SEAsite Navigation Bar

Pengantar

REFORMASI: "Dismantling the Old Regime, and Reconstructing the New Indonesia"

        Kata reformasi saat ini telah menjadi matra utama dalam diskursi umum. Kalau pada masa Orde Lama, konsep dasarnya adalah revolusi, dan pada masa Orde Baru konsep utamanya adalah pembangunan, maka pada masa transisi ini, konsep itu adalah reformasi. Seperti layaknya sebuah matra suatu era, maka pada kata reformasi ditumpukan muatan nilai-nilai utama yang menjadi landasan dan harapan proses bernegara dan bermasyarakat. Reformasi secara sederhana berarti perubahan pada struktur maupun aturan-main baik dalam bidang ekonomi maupun politik. Secara teoretik, perubahan tersebut diupayakan agar tatanan negara dan masyarakat baru akan menjadi lebih demokratik secara politik dan lebih rasional secara ekonomi.

        Dimensi dinamik pada kata reformasi adalah terkandung upaya perombakan dan penataan: Perombakan pada tatanan lama yang korup dan tidak effisien (dismantling the Old Regime); dan penataan suatu tatanan baru yang lebih demokratik, effisien, dan berkeadilan sosial (reconstructing the New Indonesia).

        Perombakan tatanan lama (Orde Baru) adalah mutlak, karena telah terbukti tatanan tersebut menghasilkan suatu rejim politik yang otoriter dan tidak populer. Institutionalisasi kekuasaan politik telah menjadi semakin elitis dan personal. Elitis oleh karena rekruitmen politik tidak mengindahkan aspirasi masyarakat umum. Pemilihan umum hanya menjadi alat melegitimasi kekuasaan yang ada. Personal oleh karena hampir semua keputusan terpenting tidak berada ditangan lembaga tertinggi negara dan atau tinggi negara, tetapi ditangan seorang penguasa. Suara yang terlalu kritis dibungkam: Pers dicabut ijin SIUPnya, mahasiswa, politisi, dan aktivis NGO dipenjara; pimpinan partai dan lembaga kemasyarakatan digoyang.

        Setelah periode pertumbuhan dalam tiga dekade, dalam bidang ekonomi tatanan lama itu telah menghasilkan beberapa ekses seperti KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Tiga hal tersebut menghambat pertumbuhan struktur ekonomi yang mandiri dan effisien. Kelas ekonomi yang ada (khususnya cronies) menjadi tergantung pada fasilitas yang disediakan pemerintah. Kerentanan tersebut ditambah lagi dengan optimisme yang berlebihan terhadap hasil pembangunan ekonomi yang dicapai. Optimisme semu itu terwujud dengan dialirkannya pinjaman luar negeri jangka pendek (dalam bentuk dollar) pada pengusaha-pengusaha yang tidak effisien tersebut. Terjadinya krisis moneter international telah mengguncang nilai rupiah dan selanjutnya   struktur ekonomi dalam negeri. Akibat dicabutnya subsidi pada komoditi pokok, harga sembako, listik, dan bensin melambung hampir tak terkendali. Rakyat kecewa, mahasiswa berontak.

        Orde pembangunan ini telah kehilangan satu fondasi utama kekuasaannya, stabilitas ekonomi. Keruntuhan tersebut mengimbas pada persoalan represifnya struktur politik rejim lama. Harapan sudah pupus, penguasa bukan lagi "problem solver" tetapi "the problem itself."  Ketika terjadi penembakan pada 6 mahasiswa di Kampus Trisakti, masyarakat tidak lagi bisa menerima kesewenang-wenangan tersebut. Mereka menuntut turunnya Jenderal Soeharto dari pusat kekuasaan. Bersamanya, runtuh pulalah suatu tatanan kekuasaan ekonomi dan politik yang ada.       

        Persoalannya kemudian adalah bagaimanakah bentuk tatanan ekonomi politik baru tersebut?  Apakah platform dasarnya? Bagaimanakah proses mencapai  tatanan baru tersebut? Kekuatan sosial politik apakah yang mesti memegang peranan dalam proses transisi dan era baru itu? Apakah upaya untuk merombak warisan kekuasaan lama? Berapa lamakah penyembuhan krisis ekonomi dan politik yang ada? Apakah biaya politiknya? Bagaimanakah upaya meminimalisir kerentanan ekonomi Indonesia menghadapi fluktuasi ekonomi global? 

        Kiranya persoalan-persoalan itulah yang akan menjadi pusat perhatian web-site ini. Oleh karena kompleksitas dari persoalan-persoalan tersebut, maka sebagai awal kajian, web-site ini akan memfokuskan perhatian pada tiga hal. Pertama adalah deskripsi dari kejadian-kejadian yang berhubungan dengan proses transisi politik di Indonesia. Besertanya akan ditampilkan pula archive, foto-foto, dan rekaman audio dari beberapa nara sumber. Kedua berupa analisa dari peristiwa dan dinamika sosio-politik oleh beberapa pakar, pemerhati, dan media masa. Dan ketiga adalah perspektif dari kelompok NIU (Web-server).

        Publikasi dari web-site ini adalah bagian dari upaya untuk memberikan referensi tambahan pada pengguna bahasa Indonesia. Dengan memperkenalkan dinamika Indonesia kontemporer, diharapkan kecintaan terhadap bahasa ini akan berkembang menjadi kecintaan pada bangsa Indonesia. Dan tampaknya era reformasi ini adalah satu puncak dari keberhasilan bangsa ini untuk menjadi lebih dewasa. Menjadi lebih arif sehingga menjadi layak untuk dicinta oleh para pengguna dan calon pengguna bahasa Indonesia diseluruh dunia.

(I Ketut Erawan, DeKalb Illinois  22 Juni 1998 )

 

Reformasi Total sebagai Reformasi
Kultural
Oleh Alois A Nugroho

SUDAH sering dikemukakan, bahwa usaha mengatasi krisis moneter dan krisis ekonomi
melalui reformasi ekonomi hanya dapat dilakukan apabila kita juga melakukan reformasi
politik dan reformasi hukum yang diharapkan mampu memulihkan kredibilitas rakyat maupun
khalayak internasional.

Akan tetapi, perilaku dan "artifak" ekonomi, politik dan hukum itu dapat "berbunyi" atau
bermakna bila diletakkan dalam konteks kultural tertentu, dipahami dalam asumsi-asumsi
kultural tertentu.

Artikel Lengkap


Mencari Keseimbangan Baru
Oleh T Mulya Lubis

Hukum bisa memainkan peran instrumental dalam membawa reformasi ke dalam kehidupan   berbangsa dan bernegara termasuk dalam kehidupan bisnis. Di sini kita tidak semata-mata bicara tentang perlunya produk hukum baru seperti UU Anti Monopoli, UU Pengusaha Kecil,
UU Perlindungan Konsumen dan yang lainnya diundangkan, tetapi mutlaknya pranata- pranata hukum yang ada diberdayakan.

Artikel Lengkap

 

Seandainya Sistem Distrik Berlaku pada Pemilu 1955
Oleh Dwight Y King

Seandainya sistem distrik telah berlaku pada Pemilu 1955 kemungkinan besar menghasilkan pemerintahan yang mampu memerintah secara efektif. Fragmentasi kekuatan politik dalam DPR akan berkurang. Kursi di DPR akan dibagi di antara lebih sedikit jumlah partai politik. Dua belas partai yang memperoleh wakil/kursi akan diperkuat, sedangkan 16 partai yang gagal memperoleh wakil akan diperlemah. Para pakar yang menganjurkan bahwa sistem distrik memperlemah basis kepartaian sebaiknya mengubah posisinya. Lebih benar, sistem
distrik akan memperkuat partai-partai agak besar, dan memperlemah partai-partai agak
kecil. Oleh karena sistem distrik ini menyebabkan jumlah partai menjadi berkurang, bisa jadi DPR seperti ini dinilai relatif kurang representatif.

Namun, seandainya Pemilu 1955 diselenggarakan dengan sistem distrik maka akan menghasilkan kabinet lebih kuat. PNI akan muncul sebagai partai yang unggul, amanatnya dari rakyat akan lebih kuat, kepemimpinannya dalam pemerintah koalisi akan diakui dan pengaruh partai-partai kecil berkurang.

Artikel Lengkap

 

 

 

 

Oposisi dalam Politik Indonesia
Oleh Ignas Kleden


NAMUN demikian, oposisi rupanya dibutuhkan bukan hanya untuk mengawasi kekuasaan. Oposisi diperlukan juga karena apa yang baik dan benar dalam politik haruslah diperjuangkan melalui kontes politik dan diuji dalam wacana politik yang terbuka dan publik. Adalah naif sekali sekarang ini untuk masih percaya bahwa pemerintah bersama semua pembantu dan penasihatnya dapat merumuskan sendiri apa yang perlu dan tepat untuk segera dilakukan dalam politik, ekonomi, hukum, pendidikan dan kebudayaan pada saat ini.

Di sanalah oposisi dibutuhkan sebagai semacam advocatus diaboli atau devil's advocate yang memainkan peranan setan yang menyelamatkan kita justru dengan mengganggu kita terus-menerus. Dalam peran tersebut oposisi berkewajiban mengemukakan titik-titik lemah dari suatu kebijaksanaan, sehingga apabila kebijaksanaan itu diterapkan, segala hal yang dapat
merupakan efek sampingan yang merugikan sudah lebih dahulu ditekan sampai minimal. Tragedi-komedi dalam politik Orde Baru adalah bahwa oposisi hanya dipandang sebagai devil (setan) dan tidak pernah diakui sebagai advocate (pembela).

Artikel Lengkap

SEAsite Navigation Bar