Click for
Concordance
Click for
Word Frequency
Click
for English Translation
Bunyi Hujan di Atas Genting
oleh Seno
Gumira Ajidarma
“Ceritakanlah padaku tentang ketakutan,” kata Alina pada juru cerita itu.
Maka juru cerita itu pun bercerita tentang Sawitri:
Setiap
kali hujan mereda, pada mulut gang itu tergeletaklah mayat bertato. Itulah
sebabnya Sawitri selalu merasa gemetar setiap kali mendengar bunyi hujan
mulai menitik di atas genting.
Rumahnya
memang terletak di sudut mulut gang itu. Pada malam hari, kadang-kadang ia
bisa mendengar bunyi semacam letupan dan bunyi mesin kendaraan yang menjauh.
Namun tak jarang pula ia tak mendengar apa-apa, meskipun sesosok mayat
bertato tetap saja menggeletak di mulut gang setiap kali hujan reda pada
malam hari. Mungkin ia memang tidak mendengar apa-apa karena bunyi hujan
yang masih deras. Hujan yang deras, kau tahu, sering kali bisa mengerikan.
Apalagi kalau rumah kita bukan bangunan yang kokoh, banyak bocor, bisa
kebanjiran, dan akan remuk jika tertimpa pohon yang tidak usah terlalu besar.
|
Mungkin
pula Sawitri tidak mendengar apa-apa karena ia mengantuk dan kadang-kadang
tertidur. Mungkin karena ia menyetel radionya terlalu keras. Ia suka
mendengarkan lagu-lagu pop Indonesia sambil menjahit. Matanya sering kali
pedas karena menatap lubang jarum dalam cahaya 15 watt. Kalau matanya
menjadi pedas dan berair ia menutup matanya sejenak. Saat menutup matanya
sejenak itu ia mendengarkan sepotong lagu dari radio. Dan saat ia
mendengarkan lagu itu kadang-kadang ia tertidur. Tapi tetap saja setiap kali
hujan reda, di mulut gang itu tergeletaklah mayat bertato.
Untuk
melihat mayat bertato itu, Sawitri cukup membuka jendela samping rumahnya
dan menengok ke kanan. Ia harus membungkuk kalau ingin melihat mayat itu
dengan jelas. Kalau tidak, pandangannya akan terhalang daun jendela. Ia
harus membungkuk sampai perutnya menekan bibir jendela dan tempias sisa air
hujan menitik-nitik di rambutnya dan juga di sebagian wajahnya.
|
Dadanya
selalu berdesir dan jantungnya berdegup-degup keras setiap kali hujan
selesai dan bunyi sisa air hujang seperti akhir sebuah nyanyian. Tapi
Sawitri tetap saja membuka jendela itu dan menengok ke kanan sambil
membungkuk untuk melihat mayat itu. Meskipun ia tertidur bila hujan turun
tengah malam dan iramanya mengajak orang melupakan dunia fana namun Sawitri
selalu terbangun ketika hujan reda dan ia akan langsung membuka jendela
lantas menengok ke kanan sambil membungkuk.
Ia
selalu merasa takut, tapi ia selalu ingin menatap wajah mayat-mayat bertato
itu. Jika mayat itu sudah terlanjur dikerumuni para tetangga, Sawitri pun
selalu menyempatkan diri ke luar rumah dan menyeruak di antara kerumunan itu
sampai ia melihat mayat. Ia tidak selalu berhasil melihat wajahnya karena
kadang-kadang mayat itu sudah terlanjur ditutup kain. Tapi Sawitri cukup
lega kalau sudah melihat sebagian saja dari mayat itu, apakah kakinya,
tangannya atau paling sedikit tatonya.
Sawitri
pernah membuka kain penutup mayat untuk melihat wajahnya tapi ia tak ingin
melakukannya lagi. Sekali-sekalinya ia membuka kain penutup wajah, yang ia
lihat adalah wajah menyeringai dengan mata terbeliak dan giginya meringis
seperti masih hidup. Sebuah wajah yang menyeramkan.
|
Namun
sebetulnya Sawitri cukup jarang ikut berkerumun di antara tetangganya.
Sawitri hampir selalu menjadi orang pertama yang melihat mayat-mayat bertato
itu. Ketika hujan belum benar-benar selesai sehingga tampak seperti tabir
yang berkilat dalam cahaya lampu merkuri yang kekuning-kuningan. Sosok tubuh
manusia itu tergeletak betul-betul seperti bangkai. Sawitri hanya akan
melihatnya sepintas, tapi cukup jelas untuk mengingat bagaimana darah
membercak pada semen yang basah dan sosok itu pun segera jadi basah dan
rambut dan brewok dan celana kolor orang itu juga basah.
Tidak
semua wajah mayat-mayat bertato itu mengerikan. Kadang-kadang Sawitri punya
kesan mayat bertato itu seperti orang tidur nyenyak atau orang tersenyum.
Orang-orang bertato itu tidur nyenyak dan tersenyum dalam buaian gerimis
yang di mata Sawitri kadang-kadang tampak bagaikan layar pada sebuah
panggung sandiwara. Cahaya lampu merkuri yang pucat kekuning-kuningan
kadang-kadang membuat warna darah pada dada dan punggung orang itu tidak
berwarna merah melainkan hitam. Darah itulah yang membedakan mayat bertato
itu dengan orang tidur.
|
Kadang-kadang mata mayat bertato itu menatap tepat pada Sawitri, ketika ia
menoleh ke kanan setelah membuka jendela dan membungkuk, setelah hujan
mereda. Sawitri juga sering merasa bahwa ia menatap mereka tepat pada akhir
hidupnya. Mata itu masih hidup ketika bertemu dengan mata Sawitri. Dan
Sawitri bisa merasa, betapa mata itu pada akhir pandangannya begitu banyak
bercerita. Begitu sering Sawitri bertatapan dengan sosok-sosok bertato itu,
sehingga ia merasa mengerti apakah orang itu masih hidup atau sudah mati,
hanya dengan sekilas pandang. Ia pun segera bisa merasa, apakah nyawa orang
itu masih ada di tubuhnya, atau baru saja pergi, atau sudah lama melayang,
entah ke surga atau ke neraka.
Sawitri
seolah-olah merasa melihat begitu banyak cerita pada mata itu namun ia
merasa begitu sulit menceritakannya kembali. Sawitri kadang-kadang merasa
orang itu ingin berteriak bahwa ia tidak mau mati dan masih ingin hidup dan
ia punya istri dan anak-anak. Kadang-kadang Sawitri juga melihat mata yang
bertanya-tanya. Mata yang menuntut. Mata yang menolak takdir.
|
Tapi
tubuh-tubuh bertato yang tegap itu tetap saja basah. Basah oleh darah dan
hujan dan kerjap halilintar membuat darah dan tubuh yang basah itu berkilat
dan darah dan basah hujan pada semen juga berkilat. Kepala orang-orang itu
terkulai ke depan atau ke belakang seperti dipaksakan oleh takdir itu
sendiri. Sesekali kepala itu menelungkup mencium bumi atau tengadah ke
langit dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Dan bila hujan belum
betul-betul selesai, maka Sawitri melihat mulut yang menganga itu kemasukan
air hujan.
Sawitri
merasa tetangga-tetangganya sudah terbiasa dengan mayat-mayat bertato itu.
Malahan ia merasa tetangga-tetangganya itu bergembira setiap kali melihat
mayat bertato tergeletak di mulut gang setiap kali hujan reda dan mayat itu
disemprot cahaya lampu merkuri yang kekuning-kuningan. Dari dalam rumahnya
yang terletak di sudut gang itu Sawitri mendengar apa saja yang mereka
percakapkan. Mereka berteriak-teriak sambil mengerumuni mayat yang
tergeletak itu meskipun kadang-kadang hujan belum benar-benar selesai dan
anak-anak berteriak hore-hore.
|
“Lihat! Satu lagi!”
“Mampus!”
“Modar!”
“Tahu
rasa dia sekarang!”
“Ya,
tahu rasa dia sekarang!”
“Anjing!”
“Anjing!”
Kadang-kadang mereka juga menendang-nendang mayat itu dan menginjak-injak
wajahnya. Kadang-kadang mayat itu mereka seret saja sepanjang jalan ke
kelurahan sehingga wajah orang bertato itu berlepotan dengan lumpur karena
orang-orang kampung menyeret dengan memegang kakinya. Sawitri tak pernah
ikut dalam arak-arakan yang bersorak-sorai gembira itu. Ia cukup membuka
jendela setiap kali hujan reda dan menengok ke kanan sambil membungkuk
lantas menutupnya kembali setelah melihat sesosok mayat bertato.
|
Sawitri
akan menarik napas panjang bila ternyata mayat itu bukan Pamuji. Bukankah
Pamuji juga bertato seperti mayat-mayat itu dan bukankah di antara
mayat-mayat yang tergeletak di mulut gang setiap kali hujan reda juga
terdapat kawan-kawan Pamuji? Sesekali Sawitri mengenali mayat-mayat bertato
itu, Kandang Jinongkeng, Pentung Pinanggul…
Mayat-mayat itu menggeletak di sana, betul-betul seperti bangkai tikus yang
dibuang di tengah jalan. Sawitri merasa nasib mereka lebih buruk dari
binatang yang disembelih. Mayat-mayat itu tergeletak di sana dengan tangan
dan kaki terikat jadi satu. Kadang-kadang hanya kedua ibu jari tangannya
saja yang disatukan dengan tali kawat. Kadang-kadang kakinya memang tidak
terikat. Bahkan ada juga yang tidak terikat sama sekali. Namun mayat-mayat
yang tidak terikat itu biasanya lebih banyak lubang pelurunya. Lubang-lubang
peluru membentuk sebuah garis di punggung dan dada, sehingga lukisan-lukisan
tato yang indah itu rusak.
|
Sawitri
kadang-kadang merasa penembak orang bertato itu memang sengaja merusak
gambarnya. Sebenarnya mereka bisa menembak hanya di tempat yang mematikan
saja, tapi mereka juga menembak di tempat-tempat yang tidak mematikan.
Apakah mereka menembak di tempat-tempat yang tidak mematikan hanya karena
ingin membuat orang-orang bertato itu kesakitan? Di tempat-tempat yang tidak
mematikan itu kadang-kadang terdapat gambar tato yang rusak karena lubang
peluru.
Ia
selalu memperhatikan tato orang-orang yang tergeletak di mulut gang setiap
kali hujan reda. Begitulah caranya Sawitri mengenali Kandang Jinongkeng.
Wajahnya tertelungkup, namun cahaya lampu merkuri cukup terang untuk membuat
Sawitri mengenali tato di punggungnya yang sudah berlubang-lubang. Sebuah
tulisan SAYANG MAMA, dan gambar salib di lengan kiri. Sawitri bisa mengingat
dengan jelas lukisan-lukisan pada mayat-mayat itu. Jangkar, jantung hati,
bunga mawar, tengkorak, nama-nama wanita, tulisan-tulisan, huruf-huruf besar…
Sawitri
selalu memperhatikan tato karena Pamuji juga bertato. Ia pernah menato
namanya sendiri di dada Pamuji. Ia menulis di dada bidang lelaki itu:
SAWITRI. Tulisan itu masih dilingkari gambar jantung hati tanda cinta.
Sawitri ingat, ia membutuhkan waktu dua hari untuk mencocok-cocok kulit
Pamuji dengan jarum.
|
Namun
bukan hanya nama Sawitri yang bertato di dada Pamuji. Ia selalu ingat di
lengan kirinya ada lukisan mawar yang bagus. Di bawah mawar itu ada tulisan
Nungki. Menurut Pamuji, itulah kekasihnya yang pertama. Lantas ada
lukisan wanita telanjang. Di dada wanita telanjang itu ada tulisan Asih.
Menurut Pamuji pula, ia pernah jatuh cinta pada Asih, tapi tidak kesampaian.
Sawitri mengenal Asih. Mereka dulu sama-sama melacur di Mangga Besar. Karena
Asih itulah maka Sawitri berkenalan dengan Pamuji. Ah, masa-masa yang telah
berlalu!
Maka
hujan pun turun seperti sebuah mimpi buruk. Semenjak tahun-tahun terakhir
ini, semenjak mayat-mayat bertato bergelimpangan di segala sudut, hidup
bagaikan mimpi buruk bagi Sawitri. Semenjak itulah Pamuji menghilang tak
tentu rimbanya.
|
Dulu
mayat-mayat itu bergelimpangan hampir setiap saat. Pagi siang sore malam
mayat-mayat menggeletak di sudut-sudut pasar, terapung di kali, terbenam di
got, atau terkapar di jalan tol. Setiap hari koran-koran memuat potret
mayat-mayat bertato dengan luka tembakan di tengkuk, di jidat, di jantung,
atau di antara kedua mata. Kadang-kadang bahkan mayat bertato itu
dilemparkan pada siang hari bolong di jalan raya dari dalam sebuah mobil
yang segera menghilang. Mayat-mayat itu jatuh di tengah keramaian
menggemparkan orang banyak. Orang-orang mengerumuni mayat itu sambil
berteriak-teriak sehingga jalanan jadi macet. Sawitri melihat dengan mata
kepala sendiri ketia sedang berbelanja pada suatu siang. Ia melihat debu
mengepul setelah mayat itu terbanting. Debu mengepul dan membuatnya sesak
napas. Pamuji o Pamuji, di manakah kamu?
Potret
mayat-mayat itu kemudian menghilang dari koran-koran. Tapi mayat-mayat
bertato itu masih bermunculan dengan ciri yang sama. Tangan dan kaki mereka
terikat. Mereka tertembak di tempat yang mematikan, namun masih ada
lubang-lubang peluru lain di tempat yang tidak mematikan. Kalau mereka
menembak di tempat yang tidak mematikan itu lebih dulu, rasanya pasti sakit
sekali, batin Sawitri. Apalagi dengan kaki tangan terikat seperti itu.
|
Apakah
Pamuji telah menggeletak di suatu tempat seperti mayat-mayat di mulut gang?
Sawitri pernah menerima surat dari Pamuji tanpa alamat pengirim, tapi hanya
satu kali. Sawitri sebetulnya yakin Pamuji tak akan tertangkap. Pamuji
sangat cerdik. Dan kalau para penembak itu memberi kesempatan pada Pamuji
untuk melawan, ia belum tentu kalah. Sawitri tahu, Pamuji juga sangat pandai
berkelahi. Tapi, jika setiap kali hujan selesai selalu ada mayat tergeletak
di ujung gang itu, siapa bisa menjamin Pamuji tidak akan mengalami nasib
yang sama?
Itulah
sebabnya Sawitri selalu gemetar setiap kali bunyi hujan mulai menitik di
atas genting. Setiap kali hujan selesai, di mulut gang itu tergeletaklah
mayat bertato. Mata mereka selalu menatap ke arah Sawitri, seolah-olah tahu
Sawitri akan membuka jendela lantas menengok ke kanan…
“Apakah pada akhir cerita Sawitri akan berjumpa kembali dengan Pamuji?” tanya Alina
pada juru cerita itu.
Maka
juru cerita itu pun menjawab: “Aku belum bisa menjawab Alina, ceritanya
masih belum selesai.”
Jakarta, 15 Juli
1985
|