SEAsiteBar

click here for the word frequency

 

Menilik Model Ijma’ Kontemporer

 

Pada periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum.


Oleh: Taufik Adnan Amal

 

Konsensus atau ijma’ selama berabad-abad telah menjadi validasi terpenting berbagai keputusan di dalam Islam, khususnya di kalangan Sunni. Nabi Muhammad dikabarkan pernah bersabda: Umatku tidak akan bersepakat dalam kekeliruan. Berpijak pada hadits inilah otoritas ijma’ yang mengikat itu disandarkan. Bahkan, di kalangan Sunni, otoritas final untuk penafsiran keagamaan diletakkan pada konsensus (ijma’) atau putusan kolektif masyarakat muslim. Implikasinya, konsensus memainkan peran penting dalam perkembangan Islam dan memberi andil yang signifikan terhadap penafsirannya.

Tetapi, dalam konsep tradisional, hanya ‘ulama’ yang memiliki peran dalam mencapai konsensus. Masyarakat pada umumnya tidak begitu diperhitungkan. Dengan demikian, ijma’ lebih bersifat elitis. Selain itu, masih dalam konsepsi klasik, ijma’ berorientasi ke belakang: dalam kesepakatan ulama di masa-masa silam. Bahkan, di kalangan mazhab Islam tertentu, ijma’ dibatasi pada konsensus para sahabat Nabi. Ijma’ apapun yang datang setelah itu tidak memiliki nilai mengikat, terlebih lagi jika ia merativikasi doktrin yang bertentangan dengan tradisi salaf.

Gagasan ijma’ yang agak luas dikemukakan al-Syafi’i dan belakangan oleh al-Ghazali. Bagi keduanya, ijma’ adalah kesepakatan kaum Muslimin secara menyeluruh. Gagasan ini jelas bersifat utopis, karena tidak ada kesepakatan umat Islam yang bulat atau menyeluruh sepanjang sejarah Islam. Yang ada hanyalah kesepakatan mayoritas, bahkan di tingkat lokal.

Pada periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis perwakilan rakyat.

Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Tetapi, untuk menghindari kemungkinan terjadinya salah tafsir terhadap sumber-sumber Islam, Iqbal menyetujui masuknya ulama ke dalam majelis untuk membantu dan memimpin perbincangan-perbincangan bebas tentang masalah yang bertalian dengan Islam.

Melanjutkan alur pemikiran Iqbal, sarjana pemikir neo-modernis asal pakistan, Fazlur Rahman mengungkapkan kemungkinan baru ijma’ dalam masyarakat kontemporer. Baginya, ijtihad yang dihasilkan individu atau kelompok kerja akan mengkristal ke dalam ijma’ setelah melalui interaksi ide yang ketat. Dengan demikian, ijma’ – yang merupakan konsensus mayoritas masyarakat – lebih bersifat dinamis, berorientasi ke depan, dan tidak monolitik. Golongan minoritas yang merasa ijtihad-nya lebih mendekati kebenaran, terbuka sepenuhnya untuk meyakinkan masyarakat akan kebenaran gagasannya. Apabila masyarakat telah menerima gagasan minoritas secara mayoritas, opini itu membentuk ijma’ baru dan menggantikan ijma’ lama. Aktivitas untuk menggalang konsensus masyarakat ini, menurut Rahman, dirujuk al-Quran dengan terma syura.

Pada level negara, ijma’ masyarakat akan ditempa atau dirumuskan ke dalam bentuk hukum dan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang disebut Rahman sebagai lembaga syura-ijma’. Dalam pandangan Rahman, majelis ini dipilih oleh rakyat tanpa kualifikasi teknis apapun. Dalam masalah-masalah pelik, majelis dapat meminta advis kepada para ahli. Undang-undang atau hukun yang ditetapkan majelis bisa saja benar atau keliru. Tetapi, sepanjang hukum tersebut mencerminkan kehendak masyarakat, ia tetap bersifat islami dan demokratis karena merepresentasikan ijma’ masyarakat. Selain itu, ada kemungkinan untuk mengubah konsensus tersebut, karena secara potensial selalu terdapat kemungkinan bagi pandangan minoritas untuk menjadi mayoritas melalui proses perdebatan.

Rahman bahkan mengelaborasi konsepnya tentang lembaga syura-ijma’ ini ke dalam suatu majelis internasional yang beranggotakan majelis legislatif negeri-negeri Muslim. Tugasnya adalah memberi advis yang selanjutnya akan dirumuskan ke dalam undang-undang oleh majelis nasional negeri-negeri Muslim berdasarkan sinaran perbedaan regional dan situasi sosial masing-masing negeri.

Survei singkat di atas memperlihatkan bahwa ijma’ bisa memberikan pijakan yang efektif untuk menerima kekuasaan mayoritas (majority rule). Sejalan dengan ini, Louay M. Safi juga mengemukakan bahwa legitimasi negara tergantung pada sampai sejauh mana organisasi dan kekuasaan negara merefleksikan kehendak masyarakat, karena – seperti ditegaskan para yuris klasik – legitimasi institusi negara tidak terambil dari sumber-sumber tekstual, tetapi didasarkan terutama pada prinsip ijma’. Dengan kata lain, ijma’ bisa memberi kemungkinan legitimasi demokrasi bagi kaum Muslimin dan menawarkan format institusi dan prosedur untuk menjalankannya.

Mekanisme ijma’ yang telah diuraikan juga memberikan kemungkinan deliberasi dan perdebatan publik, sehingga berbagai sudut pandang yang berkembang dan dikembangkan secara individual ataupun kolektif mendapat kesempatan untuk didengar sebelum masyarakat akhirnya secara konsensus atau mayoritas memilih yang dianggap laik. Ketika putusan mayoritas tercapai, seluruh anggota masyarakat – baik Muslim ataupun non Muslim – harus berupaya mengejawantahkannya ke dalam praktik. Penggagas, pengikut atau yang menyetujui pandangan minoritas juga harus menerima keputusan mayoritas dan berupaya mengimplementasikannya sebagai suatu konsensus.

Mekanisme ijma’ semacam ini menggagaskan keterlibatan seluruh anggota masyarakat, termasuk bukan muslim, dalam proses pengambilan keputusan. Tidak ada yang aneh dalam hal ini. Hasan al-Banna, dalam risalah Nahwa an-Nur (1936), mensinyalir ada orang menganggap bahwa dengan menjadikan Islam sebagai landasan kehidupan, maka hal ini berarti minoritas nonmuslim tidak dapat hidup di lingkungan umat Islam dan persatuan di antara berbagai unsur masyarakat tidak mungkin tercapai. Menurut al-Banna, anggapan semacam itu berseberangan dengan prinsip persamaan dan pengakuan Islam terhadap minoritas nonmuslim. Agama Islam, menurutnya, mengkuduskan kesatuan kemanusiaan umum (al-wahdah al-insaniyyah al-’ammah), kesatuan keagamaan umum (al-wahdah al-diniyyah al-’ammah), dan kesatuan keagamaan khusus umat Islam (al-wahdah al-diniyyah al-khassah). Implementasi prinsip-prinsip ini, menurut al-Banna, tidak akan menimbulkan perpecahan, malahan menjadikan persatuan berdimensi sakral dan religius.

Senada dengan itu, Fazlur Rahman menekankan sikap anti-eksklusivisme Islam sehubungan dengan komunitas-komunitas keagamaan lainnya, berdasarkan sejumlah ayat al-Quran (2:62 dan 5:69), yang – menurut tafsiran Rahman – mengungkapkan siapa pun yang percaya kepada monoteisme dan hari akhirat, serta melakukan perbuatan baik akan selamat. Dalam negara modern, seluruh warga negara harus dipandang setara satu sama lain, tanpa diskriminasi antara sesama warga, baik Muslim atau bukan Muslim.

Pandangan-pandangan kesarjanaan Muslim yang dikemukakan di atas dengan jelas menyepakati kesetaraan warga negara – baik Muslim atau nonmuslim – serta persamaan hak dan kewajibannya, termasuk dalam proses pencapaian konsensus. Karena itu, ketika suatu ijma’ mengkristal atau berhasil dicapai dalam komunitas tersebut, berdasarkan prinsip mayoritas, ia mengikat seluruh anggotanya tanpa kecuali.

Sebagaimana disinggung di atas, konsensus atau ijma’ masyarakat inilah yang kemudian diundangkan oleh lembaga perwakilan rakyat di tingkat lokal atau nasional. Majelis semacam ini –yang dibentuk misalnya lewat pemilihan umum– tentunya merupakan representasi masyarakat yang menerjemahkan kepentingan masyarakat ke dalam kebijakan-kebijakan yang koheren dan konsisten (preference representation). Tetapi, sebagai himpunan orang terpilih, majelis ini juga bisa mempengaruhi preferensi publik (preference formation), jika suatu masalah dinilai laik untuk dirumuskan ke dalam kebijakan. Untuk pembentukan preferensi ini, deliberasi, advokasi, pengajuan rancangan undang-undang, serta cara-cara lainnya yang melibatkan masyarakat, penting dilakukan majelis. Aktivitas semacam inilah yang dimaknai Rahman dengan istilah syura.

Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk membentuk konsensus masyarakat atau untuk menakar kesepakatan masyarakat mengenai suatu hal adalah melalui referendum. Ijma’, berdasarkan alur logika yang telah dikemukakan, jelas bisa mengambil bentuk referendum. Partisipasi masyarakat yang luas dalam penentuan suatu kebijakan sangat bisa diharapkan dalam implementasi ijma’-referendum ini

Pada level regional atau internasional, konvensi-konvensi yang telah dirativikasi suatu negara muslim juga merupakan bentuk lain dari perluasan konsep ijma’. Dengan merativikasi konvensi semacam itu, negara muslim tersebut terikat kesepakatan atau ber-ijma’ untuk melaksanakannya.


**Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Makassar

 

pre- text

WORD

post- text

%
lah melalui interaksi ide yang ketat. Dengan demikian, ijma’ yang merupakan konsensus mayoritas masyarakat – lebih bersif 35 %
ikian, ijma’ – yang merupakan konsensus mayoritas masyarakat lebih bersifat dinamis, berorientasi ke depan, dan tidak mon 35 %
n kekuasaan negara merefleksikan kehendak masyarakat, karena seperti ditegaskan para yuris klasik – legitimasi institusi 55 %
ak masyarakat, karena – seperti ditegaskan para yuris klasik legitimasi institusi negara tidak terambil dari sumber-sumbe 55 %
etika putusan mayoritas tercapai, seluruh anggota masyarakat baik Muslim ataupun non Muslim – harus berupaya mengejawanta 62 %
seluruh anggota masyarakat – baik Muslim ataupun non Muslim harus berupaya mengejawantahkannya ke dalam praktik. Penggag 63 %
ya, berdasarkan sejumlah ayat al-Quran (2:62 dan 5:69), yang menurut tafsiran Rahman – mengungkapkan siapa pun yang perca 77 %
yat al-Quran (2:62 dan 5:69), yang – menurut tafsiran Rahman mengungkapkan siapa pun yang percaya kepada monoteisme dan h 77 %
kan di atas dengan jelas menyepakati kesetaraan warga negara baik Muslim atau nonmuslim – serta persamaan hak dan kewajib 81 %
epakati kesetaraan warga negara – baik Muslim atau nonmuslim serta persamaan hak dan kewajibannya, termasuk dalam proses 82 %
p penafsirannya. Tetapi, dalam konsep tradisional, hanya ‘ulama’ yang memiliki peran dalam mencapai konsensus. Masyarakat pad 14 %
ng mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis perwakilan rakyat. Dengan 4 %
ng mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis perwakilan rakyat. Den 26 %
menyeluruh. Gagasan ini jelas bersifat utopis, karena tidak ada kesepakatan umat Islam yang bulat atau menyeluruh sepanjang 21 %
lam yang bulat atau menyeluruh sepanjang sejarah Islam. Yang ada hanyalah kesepakatan mayoritas, bahkan di tingkat lokal. 22 %
ratis karena merepresentasikan ijma’ masyarakat. Selain itu, ada kemungkinan untuk mengubah konsensus tersebut, karena secara 46 %
asuk bukan muslim, dalam proses pengambilan keputusan. Tidak ada yang aneh dalam hal ini. Hasan al-Banna, dalam risalah Nahwa 66 %
san al-Banna, dalam risalah Nahwa an-Nur (1936), mensinyalir ada orang menganggap bahwa dengan menjadikan Islam sebagai landa 67 %
Syafi’i dan belakangan oleh al-Ghazali. Bagi keduanya, ijma’ adalah kesepakatan kaum Muslimin secara menyeluruh. Gagasan ini jel 20 %
anggotakan majelis legislatif negeri-negeri Muslim. Tugasnya adalah memberi advis yang selanjutnya akan dirumuskan ke dalam unda 50 %
atau untuk menakar kesepakatan masyarakat mengenai suatu hal adalah melalui referendum. Ijma’, berdasarkan alur logika yang tela 94 %
liki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Oleh: Taufik adnan Amal Konsensus atau ijma’ selama berabad-abad telah menja 7 %
s apapun. Dalam masalah-masalah pelik, majelis dapat meminta advis kepada para ahli. Undang-undang atau hukun yang ditetapkan m 43 %
lis legislatif negeri-negeri Muslim. Tugasnya adalah memberi advis yang selanjutnya akan dirumuskan ke dalam undang-undang oleh 50 %
ang bertentangan dengan tradisi salaf. Gagasan ijma’ yang agak luas dikemukakan al-Syafi’i dan belakangan oleh al-Ghazali. 19 %
persamaan dan pengakuan Islam terhadap minoritas nonmuslim. agama Islam, menurutnya, mengkuduskan kesatuan kemanusiaan umum (a 71 %
unni. Nabi Muhammad dikabarkan pernah bersabda: Umatku tidak akan bersepakat dalam kekeliruan. Berpijak pada hadits inilah oto 9 %
aginya, ijtihad yang dihasilkan individu atau kelompok kerja akan mengkristal ke dalam ijma’ setelah melalui interaksi ide yan 34 %
ti kebenaran, terbuka sepenuhnya untuk meyakinkan masyarakat akan kebenaran gagasannya. Apabila masyarakat telah menerima gaga 37 %
n dengan terma syura. Pada level negara, ijma’ masyarakat akan ditempa atau dirumuskan ke dalam bentuk hukum dan perundang- 40 %
egeri Muslim. Tugasnya adalah memberi advis yang selanjutnya akan dirumuskan ke dalam undang-undang oleh majelis nasional nege 50 %
). Implementasi prinsip-prinsip ini, menurut al-Banna, tidak akan menimbulkan perpecahan, malahan menjadikan persatuan berdime 74 %
monoteisme dan hari akhirat, serta melakukan perbuatan baik akan selamat. Dalam negara modern, seluruh warga negara harus dip 78 %
lektif mendapat kesempatan untuk didengar sebelum masyarakat akhirnya secara konsensus atau mayoritas memilih yang dianggap laik. 61 %
opini itu membentuk ijma’ baru dan menggantikan ijma’ lama. aktivitas untuk menggalang konsensus masyarakat ini, menurut Rahman, d 39 %
innya yang melibatkan masyarakat, penting dilakukan majelis. aktivitas semacam inilah yang dimaknai Rahman dengan istilah syura. 92 %
ma’ untuk melaksanakannya. Dosen Fakultas Syari’ah IAIN alauddin Makassar 100 %
al-insaniyyah al-’ammah), kesatuan keagamaan umum (al-wahdah al-diniyyah al-’ammah), dan kesatuan keagamaan khusus umat Islam (al-wah 72 %
’ammah), dan kesatuan keagamaan khusus umat Islam (al-wahdah al-diniyyah al-khassah). Implementasi prinsip-prinsip ini, menurut al-Ba 73 %
enurutnya, mengkuduskan kesatuan kemanusiaan umum (al-wahdah al-insaniyyah al-’ammah), kesatuan keagamaan umum (al-wahdah al-diniyyah a 72 %
menggalang konsensus masyarakat ini, menurut Rahman, dirujuk al-quran dengan terma syura. Pada level negara, ijma’ masyarakat a 40 %
nitas-komunitas keagamaan lainnya, berdasarkan sejumlah ayat al-quran (2:62 dan 5:69), yang – menurut tafsiran Rahman – mengungkap 77 %
n tradisi salaf. Gagasan ijma’ yang agak luas dikemukakan al-syafi’i dan belakangan oleh al-Ghazali. Bagi keduanya, ijma’ adalah 19 %
tentang masalah yang bertalian dengan Islam. Melanjutkan alur pemikiran Iqbal, sarjana pemikir neo-modernis asal pakistan, 32 %
enai suatu hal adalah melalui referendum. Ijma’, berdasarkan alur logika yang telah dikemukakan, jelas bisa mengambil bentuk r 94 %
awasan yang tajam dalam masalah hukum. Oleh: Taufik Adnan amal Konsensus atau ijma’ selama berabad-abad telah menjadi valid 7 %
memainkan peran penting dalam perkembangan Islam dan memberi andil yang signifikan terhadap penafsirannya. Tetapi, dalam ko 13 %
n muslim, dalam proses pengambilan keputusan. Tidak ada yang aneh dalam hal ini. Hasan al-Banna, dalam risalah Nahwa an-Nur (1 66 %
i unsur masyarakat tidak mungkin tercapai. Menurut al-Banna, anggapan semacam itu berseberangan dengan prinsip persamaan dan penga 70 %
ng dianggap laik. Ketika putusan mayoritas tercapai, seluruh anggota masyarakat – baik Muslim ataupun non Muslim – harus berupaya 62 %
ekanisme ijma’ semacam ini menggagaskan keterlibatan seluruh anggota masyarakat, termasuk bukan muslim, dalam proses pengambilan 66 %
tersebut, berdasarkan prinsip mayoritas, ia mengikat seluruh anggotanya tanpa kecuali. Sebagaimana disinggung di atas, konsensus 84 %
yang aneh dalam hal ini. Hasan al-Banna, dalam risalah Nahwa an-nur (1936), mensinyalir ada orang menganggap bahwa dengan menjad 67 %
tidak dapat hidup di lingkungan umat Islam dan persatuan di antara berbagai unsur masyarakat tidak mungkin tercapai. Menurut al 69 %
ra harus dipandang setara satu sama lain, tanpa diskriminasi antara sesama warga, baik Muslim atau bukan Muslim. Pandangan-pa 80 %
igius. Senada dengan itu, Fazlur Rahman menekankan sikap anti-eksklusivisme Islam sehubungan dengan komunitas-komunitas keagamaan lainny 76 %
uhnya untuk meyakinkan masyarakat akan kebenaran gagasannya. apabila masyarakat telah menerima gagasan minoritas secara mayoritas 38 %
kan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang taj 6 %
entu, ijma’ dibatasi pada konsensus para sahabat Nabi. Ijma’ apapun yang datang setelah itu tidak memiliki nilai mengikat, terle 17 %
kan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang taj 28 %
lanjutkan alur pemikiran Iqbal, sarjana pemikir neo-modernis asal pakistan, Fazlur Rahman mengungkapkan kemungkinan baru ijma’ 32 %
an situasi sosial masing-masing negeri. Survei singkat di atas memperlihatkan bahwa ijma’ bisa memberikan pijakan yang efek 52 %
Pandangan-pandangan kesarjanaan Muslim yang dikemukakan di atas dengan jelas menyepakati kesetaraan warga negara – baik Musl 81 %
erorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtihad kepada 4 %
lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifik 5 %
dalam masalah hukum. Oleh: Taufik Adnan Amal Konsensus atau ijma’ selama berabad-abad telah menjadi validasi terpenting 7 %
untuk penafsiran keagamaan diletakkan pada konsensus (ijma’) atau putusan kolektif masyarakat muslim. Implikasinya, konsensus 11 %
t utopis, karena tidak ada kesepakatan umat Islam yang bulat atau menyeluruh sepanjang sejarah Islam. Yang ada hanyalah kesepa 21 %
erorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtihad ke 26 %
lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifik 27 %
rakat kontemporer. Baginya, ijtihad yang dihasilkan individu atau kelompok kerja akan mengkristal ke dalam ijma’ setelah melal 34 %
a syura. Pada level negara, ijma’ masyarakat akan ditempa atau dirumuskan ke dalam bentuk hukum dan perundang-undangan oleh 40 %
majelis dapat meminta advis kepada para ahli. Undang-undang atau hukun yang ditetapkan majelis bisa saja benar atau keliru. T 44 %
ng-undang atau hukun yang ditetapkan majelis bisa saja benar atau keliru. Tetapi, sepanjang hukum tersebut mencerminkan kehend 44 %
untuk didengar sebelum masyarakat akhirnya secara konsensus atau mayoritas memilih yang dianggap laik. Ketika putusan mayorit 61 %
ya mengejawantahkannya ke dalam praktik. Penggagas, pengikut atau yang menyetujui pandangan minoritas juga harus menerima kepu 63 %
ma lain, tanpa diskriminasi antara sesama warga, baik Muslim atau bukan Muslim. Pandangan-pandangan kesarjanaan Muslim yang 80 %
ngan jelas menyepakati kesetaraan warga negara – baik Muslim atau nonmuslim – serta persamaan hak dan kewajibannya, termasuk d 81 %
apaian konsensus. Karena itu, ketika suatu ijma’ mengkristal atau berhasil dicapai dalam komunitas tersebut, berdasarkan prins 83 %
tanpa kecuali. Sebagaimana disinggung di atas, konsensus atau ijma’ masyarakat inilah yang kemudian diundangkan oleh lemba 85 %
diundangkan oleh lembaga perwakilan rakyat di tingkat lokal atau nasional. Majelis semacam ini –yang dibentuk misalnya lewat 86 %
ara yang dapat ditempuh untuk membentuk konsensus masyarakat atau untuk menakar kesepakatan masyarakat mengenai suatu hal adal 93 %
lam implementasi ijma’-referendum ini Pada level regional atau internasional, konvensi-konvensi yang telah dirativikasi sua 97 %
ensi semacam itu, negara muslim tersebut terikat kesepakatan atau ber-ijma’ untuk melaksanakannya. Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Makassar 99 %
t pandang yang berkembang dan dikembangkan secara individual ataupun kolektif mendapat kesempatan untuk didengar sebelum masyarak 60 %
mayoritas tercapai, seluruh anggota masyarakat – baik Muslim ataupun non Muslim – harus berupaya mengejawantahkannya ke dalam pra 62 %
pada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kua 5 %
pada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kua 27 %
komunitas-komunitas keagamaan lainnya, berdasarkan sejumlah ayat al-Quran (2:62 dan 5:69), yang – menurut tafsiran Rahman – m 77 %
luas dikemukakan al-Syafi’i dan belakangan oleh al-Ghazali. bagi keduanya, ijma’ adalah kesepakatan kaum Muslimin secara meny 20 %
ersebut, karena secara potensial selalu terdapat kemungkinan bagi pandangan minoritas untuk menjadi mayoritas melalui proses p 47 %
ta lain, ijma’ bisa memberi kemungkinan legitimasi demokrasi bagi kaum Muslimin dan menawarkan format institusi dan prosedur u 57 %
ga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apa 5 %
jang sejarah Islam. Yang ada hanyalah kesepakatan mayoritas, bahkan di tingkat lokal. Pada periode modern, pemikir-pemikir Mu 22 %
ga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apa 27 %
ntuk menjadi mayoritas melalui proses perdebatan. Rahman bahkan mengelaborasi konsepnya tentang lembaga syura-ijma’ ini ke d 48 %
sing-masing negeri. Survei singkat di atas memperlihatkan bahwa ijma’ bisa memberikan pijakan yang efektif untuk menerima ke 52 %
y rule). Sejalan dengan ini, Louay M. Safi juga mengemukakan bahwa legitimasi negara tergantung pada sampai sejauh mana organis 54 %
isalah Nahwa an-Nur (1936), mensinyalir ada orang menganggap bahwa dengan menjadikan Islam sebagai landasan kehidupan, maka hal 68 %
ika putusan mayoritas tercapai, seluruh anggota masyarakat – baik Muslim ataupun non Muslim – harus berupaya mengejawantahkann 62 %
epada monoteisme dan hari akhirat, serta melakukan perbuatan baik akan selamat. Dalam negara modern, seluruh warga negara haru 78 %
tara satu sama lain, tanpa diskriminasi antara sesama warga, baik Muslim atau bukan Muslim. Pandangan-pandangan kesarjanaan 80 %
n di atas dengan jelas menyepakati kesetaraan warga negara – baik Muslim atau nonmuslim – serta persamaan hak dan kewajibannya 81 %
uslim mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya 1 %
uslim mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya 23 %
ernis asal pakistan, Fazlur Rahman mengungkapkan kemungkinan baru ijma’ dalam masyarakat kontemporer. Baginya, ijtihad yang di 33 %
agasan minoritas secara mayoritas, opini itu membentuk ijma’ baru dan menggantikan ijma’ lama. Aktivitas untuk menggalang kons 38 %
ajelis untuk membantu dan memimpin perbincangan-perbincangan bebas tentang masalah yang bertalian dengan Islam. Melanjutkan 31 %
eran dalam mencapai konsensus. Masyarakat pada umumnya tidak begitu diperhitungkan. Dengan demikian, ijma’ lebih bersifat elitis 14 %
lain itu, masih dalam konsepsi klasik, ijma’ berorientasi ke belakang: dalam kesepakatan ulama di masa-masa silam. Bahkan, di kalan 16 %
. Gagasan ijma’ yang agak luas dikemukakan al-Syafi’i dan belakangan oleh al-Ghazali. Bagi keduanya, ijma’ adalah kesepakatan kau 19 %
. Undang-undang atau hukun yang ditetapkan majelis bisa saja benar atau keliru. Tetapi, sepanjang hukum tersebut mencerminkan k 44 %
vidu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis perwakilan raky 4 %
vidu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis perwakilan raky 26 %
gara, ijma’ masyarakat akan ditempa atau dirumuskan ke dalam bentuk hukum dan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang d 41 %
kan alur logika yang telah dikemukakan, jelas bisa mengambil bentuk referendum. Partisipasi masyarakat yang luas dalam penentuan 95 %
i yang telah dirativikasi suatu negara muslim juga merupakan bentuk lain dari perluasan konsep ijma’. Dengan merativikasi konven 98 %
m. Oleh: Taufik Adnan Amal Konsensus atau ijma’ selama berabad-abad telah menjadi validasi terpenting berbagai keputusan di dala 7 %
entransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak me 5 %
entransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak me 27 %
ga syura-ijma’ ini ke dalam suatu majelis internasional yang beranggotakan majelis legislatif negeri-negeri Muslim. Tugasnya adalah mem 49 %
an menjadikan Islam sebagai landasan kehidupan, maka hal ini berarti minoritas nonmuslim tidak dapat hidup di lingkungan umat Isl 68 %
rn, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern. Muhamma 1 %
ijma’ selama berabad-abad telah menjadi validasi terpenting berbagai keputusan di dalam Islam, khususnya di kalangan Sunni. Nabi 8 %
rn, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern. Muhamma 23 %
rikan kemungkinan deliberasi dan perdebatan publik, sehingga berbagai sudut pandang yang berkembang dan dikembangkan secara indivi 59 %
dapat hidup di lingkungan umat Islam dan persatuan di antara berbagai unsur masyarakat tidak mungkin tercapai. Menurut al-Banna, a 69 %
lam undang-undang oleh majelis nasional negeri-negeri Muslim berdasarkan sinaran perbedaan regional dan situasi sosial masing-masing 51 %
lam sehubungan dengan komunitas-komunitas keagamaan lainnya, berdasarkan sejumlah ayat al-Quran (2:62 dan 5:69), yang – menurut tafsi 76 %
mengkristal atau berhasil dicapai dalam komunitas tersebut, berdasarkan prinsip mayoritas, ia mengikat seluruh anggotanya tanpa kecu 83 %
yarakat mengenai suatu hal adalah melalui referendum. Ijma’, berdasarkan alur logika yang telah dikemukakan, jelas bisa mengambil ben 94 %
ak akan menimbulkan perpecahan, malahan menjadikan persatuan berdimensi sakral dan religius. Senada dengan itu, Fazlur Rahman me 75 %
n konsensus. Karena itu, ketika suatu ijma’ mengkristal atau berhasil dicapai dalam komunitas tersebut, berdasarkan prinsip mayori 83 %
semacam itu, negara muslim tersebut terikat kesepakatan atau ber-ijma’ untuk melaksanakannya. Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Makassar 99 %
dan perdebatan publik, sehingga berbagai sudut pandang yang berkembang dan dikembangkan secara individual ataupun kolektif mendapat 60 %
sifat elitis. Selain itu, masih dalam konsepsi klasik, ijma’ berorientasi ke belakang: dalam kesepakatan ulama di masa-masa silam. Bah 16 %
kan konsensus mayoritas masyarakat – lebih bersifat dinamis, berorientasi ke depan, dan tidak monolitik. Golongan minoritas yang meras 36 %
nah bersabda: Umatku tidak akan bersepakat dalam kekeliruan. berpijak pada hadits inilah otoritas ijma’ yang mengikat itu disandar 10 %
khususnya di kalangan Sunni. Nabi Muhammad dikabarkan pernah bersabda: Umatku tidak akan bersepakat dalam kekeliruan. Berpijak pada 9 %
dak mungkin tercapai. Menurut al-Banna, anggapan semacam itu berseberangan dengan prinsip persamaan dan pengakuan Islam terhadap minori 70 %
Nabi Muhammad dikabarkan pernah bersabda: Umatku tidak akan bersepakat dalam kekeliruan. Berpijak pada hadits inilah otoritas ijma’ 9 %
ya tidak begitu diperhitungkan. Dengan demikian, ijma’ lebih bersifat elitis. Selain itu, masih dalam konsepsi klasik, ijma’ beror 15 %
sepakatan kaum Muslimin secara menyeluruh. Gagasan ini jelas bersifat utopis, karena tidak ada kesepakatan umat Islam yang bulat a 21 %
jma’ – yang merupakan konsensus mayoritas masyarakat – lebih bersifat dinamis, berorientasi ke depan, dan tidak monolitik. Golonga 35 %
ng hukum tersebut mencerminkan kehendak masyarakat, ia tetap bersifat islami dan demokratis karena merepresentasikan ijma’ masyara 45 %
emimpin perbincangan-perbincangan bebas tentang masalah yang bertalian dengan Islam. Melanjutkan alur pemikiran Iqbal, sarjana 31 %
ai mengikat, terlebih lagi jika ia merativikasi doktrin yang bertentangan dengan tradisi salaf. Gagasan ijma’ yang agak luas dikemu 18 %
anggota masyarakat – baik Muslim ataupun non Muslim – harus berupaya mengejawantahkannya ke dalam praktik. Penggagas, pengikut at 63 %
dangan minoritas juga harus menerima keputusan mayoritas dan berupaya mengimplementasikannya sebagai suatu konsensus. Mekanisme 64 %
. Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal 5 %
Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal 27 %
para ahli. Undang-undang atau hukun yang ditetapkan majelis bisa saja benar atau keliru. Tetapi, sepanjang hukum tersebut men 44 %
negeri. Survei singkat di atas memperlihatkan bahwa ijma’ bisa memberikan pijakan yang efektif untuk menerima kekuasaan may 52 %
asarkan terutama pada prinsip ijma’. Dengan kata lain, ijma’ bisa memberi kemungkinan legitimasi demokrasi bagi kaum Muslimin 57 %
). Tetapi, sebagai himpunan orang terpilih, majelis ini juga bisa mempengaruhi preferensi publik (preference formation), jika 89 %
Ijma’, berdasarkan alur logika yang telah dikemukakan, jelas bisa mengambil bentuk referendum. Partisipasi masyarakat yang lua 95 %
masyarakat yang luas dalam penentuan suatu kebijakan sangat bisa diharapkan dalam implementasi ijma’-referendum ini Pada l 96 %
nggagaskan keterlibatan seluruh anggota masyarakat, termasuk bukan muslim, dalam proses pengambilan keputusan. Tidak ada yang a 66 %
in, tanpa diskriminasi antara sesama warga, baik Muslim atau bukan Muslim. Pandangan-pandangan kesarjanaan Muslim yang dikem 80 %
ersifat utopis, karena tidak ada kesepakatan umat Islam yang bulat atau menyeluruh sepanjang sejarah Islam. Yang ada hanyalah k 21 %
lah yang dimaknai Rahman dengan istilah syura. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk membentuk konsensus masyarakat ata 93 %
liberasi, advokasi, pengajuan rancangan undang-undang, serta cara-cara lainnya yang melibatkan masyarakat, penting dilakukan majeli 91 %
i individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis perwakil 3 %
tuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Oleh: Taufik Adnan Amal Konsensus atau 7 %
abad telah menjadi validasi terpenting berbagai keputusan di dalam Islam, khususnya di kalangan Sunni. Nabi Muhammad dikabarkan 8 %
mad dikabarkan pernah bersabda: Umatku tidak akan bersepakat dalam kekeliruan. Berpijak pada hadits inilah otoritas ijma’ yang 9 %
akat muslim. Implikasinya, konsensus memainkan peran penting dalam perkembangan Islam dan memberi andil yang signifikan terhada 12 %
ri andil yang signifikan terhadap penafsirannya. Tetapi, dalam konsep tradisional, hanya ‘ulama’ yang memiliki peran dalam 13 %
dalam konsep tradisional, hanya ‘ulama’ yang memiliki peran dalam mencapai konsensus. Masyarakat pada umumnya tidak begitu dip 14 %
gan demikian, ijma’ lebih bersifat elitis. Selain itu, masih dalam konsepsi klasik, ijma’ berorientasi ke belakang: dalam kesep 15 %
masih dalam konsepsi klasik, ijma’ berorientasi ke belakang: dalam kesepakatan ulama di masa-masa silam. Bahkan, di kalangan ma 16 %
i individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis perwakil 26 %
tuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Tetapi, untuk menghindari kemungkinan terjadi 29 %
adap sumber-sumber Islam, Iqbal menyetujui masuknya ulama ke dalam majelis untuk membantu dan memimpin perbincangan-perbincanga 30 %
pakistan, Fazlur Rahman mengungkapkan kemungkinan baru ijma’ dalam masyarakat kontemporer. Baginya, ijtihad yang dihasilkan ind 33 %
dihasilkan individu atau kelompok kerja akan mengkristal ke dalam ijma’ setelah melalui interaksi ide yang ketat. Dengan demik 34 %
vel negara, ijma’ masyarakat akan ditempa atau dirumuskan ke dalam bentuk hukum dan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, 41 %
legislatif, yang disebut Rahman sebagai lembaga syura-ijma’. dalam pandangan Rahman, majelis ini dipilih oleh rakyat tanpa kual 42 %
lis ini dipilih oleh rakyat tanpa kualifikasi teknis apapun. dalam masalah-masalah pelik, majelis dapat meminta advis kepada pa 43 %
n mengelaborasi konsepnya tentang lembaga syura-ijma’ ini ke dalam suatu majelis internasional yang beranggotakan majelis legis 49 %
nya adalah memberi advis yang selanjutnya akan dirumuskan ke dalam undang-undang oleh majelis nasional negeri-negeri Muslim ber 50 %
m ataupun non Muslim – harus berupaya mengejawantahkannya ke dalam praktik. Penggagas, pengikut atau yang menyetujui pandangan 63 %
erlibatan seluruh anggota masyarakat, termasuk bukan muslim, dalam proses pengambilan keputusan. Tidak ada yang aneh dalam hal 66 %
lim, dalam proses pengambilan keputusan. Tidak ada yang aneh dalam hal ini. Hasan al-Banna, dalam risalah Nahwa an-Nur (1936), 67 %
eputusan. Tidak ada yang aneh dalam hal ini. Hasan al-Banna, dalam risalah Nahwa an-Nur (1936), mensinyalir ada orang mengangga 67 %
n hari akhirat, serta melakukan perbuatan baik akan selamat. dalam negara modern, seluruh warga negara harus dipandang setara s 78 %
u nonmuslim – serta persamaan hak dan kewajibannya, termasuk dalam proses pencapaian konsensus. Karena itu, ketika suatu ijma’ 82 %
na itu, ketika suatu ijma’ mengkristal atau berhasil dicapai dalam komunitas tersebut, berdasarkan prinsip mayoritas, ia mengik 83 %
tasi masyarakat yang menerjemahkan kepentingan masyarakat ke dalam kebijakan-kebijakan yang koheren dan konsisten (preference r 87 %
mation), jika suatu masalah dinilai laik untuk dirumuskan ke dalam kebijakan. Untuk pembentukan preferensi ini, deliberasi, adv 90 %
engambil bentuk referendum. Partisipasi masyarakat yang luas dalam penentuan suatu kebijakan sangat bisa diharapkan dalam imple 96 %
luas dalam penentuan suatu kebijakan sangat bisa diharapkan dalam implementasi ijma’-referendum ini Pada level regional ata 96 %
, konsensus memainkan peran penting dalam perkembangan Islam dan memberi andil yang signifikan terhadap penafsirannya. Te 12 %
alaf. Gagasan ijma’ yang agak luas dikemukakan al-Syafi’i dan belakangan oleh al-Ghazali. Bagi keduanya, ijma’ adalah kese 19 %
al menyetujui masuknya ulama ke dalam majelis untuk membantu dan memimpin perbincangan-perbincangan bebas tentang masalah yan 31 %
masyarakat – lebih bersifat dinamis, berorientasi ke depan, dan tidak monolitik. Golongan minoritas yang merasa ijtihad-nya 36 %
n minoritas secara mayoritas, opini itu membentuk ijma’ baru dan menggantikan ijma’ lama. Aktivitas untuk menggalang konsensu 39 %
asyarakat akan ditempa atau dirumuskan ke dalam bentuk hukum dan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang disebut Rah 41 %
t mencerminkan kehendak masyarakat, ia tetap bersifat islami dan demokratis karena merepresentasikan ijma’ masyarakat. Selain 45 %
negeri-negeri Muslim berdasarkan sinaran perbedaan regional dan situasi sosial masing-masing negeri. Survei singkat di at 51 %
itimasi negara tergantung pada sampai sejauh mana organisasi dan kekuasaan negara merefleksikan kehendak masyarakat, karena – 54 %
memberi kemungkinan legitimasi demokrasi bagi kaum Muslimin dan menawarkan format institusi dan prosedur untuk menjalankanny 58 %
demokrasi bagi kaum Muslimin dan menawarkan format institusi dan prosedur untuk menjalankannya. Mekanisme ijma’ yang telah 58 %
yang telah diuraikan juga memberikan kemungkinan deliberasi dan perdebatan publik, sehingga berbagai sudut pandang yang berk 59 %
atan publik, sehingga berbagai sudut pandang yang berkembang dan dikembangkan secara individual ataupun kolektif mendapat kes 60 %
pandangan minoritas juga harus menerima keputusan mayoritas dan berupaya mengimplementasikannya sebagai suatu konsensus. 64 %
noritas nonmuslim tidak dapat hidup di lingkungan umat Islam dan persatuan di antara berbagai unsur masyarakat tidak mungkin 69 %
anggapan semacam itu berseberangan dengan prinsip persamaan dan pengakuan Islam terhadap minoritas nonmuslim. Agama Islam, m 71 %
, kesatuan keagamaan umum (al-wahdah al-diniyyah al-’ammah), dan kesatuan keagamaan khusus umat Islam (al-wahdah al-diniyyah 73 %
n perpecahan, malahan menjadikan persatuan berdimensi sakral dan religius. Senada dengan itu, Fazlur Rahman menekankan si 75 %
keagamaan lainnya, berdasarkan sejumlah ayat al-Quran (2:62 dan 5:69), yang – menurut tafsiran Rahman – mengungkapkan siapa 77 %
man – mengungkapkan siapa pun yang percaya kepada monoteisme dan hari akhirat, serta melakukan perbuatan baik akan selamat. D 78 %
ga negara – baik Muslim atau nonmuslim – serta persamaan hak dan kewajibannya, termasuk dalam proses pencapaian konsensus. Ka 82 %
ntingan masyarakat ke dalam kebijakan-kebijakan yang koheren dan konsisten (preference representation). Tetapi, sebagai himpu 88 %
lifikasi teknis apapun. Dalam masalah-masalah pelik, majelis dapat meminta advis kepada para ahli. Undang-undang atau hukun yan 43 %
an kehidupan, maka hal ini berarti minoritas nonmuslim tidak dapat hidup di lingkungan umat Islam dan persatuan di antara berba 69 %
imaknai Rahman dengan istilah syura. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk membentuk konsensus masyarakat atau untuk men 93 %
gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke d 3 %
gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke d 25 %
ra yuris klasik – legitimasi institusi negara tidak terambil dari sumber-sumber tekstual, tetapi didasarkan terutama pada prin 56 %
dirativikasi suatu negara muslim juga merupakan bentuk lain dari perluasan konsep ijma’. Dengan merativikasi konvensi semacam 98 %
dibatasi pada konsensus para sahabat Nabi. Ijma’ apapun yang datang setelah itu tidak memiliki nilai mengikat, terlebih lagi jik 17 %
nisme ijma’ yang telah diuraikan juga memberikan kemungkinan deliberasi dan perdebatan publik, sehingga berbagai sudut pandang yang 59 %
Dengan kata lain, ijma’ bisa memberi kemungkinan legitimasi demokrasi bagi kaum Muslimin dan menawarkan format institusi dan prose 57 %
ncerminkan kehendak masyarakat, ia tetap bersifat islami dan demokratis karena merepresentasikan ijma’ masyarakat. Selain itu, ada k 45 %
de modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern 1 %
n konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gaga 2 %
stitusi legislatif permanen” atau majelis perwakilan rakyat. dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saj 4 %
sensus. Masyarakat pada umumnya tidak begitu diperhitungkan. dengan demikian, ijma’ lebih bersifat elitis. Selain itu, masih dal 15 %
terlebih lagi jika ia merativikasi doktrin yang bertentangan dengan tradisi salaf. Gagasan ijma’ yang agak luas dikemukakan a 19 %
de modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern 23 %
n konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gaga 24 %
stitusi legislatif permanen” atau majelis perwakilan rakyat. dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saj 26 %
rbincangan-perbincangan bebas tentang masalah yang bertalian dengan Islam. Melanjutkan alur pemikiran Iqbal, sarjana pemikir 31 %
tal ke dalam ijma’ setelah melalui interaksi ide yang ketat. dengan demikian, ijma’ – yang merupakan konsensus mayoritas masyara 35 %
g konsensus masyarakat ini, menurut Rahman, dirujuk al-Quran dengan terma syura. Pada level negara, ijma’ masyarakat akan dit 40 %
untuk menerima kekuasaan mayoritas (majority rule). Sejalan dengan ini, Louay M. Safi juga mengemukakan bahwa legitimasi negara 53 %
ber tekstual, tetapi didasarkan terutama pada prinsip ijma’. dengan kata lain, ijma’ bisa memberi kemungkinan legitimasi demokra 57 %
Nahwa an-Nur (1936), mensinyalir ada orang menganggap bahwa dengan menjadikan Islam sebagai landasan kehidupan, maka hal ini be 68 %
rcapai. Menurut al-Banna, anggapan semacam itu berseberangan dengan prinsip persamaan dan pengakuan Islam terhadap minoritas non 70 %
jadikan persatuan berdimensi sakral dan religius. Senada dengan itu, Fazlur Rahman menekankan sikap anti-eksklusivisme Islam 75 %
Rahman menekankan sikap anti-eksklusivisme Islam sehubungan dengan komunitas-komunitas keagamaan lainnya, berdasarkan sejumlah 76 %
dangan-pandangan kesarjanaan Muslim yang dikemukakan di atas dengan jelas menyepakati kesetaraan warga negara – baik Muslim atau 81 %
kukan majelis. Aktivitas semacam inilah yang dimaknai Rahman dengan istilah syura. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk 92 %
slim juga merupakan bentuk lain dari perluasan konsep ijma’. dengan merativikasi konvensi semacam itu, negara muslim tersebut te 98 %
ad-abad telah menjadi validasi terpenting berbagai keputusan di dalam Islam, khususnya di kalangan Sunni. Nabi Muhammad dika 8 %
dasi terpenting berbagai keputusan di dalam Islam, khususnya di kalangan Sunni. Nabi Muhammad dikabarkan pernah bersabda: Um 8 %
inilah otoritas ijma’ yang mengikat itu disandarkan. Bahkan, di kalangan Sunni, otoritas final untuk penafsiran keagamaan di 10 %
sik, ijma’ berorientasi ke belakang: dalam kesepakatan ulama di masa-masa silam. Bahkan, di kalangan mazhab Islam tertentu, 16 %
elakang: dalam kesepakatan ulama di masa-masa silam. Bahkan, di kalangan mazhab Islam tertentu, ijma’ dibatasi pada konsensu 16 %
jarah Islam. Yang ada hanyalah kesepakatan mayoritas, bahkan di tingkat lokal. Pada periode modern, pemikir-pemikir Musli 22 %
l dan situasi sosial masing-masing negeri. Survei singkat di atas memperlihatkan bahwa ijma’ bisa memberikan pijakan yang 52 %
, maka hal ini berarti minoritas nonmuslim tidak dapat hidup di lingkungan umat Islam dan persatuan di antara berbagai unsur 69 %
lim tidak dapat hidup di lingkungan umat Islam dan persatuan di antara berbagai unsur masyarakat tidak mungkin tercapai. Men 69 %
. Pandangan-pandangan kesarjanaan Muslim yang dikemukakan di atas dengan jelas menyepakati kesetaraan warga negara – baik 81 %
seluruh anggotanya tanpa kecuali. Sebagaimana disinggung di atas, konsensus atau ijma’ masyarakat inilah yang kemudian d 84 %
lah yang kemudian diundangkan oleh lembaga perwakilan rakyat di tingkat lokal atau nasional. Majelis semacam ini –yang diben 85 %
arakat akhirnya secara konsensus atau mayoritas memilih yang dianggap laik. Ketika putusan mayoritas tercapai, seluruh anggota mas 61 %
masa silam. Bahkan, di kalangan mazhab Islam tertentu, ijma’ dibatasi pada konsensus para sahabat Nabi. Ijma’ apapun yang datang s 17 %
at di tingkat lokal atau nasional. Majelis semacam ini –yang dibentuk misalnya lewat pemilihan umum– tentunya merupakan representa 86 %
us. Karena itu, ketika suatu ijma’ mengkristal atau berhasil dicapai dalam komunitas tersebut, berdasarkan prinsip mayoritas, ia 83 %
si negara tidak terambil dari sumber-sumber tekstual, tetapi didasarkan terutama pada prinsip ijma’. Dengan kata lain, ijma’ bisa me 56 %
secara individual ataupun kolektif mendapat kesempatan untuk didengar sebelum masyarakat akhirnya secara konsensus atau mayoritas 61 %
arakat yang luas dalam penentuan suatu kebijakan sangat bisa diharapkan dalam implementasi ijma’-referendum ini Pada level region 96 %
ru ijma’ dalam masyarakat kontemporer. Baginya, ijtihad yang dihasilkan individu atau kelompok kerja akan mengkristal ke dalam ijma’ 33 %
n di dalam Islam, khususnya di kalangan Sunni. Nabi Muhammad dikabarkan pernah bersabda: Umatku tidak akan bersepakat dalam kekeliru 9 %
publik, sehingga berbagai sudut pandang yang berkembang dan dikembangkan secara individual ataupun kolektif mendapat kesempatan untuk 60 %
tangan dengan tradisi salaf. Gagasan ijma’ yang agak luas dikemukakan al-Syafi’i dan belakangan oleh al-Ghazali. Bagi keduanya, ij 19 %
bukan Muslim. Pandangan-pandangan kesarjanaan Muslim yang dikemukakan di atas dengan jelas menyepakati kesetaraan warga negara – b 81 %
serta cara-cara lainnya yang melibatkan masyarakat, penting dilakukan majelis. Aktivitas semacam inilah yang dimaknai Rahman denga 92 %
di kalangan Sunni, otoritas final untuk penafsiran keagamaan diletakkan pada konsensus (ijma’) atau putusan kolektif masyarakat musl 11 %
at, penting dilakukan majelis. Aktivitas semacam inilah yang dimaknai Rahman dengan istilah syura. Salah satu cara yang dapat d 92 %
preferensi publik (preference formation), jika suatu masalah dinilai laik untuk dirumuskan ke dalam kebijakan. Untuk pembentukan 90 %
kan selamat. Dalam negara modern, seluruh warga negara harus dipandang setara satu sama lain, tanpa diskriminasi antara sesama warg 79 %
gai lembaga syura-ijma’. Dalam pandangan Rahman, majelis ini dipilih oleh rakyat tanpa kualifikasi teknis apapun. Dalam masalah-m 42 %
el regional atau internasional, konvensi-konvensi yang telah dirativikasi suatu negara muslim juga merupakan bentuk lain dari perluasa 97 %
s untuk menggalang konsensus masyarakat ini, menurut Rahman, dirujuk al-Quran dengan terma syura. Pada level negara, ijma’ mas 40 %
ra. Pada level negara, ijma’ masyarakat akan ditempa atau dirumuskan ke dalam bentuk hukum dan perundang-undangan oleh lembaga le 41 %
Muslim. Tugasnya adalah memberi advis yang selanjutnya akan dirumuskan ke dalam undang-undang oleh majelis nasional negeri-negeri M 50 %
preference formation), jika suatu masalah dinilai laik untuk dirumuskan ke dalam kebijakan. Untuk pembentukan preferensi ini, delibe 90 %
k hukum dan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang disebut Rahman sebagai lembaga syura-ijma’. Dalam pandangan Rahman, 41 %
ia mengikat seluruh anggotanya tanpa kecuali. Sebagaimana disinggung di atas, konsensus atau ijma’ masyarakat inilah yang kemudia 84 %
uh warga negara harus dipandang setara satu sama lain, tanpa diskriminasi antara sesama warga, baik Muslim atau bukan Muslim. Panda 79 %
n negara merefleksikan kehendak masyarakat, karena – seperti ditegaskan para yuris klasik – legitimasi institusi negara tidak teramb 55 %
gan terma syura. Pada level negara, ijma’ masyarakat akan ditempa atau dirumuskan ke dalam bentuk hukum dan perundang-undangan 40 %
i Rahman dengan istilah syura. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk membentuk konsensus masyarakat atau untuk menakar kese 93 %
eminta advis kepada para ahli. Undang-undang atau hukun yang ditetapkan majelis bisa saja benar atau keliru. Tetapi, sepanjang hukum 44 %
i atas, konsensus atau ijma’ masyarakat inilah yang kemudian diundangkan oleh lembaga perwakilan rakyat di tingkat lokal atau nasiona 85 %
prosedur untuk menjalankannya. Mekanisme ijma’ yang telah diuraikan juga memberikan kemungkinan deliberasi dan perdebatan publik 59 %
memiliki nilai mengikat, terlebih lagi jika ia merativikasi doktrin yang bertentangan dengan tradisi salaf. Gagasan ijma’ yan 18 %
ut terikat kesepakatan atau ber-ijma’ untuk melaksanakannya. dosen Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Makassar 99 %
atas memperlihatkan bahwa ijma’ bisa memberikan pijakan yang efektif untuk menerima kekuasaan mayoritas (majority rule). Sejalan 53 %
kesepakatan atau ber-ijma’ untuk melaksanakannya. Dosen fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Makassar 100 %
pemikiran Iqbal, sarjana pemikir neo-modernis asal pakistan, fazlur Rahman mengungkapkan kemungkinan baru ijma’ dalam masyarakat 32 %
atuan berdimensi sakral dan religius. Senada dengan itu, fazlur Rahman menekankan sikap anti-eksklusivisme Islam sehubungan 75 %
engikat itu disandarkan. Bahkan, di kalangan Sunni, otoritas final untuk penafsiran keagamaan diletakkan pada konsensus (ijma’) 11 %
kinan legitimasi demokrasi bagi kaum Muslimin dan menawarkan format institusi dan prosedur untuk menjalankannya. Mekanisme ij 58 %
merativikasi doktrin yang bertentangan dengan tradisi salaf. gagasan ijma’ yang agak luas dikemukakan al-Syafi’i dan belakangan o 19 %
a, ijma’ adalah kesepakatan kaum Muslimin secara menyeluruh. gagasan ini jelas bersifat utopis, karena tidak ada kesepakatan umat 20 %
akan kebenaran gagasannya. Apabila masyarakat telah menerima gagasan minoritas secara mayoritas, opini itu membentuk ijma’ baru d 38 %
ngan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari indivi 2 %
ngan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari indivi 24 %
ersifat dinamis, berorientasi ke depan, dan tidak monolitik. golongan minoritas yang merasa ijtihad-nya lebih mendekati kebenaran, 36 %
Umatku tidak akan bersepakat dalam kekeliruan. Berpijak pada hadits inilah otoritas ijma’ yang mengikat itu disandarkan. Bahkan, 10 %
warga negara – baik Muslim atau nonmuslim – serta persamaan hak dan kewajibannya, termasuk dalam proses pencapaian konsensus 82 %
alam proses pengambilan keputusan. Tidak ada yang aneh dalam hal ini. Hasan al-Banna, dalam risalah Nahwa an-Nur (1936), mens 67 %
hwa dengan menjadikan Islam sebagai landasan kehidupan, maka hal ini berarti minoritas nonmuslim tidak dapat hidup di lingkun 68 %
kat atau untuk menakar kesepakatan masyarakat mengenai suatu hal adalah melalui referendum. Ijma’, berdasarkan alur logika ya 94 %
erhadap penafsirannya. Tetapi, dalam konsep tradisional, hanya ‘ulama’ yang memiliki peran dalam mencapai konsensus. Masyar 13 %
yang bulat atau menyeluruh sepanjang sejarah Islam. Yang ada hanyalah kesepakatan mayoritas, bahkan di tingkat lokal. Pada peri 22 %
– mengungkapkan siapa pun yang percaya kepada monoteisme dan hari akhirat, serta melakukan perbuatan baik akan selamat. Dalam 78 %
eluruh anggota masyarakat – baik Muslim ataupun non Muslim – harus berupaya mengejawantahkannya ke dalam praktik. Penggagas, pe 63 %
agas, pengikut atau yang menyetujui pandangan minoritas juga harus menerima keputusan mayoritas dan berupaya mengimplementasika 64 %
baik akan selamat. Dalam negara modern, seluruh warga negara harus dipandang setara satu sama lain, tanpa diskriminasi antara s 79 %
es pengambilan keputusan. Tidak ada yang aneh dalam hal ini. hasan al-Banna, dalam risalah Nahwa an-Nur (1936), mensinyalir ada 67 %
idupan, maka hal ini berarti minoritas nonmuslim tidak dapat hidup di lingkungan umat Islam dan persatuan di antara berbagai un 69 %
n dan konsisten (preference representation). Tetapi, sebagai himpunan orang terpilih, majelis ini juga bisa mempengaruhi preferens 88 %
jma’ masyarakat akan ditempa atau dirumuskan ke dalam bentuk hukum dan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang disebut 41 %
apkan majelis bisa saja benar atau keliru. Tetapi, sepanjang hukum tersebut mencerminkan kehendak masyarakat, ia tetap bersifat 45 %
lis dapat meminta advis kepada para ahli. Undang-undang atau hukun yang ditetapkan majelis bisa saja benar atau keliru. Tetapi, 44 %
etelah itu tidak memiliki nilai mengikat, terlebih lagi jika ia merativikasi doktrin yang bertentangan dengan tradisi salaf. 18 %
, sepanjang hukum tersebut mencerminkan kehendak masyarakat, ia tetap bersifat islami dan demokratis karena merepresentasika 45 %
pai dalam komunitas tersebut, berdasarkan prinsip mayoritas, ia mengikat seluruh anggotanya tanpa kecuali. Sebagaimana di 84 %
er-ijma’ untuk melaksanakannya. Dosen Fakultas Syari’ah iain Alauddin Makassar 100 %
ja akan mengkristal ke dalam ijma’ setelah melalui interaksi ide yang ketat. Dengan demikian, ijma’ – yang merupakan konsensu 34 %
Menilik Model ijma’ Kontemporer Pada periode modern, pemikir-pemikir Muslim m 0 %
periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi 1 %
. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewaki 2 %
masalah hukum. Oleh: Taufik Adnan Amal Konsensus atau ijma’ selama berabad-abad telah menjadi validasi terpenting berbag 7 %
pakat dalam kekeliruan. Berpijak pada hadits inilah otoritas ijma’ yang mengikat itu disandarkan. Bahkan, di kalangan Sunni, ot 10 %
t pada umumnya tidak begitu diperhitungkan. Dengan demikian, ijma’ lebih bersifat elitis. Selain itu, masih dalam konsepsi klas 15 %
ih bersifat elitis. Selain itu, masih dalam konsepsi klasik, ijma’ berorientasi ke belakang: dalam kesepakatan ulama di masa-ma 16 %
masa-masa silam. Bahkan, di kalangan mazhab Islam tertentu, ijma’ dibatasi pada konsensus para sahabat Nabi. Ijma’ apapun yang 17 %
m tertentu, ijma’ dibatasi pada konsensus para sahabat Nabi. ijma’ apapun yang datang setelah itu tidak memiliki nilai mengikat 17 %
i doktrin yang bertentangan dengan tradisi salaf. Gagasan ijma’ yang agak luas dikemukakan al-Syafi’i dan belakangan oleh al 19 %
an al-Syafi’i dan belakangan oleh al-Ghazali. Bagi keduanya, ijma’ adalah kesepakatan kaum Muslimin secara menyeluruh. Gagasan 20 %
periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi 23 %
. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewaki 24 %
asal pakistan, Fazlur Rahman mengungkapkan kemungkinan baru ijma’ dalam masyarakat kontemporer. Baginya, ijtihad yang dihasilk 33 %
ilkan individu atau kelompok kerja akan mengkristal ke dalam ijma’ setelah melalui interaksi ide yang ketat. Dengan demikian, i 34 %
’ setelah melalui interaksi ide yang ketat. Dengan demikian, ijma’ – yang merupakan konsensus mayoritas masyarakat – lebih bers 35 %
rima gagasan minoritas secara mayoritas, opini itu membentuk ijma’ baru dan menggantikan ijma’ lama. Aktivitas untuk menggalang 38 %
a mayoritas, opini itu membentuk ijma’ baru dan menggantikan ijma’ lama. Aktivitas untuk menggalang konsensus masyarakat ini, m 39 %
, dirujuk al-Quran dengan terma syura. Pada level negara, ijma’ masyarakat akan ditempa atau dirumuskan ke dalam bentuk huku 40 %
etap bersifat islami dan demokratis karena merepresentasikan ijma’ masyarakat. Selain itu, ada kemungkinan untuk mengubah konse 46 %
asing negeri. Survei singkat di atas memperlihatkan bahwa ijma’ bisa memberikan pijakan yang efektif untuk menerima kekuasaa 52 %
pi didasarkan terutama pada prinsip ijma’. Dengan kata lain, ijma’ bisa memberi kemungkinan legitimasi demokrasi bagi kaum Musl 57 %
at institusi dan prosedur untuk menjalankannya. Mekanisme ijma’ yang telah diuraikan juga memberikan kemungkinan deliberasi 58 %
mengimplementasikannya sebagai suatu konsensus. Mekanisme ijma’ semacam ini menggagaskan keterlibatan seluruh anggota masyar 65 %
dalam proses pencapaian konsensus. Karena itu, ketika suatu ijma’ mengkristal atau berhasil dicapai dalam komunitas tersebut, 83 %
a kecuali. Sebagaimana disinggung di atas, konsensus atau ijma’ masyarakat inilah yang kemudian diundangkan oleh lembaga per 85 %
an suatu kebijakan sangat bisa diharapkan dalam implementasi ijma’-referendum ini Pada level regional atau internasional, konvensi-konv 96 %
ngkapkan gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi 3 %
permanen” atau majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Musl 4 %
ngkapkan gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi 25 %
anen” atau majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Musl 27 %
emungkinan baru ijma’ dalam masyarakat kontemporer. Baginya, ijtihad yang dihasilkan individu atau kelompok kerja akan mengkrista 33 %
e depan, dan tidak monolitik. Golongan minoritas yang merasa ijtihad-nya lebih mendekati kebenaran, terbuka sepenuhnya untuk meyakink 36 %
gamaan khusus umat Islam (al-wahdah al-diniyyah al-khassah). implementasi prinsip-prinsip ini, menurut al-Banna, tidak akan menimbulka 73 %
dalam penentuan suatu kebijakan sangat bisa diharapkan dalam implementasi ijma’-referendum ini Pada level regional atau internasion 96 %
sannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bent 3 %
sannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bent 25 %
lam masyarakat kontemporer. Baginya, ijtihad yang dihasilkan individu atau kelompok kerja akan mengkristal ke dalam ijma’ setelah 34 %
rbagai sudut pandang yang berkembang dan dikembangkan secara individual ataupun kolektif mendapat kesempatan untuk didengar sebelum 60 %
adalah kesepakatan kaum Muslimin secara menyeluruh. Gagasan ini jelas bersifat utopis, karena tidak ada kesepakatan umat Isl 21 %
sebagai lembaga syura-ijma’. Dalam pandangan Rahman, majelis ini dipilih oleh rakyat tanpa kualifikasi teknis apapun. Dalam m 42 %
n bahkan mengelaborasi konsepnya tentang lembaga syura-ijma’ ini ke dalam suatu majelis internasional yang beranggotakan maje 49 %
sikannya sebagai suatu konsensus. Mekanisme ijma’ semacam ini menggagaskan keterlibatan seluruh anggota masyarakat, termas 65 %
dengan menjadikan Islam sebagai landasan kehidupan, maka hal ini berarti minoritas nonmuslim tidak dapat hidup di lingkungan 68 %
kilan rakyat di tingkat lokal atau nasional. Majelis semacam ini –yang dibentuk misalnya lewat pemilihan umum– tentunya merup 86 %
sentation). Tetapi, sebagai himpunan orang terpilih, majelis ini juga bisa mempengaruhi preferensi publik (preference formati 89 %
n sangat bisa diharapkan dalam implementasi ijma’-referendum ini Pada level regional atau internasional, konvensi-konvensi ya 96 %
tidak akan bersepakat dalam kekeliruan. Berpijak pada hadits inilah otoritas ijma’ yang mengikat itu disandarkan. Bahkan, di kal 10 %
agaimana disinggung di atas, konsensus atau ijma’ masyarakat inilah yang kemudian diundangkan oleh lembaga perwakilan rakyat di 85 %
kan masyarakat, penting dilakukan majelis. Aktivitas semacam inilah yang dimaknai Rahman dengan istilah syura. Salah satu car 92 %
, karena – seperti ditegaskan para yuris klasik – legitimasi institusi negara tidak terambil dari sumber-sumber tekstual, tetapi di 56 %
egitimasi demokrasi bagi kaum Muslimin dan menawarkan format institusi dan prosedur untuk menjalankannya. Mekanisme ijma’ yang t 58 %
lompok kerja akan mengkristal ke dalam ijma’ setelah melalui interaksi ide yang ketat. Dengan demikian, ijma’ – yang merupakan kons 34 %
epnya tentang lembaga syura-ijma’ ini ke dalam suatu majelis internasional yang beranggotakan majelis legislatif negeri-negeri Muslim. 49 %
g bisa saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksa 5 %
g bisa saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksa 28 %
gkinan terjadinya salah tafsir terhadap sumber-sumber Islam, iqbal menyetujui masuknya ulama ke dalam majelis untuk membantu da 30 %
asinya, konsensus memainkan peran penting dalam perkembangan islam dan memberi andil yang signifikan terhadap penafsirannya. 12 %
pakatan ulama di masa-masa silam. Bahkan, di kalangan mazhab islam tertentu, ijma’ dibatasi pada konsensus para sahabat Nabi. I 17 %
ini jelas bersifat utopis, karena tidak ada kesepakatan umat islam yang bulat atau menyeluruh sepanjang sejarah Islam. Yang ada 21 %
6), mensinyalir ada orang menganggap bahwa dengan menjadikan islam sebagai landasan kehidupan, maka hal ini berarti minoritas n 68 %
rti minoritas nonmuslim tidak dapat hidup di lingkungan umat islam dan persatuan di antara berbagai unsur masyarakat tidak mung 69 %
cam itu berseberangan dengan prinsip persamaan dan pengakuan islam terhadap minoritas nonmuslim. Agama Islam, menurutnya, mengk 71 %
h al-diniyyah al-’ammah), dan kesatuan keagamaan khusus umat islam (al-wahdah al-diniyyah al-khassah). Implementasi prinsip-pri 73 %
engan itu, Fazlur Rahman menekankan sikap anti-eksklusivisme islam sehubungan dengan komunitas-komunitas keagamaan lainnya, ber 76 %
tersebut mencerminkan kehendak masyarakat, ia tetap bersifat islami dan demokratis karena merepresentasikan ijma’ masyarakat. Se 45 %
ajelis. Aktivitas semacam inilah yang dimaknai Rahman dengan istilah syura. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk membentu 92 %
an. Berpijak pada hadits inilah otoritas ijma’ yang mengikat itu disandarkan. Bahkan, di kalangan Sunni, otoritas final untuk 10 %
onsensus para sahabat Nabi. Ijma’ apapun yang datang setelah itu tidak memiliki nilai mengikat, terlebih lagi jika ia merativ 18 %
kat telah menerima gagasan minoritas secara mayoritas, opini itu membentuk ijma’ baru dan menggantikan ijma’ lama. Aktivitas 38 %
t tidak mungkin tercapai. Menurut al-Banna, anggapan semacam itu berseberangan dengan prinsip persamaan dan pengakuan Islam t 70 %
lah kesepakatan kaum Muslimin secara menyeluruh. Gagasan ini jelas bersifat utopis, karena tidak ada kesepakatan umat Islam yan 21 %
pandangan kesarjanaan Muslim yang dikemukakan di atas dengan jelas menyepakati kesetaraan warga negara – baik Muslim atau nonmu 81 %
ndum. Ijma’, berdasarkan alur logika yang telah dikemukakan, jelas bisa mengambil bentuk referendum. Partisipasi masyarakat yan 95 %
ang setelah itu tidak memiliki nilai mengikat, terlebih lagi jika ia merativikasi doktrin yang bertentangan dengan tradisi sal 18 %
bisa mempengaruhi preferensi publik (preference formation), jika suatu masalah dinilai laik untuk dirumuskan ke dalam kebijak 89 %
mayoritas (majority rule). Sejalan dengan ini, Louay M. Safi juga mengemukakan bahwa legitimasi negara tergantung pada sampai 54 %
ntuk menjalankannya. Mekanisme ijma’ yang telah diuraikan juga memberikan kemungkinan deliberasi dan perdebatan publik, seh 59 %
Penggagas, pengikut atau yang menyetujui pandangan minoritas juga harus menerima keputusan mayoritas dan berupaya mengimplemen 64 %
ation). Tetapi, sebagai himpunan orang terpilih, majelis ini juga bisa mempengaruhi preferensi publik (preference formation), 89 %
onvensi-konvensi yang telah dirativikasi suatu negara muslim juga merupakan bentuk lain dari perluasan konsep ijma’. Dengan me 98 %
i terpenting berbagai keputusan di dalam Islam, khususnya di kalangan Sunni. Nabi Muhammad dikabarkan pernah bersabda: Umatku tida 8 %
lah otoritas ijma’ yang mengikat itu disandarkan. Bahkan, di kalangan Sunni, otoritas final untuk penafsiran keagamaan diletakkan 10 %
kang: dalam kesepakatan ulama di masa-masa silam. Bahkan, di kalangan mazhab Islam tertentu, ijma’ dibatasi pada konsensus para sa 16 %
slimin secara menyeluruh. Gagasan ini jelas bersifat utopis, karena tidak ada kesepakatan umat Islam yang bulat atau menyeluruh 21 %
kehendak masyarakat, ia tetap bersifat islami dan demokratis karena merepresentasikan ijma’ masyarakat. Selain itu, ada kemungki 45 %
lain itu, ada kemungkinan untuk mengubah konsensus tersebut, karena secara potensial selalu terdapat kemungkinan bagi pandangan 47 %
sasi dan kekuasaan negara merefleksikan kehendak masyarakat, karena – seperti ditegaskan para yuris klasik – legitimasi institus 55 %
an kewajibannya, termasuk dalam proses pencapaian konsensus. karena itu, ketika suatu ijma’ mengkristal atau berhasil dicapai da 82 %
stual, tetapi didasarkan terutama pada prinsip ijma’. Dengan kata lain, ijma’ bisa memberi kemungkinan legitimasi demokrasi ba 57 %
gan oleh al-Ghazali. Bagi keduanya, ijma’ adalah kesepakatan kaum Muslimin secara menyeluruh. Gagasan ini jelas bersifat utopi 20 %
in, ijma’ bisa memberi kemungkinan legitimasi demokrasi bagi kaum Muslimin dan menawarkan format institusi dan prosedur untuk 57 %
dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis pe 3 %
Selain itu, masih dalam konsepsi klasik, ijma’ berorientasi ke belakang: dalam kesepakatan ulama di masa-masa silam. Bahkan 16 %
dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis pe 26 %
erhadap sumber-sumber Islam, Iqbal menyetujui masuknya ulama ke dalam majelis untuk membantu dan memimpin perbincangan-perbi 30 %
ang dihasilkan individu atau kelompok kerja akan mengkristal ke dalam ijma’ setelah melalui interaksi ide yang ketat. Dengan 34 %
mayoritas masyarakat – lebih bersifat dinamis, berorientasi ke depan, dan tidak monolitik. Golongan minoritas yang merasa i 36 %
level negara, ijma’ masyarakat akan ditempa atau dirumuskan ke dalam bentuk hukum dan perundang-undangan oleh lembaga legis 41 %
hkan mengelaborasi konsepnya tentang lembaga syura-ijma’ ini ke dalam suatu majelis internasional yang beranggotakan majelis 49 %
gasnya adalah memberi advis yang selanjutnya akan dirumuskan ke dalam undang-undang oleh majelis nasional negeri-negeri Musl 50 %
slim ataupun non Muslim – harus berupaya mengejawantahkannya ke dalam praktik. Penggagas, pengikut atau yang menyetujui pand 63 %
sentasi masyarakat yang menerjemahkan kepentingan masyarakat ke dalam kebijakan-kebijakan yang koheren dan konsisten (prefer 87 %
formation), jika suatu masalah dinilai laik untuk dirumuskan ke dalam kebijakan. Untuk pembentukan preferensi ini, deliberas 90 %
. Bahkan, di kalangan Sunni, otoritas final untuk penafsiran keagamaan diletakkan pada konsensus (ijma’) atau putusan kolektif masy 11 %
manusiaan umum (al-wahdah al-insaniyyah al-’ammah), kesatuan keagamaan umum (al-wahdah al-diniyyah al-’ammah), dan kesatuan keagama 72 %
agamaan umum (al-wahdah al-diniyyah al-’ammah), dan kesatuan keagamaan khusus umat Islam (al-wahdah al-diniyyah al-khassah). Implem 73 %
ti-eksklusivisme Islam sehubungan dengan komunitas-komunitas keagamaan lainnya, berdasarkan sejumlah ayat al-Quran (2:62 dan 5:69), 76 %
benaran, terbuka sepenuhnya untuk meyakinkan masyarakat akan kebenaran gagasannya. Apabila masyarakat telah menerima gagasan minori 37 %
ndum. Partisipasi masyarakat yang luas dalam penentuan suatu kebijakan sangat bisa diharapkan dalam implementasi ijma’-referendum i 96 %
asyarakat yang menerjemahkan kepentingan masyarakat ke dalam kebijakan-kebijakan yang koheren dan konsisten (preference representation). Teta 87 %
dak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Oleh: Ta 6 %
dak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Tetapi, unt 28 %
r atau keliru. Tetapi, sepanjang hukum tersebut mencerminkan kehendak masyarakat, ia tetap bersifat islami dan demokratis karena m 45 %
ai sejauh mana organisasi dan kekuasaan negara merefleksikan kehendak masyarakat, karena – seperti ditegaskan para yuris klasik – 55 %
nya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang teror 3 %
nya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang teror 25 %
wa ijma’ bisa memberikan pijakan yang efektif untuk menerima kekuasaan mayoritas (majority rule). Sejalan dengan ini, Louay M. Safi 53 %
asi negara tergantung pada sampai sejauh mana organisasi dan kekuasaan negara merefleksikan kehendak masyarakat, karena – seperti d 54 %
kontemporer. Baginya, ijtihad yang dihasilkan individu atau kelompok kerja akan mengkristal ke dalam ijma’ setelah melalui intera 34 %
as nonmuslim. Agama Islam, menurutnya, mengkuduskan kesatuan kemanusiaan umum (al-wahdah al-insaniyyah al-’ammah), kesatuan keagamaan 72 %
inggung di atas, konsensus atau ijma’ masyarakat inilah yang kemudian diundangkan oleh lembaga perwakilan rakyat di tingkat lokal 85 %
ir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, mis 1 %
ir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, mis 23 %
an yang tajam dalam masalah hukum. Tetapi, untuk menghindari kemungkinan terjadinya salah tafsir terhadap sumber-sumber Islam, Iqbal 29 %
ikir neo-modernis asal pakistan, Fazlur Rahman mengungkapkan kemungkinan baru ijma’ dalam masyarakat kontemporer. Baginya, ijtihad ya 33 %
s karena merepresentasikan ijma’ masyarakat. Selain itu, ada kemungkinan untuk mengubah konsensus tersebut, karena secara potensial s 46 %
konsensus tersebut, karena secara potensial selalu terdapat kemungkinan bagi pandangan minoritas untuk menjadi mayoritas melalui pro 47 %
ama pada prinsip ijma’. Dengan kata lain, ijma’ bisa memberi kemungkinan legitimasi demokrasi bagi kaum Muslimin dan menawarkan forma 57 %
nya. Mekanisme ijma’ yang telah diuraikan juga memberikan kemungkinan deliberasi dan perdebatan publik, sehingga berbagai sudut pa 59 %
” atau majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam 5 %
au majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam 27 %
un. Dalam masalah-masalah pelik, majelis dapat meminta advis kepada para ahli. Undang-undang atau hukun yang ditetapkan majelis 43 %
nurut tafsiran Rahman – mengungkapkan siapa pun yang percaya kepada monoteisme dan hari akhirat, serta melakukan perbuatan baik 78 %
entunya merupakan representasi masyarakat yang menerjemahkan kepentingan masyarakat ke dalam kebijakan-kebijakan yang koheren dan kon 87 %
lama berabad-abad telah menjadi validasi terpenting berbagai keputusan di dalam Islam, khususnya di kalangan Sunni. Nabi Muhammad d 8 %
atau yang menyetujui pandangan minoritas juga harus menerima keputusan mayoritas dan berupaya mengimplementasikannya sebagai suatu 64 %
rer. Baginya, ijtihad yang dihasilkan individu atau kelompok kerja akan mengkristal ke dalam ijma’ setelah melalui interaksi id 34 %
warga, baik Muslim atau bukan Muslim. Pandangan-pandangan kesarjanaan Muslim yang dikemukakan di atas dengan jelas menyepakati kes 80 %
p minoritas nonmuslim. Agama Islam, menurutnya, mengkuduskan kesatuan kemanusiaan umum (al-wahdah al-insaniyyah al-’ammah), kesatu 71 %
satuan kemanusiaan umum (al-wahdah al-insaniyyah al-’ammah), kesatuan keagamaan umum (al-wahdah al-diniyyah al-’ammah), dan kesatu 72 %
satuan keagamaan umum (al-wahdah al-diniyyah al-’ammah), dan kesatuan keagamaan khusus umat Islam (al-wahdah al-diniyyah al-khassa 73 %
dan dikembangkan secara individual ataupun kolektif mendapat kesempatan untuk didengar sebelum masyarakat akhirnya secara konsensus 60 %
dalam konsepsi klasik, ijma’ berorientasi ke belakang: dalam kesepakatan ulama di masa-masa silam. Bahkan, di kalangan mazhab Islam t 16 %
dan belakangan oleh al-Ghazali. Bagi keduanya, ijma’ adalah kesepakatan kaum Muslimin secara menyeluruh. Gagasan ini jelas bersifat 20 %
yeluruh. Gagasan ini jelas bersifat utopis, karena tidak ada kesepakatan umat Islam yang bulat atau menyeluruh sepanjang sejarah Isla 21 %
t atau menyeluruh sepanjang sejarah Islam. Yang ada hanyalah kesepakatan mayoritas, bahkan di tingkat lokal. Pada periode modern, 22 %
mpuh untuk membentuk konsensus masyarakat atau untuk menakar kesepakatan masyarakat mengenai suatu hal adalah melalui referendum. Ijm 94 %
ivikasi konvensi semacam itu, negara muslim tersebut terikat kesepakatan atau ber-ijma’ untuk melaksanakannya. Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Makassar 99 %
aan Muslim yang dikemukakan di atas dengan jelas menyepakati kesetaraan warga negara – baik Muslim atau nonmuslim – serta persamaan 81 %
suatu konsensus. Mekanisme ijma’ semacam ini menggagaskan keterlibatan seluruh anggota masyarakat, termasuk bukan muslim, dalam pro 65 %
secara konsensus atau mayoritas memilih yang dianggap laik. ketika putusan mayoritas tercapai, seluruh anggota masyarakat – bai 62 %
nya, termasuk dalam proses pencapaian konsensus. Karena itu, ketika suatu ijma’ mengkristal atau berhasil dicapai dalam komunita 83 %
um (al-wahdah al-diniyyah al-’ammah), dan kesatuan keagamaan khusus umat Islam (al-wahdah al-diniyyah al-khassah). Implementasi 73 %
njadi validasi terpenting berbagai keputusan di dalam Islam, khususnya di kalangan Sunni. Nabi Muhammad dikabarkan pernah bersabda: 8 %
kehendak masyarakat, karena – seperti ditegaskan para yuris klasik – legitimasi institusi negara tidak terambil dari sumber-sum 55 %
kan kepentingan masyarakat ke dalam kebijakan-kebijakan yang koheren dan konsisten (preference representation). Tetapi, sebagai h 88 %
ran keagamaan diletakkan pada konsensus (ijma’) atau putusan kolektif masyarakat muslim. Implikasinya, konsensus memainkan peran p 11 %
g yang berkembang dan dikembangkan secara individual ataupun kolektif mendapat kesempatan untuk didengar sebelum masyarakat akhirn 60 %
, ketika suatu ijma’ mengkristal atau berhasil dicapai dalam komunitas tersebut, berdasarkan prinsip mayoritas, ia mengikat seluruh 83 %
menekankan sikap anti-eksklusivisme Islam sehubungan dengan komunitas-komunitas keagamaan lainnya, berdasarkan sejumlah ayat al-Quran (2:62 76 %
p ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya t 2 %
p ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya t 24 %
n yang tajam dalam masalah hukum. Oleh: Taufik Adnan Amal konsensus atau ijma’ selama berabad-abad telah menjadi validasi terpen 7 %
i, otoritas final untuk penafsiran keagamaan diletakkan pada konsensus (ijma’) atau putusan kolektif masyarakat muslim. Implikasiny 11 %
jma’) atau putusan kolektif masyarakat muslim. Implikasinya, konsensus memainkan peran penting dalam perkembangan Islam dan memberi 12 %
hkan, di kalangan mazhab Islam tertentu, ijma’ dibatasi pada konsensus para sahabat Nabi. Ijma’ apapun yang datang setelah itu tida 17 %
aksi ide yang ketat. Dengan demikian, ijma’ – yang merupakan konsensus mayoritas masyarakat – lebih bersifat dinamis, berorientasi 35 %
baru dan menggantikan ijma’ lama. Aktivitas untuk menggalang konsensus masyarakat ini, menurut Rahman, dirujuk al-Quran dengan term 39 %
ijma’ masyarakat. Selain itu, ada kemungkinan untuk mengubah konsensus tersebut, karena secara potensial selalu terdapat kemungkina 46 %
kesempatan untuk didengar sebelum masyarakat akhirnya secara konsensus atau mayoritas memilih yang dianggap laik. Ketika putusan ma 61 %
anggotanya tanpa kecuali. Sebagaimana disinggung di atas, konsensus atau ijma’ masyarakat inilah yang kemudian diundangkan oleh 84 %
yura. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk membentuk konsensus masyarakat atau untuk menakar kesepakatan masyarakat mengena 93 %
Pada periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan k 1 %
il yang signifikan terhadap penafsirannya. Tetapi, dalam konsep tradisional, hanya ‘ulama’ yang memiliki peran dalam mencapa 13 %
Pada periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan k 23 %
uatu negara muslim juga merupakan bentuk lain dari perluasan konsep ijma’. Dengan merativikasi konvensi semacam itu, negara musl 98 %
s melalui proses perdebatan. Rahman bahkan mengelaborasi konsepnya tentang lembaga syura-ijma’ ini ke dalam suatu majelis inter 48 %
mikian, ijma’ lebih bersifat elitis. Selain itu, masih dalam konsepsi klasik, ijma’ berorientasi ke belakang: dalam kesepakatan ul 15 %
gan masyarakat ke dalam kebijakan-kebijakan yang koheren dan konsisten (preference representation). Tetapi, sebagai himpunan orang 88 %
Menilik Model Ijma’ kontemporer Pada periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan ko 0 %
bentuk lain dari perluasan konsep ijma’. Dengan merativikasi konvensi semacam itu, negara muslim tersebut terikat kesepakatan atau 98 %
a’-referendum ini Pada level regional atau internasional, konvensi-konvensi yang telah dirativikasi suatu negara muslim juga merupakan b 97 %
wam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan y 6 %
wam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan y 28 %
alam pandangan Rahman, majelis ini dipilih oleh rakyat tanpa kualifikasi teknis apapun. Dalam masalah-masalah pelik, majelis dapat me 42 %
g datang setelah itu tidak memiliki nilai mengikat, terlebih lagi jika ia merativikasi doktrin yang bertentangan dengan tradis 18 %
si publik (preference formation), jika suatu masalah dinilai laik untuk dirumuskan ke dalam kebijakan. Untuk pembentukan prefe 90 %
telah dirativikasi suatu negara muslim juga merupakan bentuk lain dari perluasan konsep ijma’. Dengan merativikasi konvensi se 98 %
advokasi, pengajuan rancangan undang-undang, serta cara-cara lainnya yang melibatkan masyarakat, penting dilakukan majelis. Aktiv 91 %
r ada orang menganggap bahwa dengan menjadikan Islam sebagai landasan kehidupan, maka hal ini berarti minoritas nonmuslim tidak da 68 %
umumnya tidak begitu diperhitungkan. Dengan demikian, ijma’ lebih bersifat elitis. Selain itu, masih dalam konsepsi klasik, ij 15 %
ian, ijma’ – yang merupakan konsensus mayoritas masyarakat – lebih bersifat dinamis, berorientasi ke depan, dan tidak monolitik 35 %
tidak monolitik. Golongan minoritas yang merasa ijtihad-nya lebih mendekati kebenaran, terbuka sepenuhnya untuk meyakinkan mas 36 %
mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer 4 %
mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis perwakilan rakyat. Dengan mentran 26 %
dalam suatu majelis internasional yang beranggotakan majelis legislatif negeri-negeri Muslim. Tugasnya adalah memberi advis yang sel 49 %
). Sejalan dengan ini, Louay M. Safi juga mengemukakan bahwa legitimasi negara tergantung pada sampai sejauh mana organisasi dan kek 54 %
masyarakat, karena – seperti ditegaskan para yuris klasik – legitimasi institusi negara tidak terambil dari sumber-sumber tekstual, 55 %
nsip ijma’. Dengan kata lain, ijma’ bisa memberi kemungkinan legitimasi demokrasi bagi kaum Muslimin dan menawarkan format institusi 57 %
majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam atau ba 5 %
lis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam atau ba 27 %
dirumuskan ke dalam bentuk hukum dan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang disebut Rahman sebagai lembaga syura-ijma’. 41 %
ndangan oleh lembaga legislatif, yang disebut Rahman sebagai lembaga syura-ijma’. Dalam pandangan Rahman, majelis ini dipilih ole 42 %
erdebatan. Rahman bahkan mengelaborasi konsepnya tentang lembaga syura-ijma’ ini ke dalam suatu majelis internasional yang be 48 %
atau ijma’ masyarakat inilah yang kemudian diundangkan oleh lembaga perwakilan rakyat di tingkat lokal atau nasional. Majelis se 85 %
menurut Rahman, dirujuk al-Quran dengan terma syura. Pada level negara, ijma’ masyarakat akan ditempa atau dirumuskan ke dal 40 %
a diharapkan dalam implementasi ijma’-referendum ini Pada level regional atau internasional, konvensi-konvensi yang telah di 97 %
l atau nasional. Majelis semacam ini –yang dibentuk misalnya lewat pemilihan umum– tentunya merupakan representasi masyarakat y 86 %
aka hal ini berarti minoritas nonmuslim tidak dapat hidup di lingkungan umat Islam dan persatuan di antara berbagai unsur masyarakat 69 %
suatu hal adalah melalui referendum. Ijma’, berdasarkan alur logika yang telah dikemukakan, jelas bisa mengambil bentuk referend 94 %
mudian diundangkan oleh lembaga perwakilan rakyat di tingkat lokal atau nasional. Majelis semacam ini –yang dibentuk misalnya l 86 %
ima kekuasaan mayoritas (majority rule). Sejalan dengan ini, louay M. Safi juga mengemukakan bahwa legitimasi negara tergantung 53 %
ertentangan dengan tradisi salaf. Gagasan ijma’ yang agak luas dikemukakan al-Syafi’i dan belakangan oleh al-Ghazali. Bagi 19 %
isa mengambil bentuk referendum. Partisipasi masyarakat yang luas dalam penentuan suatu kebijakan sangat bisa diharapkan dalam 95 %
  m enilik Model Ijma’ Kontemporer Pada periode modern, pemik 0 %
anisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga 4 %
anisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtihad kepada lem 26 %
umber-sumber Islam, Iqbal menyetujui masuknya ulama ke dalam majelis untuk membantu dan memimpin perbincangan-perbincangan bebas 30 %
Rahman sebagai lembaga syura-ijma’. Dalam pandangan Rahman, majelis ini dipilih oleh rakyat tanpa kualifikasi teknis apapun. Dal 42 %
anpa kualifikasi teknis apapun. Dalam masalah-masalah pelik, majelis dapat meminta advis kepada para ahli. Undang-undang atau huk 43 %
s kepada para ahli. Undang-undang atau hukun yang ditetapkan majelis bisa saja benar atau keliru. Tetapi, sepanjang hukum tersebu 44 %
asi konsepnya tentang lembaga syura-ijma’ ini ke dalam suatu majelis internasional yang beranggotakan majelis legislatif negeri-n 49 %
ini ke dalam suatu majelis internasional yang beranggotakan majelis legislatif negeri-negeri Muslim. Tugasnya adalah memberi adv 49 %
yang selanjutnya akan dirumuskan ke dalam undang-undang oleh majelis nasional negeri-negeri Muslim berdasarkan sinaran perbedaan 51 %
eh lembaga perwakilan rakyat di tingkat lokal atau nasional. majelis semacam ini –yang dibentuk misalnya lewat pemilihan umum– te 86 %
ce representation). Tetapi, sebagai himpunan orang terpilih, majelis ini juga bisa mempengaruhi preferensi publik (preference for 89 %
ap bahwa dengan menjadikan Islam sebagai landasan kehidupan, maka hal ini berarti minoritas nonmuslim tidak dapat hidup di lin 68 %
melaksanakannya. Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin makassar   100 %
ip ini, menurut al-Banna, tidak akan menimbulkan perpecahan, malahan menjadikan persatuan berdimensi sakral dan religius. Sen 74 %
ukakan bahwa legitimasi negara tergantung pada sampai sejauh mana organisasi dan kekuasaan negara merefleksikan kehendak masya 54 %
laksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Oleh: Taufik Adnan Amal Konsensus atau ijma’ se 7 %
laksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Tetapi, untuk menghindari kemungkinan terjadinya sala 29 %
embantu dan memimpin perbincangan-perbincangan bebas tentang masalah yang bertalian dengan Islam. Melanjutkan alur pemikiran 31 %
ngaruhi preferensi publik (preference formation), jika suatu masalah dinilai laik untuk dirumuskan ke dalam kebijakan. Untuk pemb 90 %
i dipilih oleh rakyat tanpa kualifikasi teknis apapun. Dalam masalah-masalah pelik, majelis dapat meminta advis kepada para ahli. Undang- 43 %
, ijma’ berorientasi ke belakang: dalam kesepakatan ulama di masa-masa silam. Bahkan, di kalangan mazhab Islam tertentu, ijma’ diba 16 %
n. Dengan demikian, ijma’ lebih bersifat elitis. Selain itu, masih dalam konsepsi klasik, ijma’ berorientasi ke belakang: dalam 15 %
im berdasarkan sinaran perbedaan regional dan situasi sosial masing-masing negeri. Survei singkat di atas memperlihatkan bahwa ijma’ 51 %
salah tafsir terhadap sumber-sumber Islam, Iqbal menyetujui masuknya ulama ke dalam majelis untuk membantu dan memimpin perbincan 30 %
maan diletakkan pada konsensus (ijma’) atau putusan kolektif masyarakat muslim. Implikasinya, konsensus memainkan peran penting dala 12 %
hanya ‘ulama’ yang memiliki peran dalam mencapai konsensus. masyarakat pada umumnya tidak begitu diperhitungkan. Dengan demikian, i 14 %
an, Fazlur Rahman mengungkapkan kemungkinan baru ijma’ dalam masyarakat kontemporer. Baginya, ijtihad yang dihasilkan individu atau 33 %
Dengan demikian, ijma’ – yang merupakan konsensus mayoritas masyarakat – lebih bersifat dinamis, berorientasi ke depan, dan tidak m 35 %
bih mendekati kebenaran, terbuka sepenuhnya untuk meyakinkan masyarakat akan kebenaran gagasannya. Apabila masyarakat telah menerima 37 %
tuk meyakinkan masyarakat akan kebenaran gagasannya. Apabila masyarakat telah menerima gagasan minoritas secara mayoritas, opini itu 38 %
enggantikan ijma’ lama. Aktivitas untuk menggalang konsensus masyarakat ini, menurut Rahman, dirujuk al-Quran dengan terma syura. 39 %
juk al-Quran dengan terma syura. Pada level negara, ijma’ masyarakat akan ditempa atau dirumuskan ke dalam bentuk hukum dan perun 40 %
ataupun kolektif mendapat kesempatan untuk didengar sebelum masyarakat akhirnya secara konsensus atau mayoritas memilih yang diangg 61 %
gap laik. Ketika putusan mayoritas tercapai, seluruh anggota masyarakat – baik Muslim ataupun non Muslim – harus berupaya mengejawan 62 %
lingkungan umat Islam dan persatuan di antara berbagai unsur masyarakat tidak mungkin tercapai. Menurut al-Banna, anggapan semacam i 69 %
ali. Sebagaimana disinggung di atas, konsensus atau ijma’ masyarakat inilah yang kemudian diundangkan oleh lembaga perwakilan rak 85 %
salnya lewat pemilihan umum– tentunya merupakan representasi masyarakat yang menerjemahkan kepentingan masyarakat ke dalam kebijakan 87 %
pakan representasi masyarakat yang menerjemahkan kepentingan masyarakat ke dalam kebijakan-kebijakan yang koheren dan konsisten (pre 87 %
alah satu cara yang dapat ditempuh untuk membentuk konsensus masyarakat atau untuk menakar kesepakatan masyarakat mengenai suatu hal 93 %
embentuk konsensus masyarakat atau untuk menakar kesepakatan masyarakat mengenai suatu hal adalah melalui referendum. Ijma’, berdasa 94 %
mukakan, jelas bisa mengambil bentuk referendum. Partisipasi masyarakat yang luas dalam penentuan suatu kebijakan sangat bisa dihara 95 %
ang ketat. Dengan demikian, ijma’ – yang merupakan konsensus mayoritas masyarakat – lebih bersifat dinamis, berorientasi ke depan, 35 %
terdapat kemungkinan bagi pandangan minoritas untuk menjadi mayoritas melalui proses perdebatan. Rahman bahkan mengelaborasi k 47 %
isa memberikan pijakan yang efektif untuk menerima kekuasaan mayoritas (majority rule). Sejalan dengan ini, Louay M. Safi juga meng 53 %
k didengar sebelum masyarakat akhirnya secara konsensus atau mayoritas memilih yang dianggap laik. Ketika putusan mayoritas tercapa 61 %
us atau mayoritas memilih yang dianggap laik. Ketika putusan mayoritas tercapai, seluruh anggota masyarakat – baik Muslim ataupun n 62 %
menyetujui pandangan minoritas juga harus menerima keputusan mayoritas dan berupaya mengimplementasikannya sebagai suatu konsensus. 64 %
am kesepakatan ulama di masa-masa silam. Bahkan, di kalangan mazhab Islam tertentu, ijma’ dibatasi pada konsensus para sahabat N 17 %
bagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif per 3 %
bagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif per 25 %
nawarkan format institusi dan prosedur untuk menjalankannya. mekanisme ijma’ yang telah diuraikan juga memberikan kemungkinan delib 58 %
dan berupaya mengimplementasikannya sebagai suatu konsensus. mekanisme ijma’ semacam ini menggagaskan keterlibatan seluruh anggota 65 %
a pun yang percaya kepada monoteisme dan hari akhirat, serta melakukan perbuatan baik akan selamat. Dalam negara modern, seluruh wa 78 %
atau kelompok kerja akan mengkristal ke dalam ijma’ setelah melalui interaksi ide yang ketat. Dengan demikian, ijma’ – yang meru 34 %
kemungkinan bagi pandangan minoritas untuk menjadi mayoritas melalui proses perdebatan. Rahman bahkan mengelaborasi konsepnya 48 %
tuk menakar kesepakatan masyarakat mengenai suatu hal adalah melalui referendum. Ijma’, berdasarkan alur logika yang telah dikemu 94 %
bincangan bebas tentang masalah yang bertalian dengan Islam. melanjutkan alur pemikiran Iqbal, sarjana pemikir neo-modernis asal paki 32 %
gajuan rancangan undang-undang, serta cara-cara lainnya yang melibatkan masyarakat, penting dilakukan majelis. Aktivitas semacam ini 91 %
putusan kolektif masyarakat muslim. Implikasinya, konsensus memainkan peran penting dalam perkembangan Islam dan memberi andil yan 12 %
slam, Iqbal menyetujui masuknya ulama ke dalam majelis untuk membantu dan memimpin perbincangan-perbincangan bebas tentang masalah 31 %
telah menerima gagasan minoritas secara mayoritas, opini itu membentuk ijma’ baru dan menggantikan ijma’ lama. Aktivitas untuk meng 38 %
istilah syura. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk membentuk konsensus masyarakat atau untuk menakar kesepakatan masyarak 93 %
nsensus memainkan peran penting dalam perkembangan Islam dan memberi andil yang signifikan terhadap penafsirannya. Tetapi, da 13 %
kan majelis legislatif negeri-negeri Muslim. Tugasnya adalah memberi advis yang selanjutnya akan dirumuskan ke dalam undang-undan 50 %
an terutama pada prinsip ijma’. Dengan kata lain, ijma’ bisa memberi kemungkinan legitimasi demokrasi bagi kaum Muslimin dan mena 57 %
an Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memili 6 %
an Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memili 28 %
i. Survei singkat di atas memperlihatkan bahwa ijma’ bisa memberikan pijakan yang efektif untuk menerima kekuasaan mayoritas (maj 52 %
menjalankannya. Mekanisme ijma’ yang telah diuraikan juga memberikan kemungkinan deliberasi dan perdebatan publik, sehingga berba 59 %
sebelum masyarakat akhirnya secara konsensus atau mayoritas memilih yang dianggap laik. Ketika putusan mayoritas tercapai, selur 61 %
erikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Oleh: Taufik Adna 6 %
ya. Tetapi, dalam konsep tradisional, hanya ‘ulama’ yang memiliki peran dalam mencapai konsensus. Masyarakat pada umumnya tida 14 %
ara sahabat Nabi. Ijma’ apapun yang datang setelah itu tidak memiliki nilai mengikat, terlebih lagi jika ia merativikasi doktrin y 18 %
erikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Tetapi, untuk menghi 29 %
enyetujui masuknya ulama ke dalam majelis untuk membantu dan memimpin perbincangan-perbincangan bebas tentang masalah yang bertali 31 %
si teknis apapun. Dalam masalah-masalah pelik, majelis dapat meminta advis kepada para ahli. Undang-undang atau hukun yang diteta 43 %
tapi, sebagai himpunan orang terpilih, majelis ini juga bisa mempengaruhi preferensi publik (preference formation), jika suatu masalah 89 %
tuasi sosial masing-masing negeri. Survei singkat di atas memperlihatkan bahwa ijma’ bisa memberikan pijakan yang efektif untuk mener 52 %
pat ditempuh untuk membentuk konsensus masyarakat atau untuk menakar kesepakatan masyarakat mengenai suatu hal adalah melalui ref 93 %
beri kemungkinan legitimasi demokrasi bagi kaum Muslimin dan menawarkan format institusi dan prosedur untuk menjalankannya. Mekan 58 %
konsep tradisional, hanya ‘ulama’ yang memiliki peran dalam mencapai konsensus. Masyarakat pada umumnya tidak begitu diperhitungk 14 %
isa saja benar atau keliru. Tetapi, sepanjang hukum tersebut mencerminkan kehendak masyarakat, ia tetap bersifat islami dan demokratis 45 %
rkembang dan dikembangkan secara individual ataupun kolektif mendapat kesempatan untuk didengar sebelum masyarakat akhirnya secara 60 %
monolitik. Golongan minoritas yang merasa ijtihad-nya lebih mendekati kebenaran, terbuka sepenuhnya untuk meyakinkan masyarakat ak 37 %
si sakral dan religius. Senada dengan itu, Fazlur Rahman menekankan sikap anti-eksklusivisme Islam sehubungan dengan komunitas-k 75 %
syarakat akan kebenaran gagasannya. Apabila masyarakat telah menerima gagasan minoritas secara mayoritas, opini itu membentuk ijma 38 %
atkan bahwa ijma’ bisa memberikan pijakan yang efektif untuk menerima kekuasaan mayoritas (majority rule). Sejalan dengan ini, Lou 53 %
pengikut atau yang menyetujui pandangan minoritas juga harus menerima keputusan mayoritas dan berupaya mengimplementasikannya seba 64 %
ilihan umum– tentunya merupakan representasi masyarakat yang menerjemahkan kepentingan masyarakat ke dalam kebijakan-kebijakan yang koh 87 %
, berdasarkan alur logika yang telah dikemukakan, jelas bisa mengambil bentuk referendum. Partisipasi masyarakat yang luas dalam pe 95 %
na, dalam risalah Nahwa an-Nur (1936), mensinyalir ada orang menganggap bahwa dengan menjadikan Islam sebagai landasan kehidupan, ma 67 %
masyarakat – baik Muslim ataupun non Muslim – harus berupaya mengejawantahkannya ke dalam praktik. Penggagas, pengikut atau yang menyetujui p 63 %
njadi mayoritas melalui proses perdebatan. Rahman bahkan mengelaborasi konsepnya tentang lembaga syura-ijma’ ini ke dalam suatu maj 48 %
’ Kontemporer Pada periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras d 1 %
ingkat lokal. Pada periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras d 23 %
itas (majority rule). Sejalan dengan ini, Louay M. Safi juga mengemukakan bahwa legitimasi negara tergantung pada sampai sejauh mana o 54 %
nsensus masyarakat atau untuk menakar kesepakatan masyarakat mengenai suatu hal adalah melalui referendum. Ijma’, berdasarkan alur 94 %
nnya sebagai suatu konsensus. Mekanisme ijma’ semacam ini menggagaskan keterlibatan seluruh anggota masyarakat, termasuk bukan musl 65 %
ntuk ijma’ baru dan menggantikan ijma’ lama. Aktivitas untuk menggalang konsensus masyarakat ini, menurut Rahman, dirujuk al-Quran d 39 %
noritas secara mayoritas, opini itu membentuk ijma’ baru dan menggantikan ijma’ lama. Aktivitas untuk menggalang konsensus masyarakat 39 %
miliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Tetapi, untuk menghindari kemungkinan terjadinya salah tafsir terhadap sumber-sumber I 29 %
kekeliruan. Berpijak pada hadits inilah otoritas ijma’ yang mengikat itu disandarkan. Bahkan, di kalangan Sunni, otoritas final u 10 %
dalam komunitas tersebut, berdasarkan prinsip mayoritas, ia mengikat seluruh anggotanya tanpa kecuali. Sebagaimana disinggung 84 %
noritas juga harus menerima keputusan mayoritas dan berupaya mengimplementasikannya sebagai suatu konsensus. Mekanisme ijma’ semacam ini meng 64 %
a, ijtihad yang dihasilkan individu atau kelompok kerja akan mengkristal ke dalam ijma’ setelah melalui interaksi ide yang ketat. Den 34 %
proses pencapaian konsensus. Karena itu, ketika suatu ijma’ mengkristal atau berhasil dicapai dalam komunitas tersebut, berdasarkan 83 %
Islam terhadap minoritas nonmuslim. Agama Islam, menurutnya, mengkuduskan kesatuan kemanusiaan umum (al-wahdah al-insaniyyah al-’ammah 71 %
ntasikan ijma’ masyarakat. Selain itu, ada kemungkinan untuk mengubah konsensus tersebut, karena secara potensial selalu terdapat 46 %
ang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad 2 %
ang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad 24 %
l, sarjana pemikir neo-modernis asal pakistan, Fazlur Rahman mengungkapkan kemungkinan baru ijma’ dalam masyarakat kontemporer. Baginya 33 %
t al-Quran (2:62 dan 5:69), yang – menurut tafsiran Rahman – mengungkapkan siapa pun yang percaya kepada monoteisme dan hari akhirat, s 77 %
  menilik Model Ijma’ Kontemporer Pada periode modern, pemikir-pem 0 %
plementasi prinsip-prinsip ini, menurut al-Banna, tidak akan menimbulkan perpecahan, malahan menjadikan persatuan berdimensi sakral d 74 %
Adnan Amal Konsensus atau ijma’ selama berabad-abad telah menjadi validasi terpenting berbagai keputusan di dalam Islam, khusu 8 %
l selalu terdapat kemungkinan bagi pandangan minoritas untuk menjadi mayoritas melalui proses perdebatan. Rahman bahkan menge 47 %
an-Nur (1936), mensinyalir ada orang menganggap bahwa dengan menjadikan Islam sebagai landasan kehidupan, maka hal ini berarti minor 68 %
menurut al-Banna, tidak akan menimbulkan perpecahan, malahan menjadikan persatuan berdimensi sakral dan religius. Senada dengan 74 %
hal ini. Hasan al-Banna, dalam risalah Nahwa an-Nur (1936), mensinyalir ada orang menganggap bahwa dengan menjadikan Islam sebagai l 67 %
legislatif permanen” atau majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggota 4 %
islatif permanen” atau majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggota 26 %
’ lama. Aktivitas untuk menggalang konsensus masyarakat ini, menurut Rahman, dirujuk al-Quran dengan terma syura. Pada level n 39 %
di antara berbagai unsur masyarakat tidak mungkin tercapai. menurut al-Banna, anggapan semacam itu berseberangan dengan prinsip 70 %
h al-diniyyah al-khassah). Implementasi prinsip-prinsip ini, menurut al-Banna, tidak akan menimbulkan perpecahan, malahan menjadi 74 %
, berdasarkan sejumlah ayat al-Quran (2:62 dan 5:69), yang – menurut tafsiran Rahman – mengungkapkan siapa pun yang percaya kepad 77 %
pis, karena tidak ada kesepakatan umat Islam yang bulat atau menyeluruh sepanjang sejarah Islam. Yang ada hanyalah kesepakatan mayor 21 %
gan kesarjanaan Muslim yang dikemukakan di atas dengan jelas menyepakati kesetaraan warga negara – baik Muslim atau nonmuslim – serta 81 %
terjadinya salah tafsir terhadap sumber-sumber Islam, Iqbal menyetujui masuknya ulama ke dalam majelis untuk membantu dan memimpin 30 %
wantahkannya ke dalam praktik. Penggagas, pengikut atau yang menyetujui pandangan minoritas juga harus menerima keputusan mayoritas 63 %
ntasi ke depan, dan tidak monolitik. Golongan minoritas yang merasa ijtihad-nya lebih mendekati kebenaran, terbuka sepenuhnya un 36 %
lah itu tidak memiliki nilai mengikat, terlebih lagi jika ia merativikasi doktrin yang bertentangan dengan tradisi salaf. Gagasan i 18 %
ga merupakan bentuk lain dari perluasan konsep ijma’. Dengan merativikasi konvensi semacam itu, negara muslim tersebut terikat kesepak 98 %
tung pada sampai sejauh mana organisasi dan kekuasaan negara merefleksikan kehendak masyarakat, karena – seperti ditegaskan para yuris 55 %
k masyarakat, ia tetap bersifat islami dan demokratis karena merepresentasikan ijma’ masyarakat. Selain itu, ada kemungkinan untuk mengubah 45 %
alui interaksi ide yang ketat. Dengan demikian, ijma’ – yang merupakan konsensus mayoritas masyarakat – lebih bersifat dinamis, ber 35 %
m ini –yang dibentuk misalnya lewat pemilihan umum– tentunya merupakan representasi masyarakat yang menerjemahkan kepentingan masya 87 %
si-konvensi yang telah dirativikasi suatu negara muslim juga merupakan bentuk lain dari perluasan konsep ijma’. Dengan merativikasi 98 %
ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi 3 %
ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi 25 %
ihad-nya lebih mendekati kebenaran, terbuka sepenuhnya untuk meyakinkan masyarakat akan kebenaran gagasannya. Apabila masyarakat tel 37 %
inamis, berorientasi ke depan, dan tidak monolitik. Golongan minoritas yang merasa ijtihad-nya lebih mendekati kebenaran, terbuka s 36 %
enaran gagasannya. Apabila masyarakat telah menerima gagasan minoritas secara mayoritas, opini itu membentuk ijma’ baru dan menggan 38 %
secara potensial selalu terdapat kemungkinan bagi pandangan minoritas untuk menjadi mayoritas melalui proses perdebatan. Rahma 47 %
praktik. Penggagas, pengikut atau yang menyetujui pandangan minoritas juga harus menerima keputusan mayoritas dan berupaya mengimp 64 %
dikan Islam sebagai landasan kehidupan, maka hal ini berarti minoritas nonmuslim tidak dapat hidup di lingkungan umat Islam dan per 68 %
rangan dengan prinsip persamaan dan pengakuan Islam terhadap minoritas nonmuslim. Agama Islam, menurutnya, mengkuduskan kesatuan ke 71 %
gkat lokal atau nasional. Majelis semacam ini –yang dibentuk misalnya lewat pemilihan umum– tentunya merupakan representasi masyar 86 %
Menilik model Ijma’ Kontemporer Pada periode modern, pemikir-pemikir Mu 0 %
afsiran Rahman – mengungkapkan siapa pun yang percaya kepada monoteisme dan hari akhirat, serta melakukan perbuatan baik akan selama 78 %
erbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern. muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma’ seba 2 %
keputusan di dalam Islam, khususnya di kalangan Sunni. Nabi muhammad dikabarkan pernah bersabda: Umatku tidak akan bersepakat dal 9 %
erbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern. muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma’ seba 24 %
slam dan persatuan di antara berbagai unsur masyarakat tidak mungkin tercapai. Menurut al-Banna, anggapan semacam itu berseberang 70 %
el Ijma’ Kontemporer Pada periode modern, pemikir-pemikir muslim mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru 1 %
ihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberika 5 %
an di tingkat lokal. Pada periode modern, pemikir-pemikir muslim mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru 23 %
ihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberika 27 %
n ke dalam undang-undang oleh majelis nasional negeri-negeri muslim berdasarkan sinaran perbedaan regional dan situasi sosial ma 51 %
utusan mayoritas tercapai, seluruh anggota masyarakat – baik muslim ataupun non Muslim – harus berupaya mengejawantahkannya ke d 62 %
rcapai, seluruh anggota masyarakat – baik Muslim ataupun non muslim – harus berupaya mengejawantahkannya ke dalam praktik. Pengg 63 %
satu sama lain, tanpa diskriminasi antara sesama warga, baik muslim atau bukan Muslim. Pandangan-pandangan kesarjanaan Muslim 80 %
Muslim atau bukan Muslim. Pandangan-pandangan kesarjanaan muslim yang dikemukakan di atas dengan jelas menyepakati kesetaraan 80 %
atas dengan jelas menyepakati kesetaraan warga negara – baik muslim atau nonmuslim – serta persamaan hak dan kewajibannya, terma 81 %
onal, konvensi-konvensi yang telah dirativikasi suatu negara muslim juga merupakan bentuk lain dari perluasan konsep ijma’. Deng 98 %
nsep ijma’. Dengan merativikasi konvensi semacam itu, negara muslim tersebut terikat kesepakatan atau ber-ijma’ untuk melaksanak 99 %
leh al-Ghazali. Bagi keduanya, ijma’ adalah kesepakatan kaum muslimin secara menyeluruh. Gagasan ini jelas bersifat utopis, karena 20 %
jma’ bisa memberi kemungkinan legitimasi demokrasi bagi kaum muslimin dan menawarkan format institusi dan prosedur untuk menjalank 58 %
bagai keputusan di dalam Islam, khususnya di kalangan Sunni. nabi Muhammad dikabarkan pernah bersabda: Umatku tidak akan berse 9 %
k ada yang aneh dalam hal ini. Hasan al-Banna, dalam risalah nahwa an-Nur (1936), mensinyalir ada orang menganggap bahwa dengan 67 %
anjutnya akan dirumuskan ke dalam undang-undang oleh majelis nasional negeri-negeri Muslim berdasarkan sinaran perbedaan regional 51 %
dengan ini, Louay M. Safi juga mengemukakan bahwa legitimasi negara tergantung pada sampai sejauh mana organisasi dan kekuasaan 54 %
tergantung pada sampai sejauh mana organisasi dan kekuasaan negara merefleksikan kehendak masyarakat, karena – seperti ditegask 55 %
seperti ditegaskan para yuris klasik – legitimasi institusi negara tidak terambil dari sumber-sumber tekstual, tetapi didasarka 56 %
akhirat, serta melakukan perbuatan baik akan selamat. Dalam negara modern, seluruh warga negara harus dipandang setara satu sam 79 %
buatan baik akan selamat. Dalam negara modern, seluruh warga negara harus dipandang setara satu sama lain, tanpa diskriminasi an 79 %
ikemukakan di atas dengan jelas menyepakati kesetaraan warga negara – baik Muslim atau nonmuslim – serta persamaan hak dan kewaj 81 %
ternasional, konvensi-konvensi yang telah dirativikasi suatu negara muslim juga merupakan bentuk lain dari perluasan konsep ijma 97 %
asan konsep ijma’. Dengan merativikasi konvensi semacam itu, negara muslim tersebut terikat kesepakatan atau ber-ijma’ untuk mel 99 %
majelis internasional yang beranggotakan majelis legislatif negeri-negeri Muslim. Tugasnya adalah memberi advis yang selanjutnya akan 49 %
akan dirumuskan ke dalam undang-undang oleh majelis nasional negeri-negeri Muslim berdasarkan sinaran perbedaan regional dan situasi so 51 %
Islam. Melanjutkan alur pemikiran Iqbal, sarjana pemikir neo-modernis asal pakistan, Fazlur Rahman mengungkapkan kemungkinan baru 32 %
at Nabi. Ijma’ apapun yang datang setelah itu tidak memiliki nilai mengikat, terlebih lagi jika ia merativikasi doktrin yang be 18 %
s tercapai, seluruh anggota masyarakat – baik Muslim ataupun non Muslim – harus berupaya mengejawantahkannya ke dalam praktik 62 %
m sebagai landasan kehidupan, maka hal ini berarti minoritas nonmuslim tidak dapat hidup di lingkungan umat Islam dan persatuan di 68 %
jelas menyepakati kesetaraan warga negara – baik Muslim atau nonmuslim – serta persamaan hak dan kewajibannya, termasuk dalam prose 81 %
n ijma’ yang agak luas dikemukakan al-Syafi’i dan belakangan oleh al-Ghazali. Bagi keduanya, ijma’ adalah kesepakatan kaum Mus 20 %
atau dirumuskan ke dalam bentuk hukum dan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang disebut Rahman sebagai lembaga syur 41 %
aga syura-ijma’. Dalam pandangan Rahman, majelis ini dipilih oleh rakyat tanpa kualifikasi teknis apapun. Dalam masalah-masala 42 %
dvis yang selanjutnya akan dirumuskan ke dalam undang-undang oleh majelis nasional negeri-negeri Muslim berdasarkan sinaran pe 50 %
ensus atau ijma’ masyarakat inilah yang kemudian diundangkan oleh lembaga perwakilan rakyat di tingkat lokal atau nasional. Ma 85 %
ad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. oleh: Taufik Adnan Amal Konsensus atau ijma’ selama berabad-aba 7 %
asyarakat telah menerima gagasan minoritas secara mayoritas, opini itu membentuk ijma’ baru dan menggantikan ijma’ lama. Aktivi 38 %
al-Banna, dalam risalah Nahwa an-Nur (1936), mensinyalir ada orang menganggap bahwa dengan menjadikan Islam sebagai landasan ke 67 %
sisten (preference representation). Tetapi, sebagai himpunan orang terpilih, majelis ini juga bisa mempengaruhi preferensi publ 88 %
n bahwa legitimasi negara tergantung pada sampai sejauh mana organisasi dan kekuasaan negara merefleksikan kehendak masyarakat, kare 54 %
kan bersepakat dalam kekeliruan. Berpijak pada hadits inilah otoritas ijma’ yang mengikat itu disandarkan. Bahkan, di kalangan Sun 10 %
a’ yang mengikat itu disandarkan. Bahkan, di kalangan Sunni, otoritas final untuk penafsiran keagamaan diletakkan pada konsensus ( 11 %
Menilik Model Ijma’ Kontemporer pada periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep 0 %
bda: Umatku tidak akan bersepakat dalam kekeliruan. Berpijak pada hadits inilah otoritas ijma’ yang mengikat itu disandarkan. 10 %
Sunni, otoritas final untuk penafsiran keagamaan diletakkan pada konsensus (ijma’) atau putusan kolektif masyarakat muslim. I 11 %
ma’ yang memiliki peran dalam mencapai konsensus. Masyarakat pada umumnya tidak begitu diperhitungkan. Dengan demikian, ijma’ 14 %
m. Bahkan, di kalangan mazhab Islam tertentu, ijma’ dibatasi pada konsensus para sahabat Nabi. Ijma’ apapun yang datang setela 17 %
ada hanyalah kesepakatan mayoritas, bahkan di tingkat lokal. pada periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep 22 %
at ini, menurut Rahman, dirujuk al-Quran dengan terma syura. pada level negara, ijma’ masyarakat akan ditempa atau dirumuskan 40 %
M. Safi juga mengemukakan bahwa legitimasi negara tergantung pada sampai sejauh mana organisasi dan kekuasaan negara merefleks 54 %
mbil dari sumber-sumber tekstual, tetapi didasarkan terutama pada prinsip ijma’. Dengan kata lain, ijma’ bisa memberi kemungki 57 %
ngat bisa diharapkan dalam implementasi ijma’-referendum ini pada level regional atau internasional, konvensi-konvensi yang te 97 %
an deliberasi dan perdebatan publik, sehingga berbagai sudut pandang yang berkembang dan dikembangkan secara individual ataupun k 60 %
atif, yang disebut Rahman sebagai lembaga syura-ijma’. Dalam pandangan Rahman, majelis ini dipilih oleh rakyat tanpa kualifikasi te 42 %
ut, karena secara potensial selalu terdapat kemungkinan bagi pandangan minoritas untuk menjadi mayoritas melalui proses perdebatan. 47 %
a ke dalam praktik. Penggagas, pengikut atau yang menyetujui pandangan minoritas juga harus menerima keputusan mayoritas dan berupa 64 %
riminasi antara sesama warga, baik Muslim atau bukan Muslim. pandangan-pandangan kesarjanaan Muslim yang dikemukakan di atas dengan jelas men 80 %
alangan mazhab Islam tertentu, ijma’ dibatasi pada konsensus para sahabat Nabi. Ijma’ apapun yang datang setelah itu tidak mem 17 %
am masalah-masalah pelik, majelis dapat meminta advis kepada para ahli. Undang-undang atau hukun yang ditetapkan majelis bisa 43 %
refleksikan kehendak masyarakat, karena – seperti ditegaskan para yuris klasik – legitimasi institusi negara tidak terambil da 55 %
g telah dikemukakan, jelas bisa mengambil bentuk referendum. partisipasi masyarakat yang luas dalam penentuan suatu kebijakan sangat 95 %
, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah h 6 %
, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah h 28 %
alah dinilai laik untuk dirumuskan ke dalam kebijakan. Untuk pembentukan preferensi ini, deliberasi, advokasi, pengajuan rancangan un 90 %
dengan Islam. Melanjutkan alur pemikiran Iqbal, sarjana pemikir neo-modernis asal pakistan, Fazlur Rahman mengungkapkan kemu 32 %
ng masalah yang bertalian dengan Islam. Melanjutkan alur pemikiran Iqbal, sarjana pemikir neo-modernis asal pakistan, Fazlur Ra 32 %
Menilik Model Ijma’ Kontemporer Pada periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkina 1 %
mayoritas, bahkan di tingkat lokal. Pada periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkina 23 %
nasional. Majelis semacam ini –yang dibentuk misalnya lewat pemilihan umum– tentunya merupakan representasi masyarakat yang menerj 86 %
disandarkan. Bahkan, di kalangan Sunni, otoritas final untuk penafsiran keagamaan diletakkan pada konsensus (ijma’) atau putusan kol 11 %
serta persamaan hak dan kewajibannya, termasuk dalam proses pencapaian konsensus. Karena itu, ketika suatu ijma’ mengkristal atau b 82 %
il bentuk referendum. Partisipasi masyarakat yang luas dalam penentuan suatu kebijakan sangat bisa diharapkan dalam implementasi ij 96 %
kan. Untuk pembentukan preferensi ini, deliberasi, advokasi, pengajuan rancangan undang-undang, serta cara-cara lainnya yang meliba 91 %
gapan semacam itu berseberangan dengan prinsip persamaan dan pengakuan Islam terhadap minoritas nonmuslim. Agama Islam, menurutnya, 71 %
uruh anggota masyarakat, termasuk bukan muslim, dalam proses pengambilan keputusan. Tidak ada yang aneh dalam hal ini. Hasan al-Banna 66 %
us berupaya mengejawantahkannya ke dalam praktik. Penggagas, pengikut atau yang menyetujui pandangan minoritas juga harus menerima 63 %
f masyarakat muslim. Implikasinya, konsensus memainkan peran penting dalam perkembangan Islam dan memberi andil yang signifikan t 12 %
-undang, serta cara-cara lainnya yang melibatkan masyarakat, penting dilakukan majelis. Aktivitas semacam inilah yang dimaknai Ra 92 %
olektif masyarakat muslim. Implikasinya, konsensus memainkan peran penting dalam perkembangan Islam dan memberi andil yang sign 12 %
etapi, dalam konsep tradisional, hanya ‘ulama’ yang memiliki peran dalam mencapai konsensus. Masyarakat pada umumnya tidak begi 14 %
eh majelis nasional negeri-negeri Muslim berdasarkan sinaran perbedaan regional dan situasi sosial masing-masing negeri. Survei 51 %
masuknya ulama ke dalam majelis untuk membantu dan memimpin perbincangan-perbincangan bebas tentang masalah yang bertalian dengan Islam. Melan 31 %
percaya kepada monoteisme dan hari akhirat, serta melakukan perbuatan baik akan selamat. Dalam negara modern, seluruh warga negara 78 %
ang – menurut tafsiran Rahman – mengungkapkan siapa pun yang percaya kepada monoteisme dan hari akhirat, serta melakukan perbuata 78 %
g telah diuraikan juga memberikan kemungkinan deliberasi dan perdebatan publik, sehingga berbagai sudut pandang yang berkembang dan 59 %
Menilik Model Ijma’ Kontemporer Pada periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma’ de 0 %
alah kesepakatan mayoritas, bahkan di tingkat lokal. Pada periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengembangkan konsep ijma’ de 22 %
uslim. Implikasinya, konsensus memainkan peran penting dalam perkembangan Islam dan memberi andil yang signifikan terhadap penafsirann 12 %
tivikasi suatu negara muslim juga merupakan bentuk lain dari perluasan konsep ijma’. Dengan merativikasi konvensi semacam itu, nega 98 %
hab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtihad k 4 %
hab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtih 26 %
Islam, khususnya di kalangan Sunni. Nabi Muhammad dikabarkan pernah bersabda: Umatku tidak akan bersepakat dalam kekeliruan. Ber 9 %
al-Banna, anggapan semacam itu berseberangan dengan prinsip persamaan dan pengakuan Islam terhadap minoritas nonmuslim. Agama Isla 70 %
kesetaraan warga negara – baik Muslim atau nonmuslim – serta persamaan hak dan kewajibannya, termasuk dalam proses pencapaian konse 82 %
tas nonmuslim tidak dapat hidup di lingkungan umat Islam dan persatuan di antara berbagai unsur masyarakat tidak mungkin tercapai. 69 %
Banna, tidak akan menimbulkan perpecahan, malahan menjadikan persatuan berdimensi sakral dan religius. Senada dengan itu, Fazlu 75 %
rakat akan ditempa atau dirumuskan ke dalam bentuk hukum dan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang disebut Rahman sebagai lembaga 41 %
ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif 4 %
ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis perwakilan rakyat. Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legisl 26 %
ma’ masyarakat inilah yang kemudian diundangkan oleh lembaga perwakilan rakyat di tingkat lokal atau nasional. Majelis semacam ini – 85 %
i singkat di atas memperlihatkan bahwa ijma’ bisa memberikan pijakan yang efektif untuk menerima kekuasaan mayoritas (majority ru 52 %
kemungkinan untuk mengubah konsensus tersebut, karena secara potensial selalu terdapat kemungkinan bagi pandangan minoritas untuk m 47 %
himpunan orang terpilih, majelis ini juga bisa mempengaruhi preferensi publik (preference formation), jika suatu masalah dinilai la 89 %
laik untuk dirumuskan ke dalam kebijakan. Untuk pembentukan preferensi ini, deliberasi, advokasi, pengajuan rancangan undang-undang 90 %
dari sumber-sumber tekstual, tetapi didasarkan terutama pada prinsip ijma’. Dengan kata lain, ijma’ bisa memberi kemungkinan legi 57 %
Menurut al-Banna, anggapan semacam itu berseberangan dengan prinsip persamaan dan pengakuan Islam terhadap minoritas nonmuslim. 70 %
atau berhasil dicapai dalam komunitas tersebut, berdasarkan prinsip mayoritas, ia mengikat seluruh anggotanya tanpa kecuali. 83 %
umat Islam (al-wahdah al-diniyyah al-khassah). Implementasi prinsip-prinsip ini, menurut al-Banna, tidak akan menimbulkan perpecahan, ma 74 %
krasi bagi kaum Muslimin dan menawarkan format institusi dan prosedur untuk menjalankannya. Mekanisme ijma’ yang telah diuraika 58 %
nan bagi pandangan minoritas untuk menjadi mayoritas melalui proses perdebatan. Rahman bahkan mengelaborasi konsepnya tentan 48 %
tan seluruh anggota masyarakat, termasuk bukan muslim, dalam proses pengambilan keputusan. Tidak ada yang aneh dalam hal ini. Ha 66 %
uslim – serta persamaan hak dan kewajibannya, termasuk dalam proses pencapaian konsensus. Karena itu, ketika suatu ijma’ mengkri 82 %
rang terpilih, majelis ini juga bisa mempengaruhi preferensi publik (preference formation), jika suatu masalah dinilai laik untu 89 %
5:69), yang – menurut tafsiran Rahman – mengungkapkan siapa pun yang percaya kepada monoteisme dan hari akhirat, serta melak 77 %
penafsiran keagamaan diletakkan pada konsensus (ijma’) atau putusan kolektif masyarakat muslim. Implikasinya, konsensus memainka 11 %
konsensus atau mayoritas memilih yang dianggap laik. Ketika putusan mayoritas tercapai, seluruh anggota masyarakat – baik Muslim 62 %
an Iqbal, sarjana pemikir neo-modernis asal pakistan, Fazlur rahman mengungkapkan kemungkinan baru ijma’ dalam masyarakat kontem 32 %
dan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang disebut rahman sebagai lembaga syura-ijma’. Dalam pandangan Rahman, majelis 41 %
minoritas untuk menjadi mayoritas melalui proses perdebatan. rahman bahkan mengelaborasi konsepnya tentang lembaga syura-ijma’ i 48 %
erdimensi sakral dan religius. Senada dengan itu, Fazlur rahman menekankan sikap anti-eksklusivisme Islam sehubungan dengan 75 %
umlah ayat al-Quran (2:62 dan 5:69), yang – menurut tafsiran rahman – mengungkapkan siapa pun yang percaya kepada monoteisme dan 77 %
ng dilakukan majelis. Aktivitas semacam inilah yang dimaknai rahman dengan istilah syura. Salah satu cara yang dapat ditempuh 92 %
yura-ijma’. Dalam pandangan Rahman, majelis ini dipilih oleh rakyat tanpa kualifikasi teknis apapun. Dalam masalah-masalah pelik 42 %
kat inilah yang kemudian diundangkan oleh lembaga perwakilan rakyat di tingkat lokal atau nasional. Majelis semacam ini –yang di 85 %
pembentukan preferensi ini, deliberasi, advokasi, pengajuan rancangan undang-undang, serta cara-cara lainnya yang melibatkan masya 91 %
nasional negeri-negeri Muslim berdasarkan sinaran perbedaan regional dan situasi sosial masing-masing negeri. Survei singkat d 51 %
rapkan dalam implementasi ijma’-referendum ini Pada level regional atau internasional, konvensi-konvensi yang telah dirativikas 97 %
g dibentuk misalnya lewat pemilihan umum– tentunya merupakan representasi masyarakat yang menerjemahkan kepentingan masyarakat ke dala 87 %
an. Tidak ada yang aneh dalam hal ini. Hasan al-Banna, dalam risalah Nahwa an-Nur (1936), mensinyalir ada orang menganggap bahwa 67 %
saan mayoritas (majority rule). Sejalan dengan ini, Louay M. safi juga mengemukakan bahwa legitimasi negara tergantung pada sa 53 %
an mazhab Islam tertentu, ijma’ dibatasi pada konsensus para sahabat Nabi. Ijma’ apapun yang datang setelah itu tidak memiliki ni 17 %
gan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu 5 %
beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtiha 6 %
gan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu 27 %
beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtiha 28 %
ahli. Undang-undang atau hukun yang ditetapkan majelis bisa saja benar atau keliru. Tetapi, sepanjang hukum tersebut mencermi 44 %
imbulkan perpecahan, malahan menjadikan persatuan berdimensi sakral dan religius. Senada dengan itu, Fazlur Rahman menekanka 75 %
alah hukum. Tetapi, untuk menghindari kemungkinan terjadinya salah tafsir terhadap sumber-sumber Islam, Iqbal menyetujui masukn 30 %
as semacam inilah yang dimaknai Rahman dengan istilah syura. salah satu cara yang dapat ditempuh untuk membentuk konsensus masy 93 %
ara modern, seluruh warga negara harus dipandang setara satu sama lain, tanpa diskriminasi antara sesama warga, baik Muslim at 79 %
fi juga mengemukakan bahwa legitimasi negara tergantung pada sampai sejauh mana organisasi dan kekuasaan negara merefleksikan ke 54 %
isipasi masyarakat yang luas dalam penentuan suatu kebijakan sangat bisa diharapkan dalam implementasi ijma’-referendum ini P 96 %
ertalian dengan Islam. Melanjutkan alur pemikiran Iqbal, sarjana pemikir neo-modernis asal pakistan, Fazlur Rahman mengungkap 32 %
m negara modern, seluruh warga negara harus dipandang setara satu sama lain, tanpa diskriminasi antara sesama warga, baik Musl 79 %
m inilah yang dimaknai Rahman dengan istilah syura. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk membentuk konsensus masyaraka 93 %
mmad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazha 2 %
mmad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazha 25 %
undang-undangan oleh lembaga legislatif, yang disebut Rahman sebagai lembaga syura-ijma’. Dalam pandangan Rahman, majelis ini dip 42 %
rima keputusan mayoritas dan berupaya mengimplementasikannya sebagai suatu konsensus. Mekanisme ijma’ semacam ini menggagaskan 65 %
nsinyalir ada orang menganggap bahwa dengan menjadikan Islam sebagai landasan kehidupan, maka hal ini berarti minoritas nonmuslim 68 %
g koheren dan konsisten (preference representation). Tetapi, sebagai himpunan orang terpilih, majelis ini juga bisa mempengaruhi 88 %
sip mayoritas, ia mengikat seluruh anggotanya tanpa kecuali. sebagaimana disinggung di atas, konsensus atau ijma’ masyarakat inilah y 84 %
dividual ataupun kolektif mendapat kesempatan untuk didengar sebelum masyarakat akhirnya secara konsensus atau mayoritas memilih 61 %
azali. Bagi keduanya, ijma’ adalah kesepakatan kaum Muslimin secara menyeluruh. Gagasan ini jelas bersifat utopis, karena tidak 20 %
asannya. Apabila masyarakat telah menerima gagasan minoritas secara mayoritas, opini itu membentuk ijma’ baru dan menggantikan i 38 %
u, ada kemungkinan untuk mengubah konsensus tersebut, karena secara potensial selalu terdapat kemungkinan bagi pandangan minorit 47 %
ngga berbagai sudut pandang yang berkembang dan dikembangkan secara individual ataupun kolektif mendapat kesempatan untuk dideng 60 %
ndapat kesempatan untuk didengar sebelum masyarakat akhirnya secara konsensus atau mayoritas memilih yang dianggap laik. Ketika 61 %
uga memberikan kemungkinan deliberasi dan perdebatan publik, sehingga berbagai sudut pandang yang berkembang dan dikembangkan seca 59 %
itu, Fazlur Rahman menekankan sikap anti-eksklusivisme Islam sehubungan dengan komunitas-komunitas keagamaan lainnya, berdasarkan se 76 %
efektif untuk menerima kekuasaan mayoritas (majority rule). sejalan dengan ini, Louay M. Safi juga mengemukakan bahwa legitimasi 53 %
kesepakatan umat Islam yang bulat atau menyeluruh sepanjang sejarah Islam. Yang ada hanyalah kesepakatan mayoritas, bahkan di ti 22 %
mengemukakan bahwa legitimasi negara tergantung pada sampai sejauh mana organisasi dan kekuasaan negara merefleksikan kehendak 54 %
an dengan komunitas-komunitas keagamaan lainnya, berdasarkan sejumlah ayat al-Quran (2:62 dan 5:69), yang – menurut tafsiran Rahma 77 %
iperhitungkan. Dengan demikian, ijma’ lebih bersifat elitis. selain itu, masih dalam konsepsi klasik, ijma’ berorientasi ke bela 15 %
mi dan demokratis karena merepresentasikan ijma’ masyarakat. selain itu, ada kemungkinan untuk mengubah konsensus tersebut, kare 46 %
n untuk mengubah konsensus tersebut, karena secara potensial selalu terdapat kemungkinan bagi pandangan minoritas untuk menjadi 47 %
ah hukum. Oleh: Taufik Adnan Amal Konsensus atau ijma’ selama berabad-abad telah menjadi validasi terpenting berbagai kepu 7 %
tif negeri-negeri Muslim. Tugasnya adalah memberi advis yang selanjutnya akan dirumuskan ke dalam undang-undang oleh majelis nasional 50 %
embangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapk 1 %
embangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapk 24 %
milih yang dianggap laik. Ketika putusan mayoritas tercapai, seluruh anggota masyarakat – baik Muslim ataupun non Muslim – harus 62 %
us. Mekanisme ijma’ semacam ini menggagaskan keterlibatan seluruh anggota masyarakat, termasuk bukan muslim, dalam proses peng 65 %
melakukan perbuatan baik akan selamat. Dalam negara modern, seluruh warga negara harus dipandang setara satu sama lain, tanpa di 79 %
munitas tersebut, berdasarkan prinsip mayoritas, ia mengikat seluruh anggotanya tanpa kecuali. Sebagaimana disinggung di atas, 84 %
plementasikannya sebagai suatu konsensus. Mekanisme ijma’ semacam ini menggagaskan keterlibatan seluruh anggota masyarakat, te 65 %
asyarakat tidak mungkin tercapai. Menurut al-Banna, anggapan semacam itu berseberangan dengan prinsip persamaan dan pengakuan Isl 70 %
ga perwakilan rakyat di tingkat lokal atau nasional. Majelis semacam ini –yang dibentuk misalnya lewat pemilihan umum– tentunya m 86 %
melibatkan masyarakat, penting dilakukan majelis. Aktivitas semacam inilah yang dimaknai Rahman dengan istilah syura. Salah s 92 %
in dari perluasan konsep ijma’. Dengan merativikasi konvensi semacam itu, negara muslim tersebut terikat kesepakatan atau ber-ijm 98 %
malahan menjadikan persatuan berdimensi sakral dan religius. senada dengan itu, Fazlur Rahman menekankan sikap anti-eksklusivism 75 %
tidak ada kesepakatan umat Islam yang bulat atau menyeluruh sepanjang sejarah Islam. Yang ada hanyalah kesepakatan mayoritas, bahk 21 %
yang ditetapkan majelis bisa saja benar atau keliru. Tetapi, sepanjang hukum tersebut mencerminkan kehendak masyarakat, ia tetap be 44 %
s yang merasa ijtihad-nya lebih mendekati kebenaran, terbuka sepenuhnya untuk meyakinkan masyarakat akan kebenaran gagasannya. Apabi 37 %
kekuasaan negara merefleksikan kehendak masyarakat, karena – seperti ditegaskan para yuris klasik – legitimasi institusi negara t 55 %
n siapa pun yang percaya kepada monoteisme dan hari akhirat, serta melakukan perbuatan baik akan selamat. Dalam negara modern, 78 %
akati kesetaraan warga negara – baik Muslim atau nonmuslim – serta persamaan hak dan kewajibannya, termasuk dalam proses pencap 82 %
ni, deliberasi, advokasi, pengajuan rancangan undang-undang, serta cara-cara lainnya yang melibatkan masyarakat, penting dilaku 91 %
s dipandang setara satu sama lain, tanpa diskriminasi antara sesama warga, baik Muslim atau bukan Muslim. Pandangan-pandangan 80 %
t. Dalam negara modern, seluruh warga negara harus dipandang setara satu sama lain, tanpa diskriminasi antara sesama warga, baik 79 %
i pada konsensus para sahabat Nabi. Ijma’ apapun yang datang setelah itu tidak memiliki nilai mengikat, terlebih lagi jika ia mer 18 %
individu atau kelompok kerja akan mengkristal ke dalam ijma’ setelah melalui interaksi ide yang ketat. Dengan demikian, ijma’ – y 34 %
62 dan 5:69), yang – menurut tafsiran Rahman – mengungkapkan siapa pun yang percaya kepada monoteisme dan hari akhirat, serta m 77 %
eran penting dalam perkembangan Islam dan memberi andil yang signifikan terhadap penafsirannya. Tetapi, dalam konsep tradisional 13 %
an religius. Senada dengan itu, Fazlur Rahman menekankan sikap anti-eksklusivisme Islam sehubungan dengan komunitas-komunit 75 %
ndang oleh majelis nasional negeri-negeri Muslim berdasarkan sinaran perbedaan regional dan situasi sosial masing-masing negeri. 51 %
regional dan situasi sosial masing-masing negeri. Survei singkat di atas memperlihatkan bahwa ijma’ bisa memberikan pijakan y 52 %
eri-negeri Muslim berdasarkan sinaran perbedaan regional dan situasi sosial masing-masing negeri. Survei singkat di atas mempe 51 %
ri Muslim berdasarkan sinaran perbedaan regional dan situasi sosial masing-masing negeri. Survei singkat di atas memperlihatk 51 %
elaborasi konsepnya tentang lembaga syura-ijma’ ini ke dalam suatu majelis internasional yang beranggotakan majelis legislatif 49 %
utusan mayoritas dan berupaya mengimplementasikannya sebagai suatu konsensus. Mekanisme ijma’ semacam ini menggagaskan keter 65 %
rmasuk dalam proses pencapaian konsensus. Karena itu, ketika suatu ijma’ mengkristal atau berhasil dicapai dalam komunitas ters 83 %
mempengaruhi preferensi publik (preference formation), jika suatu masalah dinilai laik untuk dirumuskan ke dalam kebijakan. Un 89 %
asyarakat atau untuk menakar kesepakatan masyarakat mengenai suatu hal adalah melalui referendum. Ijma’, berdasarkan alur logik 94 %
referendum. Partisipasi masyarakat yang luas dalam penentuan suatu kebijakan sangat bisa diharapkan dalam implementasi ijma’-re 96 %
tau internasional, konvensi-konvensi yang telah dirativikasi suatu negara muslim juga merupakan bentuk lain dari perluasan kons 97 %
ungkinan deliberasi dan perdebatan publik, sehingga berbagai sudut pandang yang berkembang dan dikembangkan secara individual a 60 %
tuk menghindari kemungkinan terjadinya salah tafsir terhadap sumber-sumber Islam, Iqbal menyetujui masuknya ulama ke dalam majelis untu 30 %
ris klasik – legitimasi institusi negara tidak terambil dari sumber-sumber tekstual, tetapi didasarkan terutama pada prinsip ijma’. Den 56 %
perbedaan regional dan situasi sosial masing-masing negeri. survei singkat di atas memperlihatkan bahwa ijma’ bisa memberikan p 52 %
an atau ber-ijma’ untuk melaksanakannya. Dosen Fakultas syari’ah IAIN Alauddin Makassar 100 %
n. Rahman bahkan mengelaborasi konsepnya tentang lembaga syura-ijma’ ini ke dalam suatu majelis internasional yang beranggotakan 48 %
ukum. Tetapi, untuk menghindari kemungkinan terjadinya salah tafsir terhadap sumber-sumber Islam, Iqbal menyetujui masuknya ulam 30 %
arkan sejumlah ayat al-Quran (2:62 dan 5:69), yang – menurut tafsiran Rahman – mengungkapkan siapa pun yang percaya kepada monotei 77 %
pun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Oleh: Taufik Adnan Amal Konsensus 7 %
pun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Tetapi, untuk menghindari kemungkinan t 29 %
ma’. Dalam pandangan Rahman, majelis ini dipilih oleh rakyat tanpa kualifikasi teknis apapun. Dalam masalah-masalah pelik, maje 42 %
seluruh warga negara harus dipandang setara satu sama lain, tanpa diskriminasi antara sesama warga, baik Muslim atau bukan Mus 79 %
erdasarkan prinsip mayoritas, ia mengikat seluruh anggotanya tanpa kecuali. Sebagaimana disinggung di atas, konsensus atau i 84 %
li memiliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Oleh: taufik Adnan Amal Konsensus atau ijma’ selama berabad-abad telah 7 %
an Rahman, majelis ini dipilih oleh rakyat tanpa kualifikasi teknis apapun. Dalam masalah-masalah pelik, majelis dapat meminta a 43 %
aufik Adnan Amal Konsensus atau ijma’ selama berabad-abad telah menjadi validasi terpenting berbagai keputusan di dalam Isla 8 %
kan masyarakat akan kebenaran gagasannya. Apabila masyarakat telah menerima gagasan minoritas secara mayoritas, opini itu membe 38 %
i dan prosedur untuk menjalankannya. Mekanisme ijma’ yang telah diuraikan juga memberikan kemungkinan deliberasi dan perdeba 59 %
alah melalui referendum. Ijma’, berdasarkan alur logika yang telah dikemukakan, jelas bisa mengambil bentuk referendum. Partisi 95 %
da level regional atau internasional, konvensi-konvensi yang telah dirativikasi suatu negara muslim juga merupakan bentuk lain 97 %
i modern. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang 2 %
i modern. Muhammad Iqbal, misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang 24 %
untuk membantu dan memimpin perbincangan-perbincangan bebas tentang masalah yang bertalian dengan Islam. Melanjutkan alur pe 31 %
proses perdebatan. Rahman bahkan mengelaborasi konsepnya tentang lembaga syura-ijma’ ini ke dalam suatu majelis internasional 48 %
saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan i 6 %
saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan i 28 %
is semacam ini –yang dibentuk misalnya lewat pemilihan umum– tentunya merupakan representasi masyarakat yang menerjemahkan kepenti 86 %
gaskan para yuris klasik – legitimasi institusi negara tidak terambil dari sumber-sumber tekstual, tetapi didasarkan terutama pada 56 %
minoritas yang merasa ijtihad-nya lebih mendekati kebenaran, terbuka sepenuhnya untuk meyakinkan masyarakat akan kebenaran gagasa 37 %
mengubah konsensus tersebut, karena secara potensial selalu terdapat kemungkinan bagi pandangan minoritas untuk menjadi mayoritas 47 %
ini, Louay M. Safi juga mengemukakan bahwa legitimasi negara tergantung pada sampai sejauh mana organisasi dan kekuasaan negara mere 54 %
g dalam perkembangan Islam dan memberi andil yang signifikan terhadap penafsirannya. Tetapi, dalam konsep tradisional, hanya ‘ 13 %
etapi, untuk menghindari kemungkinan terjadinya salah tafsir terhadap sumber-sumber Islam, Iqbal menyetujui masuknya ulama ke dala 30 %
u berseberangan dengan prinsip persamaan dan pengakuan Islam terhadap minoritas nonmuslim. Agama Islam, menurutnya, mengkuduskan k 71 %
an merativikasi konvensi semacam itu, negara muslim tersebut terikat kesepakatan atau ber-ijma’ untuk melaksanakannya. Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Makassar 99 %
m dalam masalah hukum. Tetapi, untuk menghindari kemungkinan terjadinya salah tafsir terhadap sumber-sumber Islam, Iqbal menyetujui 29 %
papun yang datang setelah itu tidak memiliki nilai mengikat, terlebih lagi jika ia merativikasi doktrin yang bertentangan dengan t 18 %
nsus masyarakat ini, menurut Rahman, dirujuk al-Quran dengan terma syura. Pada level negara, ijma’ masyarakat akan ditempa a 40 %
am ini menggagaskan keterlibatan seluruh anggota masyarakat, termasuk bukan muslim, dalam proses pengambilan keputusan. Tidak ada 66 %
uslim atau nonmuslim – serta persamaan hak dan kewajibannya, termasuk dalam proses pencapaian konsensus. Karena itu, ketika suatu 82 %
asaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis 3 %
asaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen” atau majelis 25 %
sensus atau ijma’ selama berabad-abad telah menjadi validasi terpenting berbagai keputusan di dalam Islam, khususnya di kalangan Sun 8 %
majelis bisa saja benar atau keliru. Tetapi, sepanjang hukum tersebut mencerminkan kehendak masyarakat, ia tetap bersifat islami d 45 %
ma’. Dengan merativikasi konvensi semacam itu, negara muslim tersebut terikat kesepakatan atau ber-ijma’ untuk melaksanakannya. 99 %
idak terambil dari sumber-sumber tekstual, tetapi didasarkan terutama pada prinsip ijma’. Dengan kata lain, ijma’ bisa memberi kem 56 %
epanjang hukum tersebut mencerminkan kehendak masyarakat, ia tetap bersifat islami dan demokratis karena merepresentasikan ijma 45 %
institusi negara tidak terambil dari sumber-sumber tekstual, tetapi didasarkan terutama pada prinsip ijma’. Dengan kata lain, ij 56 %
ggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kec 6 %
ngan Sunni. Nabi Muhammad dikabarkan pernah bersabda: Umatku tidak akan bersepakat dalam kekeliruan. Berpijak pada hadits inila 9 %
liki peran dalam mencapai konsensus. Masyarakat pada umumnya tidak begitu diperhitungkan. Dengan demikian, ijma’ lebih bersifat 14 %
nsus para sahabat Nabi. Ijma’ apapun yang datang setelah itu tidak memiliki nilai mengikat, terlebih lagi jika ia merativikasi 18 %
secara menyeluruh. Gagasan ini jelas bersifat utopis, karena tidak ada kesepakatan umat Islam yang bulat atau menyeluruh sepanj 21 %
ggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kec 28 %
yarakat – lebih bersifat dinamis, berorientasi ke depan, dan tidak monolitik. Golongan minoritas yang merasa ijtihad-nya lebih 36 %
i ditegaskan para yuris klasik – legitimasi institusi negara tidak terambil dari sumber-sumber tekstual, tetapi didasarkan teru 56 %
, termasuk bukan muslim, dalam proses pengambilan keputusan. tidak ada yang aneh dalam hal ini. Hasan al-Banna, dalam risalah N 66 %
landasan kehidupan, maka hal ini berarti minoritas nonmuslim tidak dapat hidup di lingkungan umat Islam dan persatuan di antara 69 %
umat Islam dan persatuan di antara berbagai unsur masyarakat tidak mungkin tercapai. Menurut al-Banna, anggapan semacam itu ber 69 %
hassah). Implementasi prinsip-prinsip ini, menurut al-Banna, tidak akan menimbulkan perpecahan, malahan menjadikan persatuan be 74 %
ah Islam. Yang ada hanyalah kesepakatan mayoritas, bahkan di tingkat lokal. Pada periode modern, pemikir-pemikir Muslim mengem 22 %
yang kemudian diundangkan oleh lembaga perwakilan rakyat di tingkat lokal atau nasional. Majelis semacam ini –yang dibentuk misa 85 %
h lagi jika ia merativikasi doktrin yang bertentangan dengan tradisi salaf. Gagasan ijma’ yang agak luas dikemukakan al-Syafi’ 19 %
al, misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab 3 %
al, misalnya, mengungkapkan gagasannya tentang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab 25 %
yang beranggotakan majelis legislatif negeri-negeri Muslim. tugasnya adalah memberi advis yang selanjutnya akan dirumuskan ke dal 50 %
si klasik, ijma’ berorientasi ke belakang: dalam kesepakatan ulama di masa-masa silam. Bahkan, di kalangan mazhab Islam tertent 16 %
fsir terhadap sumber-sumber Islam, Iqbal menyetujui masuknya ulama ke dalam majelis untuk membantu dan memimpin perbincangan-pe 30 %
asan ini jelas bersifat utopis, karena tidak ada kesepakatan umat Islam yang bulat atau menyeluruh sepanjang sejarah Islam. Ya 21 %
berarti minoritas nonmuslim tidak dapat hidup di lingkungan umat Islam dan persatuan di antara berbagai unsur masyarakat tida 69 %
wahdah al-diniyyah al-’ammah), dan kesatuan keagamaan khusus umat Islam (al-wahdah al-diniyyah al-khassah). Implementasi prins 73 %
di kalangan Sunni. Nabi Muhammad dikabarkan pernah bersabda: umatku tidak akan bersepakat dalam kekeliruan. Berpijak pada hadits 9 %
. Agama Islam, menurutnya, mengkuduskan kesatuan kemanusiaan umum (al-wahdah al-insaniyyah al-’ammah), kesatuan keagamaan umum 72 %
umum (al-wahdah al-insaniyyah al-’ammah), kesatuan keagamaan umum (al-wahdah al-diniyyah al-’ammah), dan kesatuan keagamaan kh 72 %
Majelis semacam ini –yang dibentuk misalnya lewat pemilihan umum– tentunya merupakan representasi masyarakat yang menerjemahka 86 %
ang memiliki peran dalam mencapai konsensus. Masyarakat pada umumnya tidak begitu diperhitungkan. Dengan demikian, ijma’ lebih be 14 %
masalah pelik, majelis dapat meminta advis kepada para ahli. undang-undang atau hukun yang ditetapkan majelis bisa saja benar atau keli 44 %
alah memberi advis yang selanjutnya akan dirumuskan ke dalam undang-undang oleh majelis nasional negeri-negeri Muslim berdasarkan sinar 50 %
up di lingkungan umat Islam dan persatuan di antara berbagai unsur masyarakat tidak mungkin tercapai. Menurut al-Banna, anggapa 69 %
muslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dal 6 %
t itu disandarkan. Bahkan, di kalangan Sunni, otoritas final untuk penafsiran keagamaan diletakkan pada konsensus (ijma’) atau 11 %
muslim, Iqbal tentu saja tidak memberikan kualifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dal 28 %
ali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Tetapi, untuk menghindari kemungkinan terjadinya salah tafsir terhadap sum 29 %
mber Islam, Iqbal menyetujui masuknya ulama ke dalam majelis untuk membantu dan memimpin perbincangan-perbincangan bebas tentan 30 %
sa ijtihad-nya lebih mendekati kebenaran, terbuka sepenuhnya untuk meyakinkan masyarakat akan kebenaran gagasannya. Apabila mas 37 %
membentuk ijma’ baru dan menggantikan ijma’ lama. Aktivitas untuk menggalang konsensus masyarakat ini, menurut Rahman, dirujuk 39 %
epresentasikan ijma’ masyarakat. Selain itu, ada kemungkinan untuk mengubah konsensus tersebut, karena secara potensial selalu 46 %
tensial selalu terdapat kemungkinan bagi pandangan minoritas untuk menjadi mayoritas melalui proses perdebatan. Rahman bahk 47 %
perlihatkan bahwa ijma’ bisa memberikan pijakan yang efektif untuk menerima kekuasaan mayoritas (majority rule). Sejalan dengan 53 %
i kaum Muslimin dan menawarkan format institusi dan prosedur untuk menjalankannya. Mekanisme ijma’ yang telah diuraikan juga 58 %
ngkan secara individual ataupun kolektif mendapat kesempatan untuk didengar sebelum masyarakat akhirnya secara konsensus atau m 61 %
blik (preference formation), jika suatu masalah dinilai laik untuk dirumuskan ke dalam kebijakan. Untuk pembentukan preferensi 90 %
tu masalah dinilai laik untuk dirumuskan ke dalam kebijakan. untuk pembentukan preferensi ini, deliberasi, advokasi, pengajuan 90 %
dengan istilah syura. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk membentuk konsensus masyarakat atau untuk menakar kesepakata 93 %
ang dapat ditempuh untuk membentuk konsensus masyarakat atau untuk menakar kesepakatan masyarakat mengenai suatu hal adalah mel 93 %
u, negara muslim tersebut terikat kesepakatan atau ber-ijma’ untuk melaksanakannya. Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Makassar 99 %
al Konsensus atau ijma’ selama berabad-abad telah menjadi validasi terpenting berbagai keputusan di dalam Islam, khususnya di k 8 %
an perbuatan baik akan selamat. Dalam negara modern, seluruh warga negara harus dipandang setara satu sama lain, tanpa diskrimi 79 %
yang dikemukakan di atas dengan jelas menyepakati kesetaraan warga negara – baik Muslim atau nonmuslim – serta persamaan hak da 81 %
alifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Oleh: Taufik Adnan Amal 6 %
alifikasi apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Tetapi, untuk menghindari ke 29 %
mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya, men 1 %
ntang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “i 3 %
kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen 3 %
akyat. Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, I 5 %
i apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Oleh: Taufik Adnan Amal Kon 7 %
dalam kekeliruan. Berpijak pada hadits inilah otoritas ijma’ yang mengikat itu disandarkan. Bahkan, di kalangan Sunni, otorita 10 %
kan peran penting dalam perkembangan Islam dan memberi andil yang signifikan terhadap penafsirannya. Tetapi, dalam konsep 13 %
irannya. Tetapi, dalam konsep tradisional, hanya ‘ulama’ yang memiliki peran dalam mencapai konsensus. Masyarakat pada umu 14 %
jma’ dibatasi pada konsensus para sahabat Nabi. Ijma’ apapun yang datang setelah itu tidak memiliki nilai mengikat, terlebih l 17 %
i nilai mengikat, terlebih lagi jika ia merativikasi doktrin yang bertentangan dengan tradisi salaf. Gagasan ijma’ yang aga 18 %
rin yang bertentangan dengan tradisi salaf. Gagasan ijma’ yang agak luas dikemukakan al-Syafi’i dan belakangan oleh al-Ghaz 19 %
las bersifat utopis, karena tidak ada kesepakatan umat Islam yang bulat atau menyeluruh sepanjang sejarah Islam. Yang ada hany 21 %
at Islam yang bulat atau menyeluruh sepanjang sejarah Islam. yang ada hanyalah kesepakatan mayoritas, bahkan di tingkat lokal. 22 %
mengembangkan konsep ijma’ dengan berbagai kemungkinan baru yang selaras dengan kondisi modern. Muhammad Iqbal, misalnya, men 24 %
ntang ijma’ sebagai transfer kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “i 25 %
kekuasaan ijtihad dari individu yang mewakili mazhab-mazhab yang terorganisasi ke dalam bentuk “institusi legislatif permanen 25 %
t. Dengan mentransfer ijtihad kepada lembaga legislatif, yang bisa saja beranggotakan Muslim awam atau bahkan nonmuslim, I 27 %
i apapun untuk pelaksanaan ijtihad, kecuali memiliki wawasan yang tajam dalam masalah hukum. Tetapi, untuk menghindari kemungk 29 %
dan memimpin perbincangan-perbincangan bebas tentang masalah yang bertalian dengan Islam. Melanjutkan alur pemikiran Iqbal 31 %
an baru ijma’ dalam masyarakat kontemporer. Baginya, ijtihad yang dihasilkan individu atau kelompok kerja akan mengkristal ke 33 %
kan mengkristal ke dalam ijma’ setelah melalui interaksi ide yang ketat. Dengan demikian, ijma’ – yang merupakan konsensus may 34 %
h melalui interaksi ide yang ketat. Dengan demikian, ijma’ – yang merupakan konsensus mayoritas masyarakat – lebih bersifat di 35 %
rorientasi ke depan, dan tidak monolitik. Golongan minoritas yang merasa ijtihad-nya lebih mendekati kebenaran, terbuka sepenu 36 %
bentuk hukum dan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang disebut Rahman sebagai lembaga syura-ijma’. Dalam pandangan 41 %
pat meminta advis kepada para ahli. Undang-undang atau hukun yang ditetapkan majelis bisa saja benar atau keliru. Tetapi, sepa 44 %
lembaga syura-ijma’ ini ke dalam suatu majelis internasional yang beranggotakan majelis legislatif negeri-negeri Muslim. Tugas 49 %
gislatif negeri-negeri Muslim. Tugasnya adalah memberi advis yang selanjutnya akan dirumuskan ke dalam undang-undang oleh maje 50 %
t di atas memperlihatkan bahwa ijma’ bisa memberikan pijakan yang efektif untuk menerima kekuasaan mayoritas (majority rule). 53 %
titusi dan prosedur untuk menjalankannya. Mekanisme ijma’ yang telah diuraikan juga memberikan kemungkinan deliberasi dan p 59 %
erasi dan perdebatan publik, sehingga berbagai sudut pandang yang berkembang dan dikembangkan secara individual ataupun kolekt 60 %
masyarakat akhirnya secara konsensus atau mayoritas memilih yang dianggap laik. Ketika putusan mayoritas tercapai, seluruh an 61 %
ngejawantahkannya ke dalam praktik. Penggagas, pengikut atau yang menyetujui pandangan minoritas juga harus menerima keputusan 63 %
bukan muslim, dalam proses pengambilan keputusan. Tidak ada yang aneh dalam hal ini. Hasan al-Banna, dalam risalah Nahwa an-N 66 %
lainnya, berdasarkan sejumlah ayat al-Quran (2:62 dan 5:69), yang – menurut tafsiran Rahman – mengungkapkan siapa pun yang per 77 %
9), yang – menurut tafsiran Rahman – mengungkapkan siapa pun yang percaya kepada monoteisme dan hari akhirat, serta melakukan 78 %
atau bukan Muslim. Pandangan-pandangan kesarjanaan Muslim yang dikemukakan di atas dengan jelas menyepakati kesetaraan warg 80 %
a disinggung di atas, konsensus atau ijma’ masyarakat inilah yang kemudian diundangkan oleh lembaga perwakilan rakyat di tingk 85 %
t pemilihan umum– tentunya merupakan representasi masyarakat yang menerjemahkan kepentingan masyarakat ke dalam kebijakan-kebi 87 %
jemahkan kepentingan masyarakat ke dalam kebijakan-kebijakan yang koheren dan konsisten (preference representation). Tetapi, s 88 %
, pengajuan rancangan undang-undang, serta cara-cara lainnya yang melibatkan masyarakat, penting dilakukan majelis. Aktivitas 91 %
yarakat, penting dilakukan majelis. Aktivitas semacam inilah yang dimaknai Rahman dengan istilah syura. Salah satu cara yan 92 %
ang dimaknai Rahman dengan istilah syura. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk membentuk konsensus masyarakat atau unt 93 %
al adalah melalui referendum. Ijma’, berdasarkan alur logika yang telah dikemukakan, jelas bisa mengambil bentuk referendum. P 95 %
las bisa mengambil bentuk referendum. Partisipasi masyarakat yang luas dalam penentuan suatu kebijakan sangat bisa diharapkan 95 %
Pada level regional atau internasional, konvensi-konvensi yang telah dirativikasi suatu negara muslim juga merupakan bentuk 97 %
n rakyat di tingkat lokal atau nasional. Majelis semacam ini –yang dibentuk misalnya lewat pemilihan umum– tentunya merupakan r 86 %
ksikan kehendak masyarakat, karena – seperti ditegaskan para yuris klasik – legitimasi institusi negara tidak terambil dari sum 55 %

 

The End

back to top

 

Word Frequency Program

 yang  45
 dalam  30
 ijma’  30
 dan  22
 masyarakat  22
 atau  21
 dengan  20
 untuk  17
 muslim  16
 islam  13
 ini  13
 konsensus  13
 tidak  12
 di  12
 majelis  12
 ke  12
 pada  10
 –  10
 itu  9
 mayoritas  9
 negara  9
 kemungkinan  8
 rahman  8
 bisa  8
 suatu  7
 ijtihad  7
 akan  7
 legislatif  6
 lembaga  6
 minoritas  6
 iqbal  6
 kesepakatan  6
 sebagai  6
 bahkan  6
 berbagai  5
 tetapi  5
 karena  5
 juga  5
 saja  5
 secara  5
 oleh  5
 ada  5
 semacam  5
 bentuk  5
 telah  5
 nonmuslim  5
 modern  5
 berdasarkan  4
 memiliki  4
 rakyat  4
 mengungkapkan  4
 hukum  4
 masalah  4
 menurut  4
 dari  4
 konsep  4
 bersifat  4
 memberikan  4
 keagamaan  4
 tersebut  4
 baik  4
 baru  4
 kepada  4
 tentang  4
 apapun  4
 kekuasaan  4
 seluruh  4
 tanpa  3
 adalah  3
 gagasannya  3
 dikemukakan  3
 legitimasi  3
 undang-undang  3
 para  3
 hal  3
 harus  3
 pandangan  3
 memberi  3
 melalui  3
 dirumuskan  3
 mengikat  3
 kalangan  3
 menerima  3
 al-wahdah  3
 kecuali  3
 misalnya  3
 muhammad  3
 gagasan  3
 jelas  3
 terhadap  3
 merupakan  3
 prinsip  3
 proses  3
 individu  3
 serta  3
 kesatuan  3
 umat  3
 bahwa  3
 al-banna  3
 keputusan  3
 bagi  3
 kualifikasi  3
 lain  3
 warga  3
 inilah  3
 atas  3
 dapat  3
 lebih  3
 beranggotakan  3
 ia  3
 perwakilan  3
 kebijakan  2
 mekanisme  2
 ketika  2
 membentuk  2
 klasik  2
 lokal  2
 luas  2
 laik  2
 lainnya  2
 level  2
 kontemporer  2
 kolektif  2
 mazhab-mazhab  2
 kondisi  2
 kehendak  2
 kebenaran  2
 selaras  2
 selain  2
 satu  2
 sumber-sumber  2
 setelah  2
 sepanjang  2
 putusan  2
 publik  2
 preferensi  2
 salah  2
 regional  2
 referendum  2
 sunni  2
 transfer  2
 tingkat  2
 terorganisasi  2
 wawasan  2
 umum  2
 ulama  2
 tajam  2
 syura-ijma’  2
 syura  2
 termasuk  2
 tercapai  2
 tentu  2
 preference  2
 mewakili  2
 merativikasi  2
 menyetujui  2
 nasional  2
 nabi  2
 muslimin  2
 menjadi  2
 mengkristal  2
 mengembangkan  2
 menyeluruh  2
 mentransfer  2
 menjadikan  2
 negeri-negeri  2
 periode  2
 perdebatan  2
 peran  2
 persatuan  2
 persamaan  2
 permanen”  2
 “institusi  2
 otoritas  2
 orang  2
 penting  2
 pemikir-pemikir  2
 pelaksanaan  2
 advis  2
 al-quran  2
 anggota  2
 internasional  2
 awam  2
 fazlur  2
 institusi  2
 demikian  2
 implementasi  2
 deliberasi  2
 berorientasi  2
 alur  2
 aktivitas  2
 al-diniyyah  2
 berupaya  2
 jika  2
 kaum  2
 bukan  2
 antara  2
 al-’ammah  2
 ataupun  2
 bertentangan  1
 berpijak  1
 pun  1
 bersabda:  1
 rancangan  1
 bersepakat  1
 bertalian  1
 berseberangan  1
 prinsip-prinsip  1
 prosedur  1
 religius  1
 berhasil  1
 sebagaimana  1
 ber-ijma’  1
 sangat  1
 sarjana  1
 sehubungan  1
 sejalan  1
 sehingga  1
 sebelum  1
 berdimensi  1
 sampai  1
 rule  1
 safi  1
 risalah  1
 representasi  1
 representation  1
 berkembang  1
 sama  1
 salaf  1
 sahabat  1
 sakral  1
 penafsirannya  1
 pencapaian  1
 pemilihan  1
 penafsiran  1
 penentuan  1
 pengambilan  1
 penggagas  1
 pengajuan  1
 pengakuan  1
 akhirat  1
 dianggap  1
 partisipasi  1
 dibatasi  1
 pandangan-pandangan  1
 depan  1
 pemikir  1
 pemikiran  1
 pelik  1
 pembentukan  1
 pengikut  1
 perundang-undangan  1
 cara-cara  1
 perpecahan  1
 akhirnya  1
 pijakan  1
 cara  1
 bulat  1
 potensial  1
 praktik  1
 pernah  1
 perbedaan  1
 perbincangan-perbincangan  1
 demokratis  1
 demokrasi  1
 perbuatan  1
 perluasan  1
 datang  1
 percaya  1
 perkembangan  1
 sejarah  1
 aneh  1
 terpenting  1
 terma  1
 anggapan  1
 terpilih  1
 terutama  1
 tetap  1
 andil  1
 tertentu  1
 terlebih  1
 terambil  1
 terbuka  1
 an-nur  1
 tentunya  1
 anggotanya  1
 terikat  1
 terjadinya  1
 terdapat  1
 tergantung  1
 unsur  1
 []  1
 umumnya  1
 al-ghazali  1
 utopis  1
 **dosen  1
 –yang  1
 validasi  1
 alauddin  1
 umum–  1
 tradisi  1
 tradisional  1
 amal  1
 ‘ulama’  1
 al-syafi’i  1
 umatku  1
 al-insaniyyah  1
 tugasnya  1
 al-khassah  1
 anti-eksklusivisme  1
 sepenuhnya  1
 seperti  1
 senada  1
 belakang:  1
 begitu  1
 bebas  1
 siapa  1
 sesama  1
 setara  1
 belakangan  1
 berarti  1
 selalu  1
 sejauh  1
 sejumlah  1
 selama  1
 berabad-abad  1
 benar  1
 selamat  1
 selanjutnya  1
 tafsir  1
 tafsiran  1
 survei  1
 syari’ah  1
 asal  1
 teknis  1
 tekstual  1
 apabila  1
 taufik  1
 ayat  1
 silam  1
 sinaran  1
 signifikan  1
 sikap  1
 singkat  1
 baginya  1
 sudut  1
 situasi  1
 sosial  1
 pandang  1
 hak  1
 louay  1
 logika  1
 lewat  1
 lingkungan  1
 majority  1
 maka  1
 golongan  1
 hadits  1
 m  1
 lama  1
 landasan  1
 himpunan  1
 iain  1
 hukun  1
 hanyalah  1
 hanya  1
 hari  1
 hidup  1
 hasan  1
 melaksanakannya  1
 melakukan  1
 final  1
 5:69  1
 mazhab  1
 memainkan  1
 membantu  1
 melibatkan  1
 fakultas  1
 melanjutkan  1
 formation  1
 masalah-masalah  1
 mana  1
 makassar  1
 malahan  1
 masuknya  1
 format  1
 masing-masing  1
 masa-masa  1
 masih  1
 lagi  1
 kepentingan  1
 interaksi  1
 agak  1
 kemanusiaan  1
 kemudian  1
 agama  1
 kesetaraan  1
 kesempatan  1
 kerja  1
 kesarjanaan  1
 keduanya  1
 istilah  1
 advokasi  1
 kata  1
 kebijakan-kebijakan  1
 keliru  1
 kelompok  1
 islami  1
 kehidupan  1
 kekeliruan  1
 konsepnya  1
 konsepsi  1
 ijma’-referendum  1
 ijtihad-nya  1
 adnan  1
 konvensi-konvensi  1
 ide  1
 konvensi  1
 konsisten  1
 ahli  1
 kewajibannya  1
 khusus  1
 individual  1
 ketat  1
 keterlibatan  1
 komunitas  1
 komunitas-komunitas  1
 koheren  1
 khususnya  1
 implikasinya  1
 elitis  1
 dinamis  1
 model  1
 dinilai  1
 dipandang  1
 meyakinkan  1
 diletakkan  1
 mungkin  1
 monoteisme  1
 dimaknai  1
 monolitik  1
 menyepakati  1
 dirativikasi  1
 dirujuk  1
 disandarkan  1
 menurutnya  1
 merepresentasikan  1
 diperhitungkan  1
 merefleksikan  1
 merasa  1
 dipilih  1
 oleh:  1
 opini  1
 didengar  1
 non  1
 diharapkan  1
 dibentuk  1
 pakistan  1
 dicapai  1
 didasarkan  1
 organisasi  1
 nahwa  1
 dikabarkan  1
 dikembangkan  1
 2:62  1
 dilakukan  1
 neo-modernis  1
 nilai  1
 dihasilkan  1
 1936  1
 negeri  1
 disebut  1
 mendekati  1
 menekankan  1
 mendapat  1
 mencapai  1
 mencerminkan  1
 menganggap  1
 mengejawantahkannya  1
 mengambil  1
 diundangkan  1
 menerjemahkan  1
 diuraikan  1
 memimpin  1
 memilih  1
 efektif  1
 doktrin  1
 menakar  1
 menawarkan  1
 memperlihatkan  1
 meminta  1
 mempengaruhi  1
 ditegaskan  1
 menilik  1
 mengubah  1
 ditempa  1
 mengkuduskan  1
 menjalankannya  1
 mensinyalir  1
 disinggung  1
 menimbulkan  1
 diskriminasi  1
 mengenai  1
 menggagaskan  1
 mengemukakan  1
 mengelaborasi  1
 ditetapkan  1
 ditempuh  1
 mengimplementasikannya  1
 menghindari  1
 menggalang  1
 menggantikan  1
 yuris  1

The End

back to top