Word Frequency Program
The End