click here for the word frequency
Sejarah Al-Qur’an: Rejoinder
Mengkaji sejarah Al-Qur’an dengan melihat proses-proses pembentukannya, baik pada masa Nabi dan masa-masa sesudahnya sangat penting, untuk mengingatkan kita selalu bahwa Al-Qur’an adalah manifestasi manusiawi dari kalamullah. Seperti juga kitab-kitab suci lainnya di dunia ini, Al-Qur’an memiliki keterbatasan-keterbatasan pada lingkup kebahasaan dan kesejarahan di mana ia diturunkan.
Oleh: Luthfi Assyaukanie
Pertama-tama,
saya ingin mengucapkan terimakasih kepada siapa saja yang telah memberikan
komentar dan kritik terhadap artikel saya tentang “Merenungkan Sejarah Al-Qur’an”
yang dipublikasikan di website Jaringan Islam Liberal (JIL). Pada mulanya,
artikel itu adalah bagian dari refleksi kegiatan spiritual saya selama bulan
Ramadhan. Pada bulan itu, saya mencoba membaca Al-Qur’an dengan model bacaan
saya sendiri yang menurut saya lebih berkesan dan mempengaruhi intensitas
keberagamaan saya. Secara khusus, saya membaca beberapa buku Nasr Hamed Abu Zayd
dan juga beberapa artikel yang ditulis oleh sarjana Al-Qur’an dari Barat. Saya
selalu terobsesi untuk membaca karya-karya semacam ini, sebagai “balance” (penyeimbang)
dari bacaan saya selama ini yang terlalu banyak dengan karya-karya apologetis.
Saya pikir, rasanya kurang adil kalau saya hanya mensuplay ke dalam memori
pikiran saya pengetahuan apologetis saja.
Inilah latar belakang mengapa artikel itu saya tulis. Semula saya ragu
menuliskan apa yang saya baca. Tapi, rasanya masih terus ada yang mengganjal
kalau belum ditulis. Ketika menulis artikel itu, saya mendapat panduan dari
karya-karya sarjana Al-Qur’an dari Barat untuk membuka kitab-kitab klasik
seperti kitab al-masahif, al-fihrist, al-itqan, dan al-burhan. Saya beruntung
karena semua kitab itu bisa saya dapatkan, sehingga saya bisa merujuk setiap
klaim yang dibuat oleh para sarjana Al-Qur’an dari Barat itu.
Saya pikir, para sarjana Al-Qur’an dari Barat atau yang biasa disebut dengan
nada permusuhan sebagai “orientalis” itu telah banyak berjasa bagi tradisi
kesejarahan Al-Qur’an. Saya bukan tidak sadar bahwa sebagian dari mereka,
seperti dengan baik telah diperlihatkan oleh para kritikus orientalis semacam
A.L. Tibawi dan Edward Said, adalah para sarjana yang bekerja untuk kepentingan
proyek kolonialisme dan penaklukkan dunia Islam. Tapi, saya meyakini, tidak
semua mereka seburuk apa yang dicurigai kaum Muslim. Dunia sekarang ini sudah
sangat terbuka dan tanpa batas. Akses kepada informasi bisa diperoleh semua
orang dengan mudah. Apa yang dikatakan oleh para orientalis itu bisa kita rujuk
dan buktikan ke sumber-sumber aselinya. Dan ini yang saya coba lakukan dalam
menulis artikel itu.
Untuk menulis artikel singkat itu, saya merujuk semua buku yang disebut para
orientalis, khususnya kitab al-masahif karya Ibn Abi Daud, al-Fihrist karya Ibn
Nadiem, dan al-Itqan karya al-Suyuthi. Dalam artikel itu, sengaja saya tidak
menyebut nama orientalis satupun, karena saya sadar bahwa kaum Muslim memiliki
apriori dan prasangka yang luar biasa pada nama-nama mereka. Saya pikir, kalau
saya kutip nama-nama orientalis itu, paling-paling artikel saya akan dicampakkan
begitu saja. Agaknya, ini yang pernah terjadi dengan rekan saya, Taufik Adnan
Amal, yang lebih piawai, lebih ahli, dan lebih produktif dari saya dalam
menuliskan sejarah Al-Qur’an. Namun, hanya karena tulisan-tulisan dia sarat
dengan nama-nama seperti Jeffrey, Wansborough, dan semacamnya, tulisan-tulisan
itu tampaknya tidak banyak diperhatikan orang. Di website JIL sendiri, ada tiga
artikel Taufik, yang menurut saya, memiliki pesan yang sama dengan refleksi yang
saya buat.
Para pengkritik dan pengecam artikel saya berusaha dengan tak sabar ingin
mendengar pengakuan dari saya bahwa saya merujuk kepada orientalis, agar
kemudian mereka bisa berteriak: “tuh kan Luthfi ujung-ujungnya pake orientalis.”
Saya sedih jika ada yang berkomentar seperti ini. Seolah-olah, ilmu itu milik
umat Islam saja, dan yang boleh meneliti sesuatu hanya orang Islam saja.
Sedangkan orang lain, apalagi orang di luar Islam, meskipun mereka punya
keahlian untuk itu, dianggap tak layak, dan bahkan kalau perlu dianggap “najis”
yang harus dicampakkan. Padahal Sayyidina Ali jauh-jauh hari sudah mengingatkan
kita: Undzur ma qaala wa la tandhur man qaala (lihat apa yang dikatakan, dan
jangan lihat siapa yang berkata). Para ulama mantiq (ahli logika) jauh-jauh hari
juga sudah mengingakan agar kita jangan mudah terjatuh pada apa yang mereka
sebut sebagai ughluthat al-askhash (ad hominem), yakni menghukumi sebuah
pendapat semata-mata melihat siapa yang berkata, dan bukan apa yang dikatakan.
Bagi saya, kajian para orientalis telah membuka banyak dimensi tak terpikirkan
dari sejarah Al-Qur’an selama ini. Pada gilirannya, kerja keras dan
temuan-temuan mereka bisa digunakan untuk menjelaskan apa yang selama ini
menjadi concern ulama dan intelektual Muslim. Bagaimanapun, kritik teks (khususnya
teks-teks suci) adalah disiplin baru yang tak memiliki preseden dalam sejarah
intelektualisme umat manusia. Di masa silam, teks-teks suci dianggap sebagai
korpus tertutup yang sudah selesai dan tak boleh diganggu-gugat. Siapa saja yang
mencoba mengkritisinya, dia akan dianggap “murtad,” “kafir,” “zindiq,” atau
istilah-istilah lain yang sejenis. Untuk membentengi kesucian dan kemaksuman
kitab suci, mitos-mitos pun diciptakan, misalnya seperti masalah i’jazul Qur’an
(e.g. angka 19, dll). Siapa saja yang menolak mitos-mitos ini, juga akan dicap
dengan istilah-istilah seram di atas. Itulah yang terjadi dengan banyak ulama
dan intelektual Muslim yang mencoba “membaca” Al-Qur’an dengan perspektif lain,
seperti yang dialami oleh Arkoun, Syahrour, dan Abu Zayd.
Kajian historis terhadap Al-Qur’an membantu kita, di antaranya, untuk
menjelaskan persoalan-persoalan klasik hubungan antara wahyu, kitab suci, dan
risalah kenabian, secara umum. Selanjutnya, masalah ini juga dapat membantu kita
menjelaskan peran dan fungsi agama-agama di dunia ini bagi umat manusia. Saya
menganggap kajian Al-Qur’an dengan melihatnya sebagai sebuah satu-kesatuan kitab
suci dan sekaligus melihat detil-detil peristiwa kesejarahannya yang manusiawi,
seperti kita memahami sejarah alam semesta. Menurut para astrofisikawan, alam
semesta tak bisa dipahami kecuali kita menggabungkan dua teori utama: (i) yang
berkaitan dengan hal-hal maha-besar seperti big bang, gravitasi, dan ekspansi;
dan (ii) hal-hal maha-kecil seperti quantum, singularity, dan string. Begitu
juga Al-Qur’an, ia tak bisa dipahami dengan baik jika kita hanya melihat satu
dimensi saja dan mengabaikan dimensi lainnya. Menurut saya, dimensi historis Al-Qur’an
adalah modal penting bagi kita memahami fungsi dan peran Al-Qur’an yang
sesungguhnya.
Dari kajian sejarah pembentukan Al-Qur’an, kita mengetahui bahwa kitab suci ini
berkembang dengan sangat dinamis, berinteraksi dengan kehidupan umat manusia,
yang kadang sangat bersifat lokal dan temporal. Ayat-ayat yang dimulai dengan
pertanyaan-pertanyaan para sahabat Nabi, misalnya (yas’alunaka anil khamr, anil
ahillah, anil mahidh, dan seterusnya), adalah refleksi dari kehidupan yang
dijalani Nabi dan para sahabatnya. Kasus-kasus seperti minuman keras dan
menstruasi (yang disebutkan dalam ayat yas’alunaka itu), adalah persolan manusia
di dunia yang muncul tiba-tiba karena desakan situasi yang dihadapi para sahabat
nabi saat itu. Dengan kata lain, jika tidak ada situasi yang mendesak tersebut,
maka ayat-ayat tentang khamar dan menstruasi akan absen dari Al-Qur’an.
Fenomena lokal-temporal yang dijumpai dalam ayat-ayat Al-Qur’an telah lama
menjadi kajian para ulama dan ilmuwan Muslim. Dalam ‘Ulum al-Qur’an dan juga
Ushul al-Fiqh, mereka menciptakan kaedah-kaedah yang tujuannya meuniversalkan
pesan-pesan Al-Qur’an, seperti al-’ibrah bi ‘umum al-lafdh la bi khusus al-sabab
(mendahulukan kata-kata yang umum di atas sebab-sebab yang khusus).
Kaedah-kaedah seperti ini sangat membantu dalam menafsirkan Al-Qur’an, tapi
tidak membantu dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang lebih substansial
yang umumnya dihadapi oleh para filsuf Muslim di masa klasik dan intelektual
Muslim di masa modern, menyangkut hubungan antara risalah kenabian, kitab suci,
posisi Allah, wahyu, dan beragamnya agama-agama di dunia.
Para filsuf Muslim klasik mencoba menjelaskan persoalan-persoalan itu dengan
menggunakan analisa-analisa yang rumit yang hanya dipahami oleh kalangan
tertentu, khususnya mereka yang mempelajari disiplin filsafat. Al-Farabi
misalnya menjelaskan proses turunnya wahyu Allah kepada Nabi Muhammad sebagai
proses yang sepenuhnya bersifat psikologis (al-nafsiyyah). Agen penyampai wahyu
yang umumnya disebut “Jibril” hanyalah salah satu daya (quwwah) saja yang ada
dalam diri manusia. Setiap manusia, secara potensial (bil quwwah), memiliki daya
kenabian, hanya saja intensitas kenabian itu berbeda satu dengan lainnya. Daya
kenabian yang dimiliki Nabi Muhammad merupakan yang terbesar, sehingga dia mampu
mengaktualisasikan wahyu Tuhan dari potensi (bil quwwah) menjadi kenyataan (bil
fi’il).
Dalam proses aktualisasi wahyu dari bil quwwah menjadi bil fi’il ada sejumlah
proses reduksi. Hal ini lumrah belaka, karena pesan-pesan Allah yang universal
disampaikan dalam bentuk bahasa manusia, yakni bahasa Arab, yang tunduk pada
aturan-aturan retoris, gramatis, semantik, leksikal, dan sintaks. Bahasa Arab
bukanlah bahasa baru yang muncul tiba-tiba karena Al-Qur’an. Bahasa ini telah
ada sejak lama dan digunakan oleh masyarakat Arabia sebagai alat komunikasi
dalam interaksi sosial, bisnis, puisi, literatur, graffitti, kecaman, dan juga
obrolan-obrolan porno. Puisi-puisi jahiliah yang banyak mengumbar syhawat dan
pornografi diekspresikan dalam bahasa Arab. Puisi-puisi dan literatur yang
dianggap “menyimpang” dari Islam juga ditulis dalam bahasa Arab.
Persoalan utama Al-Qur’an, menurut saya, bukanlah persoalan penafsiran semata,
tapi memahaminya sebagai sebuah produk ilahiah (al-intaj al-ilahy) yang berada
dalam ruang sejarah manusia yang tidak suci dan terbatas. Teks-teks yang
tertulis dalam bahasa Arab yang kemudian disebut “Al-Qur’an” adalah artikulasi
manusia terhadap kalamullah yang abadi dan eternal. Kalamullah yang abadi dan
eternal inilah yang terus dijaga oleh Allah, seperti dijanjikan dalam salah satu
ayatnya (Inna nahnu nazzalna al-dhikra wa inna lahu lahafidhun Q.S. 15:9).
Adapun Al-Qur’an, pada dasarnya adalah sesuatu --meminjam istilah para pemikir
Muktazilah-- “yang diciptakan” (makhluq) dalam kebaharuan (muhdath), dan
karenanya, ia tidak eternal dan tidak abadi.
Upaya koleksi, modifikasi, dan unifikasi, yang dilakukan baik oleh para sahabat
maupun orang-orang yang sesudahnya adalah contoh dari proses-proses keterciptaan
Al-Qur’an dalam ruang yang tidak permanen dan tidak abadi. Menurut Al-Qur’an,
Allah mengutus Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah (message), dan risalah itu
bernama “Islam.” Sebagai sebuah risalah, Islam, seperti diberitakan Al-Qur’an,
bukanlah agama yang baru, dan Muhammad bukanlah satu-satunya pembawa risalah.
Sebelumnya, risalah itu telah disampaikan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa (Q.S.
42:13). Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab. Tidak ada yang unik dari bahasa ini,
karena seperti kata Al-Qur’an sendiri: “Tidaklah kami utus seorang rasul kecuali
dengan bahasa kaumnya, agar ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada
mereka” (Q.S. 14:4). Dengan kata lain, alasan mengapa Al-Qur’an berbahasa Arab
karena semata-mata ia diturunkan kepada orang-orang Arab. Tidak lebih dan tidak
kurang.
Bahasa manusia adalah instrumen komunikasi yang terbatas pada budaya, tempat,
dan waktu di mana ia digunakan. Kosakata dari bahasa selalu berkembang, sesuai
dengan perkembangan zaman. Keterbatasan kosakata Al-Qur’an bukanlah keterbatasan
pesan-pesan Allah (kalamullah) yang universal, tapi keterbatasan bahasa Arab
yang tunduk pada situasi dan kondisi saat Al-Qur’an diturunkan. Sejarah
pembukuan Al-Qur’an adalah sejarah pereduksian kalamullah yang universal dan
eternal. Seperti juga yang terjadi pada kitab-kitab suci lainnya, seperti Taurat,
Injil, Zabur, Al-Qur’an adalah manifestasi dari kalamullah yang eternal dan
universal. Karena manifestasi dilakukan dalam bahasa manusia yang beragam dan
tidak sempurna, maka terjadilah perbedaan-perbedaan di antara kitab-kitab suci
itu (dan selanjutnya juga di antara para pemeluk agama).
Al-Qur’an sendiri adalah produk pemanusiaan (humanizing) pesan-pesan Allah (kalamullah)
yang universal dan eternal. Dalam sejarahnya, ada dua tahap pemanusiaan
kalamullah itu hingga menjadi bentuknya yang kita lihat sekarang. Tahap pertama
adalah tahap pengaturan ayat-ayat yang diturunkan secara kronologis (tartib al-nuzul)
menjadi urutan bacaan seperti kita kenal sekarang (tartib al-tilawah). Ini
dilakukan pada masa Nabi dan dilengkapi pada masa Uthman bin Affan. Tahap
selanjutnya adalah pemberian tanda baca (tasykil) yang dilakukan sepanjang
sejarah Islam hingga digunakannya mesin cetak pada masa modern.
Seperti kita ketahui, susunan Al-Qur’an yang diturunkan secara kronologis
berbeda dengan susunan yang kita lihat sekarang. Perubahan susunan ini memiliki
dua dampak yang cukup penting: pertama, ia menghancurkan konteks peristiwa dan
kesejarahan setiap wahyu yang diturunkan; dan kedua, ia menjadikan Al-Qur’an
sebagai sebuah bacaan “magis” (karena yang ditekankan bukan makna kronologisnya,
tapi struktur kebahasaannya). Dampak yang terakhir ini kemudian mendorong
sebagian ulama untuk membesar-besarkan apa yang mereka sebut sebagai “i’jaz al-balaghi
al-Qur’ani” (mu’jizat sastrawi Al-Qur’an).
Dalam tulisan saya yang ringkas itu, saya telah berusaha memperlihatkan bahwa
hingga abad ke-4 (masa Ibn Nadiem dan Ibn Abi Daud) dan bahkan hingga abad ke-10
(masa Jalaluddin al-Suyuthi), persoalan penulisan dan penertiban ayat-ayat Al-Qur’an
tetap menjadi isu hangat yang terus diperdebatkan. Tidak ada yang tabu bagi
ulama Islam kala itu untuk mendiskusikan kesejarahan Al-Qur’an. Ibn Nadiem
bebas-bebas saja membuat pernyataan bahwa Mushafnya Ibn Abbas tidak memiliki al-Fatihah,
dan al-Suyuthi bebas-bebas saja meriwayatkan Hadith ‘Aisyah bahwa Mushaf Uthmani
telah menghilangkan surah al-Ahzab dan karenanya Al-Qur’an yang dibuat Uthman
menjadi lebih ramping dari Mushaf yang dimilikinya.
Menurut saya, keyakinan akan imanensi dan permanensi Al-Qur’an, selain
bertentangan dengan prinsip tauhid yang paling asasi (yakni hanya Allah yang
imanen dan permanen, adapun yang lainnya hanyalah manifestasi dari kalam-Nya),
juga bertentangan dengan konteks kesejarahan Al-Qur’an sendiri yang dinamis,
progresif, dan manusiawi.
Mengkaji sejarah Al-Qur’an dengan melihat proses-proses pembentukannya, baik
pada masa Nabi dan masa-masa sesudahnya sangat penting, untuk mengingatkan kita
selalu bahwa Al-Qur’an adalah manifestasi manusiawi dari kalamullah. Seperti
juga kitab-kitab suci lainnya di dunia ini, Al-Qur’an memiliki
keterbatasan-keterbatasan pada lingkup kebahasaan dan kesejarahan di mana ia
diturunkan. Namun demikian, sebagai sebuah manifestasi dari kalamullah, Al-Qur’an
memiliki kesamaan-kesamaan dengan kitab-kitab suci lainnya (yang juga merupakan
manifestasi kalamullah). Aspek kesamaan inilah (dalam bahasa Al-Qur’an disebut
“kalimatun sawaa”) yang harus selalu ditekankan oleh kaum Muslim secara khusus
dan seluruh umat beragama secara umum.
Imani billahi akbar wa huwa khayrul musta’an.
pre- text |
WORD |
post- text |
% |
Fatihah, dan al-Suyuthi bebas-bebas saja meriwayatkan Hadith | ‘aisyah | bahwa Mushaf Uthmani telah menghilangkan surah al-Ahzab dan | 92 % |
lah lama menjadi kajian para ulama dan ilmuwan Muslim. Dalam | ‘ulum | al-Qur’an dan juga Ushul al-Fiqh, mereka menciptakan kaedah- | 50 % |
a meuniversalkan pesan-pesan Al-Qur’an, seperti al-’ibrah bi | ‘umum | al-lafdh la bi khusus al-sabab (mendahulukan kata-kata yang | 51 % |
s-teks yang tertulis dalam bahasa Arab yang kemudian disebut | “al-qur’an” | adalah artikulasi manusia terhadap kalamullah yang abadi dan | 66 % |
alu terobsesi untuk membaca karya-karya semacam ini, sebagai | “balance” | (penyeimbang) dari bacaan saya selama ini yang terlalu banya | 7 % |
ulama untuk membesar-besarkan apa yang mereka sebut sebagai | “i’jaz | al-balaghi al-Qur’ani” (mu’jizat sastrawi Al-Qur’an). Dal | 88 % |
is (al-nafsiyyah). Agen penyampai wahyu yang umumnya disebut | “jibril” | hanyalah salah satu daya (quwwah) saja yang ada dalam diri m | 56 % |
llah). Aspek kesamaan inilah (dalam bahasa Al-Qur’an disebut | “kalimatun | sawaa”) yang harus selalu ditekankan oleh kaum Muslim secara | 99 % |
an; dan kedua, ia menjadikan Al-Qur’an sebagai sebuah bacaan | “magis” | (karena yang ditekankan bukan makna kronologisnya, tapi stru | 86 % |
jadi dengan banyak ulama dan intelektual Muslim yang mencoba | “membaca” | Al-Qur’an dengan perspektif lain, seperti yang dialami oleh | 36 % |
n dalam bahasa Arab. Puisi-puisi dan literatur yang dianggap | “menyimpang” | dari Islam juga ditulis dalam bahasa Arab. Persoalan utam | 63 % |
memberikan komentar dan kritik terhadap artikel saya tentang | “merenungkan | Sejarah Al-Qur’an” yang dipublikasikan di website Jaringan I | 4 % |
tuk itu, dianggap tak layak, dan bahkan kalau perlu dianggap | “najis” | yang harus dicampakkan. Padahal Sayyidina Ali jauh-jauh hari | 27 % |
Barat atau yang biasa disebut dengan nada permusuhan sebagai | “orientalis” | itu telah banyak berjasa bagi tradisi kesejarahan Al-Qur’an. | 13 % |
unik dari bahasa ini, karena seperti kata Al-Qur’an sendiri: | “tidaklah | kami utus seorang rasul kecuali dengan bahasa kaumnya, agar | 73 % |
ujuk kepada orientalis, agar kemudian mereka bisa berteriak: | “tuh | kan Luthfi ujung-ujungnya pake orientalis.” Saya sedih jika | 25 % |
adalah sesuatu --meminjam istilah para pemikir Muktazilah-- | “yang | diciptakan” (makhluq) dalam kebaharuan (muhdath), dan karena | 68 % |
ringkas itu, saya telah berusaha memperlihatkan bahwa hingga | abad | ke-4 (masa Ibn Nadiem dan Ibn Abi Daud) dan bahkan hingga ab | 89 % |
ad ke-4 (masa Ibn Nadiem dan Ibn Abi Daud) dan bahkan hingga | abad | ke-10 (masa Jalaluddin al-Suyuthi), persoalan penulisan dan | 89 % |
l-Qur’an” adalah artikulasi manusia terhadap kalamullah yang | abadi | dan eternal. Kalamullah yang abadi dan eternal inilah yang t | 66 % |
terhadap kalamullah yang abadi dan eternal. Kalamullah yang | abadi | dan eternal inilah yang terus dijaga oleh Allah, seperti dij | 66 % |
diem bebas-bebas saja membuat pernyataan bahwa Mushafnya Ibn | abbas | tidak memiliki al-Fatihah, dan al-Suyuthi bebas-bebas saja m | 91 % |
isebut para orientalis, khususnya kitab al-masahif karya Ibn | abi | Daud, al-Fihrist karya Ibn Nadiem, dan al-Itqan karya al-Suy | 18 % |
mperlihatkan bahwa hingga abad ke-4 (masa Ibn Nadiem dan Ibn | abi | Daud) dan bahkan hingga abad ke-10 (masa Jalaluddin al-Suyut | 89 % |
tersebut, maka ayat-ayat tentang khamar dan menstruasi akan | absen | dari Al-Qur’an. Fenomena lokal-temporal yang dijumpai dal | 49 % |
n saya. Secara khusus, saya membaca beberapa buku Nasr Hamed | abu | Zayd dan juga beberapa artikel yang ditulis oleh sarjana Al- | 6 % |
pektif lain, seperti yang dialami oleh Arkoun, Syahrour, dan | abu | Zayd. Kajian historis terhadap Al-Qur’an membantu kita, d | 37 % |
agu menuliskan apa yang saya baca. Tapi, rasanya masih terus | ada | yang mengganjal kalau belum ditulis. Ketika menulis artikel | 10 % |
nya tidak banyak diperhatikan orang. Di website JIL sendiri, | ada | tiga artikel Taufik, yang menurut saya, memiliki pesan yang | 23 % |
kan Luthfi ujung-ujungnya pake orientalis.” Saya sedih jika | ada | yang berkomentar seperti ini. Seolah-olah, ilmu itu milik um | 25 % |
api para sahabat nabi saat itu. Dengan kata lain, jika tidak | ada | situasi yang mendesak tersebut, maka ayat-ayat tentang khama | 48 % |
disebut “Jibril” hanyalah salah satu daya (quwwah) saja yang | ada | dalam diri manusia. Setiap manusia, secara potensial (bil qu | 57 % |
m proses aktualisasi wahyu dari bil quwwah menjadi bil fi’il | ada | sejumlah proses reduksi. Hal ini lumrah belaka, karena pesan | 59 % |
aru yang muncul tiba-tiba karena Al-Qur’an. Bahasa ini telah | ada | sejak lama dan digunakan oleh masyarakat Arabia sebagai alat | 61 % |
n Isa (Q.S. 42:13). Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab. Tidak | ada | yang unik dari bahasa ini, karena seperti kata Al-Qur’an sen | 73 % |
h (kalamullah) yang universal dan eternal. Dalam sejarahnya, | ada | dua tahap pemanusiaan kalamullah itu hingga menjadi bentukny | 81 % |
’an tetap menjadi isu hangat yang terus diperdebatkan. Tidak | ada | yang tabu bagi ulama Islam kala itu untuk mendiskusikan kese | 90 % |
ngat penting, untuk mengingatkan kita selalu bahwa Al-Qur’an | adalah | manifestasi manusiawi dari kalamullah. Seperti juga kitab-ki | 1 % |
site Jaringan Islam Liberal (JIL). Pada mulanya, artikel itu | adalah | bagian dari refleksi kegiatan spiritual saya selama bulan Ra | 5 % |
ara kritikus orientalis semacam A.L. Tibawi dan Edward Said, | adalah | para sarjana yang bekerja untuk kepentingan proyek koloniali | 14 % |
Muslim. Bagaimanapun, kritik teks (khususnya teks-teks suci) | adalah | disiplin baru yang tak memiliki preseden dalam sejarah intel | 32 % |
an dimensi lainnya. Menurut saya, dimensi historis Al-Qur’an | adalah | modal penting bagi kita memahami fungsi dan peran Al-Qur’an | 43 % |
naka anil khamr, anil ahillah, anil mahidh, dan seterusnya), | adalah | refleksi dari kehidupan yang dijalani Nabi dan para sahabatn | 46 % |
dan menstruasi (yang disebutkan dalam ayat yas’alunaka itu), | adalah | persolan manusia di dunia yang muncul tiba-tiba karena desak | 47 % |
tertulis dalam bahasa Arab yang kemudian disebut “Al-Qur’an” | adalah | artikulasi manusia terhadap kalamullah yang abadi dan eterna | 66 % |
lahu lahafidhun Q.S. 15:9). Adapun Al-Qur’an, pada dasarnya | adalah | sesuatu --meminjam istilah para pemikir Muktazilah-- “yang d | 68 % |
an baik oleh para sahabat maupun orang-orang yang sesudahnya | adalah | contoh dari proses-proses keterciptaan Al-Qur’an dalam ruang | 69 % |
-orang Arab. Tidak lebih dan tidak kurang. Bahasa manusia | adalah | instrumen komunikasi yang terbatas pada budaya, tempat, dan | 75 % |
ndisi saat Al-Qur’an diturunkan. Sejarah pembukuan Al-Qur’an | adalah | sejarah pereduksian kalamullah yang universal dan eternal. S | 78 % |
-kitab suci lainnya, seperti Taurat, Injil, Zabur, Al-Qur’an | adalah | manifestasi dari kalamullah yang eternal dan universal. Kare | 79 % |
nya juga di antara para pemeluk agama). Al-Qur’an sendiri | adalah | produk pemanusiaan (humanizing) pesan-pesan Allah (kalamulla | 80 % |
ga menjadi bentuknya yang kita lihat sekarang. Tahap pertama | adalah | tahap pengaturan ayat-ayat yang diturunkan secara kronologis | 82 % |
dan dilengkapi pada masa Uthman bin Affan. Tahap selanjutnya | adalah | pemberian tanda baca (tasykil) yang dilakukan sepanjang seja | 83 % |
ngat penting, untuk mengingatkan kita selalu bahwa Al-Qur’an | adalah | manifestasi manusiawi dari kalamullah. Seperti juga kitab-ki | 96 % |
nahnu nazzalna al-dhikra wa inna lahu lahafidhun Q.S. 15:9). | adapun | Al-Qur’an, pada dasarnya adalah sesuatu --meminjam istilah p | 67 % |
ng paling asasi (yakni hanya Allah yang imanen dan permanen, | adapun | yang lainnya hanyalah manifestasi dari kalam-Nya), juga bert | 94 % |
ak dengan karya-karya apologetis. Saya pikir, rasanya kurang | adil | kalau saya hanya mensuplay ke dalam memori pikiran saya peng | 8 % |
. Agaknya, ini yang pernah terjadi dengan rekan saya, Taufik | adnan | Amal, yang lebih piawai, lebih ahli, dan lebih produktif dar | 21 % |
buah risalah, Islam, seperti diberitakan Al-Qur’an, bukanlah | agama | yang baru, dan Muhammad bukanlah satu-satunya pembawa risala | 71 % |
ah ini juga dapat membantu kita menjelaskan peran dan fungsi | agama-agama | di dunia ini bagi umat manusia. Saya menganggap kajian Al-Qu | 39 % |
ah kenabian, kitab suci, posisi Allah, wahyu, dan beragamnya | agama-agama | di dunia. Para filsuf Muslim klasik mencoba menjelaskan p | 54 % |
ar pengakuan dari saya bahwa saya merujuk kepada orientalis, | agar | kemudian mereka bisa berteriak: “tuh kan Luthfi ujung-ujungn | 25 % |
a mantiq (ahli logika) jauh-jauh hari juga sudah mengingakan | agar | kita jangan mudah terjatuh pada apa yang mereka sebut sebaga | 29 % |
aklah kami utus seorang rasul kecuali dengan bahasa kaumnya, | agar | ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka” (Q. | 73 % |
i proses yang sepenuhnya bersifat psikologis (al-nafsiyyah). | agen | penyampai wahyu yang umumnya disebut “Jibril” hanyalah salah | 56 % |
a kutip nama-nama orientalis itu, paling-paling artikel saya | akan | dicampakkan begitu saja. Agaknya, ini yang pernah terjadi de | 20 % |
diganggu-gugat. Siapa saja yang mencoba mengkritisinya, dia | akan | dianggap “murtad,” “kafir,” “zindiq,” atau istilah-istilah l | 34 % |
ngka 19, dll). Siapa saja yang menolak mitos-mitos ini, juga | akan | dicap dengan istilah-istilah seram di atas. Itulah yang terj | 36 % |
desak tersebut, maka ayat-ayat tentang khamar dan menstruasi | akan | absen dari Al-Qur’an. Fenomena lokal-temporal yang dijump | 49 % |
ng dari Mushaf yang dimilikinya. Menurut saya, keyakinan | akan | imanensi dan permanensi Al-Qur’an, selain bertentangan denga | 93 % |
sus dan seluruh umat beragama secara umum. Imani billahi | akbar | wa huwa khayrul musta’an. | 100 % |
im. Dunia sekarang ini sudah sangat terbuka dan tanpa batas. | akses | kepada informasi bisa diperoleh semua orang dengan mudah. Ap | 16 % |
(bil quwwah) menjadi kenyataan (bil fi’il). Dalam proses | aktualisasi | wahyu dari bil quwwah menjadi bil fi’il ada sejumlah proses | 59 % |
yang tujuannya meuniversalkan pesan-pesan Al-Qur’an, seperti | al-’ibrah | bi ‘umum al-lafdh la bi khusus al-sabab (mendahulukan kata-k | 51 % |
adith ‘Aisyah bahwa Mushaf Uthmani telah menghilangkan surah | al-ahzab | dan karenanya Al-Qur’an yang dibuat Uthman menjadi lebih ram | 92 % |
kesejarahannya yang manusiawi, seperti kita memahami sejarah | alam | semesta. Menurut para astrofisikawan, alam semesta tak bisa | 40 % |
memahami sejarah alam semesta. Menurut para astrofisikawan, | alam | semesta tak bisa dipahami kecuali kita menggabungkan dua teo | 41 % |
dengan terang kepada mereka” (Q.S. 14:4). Dengan kata lain, | alasan | mengapa Al-Qur’an berbahasa Arab karena semata-mata ia ditur | 74 % |
mudah terjatuh pada apa yang mereka sebut sebagai ughluthat | al-askhash | (ad hominem), yakni menghukumi sebuah pendapat semata-mata m | 29 % |
ada sejak lama dan digunakan oleh masyarakat Arabia sebagai | alat | komunikasi dalam interaksi sosial, bisnis, puisi, literatur, | 62 % |
untuk membesar-besarkan apa yang mereka sebut sebagai “i’jaz | al-balaghi | al-Qur’ani” (mu’jizat sastrawi Al-Qur’an). Dalam tulisan | 88 % |
rti dijanjikan dalam salah satu ayatnya (Inna nahnu nazzalna | al-dhikra | wa inna lahu lahafidhun Q.S. 15:9). Adapun Al-Qur’an, pada d | 67 % |
rtentu, khususnya mereka yang mempelajari disiplin filsafat. | al-farabi | misalnya menjelaskan proses turunnya wahyu Allah kepada Nabi | 55 % |
a orientalis, khususnya kitab al-masahif karya Ibn Abi Daud, | al-fihrist | karya Ibn Nadiem, dan al-Itqan karya al-Suyuthi. Dalam artik | 18 % |
u dianggap “najis” yang harus dicampakkan. Padahal Sayyidina | ali | jauh-jauh hari sudah mengingatkan kita: Undzur ma qaala wa l | 27 % |
masahif karya Ibn Abi Daud, al-Fihrist karya Ibn Nadiem, dan | al-itqan | karya al-Suyuthi. Dalam artikel itu, sengaja saya tidak meny | 19 % |
iversalkan pesan-pesan Al-Qur’an, seperti al-’ibrah bi ‘umum | al-lafdh | la bi khusus al-sabab (mendahulukan kata-kata yang umum di a | 51 % |
lsafat. Al-Farabi misalnya menjelaskan proses turunnya wahyu | allah | kepada Nabi Muhammad sebagai proses yang sepenuhnya bersifat | 55 % |
ah proses reduksi. Hal ini lumrah belaka, karena pesan-pesan | allah | yang universal disampaikan dalam bentuk bahasa manusia, yakn | 60 % |
uang yang tidak permanen dan tidak abadi. Menurut Al-Qur’an, | allah | mengutus Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah (message), da | 70 % |
batasan kosakata Al-Qur’an bukanlah keterbatasan pesan-pesan | allah | (kalamullah) yang universal, tapi keterbatasan bahasa Arab y | 77 % |
n sendiri adalah produk pemanusiaan (humanizing) pesan-pesan | allah | (kalamullah) yang universal dan eternal. Dalam sejarahnya, a | 81 % |
ntangan dengan prinsip tauhid yang paling asasi (yakni hanya | allah | yang imanen dan permanen, adapun yang lainnya hanyalah manif | 94 % |
juk semua buku yang disebut para orientalis, khususnya kitab | al-masahif | karya Ibn Abi Daud, al-Fihrist karya Ibn Nadiem, dan al-Itqa | 18 % |
Sejarah Al-Qur’an: Rejoinder Mengkaji sejarah | al-qur’an | dengan melihat proses-proses pembentukannya, baik pada masa | 0 % |
udahnya sangat penting, untuk mengingatkan kita selalu bahwa | al-qur’an | adalah manifestasi manusiawi dari kalamullah. Seperti juga k | 1 % |
amullah. Seperti juga kitab-kitab suci lainnya di dunia ini, | al-qur’an | memiliki keterbatasan-keterbatasan pada lingkup kebahasaan d | 2 % |
selama bulan Ramadhan. Pada bulan itu, saya mencoba membaca | al-qur’an | dengan model bacaan saya sendiri yang menurut saya lebih ber | 5 % |
Abu Zayd dan juga beberapa artikel yang ditulis oleh sarjana | al-qur’an | dari Barat. Saya selalu terobsesi untuk membaca karya-karya | 7 % |
artikel itu, saya mendapat panduan dari karya-karya sarjana | al-qur’an | dari Barat untuk membuka kitab-kitab klasik seperti kitab al | 10 % |
saya bisa merujuk setiap klaim yang dibuat oleh para sarjana | al-qur’an | dari Barat itu. Saya pikir, para sarjana Al-Qur’an dari B | 12 % |
arjana Al-Qur’an dari Barat itu. Saya pikir, para sarjana | al-qur’an | dari Barat atau yang biasa disebut dengan nada permusuhan se | 12 % |
is telah membuka banyak dimensi tak terpikirkan dari sejarah | al-qur’an | selama ini. Pada gilirannya, kerja keras dan temuan-temuan m | 31 % |
n banyak ulama dan intelektual Muslim yang mencoba “membaca” | al-qur’an | dengan perspektif lain, seperti yang dialami oleh Arkoun, Sy | 36 % |
Arkoun, Syahrour, dan Abu Zayd. Kajian historis terhadap | al-qur’an | membantu kita, di antaranya, untuk menjelaskan persoalan-per | 37 % |
agama di dunia ini bagi umat manusia. Saya menganggap kajian | al-qur’an | dengan melihatnya sebagai sebuah satu-kesatuan kitab suci da | 39 % |
mengabaikan dimensi lainnya. Menurut saya, dimensi historis | al-qur’an | adalah modal penting bagi kita memahami fungsi dan peran Al- | 43 % |
’an adalah modal penting bagi kita memahami fungsi dan peran | al-qur’an | yang sesungguhnya. Dari kajian sejarah pembentukan Al-Qur | 44 % |
an. Fenomena lokal-temporal yang dijumpai dalam ayat-ayat | al-qur’an | telah lama menjadi kajian para ulama dan ilmuwan Muslim. Dal | 49 % |
ma menjadi kajian para ulama dan ilmuwan Muslim. Dalam ‘Ulum | al-qur’an | dan juga Ushul al-Fiqh, mereka menciptakan kaedah-kaedah yan | 50 % |
ang sesudahnya adalah contoh dari proses-proses keterciptaan | al-qur’an | dalam ruang yang tidak permanen dan tidak abadi. Menurut Al- | 70 % |
elah disampaikan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa (Q.S. 42:13). | al-qur’an | menggunakan bahasa Arab. Tidak ada yang unik dari bahasa ini | 72 % |
ab. Tidak ada yang unik dari bahasa ini, karena seperti kata | al-qur’an | sendiri: “Tidaklah kami utus seorang rasul kecuali dengan ba | 73 % |
kepada mereka” (Q.S. 14:4). Dengan kata lain, alasan mengapa | al-qur’an | berbahasa Arab karena semata-mata ia diturunkan kepada orang | 74 % |
ang, sesuai dengan perkembangan zaman. Keterbatasan kosakata | al-qur’an | bukanlah keterbatasan pesan-pesan Allah (kalamullah) yang un | 76 % |
atasan bahasa Arab yang tunduk pada situasi dan kondisi saat | al-qur’an | diturunkan. Sejarah pembukuan Al-Qur’an adalah sejarah pered | 77 % |
asi dan kondisi saat Al-Qur’an diturunkan. Sejarah pembukuan | al-qur’an | adalah sejarah pereduksian kalamullah yang universal dan ete | 77 % |
pada kitab-kitab suci lainnya, seperti Taurat, Injil, Zabur, | al-qur’an | adalah manifestasi dari kalamullah yang eternal dan universa | 79 % |
uci itu (dan selanjutnya juga di antara para pemeluk agama). | al-qur’an | sendiri adalah produk pemanusiaan (humanizing) pesan-pesan A | 80 % |
sin cetak pada masa modern. Seperti kita ketahui, susunan | al-qur’an | yang diturunkan secara kronologis berbeda dengan susunan yan | 85 % |
rahan setiap wahyu yang diturunkan; dan kedua, ia menjadikan | al-qur’an | sebagai sebuah bacaan “magis” (karena yang ditekankan bukan | 86 % |
in al-Suyuthi), persoalan penulisan dan penertiban ayat-ayat | al-qur’an | tetap menjadi isu hangat yang terus diperdebatkan. Tidak ada | 90 % |
haf Uthmani telah menghilangkan surah al-Ahzab dan karenanya | al-qur’an | yang dibuat Uthman menjadi lebih ramping dari Mushaf yang di | 92 % |
ari kalam-Nya), juga bertentangan dengan konteks kesejarahan | al-qur’an | sendiri yang dinamis, progresif, dan manusiawi. Mengkaji | 95 % |
yang dinamis, progresif, dan manusiawi. Mengkaji sejarah | al-qur’an | dengan melihat proses-proses pembentukannya, baik pada masa | 95 % |
udahnya sangat penting, untuk mengingatkan kita selalu bahwa | al-qur’an | adalah manifestasi manusiawi dari kalamullah. Seperti juga k | 96 % |
amullah. Seperti juga kitab-kitab suci lainnya di dunia ini, | al-qur’an | memiliki keterbatasan-keterbatasan pada lingkup kebahasaan d | 97 % |
Namun demikian, sebagai sebuah manifestasi dari kalamullah, | al-qur’an | memiliki kesamaan-kesamaan dengan kitab-kitab suci lainnya ( | 98 % |
manifestasi kalamullah). Aspek kesamaan inilah (dalam bahasa | al-qur’an | disebut “kalimatun sawaa”) yang harus selalu ditekankan oleh | 99 % |
Sejarah | al-qur’an: | Rejoinder Mengkaji sejarah Al-Qur’an dengan melihat prose | 0 % |
an kritik terhadap artikel saya tentang “Merenungkan Sejarah | al-qur’an” | yang dipublikasikan di website Jaringan Islam Liberal (JIL). | 4 % |
sar-besarkan apa yang mereka sebut sebagai “i’jaz al-balaghi | al-qur’ani” | (mu’jizat sastrawi Al-Qur’an). Dalam tulisan saya yang ri | 88 % |
Al-Qur’an, seperti al-’ibrah bi ‘umum al-lafdh la bi khusus | al-sabab | (mendahulukan kata-kata yang umum di atas sebab-sebab yang k | 51 % |
aan bahwa Mushafnya Ibn Abbas tidak memiliki al-Fatihah, dan | al-suyuthi | bebas-bebas saja meriwayatkan Hadith ‘Aisyah bahwa Mushaf Ut | 91 % |
ncoba menjelaskan persoalan-persoalan itu dengan menggunakan | analisa-analisa | yang rumit yang hanya dipahami oleh kalangan tertentu, khusu | 54 % |
un diciptakan, misalnya seperti masalah i’jazul Qur’an (e.g. | angka | 19, dll). Siapa saja yang menolak mitos-mitos ini, juga akan | 35 % |
rtanyaan-pertanyaan para sahabat Nabi, misalnya (yas’alunaka | anil | khamr, anil ahillah, anil mahidh, dan seterusnya), adalah re | 46 % |
tanyaan para sahabat Nabi, misalnya (yas’alunaka anil khamr, | anil | ahillah, anil mahidh, dan seterusnya), adalah refleksi dari | 46 % |
ahabat Nabi, misalnya (yas’alunaka anil khamr, anil ahillah, | anil | mahidh, dan seterusnya), adalah refleksi dari kehidupan yang | 46 % |
ranya, untuk menjelaskan persoalan-persoalan klasik hubungan | antara | wahyu, kitab suci, dan risalah kenabian, secara umum. Selanj | 38 % |
k dan intelektual Muslim di masa modern, menyangkut hubungan | antara | risalah kenabian, kitab suci, posisi Allah, wahyu, dan berag | 53 % |
m dan tidak sempurna, maka terjadilah perbedaan-perbedaan di | antara | kitab-kitab suci itu (dan selanjutnya juga di antara para pe | 80 % |
daan di antara kitab-kitab suci itu (dan selanjutnya juga di | antara | para pemeluk agama). Al-Qur’an sendiri adalah produk pema | 80 % |
mengapa artikel itu saya tulis. Semula saya ragu menuliskan | apa | yang saya baca. Tapi, rasanya masih terus ada yang mengganja | 9 % |
dunia Islam. Tapi, saya meyakini, tidak semua mereka seburuk | apa | yang dicurigai kaum Muslim. Dunia sekarang ini sudah sangat | 15 % |
es kepada informasi bisa diperoleh semua orang dengan mudah. | apa | yang dikatakan oleh para orientalis itu bisa kita rujuk dan | 16 % |
ngatkan kita: Undzur ma qaala wa la tandhur man qaala (lihat | apa | yang dikatakan, dan jangan lihat siapa yang berkata). Para u | 28 % |
juga sudah mengingakan agar kita jangan mudah terjatuh pada | apa | yang mereka sebut sebagai ughluthat al-askhash (ad hominem), | 29 % |
h pendapat semata-mata melihat siapa yang berkata, dan bukan | apa | yang dikatakan. Bagi saya, kajian para orientalis telah m | 30 % |
as dan temuan-temuan mereka bisa digunakan untuk menjelaskan | apa | yang selama ini menjadi concern ulama dan intelektual Muslim | 31 % |
ni kemudian mendorong sebagian ulama untuk membesar-besarkan | apa | yang mereka sebut sebagai “i’jaz al-balaghi al-Qur’ani” (mu’ | 88 % |
neliti sesuatu hanya orang Islam saja. Sedangkan orang lain, | apalagi | orang di luar Islam, meskipun mereka punya keahlian untuk it | 26 % |
aya hanya mensuplay ke dalam memori pikiran saya pengetahuan | apologetis | saja. Inilah latar belakang mengapa artikel itu saya tuli | 9 % |
ntalis satupun, karena saya sadar bahwa kaum Muslim memiliki | apriori | dan prasangka yang luar biasa pada nama-nama mereka. Saya pi | 19 % |
n retoris, gramatis, semantik, leksikal, dan sintaks. Bahasa | arab | bukanlah bahasa baru yang muncul tiba-tiba karena Al-Qur’an. | 61 % |
idak suci dan terbatas. Teks-teks yang tertulis dalam bahasa | arab | yang kemudian disebut “Al-Qur’an” adalah artikulasi manusia | 65 % |
14:4). Dengan kata lain, alasan mengapa Al-Qur’an berbahasa | arab | karena semata-mata ia diturunkan kepada orang-orang Arab. Ti | 74 % |
Allah (kalamullah) yang universal, tapi keterbatasan bahasa | arab | yang tunduk pada situasi dan kondisi saat Al-Qur’an diturunk | 77 % |
ahasa ini telah ada sejak lama dan digunakan oleh masyarakat | arabia | sebagai alat komunikasi dalam interaksi sosial, bisnis, puis | 62 % |
iapa saja yang telah memberikan komentar dan kritik terhadap | artikel | saya tentang “Merenungkan Sejarah Al-Qur’an” yang dipublikas | 4 % |
sikan di website Jaringan Islam Liberal (JIL). Pada mulanya, | artikel | itu adalah bagian dari refleksi kegiatan spiritual saya sela | 5 % |
membaca beberapa buku Nasr Hamed Abu Zayd dan juga beberapa | artikel | yang ditulis oleh sarjana Al-Qur’an dari Barat. Saya selalu | 7 % |
engetahuan apologetis saja. Inilah latar belakang mengapa | artikel | itu saya tulis. Semula saya ragu menuliskan apa yang saya ba | 9 % |
erus ada yang mengganjal kalau belum ditulis. Ketika menulis | artikel | itu, saya mendapat panduan dari karya-karya sarjana Al-Qur’a | 10 % |
umber aselinya. Dan ini yang saya coba lakukan dalam menulis | artikel | itu. Untuk menulis artikel singkat itu, saya merujuk semu | 17 % |
aya coba lakukan dalam menulis artikel itu. Untuk menulis | artikel | singkat itu, saya merujuk semua buku yang disebut para orien | 17 % |
hrist karya Ibn Nadiem, dan al-Itqan karya al-Suyuthi. Dalam | artikel | itu, sengaja saya tidak menyebut nama orientalis satupun, ka | 19 % |
ir, kalau saya kutip nama-nama orientalis itu, paling-paling | artikel | saya akan dicampakkan begitu saja. Agaknya, ini yang pernah | 20 % |
banyak diperhatikan orang. Di website JIL sendiri, ada tiga | artikel | Taufik, yang menurut saya, memiliki pesan yang sama dengan r | 23 % |
gan refleksi yang saya buat. Para pengkritik dan pengecam | artikel | saya berusaha dengan tak sabar ingin mendengar pengakuan dar | 24 % |
s dalam bahasa Arab yang kemudian disebut “Al-Qur’an” adalah | artikulasi | manusia terhadap kalamullah yang abadi dan eternal. Kalamull | 66 % |
ur’an, selain bertentangan dengan prinsip tauhid yang paling | asasi | (yakni hanya Allah yang imanen dan permanen, adapun yang lai | 94 % |
b suci lainnya (yang juga merupakan manifestasi kalamullah). | aspek | kesamaan inilah (dalam bahasa Al-Qur’an disebut “kalimatun s | 99 % |
asaan dan kesejarahan di mana ia diturunkan. Oleh: Luthfi | assyaukanie | Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada siap | 3 % |
h la bi khusus al-sabab (mendahulukan kata-kata yang umum di | atas | sebab-sebab yang khusus). Kaedah-kaedah seperti ini sangat m | 51 % |
Barat itu. Saya pikir, para sarjana Al-Qur’an dari Barat | atau | yang biasa disebut dengan nada permusuhan sebagai “orientali | 13 % |
ngkritisinya, dia akan dianggap “murtad,” “kafir,” “zindiq,” | atau | istilah-istilah lain yang sejenis. Untuk membentengi kesucia | 34 % |
m bentuk bahasa manusia, yakni bahasa Arab, yang tunduk pada | aturan-aturan | retoris, gramatis, semantik, leksikal, dan sintaks. Bahasa A | 60 % |
seperti minuman keras dan menstruasi (yang disebutkan dalam | ayat | yas’alunaka itu), adalah persolan manusia di dunia yang munc | 47 % |
mat manusia, yang kadang sangat bersifat lokal dan temporal. | ayat-ayat | yang dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan para sahabat Nabi, | 45 % |
ta lain, jika tidak ada situasi yang mendesak tersebut, maka | ayat-ayat | tentang khamar dan menstruasi akan absen dari Al-Qur’an. | 48 % |
ri Al-Qur’an. Fenomena lokal-temporal yang dijumpai dalam | ayat-ayat | Al-Qur’an telah lama menjadi kajian para ulama dan ilmuwan M | 49 % |
g kita lihat sekarang. Tahap pertama adalah tahap pengaturan | ayat-ayat | yang diturunkan secara kronologis (tartib al-nuzul) menjadi | 82 % |
a Jalaluddin al-Suyuthi), persoalan penulisan dan penertiban | ayat-ayat | Al-Qur’an tetap menjadi isu hangat yang terus diperdebatkan. | 90 % |
terus dijaga oleh Allah, seperti dijanjikan dalam salah satu | ayatnya | (Inna nahnu nazzalna al-dhikra wa inna lahu lahafidhun Q.S. | 67 % |
a Uthman bin Affan. Tahap selanjutnya adalah pemberian tanda | baca | (tasykil) yang dilakukan sepanjang sejarah Islam hingga digu | 84 % |
Pada bulan itu, saya mencoba membaca Al-Qur’an dengan model | bacaan | saya sendiri yang menurut saya lebih berkesan dan mempengaru | 5 % |
arya-karya semacam ini, sebagai “balance” (penyeimbang) dari | bacaan | saya selama ini yang terlalu banyak dengan karya-karya apolo | 8 % |
iturunkan secara kronologis (tartib al-nuzul) menjadi urutan | bacaan | seperti kita kenal sekarang (tartib al-tilawah). Ini dilakuk | 83 % |
iturunkan; dan kedua, ia menjadikan Al-Qur’an sebagai sebuah | bacaan | “magis” (karena yang ditekankan bukan makna kronologisnya, t | 86 % |
ada permusuhan sebagai “orientalis” itu telah banyak berjasa | bagi | tradisi kesejarahan Al-Qur’an. Saya bukan tidak sadar bahwa | 13 % |
ta melihat siapa yang berkata, dan bukan apa yang dikatakan. | bagi | saya, kajian para orientalis telah membuka banyak dimensi ta | 30 % |
u kita menjelaskan peran dan fungsi agama-agama di dunia ini | bagi | umat manusia. Saya menganggap kajian Al-Qur’an dengan meliha | 39 % |
enurut saya, dimensi historis Al-Qur’an adalah modal penting | bagi | kita memahami fungsi dan peran Al-Qur’an yang sesungguhnya. | 43 % |
adi isu hangat yang terus diperdebatkan. Tidak ada yang tabu | bagi | ulama Islam kala itu untuk mendiskusikan kesejarahan Al-Qur’ | 90 % |
ringan Islam Liberal (JIL). Pada mulanya, artikel itu adalah | bagian | dari refleksi kegiatan spiritual saya selama bulan Ramadhan. | 5 % |
na pesan-pesan Allah yang universal disampaikan dalam bentuk | bahasa | manusia, yakni bahasa Arab, yang tunduk pada aturan-aturan r | 60 % |
ang universal disampaikan dalam bentuk bahasa manusia, yakni | bahasa | Arab, yang tunduk pada aturan-aturan retoris, gramatis, sema | 60 % |
n-aturan retoris, gramatis, semantik, leksikal, dan sintaks. | bahasa | Arab bukanlah bahasa baru yang muncul tiba-tiba karena Al-Qu | 61 % |
matis, semantik, leksikal, dan sintaks. Bahasa Arab bukanlah | bahasa | baru yang muncul tiba-tiba karena Al-Qur’an. Bahasa ini tela | 61 % |
bukanlah bahasa baru yang muncul tiba-tiba karena Al-Qur’an. | bahasa | ini telah ada sejak lama dan digunakan oleh masyarakat Arabi | 61 % |
banyak mengumbar syhawat dan pornografi diekspresikan dalam | bahasa | Arab. Puisi-puisi dan literatur yang dianggap “menyimpang” d | 63 % |
tur yang dianggap “menyimpang” dari Islam juga ditulis dalam | bahasa | Arab. Persoalan utama Al-Qur’an, menurut saya, bukanlah p | 64 % |
yang tidak suci dan terbatas. Teks-teks yang tertulis dalam | bahasa | Arab yang kemudian disebut “Al-Qur’an” adalah artikulasi man | 65 % |
a Ibrahim, Musa, dan Isa (Q.S. 42:13). Al-Qur’an menggunakan | bahasa | Arab. Tidak ada yang unik dari bahasa ini, karena seperti ka | 72 % |
Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab. Tidak ada yang unik dari | bahasa | ini, karena seperti kata Al-Qur’an sendiri: “Tidaklah kami u | 73 % |
an sendiri: “Tidaklah kami utus seorang rasul kecuali dengan | bahasa | kaumnya, agar ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepa | 73 % |
unkan kepada orang-orang Arab. Tidak lebih dan tidak kurang. | bahasa | manusia adalah instrumen komunikasi yang terbatas pada buday | 75 % |
udaya, tempat, dan waktu di mana ia digunakan. Kosakata dari | bahasa | selalu berkembang, sesuai dengan perkembangan zaman. Keterba | 76 % |
n-pesan Allah (kalamullah) yang universal, tapi keterbatasan | bahasa | Arab yang tunduk pada situasi dan kondisi saat Al-Qur’an dit | 77 % |
ng eternal dan universal. Karena manifestasi dilakukan dalam | bahasa | manusia yang beragam dan tidak sempurna, maka terjadilah per | 79 % |
upakan manifestasi kalamullah). Aspek kesamaan inilah (dalam | bahasa | Al-Qur’an disebut “kalimatun sawaa”) yang harus selalu ditek | 99 % |
pun mereka punya keahlian untuk itu, dianggap tak layak, dan | bahkan | kalau perlu dianggap “najis” yang harus dicampakkan. Padahal | 27 % |
ahwa hingga abad ke-4 (masa Ibn Nadiem dan Ibn Abi Daud) dan | bahkan | hingga abad ke-10 (masa Jalaluddin al-Suyuthi), persoalan pe | 89 % |
sa sesudahnya sangat penting, untuk mengingatkan kita selalu | bahwa | Al-Qur’an adalah manifestasi manusiawi dari kalamullah. Sepe | 1 % |
a bagi tradisi kesejarahan Al-Qur’an. Saya bukan tidak sadar | bahwa | sebagian dari mereka, seperti dengan baik telah diperlihatka | 14 % |
ya tidak menyebut nama orientalis satupun, karena saya sadar | bahwa | kaum Muslim memiliki apriori dan prasangka yang luar biasa p | 19 % |
erusaha dengan tak sabar ingin mendengar pengakuan dari saya | bahwa | saya merujuk kepada orientalis, agar kemudian mereka bisa be | 24 % |
Dari kajian sejarah pembentukan Al-Qur’an, kita mengetahui | bahwa | kitab suci ini berkembang dengan sangat dinamis, berinteraks | 44 % |
an saya yang ringkas itu, saya telah berusaha memperlihatkan | bahwa | hingga abad ke-4 (masa Ibn Nadiem dan Ibn Abi Daud) dan bahk | 89 % |
an Al-Qur’an. Ibn Nadiem bebas-bebas saja membuat pernyataan | bahwa | Mushafnya Ibn Abbas tidak memiliki al-Fatihah, dan al-Suyuth | 91 % |
dan al-Suyuthi bebas-bebas saja meriwayatkan Hadith ‘Aisyah | bahwa | Mushaf Uthmani telah menghilangkan surah al-Ahzab dan karena | 92 % |
sa sesudahnya sangat penting, untuk mengingatkan kita selalu | bahwa | Al-Qur’an adalah manifestasi manusiawi dari kalamullah. Sepe | 96 % |
jarah Al-Qur’an dengan melihat proses-proses pembentukannya, | baik | pada masa Nabi dan masa-masa sesudahnya sangat penting, untu | 1 % |
bukan tidak sadar bahwa sebagian dari mereka, seperti dengan | baik | telah diperlihatkan oleh para kritikus orientalis semacam A. | 14 % |
n string. Begitu juga Al-Qur’an, ia tak bisa dipahami dengan | baik | jika kita hanya melihat satu dimensi saja dan mengabaikan di | 42 % |
Upaya koleksi, modifikasi, dan unifikasi, yang dilakukan | baik | oleh para sahabat maupun orang-orang yang sesudahnya adalah | 69 % |
jarah Al-Qur’an dengan melihat proses-proses pembentukannya, | baik | pada masa Nabi dan masa-masa sesudahnya sangat penting, untu | 95 % |
ance” (penyeimbang) dari bacaan saya selama ini yang terlalu | banyak | dengan karya-karya apologetis. Saya pikir, rasanya kurang ad | 8 % |
isebut dengan nada permusuhan sebagai “orientalis” itu telah | banyak | berjasa bagi tradisi kesejarahan Al-Qur’an. Saya bukan tidak | 13 % |
borough, dan semacamnya, tulisan-tulisan itu tampaknya tidak | banyak | diperhatikan orang. Di website JIL sendiri, ada tiga artikel | 23 % |
ikatakan. Bagi saya, kajian para orientalis telah membuka | banyak | dimensi tak terpikirkan dari sejarah Al-Qur’an selama ini. P | 30 % |
an istilah-istilah seram di atas. Itulah yang terjadi dengan | banyak | ulama dan intelektual Muslim yang mencoba “membaca” Al-Qur’a | 36 % |
n, dan juga obrolan-obrolan porno. Puisi-puisi jahiliah yang | banyak | mengumbar syhawat dan pornografi diekspresikan dalam bahasa | 63 % |
aya mendapat panduan dari karya-karya sarjana Al-Qur’an dari | barat | untuk membuka kitab-kitab klasik seperti kitab al-masahif, a | 11 % |
uk setiap klaim yang dibuat oleh para sarjana Al-Qur’an dari | barat | itu. Saya pikir, para sarjana Al-Qur’an dari Barat atau y | 12 % |
n dari Barat itu. Saya pikir, para sarjana Al-Qur’an dari | barat | atau yang biasa disebut dengan nada permusuhan sebagai “orie | 13 % |
apun, kritik teks (khususnya teks-teks suci) adalah disiplin | baru | yang tak memiliki preseden dalam sejarah intelektualisme uma | 32 % |
semantik, leksikal, dan sintaks. Bahasa Arab bukanlah bahasa | baru | yang muncul tiba-tiba karena Al-Qur’an. Bahasa ini telah ada | 61 % |
la itu untuk mendiskusikan kesejarahan Al-Qur’an. Ibn Nadiem | bebas-bebas | saja membuat pernyataan bahwa Mushafnya Ibn Abbas tidak memi | 91 % |
ushafnya Ibn Abbas tidak memiliki al-Fatihah, dan al-Suyuthi | bebas-bebas | saja meriwayatkan Hadith ‘Aisyah bahwa Mushaf Uthmani telah | 91 % |
hi intensitas keberagamaan saya. Secara khusus, saya membaca | beberapa | buku Nasr Hamed Abu Zayd dan juga beberapa artikel yang ditu | 6 % |
sus, saya membaca beberapa buku Nasr Hamed Abu Zayd dan juga | beberapa | artikel yang ditulis oleh sarjana Al-Qur’an dari Barat. Saya | 7 % |
orientalis itu, paling-paling artikel saya akan dicampakkan | begitu | saja. Agaknya, ini yang pernah terjadi dengan rekan saya, Ta | 20 % |
hal-hal maha-kecil seperti quantum, singularity, dan string. | begitu | juga Al-Qur’an, ia tak bisa dipahami dengan baik jika kita h | 42 % |
emacam A.L. Tibawi dan Edward Said, adalah para sarjana yang | bekerja | untuk kepentingan proyek kolonialisme dan penaklukkan dunia | 15 % |
ri pikiran saya pengetahuan apologetis saja. Inilah latar | belakang | mengapa artikel itu saya tulis. Semula saya ragu menuliskan | 9 % |
ya baca. Tapi, rasanya masih terus ada yang mengganjal kalau | belum | ditulis. Ketika menulis artikel itu, saya mendapat panduan d | 10 % |
a, karena pesan-pesan Allah yang universal disampaikan dalam | bentuk | bahasa manusia, yakni bahasa Arab, yang tunduk pada aturan-a | 60 % |
nya, ada dua tahap pemanusiaan kalamullah itu hingga menjadi | bentuknya | yang kita lihat sekarang. Tahap pertama adalah tahap pengatu | 82 % |
minya sebagai sebuah produk ilahiah (al-intaj al-ilahy) yang | berada | dalam ruang sejarah manusia yang tidak suci dan terbatas. Te | 65 % |
rsal. Karena manifestasi dilakukan dalam bahasa manusia yang | beragam | dan tidak sempurna, maka terjadilah perbedaan-perbedaan di a | 79 % |
u ditekankan oleh kaum Muslim secara khusus dan seluruh umat | beragama | secara umum. Imani billahi akbar wa huwa khayrul musta’an. | 100 % |
ntara risalah kenabian, kitab suci, posisi Allah, wahyu, dan | beragamnya | agama-agama di dunia. Para filsuf Muslim klasik mencoba m | 53 % |
eka” (Q.S. 14:4). Dengan kata lain, alasan mengapa Al-Qur’an | berbahasa | Arab karena semata-mata ia diturunkan kepada orang-orang Ara | 74 % |
, memiliki daya kenabian, hanya saja intensitas kenabian itu | berbeda | satu dengan lainnya. Daya kenabian yang dimiliki Nabi Muhamm | 58 % |
ketahui, susunan Al-Qur’an yang diturunkan secara kronologis | berbeda | dengan susunan yang kita lihat sekarang. Perubahan susunan i | 85 % |
tahui bahwa kitab suci ini berkembang dengan sangat dinamis, | berinteraksi | dengan kehidupan umat manusia, yang kadang sangat bersifat l | 45 % |
dengan nada permusuhan sebagai “orientalis” itu telah banyak | berjasa | bagi tradisi kesejarahan Al-Qur’an. Saya bukan tidak sadar b | 13 % |
ipahami kecuali kita menggabungkan dua teori utama: (i) yang | berkaitan | dengan hal-hal maha-besar seperti big bang, gravitasi, dan e | 41 % |
pembentukan Al-Qur’an, kita mengetahui bahwa kitab suci ini | berkembang | dengan sangat dinamis, berinteraksi dengan kehidupan umat ma | 44 % |
’an dengan model bacaan saya sendiri yang menurut saya lebih | berkesan | dan mempengaruhi intensitas keberagamaan saya. Secara khusus | 6 % |
fi ujung-ujungnya pake orientalis.” Saya sedih jika ada yang | berkomentar | seperti ini. Seolah-olah, ilmu itu milik umat Islam saja, da | 25 % |
Muhammad sebagai pembawa risalah (message), dan risalah itu | bernama | “Islam.” Sebagai sebuah risalah, Islam, seperti diberitakan | 71 % |
rinteraksi dengan kehidupan umat manusia, yang kadang sangat | bersifat | lokal dan temporal. Ayat-ayat yang dimulai dengan pertanyaan | 45 % |
yu Allah kepada Nabi Muhammad sebagai proses yang sepenuhnya | bersifat | psikologis (al-nafsiyyah). Agen penyampai wahyu yang umumnya | 56 % |
ya, keyakinan akan imanensi dan permanensi Al-Qur’an, selain | bertentangan | dengan prinsip tauhid yang paling asasi (yakni hanya Allah y | 93 % |
apun yang lainnya hanyalah manifestasi dari kalam-Nya), juga | bertentangan | dengan konteks kesejarahan Al-Qur’an sendiri yang dinamis, p | 94 % |
wa saya merujuk kepada orientalis, agar kemudian mereka bisa | berteriak: | “tuh kan Luthfi ujung-ujungnya pake orientalis.” Saya sedih | 25 % |
kitab al-masahif, al-fihrist, al-itqan, dan al-burhan. Saya | beruntung | karena semua kitab itu bisa saya dapatkan, sehingga saya bis | 11 % |
yang saya buat. Para pengkritik dan pengecam artikel saya | berusaha | dengan tak sabar ingin mendengar pengakuan dari saya bahwa s | 24 % |
-Qur’an). Dalam tulisan saya yang ringkas itu, saya telah | berusaha | memperlihatkan bahwa hingga abad ke-4 (masa Ibn Nadiem dan I | 89 % |
nnya meuniversalkan pesan-pesan Al-Qur’an, seperti al-’ibrah | bi | ‘umum al-lafdh la bi khusus al-sabab (mendahulukan kata-kata | 51 % |
esan-pesan Al-Qur’an, seperti al-’ibrah bi ‘umum al-lafdh la | bi | khusus al-sabab (mendahulukan kata-kata yang umum di atas se | 51 % |
. Saya pikir, para sarjana Al-Qur’an dari Barat atau yang | biasa | disebut dengan nada permusuhan sebagai “orientalis” itu tela | 13 % |
r bahwa kaum Muslim memiliki apriori dan prasangka yang luar | biasa | pada nama-nama mereka. Saya pikir, kalau saya kutip nama-nam | 20 % |
utama: (i) yang berkaitan dengan hal-hal maha-besar seperti | big | bang, gravitasi, dan ekspansi; dan (ii) hal-hal maha-kecil s | 41 % |
enyataan (bil fi’il). Dalam proses aktualisasi wahyu dari | bil | quwwah menjadi bil fi’il ada sejumlah proses reduksi. Hal in | 59 % |
). Dalam proses aktualisasi wahyu dari bil quwwah menjadi | bil | fi’il ada sejumlah proses reduksi. Hal ini lumrah belaka, ka | 59 % |
cara khusus dan seluruh umat beragama secara umum. Imani | billahi | akbar wa huwa khayrul musta’an. | 100 % |
Ini dilakukan pada masa Nabi dan dilengkapi pada masa Uthman | bin | Affan. Tahap selanjutnya adalah pemberian tanda baca (tasyki | 83 % |
-itqan, dan al-burhan. Saya beruntung karena semua kitab itu | bisa | saya dapatkan, sehingga saya bisa merujuk setiap klaim yang | 11 % |
ung karena semua kitab itu bisa saya dapatkan, sehingga saya | bisa | merujuk setiap klaim yang dibuat oleh para sarjana Al-Qur’an | 12 % |
sudah sangat terbuka dan tanpa batas. Akses kepada informasi | bisa | diperoleh semua orang dengan mudah. Apa yang dikatakan oleh | 16 % |
ng dengan mudah. Apa yang dikatakan oleh para orientalis itu | bisa | kita rujuk dan buktikan ke sumber-sumber aselinya. Dan ini y | 17 % |
a bahwa saya merujuk kepada orientalis, agar kemudian mereka | bisa | berteriak: “tuh kan Luthfi ujung-ujungnya pake orientalis.” | 25 % |
a ini. Pada gilirannya, kerja keras dan temuan-temuan mereka | bisa | digunakan untuk menjelaskan apa yang selama ini menjadi conc | 31 % |
alam semesta. Menurut para astrofisikawan, alam semesta tak | bisa | dipahami kecuali kita menggabungkan dua teori utama: (i) yan | 41 % |
ntum, singularity, dan string. Begitu juga Al-Qur’an, ia tak | bisa | dipahami dengan baik jika kita hanya melihat satu dimensi sa | 42 % |
i ini. Seolah-olah, ilmu itu milik umat Islam saja, dan yang | boleh | meneliti sesuatu hanya orang Islam saja. Sedangkan orang lai | 26 % |
dianggap sebagai korpus tertutup yang sudah selesai dan tak | boleh | diganggu-gugat. Siapa saja yang mencoba mengkritisinya, dia | 33 % |
elah banyak berjasa bagi tradisi kesejarahan Al-Qur’an. Saya | bukan | tidak sadar bahwa sebagian dari mereka, seperti dengan baik | 13 % |
sebuah pendapat semata-mata melihat siapa yang berkata, dan | bukan | apa yang dikatakan. Bagi saya, kajian para orientalis tel | 30 % |
Qur’an sebagai sebuah bacaan “magis” (karena yang ditekankan | bukan | makna kronologisnya, tapi struktur kebahasaannya). Dampak ya | 87 % |
oris, gramatis, semantik, leksikal, dan sintaks. Bahasa Arab | bukanlah | bahasa baru yang muncul tiba-tiba karena Al-Qur’an. Bahasa i | 61 % |
lam bahasa Arab. Persoalan utama Al-Qur’an, menurut saya, | bukanlah | persoalan penafsiran semata, tapi memahaminya sebagai sebuah | 64 % |
ebagai sebuah risalah, Islam, seperti diberitakan Al-Qur’an, | bukanlah | agama yang baru, dan Muhammad bukanlah satu-satunya pembawa | 71 % |
iberitakan Al-Qur’an, bukanlah agama yang baru, dan Muhammad | bukanlah | satu-satunya pembawa risalah. Sebelumnya, risalah itu telah | 71 % |
i dengan perkembangan zaman. Keterbatasan kosakata Al-Qur’an | bukanlah | keterbatasan pesan-pesan Allah (kalamullah) yang universal, | 76 % |
yang dikatakan oleh para orientalis itu bisa kita rujuk dan | buktikan | ke sumber-sumber aselinya. Dan ini yang saya coba lakukan da | 17 % |
itas keberagamaan saya. Secara khusus, saya membaca beberapa | buku | Nasr Hamed Abu Zayd dan juga beberapa artikel yang ditulis o | 6 % |
tu. Untuk menulis artikel singkat itu, saya merujuk semua | buku | yang disebut para orientalis, khususnya kitab al-masahif kar | 18 % |
u adalah bagian dari refleksi kegiatan spiritual saya selama | bulan | Ramadhan. Pada bulan itu, saya mencoba membaca Al-Qur’an den | 5 % |
refleksi kegiatan spiritual saya selama bulan Ramadhan. Pada | bulan | itu, saya mencoba membaca Al-Qur’an dengan model bacaan saya | 5 % |
dilakukan sepanjang sejarah Islam hingga digunakannya mesin | cetak | pada masa modern. Seperti kita ketahui, susunan Al-Qur’an | 84 % |
uk dan buktikan ke sumber-sumber aselinya. Dan ini yang saya | coba | lakukan dalam menulis artikel itu. Untuk menulis artikel | 17 % |
bisa digunakan untuk menjelaskan apa yang selama ini menjadi | concern | ulama dan intelektual Muslim. Bagaimanapun, kritik teks (khu | 32 % |
oleh para sahabat maupun orang-orang yang sesudahnya adalah | contoh | dari proses-proses keterciptaan Al-Qur’an dalam ruang yang t | 69 % |
hat sekarang. Perubahan susunan ini memiliki dua dampak yang | cukup | penting: pertama, ia menghancurkan konteks peristiwa dan kes | 85 % |
aya pikir, rasanya kurang adil kalau saya hanya mensuplay ke | dalam | memori pikiran saya pengetahuan apologetis saja. Inilah l | 9 % |
an ke sumber-sumber aselinya. Dan ini yang saya coba lakukan | dalam | menulis artikel itu. Untuk menulis artikel singkat itu, s | 17 % |
al-Fihrist karya Ibn Nadiem, dan al-Itqan karya al-Suyuthi. | dalam | artikel itu, sengaja saya tidak menyebut nama orientalis sat | 19 % |
yang lebih piawai, lebih ahli, dan lebih produktif dari saya | dalam | menuliskan sejarah Al-Qur’an. Namun, hanya karena tulisan-tu | 21 % |
s-teks suci) adalah disiplin baru yang tak memiliki preseden | dalam | sejarah intelektualisme umat manusia. Di masa silam, teks-te | 32 % |
-kasus seperti minuman keras dan menstruasi (yang disebutkan | dalam | ayat yas’alunaka itu), adalah persolan manusia di dunia yang | 47 % |
sen dari Al-Qur’an. Fenomena lokal-temporal yang dijumpai | dalam | ayat-ayat Al-Qur’an telah lama menjadi kajian para ulama dan | 49 % |
’an telah lama menjadi kajian para ulama dan ilmuwan Muslim. | dalam | ‘Ulum al-Qur’an dan juga Ushul al-Fiqh, mereka menciptakan k | 50 % |
ebab yang khusus). Kaedah-kaedah seperti ini sangat membantu | dalam | menafsirkan Al-Qur’an, tapi tidak membantu dalam menyelesaik | 52 % |
at membantu dalam menafsirkan Al-Qur’an, tapi tidak membantu | dalam | menyelesaikan persoalan-persoalan yang lebih substansial yan | 52 % |
but “Jibril” hanyalah salah satu daya (quwwah) saja yang ada | dalam | diri manusia. Setiap manusia, secara potensial (bil quwwah), | 57 % |
han dari potensi (bil quwwah) menjadi kenyataan (bil fi’il). | dalam | proses aktualisasi wahyu dari bil quwwah menjadi bil fi’il a | 59 % |
belaka, karena pesan-pesan Allah yang universal disampaikan | dalam | bentuk bahasa manusia, yakni bahasa Arab, yang tunduk pada a | 60 % |
dan digunakan oleh masyarakat Arabia sebagai alat komunikasi | dalam | interaksi sosial, bisnis, puisi, literatur, graffitti, kecam | 62 % |
h yang banyak mengumbar syhawat dan pornografi diekspresikan | dalam | bahasa Arab. Puisi-puisi dan literatur yang dianggap “menyim | 63 % |
literatur yang dianggap “menyimpang” dari Islam juga ditulis | dalam | bahasa Arab. Persoalan utama Al-Qur’an, menurut saya, buk | 64 % |
ebagai sebuah produk ilahiah (al-intaj al-ilahy) yang berada | dalam | ruang sejarah manusia yang tidak suci dan terbatas. Teks-tek | 65 % |
anusia yang tidak suci dan terbatas. Teks-teks yang tertulis | dalam | bahasa Arab yang kemudian disebut “Al-Qur’an” adalah artikul | 65 % |
rnal inilah yang terus dijaga oleh Allah, seperti dijanjikan | dalam | salah satu ayatnya (Inna nahnu nazzalna al-dhikra wa inna la | 67 % |
stilah para pemikir Muktazilah-- “yang diciptakan” (makhluq) | dalam | kebaharuan (muhdath), dan karenanya, ia tidak eternal dan ti | 68 % |
hnya adalah contoh dari proses-proses keterciptaan Al-Qur’an | dalam | ruang yang tidak permanen dan tidak abadi. Menurut Al-Qur’an | 70 % |
lah yang eternal dan universal. Karena manifestasi dilakukan | dalam | bahasa manusia yang beragam dan tidak sempurna, maka terjadi | 79 % |
) pesan-pesan Allah (kalamullah) yang universal dan eternal. | dalam | sejarahnya, ada dua tahap pemanusiaan kalamullah itu hingga | 81 % |
“i’jaz al-balaghi al-Qur’ani” (mu’jizat sastrawi Al-Qur’an). | dalam | tulisan saya yang ringkas itu, saya telah berusaha memperlih | 88 % |
yang kita lihat sekarang. Perubahan susunan ini memiliki dua | dampak | yang cukup penting: pertama, ia menghancurkan konteks perist | 85 % |
kan bukan makna kronologisnya, tapi struktur kebahasaannya). | dampak | yang terakhir ini kemudian mendorong sebagian ulama untuk me | 87 % |
an melihat proses-proses pembentukannya, baik pada masa Nabi | dan | masa-masa sesudahnya sangat penting, untuk mengingatkan kita | 1 % |
n memiliki keterbatasan-keterbatasan pada lingkup kebahasaan | dan | kesejarahan di mana ia diturunkan. Oleh: Luthfi Assyaukan | 2 % |
terimakasih kepada siapa saja yang telah memberikan komentar | dan | kritik terhadap artikel saya tentang “Merenungkan Sejarah Al | 4 % |
n model bacaan saya sendiri yang menurut saya lebih berkesan | dan | mempengaruhi intensitas keberagamaan saya. Secara khusus, sa | 6 % |
ecara khusus, saya membaca beberapa buku Nasr Hamed Abu Zayd | dan | juga beberapa artikel yang ditulis oleh sarjana Al-Qur’an da | 7 % |
kitab klasik seperti kitab al-masahif, al-fihrist, al-itqan, | dan | al-burhan. Saya beruntung karena semua kitab itu bisa saya d | 11 % |
erlihatkan oleh para kritikus orientalis semacam A.L. Tibawi | dan | Edward Said, adalah para sarjana yang bekerja untuk kepentin | 14 % |
a sarjana yang bekerja untuk kepentingan proyek kolonialisme | dan | penaklukkan dunia Islam. Tapi, saya meyakini, tidak semua me | 15 % |
curigai kaum Muslim. Dunia sekarang ini sudah sangat terbuka | dan | tanpa batas. Akses kepada informasi bisa diperoleh semua ora | 16 % |
Apa yang dikatakan oleh para orientalis itu bisa kita rujuk | dan | buktikan ke sumber-sumber aselinya. Dan ini yang saya coba l | 17 % |
itu bisa kita rujuk dan buktikan ke sumber-sumber aselinya. | dan | ini yang saya coba lakukan dalam menulis artikel itu. Unt | 17 % |
al-masahif karya Ibn Abi Daud, al-Fihrist karya Ibn Nadiem, | dan | al-Itqan karya al-Suyuthi. Dalam artikel itu, sengaja saya t | 18 % |
atupun, karena saya sadar bahwa kaum Muslim memiliki apriori | dan | prasangka yang luar biasa pada nama-nama mereka. Saya pikir, | 19 % |
ekan saya, Taufik Adnan Amal, yang lebih piawai, lebih ahli, | dan | lebih produktif dari saya dalam menuliskan sejarah Al-Qur’an | 21 % |
san dia sarat dengan nama-nama seperti Jeffrey, Wansborough, | dan | semacamnya, tulisan-tulisan itu tampaknya tidak banyak diper | 22 % |
yang sama dengan refleksi yang saya buat. Para pengkritik | dan | pengecam artikel saya berusaha dengan tak sabar ingin menden | 24 % |
ar seperti ini. Seolah-olah, ilmu itu milik umat Islam saja, | dan | yang boleh meneliti sesuatu hanya orang Islam saja. Sedangka | 26 % |
eskipun mereka punya keahlian untuk itu, dianggap tak layak, | dan | bahkan kalau perlu dianggap “najis” yang harus dicampakkan. | 27 % |
ma qaala wa la tandhur man qaala (lihat apa yang dikatakan, | dan | jangan lihat siapa yang berkata). Para ulama mantiq (ahli lo | 28 % |
kumi sebuah pendapat semata-mata melihat siapa yang berkata, | dan | bukan apa yang dikatakan. Bagi saya, kajian para oriental | 30 % |
i sejarah Al-Qur’an selama ini. Pada gilirannya, kerja keras | dan | temuan-temuan mereka bisa digunakan untuk menjelaskan apa ya | 31 % |
untuk menjelaskan apa yang selama ini menjadi concern ulama | dan | intelektual Muslim. Bagaimanapun, kritik teks (khususnya tek | 32 % |
eks suci dianggap sebagai korpus tertutup yang sudah selesai | dan | tak boleh diganggu-gugat. Siapa saja yang mencoba mengkritis | 33 % |
stilah-istilah lain yang sejenis. Untuk membentengi kesucian | dan | kemaksuman kitab suci, mitos-mitos pun diciptakan, misalnya | 34 % |
tilah seram di atas. Itulah yang terjadi dengan banyak ulama | dan | intelektual Muslim yang mencoba “membaca” Al-Qur’an dengan p | 36 % |
perspektif lain, seperti yang dialami oleh Arkoun, Syahrour, | dan | Abu Zayd. Kajian historis terhadap Al-Qur’an membantu kit | 37 % |
ersoalan-persoalan klasik hubungan antara wahyu, kitab suci, | dan | risalah kenabian, secara umum. Selanjutnya, masalah ini juga | 38 % |
tnya, masalah ini juga dapat membantu kita menjelaskan peran | dan | fungsi agama-agama di dunia ini bagi umat manusia. Saya meng | 39 % |
an dengan melihatnya sebagai sebuah satu-kesatuan kitab suci | dan | sekaligus melihat detil-detil peristiwa kesejarahannya yang | 40 % |
aitan dengan hal-hal maha-besar seperti big bang, gravitasi, | dan | ekspansi; dan (ii) hal-hal maha-kecil seperti quantum, singu | 42 % |
al-hal maha-besar seperti big bang, gravitasi, dan ekspansi; | dan | (ii) hal-hal maha-kecil seperti quantum, singularity, dan st | 42 % |
i; dan (ii) hal-hal maha-kecil seperti quantum, singularity, | dan | string. Begitu juga Al-Qur’an, ia tak bisa dipahami dengan b | 42 % |
pahami dengan baik jika kita hanya melihat satu dimensi saja | dan | mengabaikan dimensi lainnya. Menurut saya, dimensi historis | 43 % |
ris Al-Qur’an adalah modal penting bagi kita memahami fungsi | dan | peran Al-Qur’an yang sesungguhnya. Dari kajian sejarah pe | 43 % |
an kehidupan umat manusia, yang kadang sangat bersifat lokal | dan | temporal. Ayat-ayat yang dimulai dengan pertanyaan-pertanyaa | 45 % |
misalnya (yas’alunaka anil khamr, anil ahillah, anil mahidh, | dan | seterusnya), adalah refleksi dari kehidupan yang dijalani Na | 46 % |
terusnya), adalah refleksi dari kehidupan yang dijalani Nabi | dan | para sahabatnya. Kasus-kasus seperti minuman keras dan menst | 46 % |
Nabi dan para sahabatnya. Kasus-kasus seperti minuman keras | dan | menstruasi (yang disebutkan dalam ayat yas’alunaka itu), ada | 47 % |
ituasi yang mendesak tersebut, maka ayat-ayat tentang khamar | dan | menstruasi akan absen dari Al-Qur’an. Fenomena lokal-temp | 49 % |
lam ayat-ayat Al-Qur’an telah lama menjadi kajian para ulama | dan | ilmuwan Muslim. Dalam ‘Ulum al-Qur’an dan juga Ushul al-Fiqh | 49 % |
kajian para ulama dan ilmuwan Muslim. Dalam ‘Ulum al-Qur’an | dan | juga Ushul al-Fiqh, mereka menciptakan kaedah-kaedah yang tu | 50 % |
yang umumnya dihadapi oleh para filsuf Muslim di masa klasik | dan | intelektual Muslim di masa modern, menyangkut hubungan antar | 53 % |
an antara risalah kenabian, kitab suci, posisi Allah, wahyu, | dan | beragamnya agama-agama di dunia. Para filsuf Muslim klasi | 53 % |
uk pada aturan-aturan retoris, gramatis, semantik, leksikal, | dan | sintaks. Bahasa Arab bukanlah bahasa baru yang muncul tiba-t | 61 % |
tiba-tiba karena Al-Qur’an. Bahasa ini telah ada sejak lama | dan | digunakan oleh masyarakat Arabia sebagai alat komunikasi dal | 61 % |
eraksi sosial, bisnis, puisi, literatur, graffitti, kecaman, | dan | juga obrolan-obrolan porno. Puisi-puisi jahiliah yang banyak | 62 % |
an porno. Puisi-puisi jahiliah yang banyak mengumbar syhawat | dan | pornografi diekspresikan dalam bahasa Arab. Puisi-puisi dan | 63 % |
dan pornografi diekspresikan dalam bahasa Arab. Puisi-puisi | dan | literatur yang dianggap “menyimpang” dari Islam juga ditulis | 63 % |
ahy) yang berada dalam ruang sejarah manusia yang tidak suci | dan | terbatas. Teks-teks yang tertulis dalam bahasa Arab yang kem | 65 % |
an” adalah artikulasi manusia terhadap kalamullah yang abadi | dan | eternal. Kalamullah yang abadi dan eternal inilah yang terus | 66 % |
dap kalamullah yang abadi dan eternal. Kalamullah yang abadi | dan | eternal inilah yang terus dijaga oleh Allah, seperti dijanji | 66 % |
ah-- “yang diciptakan” (makhluq) dalam kebaharuan (muhdath), | dan | karenanya, ia tidak eternal dan tidak abadi. Upaya koleks | 68 % |
dalam kebaharuan (muhdath), dan karenanya, ia tidak eternal | dan | tidak abadi. Upaya koleksi, modifikasi, dan unifikasi, ya | 69 % |
tidak eternal dan tidak abadi. Upaya koleksi, modifikasi, | dan | unifikasi, yang dilakukan baik oleh para sahabat maupun oran | 69 % |
roses keterciptaan Al-Qur’an dalam ruang yang tidak permanen | dan | tidak abadi. Menurut Al-Qur’an, Allah mengutus Nabi Muhammad | 70 % |
ah mengutus Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah (message), | dan | risalah itu bernama “Islam.” Sebagai sebuah risalah, Islam, | 71 % |
am, seperti diberitakan Al-Qur’an, bukanlah agama yang baru, | dan | Muhammad bukanlah satu-satunya pembawa risalah. Sebelumnya, | 71 % |
elumnya, risalah itu telah disampaikan kepada Ibrahim, Musa, | dan | Isa (Q.S. 42:13). Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab. Tidak a | 72 % |
mata-mata ia diturunkan kepada orang-orang Arab. Tidak lebih | dan | tidak kurang. Bahasa manusia adalah instrumen komunikasi | 75 % |
alah instrumen komunikasi yang terbatas pada budaya, tempat, | dan | waktu di mana ia digunakan. Kosakata dari bahasa selalu berk | 75 % |
rsal, tapi keterbatasan bahasa Arab yang tunduk pada situasi | dan | kondisi saat Al-Qur’an diturunkan. Sejarah pembukuan Al-Qur’ | 77 % |
-Qur’an adalah sejarah pereduksian kalamullah yang universal | dan | eternal. Seperti juga yang terjadi pada kitab-kitab suci lai | 78 % |
r, Al-Qur’an adalah manifestasi dari kalamullah yang eternal | dan | universal. Karena manifestasi dilakukan dalam bahasa manusia | 79 % |
rena manifestasi dilakukan dalam bahasa manusia yang beragam | dan | tidak sempurna, maka terjadilah perbedaan-perbedaan di antar | 79 % |
n (humanizing) pesan-pesan Allah (kalamullah) yang universal | dan | eternal. Dalam sejarahnya, ada dua tahap pemanusiaan kalamul | 81 % |
l sekarang (tartib al-tilawah). Ini dilakukan pada masa Nabi | dan | dilengkapi pada masa Uthman bin Affan. Tahap selanjutnya ada | 83 % |
g cukup penting: pertama, ia menghancurkan konteks peristiwa | dan | kesejarahan setiap wahyu yang diturunkan; dan kedua, ia menj | 86 % |
teks peristiwa dan kesejarahan setiap wahyu yang diturunkan; | dan | kedua, ia menjadikan Al-Qur’an sebagai sebuah bacaan “magis” | 86 % |
usaha memperlihatkan bahwa hingga abad ke-4 (masa Ibn Nadiem | dan | Ibn Abi Daud) dan bahkan hingga abad ke-10 (masa Jalaluddin | 89 % |
an bahwa hingga abad ke-4 (masa Ibn Nadiem dan Ibn Abi Daud) | dan | bahkan hingga abad ke-10 (masa Jalaluddin al-Suyuthi), perso | 89 % |
abad ke-10 (masa Jalaluddin al-Suyuthi), persoalan penulisan | dan | penertiban ayat-ayat Al-Qur’an tetap menjadi isu hangat yang | 90 % |
nyataan bahwa Mushafnya Ibn Abbas tidak memiliki al-Fatihah, | dan | al-Suyuthi bebas-bebas saja meriwayatkan Hadith ‘Aisyah bahw | 91 % |
syah bahwa Mushaf Uthmani telah menghilangkan surah al-Ahzab | dan | karenanya Al-Qur’an yang dibuat Uthman menjadi lebih ramping | 92 % |
yang dimilikinya. Menurut saya, keyakinan akan imanensi | dan | permanensi Al-Qur’an, selain bertentangan dengan prinsip tau | 93 % |
nsip tauhid yang paling asasi (yakni hanya Allah yang imanen | dan | permanen, adapun yang lainnya hanyalah manifestasi dari kala | 94 % |
nteks kesejarahan Al-Qur’an sendiri yang dinamis, progresif, | dan | manusiawi. Mengkaji sejarah Al-Qur’an dengan melihat pros | 95 % |
an melihat proses-proses pembentukannya, baik pada masa Nabi | dan | masa-masa sesudahnya sangat penting, untuk mengingatkan kita | 96 % |
n memiliki keterbatasan-keterbatasan pada lingkup kebahasaan | dan | kesejarahan di mana ia diturunkan. Namun demikian, sebagai s | 97 % |
yang harus selalu ditekankan oleh kaum Muslim secara khusus | dan | seluruh umat beragama secara umum. Imani billahi akbar wa huwa khayrul musta’an. | 99 % |
risalah kenabian, secara umum. Selanjutnya, masalah ini juga | dapat | membantu kita menjelaskan peran dan fungsi agama-agama di du | 38 % |
mi utus seorang rasul kecuali dengan bahasa kaumnya, agar ia | dapat | memberi penjelasan dengan terang kepada mereka” (Q.S. 14:4). | 73 % |
kan kita selalu bahwa Al-Qur’an adalah manifestasi manusiawi | dari | kalamullah. Seperti juga kitab-kitab suci lainnya di dunia i | 2 % |
Islam Liberal (JIL). Pada mulanya, artikel itu adalah bagian | dari | refleksi kegiatan spiritual saya selama bulan Ramadhan. Pada | 5 % |
an juga beberapa artikel yang ditulis oleh sarjana Al-Qur’an | dari | Barat. Saya selalu terobsesi untuk membaca karya-karya semac | 7 % |
aca karya-karya semacam ini, sebagai “balance” (penyeimbang) | dari | bacaan saya selama ini yang terlalu banyak dengan karya-kary | 8 % |
m ditulis. Ketika menulis artikel itu, saya mendapat panduan | dari | karya-karya sarjana Al-Qur’an dari Barat untuk membuka kitab | 10 % |
tu, saya mendapat panduan dari karya-karya sarjana Al-Qur’an | dari | Barat untuk membuka kitab-kitab klasik seperti kitab al-masa | 11 % |
merujuk setiap klaim yang dibuat oleh para sarjana Al-Qur’an | dari | Barat itu. Saya pikir, para sarjana Al-Qur’an dari Barat | 12 % |
Qur’an dari Barat itu. Saya pikir, para sarjana Al-Qur’an | dari | Barat atau yang biasa disebut dengan nada permusuhan sebagai | 12 % |
kesejarahan Al-Qur’an. Saya bukan tidak sadar bahwa sebagian | dari | mereka, seperti dengan baik telah diperlihatkan oleh para kr | 14 % |
nan Amal, yang lebih piawai, lebih ahli, dan lebih produktif | dari | saya dalam menuliskan sejarah Al-Qur’an. Namun, hanya karena | 21 % |
kel saya berusaha dengan tak sabar ingin mendengar pengakuan | dari | saya bahwa saya merujuk kepada orientalis, agar kemudian mer | 24 % |
para orientalis telah membuka banyak dimensi tak terpikirkan | dari | sejarah Al-Qur’an selama ini. Pada gilirannya, kerja keras d | 31 % |
kita memahami fungsi dan peran Al-Qur’an yang sesungguhnya. | dari | kajian sejarah pembentukan Al-Qur’an, kita mengetahui bahwa | 44 % |
anil ahillah, anil mahidh, dan seterusnya), adalah refleksi | dari | kehidupan yang dijalani Nabi dan para sahabatnya. Kasus-kasu | 46 % |
but, maka ayat-ayat tentang khamar dan menstruasi akan absen | dari | Al-Qur’an. Fenomena lokal-temporal yang dijumpai dalam ay | 49 % |
terbesar, sehingga dia mampu mengaktualisasikan wahyu Tuhan | dari | potensi (bil quwwah) menjadi kenyataan (bil fi’il). Dalam | 58 % |
adi kenyataan (bil fi’il). Dalam proses aktualisasi wahyu | dari | bil quwwah menjadi bil fi’il ada sejumlah proses reduksi. Ha | 59 % |
a Arab. Puisi-puisi dan literatur yang dianggap “menyimpang” | dari | Islam juga ditulis dalam bahasa Arab. Persoalan utama Al- | 64 % |
ara sahabat maupun orang-orang yang sesudahnya adalah contoh | dari | proses-proses keterciptaan Al-Qur’an dalam ruang yang tidak | 69 % |
:13). Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab. Tidak ada yang unik | dari | bahasa ini, karena seperti kata Al-Qur’an sendiri: “Tidaklah | 73 % |
ada budaya, tempat, dan waktu di mana ia digunakan. Kosakata | dari | bahasa selalu berkembang, sesuai dengan perkembangan zaman. | 76 % |
, seperti Taurat, Injil, Zabur, Al-Qur’an adalah manifestasi | dari | kalamullah yang eternal dan universal. Karena manifestasi di | 79 % |
karenanya Al-Qur’an yang dibuat Uthman menjadi lebih ramping | dari | Mushaf yang dimilikinya. Menurut saya, keyakinan akan im | 93 % |
manen dan permanen, adapun yang lainnya hanyalah manifestasi | dari | kalam-Nya), juga bertentangan dengan konteks kesejarahan Al- | 94 % |
kan kita selalu bahwa Al-Qur’an adalah manifestasi manusiawi | dari | kalamullah. Seperti juga kitab-kitab suci lainnya di dunia i | 96 % |
na ia diturunkan. Namun demikian, sebagai sebuah manifestasi | dari | kalamullah, Al-Qur’an memiliki kesamaan-kesamaan dengan kita | 98 % |
a wa inna lahu lahafidhun Q.S. 15:9). Adapun Al-Qur’an, pada | dasarnya | adalah sesuatu --meminjam istilah para pemikir Muktazilah-- | 67 % |
mpai wahyu yang umumnya disebut “Jibril” hanyalah salah satu | daya | (quwwah) saja yang ada dalam diri manusia. Setiap manusia, s | 57 % |
sia. Setiap manusia, secara potensial (bil quwwah), memiliki | daya | kenabian, hanya saja intensitas kenabian itu berbeda satu de | 57 % |
ya saja intensitas kenabian itu berbeda satu dengan lainnya. | daya | kenabian yang dimiliki Nabi Muhammad merupakan yang terbesar | 58 % |
Sejarah Al-Qur’an: Rejoinder Mengkaji sejarah Al-Qur’an | dengan | melihat proses-proses pembentukannya, baik pada masa Nabi da | 0 % |
lan Ramadhan. Pada bulan itu, saya mencoba membaca Al-Qur’an | dengan | model bacaan saya sendiri yang menurut saya lebih berkesan d | 5 % |
penyeimbang) dari bacaan saya selama ini yang terlalu banyak | dengan | karya-karya apologetis. Saya pikir, rasanya kurang adil kala | 8 % |
r, para sarjana Al-Qur’an dari Barat atau yang biasa disebut | dengan | nada permusuhan sebagai “orientalis” itu telah banyak berjas | 13 % |
. Saya bukan tidak sadar bahwa sebagian dari mereka, seperti | dengan | baik telah diperlihatkan oleh para kritikus orientalis semac | 14 % |
npa batas. Akses kepada informasi bisa diperoleh semua orang | dengan | mudah. Apa yang dikatakan oleh para orientalis itu bisa kita | 16 % |
an dicampakkan begitu saja. Agaknya, ini yang pernah terjadi | dengan | rekan saya, Taufik Adnan Amal, yang lebih piawai, lebih ahli | 21 % |
rah Al-Qur’an. Namun, hanya karena tulisan-tulisan dia sarat | dengan | nama-nama seperti Jeffrey, Wansborough, dan semacamnya, tuli | 22 % |
artikel Taufik, yang menurut saya, memiliki pesan yang sama | dengan | refleksi yang saya buat. Para pengkritik dan pengecam art | 23 % |
buat. Para pengkritik dan pengecam artikel saya berusaha | dengan | tak sabar ingin mendengar pengakuan dari saya bahwa saya mer | 24 % |
l). Siapa saja yang menolak mitos-mitos ini, juga akan dicap | dengan | istilah-istilah seram di atas. Itulah yang terjadi dengan ba | 36 % |
ap dengan istilah-istilah seram di atas. Itulah yang terjadi | dengan | banyak ulama dan intelektual Muslim yang mencoba “membaca” A | 36 % |
lama dan intelektual Muslim yang mencoba “membaca” Al-Qur’an | dengan | perspektif lain, seperti yang dialami oleh Arkoun, Syahrour, | 36 % |
unia ini bagi umat manusia. Saya menganggap kajian Al-Qur’an | dengan | melihatnya sebagai sebuah satu-kesatuan kitab suci dan sekal | 39 % |
cuali kita menggabungkan dua teori utama: (i) yang berkaitan | dengan | hal-hal maha-besar seperti big bang, gravitasi, dan ekspansi | 41 % |
ity, dan string. Begitu juga Al-Qur’an, ia tak bisa dipahami | dengan | baik jika kita hanya melihat satu dimensi saja dan mengabaik | 42 % |
n Al-Qur’an, kita mengetahui bahwa kitab suci ini berkembang | dengan | sangat dinamis, berinteraksi dengan kehidupan umat manusia, | 44 % |
itab suci ini berkembang dengan sangat dinamis, berinteraksi | dengan | kehidupan umat manusia, yang kadang sangat bersifat lokal da | 45 % |
g sangat bersifat lokal dan temporal. Ayat-ayat yang dimulai | dengan | pertanyaan-pertanyaan para sahabat Nabi, misalnya (yas’aluna | 45 % |
na desakan situasi yang dihadapi para sahabat nabi saat itu. | dengan | kata lain, jika tidak ada situasi yang mendesak tersebut, ma | 48 % |
uf Muslim klasik mencoba menjelaskan persoalan-persoalan itu | dengan | menggunakan analisa-analisa yang rumit yang hanya dipahami o | 54 % |
ya kenabian, hanya saja intensitas kenabian itu berbeda satu | dengan | lainnya. Daya kenabian yang dimiliki Nabi Muhammad merupakan | 58 % |
Al-Qur’an sendiri: “Tidaklah kami utus seorang rasul kecuali | dengan | bahasa kaumnya, agar ia dapat memberi penjelasan dengan tera | 73 % |
uali dengan bahasa kaumnya, agar ia dapat memberi penjelasan | dengan | terang kepada mereka” (Q.S. 14:4). Dengan kata lain, alasan | 74 % |
memberi penjelasan dengan terang kepada mereka” (Q.S. 14:4). | dengan | kata lain, alasan mengapa Al-Qur’an berbahasa Arab karena se | 74 % |
ia digunakan. Kosakata dari bahasa selalu berkembang, sesuai | dengan | perkembangan zaman. Keterbatasan kosakata Al-Qur’an bukanlah | 76 % |
susunan Al-Qur’an yang diturunkan secara kronologis berbeda | dengan | susunan yang kita lihat sekarang. Perubahan susunan ini memi | 85 % |
akan imanensi dan permanensi Al-Qur’an, selain bertentangan | dengan | prinsip tauhid yang paling asasi (yakni hanya Allah yang ima | 93 % |
nnya hanyalah manifestasi dari kalam-Nya), juga bertentangan | dengan | konteks kesejarahan Al-Qur’an sendiri yang dinamis, progresi | 94 % |
mis, progresif, dan manusiawi. Mengkaji sejarah Al-Qur’an | dengan | melihat proses-proses pembentukannya, baik pada masa Nabi da | 95 % |
estasi dari kalamullah, Al-Qur’an memiliki kesamaan-kesamaan | dengan | kitab-kitab suci lainnya (yang juga merupakan manifestasi ka | 98 % |
dalah persolan manusia di dunia yang muncul tiba-tiba karena | desakan | situasi yang dihadapi para sahabat nabi saat itu. Dengan kat | 48 % |
ebagai sebuah satu-kesatuan kitab suci dan sekaligus melihat | detil-detil | peristiwa kesejarahannya yang manusiawi, seperti kita memaha | 40 % |
siawi dari kalamullah. Seperti juga kitab-kitab suci lainnya | di | dunia ini, Al-Qur’an memiliki keterbatasan-keterbatasan pada | 2 % |
batasan-keterbatasan pada lingkup kebahasaan dan kesejarahan | di | mana ia diturunkan. Oleh: Luthfi Assyaukanie Pertama-t | 3 % |
tentang “Merenungkan Sejarah Al-Qur’an” yang dipublikasikan | di | website Jaringan Islam Liberal (JIL). Pada mulanya, artikel | 4 % |
lisan-tulisan itu tampaknya tidak banyak diperhatikan orang. | di | website JIL sendiri, ada tiga artikel Taufik, yang menurut s | 23 % |
hanya orang Islam saja. Sedangkan orang lain, apalagi orang | di | luar Islam, meskipun mereka punya keahlian untuk itu, diangg | 26 % |
emiliki preseden dalam sejarah intelektualisme umat manusia. | di | masa silam, teks-teks suci dianggap sebagai korpus tertutup | 33 % |
itos-mitos ini, juga akan dicap dengan istilah-istilah seram | di | atas. Itulah yang terjadi dengan banyak ulama dan intelektua | 36 % |
u Zayd. Kajian historis terhadap Al-Qur’an membantu kita, | di | antaranya, untuk menjelaskan persoalan-persoalan klasik hubu | 37 % |
dapat membantu kita menjelaskan peran dan fungsi agama-agama | di | dunia ini bagi umat manusia. Saya menganggap kajian Al-Qur’a | 39 % |
ebutkan dalam ayat yas’alunaka itu), adalah persolan manusia | di | dunia yang muncul tiba-tiba karena desakan situasi yang diha | 47 % |
afdh la bi khusus al-sabab (mendahulukan kata-kata yang umum | di | atas sebab-sebab yang khusus). Kaedah-kaedah seperti ini san | 51 % |
ih substansial yang umumnya dihadapi oleh para filsuf Muslim | di | masa klasik dan intelektual Muslim di masa modern, menyangku | 53 % |
leh para filsuf Muslim di masa klasik dan intelektual Muslim | di | masa modern, menyangkut hubungan antara risalah kenabian, ki | 53 % |
kitab suci, posisi Allah, wahyu, dan beragamnya agama-agama | di | dunia. Para filsuf Muslim klasik mencoba menjelaskan pers | 54 % |
umen komunikasi yang terbatas pada budaya, tempat, dan waktu | di | mana ia digunakan. Kosakata dari bahasa selalu berkembang, s | 75 % |
agam dan tidak sempurna, maka terjadilah perbedaan-perbedaan | di | antara kitab-kitab suci itu (dan selanjutnya juga di antara | 80 % |
rbedaan di antara kitab-kitab suci itu (dan selanjutnya juga | di | antara para pemeluk agama). Al-Qur’an sendiri adalah prod | 80 % |
siawi dari kalamullah. Seperti juga kitab-kitab suci lainnya | di | dunia ini, Al-Qur’an memiliki keterbatasan-keterbatasan pada | 97 % |
batasan-keterbatasan pada lingkup kebahasaan dan kesejarahan | di | mana ia diturunkan. Namun demikian, sebagai sebuah manifesta | 97 % |
iskan sejarah Al-Qur’an. Namun, hanya karena tulisan-tulisan | dia | sarat dengan nama-nama seperti Jeffrey, Wansborough, dan sem | 22 % |
oleh diganggu-gugat. Siapa saja yang mencoba mengkritisinya, | dia | akan dianggap “murtad,” “kafir,” “zindiq,” atau istilah-isti | 34 % |
ang dimiliki Nabi Muhammad merupakan yang terbesar, sehingga | dia | mampu mengaktualisasikan wahyu Tuhan dari potensi (bil quwwa | 58 % |
oba “membaca” Al-Qur’an dengan perspektif lain, seperti yang | dialami | oleh Arkoun, Syahrour, dan Abu Zayd. Kajian historis terh | 37 % |
ang di luar Islam, meskipun mereka punya keahlian untuk itu, | dianggap | tak layak, dan bahkan kalau perlu dianggap “najis” yang haru | 27 % |
ahlian untuk itu, dianggap tak layak, dan bahkan kalau perlu | dianggap | “najis” yang harus dicampakkan. Padahal Sayyidina Ali jauh-j | 27 % |
intelektualisme umat manusia. Di masa silam, teks-teks suci | dianggap | sebagai korpus tertutup yang sudah selesai dan tak boleh dig | 33 % |
nggu-gugat. Siapa saja yang mencoba mengkritisinya, dia akan | dianggap | “murtad,” “kafir,” “zindiq,” atau istilah-istilah lain yang | 34 % |
kspresikan dalam bahasa Arab. Puisi-puisi dan literatur yang | dianggap | “menyimpang” dari Islam juga ditulis dalam bahasa Arab. P | 63 % |
itu bernama “Islam.” Sebagai sebuah risalah, Islam, seperti | diberitakan | Al-Qur’an, bukanlah agama yang baru, dan Muhammad bukanlah s | 71 % |
saya dapatkan, sehingga saya bisa merujuk setiap klaim yang | dibuat | oleh para sarjana Al-Qur’an dari Barat itu. Saya pikir, p | 12 % |
ah menghilangkan surah al-Ahzab dan karenanya Al-Qur’an yang | dibuat | Uthman menjadi lebih ramping dari Mushaf yang dimilikinya. | 92 % |
ip nama-nama orientalis itu, paling-paling artikel saya akan | dicampakkan | begitu saja. Agaknya, ini yang pernah terjadi dengan rekan s | 20 % |
19, dll). Siapa saja yang menolak mitos-mitos ini, juga akan | dicap | dengan istilah-istilah seram di atas. Itulah yang terjadi de | 36 % |
h sesuatu --meminjam istilah para pemikir Muktazilah-- “yang | diciptakan” | (makhluq) dalam kebaharuan (muhdath), dan karenanya, ia tida | 68 % |
am. Tapi, saya meyakini, tidak semua mereka seburuk apa yang | dicurigai | kaum Muslim. Dunia sekarang ini sudah sangat terbuka dan tan | 15 % |
-puisi jahiliah yang banyak mengumbar syhawat dan pornografi | diekspresikan | dalam bahasa Arab. Puisi-puisi dan literatur yang dianggap “ | 63 % |
. Pada gilirannya, kerja keras dan temuan-temuan mereka bisa | digunakan | untuk menjelaskan apa yang selama ini menjadi concern ulama | 31 % |
a-tiba karena Al-Qur’an. Bahasa ini telah ada sejak lama dan | digunakan | oleh masyarakat Arabia sebagai alat komunikasi dalam interak | 61 % |
baca (tasykil) yang dilakukan sepanjang sejarah Islam hingga | digunakannya | mesin cetak pada masa modern. Seperti kita ketahui, susun | 84 % |
a di dunia yang muncul tiba-tiba karena desakan situasi yang | dihadapi | para sahabat nabi saat itu. Dengan kata lain, jika tidak ada | 48 % |
ikan persoalan-persoalan yang lebih substansial yang umumnya | dihadapi | oleh para filsuf Muslim di masa klasik dan intelektual Musli | 52 % |
eternal. Kalamullah yang abadi dan eternal inilah yang terus | dijaga | oleh Allah, seperti dijanjikan dalam salah satu ayatnya (Inn | 66 % |
mahidh, dan seterusnya), adalah refleksi dari kehidupan yang | dijalani | Nabi dan para sahabatnya. Kasus-kasus seperti minuman keras | 46 % |
adi dan eternal inilah yang terus dijaga oleh Allah, seperti | dijanjikan | dalam salah satu ayatnya (Inna nahnu nazzalna al-dhikra wa i | 67 % |
i akan absen dari Al-Qur’an. Fenomena lokal-temporal yang | dijumpai | dalam ayat-ayat Al-Qur’an telah lama menjadi kajian para ula | 49 % |
informasi bisa diperoleh semua orang dengan mudah. Apa yang | dikatakan | oleh para orientalis itu bisa kita rujuk dan buktikan ke sum | 16 % |
dak abadi. Upaya koleksi, modifikasi, dan unifikasi, yang | dilakukan | baik oleh para sahabat maupun orang-orang yang sesudahnya ad | 69 % |
ri kalamullah yang eternal dan universal. Karena manifestasi | dilakukan | dalam bahasa manusia yang beragam dan tidak sempurna, maka t | 79 % |
bacaan seperti kita kenal sekarang (tartib al-tilawah). Ini | dilakukan | pada masa Nabi dan dilengkapi pada masa Uthman bin Affan. Ta | 83 % |
Tahap selanjutnya adalah pemberian tanda baca (tasykil) yang | dilakukan | sepanjang sejarah Islam hingga digunakannya mesin cetak pada | 84 % |
karang (tartib al-tilawah). Ini dilakukan pada masa Nabi dan | dilengkapi | pada masa Uthman bin Affan. Tahap selanjutnya adalah pemberi | 83 % |
n. Bagi saya, kajian para orientalis telah membuka banyak | dimensi | tak terpikirkan dari sejarah Al-Qur’an selama ini. Pada gili | 30 % |
a tak bisa dipahami dengan baik jika kita hanya melihat satu | dimensi | saja dan mengabaikan dimensi lainnya. Menurut saya, dimensi | 43 % |
ik jika kita hanya melihat satu dimensi saja dan mengabaikan | dimensi | lainnya. Menurut saya, dimensi historis Al-Qur’an adalah mod | 43 % |
dimensi saja dan mengabaikan dimensi lainnya. Menurut saya, | dimensi | historis Al-Qur’an adalah modal penting bagi kita memahami f | 43 % |
kenabian itu berbeda satu dengan lainnya. Daya kenabian yang | dimiliki | Nabi Muhammad merupakan yang terbesar, sehingga dia mampu me | 58 % |
ng kadang sangat bersifat lokal dan temporal. Ayat-ayat yang | dimulai | dengan pertanyaan-pertanyaan para sahabat Nabi, misalnya (ya | 45 % |
semesta. Menurut para astrofisikawan, alam semesta tak bisa | dipahami | kecuali kita menggabungkan dua teori utama: (i) yang berkait | 41 % |
singularity, dan string. Begitu juga Al-Qur’an, ia tak bisa | dipahami | dengan baik jika kita hanya melihat satu dimensi saja dan me | 42 % |
itu dengan menggunakan analisa-analisa yang rumit yang hanya | dipahami | oleh kalangan tertentu, khususnya mereka yang mempelajari di | 55 % |
, dan semacamnya, tulisan-tulisan itu tampaknya tidak banyak | diperhatikan | orang. Di website JIL sendiri, ada tiga artikel Taufik, yang | 23 % |
sadar bahwa sebagian dari mereka, seperti dengan baik telah | diperlihatkan | oleh para kritikus orientalis semacam A.L. Tibawi dan Edward | 14 % |
sangat terbuka dan tanpa batas. Akses kepada informasi bisa | diperoleh | semua orang dengan mudah. Apa yang dikatakan oleh para orien | 16 % |
ap artikel saya tentang “Merenungkan Sejarah Al-Qur’an” yang | dipublikasikan | di website Jaringan Islam Liberal (JIL). Pada mulanya, artik | 4 % |
ibril” hanyalah salah satu daya (quwwah) saja yang ada dalam | diri | manusia. Setiap manusia, secara potensial (bil quwwah), memi | 57 % |
l ini lumrah belaka, karena pesan-pesan Allah yang universal | disampaikan | dalam bentuk bahasa manusia, yakni bahasa Arab, yang tunduk | 60 % |
satu-satunya pembawa risalah. Sebelumnya, risalah itu telah | disampaikan | kepada Ibrahim, Musa, dan Isa (Q.S. 42:13). Al-Qur’an menggu | 72 % |
aya pikir, para sarjana Al-Qur’an dari Barat atau yang biasa | disebut | dengan nada permusuhan sebagai “orientalis” itu telah banyak | 13 % |
uk menulis artikel singkat itu, saya merujuk semua buku yang | disebut | para orientalis, khususnya kitab al-masahif karya Ibn Abi Da | 18 % |
psikologis (al-nafsiyyah). Agen penyampai wahyu yang umumnya | disebut | “Jibril” hanyalah salah satu daya (quwwah) saja yang ada dal | 56 % |
tas. Teks-teks yang tertulis dalam bahasa Arab yang kemudian | disebut | “Al-Qur’an” adalah artikulasi manusia terhadap kalamullah ya | 66 % |
i kalamullah). Aspek kesamaan inilah (dalam bahasa Al-Qur’an | disebut | “kalimatun sawaa”) yang harus selalu ditekankan oleh kaum Mu | 99 % |
tnya. Kasus-kasus seperti minuman keras dan menstruasi (yang | disebutkan | dalam ayat yas’alunaka itu), adalah persolan manusia di duni | 47 % |
Bagaimanapun, kritik teks (khususnya teks-teks suci) adalah | disiplin | baru yang tak memiliki preseden dalam sejarah intelektualism | 32 % |
mi oleh kalangan tertentu, khususnya mereka yang mempelajari | disiplin | filsafat. Al-Farabi misalnya menjelaskan proses turunnya wah | 55 % |
jadikan Al-Qur’an sebagai sebuah bacaan “magis” (karena yang | ditekankan | bukan makna kronologisnya, tapi struktur kebahasaannya). Dam | 87 % |
ahasa Al-Qur’an disebut “kalimatun sawaa”) yang harus selalu | ditekankan | oleh kaum Muslim secara khusus dan seluruh umat beragama sec | 99 % |
rapa buku Nasr Hamed Abu Zayd dan juga beberapa artikel yang | ditulis | oleh sarjana Al-Qur’an dari Barat. Saya selalu terobsesi unt | 7 % |
isi dan literatur yang dianggap “menyimpang” dari Islam juga | ditulis | dalam bahasa Arab. Persoalan utama Al-Qur’an, menurut say | 64 % |
lasan mengapa Al-Qur’an berbahasa Arab karena semata-mata ia | diturunkan | kepada orang-orang Arab. Tidak lebih dan tidak kurang. Ba | 74 % |
karang. Tahap pertama adalah tahap pengaturan ayat-ayat yang | diturunkan | secara kronologis (tartib al-nuzul) menjadi urutan bacaan se | 82 % |
masa modern. Seperti kita ketahui, susunan Al-Qur’an yang | diturunkan | secara kronologis berbeda dengan susunan yang kita lihat sek | 85 % |
ancurkan konteks peristiwa dan kesejarahan setiap wahyu yang | diturunkan; | dan kedua, ia menjadikan Al-Qur’an sebagai sebuah bacaan “ma | 86 % |
n, alam semesta tak bisa dipahami kecuali kita menggabungkan | dua | teori utama: (i) yang berkaitan dengan hal-hal maha-besar se | 41 % |
alamullah) yang universal dan eternal. Dalam sejarahnya, ada | dua | tahap pemanusiaan kalamullah itu hingga menjadi bentuknya ya | 81 % |
nan yang kita lihat sekarang. Perubahan susunan ini memiliki | dua | dampak yang cukup penting: pertama, ia menghancurkan konteks | 85 % |
wi dari kalamullah. Seperti juga kitab-kitab suci lainnya di | dunia | ini, Al-Qur’an memiliki keterbatasan-keterbatasan pada lingk | 2 % |
ekerja untuk kepentingan proyek kolonialisme dan penaklukkan | dunia | Islam. Tapi, saya meyakini, tidak semua mereka seburuk apa y | 15 % |
, tidak semua mereka seburuk apa yang dicurigai kaum Muslim. | dunia | sekarang ini sudah sangat terbuka dan tanpa batas. Akses kep | 16 % |
at membantu kita menjelaskan peran dan fungsi agama-agama di | dunia | ini bagi umat manusia. Saya menganggap kajian Al-Qur’an deng | 39 % |
tkan dalam ayat yas’alunaka itu), adalah persolan manusia di | dunia | yang muncul tiba-tiba karena desakan situasi yang dihadapi p | 47 % |
wi dari kalamullah. Seperti juga kitab-kitab suci lainnya di | dunia | ini, Al-Qur’an memiliki keterbatasan-keterbatasan pada lingk | 97 % |
hatkan oleh para kritikus orientalis semacam A.L. Tibawi dan | edward | Said, adalah para sarjana yang bekerja untuk kepentingan pro | 14 % |
n dengan hal-hal maha-besar seperti big bang, gravitasi, dan | ekspansi; | dan (ii) hal-hal maha-kecil seperti quantum, singularity, da | 42 % |
kalamullah yang abadi dan eternal. Kalamullah yang abadi dan | eternal | inilah yang terus dijaga oleh Allah, seperti dijanjikan dala | 66 % |
makhluq) dalam kebaharuan (muhdath), dan karenanya, ia tidak | eternal | dan tidak abadi. Upaya koleksi, modifikasi, dan unifikasi | 68 % |
il, Zabur, Al-Qur’an adalah manifestasi dari kalamullah yang | eternal | dan universal. Karena manifestasi dilakukan dalam bahasa man | 79 % |
yat tentang khamar dan menstruasi akan absen dari Al-Qur’an. | fenomena | lokal-temporal yang dijumpai dalam ayat-ayat Al-Qur’an telah | 49 % |
Dalam proses aktualisasi wahyu dari bil quwwah menjadi bil | fi’il | ada sejumlah proses reduksi. Hal ini lumrah belaka, karena p | 59 % |
oalan yang lebih substansial yang umumnya dihadapi oleh para | filsuf | Muslim di masa klasik dan intelektual Muslim di masa modern, | 52 % |
i Allah, wahyu, dan beragamnya agama-agama di dunia. Para | filsuf | Muslim klasik mencoba menjelaskan persoalan-persoalan itu de | 54 % |
, masalah ini juga dapat membantu kita menjelaskan peran dan | fungsi | agama-agama di dunia ini bagi umat manusia. Saya menganggap | 39 % |
i historis Al-Qur’an adalah modal penting bagi kita memahami | fungsi | dan peran Al-Qur’an yang sesungguhnya. Dari kajian sejara | 43 % |
iki al-Fatihah, dan al-Suyuthi bebas-bebas saja meriwayatkan | hadith | ‘Aisyah bahwa Mushaf Uthmani telah menghilangkan surah al-Ah | 92 % |
ri bil quwwah menjadi bil fi’il ada sejumlah proses reduksi. | hal | ini lumrah belaka, karena pesan-pesan Allah yang universal d | 59 % |
ita menggabungkan dua teori utama: (i) yang berkaitan dengan | hal-hal | maha-besar seperti big bang, gravitasi, dan ekspansi; dan (i | 41 % |
ha-besar seperti big bang, gravitasi, dan ekspansi; dan (ii) | hal-hal | maha-kecil seperti quantum, singularity, dan string. Begitu | 42 % |
agamaan saya. Secara khusus, saya membaca beberapa buku Nasr | hamed | Abu Zayd dan juga beberapa artikel yang ditulis oleh sarjana | 6 % |
nulisan dan penertiban ayat-ayat Al-Qur’an tetap menjadi isu | hangat | yang terus diperdebatkan. Tidak ada yang tabu bagi ulama Isl | 90 % |
karya apologetis. Saya pikir, rasanya kurang adil kalau saya | hanya | mensuplay ke dalam memori pikiran saya pengetahuan apologeti | 8 % |
oduktif dari saya dalam menuliskan sejarah Al-Qur’an. Namun, | hanya | karena tulisan-tulisan dia sarat dengan nama-nama seperti Je | 22 % |
u itu milik umat Islam saja, dan yang boleh meneliti sesuatu | hanya | orang Islam saja. Sedangkan orang lain, apalagi orang di lua | 26 % |
u juga Al-Qur’an, ia tak bisa dipahami dengan baik jika kita | hanya | melihat satu dimensi saja dan mengabaikan dimensi lainnya. M | 42 % |
oalan itu dengan menggunakan analisa-analisa yang rumit yang | hanya | dipahami oleh kalangan tertentu, khususnya mereka yang mempe | 54 % |
usia, secara potensial (bil quwwah), memiliki daya kenabian, | hanya | saja intensitas kenabian itu berbeda satu dengan lainnya. Da | 57 % |
bertentangan dengan prinsip tauhid yang paling asasi (yakni | hanya | Allah yang imanen dan permanen, adapun yang lainnya hanyalah | 94 % |
fsiyyah). Agen penyampai wahyu yang umumnya disebut “Jibril” | hanyalah | salah satu daya (quwwah) saja yang ada dalam diri manusia. S | 56 % |
ni hanya Allah yang imanen dan permanen, adapun yang lainnya | hanyalah | manifestasi dari kalam-Nya), juga bertentangan dengan kontek | 94 % |
jis” yang harus dicampakkan. Padahal Sayyidina Ali jauh-jauh | hari | sudah mengingatkan kita: Undzur ma qaala wa la tandhur man q | 27 % |
apa yang berkata). Para ulama mantiq (ahli logika) jauh-jauh | hari | juga sudah mengingakan agar kita jangan mudah terjatuh pada | 29 % |
ggap tak layak, dan bahkan kalau perlu dianggap “najis” yang | harus | dicampakkan. Padahal Sayyidina Ali jauh-jauh hari sudah meng | 27 % |
ilah (dalam bahasa Al-Qur’an disebut “kalimatun sawaa”) yang | harus | selalu ditekankan oleh kaum Muslim secara khusus dan seluruh | 99 % |
. Dalam sejarahnya, ada dua tahap pemanusiaan kalamullah itu | hingga | menjadi bentuknya yang kita lihat sekarang. Tahap pertama ad | 81 % |
tanda baca (tasykil) yang dilakukan sepanjang sejarah Islam | hingga | digunakannya mesin cetak pada masa modern. Seperti kita k | 84 % |
a yang ringkas itu, saya telah berusaha memperlihatkan bahwa | hingga | abad ke-4 (masa Ibn Nadiem dan Ibn Abi Daud) dan bahkan hing | 89 % |
ngga abad ke-4 (masa Ibn Nadiem dan Ibn Abi Daud) dan bahkan | hingga | abad ke-10 (masa Jalaluddin al-Suyuthi), persoalan penulisan | 89 % |
yang dialami oleh Arkoun, Syahrour, dan Abu Zayd. Kajian | historis | terhadap Al-Qur’an membantu kita, di antaranya, untuk menjel | 37 % |
saja dan mengabaikan dimensi lainnya. Menurut saya, dimensi | historis | Al-Qur’an adalah modal penting bagi kita memahami fungsi dan | 43 % |
, di antaranya, untuk menjelaskan persoalan-persoalan klasik | hubungan | antara wahyu, kitab suci, dan risalah kenabian, secara umum. | 38 % |
asa klasik dan intelektual Muslim di masa modern, menyangkut | hubungan | antara risalah kenabian, kitab suci, posisi Allah, wahyu, da | 53 % |
eluruh umat beragama secara umum. Imani billahi akbar wa | huwa | khayrul musta’an. | 100 % |
b suci, mitos-mitos pun diciptakan, misalnya seperti masalah | i’jazul | Qur’an (e.g. angka 19, dll). Siapa saja yang menolak mitos-m | 35 % |
keterbatasan pada lingkup kebahasaan dan kesejarahan di mana | ia | diturunkan. Oleh: Luthfi Assyaukanie Pertama-tama, say | 3 % |
rti quantum, singularity, dan string. Begitu juga Al-Qur’an, | ia | tak bisa dipahami dengan baik jika kita hanya melihat satu d | 42 % |
ptakan” (makhluq) dalam kebaharuan (muhdath), dan karenanya, | ia | tidak eternal dan tidak abadi. Upaya koleksi, modifikasi, | 68 % |
kami utus seorang rasul kecuali dengan bahasa kaumnya, agar | ia | dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka” (Q.S. | 73 % |
, alasan mengapa Al-Qur’an berbahasa Arab karena semata-mata | ia | diturunkan kepada orang-orang Arab. Tidak lebih dan tidak ku | 74 % |
unikasi yang terbatas pada budaya, tempat, dan waktu di mana | ia | digunakan. Kosakata dari bahasa selalu berkembang, sesuai de | 76 % |
susunan ini memiliki dua dampak yang cukup penting: pertama, | ia | menghancurkan konteks peristiwa dan kesejarahan setiap wahyu | 86 % |
iwa dan kesejarahan setiap wahyu yang diturunkan; dan kedua, | ia | menjadikan Al-Qur’an sebagai sebuah bacaan “magis” (karena y | 86 % |
keterbatasan pada lingkup kebahasaan dan kesejarahan di mana | ia | diturunkan. Namun demikian, sebagai sebuah manifestasi dari | 97 % |
ng disebut para orientalis, khususnya kitab al-masahif karya | ibn | Abi Daud, al-Fihrist karya Ibn Nadiem, dan al-Itqan karya al | 18 % |
susnya kitab al-masahif karya Ibn Abi Daud, al-Fihrist karya | ibn | Nadiem, dan al-Itqan karya al-Suyuthi. Dalam artikel itu, se | 18 % |
a telah berusaha memperlihatkan bahwa hingga abad ke-4 (masa | ibn | Nadiem dan Ibn Abi Daud) dan bahkan hingga abad ke-10 (masa | 89 % |
a memperlihatkan bahwa hingga abad ke-4 (masa Ibn Nadiem dan | ibn | Abi Daud) dan bahkan hingga abad ke-10 (masa Jalaluddin al-S | 89 % |
ma Islam kala itu untuk mendiskusikan kesejarahan Al-Qur’an. | ibn | Nadiem bebas-bebas saja membuat pernyataan bahwa Mushafnya I | 91 % |
n Nadiem bebas-bebas saja membuat pernyataan bahwa Mushafnya | ibn | Abbas tidak memiliki al-Fatihah, dan al-Suyuthi bebas-bebas | 91 % |
an penafsiran semata, tapi memahaminya sebagai sebuah produk | ilahiah | (al-intaj al-ilahy) yang berada dalam ruang sejarah manusia | 65 % |
ya sedih jika ada yang berkomentar seperti ini. Seolah-olah, | ilmu | itu milik umat Islam saja, dan yang boleh meneliti sesuatu h | 25 % |
ayat-ayat Al-Qur’an telah lama menjadi kajian para ulama dan | ilmuwan | Muslim. Dalam ‘Ulum al-Qur’an dan juga Ushul al-Fiqh, mereka | 50 % |
gan prinsip tauhid yang paling asasi (yakni hanya Allah yang | imanen | dan permanen, adapun yang lainnya hanyalah manifestasi dari | 94 % |
ri Mushaf yang dimilikinya. Menurut saya, keyakinan akan | imanensi | dan permanensi Al-Qur’an, selain bertentangan dengan prinsip | 93 % |
Muslim secara khusus dan seluruh umat beragama secara umum. | imani | billahi akbar wa huwa khayrul musta’an. | 100 % |
arang ini sudah sangat terbuka dan tanpa batas. Akses kepada | informasi | bisa diperoleh semua orang dengan mudah. Apa yang dikatakan | 16 % |
iturunkan. Oleh: Luthfi Assyaukanie Pertama-tama, saya | ingin | mengucapkan terimakasih kepada siapa saja yang telah memberi | 3 % |
ngkritik dan pengecam artikel saya berusaha dengan tak sabar | ingin | mendengar pengakuan dari saya bahwa saya merujuk kepada orie | 24 % |
ini, sebagai “balance” (penyeimbang) dari bacaan saya selama | ini | yang terlalu banyak dengan karya-karya apologetis. Saya piki | 8 % |
ereka seburuk apa yang dicurigai kaum Muslim. Dunia sekarang | ini | sudah sangat terbuka dan tanpa batas. Akses kepada informasi | 16 % |
bisa kita rujuk dan buktikan ke sumber-sumber aselinya. Dan | ini | yang saya coba lakukan dalam menulis artikel itu. Untuk m | 17 % |
g-paling artikel saya akan dicampakkan begitu saja. Agaknya, | ini | yang pernah terjadi dengan rekan saya, Taufik Adnan Amal, ya | 21 % |
muan mereka bisa digunakan untuk menjelaskan apa yang selama | ini | menjadi concern ulama dan intelektual Muslim. Bagaimanapun, | 32 % |
uci, dan risalah kenabian, secara umum. Selanjutnya, masalah | ini | juga dapat membantu kita menjelaskan peran dan fungsi agama- | 38 % |
bantu kita menjelaskan peran dan fungsi agama-agama di dunia | ini | bagi umat manusia. Saya menganggap kajian Al-Qur’an dengan m | 39 % |
arah pembentukan Al-Qur’an, kita mengetahui bahwa kitab suci | ini | berkembang dengan sangat dinamis, berinteraksi dengan kehidu | 44 % |
umum di atas sebab-sebab yang khusus). Kaedah-kaedah seperti | ini | sangat membantu dalam menafsirkan Al-Qur’an, tapi tidak memb | 51 % |
il quwwah menjadi bil fi’il ada sejumlah proses reduksi. Hal | ini | lumrah belaka, karena pesan-pesan Allah yang universal disam | 59 % |
h bahasa baru yang muncul tiba-tiba karena Al-Qur’an. Bahasa | ini | telah ada sejak lama dan digunakan oleh masyarakat Arabia se | 61 % |
utan bacaan seperti kita kenal sekarang (tartib al-tilawah). | ini | dilakukan pada masa Nabi dan dilengkapi pada masa Uthman bin | 83 % |
a dengan susunan yang kita lihat sekarang. Perubahan susunan | ini | memiliki dua dampak yang cukup penting: pertama, ia menghanc | 85 % |
logisnya, tapi struktur kebahasaannya). Dampak yang terakhir | ini | kemudian mendorong sebagian ulama untuk membesar-besarkan ap | 87 % |
ay ke dalam memori pikiran saya pengetahuan apologetis saja. | inilah | latar belakang mengapa artikel itu saya tulis. Semula saya r | 9 % |
ah yang abadi dan eternal. Kalamullah yang abadi dan eternal | inilah | yang terus dijaga oleh Allah, seperti dijanjikan dalam salah | 66 % |
(yang juga merupakan manifestasi kalamullah). Aspek kesamaan | inilah | (dalam bahasa Al-Qur’an disebut “kalimatun sawaa”) yang haru | 99 % |
n dalam salah satu ayatnya (Inna nahnu nazzalna al-dhikra wa | inna | lahu lahafidhun Q.S. 15:9). Adapun Al-Qur’an, pada dasarnya | 67 % |
Arab. Tidak lebih dan tidak kurang. Bahasa manusia adalah | instrumen | komunikasi yang terbatas pada budaya, tempat, dan waktu di m | 75 % |
uk menjelaskan apa yang selama ini menjadi concern ulama dan | intelektual | Muslim. Bagaimanapun, kritik teks (khususnya teks-teks suci) | 32 % |
h seram di atas. Itulah yang terjadi dengan banyak ulama dan | intelektual | Muslim yang mencoba “membaca” Al-Qur’an dengan perspektif la | 36 % |
umumnya dihadapi oleh para filsuf Muslim di masa klasik dan | intelektual | Muslim di masa modern, menyangkut hubungan antara risalah ke | 53 % |
dalah disiplin baru yang tak memiliki preseden dalam sejarah | intelektualisme | umat manusia. Di masa silam, teks-teks suci dianggap sebagai | 33 % |
ya sendiri yang menurut saya lebih berkesan dan mempengaruhi | intensitas | keberagamaan saya. Secara khusus, saya membaca beberapa buku | 6 % |
a potensial (bil quwwah), memiliki daya kenabian, hanya saja | intensitas | kenabian itu berbeda satu dengan lainnya. Daya kenabian yang | 57 % |
gunakan oleh masyarakat Arabia sebagai alat komunikasi dalam | interaksi | sosial, bisnis, puisi, literatur, graffitti, kecaman, dan ju | 62 % |
nya, risalah itu telah disampaikan kepada Ibrahim, Musa, dan | isa | (Q.S. 42:13). Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab. Tidak ada y | 72 % |
n Sejarah Al-Qur’an” yang dipublikasikan di website Jaringan | islam | Liberal (JIL). Pada mulanya, artikel itu adalah bagian dari | 4 % |
ng berkomentar seperti ini. Seolah-olah, ilmu itu milik umat | islam | saja, dan yang boleh meneliti sesuatu hanya orang Islam saja | 26 % |
umat Islam saja, dan yang boleh meneliti sesuatu hanya orang | islam | saja. Sedangkan orang lain, apalagi orang di luar Islam, mes | 26 % |
b. Puisi-puisi dan literatur yang dianggap “menyimpang” dari | islam | juga ditulis dalam bahasa Arab. Persoalan utama Al-Qur’an | 64 % |
berian tanda baca (tasykil) yang dilakukan sepanjang sejarah | islam | hingga digunakannya mesin cetak pada masa modern. Seperti | 84 % |
gat yang terus diperdebatkan. Tidak ada yang tabu bagi ulama | islam | kala itu untuk mendiskusikan kesejarahan Al-Qur’an. Ibn Nadi | 90 % |
). Adapun Al-Qur’an, pada dasarnya adalah sesuatu --meminjam | istilah | para pemikir Muktazilah-- “yang diciptakan” (makhluq) dalam | 68 % |
tisinya, dia akan dianggap “murtad,” “kafir,” “zindiq,” atau | istilah-istilah | lain yang sejenis. Untuk membentengi kesucian dan kemaksuman | 34 % |
pa saja yang menolak mitos-mitos ini, juga akan dicap dengan | istilah-istilah | seram di atas. Itulah yang terjadi dengan banyak ulama dan i | 36 % |
n penulisan dan penertiban ayat-ayat Al-Qur’an tetap menjadi | isu | hangat yang terus diperdebatkan. Tidak ada yang tabu bagi ul | 90 % |
website Jaringan Islam Liberal (JIL). Pada mulanya, artikel | itu | adalah bagian dari refleksi kegiatan spiritual saya selama b | 5 % |
an apologetis saja. Inilah latar belakang mengapa artikel | itu | saya tulis. Semula saya ragu menuliskan apa yang saya baca. | 9 % |
, al-itqan, dan al-burhan. Saya beruntung karena semua kitab | itu | bisa saya dapatkan, sehingga saya bisa merujuk setiap klaim | 11 % |
ng biasa disebut dengan nada permusuhan sebagai “orientalis” | itu | telah banyak berjasa bagi tradisi kesejarahan Al-Qur’an. Say | 13 % |
orang dengan mudah. Apa yang dikatakan oleh para orientalis | itu | bisa kita rujuk dan buktikan ke sumber-sumber aselinya. Dan | 17 % |
eperti Jeffrey, Wansborough, dan semacamnya, tulisan-tulisan | itu | tampaknya tidak banyak diperhatikan orang. Di website JIL se | 22 % |
dih jika ada yang berkomentar seperti ini. Seolah-olah, ilmu | itu | milik umat Islam saja, dan yang boleh meneliti sesuatu hanya | 26 % |
filsuf Muslim klasik mencoba menjelaskan persoalan-persoalan | itu | dengan menggunakan analisa-analisa yang rumit yang hanya dip | 54 % |
wah), memiliki daya kenabian, hanya saja intensitas kenabian | itu | berbeda satu dengan lainnya. Daya kenabian yang dimiliki Nab | 57 % |
Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah (message), dan risalah | itu | bernama “Islam.” Sebagai sebuah risalah, Islam, seperti dibe | 71 % |
d bukanlah satu-satunya pembawa risalah. Sebelumnya, risalah | itu | telah disampaikan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa (Q.S. 42:13) | 72 % |
ka terjadilah perbedaan-perbedaan di antara kitab-kitab suci | itu | (dan selanjutnya juga di antara para pemeluk agama). Al-Q | 80 % |
rnal. Dalam sejarahnya, ada dua tahap pemanusiaan kalamullah | itu | hingga menjadi bentuknya yang kita lihat sekarang. Tahap per | 81 % |
rus diperdebatkan. Tidak ada yang tabu bagi ulama Islam kala | itu | untuk mendiskusikan kesejarahan Al-Qur’an. Ibn Nadiem bebas- | 90 % |
s ini, juga akan dicap dengan istilah-istilah seram di atas. | itulah | yang terjadi dengan banyak ulama dan intelektual Muslim yang | 36 % |
ffitti, kecaman, dan juga obrolan-obrolan porno. Puisi-puisi | jahiliah | yang banyak mengumbar syhawat dan pornografi diekspresikan d | 63 % |
Nadiem dan Ibn Abi Daud) dan bahkan hingga abad ke-10 (masa | jalaluddin | al-Suyuthi), persoalan penulisan dan penertiban ayat-ayat Al | 89 % |
qaala wa la tandhur man qaala (lihat apa yang dikatakan, dan | jangan | lihat siapa yang berkata). Para ulama mantiq (ahli logika) j | 28 % |
ahli logika) jauh-jauh hari juga sudah mengingakan agar kita | jangan | mudah terjatuh pada apa yang mereka sebut sebagai ughluthat | 29 % |
erenungkan Sejarah Al-Qur’an” yang dipublikasikan di website | jaringan | Islam Liberal (JIL). Pada mulanya, artikel itu adalah bagian | 4 % |
anggap “najis” yang harus dicampakkan. Padahal Sayyidina Ali | jauh-jauh | hari sudah mengingatkan kita: Undzur ma qaala wa la tandhur | 27 % |
n lihat siapa yang berkata). Para ulama mantiq (ahli logika) | jauh-jauh | hari juga sudah mengingakan agar kita jangan mudah terjatuh | 28 % |
“tuh kan Luthfi ujung-ujungnya pake orientalis.” Saya sedih | jika | ada yang berkomentar seperti ini. Seolah-olah, ilmu itu mili | 25 % |
ing. Begitu juga Al-Qur’an, ia tak bisa dipahami dengan baik | jika | kita hanya melihat satu dimensi saja dan mengabaikan dimensi | 42 % |
yang dihadapi para sahabat nabi saat itu. Dengan kata lain, | jika | tidak ada situasi yang mendesak tersebut, maka ayat-ayat ten | 48 % |
an itu tampaknya tidak banyak diperhatikan orang. Di website | jil | sendiri, ada tiga artikel Taufik, yang menurut saya, memilik | 23 % |
Qur’an adalah manifestasi manusiawi dari kalamullah. Seperti | juga | kitab-kitab suci lainnya di dunia ini, Al-Qur’an memiliki ke | 2 % |
a khusus, saya membaca beberapa buku Nasr Hamed Abu Zayd dan | juga | beberapa artikel yang ditulis oleh sarjana Al-Qur’an dari Ba | 7 % |
ang berkata). Para ulama mantiq (ahli logika) jauh-jauh hari | juga | sudah mengingakan agar kita jangan mudah terjatuh pada apa y | 29 % |
.g. angka 19, dll). Siapa saja yang menolak mitos-mitos ini, | juga | akan dicap dengan istilah-istilah seram di atas. Itulah yang | 36 % |
dan risalah kenabian, secara umum. Selanjutnya, masalah ini | juga | dapat membantu kita menjelaskan peran dan fungsi agama-agama | 38 % |
maha-kecil seperti quantum, singularity, dan string. Begitu | juga | Al-Qur’an, ia tak bisa dipahami dengan baik jika kita hanya | 42 % |
ian para ulama dan ilmuwan Muslim. Dalam ‘Ulum al-Qur’an dan | juga | Ushul al-Fiqh, mereka menciptakan kaedah-kaedah yang tujuann | 50 % |
si sosial, bisnis, puisi, literatur, graffitti, kecaman, dan | juga | obrolan-obrolan porno. Puisi-puisi jahiliah yang banyak meng | 62 % |
si-puisi dan literatur yang dianggap “menyimpang” dari Islam | juga | ditulis dalam bahasa Arab. Persoalan utama Al-Qur’an, men | 64 % |
h pereduksian kalamullah yang universal dan eternal. Seperti | juga | yang terjadi pada kitab-kitab suci lainnya, seperti Taurat, | 78 % |
an-perbedaan di antara kitab-kitab suci itu (dan selanjutnya | juga | di antara para pemeluk agama). Al-Qur’an sendiri adalah p | 80 % |
n, adapun yang lainnya hanyalah manifestasi dari kalam-Nya), | juga | bertentangan dengan konteks kesejarahan Al-Qur’an sendiri ya | 94 % |
Qur’an adalah manifestasi manusiawi dari kalamullah. Seperti | juga | kitab-kitab suci lainnya di dunia ini, Al-Qur’an memiliki ke | 96 % |
liki kesamaan-kesamaan dengan kitab-kitab suci lainnya (yang | juga | merupakan manifestasi kalamullah). Aspek kesamaan inilah (da | 98 % |
at dinamis, berinteraksi dengan kehidupan umat manusia, yang | kadang | sangat bersifat lokal dan temporal. Ayat-ayat yang dimulai d | 45 % |
m ‘Ulum al-Qur’an dan juga Ushul al-Fiqh, mereka menciptakan | kaedah-kaedah | yang tujuannya meuniversalkan pesan-pesan Al-Qur’an, seperti | 50 % |
ulukan kata-kata yang umum di atas sebab-sebab yang khusus). | kaedah-kaedah | seperti ini sangat membantu dalam menafsirkan Al-Qur’an, tap | 51 % |
pa yang berkata, dan bukan apa yang dikatakan. Bagi saya, | kajian | para orientalis telah membuka banyak dimensi tak terpikirkan | 30 % |
n, seperti yang dialami oleh Arkoun, Syahrour, dan Abu Zayd. | kajian | historis terhadap Al-Qur’an membantu kita, di antaranya, unt | 37 % |
agama-agama di dunia ini bagi umat manusia. Saya menganggap | kajian | Al-Qur’an dengan melihatnya sebagai sebuah satu-kesatuan kit | 39 % |
mahami fungsi dan peran Al-Qur’an yang sesungguhnya. Dari | kajian | sejarah pembentukan Al-Qur’an, kita mengetahui bahwa kitab s | 44 % |
l yang dijumpai dalam ayat-ayat Al-Qur’an telah lama menjadi | kajian | para ulama dan ilmuwan Muslim. Dalam ‘Ulum al-Qur’an dan jug | 49 % |
ng terus diperdebatkan. Tidak ada yang tabu bagi ulama Islam | kala | itu untuk mendiskusikan kesejarahan Al-Qur’an. Ibn Nadiem be | 90 % |
udian disebut “Al-Qur’an” adalah artikulasi manusia terhadap | kalamullah | yang abadi dan eternal. Kalamullah yang abadi dan eternal in | 66 % |
tikulasi manusia terhadap kalamullah yang abadi dan eternal. | kalamullah | yang abadi dan eternal inilah yang terus dijaga oleh Allah, | 66 % |
nkan. Sejarah pembukuan Al-Qur’an adalah sejarah pereduksian | kalamullah | yang universal dan eternal. Seperti juga yang terjadi pada k | 78 % |
erti Taurat, Injil, Zabur, Al-Qur’an adalah manifestasi dari | kalamullah | yang eternal dan universal. Karena manifestasi dilakukan dal | 79 % |
sal dan eternal. Dalam sejarahnya, ada dua tahap pemanusiaan | kalamullah | itu hingga menjadi bentuknya yang kita lihat sekarang. Tahap | 81 % |
ggunakan analisa-analisa yang rumit yang hanya dipahami oleh | kalangan | tertentu, khususnya mereka yang mempelajari disiplin filsafa | 55 % |
ngan karya-karya apologetis. Saya pikir, rasanya kurang adil | kalau | saya hanya mensuplay ke dalam memori pikiran saya pengetahua | 8 % |
ang saya baca. Tapi, rasanya masih terus ada yang mengganjal | kalau | belum ditulis. Ketika menulis artikel itu, saya mendapat pan | 10 % |
prasangka yang luar biasa pada nama-nama mereka. Saya pikir, | kalau | saya kutip nama-nama orientalis itu, paling-paling artikel s | 20 % |
eka punya keahlian untuk itu, dianggap tak layak, dan bahkan | kalau | perlu dianggap “najis” yang harus dicampakkan. Padahal Sayyi | 27 % |
bahasa ini, karena seperti kata Al-Qur’an sendiri: “Tidaklah | kami | utus seorang rasul kecuali dengan bahasa kaumnya, agar ia da | 73 % |
kepada orientalis, agar kemudian mereka bisa berteriak: “tuh | kan | Luthfi ujung-ujungnya pake orientalis.” Saya sedih jika ada | 25 % |
masahif, al-fihrist, al-itqan, dan al-burhan. Saya beruntung | karena | semua kitab itu bisa saya dapatkan, sehingga saya bisa meruj | 11 % |
el itu, sengaja saya tidak menyebut nama orientalis satupun, | karena | saya sadar bahwa kaum Muslim memiliki apriori dan prasangka | 19 % |
f dari saya dalam menuliskan sejarah Al-Qur’an. Namun, hanya | karena | tulisan-tulisan dia sarat dengan nama-nama seperti Jeffrey, | 22 % |
itu), adalah persolan manusia di dunia yang muncul tiba-tiba | karena | desakan situasi yang dihadapi para sahabat nabi saat itu. De | 48 % |
il fi’il ada sejumlah proses reduksi. Hal ini lumrah belaka, | karena | pesan-pesan Allah yang universal disampaikan dalam bentuk ba | 60 % |
taks. Bahasa Arab bukanlah bahasa baru yang muncul tiba-tiba | karena | Al-Qur’an. Bahasa ini telah ada sejak lama dan digunakan ole | 61 % |
enggunakan bahasa Arab. Tidak ada yang unik dari bahasa ini, | karena | seperti kata Al-Qur’an sendiri: “Tidaklah kami utus seorang | 73 % |
). Dengan kata lain, alasan mengapa Al-Qur’an berbahasa Arab | karena | semata-mata ia diturunkan kepada orang-orang Arab. Tidak leb | 74 % |
alah manifestasi dari kalamullah yang eternal dan universal. | karena | manifestasi dilakukan dalam bahasa manusia yang beragam dan | 79 % |
bahwa Mushaf Uthmani telah menghilangkan surah al-Ahzab dan | karenanya | Al-Qur’an yang dibuat Uthman menjadi lebih ramping dari Mush | 92 % |
uku yang disebut para orientalis, khususnya kitab al-masahif | karya | Ibn Abi Daud, al-Fihrist karya Ibn Nadiem, dan al-Itqan kary | 18 % |
s, khususnya kitab al-masahif karya Ibn Abi Daud, al-Fihrist | karya | Ibn Nadiem, dan al-Itqan karya al-Suyuthi. Dalam artikel itu | 18 % |
arya Ibn Abi Daud, al-Fihrist karya Ibn Nadiem, dan al-Itqan | karya | al-Suyuthi. Dalam artikel itu, sengaja saya tidak menyebut n | 19 % |
na Al-Qur’an dari Barat. Saya selalu terobsesi untuk membaca | karya-karya | semacam ini, sebagai “balance” (penyeimbang) dari bacaan say | 7 % |
bang) dari bacaan saya selama ini yang terlalu banyak dengan | karya-karya | apologetis. Saya pikir, rasanya kurang adil kalau saya hanya | 8 % |
ulis. Ketika menulis artikel itu, saya mendapat panduan dari | karya-karya | sarjana Al-Qur’an dari Barat untuk membuka kitab-kitab klasi | 10 % |
leksi dari kehidupan yang dijalani Nabi dan para sahabatnya. | kasus-kasus | seperti minuman keras dan menstruasi (yang disebutkan dalam | 47 % |
kan situasi yang dihadapi para sahabat nabi saat itu. Dengan | kata | lain, jika tidak ada situasi yang mendesak tersebut, maka ay | 48 % |
sa Arab. Tidak ada yang unik dari bahasa ini, karena seperti | kata | Al-Qur’an sendiri: “Tidaklah kami utus seorang rasul kecuali | 73 % |
penjelasan dengan terang kepada mereka” (Q.S. 14:4). Dengan | kata | lain, alasan mengapa Al-Qur’an berbahasa Arab karena semata- | 74 % |
’ibrah bi ‘umum al-lafdh la bi khusus al-sabab (mendahulukan | kata-kata | yang umum di atas sebab-sebab yang khusus). Kaedah-kaedah se | 51 % |
saya meyakini, tidak semua mereka seburuk apa yang dicurigai | kaum | Muslim. Dunia sekarang ini sudah sangat terbuka dan tanpa ba | 15 % |
ak menyebut nama orientalis satupun, karena saya sadar bahwa | kaum | Muslim memiliki apriori dan prasangka yang luar biasa pada n | 19 % |
disebut “kalimatun sawaa”) yang harus selalu ditekankan oleh | kaum | Muslim secara khusus dan seluruh umat beragama secara umum. Imani billahi akbar wa huwa khayrul musta’an. | 99 % |
. Saya pikir, rasanya kurang adil kalau saya hanya mensuplay | ke | dalam memori pikiran saya pengetahuan apologetis saja. In | 8 % |
atakan oleh para orientalis itu bisa kita rujuk dan buktikan | ke | sumber-sumber aselinya. Dan ini yang saya coba lakukan dalam | 17 % |
-4 (masa Ibn Nadiem dan Ibn Abi Daud) dan bahkan hingga abad | ke-10 | (masa Jalaluddin al-Suyuthi), persoalan penulisan dan penert | 89 % |
as itu, saya telah berusaha memperlihatkan bahwa hingga abad | ke-4 | (masa Ibn Nadiem dan Ibn Abi Daud) dan bahkan hingga abad ke | 89 % |
ang lain, apalagi orang di luar Islam, meskipun mereka punya | keahlian | untuk itu, dianggap tak layak, dan bahkan kalau perlu diangg | 27 % |
para pemikir Muktazilah-- “yang diciptakan” (makhluq) dalam | kebaharuan | (muhdath), dan karenanya, ia tidak eternal dan tidak abadi. | 68 % |
i, Al-Qur’an memiliki keterbatasan-keterbatasan pada lingkup | kebahasaan | dan kesejarahan di mana ia diturunkan. Oleh: Luthfi Assya | 2 % |
i, Al-Qur’an memiliki keterbatasan-keterbatasan pada lingkup | kebahasaan | dan kesejarahan di mana ia diturunkan. Namun demikian, sebag | 97 % |
yang menurut saya lebih berkesan dan mempengaruhi intensitas | keberagamaan | saya. Secara khusus, saya membaca beberapa buku Nasr Hamed A | 6 % |
Menurut para astrofisikawan, alam semesta tak bisa dipahami | kecuali | kita menggabungkan dua teori utama: (i) yang berkaitan denga | 41 % |
ti kata Al-Qur’an sendiri: “Tidaklah kami utus seorang rasul | kecuali | dengan bahasa kaumnya, agar ia dapat memberi penjelasan deng | 73 % |
(JIL). Pada mulanya, artikel itu adalah bagian dari refleksi | kegiatan | spiritual saya selama bulan Ramadhan. Pada bulan itu, saya m | 5 % |
ci ini berkembang dengan sangat dinamis, berinteraksi dengan | kehidupan | umat manusia, yang kadang sangat bersifat lokal dan temporal | 45 % |
ahillah, anil mahidh, dan seterusnya), adalah refleksi dari | kehidupan | yang dijalani Nabi dan para sahabatnya. Kasus-kasus seperti | 46 % |
ah-istilah lain yang sejenis. Untuk membentengi kesucian dan | kemaksuman | kitab suci, mitos-mitos pun diciptakan, misalnya seperti mas | 35 % |
ngakuan dari saya bahwa saya merujuk kepada orientalis, agar | kemudian | mereka bisa berteriak: “tuh kan Luthfi ujung-ujungnya pake o | 25 % |
dan terbatas. Teks-teks yang tertulis dalam bahasa Arab yang | kemudian | disebut “Al-Qur’an” adalah artikulasi manusia terhadap kalam | 66 % |
snya, tapi struktur kebahasaannya). Dampak yang terakhir ini | kemudian | mendorong sebagian ulama untuk membesar-besarkan apa yang me | 87 % |
(bil quwwah), memiliki daya kenabian, hanya saja intensitas | kenabian | itu berbeda satu dengan lainnya. Daya kenabian yang dimiliki | 57 % |
ja intensitas kenabian itu berbeda satu dengan lainnya. Daya | kenabian | yang dimiliki Nabi Muhammad merupakan yang terbesar, sehingg | 58 % |
nologis (tartib al-nuzul) menjadi urutan bacaan seperti kita | kenal | sekarang (tartib al-tilawah). Ini dilakukan pada masa Nabi d | 83 % |
aktualisasikan wahyu Tuhan dari potensi (bil quwwah) menjadi | kenyataan | (bil fi’il). Dalam proses aktualisasi wahyu dari bil quww | 59 % |
yaukanie Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terimakasih | kepada | siapa saja yang telah memberikan komentar dan kritik terhada | 3 % |
nia sekarang ini sudah sangat terbuka dan tanpa batas. Akses | kepada | informasi bisa diperoleh semua orang dengan mudah. Apa yang | 16 % |
sabar ingin mendengar pengakuan dari saya bahwa saya merujuk | kepada | orientalis, agar kemudian mereka bisa berteriak: “tuh kan Lu | 24 % |
. Al-Farabi misalnya menjelaskan proses turunnya wahyu Allah | kepada | Nabi Muhammad sebagai proses yang sepenuhnya bersifat psikol | 55 % |
a pembawa risalah. Sebelumnya, risalah itu telah disampaikan | kepada | Ibrahim, Musa, dan Isa (Q.S. 42:13). Al-Qur’an menggunakan b | 72 % |
hasa kaumnya, agar ia dapat memberi penjelasan dengan terang | kepada | mereka” (Q.S. 14:4). Dengan kata lain, alasan mengapa Al-Qur | 74 % |
pa Al-Qur’an berbahasa Arab karena semata-mata ia diturunkan | kepada | orang-orang Arab. Tidak lebih dan tidak kurang. Bahasa ma | 75 % |
bawi dan Edward Said, adalah para sarjana yang bekerja untuk | kepentingan | proyek kolonialisme dan penaklukkan dunia Islam. Tapi, saya | 15 % |
an dari sejarah Al-Qur’an selama ini. Pada gilirannya, kerja | keras | dan temuan-temuan mereka bisa digunakan untuk menjelaskan ap | 31 % |
jalani Nabi dan para sahabatnya. Kasus-kasus seperti minuman | keras | dan menstruasi (yang disebutkan dalam ayat yas’alunaka itu), | 47 % |
pikirkan dari sejarah Al-Qur’an selama ini. Pada gilirannya, | kerja | keras dan temuan-temuan mereka bisa digunakan untuk menjelas | 31 % |
lainnya (yang juga merupakan manifestasi kalamullah). Aspek | kesamaan | inilah (dalam bahasa Al-Qur’an disebut “kalimatun sawaa”) ya | 99 % |
bagai sebuah manifestasi dari kalamullah, Al-Qur’an memiliki | kesamaan-kesamaan | dengan kitab-kitab suci lainnya (yang juga merupakan manifes | 98 % |
miliki keterbatasan-keterbatasan pada lingkup kebahasaan dan | kesejarahan | di mana ia diturunkan. Oleh: Luthfi Assyaukanie Pertam | 2 % |
n sebagai “orientalis” itu telah banyak berjasa bagi tradisi | kesejarahan | Al-Qur’an. Saya bukan tidak sadar bahwa sebagian dari mereka | 13 % |
kup penting: pertama, ia menghancurkan konteks peristiwa dan | kesejarahan | setiap wahyu yang diturunkan; dan kedua, ia menjadikan Al-Qu | 86 % |
ada yang tabu bagi ulama Islam kala itu untuk mendiskusikan | kesejarahan | Al-Qur’an. Ibn Nadiem bebas-bebas saja membuat pernyataan ba | 91 % |
anifestasi dari kalam-Nya), juga bertentangan dengan konteks | kesejarahan | Al-Qur’an sendiri yang dinamis, progresif, dan manusiawi. | 94 % |
miliki keterbatasan-keterbatasan pada lingkup kebahasaan dan | kesejarahan | di mana ia diturunkan. Namun demikian, sebagai sebuah manife | 97 % |
atuan kitab suci dan sekaligus melihat detil-detil peristiwa | kesejarahannya | yang manusiawi, seperti kita memahami sejarah alam semesta. | 40 % |
,” atau istilah-istilah lain yang sejenis. Untuk membentengi | kesucian | dan kemaksuman kitab suci, mitos-mitos pun diciptakan, misal | 34 % |
bahasa selalu berkembang, sesuai dengan perkembangan zaman. | keterbatasan | kosakata Al-Qur’an bukanlah keterbatasan pesan-pesan Allah ( | 76 % |
perkembangan zaman. Keterbatasan kosakata Al-Qur’an bukanlah | keterbatasan | pesan-pesan Allah (kalamullah) yang universal, tapi keterbat | 76 % |
rbatasan pesan-pesan Allah (kalamullah) yang universal, tapi | keterbatasan | bahasa Arab yang tunduk pada situasi dan kondisi saat Al-Qur | 77 % |
ga kitab-kitab suci lainnya di dunia ini, Al-Qur’an memiliki | keterbatasan-keterbatasan | pada lingkup kebahasaan dan kesejarahan di mana ia diturunka | 2 % |
ga kitab-kitab suci lainnya di dunia ini, Al-Qur’an memiliki | keterbatasan-keterbatasan | pada lingkup kebahasaan dan kesejarahan di mana ia diturunka | 97 % |
orang-orang yang sesudahnya adalah contoh dari proses-proses | keterciptaan | Al-Qur’an dalam ruang yang tidak permanen dan tidak abadi. M | 70 % |
rasanya masih terus ada yang mengganjal kalau belum ditulis. | ketika | menulis artikel itu, saya mendapat panduan dari karya-karya | 10 % |
ebih ramping dari Mushaf yang dimilikinya. Menurut saya, | keyakinan | akan imanensi dan permanensi Al-Qur’an, selain bertentangan | 93 % |
k ada situasi yang mendesak tersebut, maka ayat-ayat tentang | khamar | dan menstruasi akan absen dari Al-Qur’an. Fenomena lokal- | 48 % |
h umat beragama secara umum. Imani billahi akbar wa huwa | khayrul | musta’an. | 100 % |
n-pesan Al-Qur’an, seperti al-’ibrah bi ‘umum al-lafdh la bi | khusus | al-sabab (mendahulukan kata-kata yang umum di atas sebab-seb | 51 % |
sawaa”) yang harus selalu ditekankan oleh kaum Muslim secara | khusus | dan seluruh umat beragama secara umum. Imani billahi akbar wa huwa khayrul musta’an. | 99 % |
t itu, saya merujuk semua buku yang disebut para orientalis, | khususnya | kitab al-masahif karya Ibn Abi Daud, al-Fihrist karya Ibn Na | 18 % |
alisa yang rumit yang hanya dipahami oleh kalangan tertentu, | khususnya | mereka yang mempelajari disiplin filsafat. Al-Farabi misalny | 55 % |
dan masa-masa sesudahnya sangat penting, untuk mengingatkan | kita | selalu bahwa Al-Qur’an adalah manifestasi manusiawi dari kal | 1 % |
ngan mudah. Apa yang dikatakan oleh para orientalis itu bisa | kita | rujuk dan buktikan ke sumber-sumber aselinya. Dan ini yang s | 17 % |
tiq (ahli logika) jauh-jauh hari juga sudah mengingakan agar | kita | jangan mudah terjatuh pada apa yang mereka sebut sebagai ugh | 29 % |
n, secara umum. Selanjutnya, masalah ini juga dapat membantu | kita | menjelaskan peran dan fungsi agama-agama di dunia ini bagi u | 38 % |
detil-detil peristiwa kesejarahannya yang manusiawi, seperti | kita | memahami sejarah alam semesta. Menurut para astrofisikawan, | 40 % |
para astrofisikawan, alam semesta tak bisa dipahami kecuali | kita | menggabungkan dua teori utama: (i) yang berkaitan dengan hal | 41 % |
Begitu juga Al-Qur’an, ia tak bisa dipahami dengan baik jika | kita | hanya melihat satu dimensi saja dan mengabaikan dimensi lain | 42 % |
t saya, dimensi historis Al-Qur’an adalah modal penting bagi | kita | memahami fungsi dan peran Al-Qur’an yang sesungguhnya. Da | 43 % |
sesungguhnya. Dari kajian sejarah pembentukan Al-Qur’an, | kita | mengetahui bahwa kitab suci ini berkembang dengan sangat din | 44 % |
hap pemanusiaan kalamullah itu hingga menjadi bentuknya yang | kita | lihat sekarang. Tahap pertama adalah tahap pengaturan ayat-a | 82 % |
a kronologis (tartib al-nuzul) menjadi urutan bacaan seperti | kita | kenal sekarang (tartib al-tilawah). Ini dilakukan pada masa | 83 % |
hingga digunakannya mesin cetak pada masa modern. Seperti | kita | ketahui, susunan Al-Qur’an yang diturunkan secara kronologis | 84 % |
ang diturunkan secara kronologis berbeda dengan susunan yang | kita | lihat sekarang. Perubahan susunan ini memiliki dua dampak ya | 85 % |
dan masa-masa sesudahnya sangat penting, untuk mengingatkan | kita | selalu bahwa Al-Qur’an adalah manifestasi manusiawi dari kal | 96 % |
kan. Padahal Sayyidina Ali jauh-jauh hari sudah mengingatkan | kita: | Undzur ma qaala wa la tandhur man qaala (lihat apa yang dika | 28 % |
l-Qur’an dari Barat untuk membuka kitab-kitab klasik seperti | kitab | al-masahif, al-fihrist, al-itqan, dan al-burhan. Saya berunt | 11 % |
ihrist, al-itqan, dan al-burhan. Saya beruntung karena semua | kitab | itu bisa saya dapatkan, sehingga saya bisa merujuk setiap kl | 11 % |
a merujuk semua buku yang disebut para orientalis, khususnya | kitab | al-masahif karya Ibn Abi Daud, al-Fihrist karya Ibn Nadiem, | 18 % |
lain yang sejenis. Untuk membentengi kesucian dan kemaksuman | kitab | suci, mitos-mitos pun diciptakan, misalnya seperti masalah i | 35 % |
enjelaskan persoalan-persoalan klasik hubungan antara wahyu, | kitab | suci, dan risalah kenabian, secara umum. Selanjutnya, masala | 38 % |
ian Al-Qur’an dengan melihatnya sebagai sebuah satu-kesatuan | kitab | suci dan sekaligus melihat detil-detil peristiwa kesejarahan | 40 % |
kajian sejarah pembentukan Al-Qur’an, kita mengetahui bahwa | kitab | suci ini berkembang dengan sangat dinamis, berinteraksi deng | 44 % |
di masa modern, menyangkut hubungan antara risalah kenabian, | kitab | suci, posisi Allah, wahyu, dan beragamnya agama-agama di dun | 53 % |
n adalah manifestasi manusiawi dari kalamullah. Seperti juga | kitab-kitab | suci lainnya di dunia ini, Al-Qur’an memiliki keterbatasan-k | 2 % |
dari karya-karya sarjana Al-Qur’an dari Barat untuk membuka | kitab-kitab | klasik seperti kitab al-masahif, al-fihrist, al-itqan, dan a | 11 % |
h yang universal dan eternal. Seperti juga yang terjadi pada | kitab-kitab | suci lainnya, seperti Taurat, Injil, Zabur, Al-Qur’an adalah | 78 % |
idak sempurna, maka terjadilah perbedaan-perbedaan di antara | kitab-kitab | suci itu (dan selanjutnya juga di antara para pemeluk agama) | 80 % |
n adalah manifestasi manusiawi dari kalamullah. Seperti juga | kitab-kitab | suci lainnya di dunia ini, Al-Qur’an memiliki keterbatasan-k | 96 % |
dari kalamullah, Al-Qur’an memiliki kesamaan-kesamaan dengan | kitab-kitab | suci lainnya (yang juga merupakan manifestasi kalamullah). A | 98 % |
ab itu bisa saya dapatkan, sehingga saya bisa merujuk setiap | klaim | yang dibuat oleh para sarjana Al-Qur’an dari Barat itu. S | 12 % |
karya sarjana Al-Qur’an dari Barat untuk membuka kitab-kitab | klasik | seperti kitab al-masahif, al-fihrist, al-itqan, dan al-burha | 11 % |
tu kita, di antaranya, untuk menjelaskan persoalan-persoalan | klasik | hubungan antara wahyu, kitab suci, dan risalah kenabian, sec | 38 % |
ansial yang umumnya dihadapi oleh para filsuf Muslim di masa | klasik | dan intelektual Muslim di masa modern, menyangkut hubungan a | 53 % |
, dan beragamnya agama-agama di dunia. Para filsuf Muslim | klasik | mencoba menjelaskan persoalan-persoalan itu dengan menggunak | 54 % |
d, adalah para sarjana yang bekerja untuk kepentingan proyek | kolonialisme | dan penaklukkan dunia Islam. Tapi, saya meyakini, tidak semu | 15 % |
gucapkan terimakasih kepada siapa saja yang telah memberikan | komentar | dan kritik terhadap artikel saya tentang “Merenungkan Sejara | 3 % |
sejak lama dan digunakan oleh masyarakat Arabia sebagai alat | komunikasi | dalam interaksi sosial, bisnis, puisi, literatur, graffitti, | 62 % |
k lebih dan tidak kurang. Bahasa manusia adalah instrumen | komunikasi | yang terbatas pada budaya, tempat, dan waktu di mana ia digu | 75 % |
, tapi keterbatasan bahasa Arab yang tunduk pada situasi dan | kondisi | saat Al-Qur’an diturunkan. Sejarah pembukuan Al-Qur’an adala | 77 % |
iki dua dampak yang cukup penting: pertama, ia menghancurkan | konteks | peristiwa dan kesejarahan setiap wahyu yang diturunkan; dan | 86 % |
nyalah manifestasi dari kalam-Nya), juga bertentangan dengan | konteks | kesejarahan Al-Qur’an sendiri yang dinamis, progresif, dan m | 94 % |
umat manusia. Di masa silam, teks-teks suci dianggap sebagai | korpus | tertutup yang sudah selesai dan tak boleh diganggu-gugat. Si | 33 % |
erbatas pada budaya, tempat, dan waktu di mana ia digunakan. | kosakata | dari bahasa selalu berkembang, sesuai dengan perkembangan za | 76 % |
u berkembang, sesuai dengan perkembangan zaman. Keterbatasan | kosakata | Al-Qur’an bukanlah keterbatasan pesan-pesan Allah (kalamulla | 76 % |
makasih kepada siapa saja yang telah memberikan komentar dan | kritik | terhadap artikel saya tentang “Merenungkan Sejarah Al-Qur’an | 4 % |
menjadi concern ulama dan intelektual Muslim. Bagaimanapun, | kritik | teks (khususnya teks-teks suci) adalah disiplin baru yang ta | 32 % |
ri mereka, seperti dengan baik telah diperlihatkan oleh para | kritikus | orientalis semacam A.L. Tibawi dan Edward Said, adalah para | 14 % |
ama adalah tahap pengaturan ayat-ayat yang diturunkan secara | kronologis | (tartib al-nuzul) menjadi urutan bacaan seperti kita kenal s | 82 % |
perti kita ketahui, susunan Al-Qur’an yang diturunkan secara | kronologis | berbeda dengan susunan yang kita lihat sekarang. Perubahan s | 85 % |
lu banyak dengan karya-karya apologetis. Saya pikir, rasanya | kurang | adil kalau saya hanya mensuplay ke dalam memori pikiran saya | 8 % |
ang luar biasa pada nama-nama mereka. Saya pikir, kalau saya | kutip | nama-nama orientalis itu, paling-paling artikel saya akan di | 20 % |
i jauh-jauh hari sudah mengingatkan kita: Undzur ma qaala wa | la | tandhur man qaala (lihat apa yang dikatakan, dan jangan liha | 28 % |
n pesan-pesan Al-Qur’an, seperti al-’ibrah bi ‘umum al-lafdh | la | bi khusus al-sabab (mendahulukan kata-kata yang umum di atas | 51 % |
lah satu ayatnya (Inna nahnu nazzalna al-dhikra wa inna lahu | lahafidhun | Q.S. 15:9). Adapun Al-Qur’an, pada dasarnya adalah sesuatu - | 67 % |
am salah satu ayatnya (Inna nahnu nazzalna al-dhikra wa inna | lahu | lahafidhun Q.S. 15:9). Adapun Al-Qur’an, pada dasarnya adala | 67 % |
n dianggap “murtad,” “kafir,” “zindiq,” atau istilah-istilah | lain | yang sejenis. Untuk membentengi kesucian dan kemaksuman kita | 34 % |
asi manusiawi dari kalamullah. Seperti juga kitab-kitab suci | lainnya | di dunia ini, Al-Qur’an memiliki keterbatasan-keterbatasan p | 2 % |
asi (yakni hanya Allah yang imanen dan permanen, adapun yang | lainnya | hanyalah manifestasi dari kalam-Nya), juga bertentangan deng | 94 % |
asi manusiawi dari kalamullah. Seperti juga kitab-kitab suci | lainnya | di dunia ini, Al-Qur’an memiliki keterbatasan-keterbatasan p | 97 % |
Al-Qur’an memiliki kesamaan-kesamaan dengan kitab-kitab suci | lainnya | (yang juga merupakan manifestasi kalamullah). Aspek kesamaan | 98 % |
n buktikan ke sumber-sumber aselinya. Dan ini yang saya coba | lakukan | dalam menulis artikel itu. Untuk menulis artikel singkat | 17 % |
lokal-temporal yang dijumpai dalam ayat-ayat Al-Qur’an telah | lama | menjadi kajian para ulama dan ilmuwan Muslim. Dalam ‘Ulum al | 49 % |
uncul tiba-tiba karena Al-Qur’an. Bahasa ini telah ada sejak | lama | dan digunakan oleh masyarakat Arabia sebagai alat komunikasi | 61 % |
m memori pikiran saya pengetahuan apologetis saja. Inilah | latar | belakang mengapa artikel itu saya tulis. Semula saya ragu me | 9 % |
Al-Qur’an dengan model bacaan saya sendiri yang menurut saya | lebih | berkesan dan mempengaruhi intensitas keberagamaan saya. Seca | 6 % |
ng pernah terjadi dengan rekan saya, Taufik Adnan Amal, yang | lebih | piawai, lebih ahli, dan lebih produktif dari saya dalam menu | 21 % |
adi dengan rekan saya, Taufik Adnan Amal, yang lebih piawai, | lebih | ahli, dan lebih produktif dari saya dalam menuliskan sejarah | 21 % |
saya, Taufik Adnan Amal, yang lebih piawai, lebih ahli, dan | lebih | produktif dari saya dalam menuliskan sejarah Al-Qur’an. Namu | 21 % |
tidak membantu dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang | lebih | substansial yang umumnya dihadapi oleh para filsuf Muslim di | 52 % |
ena semata-mata ia diturunkan kepada orang-orang Arab. Tidak | lebih | dan tidak kurang. Bahasa manusia adalah instrumen komunik | 75 % |
al-Ahzab dan karenanya Al-Qur’an yang dibuat Uthman menjadi | lebih | ramping dari Mushaf yang dimilikinya. Menurut saya, keya | 92 % |
rah Al-Qur’an” yang dipublikasikan di website Jaringan Islam | liberal | (JIL). Pada mulanya, artikel itu adalah bagian dari refleksi | 4 % |
a la tandhur man qaala (lihat apa yang dikatakan, dan jangan | lihat | siapa yang berkata). Para ulama mantiq (ahli logika) jauh-ja | 28 % |
emanusiaan kalamullah itu hingga menjadi bentuknya yang kita | lihat | sekarang. Tahap pertama adalah tahap pengaturan ayat-ayat ya | 82 % |
iturunkan secara kronologis berbeda dengan susunan yang kita | lihat | sekarang. Perubahan susunan ini memiliki dua dampak yang cuk | 85 % |
dunia ini, Al-Qur’an memiliki keterbatasan-keterbatasan pada | lingkup | kebahasaan dan kesejarahan di mana ia diturunkan. Oleh: L | 2 % |
dunia ini, Al-Qur’an memiliki keterbatasan-keterbatasan pada | lingkup | kebahasaan dan kesejarahan di mana ia diturunkan. Namun demi | 97 % |
pornografi diekspresikan dalam bahasa Arab. Puisi-puisi dan | literatur | yang dianggap “menyimpang” dari Islam juga ditulis dalam bah | 63 % |
i dengan kehidupan umat manusia, yang kadang sangat bersifat | lokal | dan temporal. Ayat-ayat yang dimulai dengan pertanyaan-perta | 45 % |
khamar dan menstruasi akan absen dari Al-Qur’an. Fenomena | lokal-temporal | yang dijumpai dalam ayat-ayat Al-Qur’an telah lama menjadi k | 49 % |
sadar bahwa kaum Muslim memiliki apriori dan prasangka yang | luar | biasa pada nama-nama mereka. Saya pikir, kalau saya kutip na | 20 % |
nya orang Islam saja. Sedangkan orang lain, apalagi orang di | luar | Islam, meskipun mereka punya keahlian untuk itu, dianggap ta | 26 % |
uwwah menjadi bil fi’il ada sejumlah proses reduksi. Hal ini | lumrah | belaka, karena pesan-pesan Allah yang universal disampaikan | 60 % |
p kebahasaan dan kesejarahan di mana ia diturunkan. Oleh: | luthfi | Assyaukanie Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terimaka | 3 % |
da orientalis, agar kemudian mereka bisa berteriak: “tuh kan | luthfi | ujung-ujungnya pake orientalis.” Saya sedih jika ada yang be | 25 % |
Sayyidina Ali jauh-jauh hari sudah mengingatkan kita: Undzur | ma | qaala wa la tandhur man qaala (lihat apa yang dikatakan, dan | 28 % |
gabungkan dua teori utama: (i) yang berkaitan dengan hal-hal | maha-besar | seperti big bang, gravitasi, dan ekspansi; dan (ii) hal-hal | 41 % |
seperti big bang, gravitasi, dan ekspansi; dan (ii) hal-hal | maha-kecil | seperti quantum, singularity, dan string. Begitu juga Al-Qur | 42 % |
an kata lain, jika tidak ada situasi yang mendesak tersebut, | maka | ayat-ayat tentang khamar dan menstruasi akan absen dari Al-Q | 48 % |
akukan dalam bahasa manusia yang beragam dan tidak sempurna, | maka | terjadilah perbedaan-perbedaan di antara kitab-kitab suci it | 80 % |
sebagai sebuah bacaan “magis” (karena yang ditekankan bukan | makna | kronologisnya, tapi struktur kebahasaannya). Dampak yang ter | 87 % |
dimiliki Nabi Muhammad merupakan yang terbesar, sehingga dia | mampu | mengaktualisasikan wahyu Tuhan dari potensi (bil quwwah) men | 58 % |
hari sudah mengingatkan kita: Undzur ma qaala wa la tandhur | man | qaala (lihat apa yang dikatakan, dan jangan lihat siapa yang | 28 % |
asan-keterbatasan pada lingkup kebahasaan dan kesejarahan di | mana | ia diturunkan. Oleh: Luthfi Assyaukanie Pertama-tama, | 3 % |
n komunikasi yang terbatas pada budaya, tempat, dan waktu di | mana | ia digunakan. Kosakata dari bahasa selalu berkembang, sesuai | 75 % |
asan-keterbatasan pada lingkup kebahasaan dan kesejarahan di | mana | ia diturunkan. Namun demikian, sebagai sebuah manifestasi da | 97 % |
nting, untuk mengingatkan kita selalu bahwa Al-Qur’an adalah | manifestasi | manusiawi dari kalamullah. Seperti juga kitab-kitab suci lai | 1 % |
suci lainnya, seperti Taurat, Injil, Zabur, Al-Qur’an adalah | manifestasi | dari kalamullah yang eternal dan universal. Karena manifesta | 79 % |
nifestasi dari kalamullah yang eternal dan universal. Karena | manifestasi | dilakukan dalam bahasa manusia yang beragam dan tidak sempur | 79 % |
Allah yang imanen dan permanen, adapun yang lainnya hanyalah | manifestasi | dari kalam-Nya), juga bertentangan dengan konteks kesejaraha | 94 % |
nting, untuk mengingatkan kita selalu bahwa Al-Qur’an adalah | manifestasi | manusiawi dari kalamullah. Seperti juga kitab-kitab suci lai | 96 % |
arahan di mana ia diturunkan. Namun demikian, sebagai sebuah | manifestasi | dari kalamullah, Al-Qur’an memiliki kesamaan-kesamaan dengan | 98 % |
esamaan dengan kitab-kitab suci lainnya (yang juga merupakan | manifestasi | kalamullah). Aspek kesamaan inilah (dalam bahasa Al-Qur’an d | 98 % |
dikatakan, dan jangan lihat siapa yang berkata). Para ulama | mantiq | (ahli logika) jauh-jauh hari juga sudah mengingakan agar kit | 28 % |
yang disebutkan dalam ayat yas’alunaka itu), adalah persolan | manusia | di dunia yang muncul tiba-tiba karena desakan situasi yang d | 47 % |
ilahiah (al-intaj al-ilahy) yang berada dalam ruang sejarah | manusia | yang tidak suci dan terbatas. Teks-teks yang tertulis dalam | 65 % |
asa Arab yang kemudian disebut “Al-Qur’an” adalah artikulasi | manusia | terhadap kalamullah yang abadi dan eternal. Kalamullah yang | 66 % |
da orang-orang Arab. Tidak lebih dan tidak kurang. Bahasa | manusia | adalah instrumen komunikasi yang terbatas pada budaya, tempa | 75 % |
nal dan universal. Karena manifestasi dilakukan dalam bahasa | manusia | yang beragam dan tidak sempurna, maka terjadilah perbedaan-p | 79 % |
mengingatkan kita selalu bahwa Al-Qur’an adalah manifestasi | manusiawi | dari kalamullah. Seperti juga kitab-kitab suci lainnya di du | 1 % |
mengingatkan kita selalu bahwa Al-Qur’an adalah manifestasi | manusiawi | dari kalamullah. Seperti juga kitab-kitab suci lainnya di du | 96 % |
ur’an dengan melihat proses-proses pembentukannya, baik pada | masa | Nabi dan masa-masa sesudahnya sangat penting, untuk menginga | 1 % |
liki preseden dalam sejarah intelektualisme umat manusia. Di | masa | silam, teks-teks suci dianggap sebagai korpus tertutup yang | 33 % |
substansial yang umumnya dihadapi oleh para filsuf Muslim di | masa | klasik dan intelektual Muslim di masa modern, menyangkut hub | 53 % |
para filsuf Muslim di masa klasik dan intelektual Muslim di | masa | modern, menyangkut hubungan antara risalah kenabian, kitab s | 53 % |
kita kenal sekarang (tartib al-tilawah). Ini dilakukan pada | masa | Nabi dan dilengkapi pada masa Uthman bin Affan. Tahap selanj | 83 % |
l-tilawah). Ini dilakukan pada masa Nabi dan dilengkapi pada | masa | Uthman bin Affan. Tahap selanjutnya adalah pemberian tanda b | 83 % |
sepanjang sejarah Islam hingga digunakannya mesin cetak pada | masa | modern. Seperti kita ketahui, susunan Al-Qur’an yang ditu | 84 % |
ur’an dengan melihat proses-proses pembentukannya, baik pada | masa | Nabi dan masa-masa sesudahnya sangat penting, untuk menginga | 95 % |
man kitab suci, mitos-mitos pun diciptakan, misalnya seperti | masalah | i’jazul Qur’an (e.g. angka 19, dll). Siapa saja yang menolak | 35 % |
kitab suci, dan risalah kenabian, secara umum. Selanjutnya, | masalah | ini juga dapat membantu kita menjelaskan peran dan fungsi ag | 38 % |
elihat proses-proses pembentukannya, baik pada masa Nabi dan | masa-masa | sesudahnya sangat penting, untuk mengingatkan kita selalu ba | 1 % |
elihat proses-proses pembentukannya, baik pada masa Nabi dan | masa-masa | sesudahnya sangat penting, untuk mengingatkan kita selalu ba | 96 % |
emula saya ragu menuliskan apa yang saya baca. Tapi, rasanya | masih | terus ada yang mengganjal kalau belum ditulis. Ketika menuli | 10 % |
l-Qur’an. Bahasa ini telah ada sejak lama dan digunakan oleh | masyarakat | Arabia sebagai alat komunikasi dalam interaksi sosial, bisni | 62 % |
fikasi, dan unifikasi, yang dilakukan baik oleh para sahabat | maupun | orang-orang yang sesudahnya adalah contoh dari proses-proses | 69 % |
ah Al-Qur’an: Rejoinder Mengkaji sejarah Al-Qur’an dengan | melihat | proses-proses pembentukannya, baik pada masa Nabi dan masa-m | 0 % |
h (ad hominem), yakni menghukumi sebuah pendapat semata-mata | melihat | siapa yang berkata, dan bukan apa yang dikatakan. Bagi sa | 30 % |
hatnya sebagai sebuah satu-kesatuan kitab suci dan sekaligus | melihat | detil-detil peristiwa kesejarahannya yang manusiawi, seperti | 40 % |
Al-Qur’an, ia tak bisa dipahami dengan baik jika kita hanya | melihat | satu dimensi saja dan mengabaikan dimensi lainnya. Menurut s | 43 % |
ogresif, dan manusiawi. Mengkaji sejarah Al-Qur’an dengan | melihat | proses-proses pembentukannya, baik pada masa Nabi dan masa-m | 95 % |
i bagi umat manusia. Saya menganggap kajian Al-Qur’an dengan | melihatnya | sebagai sebuah satu-kesatuan kitab suci dan sekaligus meliha | 39 % |
-detil peristiwa kesejarahannya yang manusiawi, seperti kita | memahami | sejarah alam semesta. Menurut para astrofisikawan, alam seme | 40 % |
a, dimensi historis Al-Qur’an adalah modal penting bagi kita | memahami | fungsi dan peran Al-Qur’an yang sesungguhnya. Dari kajian | 43 % |
an, menurut saya, bukanlah persoalan penafsiran semata, tapi | memahaminya | sebagai sebuah produk ilahiah (al-intaj al-ilahy) yang berad | 64 % |
ual saya selama bulan Ramadhan. Pada bulan itu, saya mencoba | membaca | Al-Qur’an dengan model bacaan saya sendiri yang menurut saya | 5 % |
mpengaruhi intensitas keberagamaan saya. Secara khusus, saya | membaca | beberapa buku Nasr Hamed Abu Zayd dan juga beberapa artikel | 6 % |
eh sarjana Al-Qur’an dari Barat. Saya selalu terobsesi untuk | membaca | karya-karya semacam ini, sebagai “balance” (penyeimbang) dar | 7 % |
yahrour, dan Abu Zayd. Kajian historis terhadap Al-Qur’an | membantu | kita, di antaranya, untuk menjelaskan persoalan-persoalan kl | 37 % |
h kenabian, secara umum. Selanjutnya, masalah ini juga dapat | membantu | kita menjelaskan peran dan fungsi agama-agama di dunia ini b | 38 % |
s sebab-sebab yang khusus). Kaedah-kaedah seperti ini sangat | membantu | dalam menafsirkan Al-Qur’an, tapi tidak membantu dalam menye | 52 % |
ini sangat membantu dalam menafsirkan Al-Qur’an, tapi tidak | membantu | dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang lebih substansi | 52 % |
ir,” “zindiq,” atau istilah-istilah lain yang sejenis. Untuk | membentengi | kesucian dan kemaksuman kitab suci, mitos-mitos pun diciptak | 34 % |
s seorang rasul kecuali dengan bahasa kaumnya, agar ia dapat | memberi | penjelasan dengan terang kepada mereka” (Q.S. 14:4). Dengan | 74 % |
a ingin mengucapkan terimakasih kepada siapa saja yang telah | memberikan | komentar dan kritik terhadap artikel saya tentang “Merenungk | 3 % |
ak yang terakhir ini kemudian mendorong sebagian ulama untuk | membesar-besarkan | apa yang mereka sebut sebagai “i’jaz al-balaghi al-Qur’ani” | 87 % |
iskusikan kesejarahan Al-Qur’an. Ibn Nadiem bebas-bebas saja | membuat | pernyataan bahwa Mushafnya Ibn Abbas tidak memiliki al-Fatih | 91 % |
panduan dari karya-karya sarjana Al-Qur’an dari Barat untuk | membuka | kitab-kitab klasik seperti kitab al-masahif, al-fihrist, al- | 11 % |
a yang dikatakan. Bagi saya, kajian para orientalis telah | membuka | banyak dimensi tak terpikirkan dari sejarah Al-Qur’an selama | 30 % |
eperti juga kitab-kitab suci lainnya di dunia ini, Al-Qur’an | memiliki | keterbatasan-keterbatasan pada lingkup kebahasaan dan keseja | 2 % |
nama orientalis satupun, karena saya sadar bahwa kaum Muslim | memiliki | apriori dan prasangka yang luar biasa pada nama-nama mereka. | 19 % |
ite JIL sendiri, ada tiga artikel Taufik, yang menurut saya, | memiliki | pesan yang sama dengan refleksi yang saya buat. Para peng | 23 % |
eks (khususnya teks-teks suci) adalah disiplin baru yang tak | memiliki | preseden dalam sejarah intelektualisme umat manusia. Di masa | 32 % |
diri manusia. Setiap manusia, secara potensial (bil quwwah), | memiliki | daya kenabian, hanya saja intensitas kenabian itu berbeda sa | 57 % |
ngan susunan yang kita lihat sekarang. Perubahan susunan ini | memiliki | dua dampak yang cukup penting: pertama, ia menghancurkan kon | 85 % |
ebas saja membuat pernyataan bahwa Mushafnya Ibn Abbas tidak | memiliki | al-Fatihah, dan al-Suyuthi bebas-bebas saja meriwayatkan Had | 91 % |
eperti juga kitab-kitab suci lainnya di dunia ini, Al-Qur’an | memiliki | keterbatasan-keterbatasan pada lingkup kebahasaan dan keseja | 97 % |
ikian, sebagai sebuah manifestasi dari kalamullah, Al-Qur’an | memiliki | kesamaan-kesamaan dengan kitab-kitab suci lainnya (yang juga | 98 % |
n Q.S. 15:9). Adapun Al-Qur’an, pada dasarnya adalah sesuatu | --meminjam | istilah para pemikir Muktazilah-- “yang diciptakan” (makhluq | 68 % |
kir, rasanya kurang adil kalau saya hanya mensuplay ke dalam | memori | pikiran saya pengetahuan apologetis saja. Inilah latar be | 9 % |
hanya dipahami oleh kalangan tertentu, khususnya mereka yang | mempelajari | disiplin filsafat. Al-Farabi misalnya menjelaskan proses tur | 55 % |
del bacaan saya sendiri yang menurut saya lebih berkesan dan | mempengaruhi | intensitas keberagamaan saya. Secara khusus, saya membaca be | 6 % |
Dalam tulisan saya yang ringkas itu, saya telah berusaha | memperlihatkan | bahwa hingga abad ke-4 (masa Ibn Nadiem dan Ibn Abi Daud) da | 89 % |
ang khusus). Kaedah-kaedah seperti ini sangat membantu dalam | menafsirkan | Al-Qur’an, tapi tidak membantu dalam menyelesaikan persoalan | 52 % |
Muslim. Dalam ‘Ulum al-Qur’an dan juga Ushul al-Fiqh, mereka | menciptakan | kaedah-kaedah yang tujuannya meuniversalkan pesan-pesan Al-Q | 50 % |
n spiritual saya selama bulan Ramadhan. Pada bulan itu, saya | mencoba | membaca Al-Qur’an dengan model bacaan saya sendiri yang menu | 5 % |
sudah selesai dan tak boleh diganggu-gugat. Siapa saja yang | mencoba | mengkritisinya, dia akan dianggap “murtad,” “kafir,” “zindiq | 34 % |
yang terjadi dengan banyak ulama dan intelektual Muslim yang | mencoba | “membaca” Al-Qur’an dengan perspektif lain, seperti yang dia | 36 % |
eragamnya agama-agama di dunia. Para filsuf Muslim klasik | mencoba | menjelaskan persoalan-persoalan itu dengan menggunakan anali | 54 % |
ganjal kalau belum ditulis. Ketika menulis artikel itu, saya | mendapat | panduan dari karya-karya sarjana Al-Qur’an dari Barat untuk | 10 % |
ik dan pengecam artikel saya berusaha dengan tak sabar ingin | mendengar | pengakuan dari saya bahwa saya merujuk kepada orientalis, ag | 24 % |
nabi saat itu. Dengan kata lain, jika tidak ada situasi yang | mendesak | tersebut, maka ayat-ayat tentang khamar dan menstruasi akan | 48 % |
ebatkan. Tidak ada yang tabu bagi ulama Islam kala itu untuk | mendiskusikan | kesejarahan Al-Qur’an. Ibn Nadiem bebas-bebas saja membuat p | 90 % |
i struktur kebahasaannya). Dampak yang terakhir ini kemudian | mendorong | sebagian ulama untuk membesar-besarkan apa yang mereka sebut | 87 % |
Seolah-olah, ilmu itu milik umat Islam saja, dan yang boleh | meneliti | sesuatu hanya orang Islam saja. Sedangkan orang lain, apalag | 26 % |
mi dengan baik jika kita hanya melihat satu dimensi saja dan | mengabaikan | dimensi lainnya. Menurut saya, dimensi historis Al-Qur’an ad | 43 % |
ki Nabi Muhammad merupakan yang terbesar, sehingga dia mampu | mengaktualisasikan | wahyu Tuhan dari potensi (bil quwwah) menjadi kenyataan (bil | 58 % |
dan fungsi agama-agama di dunia ini bagi umat manusia. Saya | menganggap | kajian Al-Qur’an dengan melihatnya sebagai sebuah satu-kesat | 39 % |
n saya pengetahuan apologetis saja. Inilah latar belakang | mengapa | artikel itu saya tulis. Semula saya ragu menuliskan apa yang | 9 % |
terang kepada mereka” (Q.S. 14:4). Dengan kata lain, alasan | mengapa | Al-Qur’an berbahasa Arab karena semata-mata ia diturunkan ke | 74 % |
ngguhnya. Dari kajian sejarah pembentukan Al-Qur’an, kita | mengetahui | bahwa kitab suci ini berkembang dengan sangat dinamis, berin | 44 % |
astrofisikawan, alam semesta tak bisa dipahami kecuali kita | menggabungkan | dua teori utama: (i) yang berkaitan dengan hal-hal maha-besa | 41 % |
iskan apa yang saya baca. Tapi, rasanya masih terus ada yang | mengganjal | kalau belum ditulis. Ketika menulis artikel itu, saya mendap | 10 % |
im klasik mencoba menjelaskan persoalan-persoalan itu dengan | menggunakan | analisa-analisa yang rumit yang hanya dipahami oleh kalangan | 54 % |
paikan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa (Q.S. 42:13). Al-Qur’an | menggunakan | bahasa Arab. Tidak ada yang unik dari bahasa ini, karena sep | 72 % |
unan ini memiliki dua dampak yang cukup penting: pertama, ia | menghancurkan | konteks peristiwa dan kesejarahan setiap wahyu yang diturunk | 86 % |
saja meriwayatkan Hadith ‘Aisyah bahwa Mushaf Uthmani telah | menghilangkan | surah al-Ahzab dan karenanya Al-Qur’an yang dibuat Uthman me | 92 % |
ereka sebut sebagai ughluthat al-askhash (ad hominem), yakni | menghukumi | sebuah pendapat semata-mata melihat siapa yang berkata, dan | 29 % |
). Para ulama mantiq (ahli logika) jauh-jauh hari juga sudah | mengingakan | agar kita jangan mudah terjatuh pada apa yang mereka sebut s | 29 % |
ada masa Nabi dan masa-masa sesudahnya sangat penting, untuk | mengingatkan | kita selalu bahwa Al-Qur’an adalah manifestasi manusiawi dar | 1 % |
arus dicampakkan. Padahal Sayyidina Ali jauh-jauh hari sudah | mengingatkan | kita: Undzur ma qaala wa la tandhur man qaala (lihat apa yan | 27 % |
ada masa Nabi dan masa-masa sesudahnya sangat penting, untuk | mengingatkan | kita selalu bahwa Al-Qur’an adalah manifestasi manusiawi dar | 96 % |
Sejarah Al-Qur’an: Rejoinder | mengkaji | sejarah Al-Qur’an dengan melihat proses-proses pembentukanny | 0 % |
an Al-Qur’an sendiri yang dinamis, progresif, dan manusiawi. | mengkaji | sejarah Al-Qur’an dengan melihat proses-proses pembentukanny | 95 % |
kan. Oleh: Luthfi Assyaukanie Pertama-tama, saya ingin | mengucapkan | terimakasih kepada siapa saja yang telah memberikan komentar | 3 % |
juga obrolan-obrolan porno. Puisi-puisi jahiliah yang banyak | mengumbar | syhawat dan pornografi diekspresikan dalam bahasa Arab. Puis | 63 % |
ang tidak permanen dan tidak abadi. Menurut Al-Qur’an, Allah | mengutus | Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah (message), dan risalah | 70 % |
mereka bisa digunakan untuk menjelaskan apa yang selama ini | menjadi | concern ulama dan intelektual Muslim. Bagaimanapun, kritik t | 32 % |
-temporal yang dijumpai dalam ayat-ayat Al-Qur’an telah lama | menjadi | kajian para ulama dan ilmuwan Muslim. Dalam ‘Ulum al-Qur’an | 49 % |
mpu mengaktualisasikan wahyu Tuhan dari potensi (bil quwwah) | menjadi | kenyataan (bil fi’il). Dalam proses aktualisasi wahyu dar | 59 % |
il fi’il). Dalam proses aktualisasi wahyu dari bil quwwah | menjadi | bil fi’il ada sejumlah proses reduksi. Hal ini lumrah belaka | 59 % |
sejarahnya, ada dua tahap pemanusiaan kalamullah itu hingga | menjadi | bentuknya yang kita lihat sekarang. Tahap pertama adalah tah | 82 % |
yat-ayat yang diturunkan secara kronologis (tartib al-nuzul) | menjadi | urutan bacaan seperti kita kenal sekarang (tartib al-tilawah | 82 % |
persoalan penulisan dan penertiban ayat-ayat Al-Qur’an tetap | menjadi | isu hangat yang terus diperdebatkan. Tidak ada yang tabu bag | 90 % |
an surah al-Ahzab dan karenanya Al-Qur’an yang dibuat Uthman | menjadi | lebih ramping dari Mushaf yang dimilikinya. Menurut saya | 92 % |
dan kesejarahan setiap wahyu yang diturunkan; dan kedua, ia | menjadikan | Al-Qur’an sebagai sebuah bacaan “magis” (karena yang ditekan | 86 % |
a, kerja keras dan temuan-temuan mereka bisa digunakan untuk | menjelaskan | apa yang selama ini menjadi concern ulama dan intelektual Mu | 31 % |
storis terhadap Al-Qur’an membantu kita, di antaranya, untuk | menjelaskan | persoalan-persoalan klasik hubungan antara wahyu, kitab suci | 38 % |
cara umum. Selanjutnya, masalah ini juga dapat membantu kita | menjelaskan | peran dan fungsi agama-agama di dunia ini bagi umat manusia. | 39 % |
a agama-agama di dunia. Para filsuf Muslim klasik mencoba | menjelaskan | persoalan-persoalan itu dengan menggunakan analisa-analisa y | 54 % |
ereka yang mempelajari disiplin filsafat. Al-Farabi misalnya | menjelaskan | proses turunnya wahyu Allah kepada Nabi Muhammad sebagai pro | 55 % |
masalah i’jazul Qur’an (e.g. angka 19, dll). Siapa saja yang | menolak | mitos-mitos ini, juga akan dicap dengan istilah-istilah sera | 35 % |
i dan para sahabatnya. Kasus-kasus seperti minuman keras dan | menstruasi | (yang disebutkan dalam ayat yas’alunaka itu), adalah persola | 47 % |
si yang mendesak tersebut, maka ayat-ayat tentang khamar dan | menstruasi | akan absen dari Al-Qur’an. Fenomena lokal-temporal yang d | 49 % |
apologetis. Saya pikir, rasanya kurang adil kalau saya hanya | mensuplay | ke dalam memori pikiran saya pengetahuan apologetis saja. | 8 % |
masih terus ada yang mengganjal kalau belum ditulis. Ketika | menulis | artikel itu, saya mendapat panduan dari karya-karya sarjana | 10 % |
sumber-sumber aselinya. Dan ini yang saya coba lakukan dalam | menulis | artikel itu. Untuk menulis artikel singkat itu, saya meru | 17 % |
i yang saya coba lakukan dalam menulis artikel itu. Untuk | menulis | artikel singkat itu, saya merujuk semua buku yang disebut pa | 17 % |
ar belakang mengapa artikel itu saya tulis. Semula saya ragu | menuliskan | apa yang saya baca. Tapi, rasanya masih terus ada yang mengg | 9 % |
ebih piawai, lebih ahli, dan lebih produktif dari saya dalam | menuliskan | sejarah Al-Qur’an. Namun, hanya karena tulisan-tulisan dia s | 21 % |
coba membaca Al-Qur’an dengan model bacaan saya sendiri yang | menurut | saya lebih berkesan dan mempengaruhi intensitas keberagamaan | 6 % |
orang. Di website JIL sendiri, ada tiga artikel Taufik, yang | menurut | saya, memiliki pesan yang sama dengan refleksi yang saya bua | 23 % |
yang manusiawi, seperti kita memahami sejarah alam semesta. | menurut | para astrofisikawan, alam semesta tak bisa dipahami kecuali | 40 % |
a melihat satu dimensi saja dan mengabaikan dimensi lainnya. | menurut | saya, dimensi historis Al-Qur’an adalah modal penting bagi k | 43 % |
uga ditulis dalam bahasa Arab. Persoalan utama Al-Qur’an, | menurut | saya, bukanlah persoalan penafsiran semata, tapi memahaminya | 64 % |
n Al-Qur’an dalam ruang yang tidak permanen dan tidak abadi. | menurut | Al-Qur’an, Allah mengutus Nabi Muhammad sebagai pembawa risa | 70 % |
t Uthman menjadi lebih ramping dari Mushaf yang dimilikinya. | menurut | saya, keyakinan akan imanensi dan permanensi Al-Qur’an, sela | 93 % |
Muslim di masa klasik dan intelektual Muslim di masa modern, | menyangkut | hubungan antara risalah kenabian, kitab suci, posisi Allah, | 53 % |
tqan karya al-Suyuthi. Dalam artikel itu, sengaja saya tidak | menyebut | nama orientalis satupun, karena saya sadar bahwa kaum Muslim | 19 % |
bantu dalam menafsirkan Al-Qur’an, tapi tidak membantu dalam | menyelesaikan | persoalan-persoalan yang lebih substansial yang umumnya diha | 52 % |
an penaklukkan dunia Islam. Tapi, saya meyakini, tidak semua | mereka | seburuk apa yang dicurigai kaum Muslim. Dunia sekarang ini s | 15 % |
ari saya bahwa saya merujuk kepada orientalis, agar kemudian | mereka | bisa berteriak: “tuh kan Luthfi ujung-ujungnya pake oriental | 25 % |
Sedangkan orang lain, apalagi orang di luar Islam, meskipun | mereka | punya keahlian untuk itu, dianggap tak layak, dan bahkan kal | 26 % |
ah mengingakan agar kita jangan mudah terjatuh pada apa yang | mereka | sebut sebagai ughluthat al-askhash (ad hominem), yakni mengh | 29 % |
n selama ini. Pada gilirannya, kerja keras dan temuan-temuan | mereka | bisa digunakan untuk menjelaskan apa yang selama ini menjadi | 31 % |
lmuwan Muslim. Dalam ‘Ulum al-Qur’an dan juga Ushul al-Fiqh, | mereka | menciptakan kaedah-kaedah yang tujuannya meuniversalkan pesa | 50 % |
rumit yang hanya dipahami oleh kalangan tertentu, khususnya | mereka | yang mempelajari disiplin filsafat. Al-Farabi misalnya menje | 55 % |
an mendorong sebagian ulama untuk membesar-besarkan apa yang | mereka | sebut sebagai “i’jaz al-balaghi al-Qur’ani” (mu’jizat sastra | 88 % |
umnya, agar ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada | mereka” | (Q.S. 14:4). Dengan kata lain, alasan mengapa Al-Qur’an berb | 74 % |
s tidak memiliki al-Fatihah, dan al-Suyuthi bebas-bebas saja | meriwayatkan | Hadith ‘Aisyah bahwa Mushaf Uthmani telah menghilangkan sura | 92 % |
arena semua kitab itu bisa saya dapatkan, sehingga saya bisa | merujuk | setiap klaim yang dibuat oleh para sarjana Al-Qur’an dari Ba | 12 % |
ulis artikel itu. Untuk menulis artikel singkat itu, saya | merujuk | semua buku yang disebut para orientalis, khususnya kitab al- | 18 % |
gan tak sabar ingin mendengar pengakuan dari saya bahwa saya | merujuk | kepada orientalis, agar kemudian mereka bisa berteriak: “tuh | 24 % |
tu dengan lainnya. Daya kenabian yang dimiliki Nabi Muhammad | merupakan | yang terbesar, sehingga dia mampu mengaktualisasikan wahyu T | 58 % |
kesamaan-kesamaan dengan kitab-kitab suci lainnya (yang juga | merupakan | manifestasi kalamullah). Aspek kesamaan inilah (dalam bahasa | 98 % |
) yang dilakukan sepanjang sejarah Islam hingga digunakannya | mesin | cetak pada masa modern. Seperti kita ketahui, susunan Al- | 84 % |
lam saja. Sedangkan orang lain, apalagi orang di luar Islam, | meskipun | mereka punya keahlian untuk itu, dianggap tak layak, dan bah | 26 % |
hul al-Fiqh, mereka menciptakan kaedah-kaedah yang tujuannya | meuniversalkan | pesan-pesan Al-Qur’an, seperti al-’ibrah bi ‘umum al-lafdh l | 50 % |
jika ada yang berkomentar seperti ini. Seolah-olah, ilmu itu | milik | umat Islam saja, dan yang boleh meneliti sesuatu hanya orang | 26 % |
yang dijalani Nabi dan para sahabatnya. Kasus-kasus seperti | minuman | keras dan menstruasi (yang disebutkan dalam ayat yas’alunaka | 47 % |
ucian dan kemaksuman kitab suci, mitos-mitos pun diciptakan, | misalnya | seperti masalah i’jazul Qur’an (e.g. angka 19, dll). Siapa s | 35 % |
yang dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan para sahabat Nabi, | misalnya | (yas’alunaka anil khamr, anil ahillah, anil mahidh, dan sete | 46 % |
ususnya mereka yang mempelajari disiplin filsafat. Al-Farabi | misalnya | menjelaskan proses turunnya wahyu Allah kepada Nabi Muhammad | 55 % |
jenis. Untuk membentengi kesucian dan kemaksuman kitab suci, | mitos-mitos | pun diciptakan, misalnya seperti masalah i’jazul Qur’an (e.g | 35 % |
i’jazul Qur’an (e.g. angka 19, dll). Siapa saja yang menolak | mitos-mitos | ini, juga akan dicap dengan istilah-istilah seram di atas. I | 35 % |
nsi lainnya. Menurut saya, dimensi historis Al-Qur’an adalah | modal | penting bagi kita memahami fungsi dan peran Al-Qur’an yang s | 43 % |
adhan. Pada bulan itu, saya mencoba membaca Al-Qur’an dengan | model | bacaan saya sendiri yang menurut saya lebih berkesan dan mem | 5 % |
gika) jauh-jauh hari juga sudah mengingakan agar kita jangan | mudah | terjatuh pada apa yang mereka sebut sebagai ughluthat al-ask | 29 % |
misalnya menjelaskan proses turunnya wahyu Allah kepada Nabi | muhammad | sebagai proses yang sepenuhnya bersifat psikologis (al-nafsi | 56 % |
erbeda satu dengan lainnya. Daya kenabian yang dimiliki Nabi | muhammad | merupakan yang terbesar, sehingga dia mampu mengaktualisasik | 58 % |
anen dan tidak abadi. Menurut Al-Qur’an, Allah mengutus Nabi | muhammad | sebagai pembawa risalah (message), dan risalah itu bernama “ | 70 % |
seperti diberitakan Al-Qur’an, bukanlah agama yang baru, dan | muhammad | bukanlah satu-satunya pembawa risalah. Sebelumnya, risalah i | 71 % |
pada dasarnya adalah sesuatu --meminjam istilah para pemikir | muktazilah-- | “yang diciptakan” (makhluq) dalam kebaharuan (muhdath), dan | 68 % |
ayat yas’alunaka itu), adalah persolan manusia di dunia yang | muncul | tiba-tiba karena desakan situasi yang dihadapi para sahabat | 47 % |
leksikal, dan sintaks. Bahasa Arab bukanlah bahasa baru yang | muncul | tiba-tiba karena Al-Qur’an. Bahasa ini telah ada sejak lama | 61 % |
l-Suyuthi bebas-bebas saja meriwayatkan Hadith ‘Aisyah bahwa | mushaf | Uthmani telah menghilangkan surah al-Ahzab dan karenanya Al- | 92 % |
anya Al-Qur’an yang dibuat Uthman menjadi lebih ramping dari | mushaf | yang dimilikinya. Menurut saya, keyakinan akan imanensi | 93 % |
Qur’an. Ibn Nadiem bebas-bebas saja membuat pernyataan bahwa | mushafnya | Ibn Abbas tidak memiliki al-Fatihah, dan al-Suyuthi bebas-be | 91 % |
nyebut nama orientalis satupun, karena saya sadar bahwa kaum | muslim | memiliki apriori dan prasangka yang luar biasa pada nama-nam | 19 % |
tas. Itulah yang terjadi dengan banyak ulama dan intelektual | muslim | yang mencoba “membaca” Al-Qur’an dengan perspektif lain, sep | 36 % |
ang lebih substansial yang umumnya dihadapi oleh para filsuf | muslim | di masa klasik dan intelektual Muslim di masa modern, menyan | 53 % |
adapi oleh para filsuf Muslim di masa klasik dan intelektual | muslim | di masa modern, menyangkut hubungan antara risalah kenabian, | 53 % |
, wahyu, dan beragamnya agama-agama di dunia. Para filsuf | muslim | klasik mencoba menjelaskan persoalan-persoalan itu dengan me | 54 % |
ut “kalimatun sawaa”) yang harus selalu ditekankan oleh kaum | muslim | secara khusus dan seluruh umat beragama secara umum. Imani billahi akbar wa huwa khayrul musta’an. | 99 % |
dengan melihat proses-proses pembentukannya, baik pada masa | nabi | dan masa-masa sesudahnya sangat penting, untuk mengingatkan | 1 % |
an seterusnya), adalah refleksi dari kehidupan yang dijalani | nabi | dan para sahabatnya. Kasus-kasus seperti minuman keras dan m | 46 % |
tiba-tiba karena desakan situasi yang dihadapi para sahabat | nabi | saat itu. Dengan kata lain, jika tidak ada situasi yang mend | 48 % |
rabi misalnya menjelaskan proses turunnya wahyu Allah kepada | nabi | Muhammad sebagai proses yang sepenuhnya bersifat psikologis | 56 % |
itu berbeda satu dengan lainnya. Daya kenabian yang dimiliki | nabi | Muhammad merupakan yang terbesar, sehingga dia mampu mengakt | 58 % |
permanen dan tidak abadi. Menurut Al-Qur’an, Allah mengutus | nabi | Muhammad sebagai pembawa risalah (message), dan risalah itu | 70 % |
kenal sekarang (tartib al-tilawah). Ini dilakukan pada masa | nabi | dan dilengkapi pada masa Uthman bin Affan. Tahap selanjutnya | 83 % |
dengan melihat proses-proses pembentukannya, baik pada masa | nabi | dan masa-masa sesudahnya sangat penting, untuk mengingatkan | 95 % |
sarjana Al-Qur’an dari Barat atau yang biasa disebut dengan | nada | permusuhan sebagai “orientalis” itu telah banyak berjasa bag | 13 % |
lah berusaha memperlihatkan bahwa hingga abad ke-4 (masa Ibn | nadiem | dan Ibn Abi Daud) dan bahkan hingga abad ke-10 (masa Jalalud | 89 % |
slam kala itu untuk mendiskusikan kesejarahan Al-Qur’an. Ibn | nadiem | bebas-bebas saja membuat pernyataan bahwa Mushafnya Ibn Abba | 91 % |
leh Allah, seperti dijanjikan dalam salah satu ayatnya (Inna | nahnu | nazzalna al-dhikra wa inna lahu lahafidhun Q.S. 15:9). Adapu | 67 % |
a al-Suyuthi. Dalam artikel itu, sengaja saya tidak menyebut | nama | orientalis satupun, karena saya sadar bahwa kaum Muslim memi | 19 % |
m Muslim memiliki apriori dan prasangka yang luar biasa pada | nama-nama | mereka. Saya pikir, kalau saya kutip nama-nama orientalis it | 20 % |
ar biasa pada nama-nama mereka. Saya pikir, kalau saya kutip | nama-nama | orientalis itu, paling-paling artikel saya akan dicampakkan | 20 % |
Qur’an. Namun, hanya karena tulisan-tulisan dia sarat dengan | nama-nama | seperti Jeffrey, Wansborough, dan semacamnya, tulisan-tulisa | 22 % |
da lingkup kebahasaan dan kesejarahan di mana ia diturunkan. | namun | demikian, sebagai sebuah manifestasi dari kalamullah, Al-Qur | 97 % |
keberagamaan saya. Secara khusus, saya membaca beberapa buku | nasr | Hamed Abu Zayd dan juga beberapa artikel yang ditulis oleh s | 6 % |
lah, seperti dijanjikan dalam salah satu ayatnya (Inna nahnu | nazzalna | al-dhikra wa inna lahu lahafidhun Q.S. 15:9). Adapun Al-Qur’ | 67 % |
sial, bisnis, puisi, literatur, graffitti, kecaman, dan juga | obrolan-obrolan | porno. Puisi-puisi jahiliah yang banyak mengumbar syhawat da | 62 % |
u Nasr Hamed Abu Zayd dan juga beberapa artikel yang ditulis | oleh | sarjana Al-Qur’an dari Barat. Saya selalu terobsesi untuk me | 7 % |
apatkan, sehingga saya bisa merujuk setiap klaim yang dibuat | oleh | para sarjana Al-Qur’an dari Barat itu. Saya pikir, para s | 12 % |
ebagian dari mereka, seperti dengan baik telah diperlihatkan | oleh | para kritikus orientalis semacam A.L. Tibawi dan Edward Said | 14 % |
bisa diperoleh semua orang dengan mudah. Apa yang dikatakan | oleh | para orientalis itu bisa kita rujuk dan buktikan ke sumber-s | 16 % |
baca” Al-Qur’an dengan perspektif lain, seperti yang dialami | oleh | Arkoun, Syahrour, dan Abu Zayd. Kajian historis terhadap | 37 % |
oalan-persoalan yang lebih substansial yang umumnya dihadapi | oleh | para filsuf Muslim di masa klasik dan intelektual Muslim di | 52 % |
n menggunakan analisa-analisa yang rumit yang hanya dipahami | oleh | kalangan tertentu, khususnya mereka yang mempelajari disipli | 55 % |
ena Al-Qur’an. Bahasa ini telah ada sejak lama dan digunakan | oleh | masyarakat Arabia sebagai alat komunikasi dalam interaksi so | 62 % |
. Kalamullah yang abadi dan eternal inilah yang terus dijaga | oleh | Allah, seperti dijanjikan dalam salah satu ayatnya (Inna nah | 67 % |
paya koleksi, modifikasi, dan unifikasi, yang dilakukan baik | oleh | para sahabat maupun orang-orang yang sesudahnya adalah conto | 69 % |
r’an disebut “kalimatun sawaa”) yang harus selalu ditekankan | oleh | kaum Muslim secara khusus dan seluruh umat beragama secara u | 99 % |
da lingkup kebahasaan dan kesejarahan di mana ia diturunkan. | oleh: | Luthfi Assyaukanie Pertama-tama, saya ingin mengucapkan t | 3 % |
dan tanpa batas. Akses kepada informasi bisa diperoleh semua | orang | dengan mudah. Apa yang dikatakan oleh para orientalis itu bi | 16 % |
milik umat Islam saja, dan yang boleh meneliti sesuatu hanya | orang | Islam saja. Sedangkan orang lain, apalagi orang di luar Isla | 26 % |
ang boleh meneliti sesuatu hanya orang Islam saja. Sedangkan | orang | lain, apalagi orang di luar Islam, meskipun mereka punya kea | 26 % |
esuatu hanya orang Islam saja. Sedangkan orang lain, apalagi | orang | di luar Islam, meskipun mereka punya keahlian untuk itu, dia | 26 % |
dan unifikasi, yang dilakukan baik oleh para sahabat maupun | orang-orang | yang sesudahnya adalah contoh dari proses-proses keterciptaa | 69 % |
ur’an berbahasa Arab karena semata-mata ia diturunkan kepada | orang-orang | Arab. Tidak lebih dan tidak kurang. Bahasa manusia adalah | 75 % |
, seperti dengan baik telah diperlihatkan oleh para kritikus | orientalis | semacam A.L. Tibawi dan Edward Said, adalah para sarjana yan | 14 % |
roleh semua orang dengan mudah. Apa yang dikatakan oleh para | orientalis | itu bisa kita rujuk dan buktikan ke sumber-sumber aselinya. | 17 % |
Suyuthi. Dalam artikel itu, sengaja saya tidak menyebut nama | orientalis | satupun, karena saya sadar bahwa kaum Muslim memiliki aprior | 19 % |
ada nama-nama mereka. Saya pikir, kalau saya kutip nama-nama | orientalis | itu, paling-paling artikel saya akan dicampakkan begitu saja | 20 % |
ata, dan bukan apa yang dikatakan. Bagi saya, kajian para | orientalis | telah membuka banyak dimensi tak terpikirkan dari sejarah Al | 30 % |
Al-Qur’an dengan melihat proses-proses pembentukannya, baik | pada | masa Nabi dan masa-masa sesudahnya sangat penting, untuk men | 1 % |
a di dunia ini, Al-Qur’an memiliki keterbatasan-keterbatasan | pada | lingkup kebahasaan dan kesejarahan di mana ia diturunkan. | 2 % |
yang dipublikasikan di website Jaringan Islam Liberal (JIL). | pada | mulanya, artikel itu adalah bagian dari refleksi kegiatan sp | 4 % |
dari refleksi kegiatan spiritual saya selama bulan Ramadhan. | pada | bulan itu, saya mencoba membaca Al-Qur’an dengan model bacaa | 5 % |
a kaum Muslim memiliki apriori dan prasangka yang luar biasa | pada | nama-nama mereka. Saya pikir, kalau saya kutip nama-nama ori | 20 % |
hari juga sudah mengingakan agar kita jangan mudah terjatuh | pada | apa yang mereka sebut sebagai ughluthat al-askhash (ad homin | 29 % |
k dimensi tak terpikirkan dari sejarah Al-Qur’an selama ini. | pada | gilirannya, kerja keras dan temuan-temuan mereka bisa diguna | 31 % |
dalam bentuk bahasa manusia, yakni bahasa Arab, yang tunduk | pada | aturan-aturan retoris, gramatis, semantik, leksikal, dan sin | 60 % |
dhikra wa inna lahu lahafidhun Q.S. 15:9). Adapun Al-Qur’an, | pada | dasarnya adalah sesuatu --meminjam istilah para pemikir Mukt | 67 % |
Bahasa manusia adalah instrumen komunikasi yang terbatas | pada | budaya, tempat, dan waktu di mana ia digunakan. Kosakata dar | 75 % |
h) yang universal, tapi keterbatasan bahasa Arab yang tunduk | pada | situasi dan kondisi saat Al-Qur’an diturunkan. Sejarah pembu | 77 % |
mullah yang universal dan eternal. Seperti juga yang terjadi | pada | kitab-kitab suci lainnya, seperti Taurat, Injil, Zabur, Al-Q | 78 % |
perti kita kenal sekarang (tartib al-tilawah). Ini dilakukan | pada | masa Nabi dan dilengkapi pada masa Uthman bin Affan. Tahap s | 83 % |
tib al-tilawah). Ini dilakukan pada masa Nabi dan dilengkapi | pada | masa Uthman bin Affan. Tahap selanjutnya adalah pemberian ta | 83 % |
ukan sepanjang sejarah Islam hingga digunakannya mesin cetak | pada | masa modern. Seperti kita ketahui, susunan Al-Qur’an yang | 84 % |
Al-Qur’an dengan melihat proses-proses pembentukannya, baik | pada | masa Nabi dan masa-masa sesudahnya sangat penting, untuk men | 95 % |
a di dunia ini, Al-Qur’an memiliki keterbatasan-keterbatasan | pada | lingkup kebahasaan dan kesejarahan di mana ia diturunkan. Na | 97 % |
bahkan kalau perlu dianggap “najis” yang harus dicampakkan. | padahal | Sayyidina Ali jauh-jauh hari sudah mengingatkan kita: Undzur | 27 % |
mudian mereka bisa berteriak: “tuh kan Luthfi ujung-ujungnya | pake | orientalis.” Saya sedih jika ada yang berkomentar seperti in | 25 % |
si Al-Qur’an, selain bertentangan dengan prinsip tauhid yang | paling | asasi (yakni hanya Allah yang imanen dan permanen, adapun ya | 93 % |
reka. Saya pikir, kalau saya kutip nama-nama orientalis itu, | paling-paling | artikel saya akan dicampakkan begitu saja. Agaknya, ini yang | 20 % |
lau belum ditulis. Ketika menulis artikel itu, saya mendapat | panduan | dari karya-karya sarjana Al-Qur’an dari Barat untuk membuka | 10 % |
an, sehingga saya bisa merujuk setiap klaim yang dibuat oleh | para | sarjana Al-Qur’an dari Barat itu. Saya pikir, para sarjan | 12 % |
t oleh para sarjana Al-Qur’an dari Barat itu. Saya pikir, | para | sarjana Al-Qur’an dari Barat atau yang biasa disebut dengan | 12 % |
an dari mereka, seperti dengan baik telah diperlihatkan oleh | para | kritikus orientalis semacam A.L. Tibawi dan Edward Said, ada | 14 % |
tikus orientalis semacam A.L. Tibawi dan Edward Said, adalah | para | sarjana yang bekerja untuk kepentingan proyek kolonialisme d | 14 % |
diperoleh semua orang dengan mudah. Apa yang dikatakan oleh | para | orientalis itu bisa kita rujuk dan buktikan ke sumber-sumber | 17 % |
is artikel singkat itu, saya merujuk semua buku yang disebut | para | orientalis, khususnya kitab al-masahif karya Ibn Abi Daud, a | 18 % |
ya, memiliki pesan yang sama dengan refleksi yang saya buat. | para | pengkritik dan pengecam artikel saya berusaha dengan tak sab | 24 % |
at apa yang dikatakan, dan jangan lihat siapa yang berkata). | para | ulama mantiq (ahli logika) jauh-jauh hari juga sudah menging | 28 % |
berkata, dan bukan apa yang dikatakan. Bagi saya, kajian | para | orientalis telah membuka banyak dimensi tak terpikirkan dari | 30 % |
nusiawi, seperti kita memahami sejarah alam semesta. Menurut | para | astrofisikawan, alam semesta tak bisa dipahami kecuali kita | 40 % |
emporal. Ayat-ayat yang dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan | para | sahabat Nabi, misalnya (yas’alunaka anil khamr, anil ahillah | 45 % |
snya), adalah refleksi dari kehidupan yang dijalani Nabi dan | para | sahabatnya. Kasus-kasus seperti minuman keras dan menstruasi | 46 % |
a yang muncul tiba-tiba karena desakan situasi yang dihadapi | para | sahabat nabi saat itu. Dengan kata lain, jika tidak ada situ | 48 % |
dijumpai dalam ayat-ayat Al-Qur’an telah lama menjadi kajian | para | ulama dan ilmuwan Muslim. Dalam ‘Ulum al-Qur’an dan juga Ush | 49 % |
-persoalan yang lebih substansial yang umumnya dihadapi oleh | para | filsuf Muslim di masa klasik dan intelektual Muslim di masa | 52 % |
i, posisi Allah, wahyu, dan beragamnya agama-agama di dunia. | para | filsuf Muslim klasik mencoba menjelaskan persoalan-persoalan | 54 % |
n Al-Qur’an, pada dasarnya adalah sesuatu --meminjam istilah | para | pemikir Muktazilah-- “yang diciptakan” (makhluq) dalam kebah | 68 % |
koleksi, modifikasi, dan unifikasi, yang dilakukan baik oleh | para | sahabat maupun orang-orang yang sesudahnya adalah contoh dar | 69 % |
antara kitab-kitab suci itu (dan selanjutnya juga di antara | para | pemeluk agama). Al-Qur’an sendiri adalah produk pemanusia | 80 % |
tara para pemeluk agama). Al-Qur’an sendiri adalah produk | pemanusiaan | (humanizing) pesan-pesan Allah (kalamullah) yang universal d | 81 % |
yang universal dan eternal. Dalam sejarahnya, ada dua tahap | pemanusiaan | kalamullah itu hingga menjadi bentuknya yang kita lihat seka | 81 % |
adi. Menurut Al-Qur’an, Allah mengutus Nabi Muhammad sebagai | pembawa | risalah (message), dan risalah itu bernama “Islam.” Sebagai | 70 % |
bukanlah agama yang baru, dan Muhammad bukanlah satu-satunya | pembawa | risalah. Sebelumnya, risalah itu telah disampaikan kepada Ib | 72 % |
an peran Al-Qur’an yang sesungguhnya. Dari kajian sejarah | pembentukan | Al-Qur’an, kita mengetahui bahwa kitab suci ini berkembang d | 44 % |
engkapi pada masa Uthman bin Affan. Tahap selanjutnya adalah | pemberian | tanda baca (tasykil) yang dilakukan sepanjang sejarah Islam | 84 % |
pada situasi dan kondisi saat Al-Qur’an diturunkan. Sejarah | pembukuan | Al-Qur’an adalah sejarah pereduksian kalamullah yang univers | 77 % |
ra kitab-kitab suci itu (dan selanjutnya juga di antara para | pemeluk | agama). Al-Qur’an sendiri adalah produk pemanusiaan (huma | 80 % |
Qur’an, pada dasarnya adalah sesuatu --meminjam istilah para | pemikir | Muktazilah-- “yang diciptakan” (makhluq) dalam kebaharuan (m | 68 % |
Persoalan utama Al-Qur’an, menurut saya, bukanlah persoalan | penafsiran | semata, tapi memahaminya sebagai sebuah produk ilahiah (al-i | 64 % |
rjana yang bekerja untuk kepentingan proyek kolonialisme dan | penaklukkan | dunia Islam. Tapi, saya meyakini, tidak semua mereka seburuk | 15 % |
i ughluthat al-askhash (ad hominem), yakni menghukumi sebuah | pendapat | semata-mata melihat siapa yang berkata, dan bukan apa yang d | 30 % |
ke-10 (masa Jalaluddin al-Suyuthi), persoalan penulisan dan | penertiban | ayat-ayat Al-Qur’an tetap menjadi isu hangat yang terus dipe | 90 % |
gecam artikel saya berusaha dengan tak sabar ingin mendengar | pengakuan | dari saya bahwa saya merujuk kepada orientalis, agar kemudia | 24 % |
ntuknya yang kita lihat sekarang. Tahap pertama adalah tahap | pengaturan | ayat-ayat yang diturunkan secara kronologis (tartib al-nuzul | 82 % |
sama dengan refleksi yang saya buat. Para pengkritik dan | pengecam | artikel saya berusaha dengan tak sabar ingin mendengar penga | 24 % |
adil kalau saya hanya mensuplay ke dalam memori pikiran saya | pengetahuan | apologetis saja. Inilah latar belakang mengapa artikel it | 9 % |
liki pesan yang sama dengan refleksi yang saya buat. Para | pengkritik | dan pengecam artikel saya berusaha dengan tak sabar ingin me | 24 % |
g rasul kecuali dengan bahasa kaumnya, agar ia dapat memberi | penjelasan | dengan terang kepada mereka” (Q.S. 14:4). Dengan kata lain, | 74 % |
innya. Menurut saya, dimensi historis Al-Qur’an adalah modal | penting | bagi kita memahami fungsi dan peran Al-Qur’an yang sesungguh | 43 % |
karang. Perubahan susunan ini memiliki dua dampak yang cukup | penting: | pertama, ia menghancurkan konteks peristiwa dan kesejarahan | 85 % |
an hingga abad ke-10 (masa Jalaluddin al-Suyuthi), persoalan | penulisan | dan penertiban ayat-ayat Al-Qur’an tetap menjadi isu hangat | 90 % |
ses yang sepenuhnya bersifat psikologis (al-nafsiyyah). Agen | penyampai | wahyu yang umumnya disebut “Jibril” hanyalah salah satu daya | 56 % |
elanjutnya, masalah ini juga dapat membantu kita menjelaskan | peran | dan fungsi agama-agama di dunia ini bagi umat manusia. Saya | 39 % |
Al-Qur’an adalah modal penting bagi kita memahami fungsi dan | peran | Al-Qur’an yang sesungguhnya. Dari kajian sejarah pembentu | 44 % |
asa manusia yang beragam dan tidak sempurna, maka terjadilah | perbedaan-perbedaan | di antara kitab-kitab suci itu (dan selanjutnya juga di anta | 80 % |
ur’an diturunkan. Sejarah pembukuan Al-Qur’an adalah sejarah | pereduksian | kalamullah yang universal dan eternal. Seperti juga yang ter | 78 % |
h satu-kesatuan kitab suci dan sekaligus melihat detil-detil | peristiwa | kesejarahannya yang manusiawi, seperti kita memahami sejarah | 40 % |
dampak yang cukup penting: pertama, ia menghancurkan konteks | peristiwa | dan kesejarahan setiap wahyu yang diturunkan; dan kedua, ia | 86 % |
nakan. Kosakata dari bahasa selalu berkembang, sesuai dengan | perkembangan | zaman. Keterbatasan kosakata Al-Qur’an bukanlah keterbatasan | 76 % |
nya keahlian untuk itu, dianggap tak layak, dan bahkan kalau | perlu | dianggap “najis” yang harus dicampakkan. Padahal Sayyidina A | 27 % |
proses-proses keterciptaan Al-Qur’an dalam ruang yang tidak | permanen | dan tidak abadi. Menurut Al-Qur’an, Allah mengutus Nabi Muha | 70 % |
g dimilikinya. Menurut saya, keyakinan akan imanensi dan | permanensi | Al-Qur’an, selain bertentangan dengan prinsip tauhid yang pa | 93 % |
ana Al-Qur’an dari Barat atau yang biasa disebut dengan nada | permusuhan | sebagai “orientalis” itu telah banyak berjasa bagi tradisi k | 13 % |
artikel saya akan dicampakkan begitu saja. Agaknya, ini yang | pernah | terjadi dengan rekan saya, Taufik Adnan Amal, yang lebih pia | 21 % |
n kesejarahan Al-Qur’an. Ibn Nadiem bebas-bebas saja membuat | pernyataan | bahwa Mushafnya Ibn Abbas tidak memiliki al-Fatihah, dan al- | 91 % |
ggap “menyimpang” dari Islam juga ditulis dalam bahasa Arab. | persoalan | utama Al-Qur’an, menurut saya, bukanlah persoalan penafsiran | 64 % |
a Arab. Persoalan utama Al-Qur’an, menurut saya, bukanlah | persoalan | penafsiran semata, tapi memahaminya sebagai sebuah produk il | 64 % |
) dan bahkan hingga abad ke-10 (masa Jalaluddin al-Suyuthi), | persoalan | penulisan dan penertiban ayat-ayat Al-Qur’an tetap menjadi i | 89 % |
dap Al-Qur’an membantu kita, di antaranya, untuk menjelaskan | persoalan-persoalan | klasik hubungan antara wahyu, kitab suci, dan risalah kenabi | 38 % |
nafsirkan Al-Qur’an, tapi tidak membantu dalam menyelesaikan | persoalan-persoalan | yang lebih substansial yang umumnya dihadapi oleh para filsu | 52 % |
a di dunia. Para filsuf Muslim klasik mencoba menjelaskan | persoalan-persoalan | itu dengan menggunakan analisa-analisa yang rumit yang hanya | 54 % |
struasi (yang disebutkan dalam ayat yas’alunaka itu), adalah | persolan | manusia di dunia yang muncul tiba-tiba karena desakan situas | 47 % |
n intelektual Muslim yang mencoba “membaca” Al-Qur’an dengan | perspektif | lain, seperti yang dialami oleh Arkoun, Syahrour, dan Abu Za | 37 % |
itu hingga menjadi bentuknya yang kita lihat sekarang. Tahap | pertama | adalah tahap pengaturan ayat-ayat yang diturunkan secara kro | 82 % |
t bersifat lokal dan temporal. Ayat-ayat yang dimulai dengan | pertanyaan-pertanyaan | para sahabat Nabi, misalnya (yas’alunaka anil khamr, anil ah | 45 % |
kronologis berbeda dengan susunan yang kita lihat sekarang. | perubahan | susunan ini memiliki dua dampak yang cukup penting: pertama, | 85 % |
endiri, ada tiga artikel Taufik, yang menurut saya, memiliki | pesan | yang sama dengan refleksi yang saya buat. Para pengkritik | 23 % |
reka menciptakan kaedah-kaedah yang tujuannya meuniversalkan | pesan-pesan | Al-Qur’an, seperti al-’ibrah bi ‘umum al-lafdh la bi khusus | 50 % |
l ada sejumlah proses reduksi. Hal ini lumrah belaka, karena | pesan-pesan | Allah yang universal disampaikan dalam bentuk bahasa manusia | 60 % |
zaman. Keterbatasan kosakata Al-Qur’an bukanlah keterbatasan | pesan-pesan | Allah (kalamullah) yang universal, tapi keterbatasan bahasa | 76 % |
Al-Qur’an sendiri adalah produk pemanusiaan (humanizing) | pesan-pesan | Allah (kalamullah) yang universal dan eternal. Dalam sejarah | 81 % |
sanya kurang adil kalau saya hanya mensuplay ke dalam memori | pikiran | saya pengetahuan apologetis saja. Inilah latar belakang m | 9 % |
orno. Puisi-puisi jahiliah yang banyak mengumbar syhawat dan | pornografi | diekspresikan dalam bahasa Arab. Puisi-puisi dan literatur y | 63 % |
rn, menyangkut hubungan antara risalah kenabian, kitab suci, | posisi | Allah, wahyu, dan beragamnya agama-agama di dunia. Para f | 53 % |
esar, sehingga dia mampu mengaktualisasikan wahyu Tuhan dari | potensi | (bil quwwah) menjadi kenyataan (bil fi’il). Dalam proses | 58 % |
ah) saja yang ada dalam diri manusia. Setiap manusia, secara | potensial | (bil quwwah), memiliki daya kenabian, hanya saja intensitas | 57 % |
un, karena saya sadar bahwa kaum Muslim memiliki apriori dan | prasangka | yang luar biasa pada nama-nama mereka. Saya pikir, kalau say | 20 % |
usnya teks-teks suci) adalah disiplin baru yang tak memiliki | preseden | dalam sejarah intelektualisme umat manusia. Di masa silam, t | 32 % |
manensi dan permanensi Al-Qur’an, selain bertentangan dengan | prinsip | tauhid yang paling asasi (yakni hanya Allah yang imanen dan | 93 % |
persoalan penafsiran semata, tapi memahaminya sebagai sebuah | produk | ilahiah (al-intaj al-ilahy) yang berada dalam ruang sejarah | 65 % |
a di antara para pemeluk agama). Al-Qur’an sendiri adalah | produk | pemanusiaan (humanizing) pesan-pesan Allah (kalamullah) yang | 80 % |
Taufik Adnan Amal, yang lebih piawai, lebih ahli, dan lebih | produktif | dari saya dalam menuliskan sejarah Al-Qur’an. Namun, hanya k | 21 % |
empelajari disiplin filsafat. Al-Farabi misalnya menjelaskan | proses | turunnya wahyu Allah kepada Nabi Muhammad sebagai proses yan | 55 % |
kan proses turunnya wahyu Allah kepada Nabi Muhammad sebagai | proses | yang sepenuhnya bersifat psikologis (al-nafsiyyah). Agen pen | 56 % |
potensi (bil quwwah) menjadi kenyataan (bil fi’il). Dalam | proses | aktualisasi wahyu dari bil quwwah menjadi bil fi’il ada seju | 59 % |
alisasi wahyu dari bil quwwah menjadi bil fi’il ada sejumlah | proses | reduksi. Hal ini lumrah belaka, karena pesan-pesan Allah yan | 59 % |
r’an: Rejoinder Mengkaji sejarah Al-Qur’an dengan melihat | proses-proses | pembentukannya, baik pada masa Nabi dan masa-masa sesudahnya | 0 % |
ahabat maupun orang-orang yang sesudahnya adalah contoh dari | proses-proses | keterciptaan Al-Qur’an dalam ruang yang tidak permanen dan t | 70 % |
dan manusiawi. Mengkaji sejarah Al-Qur’an dengan melihat | proses-proses | pembentukannya, baik pada masa Nabi dan masa-masa sesudahnya | 95 % |
ard Said, adalah para sarjana yang bekerja untuk kepentingan | proyek | kolonialisme dan penaklukkan dunia Islam. Tapi, saya meyakin | 15 % |
kepada Nabi Muhammad sebagai proses yang sepenuhnya bersifat | psikologis | (al-nafsiyyah). Agen penyampai wahyu yang umumnya disebut “J | 56 % |
teratur, graffitti, kecaman, dan juga obrolan-obrolan porno. | puisi-puisi | jahiliah yang banyak mengumbar syhawat dan pornografi dieksp | 63 % |
mbar syhawat dan pornografi diekspresikan dalam bahasa Arab. | puisi-puisi | dan literatur yang dianggap “menyimpang” dari Islam juga dit | 63 % |
membentengi kesucian dan kemaksuman kitab suci, mitos-mitos | pun | diciptakan, misalnya seperti masalah i’jazul Qur’an (e.g. an | 35 % |
kan orang lain, apalagi orang di luar Islam, meskipun mereka | punya | keahlian untuk itu, dianggap tak layak, dan bahkan kalau per | 26 % |
yidina Ali jauh-jauh hari sudah mengingatkan kita: Undzur ma | qaala | wa la tandhur man qaala (lihat apa yang dikatakan, dan janga | 28 % |
i sudah mengingatkan kita: Undzur ma qaala wa la tandhur man | qaala | (lihat apa yang dikatakan, dan jangan lihat siapa yang berka | 28 % |
mitos-mitos pun diciptakan, misalnya seperti masalah i’jazul | qur’an | (e.g. angka 19, dll). Siapa saja yang menolak mitos-mitos in | 35 % |
taan (bil fi’il). Dalam proses aktualisasi wahyu dari bil | quwwah | menjadi bil fi’il ada sejumlah proses reduksi. Hal ini lumra | 59 % |
h latar belakang mengapa artikel itu saya tulis. Semula saya | ragu | menuliskan apa yang saya baca. Tapi, rasanya masih terus ada | 9 % |
zab dan karenanya Al-Qur’an yang dibuat Uthman menjadi lebih | ramping | dari Mushaf yang dimilikinya. Menurut saya, keyakinan ak | 92 % |
ng terlalu banyak dengan karya-karya apologetis. Saya pikir, | rasanya | kurang adil kalau saya hanya mensuplay ke dalam memori pikir | 8 % |
tulis. Semula saya ragu menuliskan apa yang saya baca. Tapi, | rasanya | masih terus ada yang mengganjal kalau belum ditulis. Ketika | 10 % |
seperti kata Al-Qur’an sendiri: “Tidaklah kami utus seorang | rasul | kecuali dengan bahasa kaumnya, agar ia dapat memberi penjela | 73 % |
Liberal (JIL). Pada mulanya, artikel itu adalah bagian dari | refleksi | kegiatan spiritual saya selama bulan Ramadhan. Pada bulan it | 5 % |
l Taufik, yang menurut saya, memiliki pesan yang sama dengan | refleksi | yang saya buat. Para pengkritik dan pengecam artikel saya | 23 % |
il khamr, anil ahillah, anil mahidh, dan seterusnya), adalah | refleksi | dari kehidupan yang dijalani Nabi dan para sahabatnya. Kasus | 46 % |
Sejarah Al-Qur’an: | rejoinder | Mengkaji sejarah Al-Qur’an dengan melihat proses-proses pemb | 0 % |
mpakkan begitu saja. Agaknya, ini yang pernah terjadi dengan | rekan | saya, Taufik Adnan Amal, yang lebih piawai, lebih ahli, dan | 21 % |
i” (mu’jizat sastrawi Al-Qur’an). Dalam tulisan saya yang | ringkas | itu, saya telah berusaha memperlihatkan bahwa hingga abad ke | 88 % |
alan-persoalan klasik hubungan antara wahyu, kitab suci, dan | risalah | kenabian, secara umum. Selanjutnya, masalah ini juga dapat m | 38 % |
ntelektual Muslim di masa modern, menyangkut hubungan antara | risalah | kenabian, kitab suci, posisi Allah, wahyu, dan beragamnya ag | 53 % |
urut Al-Qur’an, Allah mengutus Nabi Muhammad sebagai pembawa | risalah | (message), dan risalah itu bernama “Islam.” Sebagai sebuah r | 70 % |
engutus Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah (message), dan | risalah | itu bernama “Islam.” Sebagai sebuah risalah, Islam, seperti | 71 % |
Muhammad bukanlah satu-satunya pembawa risalah. Sebelumnya, | risalah | itu telah disampaikan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa (Q.S. 42 | 72 % |
sebuah produk ilahiah (al-intaj al-ilahy) yang berada dalam | ruang | sejarah manusia yang tidak suci dan terbatas. Teks-teks yang | 65 % |
dalah contoh dari proses-proses keterciptaan Al-Qur’an dalam | ruang | yang tidak permanen dan tidak abadi. Menurut Al-Qur’an, Alla | 70 % |
mudah. Apa yang dikatakan oleh para orientalis itu bisa kita | rujuk | dan buktikan ke sumber-sumber aselinya. Dan ini yang saya co | 17 % |
soalan-persoalan itu dengan menggunakan analisa-analisa yang | rumit | yang hanya dipahami oleh kalangan tertentu, khususnya mereka | 54 % |
s | ejarah Al-Qur’an: Rejoinder Mengkaji sejarah Al-Qur’an de | 0 % | |
-tiba karena desakan situasi yang dihadapi para sahabat nabi | saat | itu. Dengan kata lain, jika tidak ada situasi yang mendesak | 48 % |
eterbatasan bahasa Arab yang tunduk pada situasi dan kondisi | saat | Al-Qur’an diturunkan. Sejarah pembukuan Al-Qur’an adalah sej | 77 % |
ara pengkritik dan pengecam artikel saya berusaha dengan tak | sabar | ingin mendengar pengakuan dari saya bahwa saya merujuk kepad | 24 % |
berjasa bagi tradisi kesejarahan Al-Qur’an. Saya bukan tidak | sadar | bahwa sebagian dari mereka, seperti dengan baik telah diperl | 13 % |
aja saya tidak menyebut nama orientalis satupun, karena saya | sadar | bahwa kaum Muslim memiliki apriori dan prasangka yang luar b | 19 % |
al. Ayat-ayat yang dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan para | sahabat | Nabi, misalnya (yas’alunaka anil khamr, anil ahillah, anil m | 45 % |
g muncul tiba-tiba karena desakan situasi yang dihadapi para | sahabat | nabi saat itu. Dengan kata lain, jika tidak ada situasi yang | 48 % |
si, modifikasi, dan unifikasi, yang dilakukan baik oleh para | sahabat | maupun orang-orang yang sesudahnya adalah contoh dari proses | 69 % |
ertama-tama, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada siapa | saja | yang telah memberikan komentar dan kritik terhadap artikel s | 3 % |
tutup yang sudah selesai dan tak boleh diganggu-gugat. Siapa | saja | yang mencoba mengkritisinya, dia akan dianggap “murtad,” “ka | 34 % |
a seperti masalah i’jazul Qur’an (e.g. angka 19, dll). Siapa | saja | yang menolak mitos-mitos ini, juga akan dicap dengan istilah | 35 % |
sa dipahami dengan baik jika kita hanya melihat satu dimensi | saja | dan mengabaikan dimensi lainnya. Menurut saya, dimensi histo | 43 % |
g umumnya disebut “Jibril” hanyalah salah satu daya (quwwah) | saja | yang ada dalam diri manusia. Setiap manusia, secara potensia | 57 % |
secara potensial (bil quwwah), memiliki daya kenabian, hanya | saja | intensitas kenabian itu berbeda satu dengan lainnya. Daya ke | 57 % |
mendiskusikan kesejarahan Al-Qur’an. Ibn Nadiem bebas-bebas | saja | membuat pernyataan bahwa Mushafnya Ibn Abbas tidak memiliki | 91 % |
Abbas tidak memiliki al-Fatihah, dan al-Suyuthi bebas-bebas | saja | meriwayatkan Hadith ‘Aisyah bahwa Mushaf Uthmani telah mengh | 92 % |
Agen penyampai wahyu yang umumnya disebut “Jibril” hanyalah | salah | satu daya (quwwah) saja yang ada dalam diri manusia. Setiap | 56 % |
nilah yang terus dijaga oleh Allah, seperti dijanjikan dalam | salah | satu ayatnya (Inna nahnu nazzalna al-dhikra wa inna lahu lah | 67 % |
tiga artikel Taufik, yang menurut saya, memiliki pesan yang | sama | dengan refleksi yang saya buat. Para pengkritik dan penge | 23 % |
pembentukannya, baik pada masa Nabi dan masa-masa sesudahnya | sangat | penting, untuk mengingatkan kita selalu bahwa Al-Qur’an adal | 1 % |
ruk apa yang dicurigai kaum Muslim. Dunia sekarang ini sudah | sangat | terbuka dan tanpa batas. Akses kepada informasi bisa diperol | 16 % |
r’an, kita mengetahui bahwa kitab suci ini berkembang dengan | sangat | dinamis, berinteraksi dengan kehidupan umat manusia, yang ka | 44 % |
mis, berinteraksi dengan kehidupan umat manusia, yang kadang | sangat | bersifat lokal dan temporal. Ayat-ayat yang dimulai dengan p | 45 % |
di atas sebab-sebab yang khusus). Kaedah-kaedah seperti ini | sangat | membantu dalam menafsirkan Al-Qur’an, tapi tidak membantu da | 51 % |
pembentukannya, baik pada masa Nabi dan masa-masa sesudahnya | sangat | penting, untuk mengingatkan kita selalu bahwa Al-Qur’an adal | 96 % |
n sejarah Al-Qur’an. Namun, hanya karena tulisan-tulisan dia | sarat | dengan nama-nama seperti Jeffrey, Wansborough, dan semacamny | 22 % |
r Hamed Abu Zayd dan juga beberapa artikel yang ditulis oleh | sarjana | Al-Qur’an dari Barat. Saya selalu terobsesi untuk membaca ka | 7 % |
menulis artikel itu, saya mendapat panduan dari karya-karya | sarjana | Al-Qur’an dari Barat untuk membuka kitab-kitab klasik sepert | 10 % |
ehingga saya bisa merujuk setiap klaim yang dibuat oleh para | sarjana | Al-Qur’an dari Barat itu. Saya pikir, para sarjana Al-Qur | 12 % |
h para sarjana Al-Qur’an dari Barat itu. Saya pikir, para | sarjana | Al-Qur’an dari Barat atau yang biasa disebut dengan nada per | 12 % |
orientalis semacam A.L. Tibawi dan Edward Said, adalah para | sarjana | yang bekerja untuk kepentingan proyek kolonialisme dan penak | 14 % |
mereka sebut sebagai “i’jaz al-balaghi al-Qur’ani” (mu’jizat | sastrawi | Al-Qur’an). Dalam tulisan saya yang ringkas itu, saya tel | 88 % |
an, ia tak bisa dipahami dengan baik jika kita hanya melihat | satu | dimensi saja dan mengabaikan dimensi lainnya. Menurut saya, | 43 % |
penyampai wahyu yang umumnya disebut “Jibril” hanyalah salah | satu | daya (quwwah) saja yang ada dalam diri manusia. Setiap manus | 56 % |
ki daya kenabian, hanya saja intensitas kenabian itu berbeda | satu | dengan lainnya. Daya kenabian yang dimiliki Nabi Muhammad me | 58 % |
yang terus dijaga oleh Allah, seperti dijanjikan dalam salah | satu | ayatnya (Inna nahnu nazzalna al-dhikra wa inna lahu lahafidh | 67 % |
menganggap kajian Al-Qur’an dengan melihatnya sebagai sebuah | satu-kesatuan | kitab suci dan sekaligus melihat detil-detil peristiwa kesej | 39 % |
n Al-Qur’an, bukanlah agama yang baru, dan Muhammad bukanlah | satu-satunya | pembawa risalah. Sebelumnya, risalah itu telah disampaikan k | 72 % |
ia diturunkan. Oleh: Luthfi Assyaukanie Pertama-tama, | saya | ingin mengucapkan terimakasih kepada siapa saja yang telah m | 3 % |
a yang telah memberikan komentar dan kritik terhadap artikel | saya | tentang “Merenungkan Sejarah Al-Qur’an” yang dipublikasikan | 4 % |
, artikel itu adalah bagian dari refleksi kegiatan spiritual | saya | selama bulan Ramadhan. Pada bulan itu, saya mencoba membaca | 5 % |
giatan spiritual saya selama bulan Ramadhan. Pada bulan itu, | saya | mencoba membaca Al-Qur’an dengan model bacaan saya sendiri y | 5 % |
ulan itu, saya mencoba membaca Al-Qur’an dengan model bacaan | saya | sendiri yang menurut saya lebih berkesan dan mempengaruhi in | 6 % |
baca Al-Qur’an dengan model bacaan saya sendiri yang menurut | saya | lebih berkesan dan mempengaruhi intensitas keberagamaan saya | 6 % |
an mempengaruhi intensitas keberagamaan saya. Secara khusus, | saya | membaca beberapa buku Nasr Hamed Abu Zayd dan juga beberapa | 6 % |
rapa artikel yang ditulis oleh sarjana Al-Qur’an dari Barat. | saya | selalu terobsesi untuk membaca karya-karya semacam ini, seba | 7 % |
rya semacam ini, sebagai “balance” (penyeimbang) dari bacaan | saya | selama ini yang terlalu banyak dengan karya-karya apologetis | 8 % |
elama ini yang terlalu banyak dengan karya-karya apologetis. | saya | pikir, rasanya kurang adil kalau saya hanya mensuplay ke dal | 8 % |
arya-karya apologetis. Saya pikir, rasanya kurang adil kalau | saya | hanya mensuplay ke dalam memori pikiran saya pengetahuan apo | 8 % |
rang adil kalau saya hanya mensuplay ke dalam memori pikiran | saya | pengetahuan apologetis saja. Inilah latar belakang mengap | 9 % |
pologetis saja. Inilah latar belakang mengapa artikel itu | saya | tulis. Semula saya ragu menuliskan apa yang saya baca. Tapi, | 9 % |
Inilah latar belakang mengapa artikel itu saya tulis. Semula | saya | ragu menuliskan apa yang saya baca. Tapi, rasanya masih teru | 9 % |
artikel itu saya tulis. Semula saya ragu menuliskan apa yang | saya | baca. Tapi, rasanya masih terus ada yang mengganjal kalau be | 9 % |
mengganjal kalau belum ditulis. Ketika menulis artikel itu, | saya | mendapat panduan dari karya-karya sarjana Al-Qur’an dari Bar | 10 % |
perti kitab al-masahif, al-fihrist, al-itqan, dan al-burhan. | saya | beruntung karena semua kitab itu bisa saya dapatkan, sehingg | 11 % |
n, dan al-burhan. Saya beruntung karena semua kitab itu bisa | saya | dapatkan, sehingga saya bisa merujuk setiap klaim yang dibua | 12 % |
eruntung karena semua kitab itu bisa saya dapatkan, sehingga | saya | bisa merujuk setiap klaim yang dibuat oleh para sarjana Al-Q | 12 % |
laim yang dibuat oleh para sarjana Al-Qur’an dari Barat itu. | saya | pikir, para sarjana Al-Qur’an dari Barat atau yang biasa dis | 12 % |
itu telah banyak berjasa bagi tradisi kesejarahan Al-Qur’an. | saya | bukan tidak sadar bahwa sebagian dari mereka, seperti dengan | 13 % |
ingan proyek kolonialisme dan penaklukkan dunia Islam. Tapi, | saya | meyakini, tidak semua mereka seburuk apa yang dicurigai kaum | 15 % |
a rujuk dan buktikan ke sumber-sumber aselinya. Dan ini yang | saya | coba lakukan dalam menulis artikel itu. Untuk menulis art | 17 % |
m menulis artikel itu. Untuk menulis artikel singkat itu, | saya | merujuk semua buku yang disebut para orientalis, khususnya k | 18 % |
m, dan al-Itqan karya al-Suyuthi. Dalam artikel itu, sengaja | saya | tidak menyebut nama orientalis satupun, karena saya sadar ba | 19 % |
sengaja saya tidak menyebut nama orientalis satupun, karena | saya | sadar bahwa kaum Muslim memiliki apriori dan prasangka yang | 19 % |
apriori dan prasangka yang luar biasa pada nama-nama mereka. | saya | pikir, kalau saya kutip nama-nama orientalis itu, paling-pal | 20 % |
gka yang luar biasa pada nama-nama mereka. Saya pikir, kalau | saya | kutip nama-nama orientalis itu, paling-paling artikel saya a | 20 % |
u saya kutip nama-nama orientalis itu, paling-paling artikel | saya | akan dicampakkan begitu saja. Agaknya, ini yang pernah terja | 20 % |
mal, yang lebih piawai, lebih ahli, dan lebih produktif dari | saya | dalam menuliskan sejarah Al-Qur’an. Namun, hanya karena tuli | 21 % |
menurut saya, memiliki pesan yang sama dengan refleksi yang | saya | buat. Para pengkritik dan pengecam artikel saya berusaha | 24 % |
eksi yang saya buat. Para pengkritik dan pengecam artikel | saya | berusaha dengan tak sabar ingin mendengar pengakuan dari say | 24 % |
aya berusaha dengan tak sabar ingin mendengar pengakuan dari | saya | bahwa saya merujuk kepada orientalis, agar kemudian mereka b | 24 % |
a dengan tak sabar ingin mendengar pengakuan dari saya bahwa | saya | merujuk kepada orientalis, agar kemudian mereka bisa berteri | 24 % |
berteriak: “tuh kan Luthfi ujung-ujungnya pake orientalis.” | saya | sedih jika ada yang berkomentar seperti ini. Seolah-olah, il | 25 % |
peran dan fungsi agama-agama di dunia ini bagi umat manusia. | saya | menganggap kajian Al-Qur’an dengan melihatnya sebagai sebuah | 39 % |
al-Qur’ani” (mu’jizat sastrawi Al-Qur’an). Dalam tulisan | saya | yang ringkas itu, saya telah berusaha memperlihatkan bahwa h | 88 % |
sastrawi Al-Qur’an). Dalam tulisan saya yang ringkas itu, | saya | telah berusaha memperlihatkan bahwa hingga abad ke-4 (masa I | 88 % |
kalau perlu dianggap “najis” yang harus dicampakkan. Padahal | sayyidina | Ali jauh-jauh hari sudah mengingatkan kita: Undzur ma qaala | 27 % |
bi khusus al-sabab (mendahulukan kata-kata yang umum di atas | sebab-sebab | yang khusus). Kaedah-kaedah seperti ini sangat membantu dala | 51 % |
Saya selalu terobsesi untuk membaca karya-karya semacam ini, | sebagai | “balance” (penyeimbang) dari bacaan saya selama ini yang ter | 7 % |
an dari Barat atau yang biasa disebut dengan nada permusuhan | sebagai | “orientalis” itu telah banyak berjasa bagi tradisi kesejarah | 13 % |
n agar kita jangan mudah terjatuh pada apa yang mereka sebut | sebagai | ughluthat al-askhash (ad hominem), yakni menghukumi sebuah p | 29 % |
ualisme umat manusia. Di masa silam, teks-teks suci dianggap | sebagai | korpus tertutup yang sudah selesai dan tak boleh diganggu-gu | 33 % |
manusia. Saya menganggap kajian Al-Qur’an dengan melihatnya | sebagai | sebuah satu-kesatuan kitab suci dan sekaligus melihat detil- | 39 % |
menjelaskan proses turunnya wahyu Allah kepada Nabi Muhammad | sebagai | proses yang sepenuhnya bersifat psikologis (al-nafsiyyah). A | 56 % |
ni telah ada sejak lama dan digunakan oleh masyarakat Arabia | sebagai | alat komunikasi dalam interaksi sosial, bisnis, puisi, liter | 62 % |
saya, bukanlah persoalan penafsiran semata, tapi memahaminya | sebagai | sebuah produk ilahiah (al-intaj al-ilahy) yang berada dalam | 64 % |
tidak abadi. Menurut Al-Qur’an, Allah mengutus Nabi Muhammad | sebagai | pembawa risalah (message), dan risalah itu bernama “Islam.” | 70 % |
pembawa risalah (message), dan risalah itu bernama “Islam.” | sebagai | sebuah risalah, Islam, seperti diberitakan Al-Qur’an, bukanl | 71 % |
ap wahyu yang diturunkan; dan kedua, ia menjadikan Al-Qur’an | sebagai | sebuah bacaan “magis” (karena yang ditekankan bukan makna kr | 86 % |
sebagian ulama untuk membesar-besarkan apa yang mereka sebut | sebagai | “i’jaz al-balaghi al-Qur’ani” (mu’jizat sastrawi Al-Qur’an). | 88 % |
asaan dan kesejarahan di mana ia diturunkan. Namun demikian, | sebagai | sebuah manifestasi dari kalamullah, Al-Qur’an memiliki kesam | 98 % |
tradisi kesejarahan Al-Qur’an. Saya bukan tidak sadar bahwa | sebagian | dari mereka, seperti dengan baik telah diperlihatkan oleh pa | 14 % |
kebahasaannya). Dampak yang terakhir ini kemudian mendorong | sebagian | ulama untuk membesar-besarkan apa yang mereka sebut sebagai | 87 % |
sebagai ughluthat al-askhash (ad hominem), yakni menghukumi | sebuah | pendapat semata-mata melihat siapa yang berkata, dan bukan a | 30 % |
. Saya menganggap kajian Al-Qur’an dengan melihatnya sebagai | sebuah | satu-kesatuan kitab suci dan sekaligus melihat detil-detil p | 39 % |
kanlah persoalan penafsiran semata, tapi memahaminya sebagai | sebuah | produk ilahiah (al-intaj al-ilahy) yang berada dalam ruang s | 64 % |
risalah (message), dan risalah itu bernama “Islam.” Sebagai | sebuah | risalah, Islam, seperti diberitakan Al-Qur’an, bukanlah agam | 71 % |
yang diturunkan; dan kedua, ia menjadikan Al-Qur’an sebagai | sebuah | bacaan “magis” (karena yang ditekankan bukan makna kronologi | 86 % |
n kesejarahan di mana ia diturunkan. Namun demikian, sebagai | sebuah | manifestasi dari kalamullah, Al-Qur’an memiliki kesamaan-kes | 98 % |
klukkan dunia Islam. Tapi, saya meyakini, tidak semua mereka | seburuk | apa yang dicurigai kaum Muslim. Dunia sekarang ini sudah san | 15 % |
ingakan agar kita jangan mudah terjatuh pada apa yang mereka | sebut | sebagai ughluthat al-askhash (ad hominem), yakni menghukumi | 29 % |
orong sebagian ulama untuk membesar-besarkan apa yang mereka | sebut | sebagai “i’jaz al-balaghi al-Qur’ani” (mu’jizat sastrawi Al- | 88 % |
ebih berkesan dan mempengaruhi intensitas keberagamaan saya. | secara | khusus, saya membaca beberapa buku Nasr Hamed Abu Zayd dan j | 6 % |
sik hubungan antara wahyu, kitab suci, dan risalah kenabian, | secara | umum. Selanjutnya, masalah ini juga dapat membantu kita menj | 38 % |
a (quwwah) saja yang ada dalam diri manusia. Setiap manusia, | secara | potensial (bil quwwah), memiliki daya kenabian, hanya saja i | 57 % |
ap pertama adalah tahap pengaturan ayat-ayat yang diturunkan | secara | kronologis (tartib al-nuzul) menjadi urutan bacaan seperti k | 82 % |
. Seperti kita ketahui, susunan Al-Qur’an yang diturunkan | secara | kronologis berbeda dengan susunan yang kita lihat sekarang. | 85 % |
imatun sawaa”) yang harus selalu ditekankan oleh kaum Muslim | secara | khusus dan seluruh umat beragama secara umum. Imani billahi akbar wa huwa khayrul musta’an. | 99 % |
kan oleh kaum Muslim secara khusus dan seluruh umat beragama | secara | umum. Imani billahi akbar wa huwa khayrul musta’an. | 100 % |
aja, dan yang boleh meneliti sesuatu hanya orang Islam saja. | sedangkan | orang lain, apalagi orang di luar Islam, meskipun mereka pun | 26 % |
eriak: “tuh kan Luthfi ujung-ujungnya pake orientalis.” Saya | sedih | jika ada yang berkomentar seperti ini. Seolah-olah, ilmu itu | 25 % |
n. Saya beruntung karena semua kitab itu bisa saya dapatkan, | sehingga | saya bisa merujuk setiap klaim yang dibuat oleh para sarjana | 12 % |
enabian yang dimiliki Nabi Muhammad merupakan yang terbesar, | sehingga | dia mampu mengaktualisasikan wahyu Tuhan dari potensi (bil q | 58 % |
yang muncul tiba-tiba karena Al-Qur’an. Bahasa ini telah ada | sejak | lama dan digunakan oleh masyarakat Arabia sebagai alat komun | 61 % |
sejarah | Al-Qur’an: Rejoinder Mengkaji sejarah Al-Qur’an dengan m | 0 % | |
Sejarah Al-Qur’an: Rejoinder Mengkaji | sejarah | Al-Qur’an dengan melihat proses-proses pembentukannya, baik | 0 % |
mentar dan kritik terhadap artikel saya tentang “Merenungkan | sejarah | Al-Qur’an” yang dipublikasikan di website Jaringan Islam Lib | 4 % |
, lebih ahli, dan lebih produktif dari saya dalam menuliskan | sejarah | Al-Qur’an. Namun, hanya karena tulisan-tulisan dia sarat den | 22 % |
orientalis telah membuka banyak dimensi tak terpikirkan dari | sejarah | Al-Qur’an selama ini. Pada gilirannya, kerja keras dan temua | 31 % |
suci) adalah disiplin baru yang tak memiliki preseden dalam | sejarah | intelektualisme umat manusia. Di masa silam, teks-teks suci | 33 % |
ristiwa kesejarahannya yang manusiawi, seperti kita memahami | sejarah | alam semesta. Menurut para astrofisikawan, alam semesta tak | 40 % |
fungsi dan peran Al-Qur’an yang sesungguhnya. Dari kajian | sejarah | pembentukan Al-Qur’an, kita mengetahui bahwa kitab suci ini | 44 % |
h produk ilahiah (al-intaj al-ilahy) yang berada dalam ruang | sejarah | manusia yang tidak suci dan terbatas. Teks-teks yang tertuli | 65 % |
g tunduk pada situasi dan kondisi saat Al-Qur’an diturunkan. | sejarah | pembukuan Al-Qur’an adalah sejarah pereduksian kalamullah ya | 77 % |
aat Al-Qur’an diturunkan. Sejarah pembukuan Al-Qur’an adalah | sejarah | pereduksian kalamullah yang universal dan eternal. Seperti j | 78 % |
alah pemberian tanda baca (tasykil) yang dilakukan sepanjang | sejarah | Islam hingga digunakannya mesin cetak pada masa modern. S | 84 % |
sendiri yang dinamis, progresif, dan manusiawi. Mengkaji | sejarah | Al-Qur’an dengan melihat proses-proses pembentukannya, baik | 95 % |
oses aktualisasi wahyu dari bil quwwah menjadi bil fi’il ada | sejumlah | proses reduksi. Hal ini lumrah belaka, karena pesan-pesan Al | 59 % |
engan melihatnya sebagai sebuah satu-kesatuan kitab suci dan | sekaligus | melihat detil-detil peristiwa kesejarahannya yang manusiawi, | 40 % |
k semua mereka seburuk apa yang dicurigai kaum Muslim. Dunia | sekarang | ini sudah sangat terbuka dan tanpa batas. Akses kepada infor | 16 % |
s (tartib al-nuzul) menjadi urutan bacaan seperti kita kenal | sekarang | (tartib al-tilawah). Ini dilakukan pada masa Nabi dan dileng | 83 % |
urut saya, keyakinan akan imanensi dan permanensi Al-Qur’an, | selain | bertentangan dengan prinsip tauhid yang paling asasi (yakni | 93 % |
masa-masa sesudahnya sangat penting, untuk mengingatkan kita | selalu | bahwa Al-Qur’an adalah manifestasi manusiawi dari kalamullah | 1 % |
artikel yang ditulis oleh sarjana Al-Qur’an dari Barat. Saya | selalu | terobsesi untuk membaca karya-karya semacam ini, sebagai “ba | 7 % |
tempat, dan waktu di mana ia digunakan. Kosakata dari bahasa | selalu | berkembang, sesuai dengan perkembangan zaman. Keterbatasan k | 76 % |
masa-masa sesudahnya sangat penting, untuk mengingatkan kita | selalu | bahwa Al-Qur’an adalah manifestasi manusiawi dari kalamullah | 96 % |
dalam bahasa Al-Qur’an disebut “kalimatun sawaa”) yang harus | selalu | ditekankan oleh kaum Muslim secara khusus dan seluruh umat b | 99 % |
ikel itu adalah bagian dari refleksi kegiatan spiritual saya | selama | bulan Ramadhan. Pada bulan itu, saya mencoba membaca Al-Qur’ | 5 % |
emacam ini, sebagai “balance” (penyeimbang) dari bacaan saya | selama | ini yang terlalu banyak dengan karya-karya apologetis. Saya | 8 % |
embuka banyak dimensi tak terpikirkan dari sejarah Al-Qur’an | selama | ini. Pada gilirannya, kerja keras dan temuan-temuan mereka b | 31 % |
muan-temuan mereka bisa digunakan untuk menjelaskan apa yang | selama | ini menjadi concern ulama dan intelektual Muslim. Bagaimanap | 31 % |
ilah perbedaan-perbedaan di antara kitab-kitab suci itu (dan | selanjutnya | juga di antara para pemeluk agama). Al-Qur’an sendiri ada | 80 % |
a masa Nabi dan dilengkapi pada masa Uthman bin Affan. Tahap | selanjutnya | adalah pemberian tanda baca (tasykil) yang dilakukan sepanja | 83 % |
, teks-teks suci dianggap sebagai korpus tertutup yang sudah | selesai | dan tak boleh diganggu-gugat. Siapa saja yang mencoba mengkr | 33 % |
g harus selalu ditekankan oleh kaum Muslim secara khusus dan | seluruh | umat beragama secara umum. Imani billahi akbar wa huwa khayrul musta’an. | 99 % |
dari Barat. Saya selalu terobsesi untuk membaca karya-karya | semacam | ini, sebagai “balance” (penyeimbang) dari bacaan saya selama | 7 % |
engan baik telah diperlihatkan oleh para kritikus orientalis | semacam | A.L. Tibawi dan Edward Said, adalah para sarjana yang bekerj | 14 % |
at al-askhash (ad hominem), yakni menghukumi sebuah pendapat | semata-mata | melihat siapa yang berkata, dan bukan apa yang dikatakan. | 30 % |
an kata lain, alasan mengapa Al-Qur’an berbahasa Arab karena | semata-mata | ia diturunkan kepada orang-orang Arab. Tidak lebih dan tidak | 74 % |
hami sejarah alam semesta. Menurut para astrofisikawan, alam | semesta | tak bisa dipahami kecuali kita menggabungkan dua teori utama | 41 % |
, al-fihrist, al-itqan, dan al-burhan. Saya beruntung karena | semua | kitab itu bisa saya dapatkan, sehingga saya bisa merujuk set | 11 % |
isme dan penaklukkan dunia Islam. Tapi, saya meyakini, tidak | semua | mereka seburuk apa yang dicurigai kaum Muslim. Dunia sekaran | 15 % |
rbuka dan tanpa batas. Akses kepada informasi bisa diperoleh | semua | orang dengan mudah. Apa yang dikatakan oleh para orientalis | 16 % |
ikel itu. Untuk menulis artikel singkat itu, saya merujuk | semua | buku yang disebut para orientalis, khususnya kitab al-masahi | 18 % |
ja. Inilah latar belakang mengapa artikel itu saya tulis. | semula | saya ragu menuliskan apa yang saya baca. Tapi, rasanya masih | 9 % |
itu, saya mencoba membaca Al-Qur’an dengan model bacaan saya | sendiri | yang menurut saya lebih berkesan dan mempengaruhi intensitas | 6 % |
selanjutnya juga di antara para pemeluk agama). Al-Qur’an | sendiri | adalah produk pemanusiaan (humanizing) pesan-pesan Allah (ka | 80 % |
Nya), juga bertentangan dengan konteks kesejarahan Al-Qur’an | sendiri | yang dinamis, progresif, dan manusiawi. Mengkaji sejarah | 95 % |
ada yang unik dari bahasa ini, karena seperti kata Al-Qur’an | sendiri: | “Tidaklah kami utus seorang rasul kecuali dengan bahasa kaum | 73 % |
bn Nadiem, dan al-Itqan karya al-Suyuthi. Dalam artikel itu, | sengaja | saya tidak menyebut nama orientalis satupun, karena saya sad | 19 % |
, karena seperti kata Al-Qur’an sendiri: “Tidaklah kami utus | seorang | rasul kecuali dengan bahasa kaumnya, agar ia dapat memberi p | 73 % |
njutnya adalah pemberian tanda baca (tasykil) yang dilakukan | sepanjang | sejarah Islam hingga digunakannya mesin cetak pada masa mode | 84 % |
urunnya wahyu Allah kepada Nabi Muhammad sebagai proses yang | sepenuhnya | bersifat psikologis (al-nafsiyyah). Agen penyampai wahyu yan | 56 % |
ahwa Al-Qur’an adalah manifestasi manusiawi dari kalamullah. | seperti | juga kitab-kitab suci lainnya di dunia ini, Al-Qur’an memili | 2 % |
arjana Al-Qur’an dari Barat untuk membuka kitab-kitab klasik | seperti | kitab al-masahif, al-fihrist, al-itqan, dan al-burhan. Saya | 11 % |
l-Qur’an. Saya bukan tidak sadar bahwa sebagian dari mereka, | seperti | dengan baik telah diperlihatkan oleh para kritikus orientali | 14 % |
mun, hanya karena tulisan-tulisan dia sarat dengan nama-nama | seperti | Jeffrey, Wansborough, dan semacamnya, tulisan-tulisan itu ta | 22 % |
ngnya pake orientalis.” Saya sedih jika ada yang berkomentar | seperti | ini. Seolah-olah, ilmu itu milik umat Islam saja, dan yang b | 25 % |
kemaksuman kitab suci, mitos-mitos pun diciptakan, misalnya | seperti | masalah i’jazul Qur’an (e.g. angka 19, dll). Siapa saja yang | 35 % |
lim yang mencoba “membaca” Al-Qur’an dengan perspektif lain, | seperti | yang dialami oleh Arkoun, Syahrour, dan Abu Zayd. Kajian | 37 % |
melihat detil-detil peristiwa kesejarahannya yang manusiawi, | seperti | kita memahami sejarah alam semesta. Menurut para astrofisika | 40 % |
ua teori utama: (i) yang berkaitan dengan hal-hal maha-besar | seperti | big bang, gravitasi, dan ekspansi; dan (ii) hal-hal maha-kec | 41 % |
g bang, gravitasi, dan ekspansi; dan (ii) hal-hal maha-kecil | seperti | quantum, singularity, dan string. Begitu juga Al-Qur’an, ia | 42 % |
ehidupan yang dijalani Nabi dan para sahabatnya. Kasus-kasus | seperti | minuman keras dan menstruasi (yang disebutkan dalam ayat yas | 47 % |
-kaedah yang tujuannya meuniversalkan pesan-pesan Al-Qur’an, | seperti | al-’ibrah bi ‘umum al-lafdh la bi khusus al-sabab (mendahulu | 50 % |
ta yang umum di atas sebab-sebab yang khusus). Kaedah-kaedah | seperti | ini sangat membantu dalam menafsirkan Al-Qur’an, tapi tidak | 51 % |
yang abadi dan eternal inilah yang terus dijaga oleh Allah, | seperti | dijanjikan dalam salah satu ayatnya (Inna nahnu nazzalna al- | 67 % |
risalah itu bernama “Islam.” Sebagai sebuah risalah, Islam, | seperti | diberitakan Al-Qur’an, bukanlah agama yang baru, dan Muhamma | 71 % |
kan bahasa Arab. Tidak ada yang unik dari bahasa ini, karena | seperti | kata Al-Qur’an sendiri: “Tidaklah kami utus seorang rasul ke | 73 % |
h sejarah pereduksian kalamullah yang universal dan eternal. | seperti | juga yang terjadi pada kitab-kitab suci lainnya, seperti Tau | 78 % |
al. Seperti juga yang terjadi pada kitab-kitab suci lainnya, | seperti | Taurat, Injil, Zabur, Al-Qur’an adalah manifestasi dari kala | 78 % |
an secara kronologis (tartib al-nuzul) menjadi urutan bacaan | seperti | kita kenal sekarang (tartib al-tilawah). Ini dilakukan pada | 83 % |
arah Islam hingga digunakannya mesin cetak pada masa modern. | seperti | kita ketahui, susunan Al-Qur’an yang diturunkan secara krono | 84 % |
ahwa Al-Qur’an adalah manifestasi manusiawi dari kalamullah. | seperti | juga kitab-kitab suci lainnya di dunia ini, Al-Qur’an memili | 96 % |
olak mitos-mitos ini, juga akan dicap dengan istilah-istilah | seram | di atas. Itulah yang terjadi dengan banyak ulama dan intelek | 36 % |
i mana ia digunakan. Kosakata dari bahasa selalu berkembang, | sesuai | dengan perkembangan zaman. Keterbatasan kosakata Al-Qur’an b | 76 % |
lah, ilmu itu milik umat Islam saja, dan yang boleh meneliti | sesuatu | hanya orang Islam saja. Sedangkan orang lain, apalagi orang | 26 % |
ahafidhun Q.S. 15:9). Adapun Al-Qur’an, pada dasarnya adalah | sesuatu | --meminjam istilah para pemikir Muktazilah-- “yang diciptaka | 68 % |
ses-proses pembentukannya, baik pada masa Nabi dan masa-masa | sesudahnya | sangat penting, untuk mengingatkan kita selalu bahwa Al-Qur’ | 1 % |
ang dilakukan baik oleh para sahabat maupun orang-orang yang | sesudahnya | adalah contoh dari proses-proses keterciptaan Al-Qur’an dala | 69 % |
ses-proses pembentukannya, baik pada masa Nabi dan masa-masa | sesudahnya | sangat penting, untuk mengingatkan kita selalu bahwa Al-Qur’ | 96 % |
mua kitab itu bisa saya dapatkan, sehingga saya bisa merujuk | setiap | klaim yang dibuat oleh para sarjana Al-Qur’an dari Barat itu | 12 % |
h salah satu daya (quwwah) saja yang ada dalam diri manusia. | setiap | manusia, secara potensial (bil quwwah), memiliki daya kenabi | 57 % |
pertama, ia menghancurkan konteks peristiwa dan kesejarahan | setiap | wahyu yang diturunkan; dan kedua, ia menjadikan Al-Qur’an se | 86 % |
e Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada | siapa | saja yang telah memberikan komentar dan kritik terhadap arti | 3 % |
andhur man qaala (lihat apa yang dikatakan, dan jangan lihat | siapa | yang berkata). Para ulama mantiq (ahli logika) jauh-jauh har | 28 % |
minem), yakni menghukumi sebuah pendapat semata-mata melihat | siapa | yang berkata, dan bukan apa yang dikatakan. Bagi saya, ka | 30 % |
us tertutup yang sudah selesai dan tak boleh diganggu-gugat. | siapa | saja yang mencoba mengkritisinya, dia akan dianggap “murtad, | 33 % |
isalnya seperti masalah i’jazul Qur’an (e.g. angka 19, dll). | siapa | saja yang menolak mitos-mitos ini, juga akan dicap dengan is | 35 % |
lakukan dalam menulis artikel itu. Untuk menulis artikel | singkat | itu, saya merujuk semua buku yang disebut para orientalis, k | 18 % |
rsolan manusia di dunia yang muncul tiba-tiba karena desakan | situasi | yang dihadapi para sahabat nabi saat itu. Dengan kata lain, | 48 % |
para sahabat nabi saat itu. Dengan kata lain, jika tidak ada | situasi | yang mendesak tersebut, maka ayat-ayat tentang khamar dan me | 48 % |
ng universal, tapi keterbatasan bahasa Arab yang tunduk pada | situasi | dan kondisi saat Al-Qur’an diturunkan. Sejarah pembukuan Al- | 77 % |
da mulanya, artikel itu adalah bagian dari refleksi kegiatan | spiritual | saya selama bulan Ramadhan. Pada bulan itu, saya mencoba mem | 5 % |
gis” (karena yang ditekankan bukan makna kronologisnya, tapi | struktur | kebahasaannya). Dampak yang terakhir ini kemudian mendorong | 87 % |
membantu dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang lebih | substansial | yang umumnya dihadapi oleh para filsuf Muslim di masa klasik | 52 % |
ifestasi manusiawi dari kalamullah. Seperti juga kitab-kitab | suci | lainnya di dunia ini, Al-Qur’an memiliki keterbatasan-keterb | 2 % |
jarah intelektualisme umat manusia. Di masa silam, teks-teks | suci | dianggap sebagai korpus tertutup yang sudah selesai dan tak | 33 % |
-Qur’an dengan melihatnya sebagai sebuah satu-kesatuan kitab | suci | dan sekaligus melihat detil-detil peristiwa kesejarahannya y | 40 % |
n sejarah pembentukan Al-Qur’an, kita mengetahui bahwa kitab | suci | ini berkembang dengan sangat dinamis, berinteraksi dengan ke | 44 % |
al-ilahy) yang berada dalam ruang sejarah manusia yang tidak | suci | dan terbatas. Teks-teks yang tertulis dalam bahasa Arab yang | 65 % |
rsal dan eternal. Seperti juga yang terjadi pada kitab-kitab | suci | lainnya, seperti Taurat, Injil, Zabur, Al-Qur’an adalah mani | 78 % |
a, maka terjadilah perbedaan-perbedaan di antara kitab-kitab | suci | itu (dan selanjutnya juga di antara para pemeluk agama). | 80 % |
ifestasi manusiawi dari kalamullah. Seperti juga kitab-kitab | suci | lainnya di dunia ini, Al-Qur’an memiliki keterbatasan-keterb | 97 % |
lah, Al-Qur’an memiliki kesamaan-kesamaan dengan kitab-kitab | suci | lainnya (yang juga merupakan manifestasi kalamullah). Aspek | 98 % |
a seburuk apa yang dicurigai kaum Muslim. Dunia sekarang ini | sudah | sangat terbuka dan tanpa batas. Akses kepada informasi bisa | 16 % |
yang harus dicampakkan. Padahal Sayyidina Ali jauh-jauh hari | sudah | mengingatkan kita: Undzur ma qaala wa la tandhur man qaala ( | 27 % |
erkata). Para ulama mantiq (ahli logika) jauh-jauh hari juga | sudah | mengingakan agar kita jangan mudah terjatuh pada apa yang me | 29 % |
silam, teks-teks suci dianggap sebagai korpus tertutup yang | sudah | selesai dan tak boleh diganggu-gugat. Siapa saja yang mencob | 33 % |
kan oleh para orientalis itu bisa kita rujuk dan buktikan ke | sumber-sumber | aselinya. Dan ini yang saya coba lakukan dalam menulis artik | 17 % |
tkan Hadith ‘Aisyah bahwa Mushaf Uthmani telah menghilangkan | surah | al-Ahzab dan karenanya Al-Qur’an yang dibuat Uthman menjadi | 92 % |
annya mesin cetak pada masa modern. Seperti kita ketahui, | susunan | Al-Qur’an yang diturunkan secara kronologis berbeda dengan s | 84 % |
n Al-Qur’an yang diturunkan secara kronologis berbeda dengan | susunan | yang kita lihat sekarang. Perubahan susunan ini memiliki dua | 85 % |
s berbeda dengan susunan yang kita lihat sekarang. Perubahan | susunan | ini memiliki dua dampak yang cukup penting: pertama, ia meng | 85 % |
an-obrolan porno. Puisi-puisi jahiliah yang banyak mengumbar | syhawat | dan pornografi diekspresikan dalam bahasa Arab. Puisi-puisi | 63 % |
menjadi isu hangat yang terus diperdebatkan. Tidak ada yang | tabu | bagi ulama Islam kala itu untuk mendiskusikan kesejarahan Al | 90 % |
ullah) yang universal dan eternal. Dalam sejarahnya, ada dua | tahap | pemanusiaan kalamullah itu hingga menjadi bentuknya yang kit | 81 % |
ullah itu hingga menjadi bentuknya yang kita lihat sekarang. | tahap | pertama adalah tahap pengaturan ayat-ayat yang diturunkan se | 82 % |
adi bentuknya yang kita lihat sekarang. Tahap pertama adalah | tahap | pengaturan ayat-ayat yang diturunkan secara kronologis (tart | 82 % |
an pada masa Nabi dan dilengkapi pada masa Uthman bin Affan. | tahap | selanjutnya adalah pemberian tanda baca (tasykil) yang dilak | 83 % |
Para pengkritik dan pengecam artikel saya berusaha dengan | tak | sabar ingin mendengar pengakuan dari saya bahwa saya merujuk | 24 % |
ar Islam, meskipun mereka punya keahlian untuk itu, dianggap | tak | layak, dan bahkan kalau perlu dianggap “najis” yang harus di | 27 % |
gi saya, kajian para orientalis telah membuka banyak dimensi | tak | terpikirkan dari sejarah Al-Qur’an selama ini. Pada gilirann | 31 % |
ik teks (khususnya teks-teks suci) adalah disiplin baru yang | tak | memiliki preseden dalam sejarah intelektualisme umat manusia | 32 % |
suci dianggap sebagai korpus tertutup yang sudah selesai dan | tak | boleh diganggu-gugat. Siapa saja yang mencoba mengkritisinya | 33 % |
arah alam semesta. Menurut para astrofisikawan, alam semesta | tak | bisa dipahami kecuali kita menggabungkan dua teori utama: (i | 41 % |
quantum, singularity, dan string. Begitu juga Al-Qur’an, ia | tak | bisa dipahami dengan baik jika kita hanya melihat satu dimen | 42 % |
ti Jeffrey, Wansborough, dan semacamnya, tulisan-tulisan itu | tampaknya | tidak banyak diperhatikan orang. Di website JIL sendiri, ada | 22 % |
da masa Uthman bin Affan. Tahap selanjutnya adalah pemberian | tanda | baca (tasykil) yang dilakukan sepanjang sejarah Islam hingga | 84 % |
auh-jauh hari sudah mengingatkan kita: Undzur ma qaala wa la | tandhur | man qaala (lihat apa yang dikatakan, dan jangan lihat siapa | 28 % |
gai kaum Muslim. Dunia sekarang ini sudah sangat terbuka dan | tanpa | batas. Akses kepada informasi bisa diperoleh semua orang den | 16 % |
dah seperti ini sangat membantu dalam menafsirkan Al-Qur’an, | tapi | tidak membantu dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang | 52 % |
-Qur’an, menurut saya, bukanlah persoalan penafsiran semata, | tapi | memahaminya sebagai sebuah produk ilahiah (al-intaj al-ilahy | 64 % |
keterbatasan pesan-pesan Allah (kalamullah) yang universal, | tapi | keterbatasan bahasa Arab yang tunduk pada situasi dan kondis | 77 % |
n “magis” (karena yang ditekankan bukan makna kronologisnya, | tapi | struktur kebahasaannya). Dampak yang terakhir ini kemudian m | 87 % |
tu saja. Agaknya, ini yang pernah terjadi dengan rekan saya, | taufik | Adnan Amal, yang lebih piawai, lebih ahli, dan lebih produkt | 21 % |
dan permanensi Al-Qur’an, selain bertentangan dengan prinsip | tauhid | yang paling asasi (yakni hanya Allah yang imanen dan permane | 93 % |
i concern ulama dan intelektual Muslim. Bagaimanapun, kritik | teks | (khususnya teks-teks suci) adalah disiplin baru yang tak mem | 32 % |
dan intelektual Muslim. Bagaimanapun, kritik teks (khususnya | teks-teks | suci) adalah disiplin baru yang tak memiliki preseden dalam | 32 % |
n dalam sejarah intelektualisme umat manusia. Di masa silam, | teks-teks | suci dianggap sebagai korpus tertutup yang sudah selesai dan | 33 % |
da dalam ruang sejarah manusia yang tidak suci dan terbatas. | teks-teks | yang tertulis dalam bahasa Arab yang kemudian disebut “Al-Qu | 65 % |
a, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada siapa saja yang | telah | memberikan komentar dan kritik terhadap artikel saya tentang | 3 % |
iasa disebut dengan nada permusuhan sebagai “orientalis” itu | telah | banyak berjasa bagi tradisi kesejarahan Al-Qur’an. Saya buka | 13 % |
tidak sadar bahwa sebagian dari mereka, seperti dengan baik | telah | diperlihatkan oleh para kritikus orientalis semacam A.L. Tib | 14 % |
kan apa yang dikatakan. Bagi saya, kajian para orientalis | telah | membuka banyak dimensi tak terpikirkan dari sejarah Al-Qur’a | 30 % |
omena lokal-temporal yang dijumpai dalam ayat-ayat Al-Qur’an | telah | lama menjadi kajian para ulama dan ilmuwan Muslim. Dalam ‘Ul | 49 % |
hasa baru yang muncul tiba-tiba karena Al-Qur’an. Bahasa ini | telah | ada sejak lama dan digunakan oleh masyarakat Arabia sebagai | 61 % |
kanlah satu-satunya pembawa risalah. Sebelumnya, risalah itu | telah | disampaikan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa (Q.S. 42:13). Al-Q | 72 % |
awi Al-Qur’an). Dalam tulisan saya yang ringkas itu, saya | telah | berusaha memperlihatkan bahwa hingga abad ke-4 (masa Ibn Nad | 88 % |
-bebas saja meriwayatkan Hadith ‘Aisyah bahwa Mushaf Uthmani | telah | menghilangkan surah al-Ahzab dan karenanya Al-Qur’an yang di | 92 % |
jarah Al-Qur’an selama ini. Pada gilirannya, kerja keras dan | temuan-temuan | mereka bisa digunakan untuk menjelaskan apa yang selama ini | 31 % |
g telah memberikan komentar dan kritik terhadap artikel saya | tentang | “Merenungkan Sejarah Al-Qur’an” yang dipublikasikan di websi | 4 % |
ika tidak ada situasi yang mendesak tersebut, maka ayat-ayat | tentang | khamar dan menstruasi akan absen dari Al-Qur’an. Fenomena | 48 % |
lam semesta tak bisa dipahami kecuali kita menggabungkan dua | teori | utama: (i) yang berkaitan dengan hal-hal maha-besar seperti | 41 % |
kna kronologisnya, tapi struktur kebahasaannya). Dampak yang | terakhir | ini kemudian mendorong sebagian ulama untuk membesar-besarka | 87 % |
ngan bahasa kaumnya, agar ia dapat memberi penjelasan dengan | terang | kepada mereka” (Q.S. 14:4). Dengan kata lain, alasan mengapa | 74 % |
k kurang. Bahasa manusia adalah instrumen komunikasi yang | terbatas | pada budaya, tempat, dan waktu di mana ia digunakan. Kosakat | 75 % |
yang dicurigai kaum Muslim. Dunia sekarang ini sudah sangat | terbuka | dan tanpa batas. Akses kepada informasi bisa diperoleh semua | 16 % |
kepada siapa saja yang telah memberikan komentar dan kritik | terhadap | artikel saya tentang “Merenungkan Sejarah Al-Qur’an” yang di | 4 % |
lami oleh Arkoun, Syahrour, dan Abu Zayd. Kajian historis | terhadap | Al-Qur’an membantu kita, di antaranya, untuk menjelaskan per | 37 % |
yang kemudian disebut “Al-Qur’an” adalah artikulasi manusia | terhadap | kalamullah yang abadi dan eternal. Kalamullah yang abadi dan | 66 % |
: Luthfi Assyaukanie Pertama-tama, saya ingin mengucapkan | terimakasih | kepada siapa saja yang telah memberikan komentar dan kritik | 3 % |
saya akan dicampakkan begitu saja. Agaknya, ini yang pernah | terjadi | dengan rekan saya, Taufik Adnan Amal, yang lebih piawai, leb | 21 % |
akan dicap dengan istilah-istilah seram di atas. Itulah yang | terjadi | dengan banyak ulama dan intelektual Muslim yang mencoba “mem | 36 % |
ian kalamullah yang universal dan eternal. Seperti juga yang | terjadi | pada kitab-kitab suci lainnya, seperti Taurat, Injil, Zabur, | 78 % |
n dalam bahasa manusia yang beragam dan tidak sempurna, maka | terjadilah | perbedaan-perbedaan di antara kitab-kitab suci itu (dan sela | 80 % |
jauh-jauh hari juga sudah mengingakan agar kita jangan mudah | terjatuh | pada apa yang mereka sebut sebagai ughluthat al-askhash (ad | 29 % |
gai “balance” (penyeimbang) dari bacaan saya selama ini yang | terlalu | banyak dengan karya-karya apologetis. Saya pikir, rasanya ku | 8 % |
yang ditulis oleh sarjana Al-Qur’an dari Barat. Saya selalu | terobsesi | untuk membaca karya-karya semacam ini, sebagai “balance” (pe | 7 % |
aya, kajian para orientalis telah membuka banyak dimensi tak | terpikirkan | dari sejarah Al-Qur’an selama ini. Pada gilirannya, kerja ke | 31 % |
sejarah manusia yang tidak suci dan terbatas. Teks-teks yang | tertulis | dalam bahasa Arab yang kemudian disebut “Al-Qur’an” adalah a | 65 % |
nusia. Di masa silam, teks-teks suci dianggap sebagai korpus | tertutup | yang sudah selesai dan tak boleh diganggu-gugat. Siapa saja | 33 % |
saya ragu menuliskan apa yang saya baca. Tapi, rasanya masih | terus | ada yang mengganjal kalau belum ditulis. Ketika menulis arti | 10 % |
i dan eternal. Kalamullah yang abadi dan eternal inilah yang | terus | dijaga oleh Allah, seperti dijanjikan dalam salah satu ayatn | 66 % |
penertiban ayat-ayat Al-Qur’an tetap menjadi isu hangat yang | terus | diperdebatkan. Tidak ada yang tabu bagi ulama Islam kala itu | 90 % |
thi), persoalan penulisan dan penertiban ayat-ayat Al-Qur’an | tetap | menjadi isu hangat yang terus diperdebatkan. Tidak ada yang | 90 % |
s’alunaka itu), adalah persolan manusia di dunia yang muncul | tiba-tiba | karena desakan situasi yang dihadapi para sahabat nabi saat | 47 % |
l, dan sintaks. Bahasa Arab bukanlah bahasa baru yang muncul | tiba-tiba | karena Al-Qur’an. Bahasa ini telah ada sejak lama dan diguna | 61 % |
lah diperlihatkan oleh para kritikus orientalis semacam A.L. | tibawi | dan Edward Said, adalah para sarjana yang bekerja untuk kepe | 14 % |
anyak berjasa bagi tradisi kesejarahan Al-Qur’an. Saya bukan | tidak | sadar bahwa sebagian dari mereka, seperti dengan baik telah | 13 % |
lonialisme dan penaklukkan dunia Islam. Tapi, saya meyakini, | tidak | semua mereka seburuk apa yang dicurigai kaum Muslim. Dunia s | 15 % |
n al-Itqan karya al-Suyuthi. Dalam artikel itu, sengaja saya | tidak | menyebut nama orientalis satupun, karena saya sadar bahwa ka | 19 % |
, Wansborough, dan semacamnya, tulisan-tulisan itu tampaknya | tidak | banyak diperhatikan orang. Di website JIL sendiri, ada tiga | 23 % |
dihadapi para sahabat nabi saat itu. Dengan kata lain, jika | tidak | ada situasi yang mendesak tersebut, maka ayat-ayat tentang k | 48 % |
eperti ini sangat membantu dalam menafsirkan Al-Qur’an, tapi | tidak | membantu dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang lebih | 52 % |
intaj al-ilahy) yang berada dalam ruang sejarah manusia yang | tidak | suci dan terbatas. Teks-teks yang tertulis dalam bahasa Arab | 65 % |
kan” (makhluq) dalam kebaharuan (muhdath), dan karenanya, ia | tidak | eternal dan tidak abadi. Upaya koleksi, modifikasi, dan u | 68 % |
am kebaharuan (muhdath), dan karenanya, ia tidak eternal dan | tidak | abadi. Upaya koleksi, modifikasi, dan unifikasi, yang dil | 69 % |
h dari proses-proses keterciptaan Al-Qur’an dalam ruang yang | tidak | permanen dan tidak abadi. Menurut Al-Qur’an, Allah mengutus | 70 % |
s keterciptaan Al-Qur’an dalam ruang yang tidak permanen dan | tidak | abadi. Menurut Al-Qur’an, Allah mengutus Nabi Muhammad sebag | 70 % |
sa, dan Isa (Q.S. 42:13). Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab. | tidak | ada yang unik dari bahasa ini, karena seperti kata Al-Qur’an | 73 % |
ab karena semata-mata ia diturunkan kepada orang-orang Arab. | tidak | lebih dan tidak kurang. Bahasa manusia adalah instrumen k | 75 % |
-mata ia diturunkan kepada orang-orang Arab. Tidak lebih dan | tidak | kurang. Bahasa manusia adalah instrumen komunikasi yang t | 75 % |
manifestasi dilakukan dalam bahasa manusia yang beragam dan | tidak | sempurna, maka terjadilah perbedaan-perbedaan di antara kita | 79 % |
Al-Qur’an tetap menjadi isu hangat yang terus diperdebatkan. | tidak | ada yang tabu bagi ulama Islam kala itu untuk mendiskusikan | 90 % |
ebas-bebas saja membuat pernyataan bahwa Mushafnya Ibn Abbas | tidak | memiliki al-Fatihah, dan al-Suyuthi bebas-bebas saja meriway | 91 % |
tidak banyak diperhatikan orang. Di website JIL sendiri, ada | tiga | artikel Taufik, yang menurut saya, memiliki pesan yang sama | 23 % |
ermusuhan sebagai “orientalis” itu telah banyak berjasa bagi | tradisi | kesejarahan Al-Qur’an. Saya bukan tidak sadar bahwa sebagian | 13 % |
n yang terbesar, sehingga dia mampu mengaktualisasikan wahyu | tuhan | dari potensi (bil quwwah) menjadi kenyataan (bil fi’il). | 58 % |
an juga Ushul al-Fiqh, mereka menciptakan kaedah-kaedah yang | tujuannya | meuniversalkan pesan-pesan Al-Qur’an, seperti al-’ibrah bi ‘ | 50 % |
-balaghi al-Qur’ani” (mu’jizat sastrawi Al-Qur’an). Dalam | tulisan | saya yang ringkas itu, saya telah berusaha memperlihatkan ba | 88 % |
saya dalam menuliskan sejarah Al-Qur’an. Namun, hanya karena | tulisan-tulisan | dia sarat dengan nama-nama seperti Jeffrey, Wansborough, dan | 22 % |
ngan nama-nama seperti Jeffrey, Wansborough, dan semacamnya, | tulisan-tulisan | itu tampaknya tidak banyak diperhatikan orang. Di website JI | 22 % |
mpaikan dalam bentuk bahasa manusia, yakni bahasa Arab, yang | tunduk | pada aturan-aturan retoris, gramatis, semantik, leksikal, da | 60 % |
lamullah) yang universal, tapi keterbatasan bahasa Arab yang | tunduk | pada situasi dan kondisi saat Al-Qur’an diturunkan. Sejarah | 77 % |
ari disiplin filsafat. Al-Farabi misalnya menjelaskan proses | turunnya | wahyu Allah kepada Nabi Muhammad sebagai proses yang sepenuh | 55 % |
ita jangan mudah terjatuh pada apa yang mereka sebut sebagai | ughluthat | al-askhash (ad hominem), yakni menghukumi sebuah pendapat se | 29 % |
ntalis, agar kemudian mereka bisa berteriak: “tuh kan Luthfi | ujung-ujungnya | pake orientalis.” Saya sedih jika ada yang berkomentar seper | 25 % |
a yang dikatakan, dan jangan lihat siapa yang berkata). Para | ulama | mantiq (ahli logika) jauh-jauh hari juga sudah mengingakan a | 28 % |
unakan untuk menjelaskan apa yang selama ini menjadi concern | ulama | dan intelektual Muslim. Bagaimanapun, kritik teks (khususnya | 32 % |
lah-istilah seram di atas. Itulah yang terjadi dengan banyak | ulama | dan intelektual Muslim yang mencoba “membaca” Al-Qur’an deng | 36 % |
pai dalam ayat-ayat Al-Qur’an telah lama menjadi kajian para | ulama | dan ilmuwan Muslim. Dalam ‘Ulum al-Qur’an dan juga Ushul al- | 49 % |
annya). Dampak yang terakhir ini kemudian mendorong sebagian | ulama | untuk membesar-besarkan apa yang mereka sebut sebagai “i’jaz | 87 % |
su hangat yang terus diperdebatkan. Tidak ada yang tabu bagi | ulama | Islam kala itu untuk mendiskusikan kesejarahan Al-Qur’an. Ib | 90 % |
da yang berkomentar seperti ini. Seolah-olah, ilmu itu milik | umat | Islam saja, dan yang boleh meneliti sesuatu hanya orang Isla | 26 % |
aru yang tak memiliki preseden dalam sejarah intelektualisme | umat | manusia. Di masa silam, teks-teks suci dianggap sebagai korp | 33 % |
a menjelaskan peran dan fungsi agama-agama di dunia ini bagi | umat | manusia. Saya menganggap kajian Al-Qur’an dengan melihatnya | 39 % |
kembang dengan sangat dinamis, berinteraksi dengan kehidupan | umat | manusia, yang kadang sangat bersifat lokal dan temporal. Aya | 45 % |
selalu ditekankan oleh kaum Muslim secara khusus dan seluruh | umat | beragama secara umum. Imani billahi akbar wa huwa khayrul musta’an. | 99 % |
al-lafdh la bi khusus al-sabab (mendahulukan kata-kata yang | umum | di atas sebab-sebab yang khusus). Kaedah-kaedah seperti ini | 51 % |
enyelesaikan persoalan-persoalan yang lebih substansial yang | umumnya | dihadapi oleh para filsuf Muslim di masa klasik dan intelekt | 52 % |
ersifat psikologis (al-nafsiyyah). Agen penyampai wahyu yang | umumnya | disebut “Jibril” hanyalah salah satu daya (quwwah) saja yang | 56 % |
adahal Sayyidina Ali jauh-jauh hari sudah mengingatkan kita: | undzur | ma qaala wa la tandhur man qaala (lihat apa yang dikatakan, | 28 % |
S. 42:13). Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab. Tidak ada yang | unik | dari bahasa ini, karena seperti kata Al-Qur’an sendiri: “Tid | 73 % |
eduksi. Hal ini lumrah belaka, karena pesan-pesan Allah yang | universal | disampaikan dalam bentuk bahasa manusia, yakni bahasa Arab, | 60 % |
mbukuan Al-Qur’an adalah sejarah pereduksian kalamullah yang | universal | dan eternal. Seperti juga yang terjadi pada kitab-kitab suci | 78 % |
pemanusiaan (humanizing) pesan-pesan Allah (kalamullah) yang | universal | dan eternal. Dalam sejarahnya, ada dua tahap pemanusiaan kal | 81 % |
baik pada masa Nabi dan masa-masa sesudahnya sangat penting, | untuk | mengingatkan kita selalu bahwa Al-Qur’an adalah manifestasi | 1 % |
lis oleh sarjana Al-Qur’an dari Barat. Saya selalu terobsesi | untuk | membaca karya-karya semacam ini, sebagai “balance” (penyeimb | 7 % |
ndapat panduan dari karya-karya sarjana Al-Qur’an dari Barat | untuk | membuka kitab-kitab klasik seperti kitab al-masahif, al-fihr | 11 % |
.L. Tibawi dan Edward Said, adalah para sarjana yang bekerja | untuk | kepentingan proyek kolonialisme dan penaklukkan dunia Islam. | 15 % |
a. Dan ini yang saya coba lakukan dalam menulis artikel itu. | untuk | menulis artikel singkat itu, saya merujuk semua buku yang di | 17 % |
apalagi orang di luar Islam, meskipun mereka punya keahlian | untuk | itu, dianggap tak layak, dan bahkan kalau perlu dianggap “na | 27 % |
irannya, kerja keras dan temuan-temuan mereka bisa digunakan | untuk | menjelaskan apa yang selama ini menjadi concern ulama dan in | 31 % |
” “kafir,” “zindiq,” atau istilah-istilah lain yang sejenis. | untuk | membentengi kesucian dan kemaksuman kitab suci, mitos-mitos | 34 % |
ian historis terhadap Al-Qur’an membantu kita, di antaranya, | untuk | menjelaskan persoalan-persoalan klasik hubungan antara wahyu | 37 % |
. Dampak yang terakhir ini kemudian mendorong sebagian ulama | untuk | membesar-besarkan apa yang mereka sebut sebagai “i’jaz al-ba | 87 % |
diperdebatkan. Tidak ada yang tabu bagi ulama Islam kala itu | untuk | mendiskusikan kesejarahan Al-Qur’an. Ibn Nadiem bebas-bebas | 90 % |
baik pada masa Nabi dan masa-masa sesudahnya sangat penting, | untuk | mengingatkan kita selalu bahwa Al-Qur’an adalah manifestasi | 96 % |
(muhdath), dan karenanya, ia tidak eternal dan tidak abadi. | upaya | koleksi, modifikasi, dan unifikasi, yang dilakukan baik oleh | 69 % |
yang diturunkan secara kronologis (tartib al-nuzul) menjadi | urutan | bacaan seperti kita kenal sekarang (tartib al-tilawah). Ini | 82 % |
ara ulama dan ilmuwan Muslim. Dalam ‘Ulum al-Qur’an dan juga | ushul | al-Fiqh, mereka menciptakan kaedah-kaedah yang tujuannya meu | 50 % |
ang” dari Islam juga ditulis dalam bahasa Arab. Persoalan | utama | Al-Qur’an, menurut saya, bukanlah persoalan penafsiran semat | 64 % |
mesta tak bisa dipahami kecuali kita menggabungkan dua teori | utama: | (i) yang berkaitan dengan hal-hal maha-besar seperti big ban | 41 % |
awah). Ini dilakukan pada masa Nabi dan dilengkapi pada masa | uthman | bin Affan. Tahap selanjutnya adalah pemberian tanda baca (ta | 83 % |
hilangkan surah al-Ahzab dan karenanya Al-Qur’an yang dibuat | uthman | menjadi lebih ramping dari Mushaf yang dimilikinya. Menu | 92 % |
hi bebas-bebas saja meriwayatkan Hadith ‘Aisyah bahwa Mushaf | uthmani | telah menghilangkan surah al-Ahzab dan karenanya Al-Qur’an y | 92 % |
a ini, karena seperti kata Al-Qur’an sendiri: “Tidaklah kami | utus | seorang rasul kecuali dengan bahasa kaumnya, agar ia dapat m | 73 % |
Ali jauh-jauh hari sudah mengingatkan kita: Undzur ma qaala | wa | la tandhur man qaala (lihat apa yang dikatakan, dan jangan l | 28 % |
ikan dalam salah satu ayatnya (Inna nahnu nazzalna al-dhikra | wa | inna lahu lahafidhun Q.S. 15:9). Adapun Al-Qur’an, pada dasa | 67 % |
n seluruh umat beragama secara umum. Imani billahi akbar | wa | huwa khayrul musta’an. | 100 % |
lin filsafat. Al-Farabi misalnya menjelaskan proses turunnya | wahyu | Allah kepada Nabi Muhammad sebagai proses yang sepenuhnya be | 55 % |
epenuhnya bersifat psikologis (al-nafsiyyah). Agen penyampai | wahyu | yang umumnya disebut “Jibril” hanyalah salah satu daya (quww | 56 % |
rupakan yang terbesar, sehingga dia mampu mengaktualisasikan | wahyu | Tuhan dari potensi (bil quwwah) menjadi kenyataan (bil fi’il | 58 % |
) menjadi kenyataan (bil fi’il). Dalam proses aktualisasi | wahyu | dari bil quwwah menjadi bil fi’il ada sejumlah proses reduks | 59 % |
a, ia menghancurkan konteks peristiwa dan kesejarahan setiap | wahyu | yang diturunkan; dan kedua, ia menjadikan Al-Qur’an sebagai | 86 % |
instrumen komunikasi yang terbatas pada budaya, tempat, dan | waktu | di mana ia digunakan. Kosakata dari bahasa selalu berkembang | 75 % |
ntang “Merenungkan Sejarah Al-Qur’an” yang dipublikasikan di | website | Jaringan Islam Liberal (JIL). Pada mulanya, artikel itu adal | 4 % |
an-tulisan itu tampaknya tidak banyak diperhatikan orang. Di | website | JIL sendiri, ada tiga artikel Taufik, yang menurut saya, mem | 23 % |
yang mereka sebut sebagai ughluthat al-askhash (ad hominem), | yakni | menghukumi sebuah pendapat semata-mata melihat siapa yang be | 29 % |
llah yang universal disampaikan dalam bentuk bahasa manusia, | yakni | bahasa Arab, yang tunduk pada aturan-aturan retoris, gramati | 60 % |
a-tama, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada siapa saja | yang | telah memberikan komentar dan kritik terhadap artikel saya t | 3 % |
erhadap artikel saya tentang “Merenungkan Sejarah Al-Qur’an” | yang | dipublikasikan di website Jaringan Islam Liberal (JIL). Pada | 4 % |
a mencoba membaca Al-Qur’an dengan model bacaan saya sendiri | yang | menurut saya lebih berkesan dan mempengaruhi intensitas kebe | 6 % |
beberapa buku Nasr Hamed Abu Zayd dan juga beberapa artikel | yang | ditulis oleh sarjana Al-Qur’an dari Barat. Saya selalu terob | 7 % |
sebagai “balance” (penyeimbang) dari bacaan saya selama ini | yang | terlalu banyak dengan karya-karya apologetis. Saya pikir, ra | 8 % |
gapa artikel itu saya tulis. Semula saya ragu menuliskan apa | yang | saya baca. Tapi, rasanya masih terus ada yang mengganjal kal | 9 % |
menuliskan apa yang saya baca. Tapi, rasanya masih terus ada | yang | mengganjal kalau belum ditulis. Ketika menulis artikel itu, | 10 % |
bisa saya dapatkan, sehingga saya bisa merujuk setiap klaim | yang | dibuat oleh para sarjana Al-Qur’an dari Barat itu. Saya p | 12 % |
t itu. Saya pikir, para sarjana Al-Qur’an dari Barat atau | yang | biasa disebut dengan nada permusuhan sebagai “orientalis” it | 13 % |
lis semacam A.L. Tibawi dan Edward Said, adalah para sarjana | yang | bekerja untuk kepentingan proyek kolonialisme dan penaklukka | 15 % |
a Islam. Tapi, saya meyakini, tidak semua mereka seburuk apa | yang | dicurigai kaum Muslim. Dunia sekarang ini sudah sangat terbu | 15 % |
epada informasi bisa diperoleh semua orang dengan mudah. Apa | yang | dikatakan oleh para orientalis itu bisa kita rujuk dan bukti | 16 % |
a kita rujuk dan buktikan ke sumber-sumber aselinya. Dan ini | yang | saya coba lakukan dalam menulis artikel itu. Untuk menuli | 17 % |
Untuk menulis artikel singkat itu, saya merujuk semua buku | yang | disebut para orientalis, khususnya kitab al-masahif karya Ib | 18 % |
saya sadar bahwa kaum Muslim memiliki apriori dan prasangka | yang | luar biasa pada nama-nama mereka. Saya pikir, kalau saya kut | 20 % |
ling artikel saya akan dicampakkan begitu saja. Agaknya, ini | yang | pernah terjadi dengan rekan saya, Taufik Adnan Amal, yang le | 21 % |
ni yang pernah terjadi dengan rekan saya, Taufik Adnan Amal, | yang | lebih piawai, lebih ahli, dan lebih produktif dari saya dala | 21 % |
ikan orang. Di website JIL sendiri, ada tiga artikel Taufik, | yang | menurut saya, memiliki pesan yang sama dengan refleksi yang | 23 % |
, ada tiga artikel Taufik, yang menurut saya, memiliki pesan | yang | sama dengan refleksi yang saya buat. Para pengkritik dan | 23 % |
yang menurut saya, memiliki pesan yang sama dengan refleksi | yang | saya buat. Para pengkritik dan pengecam artikel saya beru | 23 % |
Luthfi ujung-ujungnya pake orientalis.” Saya sedih jika ada | yang | berkomentar seperti ini. Seolah-olah, ilmu itu milik umat Is | 25 % |
eperti ini. Seolah-olah, ilmu itu milik umat Islam saja, dan | yang | boleh meneliti sesuatu hanya orang Islam saja. Sedangkan ora | 26 % |
dianggap tak layak, dan bahkan kalau perlu dianggap “najis” | yang | harus dicampakkan. Padahal Sayyidina Ali jauh-jauh hari suda | 27 % |
kan kita: Undzur ma qaala wa la tandhur man qaala (lihat apa | yang | dikatakan, dan jangan lihat siapa yang berkata). Para ulama | 28 % |
man qaala (lihat apa yang dikatakan, dan jangan lihat siapa | yang | berkata). Para ulama mantiq (ahli logika) jauh-jauh hari jug | 28 % |
a sudah mengingakan agar kita jangan mudah terjatuh pada apa | yang | mereka sebut sebagai ughluthat al-askhash (ad hominem), yakn | 29 % |
, yakni menghukumi sebuah pendapat semata-mata melihat siapa | yang | berkata, dan bukan apa yang dikatakan. Bagi saya, kajian | 30 % |
ndapat semata-mata melihat siapa yang berkata, dan bukan apa | yang | dikatakan. Bagi saya, kajian para orientalis telah membuk | 30 % |
an temuan-temuan mereka bisa digunakan untuk menjelaskan apa | yang | selama ini menjadi concern ulama dan intelektual Muslim. Bag | 31 % |
kritik teks (khususnya teks-teks suci) adalah disiplin baru | yang | tak memiliki preseden dalam sejarah intelektualisme umat man | 32 % |
masa silam, teks-teks suci dianggap sebagai korpus tertutup | yang | sudah selesai dan tak boleh diganggu-gugat. Siapa saja yang | 33 % |
yang sudah selesai dan tak boleh diganggu-gugat. Siapa saja | yang | mencoba mengkritisinya, dia akan dianggap “murtad,” “kafir,” | 34 % |
nggap “murtad,” “kafir,” “zindiq,” atau istilah-istilah lain | yang | sejenis. Untuk membentengi kesucian dan kemaksuman kitab suc | 34 % |
erti masalah i’jazul Qur’an (e.g. angka 19, dll). Siapa saja | yang | menolak mitos-mitos ini, juga akan dicap dengan istilah-isti | 35 % |
juga akan dicap dengan istilah-istilah seram di atas. Itulah | yang | terjadi dengan banyak ulama dan intelektual Muslim yang menc | 36 % |
ulah yang terjadi dengan banyak ulama dan intelektual Muslim | yang | mencoba “membaca” Al-Qur’an dengan perspektif lain, seperti | 36 % |
mencoba “membaca” Al-Qur’an dengan perspektif lain, seperti | yang | dialami oleh Arkoun, Syahrour, dan Abu Zayd. Kajian histo | 37 % |
i dan sekaligus melihat detil-detil peristiwa kesejarahannya | yang | manusiawi, seperti kita memahami sejarah alam semesta. Menur | 40 % |
isa dipahami kecuali kita menggabungkan dua teori utama: (i) | yang | berkaitan dengan hal-hal maha-besar seperti big bang, gravit | 41 % |
modal penting bagi kita memahami fungsi dan peran Al-Qur’an | yang | sesungguhnya. Dari kajian sejarah pembentukan Al-Qur’an, | 44 % |
sangat dinamis, berinteraksi dengan kehidupan umat manusia, | yang | kadang sangat bersifat lokal dan temporal. Ayat-ayat yang di | 45 % |
a, yang kadang sangat bersifat lokal dan temporal. Ayat-ayat | yang | dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan para sahabat Nabi, misa | 45 % |
anil mahidh, dan seterusnya), adalah refleksi dari kehidupan | yang | dijalani Nabi dan para sahabatnya. Kasus-kasus seperti minum | 46 % |
alam ayat yas’alunaka itu), adalah persolan manusia di dunia | yang | muncul tiba-tiba karena desakan situasi yang dihadapi para s | 47 % |
anusia di dunia yang muncul tiba-tiba karena desakan situasi | yang | dihadapi para sahabat nabi saat itu. Dengan kata lain, jika | 48 % |
abat nabi saat itu. Dengan kata lain, jika tidak ada situasi | yang | mendesak tersebut, maka ayat-ayat tentang khamar dan menstru | 48 % |
truasi akan absen dari Al-Qur’an. Fenomena lokal-temporal | yang | dijumpai dalam ayat-ayat Al-Qur’an telah lama menjadi kajian | 49 % |
’an dan juga Ushul al-Fiqh, mereka menciptakan kaedah-kaedah | yang | tujuannya meuniversalkan pesan-pesan Al-Qur’an, seperti al-’ | 50 % |
‘umum al-lafdh la bi khusus al-sabab (mendahulukan kata-kata | yang | umum di atas sebab-sebab yang khusus). Kaedah-kaedah seperti | 51 % |
-sabab (mendahulukan kata-kata yang umum di atas sebab-sebab | yang | khusus). Kaedah-kaedah seperti ini sangat membantu dalam men | 51 % |
tapi tidak membantu dalam menyelesaikan persoalan-persoalan | yang | lebih substansial yang umumnya dihadapi oleh para filsuf Mus | 52 % |
lam menyelesaikan persoalan-persoalan yang lebih substansial | yang | umumnya dihadapi oleh para filsuf Muslim di masa klasik dan | 52 % |
n persoalan-persoalan itu dengan menggunakan analisa-analisa | yang | rumit yang hanya dipahami oleh kalangan tertentu, khususnya | 54 % |
-persoalan itu dengan menggunakan analisa-analisa yang rumit | yang | hanya dipahami oleh kalangan tertentu, khususnya mereka yang | 54 % |
yang hanya dipahami oleh kalangan tertentu, khususnya mereka | yang | mempelajari disiplin filsafat. Al-Farabi misalnya menjelaska | 55 % |
ses turunnya wahyu Allah kepada Nabi Muhammad sebagai proses | yang | sepenuhnya bersifat psikologis (al-nafsiyyah). Agen penyampa | 56 % |
nya bersifat psikologis (al-nafsiyyah). Agen penyampai wahyu | yang | umumnya disebut “Jibril” hanyalah salah satu daya (quwwah) s | 56 % |
mnya disebut “Jibril” hanyalah salah satu daya (quwwah) saja | yang | ada dalam diri manusia. Setiap manusia, secara potensial (bi | 57 % |
itas kenabian itu berbeda satu dengan lainnya. Daya kenabian | yang | dimiliki Nabi Muhammad merupakan yang terbesar, sehingga dia | 58 % |
lainnya. Daya kenabian yang dimiliki Nabi Muhammad merupakan | yang | terbesar, sehingga dia mampu mengaktualisasikan wahyu Tuhan | 58 % |
ses reduksi. Hal ini lumrah belaka, karena pesan-pesan Allah | yang | universal disampaikan dalam bentuk bahasa manusia, yakni bah | 60 % |
disampaikan dalam bentuk bahasa manusia, yakni bahasa Arab, | yang | tunduk pada aturan-aturan retoris, gramatis, semantik, leksi | 60 % |
tik, leksikal, dan sintaks. Bahasa Arab bukanlah bahasa baru | yang | muncul tiba-tiba karena Al-Qur’an. Bahasa ini telah ada seja | 61 % |
ecaman, dan juga obrolan-obrolan porno. Puisi-puisi jahiliah | yang | banyak mengumbar syhawat dan pornografi diekspresikan dalam | 63 % |
i diekspresikan dalam bahasa Arab. Puisi-puisi dan literatur | yang | dianggap “menyimpang” dari Islam juga ditulis dalam bahasa A | 63 % |
emahaminya sebagai sebuah produk ilahiah (al-intaj al-ilahy) | yang | berada dalam ruang sejarah manusia yang tidak suci dan terba | 65 % |
(al-intaj al-ilahy) yang berada dalam ruang sejarah manusia | yang | tidak suci dan terbatas. Teks-teks yang tertulis dalam bahas | 65 % |
uang sejarah manusia yang tidak suci dan terbatas. Teks-teks | yang | tertulis dalam bahasa Arab yang kemudian disebut “Al-Qur’an” | 65 % |
suci dan terbatas. Teks-teks yang tertulis dalam bahasa Arab | yang | kemudian disebut “Al-Qur’an” adalah artikulasi manusia terha | 65 % |
ut “Al-Qur’an” adalah artikulasi manusia terhadap kalamullah | yang | abadi dan eternal. Kalamullah yang abadi dan eternal inilah | 66 % |
nusia terhadap kalamullah yang abadi dan eternal. Kalamullah | yang | abadi dan eternal inilah yang terus dijaga oleh Allah, seper | 66 % |
abadi dan eternal. Kalamullah yang abadi dan eternal inilah | yang | terus dijaga oleh Allah, seperti dijanjikan dalam salah satu | 66 % |
an tidak abadi. Upaya koleksi, modifikasi, dan unifikasi, | yang | dilakukan baik oleh para sahabat maupun orang-orang yang ses | 69 % |
si, yang dilakukan baik oleh para sahabat maupun orang-orang | yang | sesudahnya adalah contoh dari proses-proses keterciptaan Al- | 69 % |
contoh dari proses-proses keterciptaan Al-Qur’an dalam ruang | yang | tidak permanen dan tidak abadi. Menurut Al-Qur’an, Allah men | 70 % |
isalah, Islam, seperti diberitakan Al-Qur’an, bukanlah agama | yang | baru, dan Muhammad bukanlah satu-satunya pembawa risalah. Se | 71 % |
a (Q.S. 42:13). Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab. Tidak ada | yang | unik dari bahasa ini, karena seperti kata Al-Qur’an sendiri: | 73 % |
tidak kurang. Bahasa manusia adalah instrumen komunikasi | yang | terbatas pada budaya, tempat, dan waktu di mana ia digunakan | 75 % |
-Qur’an bukanlah keterbatasan pesan-pesan Allah (kalamullah) | yang | universal, tapi keterbatasan bahasa Arab yang tunduk pada si | 77 % |
h (kalamullah) yang universal, tapi keterbatasan bahasa Arab | yang | tunduk pada situasi dan kondisi saat Al-Qur’an diturunkan. S | 77 % |
ah pembukuan Al-Qur’an adalah sejarah pereduksian kalamullah | yang | universal dan eternal. Seperti juga yang terjadi pada kitab- | 78 % |
eduksian kalamullah yang universal dan eternal. Seperti juga | yang | terjadi pada kitab-kitab suci lainnya, seperti Taurat, Injil | 78 % |
, Injil, Zabur, Al-Qur’an adalah manifestasi dari kalamullah | yang | eternal dan universal. Karena manifestasi dilakukan dalam ba | 79 % |
universal. Karena manifestasi dilakukan dalam bahasa manusia | yang | beragam dan tidak sempurna, maka terjadilah perbedaan-perbed | 79 % |
oduk pemanusiaan (humanizing) pesan-pesan Allah (kalamullah) | yang | universal dan eternal. Dalam sejarahnya, ada dua tahap peman | 81 % |
ua tahap pemanusiaan kalamullah itu hingga menjadi bentuknya | yang | kita lihat sekarang. Tahap pertama adalah tahap pengaturan a | 82 % |
at sekarang. Tahap pertama adalah tahap pengaturan ayat-ayat | yang | diturunkan secara kronologis (tartib al-nuzul) menjadi uruta | 82 % |
fan. Tahap selanjutnya adalah pemberian tanda baca (tasykil) | yang | dilakukan sepanjang sejarah Islam hingga digunakannya mesin | 84 % |
pada masa modern. Seperti kita ketahui, susunan Al-Qur’an | yang | diturunkan secara kronologis berbeda dengan susunan yang kit | 85 % |
’an yang diturunkan secara kronologis berbeda dengan susunan | yang | kita lihat sekarang. Perubahan susunan ini memiliki dua damp | 85 % |
ta lihat sekarang. Perubahan susunan ini memiliki dua dampak | yang | cukup penting: pertama, ia menghancurkan konteks peristiwa d | 85 % |
menghancurkan konteks peristiwa dan kesejarahan setiap wahyu | yang | diturunkan; dan kedua, ia menjadikan Al-Qur’an sebagai sebua | 86 % |
a menjadikan Al-Qur’an sebagai sebuah bacaan “magis” (karena | yang | ditekankan bukan makna kronologisnya, tapi struktur kebahasa | 87 % |
an makna kronologisnya, tapi struktur kebahasaannya). Dampak | yang | terakhir ini kemudian mendorong sebagian ulama untuk membesa | 87 % |
emudian mendorong sebagian ulama untuk membesar-besarkan apa | yang | mereka sebut sebagai “i’jaz al-balaghi al-Qur’ani” (mu’jizat | 88 % |
ur’ani” (mu’jizat sastrawi Al-Qur’an). Dalam tulisan saya | yang | ringkas itu, saya telah berusaha memperlihatkan bahwa hingga | 88 % |
dan penertiban ayat-ayat Al-Qur’an tetap menjadi isu hangat | yang | terus diperdebatkan. Tidak ada yang tabu bagi ulama Islam ka | 90 % |
tetap menjadi isu hangat yang terus diperdebatkan. Tidak ada | yang | tabu bagi ulama Islam kala itu untuk mendiskusikan kesejarah | 90 % |
i telah menghilangkan surah al-Ahzab dan karenanya Al-Qur’an | yang | dibuat Uthman menjadi lebih ramping dari Mushaf yang dimilik | 92 % |
-Qur’an yang dibuat Uthman menjadi lebih ramping dari Mushaf | yang | dimilikinya. Menurut saya, keyakinan akan imanensi dan p | 93 % |
manensi Al-Qur’an, selain bertentangan dengan prinsip tauhid | yang | paling asasi (yakni hanya Allah yang imanen dan permanen, ad | 93 % |
n dengan prinsip tauhid yang paling asasi (yakni hanya Allah | yang | imanen dan permanen, adapun yang lainnya hanyalah manifestas | 94 % |
ng asasi (yakni hanya Allah yang imanen dan permanen, adapun | yang | lainnya hanyalah manifestasi dari kalam-Nya), juga bertentan | 94 % |
ga bertentangan dengan konteks kesejarahan Al-Qur’an sendiri | yang | dinamis, progresif, dan manusiawi. Mengkaji sejarah Al-Qu | 95 % |
an inilah (dalam bahasa Al-Qur’an disebut “kalimatun sawaa”) | yang | harus selalu ditekankan oleh kaum Muslim secara khusus dan s | 99 % |
rti minuman keras dan menstruasi (yang disebutkan dalam ayat | yas’alunaka | itu), adalah persolan manusia di dunia yang muncul tiba-tiba | 47 % |
ya. Secara khusus, saya membaca beberapa buku Nasr Hamed Abu | zayd | dan juga beberapa artikel yang ditulis oleh sarjana Al-Qur’a | 6 % |
The End
Word Frequency Program
The End